BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi membawa manusia larut dan terbuai dalam dinamika modernitas, yang dibarengi dengan akselerasi-akselerasi sains dan teknologi canggih.Keadaan ini membuat manusia lengah sehingga demensi spiritualnya lambat laun terkikis.Kita sering menyaksikan tercerabutnya akar spriritualitas di panggung kehidupan.Salah satu penyebabnya adalah pola hidup global yang dilayani oleh perangkat teknologi yang serba canggih.
Dalam konteks Islam, untuk mengatasi keterasingan dan kekosongan spiritualitas dan sekaligus membebaskan dari derita alienasi (dalam bahasa sosiolog, berarti keterasingan) adalah dengan menjadikan Tuhan sebagai tujuan akhir (ultimate goal) dan kembali, karena Tuhan adalah Dzat Yang Maha Memiliki dan Mahaabsolut. Keyakinan dan perasaan seperti inilah yang akan memberikan kekuatan, kendali dan kedamaian jiwa seseorang sehingga ia merasa senantiasa berada dalam “orbit” Tuhan.
Tasawuf sering dianggap sebagai salah satu metode alternatif yang banyak dipakai manusia untuk mendekati Tuhannya. Tasawuf juga merupakan fenomena yang menarik perhatian sehingga tema-tema aktual yang paling menonjol sekarang ini adalah tema-tema sufisme
Pada abad pertama orang belum mengenal istilah tasawuf, yang muncul hanya benih-benihnya saja, seperti munculnya istilah “nussak”, “zuhhad”, dan “ubbad”. Nussak adalah orang-orang yang menyediakan dirinya untuk mengerjakan ibadah kepada Allah; Zuhhad adalah orang-orang yang menghindari dunia beserta kemegahan, harta benda, dan pangkat duniawi; dan Ubbad adalah orang-orang yang berusaha mengabdikan dirinya hanya semata-mata kepada Allah. Kemudian pada abad pertama ini lahirlah tokoh yang sangat mahsyur dengankonsep mahabbah, Mahabbah yang berarti mencintai secara mendalam, kecintaan atau cinta secara mendalam.Tokoh yang sangat terkenal dengan konsep mahabah dan ma’rifat adalah Rabiah al-adawiyah. Selanjutnya konsep mahabbah juga lahir dari seorang sufi yang lahir pada abad ketiga, yaitu Dzun Nun al Mishri. Ia banyak menambahkan cara manusia lebih mendekatkan diri kepada Allah. Tujuan hidupnya adalah mencari kecintaan Tuhan, membenci yang sedikit, menuruti garis perintah yang diturunkan, dan takut berpaling dari jalan Allah.Untuk mendapatkan pemahaman mengenai konsep dan paham ma’rifat Rabiatul adawiyah dan Zunnun al-Misri maka perlulah dibahas dalam pembahasan makalah ini.
B. Rumusan Masalah
Adapun rumusan permsalahan dalam makalah ini adalah:
1. Bagaimanakah konsep mahabbah dan ma’rifat dalam Islam?
2. Biografi Rabiatul Adawiyah dan Zunnun al-Misri.
3. Bagaimanakah konsep mahabbah dan ma’rifat Rabiah al-Adawiyah dan Zunnun al-Misri?
PEMBAHASAN
A. Bagaimanakah Konsep Mahabbah Dan Ma’rifat
Mahabbah secarabahasa berasal dari kata احب-يحب-محبةyang berarti mencintai secara mendalam, kecintaan atau cinta secara mendalam. Adapun pengertian mahabbah secara istilah dari segi tasawuf menurut al-Qushairi adalah:
Al-Mahabbah merupakan keadaan jiwa yang muliayang bentuknya adalah disaksikannya (kemutlakan) Allah SWT. Oleh hamba,selanjutnya yang dicintainya itu juga menyatakan cinta kepada yang dikasihi-Nya dan yang seorang hamba mencintai Allah swt.
Mahabbah dapat pula berarti suatu usaha sungguh-sungguh dari seseorang untuk mencapai tingkat rohaniah tertinggi dengan tercapainya gambaran yang mutlak,yaitu cinta kepada Tuhan.
Menurut Harun Nasution Mahabbah adalah:
1. Memeluk kepatuhan kepada Tuhan dan membenci sikap yang melawan kepada-Nya.
2. Menyerahkan seluruh diri kepada yang dikasihi.
3. Mengosongkan hati dari segala-galanya kecuali dari yang dikasihi,yaitu Tuhan.[1]
Menurut Al-Muhasibi Mahabbah adalah karunia Ilahi yang benihnya ditanamkan oleh Allah dalam hati hambanya.Mahabbah ini merupakan jalan untuk membuka rahasia-rahasia yang wujud.[2]
Dengan uraian tersebut kita mendapat pemahaman bahwa Mahabbah adalah suatu keadaan jiwa yang mencintai Tuhan sepenuh hati,sehingga sifat-sifat yang dicintai(Tuhan)masuk kedalam diri yang dicintai.Ma’rifat secara bahasa berasal dari kata عرف-يعرف-عرفا yang artinya pengetahuan atau pengalaman.
Ma’rifat juga diartikan sebagai pengetahuan mengenai Tuhan melalui hati sanubari. Pengetahuan itu demikian lengkap dan jelas sehingga jiwanya merasa satu dengan yang diketahuinya itu,yaitu Tuhan.Beberapa sufi menjelaskan Ma’rifat sebagai berikut:
1. Kalau mata yang terdapat dalam hati sanubari manusia terbuka, kepalanya akan tertutup,danketika itu yang dilihatnya adalah Allah.
2. Ma’rifat adalah cermin. Kalau seorang ‘arif melihat cermin itu,yang dilihatnya hanyalah Allah.Yang dilihat orang ‘arif baik sewaktu tidur maupun terjaga hanyalah Allah.
3. Sekiranya Ma’rifat mengambil bentuk materi,semua orang yang melihat padanya akan mati karna tak tahan melihat kecantikan serta keindahannya,dan semua keindahan yang gilang gemilang.[3]
Al-Gazali memaparkan sedikit mengenai konsep ma’rifat, menurutnya ma,rifat yaitu:
1. Ma’rifat adalah mengetahui rahasia-rahasia Allah dan aturan-aturan-Nya yang melingkupi segala yang ada.
2. Seorang yang telah sampai pada Ma’rifat berada dekat dengan Allah,bahkan ia dapat memandang wajah-Nya.
3. Ma’rifat datang sebelum Mahabbah.
B. Biografi Rabiah Al-Adawiyah Dan Zunnun Al-Misri
1. Biografi Rabiah Al-Adawiyah
Hampir seluruh literature bidang tasawwuf menyebutkan bahwa buku yang memperkenalkan ajaran mahabbah ini adalah Rabiatul al-Adawiyah. Hal ini didasarkan pada ungkapan-ungkapannya yang menggambarkan bahwa ia menganut paham tersebut.[4]
Rabiah al-Adawiyah dilahirkan sekitar tahun 95 atau (( H di Basrah (713 atau 717 M) dan meninggal pada tahun 185 H (801 M). Sementara menurut Harun Nasution Rabiah hidup sekitar tahun 714 sampai 801 M.[5] Dengan demikian maka riwayat kewafatannya para ahli tidak berselisih paham, hanya ada sedikit dalalm tahun kelahirannya.
Menjelang detik-detik dari kelahiran Rabiah, keadaan orang tuanya sangat miskin, bahkan pada malam yang gelap gulita mereka tidak punya minyak lmpu dan kain pembalut untuk melindungi seorang bayi yang baru lahir.Ibunya meminta pada ayahnya untuk meminta minyak lampu dan kain pembalut dari tetangganya. Namun rasa malu dan harga dirinya, menghalangi untuk mendatangi tetangga karena ia pernah bersumpah kepada Allah untuk tidak meminta bantuan kepada makluk atau manusia.[6]
Hal itu menunjukkan bahwa kehidupan ayah Rabiah sebagai seorang sufi yang tidak mau bergantung pada selain Allah swt. Dengan pertolongan Allah swt. Di malam gelap gulita lahirlah anak perempuan keempat dari ISmain yang kemudian diberi nama Rabiah.
MenurutHarun Nasution bahwa kedua orang tua Rabiah meninggal pada usianya masih kecil kemudian ia dijual sebagai budak.[7] Sebagai seorang budak ia bekerja dengan rajin dan patuh terhadap tuannya, namun ia tidak lupa untuk beribadah kepada Alah. Yang akhirnya ia mendapat kemerdekaan. Menurut cerita orang yang memilikinya melihat cahaya di atas kepalanya ketika ia sedang beribadah yang menerangi seluruh penjuru rumah, sehingga tuannya menjadi ketakutan atas peristiwa itu, lalu dimerdekakanlah ia. Setelah itu ia menyendiri di padang pasirdan memilih hidup sebagai seorang zahidah.di padang pasair ia menemukan lubang kecil yang ia gunakan untuk berkhalwat kepada Allah.
Dalam kehidupannya sebagai zahidah, ia sangat membenci kesenangan dunia, sebagaimana kritiknya kepada Sufyan at-Tsauri yang banyak dikunjungi orang karena kealimannya. Rabiah memandangnya sebagai kesenangan dunia saja.Sufyan at-Tsauri mengungkapkan kepada Rabiah bahwa apalah gunanya hidup jika meninggalkan kesenangan yang ada di dalamnya.[8] Selama hidupnya Rabiah tidak pernah menikan, bukan karena kezuhudannya semata-mata terhadap perkawinan itu sendiri, meskipun banyak orang yang meminangnya namun ia lebih memilih untuk menyendiri dan beibadah kepada Allah., sampai akhir hayatnya dalam usia 87 tahun dan dimakamkan di Basrah.
2. Biografi Zunnun Al-Misri
Dzun Nun al Mishri adalah sufi pertama yang banyak menonjolkan konsep ma’rifat. Nama lengkapnya adalah Abu al Faidh Tsaubah bin Ibrahim al Mishri Ia dilahirkan di Ikhmim, dataran tinggi Mesir, pada tahun 180 H/796 M. dan wafat pada tahun 246 H./856. Julukan Dzun Nun diberikan kepadanya sehubungan dengan berbagai kekeramatan yang diberikan Allah kepadanya. Di antaranya ia pernah mengeluarkan anak dari perut buaya di sungai nil dalam keadaan selamat atas permintaan ibu dari anak tersebut. Dalam kisah lain disebutkan suatu ketika Dzun Nun menumpang sebuah kapal saudagar kaya. Tiba-tiba saudagar itu kehilangan permata yang amat berharga.Dzun Nun dituduh mencurinya.Dzun Nun disiksa dan dianiaya serta dipaksa untuk mengembalikan permata yang hilang itu. Dalam keadaan tersiksa dan teraniaya itu, ia menengadahkan kepalanya ke langit sambil berdo’a “Wahai Tuhan, Engkaulah Yang Maha Tahu. Mendadak muncullah ribuan ekor ikan Nun ke permukaan air mendekati kapal sambil membawa permata yang lebih besar dan indah di mulut masing-masing ikan.Dzun Nun lalu mengambil salah satu permata dan menyerahkannya ke saudagar tersebut. Sejak peristiwa aneh itu, ia digelari Dzun Nun, artinya yang empunya ikan nun. Riwayat hidup Dzun Nun al Mishri tidak banyak diketahui, namun riwayatnya sebagai seorang sufi banyak dibicarakan. Dzun Nun dalam perjalanan hidupnya berpindah dari satu tempat ke tempat lainnya.Ia pernah menjelajahi berbagai daerah di Mesir, Makkah, Hijaz, Syiria, Pegunungan Libanon, Antiokia, dan lembah Kan’an. Hal ini memungkinkan baginya untuk memperoleh pengalaman yang banyak dan mendalami sejumlah ilmu. Beliau pernah belajar pada Imam Malik bin Anas di Madinah, dan sering bertemu dengan Ahmad bin Hambal, Ma’ruf al Kakhy, Sirri al Saqathi dan Bisri al Hafi. Semuanya adalah tokoh-tokoh tasawuf terkemuka pada zaman itu.
Adapun yang pernah mengambil riwayat darinya adalah al Hassan ibn Mush’ib an Nakha’i. Sedangkan gurunya di bidang tasawuf adalah syarqam al Abd atau Israfil al Maghribi sehingga memungkinkan baginnya untuk menjadi seorang yang ‘alim, baik dalam ilmu syari’at maupun tasawuf. Dzun Nun al Mishri adalah orang pertama yang memberikan tafsiran tentang isyarat-isyarat tasawuf, walaupun ada sejumlah guru sufi sebelum Dzun Nun. Ia orang pertama Mesir yang berbicara tentang maqamat dan ahwal, orang yang pertama memberikan definisi tentang tauhid dengan pengertian bercorak sufistik. Ia mempunyai pengaruh besar terhadap pemikiran tasawuf. Dengan demikian tidaklah mengherankan kalau sejumlah penulis menyebutnya sebagai salah seorang peletak dasar-dasar tasawuf di dunia Islam.
C. Bagaimanakah Konsep Mahabbah Dan Ma’rifat Rabiatul Adawiyah Dan Zunnun Al-Misri
1. Konsep Mahabbah dan Ma’rifat Rabiatul Adawiyah
Rabi’ah Al Adawiyah tergolong dalam kelompok sufi periode awal. Ia memperkaya literature Islam dengan kisah-kisah pengalaman mistiknya dalam sajak-sajak berkualitas tinggi. Rabi’ah dipandang sebagai pelopor tasawuf mahabbah, yaitu penyerahan diri total kepada “kekasih” (Allah) dan ia pun dikenang sebagai ibu para sufi besar (The Mother of The Grand Master). Hakikat tasawufnya adalah habbul-ilāh (mencintai Allah swt). Ibadah yang ia lakukan bukan terdorong oleh rasa takut akan siksa neraka atau rasa penuh harap akan pahala atau surga, melainkan semata-mata terdorong oleh rasa rindu pada Tuhan untuk menyelami keindahan–Nya yang azali. Mahabbah Rabi’ah merupakan versi baru dalam masalah ubudiyah kedekatan pada Tuhan.
Rabi’ah adalah seorang zahidah sejati.Memeluk erat kemiskinan demi cintanya pada Allah.Lebih memilih hidup dalam kesederhanaan.Definisi cinta menurut Rabi’ah adalah cinta seorang hamba kepada Allah Tuhannya.Ia mengajarakan bahwa yang pertama, cinta itu harus menutup yang lain, selain Sang Kekasih atau Yang Dicinta, yaitu bahwa seorang sufi harus memalingkan punggungnya dari masalah dunia serta segala daya tariknya. Sedangkan yang kedua, ia mengajarkan bahwa cinta tersebut yang langsung ditujukan kepada Allah dimana mengesampingkan yang lainnya, harus tidak ada pamrih sama sekali. Ia harus tidak mengharapkan balasan apa-apa. Dengan Cinta yang demikian itu, setelah melewati tahap-tahap sebelumnya, seorang sufi mampu meraih ma’rifat sufistik dari “hati yang telah dipenuhi oleh rahmat-Nya”. Pengetahuan itu datang langsung sebagai pemberian dari Allah dan dari ma’rifat inilah akan mendahului perenungan terhadap Esensi Allah tanpa hijab. Rabi’ah merupakan orang pertama yang membawa ajaran cinta sebagai sumber keberagamaan dalam sejarah tradisi sufi Islam.
Cinta Rabi’ah merupakan cinta yang tidak mengharap balasan.Justru, yang dia tempuh adalah perjalan mencapai ketulusan.Sesuatu yang diangap sebagai ladang subur bagi pemuas rasa cintanya yang luas, dan sering tak terkendali tersebut. Lewat sebuah doa yang mirip syair, ia berujar:
Wahai Tuhanku, jika aku menyembah-Mu karena takut neraka, bakarlah aku di neraka. Jika aku menyembah-Mu karena surga, jangan masukkan ke dalamnya.Tapi, jika aku menyembah-Mu demi Engkau semata, jangan sembunyikan dariku keindahan abadi-Mu.
Dalam fase selanjutnya, hidup Rabia'ah hanya diisi dengan dzikir, tilawah, dan wirid. Duduknya hanya untuk menerima kedatangan muridnya yang terdiri dari kaum sufi yang memohon restu dan fatwanya. Rabi'ah berusaha mengajarkan generasi Muslim sesudahnya sehingga mereka mampu mengangkat derajat mereka dari nafsu rendah. Sebab kondisi masyarakat Basrah pada waktu itu terlena dalam kehidupan duniawi, berpaling dari Allah Swt dan menjauhi orang-orang yang mencintai Allah serta segala sesuatu yang dapat mendekatkan diri pada Allah Swt. Mengajarkan pada manusia arti cinta ilahi dengan mendidik manusia dengan akhlaq yang mulia sehingga mendapatkan kedudukan tinggi. Hidup Rabi'ah penuh untuk beribadah kepada Tuhan hingga akhir hayatnya.
Cinta Ilahi (al-Hubb al-Ilah) dalam pandangan kaum sufi memiliki nilai tertinggi. Bahkan kedudukan mahabbah dalam sebuah maqamat sufi tak ubahnya dengan maqam ma’rifat, atau antara mahabbah dan ma’rifat merupakan kembar dua yang satu sama lain tidak bisa dipisahkan. Abu Nashr as-Sarraj ath-Thusi mengatakan, cinta para sufi dan ma’rifat itu timbul dari pandangan dan pengetahuan mereka tentang cinta abadi dan tanpa pamrih kepada Allah. Cinta itu timbul tanpa ada maksud dan tujuan apa pun.
Apa yang diajarkan Rabi’ah melalui mahabbah-nya, sebenarnya tak berbeda jauh dengan yang diajarkan Hasan al-Bashri dengan konsep khauf (takut) dan raja’ (harapan).Hanya saja, jika Hasan al-Bahsri mengabdi kepada Allah didasarkan atas ketakutan masuk neraka dan harapan untuk masuk surga, maka mahabbah Rabi’ah justru sebaliknya.Ia mengabdi kepada Allah bukan lantaran takut neraka maupun mengharapkan balasan surga, namun ia mencinta Allah lebih karena Allah semata. Sikap cinta kepada dan karena Allah semata ini misalnya tergambar dalam sya’ir Rabi’ah sebagai berikut:
Ya Allah, jika aku menyembah-Mu,
karena takut pada neraka,
maka bakarlah aku di dalam neraka.
Dan jika aku menyembah-Mu karena mengharapkan surga,
campakkanlah aku dari dalam surga.
Tetapi jika aku menyembah-Mu, demi Engkau,
janganlah Engkau enggan memperlihatkan keindahan wajah-Mu,
yang Abadi kepadaku
Cinta Rabi’ah kepada Allah sebegitu kuat membelenggu hatinya, sehingga hatinya pun tak mampu untuk berpaling kepada selain Allah.Pernah suatu ketika Rabi’ah ditanya, “Apakah Rabi’ah tidak mencintai Rasul?”Ia menjawab, “Ya, aku sangat mencintainya, tetapi cintaku kepada Pencipta membuat aku berpaling dari mencintai makhluknya.” Rabi’ah juga ditanya tentang eksistensi syetan dan apakah ia membencinya? Ia menjawab, “Tidak, cintaku kepada Tuhan tidak meninggalkan ruang kosong sedikit pun dalam diriku untuk rasa membenci syetan.”
Allah adalah teman sekaligus Kekasih dirinya, sehingga ke mana saja Rabi’ah pergi, hanya Allah saja yang ada dalam hatinya.Ia mencintai Allah dengan sesungguh hati dan keimanan. Karena itu, ia sering jadikan Kekasihnya itu sebagai teman bercakap dalam hidup. Dalam salah satu sya’ir berikut jelas tergambar bagaimana Cinta Rabi’ah kepada Teman dan Kekasihnya itu:
Kujadikan Engkau teman bercakap dalam hatiku,
Tubuh kasarku biar bercakap dengan yang duduk.
Jisimku biar bercengkerama dengan Tuhanku,
Isi hatiku hanya tetap Engkau sendiri.
Menurut kaum sufi, proses perjalanan ruhani Rabi’ah telah sampai kepada maqam mahabbah dan ma’rifat. Namun begitu, sebelum sampai ke tahapan maqam tersebut, Rabi’ah terlebih dahulu melampaui tahapan-tahapan lain, antara lain tobat, sabar dan syukur. Tahapan-tahapan ini ia lampaui seiring dengan perwujudan Cintanya kepada Tuhan. Tapi pada tahap tertentu, Cinta Rabi’ah kepada Tuhannya seakan masih belum terpuaskan, meski hijab penyaksian telah disibakkan. Oleh karena itu, Rabi’ah tak henti-hentinya memohon kepada Kekasihnya itu agar ia bisa terus mencintai-Nya dan Dia pun Cinta kepadanya. Dalam kegamangannya itu, Rabi’ah tak putus-putusnya berdoa dan bermunajat kepada Allah. Bahkan dalam doanya itu ia berharap agar tetap mencintai Allah hingga Allah memenuhi ruang hatinya. Doanya:
Tuhanku, malam telah berlalu dan
siang segera menampakkan diri.
Aku gelisah apakah amalanku Engkau terima,
hingga aku merasa bahagia,
Ataukah Engkau tolak hingga sehingga aku merasa bersedih,
Demi ke-Maha Kuasaan-Mu, inilah yang akan kulakukan.
Selama Engkau beri aku hayat,
sekiranya Engkau usir dari depan pintu-Mu,
aku tidak akan pergi karena cintaku pada-Mu,
telah memenuhi hatiku.
Cinta bagi Rabi’ah telah mempesonakan dirinya hingga ia telah melupakan segalanya selain Allah. Tapi bagi Rabi’ah, Cinta tentu saja bukan tujuan, tetapi lebih dari itu Cinta adalah jalan keabadian untuk menuju Tuhan sehingga Dia ridla kepada hamba yang mencintai-Nya.Dan dengan jalan Cinta itu pula Rabi’ah berupaya agar Tuhan ridla kepadanya dan kepada amalan-amalan baiknya. Harapan yang lebih jauh dari Cintanya kepada Tuhan tak lain agar Tuhan lebih dekat dengan dirinya, dan kemudian Tuhan sanggup membukakan hijab kebaikan-Nya di dunia dan juga di akhirat kelak. Ia mengatakan, dengan jalan Cinta itu dirinya berharap Tuhan memperlihatkan wajah yang selalu dirindukannya. Dalam sya’irnya Rabi’ah mengatakan :
Aku mencintai-Mu dengan dua macam Cinta,
Cinta rindu dan Cinta karena Engkau layak dicinta,
Dengan Cinta rindu,
kusibukan diriku dengan mengingat-ingat-Mu selalu,
Dan bukan selain-Mu.
Sedangkan Cinta karena Engkau layak dicinta,
di sanalah Kau menyingkap hijab-Mu,
agar aku dapat memandangmu.
Namun, tak ada pujian dalam ini atau itu,
segala pujian hanya untuk-Mu dalam ini atau itu
Abu Thalib al-Makki dalam mengomentari sya’ir di atas mengatakan, dalam Cinta rindu itu, Rabi’ah telah melihat Allah dan mencintai-Nya dengan merenungi esensi kepastian, dan tidak melalui cerita orang lain. Ia telah mendapat kepastian (jaminan) berupa rahmat dan kebaikan Allah kepadanya. Cintanya telah menyatu melalui hubungan pribadi, dan ia telah berada dekat sekali dengan-Nya dan terbang meninggalkan dunia ini serta menyibukkan dirinya hanya dengan-Nya, menanggalkan duniawi kecuali hanya kepada-Nya. Sebelumnya ia masih memiliki nafsu keduniawian, tetapi setelah menatap Allah, ia tanggalkan nafsu-nafsu tersebut dan Dia menjadi keseluruhan di dalam hatnya dan Dia satu-satunya yang ia cintai. Allah telah memebaskan hatinya dari keinginan duniawi, kecuali hanya diri-Nya, dan dengan ini meskipun ia masih belum pantas memiliki Cinta itu dan masih belum sesuai untuk dianggap menatap Allah pada akhirnya, hijab tersingkap sudah dan ia berada di tempat yang mulia. Cintanya kepada Allah tidak memerlukan balasan dari-Nya, meskipun ia merasa harus mencintai-Nya. Al-Makki melanjutkan, bagi Allah, sudah selayaknya Dia menampakkan rahmat-Nya di muka bumi ini karena doa-doa Rabi’ah (yaitu pada saat ia melintasi Jalan itu) dan rahmat Allah itu akan tampak juga di akhirat nanti (yaitu pada saat Tujuan akhir itu telah dicapainya dan ia akan melihat wajah Allah tanpa ada hijab, berhadap-hadapan). Tak ada lagi pujian yang layak bagi-Nya di sini atau di sana nanti, sebab Allah sendiri yang telah membawanya di antara dua tingkatan itu (dunia dan akhirat).
Dalam shahih Bukhari-Muslim, sebuah hadis diriwayatkan oleh Anas bin Malik menyatakan bahwa Rasulullah bersabda, “ Kamu belum beriman sebelum Allah dan RasulNya lebih kamu cintai daripada selain keduanya.” Tirmidzi pun meriwayatkan bahwa Rasullullah bersabda, “ Cintailah Allah karena nikmat yang dianugerahkanNya kepadamu. Cintailah aku karena kecintaanmu kepada Allah.Dan Cintailah keluargaku karena kecintaanmu kepadaku.”
Kini Rabi’ah telah tiada. Perempuan kekasih Ilahi itu meninggal untuk selamanya, dan akan kembali hidup bersama Sang Kekasih di sisi-Nya. Jasad kasarnya hilang ditelan bumi, tetapi ruh sucinya terbang bersama para sufi, para wali, dan para pecinta Ilahi.
2. Konsep Mahabbah dan Ma’rifat Zunnun Al-Misri
Sebagaimana diketahui bahwa Dzun Nun al Mishri adalah pelopor paham al Ma’rifat. Walaupun paham ma’rifat sudah dikenal di kalangan sufi, tetapi Dzun Nun al Mishri-lah yang lebih menekankan paham ini dalam tasawuf. Penilaian ini tidaklah berlebihan karena berdasarkan riwayat al Qathfi dan al Mas’udi yang kemudian dianalisis oleh Nicholson dan Abd.Qadir dalam Falsafah ash Shufiah fi al Islam disimpulkan bahwa Dzun Nun al Mishri berhasil memperkenalkan corak baru tentang al Ma’rifat dalam bidang sufisme Islam. Keberhasilan itu ditandai dengan :[9]
1. Dzun Nun al Mishri membedakan antara al ma’rifat sufiah yaitu melaksanakan kegiatan sufi menggunakan pendekatan qalb atau hati dan ma’rifat aqliah yaitu menggunakan pendekatan akal.
2. Al Ma’rifat menurut Dzun Nun al Mishri sebenarnya adalah musyahadah al qalbiyah sebab ma’rifat merupakan fitrah dalam hati manusia sejak zaman azali.
3. Teori-teori al ma’rifat Dzun Nun al Mishri menyerupai gnosisme ala Neo-Platonik. Teori ini dianggap sebagai jembatan teori-teori wahdat ash shuhud dan ittihad. Oleh karena itu dialah orang yang pertama mamasukkan unsur falsafah ke dalam tasawuf. Teori ini pada mulanya sulit diterima oleh kalangan teolog sehingga Dzun Nun al Mishri dianggap sebagai seorang zindiq. Oleh karena itu ia ditangkap oleh Khalifah Al Mutawakkil (Khalifah Abbasyiah yang memerintah tahun 232 H/847 M – 247 H/861 M), namun akhirnya dibebaskan. Fenomena ini wajar karena kita temui pandangan al ma’rifatnya yang pada mulanya cenderung antithesis terhadap aqliyah dan kalam.
Pandangan Zunnun mengenai ma’rifat ada dua.Berikut ini sedikit diuraikan pandangan Zunnun al-Misri tentang al ma’rifat :[10]
1. Sesungguhnya al ma’rifat yang hakiki adalah bukan ilmu tentang keesaan Tuhan sebagaimana yang dipercayai oleh orang-orang mukmin. Ia juga bukan ilmu-ilmu burhan dan nazhar milik para hakim, mutakallimin dan ahli balaghah. Akan tetapi ia adalah ma’rifat terhadap Tuhan yang khusus dimiliki para wali Allah, sebab mereka adalah orang yang menyaksikan Allah dengan mata hatinya, maka terbukalah hatinya apa yang tidak dibukakan untuk hamaba-hamba yang lain.
2. Al-ma’rifat yang ia pahami adalah bahwa Allah menyinari hatimu dengan cahaya al ma’rifat yang murni, seperti matahari tak dapat dilihat, kecuali dengan cahayanya. Senantiasa salah seorang hamba mendekat kepada Allah sehingga terasa hilang dirinya, lebur (fana) dalam kekuasaan-Nya, mereka merasa hamba, bicara dengan ilmu yang telah diletakkan oleh Allah pada lidah mereka, melihat dengan penglihatan Allah, dan berbuat dengan perbuatan Allah.
Kedua ungkapan di atas menjelaskan
bahwa ma’rifat kepada Allah tidak dapat ditempuh melalui pendekatan akal dan
pembuktian-pembuktian, tetapi dengan jalan ma’rifah bathin, yakni Tuhan
menyinari hati manusia dan menjaganya dari ketercematan, sehingga semua yang
ada di dunia ini tidak mempunyai arti lagi. Melalui pendekatan ini manusia
perlahan-lahan terangkat ke atas sifat-sifatnya yang rendah dan selanjutnya
menyandang sifat-sifat yang luhur seperti yang dilimiki Tuhan.Pandangan-pandangan
seperti inilah yang nantinya diteruskan dan dikembangkan oleh Abu Yazid al
Bustami, al Junaid sampai al Ghazali.
Menurut Abu Bakar al kalabadzi (wafat 380 H/990 M) dalam bukunya Al Ta’aruf li
Mazahid Al Tashawwuf (Pengenalan terhadap Madzhab-madzhab Tasawwuf), Dzun Nun
al Mishri telah sampai kepada tingkatan ma’rifat, yaitu tingkatan maqam
(stasiun) tertinggi dalam tasawuf, setelah melewati maqam taubat, zuhud, fakir,
sabar, tawakkal, rida, dan cinta (mahabbah). Ma’rifat adalah mengetahui Tuhan
dengan sanubari. Dalam buku itu disebutkan bahwa suatu hari Dzun Nun al Mishri
ditanya tentang cara memperoleh ma’rifat, ia menjawab, “’arafu rabbi bi rabbi
walau la rabbi lamma ‘arafu rabbi” ,Aku mengenal Tuhan karena Tuhan, dan
sekiranya tidak karena Tuhan , aku tidak akan mengetahui Tuhan). Kata-kata Dzun
Nun al Mishri ini sangat popular dalam ilmu tasawuf. Menurut Abu Al Qasim Abd
Karim Al Qusyairi, Dzun Nun al Mishri mengakui bahwa ma’rifat yang diperolehnya
bukan semata-mata hasil usahanya sebagai sufi, melainkan lebih merupakan
anugrah yang dilimpahkan Tuhan kepada dirinya.
Dzun Nun al Mishri membagi pengetahuan tentang Tuhan menjadi tiga bagian, yaitu:[11]
1. Pengetahuan untuk seluruh muslim.
2. Pengetahuan khusus untuk para filosof dan ulama.
3. Pengetahuan khusus untuk para wali Allah.
Menurut Harun Nasution, jenis pengetahuan yang pertama dan kedua belum dimasukkan dalam kategori pengetahuan hakiki tentang Tuhan. Keduanya belum disebut dengan al ma’rifat, tetapi disebut dengan ilmu.[12]Adapun jenis pengetahuan yang ketiga baru disebut dengan al ma’rifat.Dari ketiga macam pengetahuan Tuhan di atas, jelaslah bahwa pengetahuan tingkat auliya (para wali) adalah yang paling tinggi tingkatannya karena mereka mencapai tingkatan musyahadah.Para ulama dan filosof tidak mampu mencapai maqam ini, sebab mereka masih menggunakan akal untuk mengetahui Tuhan, sedangkan akal itu sendiri mempunyai keterbatasan dan kelemahan.
Dzun Nun al Mishri mempunyai sestematika tersendiri dalam perjalanan rohaninya menuju tingkat ma’rifat. Dari teks-teks ajarannya, Abu Hamid Mahmud mencoba menggambarkan tariqahnya sebagai berikut :[13]
1. Orang yang bodoh adalah orang yang tidak mengenal jalan menuju Allah dan tidak ada usaha untuk mengenalnya.
2. Jalan itu ada dua macam, yaitu thariq al inabah ialah jalan yang dimulai dengan meminta cara ikhlas dan benar, dan thariq al ihtiba, jalan ini tidak mensyaratkan apa-apa pada seseorang, jalan ini urusan Allah semata. Di sisi lain Dzun Nun al Mishri mengatakan manusia itu terdiri dari dua macam, yaitu dari dan wasil. Dari adalah orang yang menuju jalan iman, sedangkan wasil adalah yang berjalan di atas kekuatan al ma’rifat.
3. Ungkapan-ungkapan di atas menunjukkan bahwa pada garis besarnya terdapat dua jalan yang ditempuh Dzun Nun al Mishri dalam mendekati Tuhan, yaitu thariqah yang biasa ditempuh oleh para ahli sufi melalui maqamat yang dilakukan secara sistematis dan ketat mulai tobat. Adapun thariqah yang kedua yaitu ijtiba bersifat personal. Untuk jalan thariqah, Dzun Nun al Mishri menceritakan secara lebih rinci tahapan-tahapan situasi batin yang hendak menuju tingkat arif (ahli ma’rifat), yaitu : iman, khauf, tha’ah, raja, al mahabbah, syauq, uns, thuma’ninah, dan na’im. Di samping menggunakan thariqah seperti ini, ia juga menempuh perjalanan sufinya melalui maqamat tertentu yang intinya dimulai dari taubat, wara, zuhud, tawakkal, rida, al ma’rifat, sampai mahabbah. Menurut Dzun Nun al Mishri, sebelum ia sampai pada maqam al ma’rifat, dia melihat Tuhan melalui tanda-tanda kebesaran-Nya yang terdapat di alam semesta. Suatu ungkapan puisinya adalah sebagai berikut : “Ya Rabbi, aku mengenal-Mu melalui bukti-bukti karya-Mu dan tindakan-Mu dengan ridaku dengan semangat Engkau dalam kecintaan-Mu, dengan kesentosaan dan niat teguh.”
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
1. Konsep mahabbah dan ma’rifah menurut ulama. Menurut Harun Nasution Mahabbah adalah:Memeluk kepatuhan kepada Tuhan dan membenci sikap yang melawan kepada-Nya, menyerahkan seluruh diri kepada yang dikasihi, dan mengosongkan hati dari segala-galanya kecuali dari yang dikasihi,yaitu Tuhan. Menurut Al-Gazali memaparkan sedikit mengenai konsep ma’rifat, menurutnya ma,rifat yaitu: ma’rifat adalah mengetahui rahasia-rahasia Allah dan aturan-aturan-Nya yang melingkupi segala yang ada, seorang yang telah sampai pada Ma’rifat berada dekat dengan Allah,bahkan ia dapat memandang wajah-Nya dan ma’rifat datang sebelum Mahabbah.
2. Ungkapan-ungkapannya yang menggambarkan bahwa ia menganut paham tersebut. Rabiah al-Adawiyah dilahirkan sekitar tahun 95 atau (( H di Basrah (713 atau 717 M) dan meninggal pada tahun 185 H (801 M). Sementara menurut Harun Nasution Rabiah hidup sekitar tahun 714 sampai 801 M.Menurut Harun Nasution bahwa kedua orang tua Rabiah meninggal pada usianya masih kecil kemudian ia dijual sebagai budak. Dalam kehidupannya sebagai zahidah, ia sangat membenci kesenangan dunia. Dzun Nun al Mishri adalah sufi pertama yang banyak menonjolkan konsep ma’rifat. Nama lengkapnya adalah Abu al Faidh Tsaubah bin Ibrahim al Mishri Ia dilahirkan di Ikhmim, dataran tinggi Mesir, pada tahun 180 H/796 M. dan wafat pada tahun 246 H./856. Julukan Dzun Nun diberikan kepadanya sehubungan dengan berbagai kekeramatan yang diberikan Allah kepadanya
3. Rabiatul adawiyah Rabi’ah Al Adawiyah tergolong dalam kelompok sufi periode awal. Ia memperkaya literatur Islam dengan kisah-kisah pengalaman mistiknya dalam sajak-sajak berkualitas tinggi. Rabi’ah dipandang sebagai pelopor tasawuf mahabbah, yaitu penyerahan diri total kepada “kekasih” (Allah) dan ia pun dikenang sebagai ibu para sufi besar (The Mother of The Grand Master). Hakikat tasawufnya adalah habbul-ilāh (mencintai Allah swt). Ibadah yang ia lakukan bukan terdorong oleh rasa takut akan siksa neraka atau rasa penuh harap akan pahala atau surga, melainkan semata-mata terdorong oleh rasa rindu pada Tuhan untuk menyelami keindahan–Nya yang azali. Mahabbah Rabi’ah merupakan versi baru dalam masalah ubudiyah kedekatan pada Tuhan. Zunnun al-Misri adalah seorang sufi besar, bapak paham al ma’rifat dalam terminologi sufisme karena keberhasilannya dalam menampilkan corak baru kehidupan sufistik, yang lebih menekankan pendekatan al ma’rifat qalbiyah dari pada al ma’rifat aqliyah. Inti ajaran al ma’rifat adalah mengetahui dan melihat Tuhan dari dekat sehingga hati sanubari sempat meliha-Nya tanpa penghalang. Pengetahuan inti adalah anugrah Allah yang diberikan kepada orang-orang tertentu.
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Djalil, Maman. Tasawuf Tematik Membedah Tema-tema Penti, Bandung:CV Pustaka Setia, 2003.
Fathollah, Mohammad. Ma’ririfat Cinta Rabiah al-Adawiyah, Cet.I; Yogyakarta: Araska, 2015.
Guzzairulhaq. Pemikiran Tasawuf Zunnun al-Misri.https://guzzaairulhaq.wordpress.com/samudera-tasawuf/pemikiran-tasawuf-dzun-nun-al-mishri/ (Diakses pada tanggal 25 Mei 2016).
Halim Mahmud, Abdul. Tasawuf di Dunia Islam, Bandung:Pustaka Setia, 2002.
Kalsum Yunus, Ummu. Ilmu Tasawuf, Cet. I; Makassar: Alauddin Press, 2011.
[1]Abdul Halim Mahmud, Tasawuf di dunia Islam (Bandung:Pustaka Setia,2002), h.207-209.
[2]Maman Abdul djalil,Tasawuf Tematik Membedah Tema-tema Penti (Bandung:CV Pustaka Setia, 2003), h.38.
[3]Abdul Halim Mahmud,Tasawuf di dunia Islam (Bandung:Pustaka Setia, 2002), h. 219-220.
[4]Ummu Kalsum Yunus, Ilmu Tasawuf (Cet. I; Makassar: Alauddin Press, 2011), h.105
[5]Mohammad Fathollah, Ma’ririfat Cinta Rabiah al-Adawiyah (Cet.I; Yogyakarta: Araska, 2015), h. 18.
[6]Ummu Kalsum Yunus, Ilmu Tasawuf, h.106.
[7]Mohammad Fathollah, Ma’ririfat Cinta Rabiah al-Adawiyah, h. 25.
[8]Ummu Kalsum Yunus, Ilmu Tasawuf, h.108.
[9] Guzzairulhaq.Pemikiran Tasawuf Zunnun al-Misri.https://guzzaairulhaq.wordpress.com/samudera-tasawuf/pemikiran-tasawuf-dzun-nun-al-mishri/ (Diakses pada tanggal 25 Mei 2016).
[10] Guzzairulhaq.Pemikiran Tasawuf Zunnun al-Misri.https://guzzaairulhaq.wordpress.com/samudera-tasawuf/pemikiran-tasawuf-dzun-nun-al-mishri/ (Diakses pada tanggal 25 Mei 2016).
[11] Guzzairulhaq.Pemikiran Tasawuf Zunnun al-Misri.https://guzzaairulhaq.wordpress.com/samudera-tasawuf/pemikiran-tasawuf-dzun-nun-al-mishri/ (Diakses pada tanggal 25 Mei 2016).
[12] Guzzairulhaq.Pemikiran Tasawuf Zunnun al-Misri.https://guzzaairulhaq.wordpress.com/samudera-tasawuf/pemikiran-tasawuf-dzun-nun-al-mishri/ (Diakses pada tanggal 25 Mei 2016).
[13]Guzzairulhaq.Pemikiran Tasawuf Zunnun al-Misri.https://guzzaairulhaq.wordpress.com/samudera-tasawuf/pemikiran-tasawuf-dzun-nun-al-mishri/ (Diakses pada tanggal 25 Mei 2016).