Tingkatan Para Mufassir
Pada bab ini akan dibahas mengenai
tingkatan para Mufassir yang terbagi dalam beberapa periode, yaitu; periode
Sahabat, Tabi’in, Tabi’it Tabi’in, dan Mutaakhkhirin. Pada setiap periode
terdapat nama-nama mufassir dan karakteristik kitab tafsir yang dikarangnya.
Berikut ini akan diuraikan tingkatan para Mufassir berdasarkan periodennya
masing-masing.
1. Periode Sahabat.
Ahli tafsir dari kalangan sahabat
sebenarnya sangat banyak, akan tetapi yang paling masyhur ada sepuluh orang, yaitu;
Khalifah empat, Ibnu Mas’ud, Ibnu Abbas, Ubay bin Ka’ab, Zaid bin Tsabit, Abu
Musa al-Asy’ary, dan Abdullah bin Zubair. Dari Khalifah empat yang paling
banyak meriwayatkan tafsir adalah Ali bin Abi Thalib r.a. mengenai hal ini
Mu’ammir meriwayatkan dari Wahab, dari Abdullah, dari Abu Tufail, ia berkata;
“aku menyaksikan Ali mengatakan, “tanyailah aku, demi Allah, semua pertanyaan
akan kujawab. Tanyailah aku tentang Al Qur’an, demi Allah, tidak ada satu
ayatpun yang tidak aku ketahui, apakah ayat itu diturunkan di siang hari atau
malam hari”. Tiga Khalifah lainnya yaitu Abu Bakar, Umar, dan Utsman
radiyallahu ‘anhum sangat sedikit dalam meriwayatkan tafsir, hal itu karena
mereka terlebih dahulu meninggal dari pada sayyidina Ali bin Abi Thalib.
Selain dari sayyidina Ali, yang banyak
meriwayatkan tafsir dari kalangan Sahabat adalah Ibnu Mas’ud, dan riwayatnya
jauh lebih banyak dari pada riwayat sayyidina Ali. Ibnu Jarir dan yang lainnya
meriwayatkan perkataan Ibnu Mas’ud, “demi zat yang tidak ada Tuhan selain-Nya,
tidak ada satu ayatpun dari Al Qur’an yang diturunkan kecuali aku mengetahui
kepada siapa ayat itu diturunkan dan di mana diturunkan, jika aku mengetahui
ada seseorang yang lebih tahu dariku maka aku akan mendatanginya”.
Dari sekian banyak ahli tafsir kalangan
Sahabat, yang paling berhak mendapatkan gelar Mufassir adalah Sahabat Ibnu
Abbas yang keilmuannya diakui oleh Rasulullah, bahkan beliau menjuluki Ibnu
Abbas dengan julukan “penterjemah Al Qur’an”, beliau juga pernah mendo’akannya
agar dianugrahi kepahaman terhadap ilmu agama dan diberi pengetahuan tentang
takwil. Namun sangat disayangkan, riwayat Ibnu Abbas yang sangat banyak itu
selanjutnya banyak yang ditambah dan diselewengkan ucapannya, bahkan sebagian
orang meriwayatkan beberapa kebohongan yang dinisbatkan pada Ibnu Abbas,
sehingga Imam Syafi’i pernah berkata; hampir tidak ada penjelasan Ibnu Abbas
tentang tafsir yang asli kecuali seratus hadits.
Selain dari Mufassir yang telah disebutkan
di atas, di kalangan Sahabat masih ada lagi Mufassir yang lain, hanya saja
riwayat mereka ini tergolong sangat sedikit bila dibandingkan dngan sepuluh
Mufassir yang disebutkan tadi. Mereka adalah; Abu Hurairah, Anas bin Malik,
Abdullah bin Umar, Jabir bin Abdullah, dan sayyidah ‘Aisyah radiyallahu ‘anhum.
2. Periode Tabi’in.
Pendapat-pendapat para Sahabat mengenai
tafsir diambil oleh sejumlah Sahabat lainnya yang hidup di berbagai daerah,
sehingga pada masa Tabi’in muncul tingkatan-tingkatan Mufassir di daerah
Mekkah, Madinah, dan Irak. Namun menurut Ibnu Taimiyyah, yang paling mengetahui
tafsir pada periode Tabi’in adalah ahli Mekkah, karena mereka adalah
murid-murid dari Ibnu Abbas seperti Mujahid, ‘Atha bin Abi Ribah, Ikrimah
(seorang budak yang dimerdekakan Ibnu Abbas), Said bin Zubair, Thawus dan lain-lain.
Demikian pula murid-murid Ibnu Mas’ud di Kufah seperti ‘Alqamah, Aswad bin
Yazid, Ibrahim an-Nukha’i, sya’by dan lain-lain. Mufassir era Tabi’in di
Madinah adalah Zaid bin Aslam yang kemudian diriwayatkan oleh putranya
Abdurrahman bin Zaid dan Malik bin Anas. Sebagian dari Mufassir era Tabi’in
yang lain adalah Hasan al-Bashri, ‘Atha bin Abi Muslim al-Khurasani, Muhammad
bin Ka’ab al-Quwaidzi, Abu ‘Aliyah Rafi bin Mahsan ar-Riyahi, Dhohak bin
Muzahim, ‘Atiyyyah bin Sa’ad al-‘Ufi, Qatadah bin Du’amah as-Sadusi, Rabi bin
anas, dan As-Sady. Mereka ini adalah pemuka-pemuka Mufassir pada era Tabi’in
yang hampir semua pendapat mereka diambil dari pendapat para sahabat.
3. Periode Tabi’it Tabi’in.
Pada periode ini terdapat beberapa Mufassir
yang mengumpulkan pendapat para Sahabat dan Tabi’in tentang tafsir. Sebagian
dari mereka adalah Sufyan bin ‘Uyainah, Waki’ bin Al-Jarrah, Syu’bah bin
Hajjaj, Yazid bin Harun, Abdul Razak, Adam bin Abi Iyas, Ishak bin Abi
Rahawiyah, ‘Abd bin Hamid, Ruh bin ‘Ubadah, Abi Bakar bin Abi Syaibah dan
lain-lain.
4. periode Mutaakhkhirin.
Para mufassir setelah masa Tabi’it tabi’in
diklasifikasikan dalam beberapa periode dan beberapa tingkatan yang akan
dijelaskan secara berurutan sebagai berikut:
– setelah era Mufassir periode Tabi’it
tabi’in, terdapat mufassir-Mufassir, sebagian dari mereka adalah Ali bin Abi
Thalhah, Ibnu Jarir Ath-Thabari, Ibnu Abi Khatim, Ibnu Majah, Al-Hakim, Ibnu
Mardawiyah, Abu Syaikh bin Hibban, Ibnu Mundzir dan lain-lain. Para Mufassir
ini menyandarkan semua pendapatnya kepada para Sahabat, Tabi’in dan para
pengikut mereka kecuali Ibnu Jarir yang dalam tafsirnya menambahkan tarjih
(pengunggulan) dalam berbagai pendapat, beliau juga membahas i’rab dan
istinbath sehingga tafsir Ibnu Jarir ini lebih unggul dari yang lain.
– Tingkatan selanjutnya adalah Mufassir
yang mengarang kitab-kitab tafsir yang berisikan faidah-faidah dari tafsir
terdahulu. Di antara tokoh-tokoh Mufassir tingkatan ini adalah Abi Ishak
Az-Zujaj, Abi Ali al-Farisi, Abi Bakar an-Naqasyi, Abi Ja’far an-Nukhas, dan
Abi Abbas al-Farisi.
– Setelah tingkatan di atas, selanjutnya
muncul Mufassir-mufassir yang banyak menghilangkan sanad dan banyak memasukkan
pendapat mereka sendiri, menjelaskan sesuatu yang diyakininya sehingga
orang-orang setelah tingkatan ini menyangka bahwa pendapat mereka tersebut asli
dari para Sahabat, Tabi’in dan para pengikutnya. Berkaitan dengan hal ini, Imam
Suyuthi berkomentar, “aku melihat sepuluh pendapat yang berbeda mengenai tafsir
ayat ghairil maghdhubi ‘alaihim wa ladh-dhaallin. Padahal menurut Nabi,
Sahabat, dan Tabi’in, tafsirnya adalah kaum yahudi dan nashrani.
– Tingkatan berikutnya adalah para Mufassir
yang mengembangkan berbagai disiplin ilmu. Mereka memenuhi kitab tafsirnya
dengan bidang ilmu yang dikuasai seakan-akan Al Qur’an diturunkan khusus untuk
membahas ilmu tersebut. Mufassir yang ahli terhadap masalah nahu dalam
tafsirnya menjelaskan tentang i’rab secara panjang lebar dan mendetail, seperti
kitab tafsirnya Ibnu Hayan yang berjudul “fil bahri wan-nahari”. Mufassir yang
ahli di bidang sejarah memenuhi kitab tafsirnya dengan cerita-cerita zaman
dahulu baik yang benar maupun yang palsu, contohnya tafsir Ats-Tsa’labi. Begitu
pula dengan Mufassir yang ahli ilmu fiqh seperti kitab tafsir Al-Qurtubi. Imam
Fakhruddin Ar-Razi dalam tafsirnya banyak menjelaskan tentang pendapat-pendapat
ahli hikmah dan filsafat. Pada tingkatan ini bermunculan juga Mufassir-mufassir
palsu yang menafsiri Al Qur’an seenaknya dan menyesatkan yang tujuan mereka
adalah merusak ajaran-ajaran Islam.
– Tingkatan periode Mutaakhkhirin yang
selanjutnya adalah pada saat tibanya masa kebangkitan umat Islam. Para Mufassir
dalam tingkatan ini menjelaskan tafsirnya dengan ungkapan yang panjang, gaya
bahasa yang indah. Mereka juga membicarakan aspek-aspek sosial dan pemikiran
modern. Sebagian dari mereka adalah; Muhammad Abduh, Sayyid Muhammad Rasyid
Ridha, Muhammad Mushthafa al-Maraghi, Sayyid Qutub, dan Muhammad ‘Izzah
Daruzah.