Monday, October 19, 2020

Makalah: Ali bin Abi Thalib

 

BAB I

PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang

Pasca wafatnya Rasulullah SAW, islam menghadapi masa pengalihan kepemimpinan. Para sahabat yang tergabung dalam dewan syura’ bersepakat bahwa pemimpin yang layak setelah rasulullah saw adalah Abu Bakar Ash-Siddiq.setelah beliau wafat Umar Bin Khattab  meneruskan kepemimpinan islam lalu disusul oleh Ustman Bin Affan kemudian Ali bin Abi thalib sebagai khalifah keempat,mereka lebih dikenal dengan sebutan Al-Khulafaur Rasyidin.

Selama masa kepemimpinan para Khulafaur Rasyidin, sejatinya tak pernah lepas dari problematika yang sewaktu-waktu menghembuskan angin ribut dikalangan kaum muslimin, dimana kemunculan para kaum munafik yang mencoba untuk merusak islam dari dalam, sehingga api peperangan kembali  terjadi. Yang mengherankan adalah peperangan terjadi bukan antara orang kafir dan muslim, melainkan antara sesama muslim sendiri yang hakikatnya adalah satu tubuh yang saling membutuhkan. Hal tersebut disebabkan hasutan dari kaum munafik yang murtad.

Rounded Rectangle: 1Seiring berlalunya masa kepemimpinan Ustman Bin Affan Ra. yang diwarnai konflik nepotisme dan pemberontakan, aroma kecaman kaum munafik masih terasa hingga masa kepemimpinan Ali bin abu thalib. Tak henti-hentinya kaum munafik mengobarkan fitnah dikalangan kaum muslimin hingga terjadi pertikaian antara kubu  Ummul Mukminin Aisyah ra.dan Ali Bin Abu Thalib ra. berujung pada perang Jamal. Setelah perang Jamal berkecamuk disusul lagi perang Siffin antara Ali dan Muawiyah yang disebabkan adanya penolakan pembai’atan Muawiyah kepada Ali karena Ali belum mengqishash pembunuh Ustman Bin Affan ra.Peperangan ini dikenal dengan peristiwa Tahkim (arbitrase).

B.     Rumusan Masalah

Sesuai dengan latar belakang diatas, maka rumusan masalahnya adalah;

1.      Bagaiamana biografi Ali bin Abu Thalib ra.

2.      Bagaimana kepemimpinan Ali bin Abu Thalib ra.

3.      Bagaimana kronologi terjadinya peristiwa Tahkim

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

BAB II

PEMBAHASAN

 

A.    Biografi Ali Bin Abu Thalib RA.

Namanya adalah Ali bin Abu Thalib bin Abdul Muththalib bin Hasyim bin Abdu Manaf bin Qushai bin Kilab bin Luay bin Ghalib bin Fahr bin Malik bin An-Nadhr bin Kinanah bin Khuzaimah bi Mudrikah bin Ilyas bin Nizar bin Ma’ad bin Adnan,[1] dilahirkan di Makkah sepuluh tahun sebelum kerasulan. Abul Hasan dan Abu Turab adalah julukan  yang diberikan oleh Nabi SAW untuknya. Ibunya bernama Fathimah binti Asad bin Hasyim bin Abdu Manaf. Fathimah  termasuk orang yang pertama-tama masuk islam dan ikut berhijrah ke Madinah bersama kaum Muhajirin lainnya.

3

 
Ali bin Abu Thalib adalah salah seorang dari sepuluh sahabat yang dijamin masuk Surga. Ali  merupakan saudara Rasulullah saw melalui jalan persaudaraan. Rasulullah juga menjadi mertuanya, yaitu ketika Ali menikahi putri beliau yang bernama Fathimah, wanita yang dijuluki Sayyidah Nisa-ul ‘Alamiin (pemimpin para wanita dialam semesta).[2]Ketika Rasulullah saw diangkat sebagai utusan Allah diketahui bahwa Ali adalah orang yang pertama-tama masuk islam dari dikalangan anak-anak.Saat itu Ali belum genap berusia tiga belas tahun.

Ali bin Abu Thalib adalah orang tua, dengan kepala botak,banyak mengarang syair, tidak begitu tinggi, perutnya besar, jenggotnya lebat memenuhi kedua bahunya, putih laksana kapas. Kulitnya sawo matang.Beliau juga salah satu sahabat yang banyak meriwayatkan hadis yaitu sebanyak 586 hadis.

Begitu banyak keutamaan yang dimiliki oleh Ali, namun pemakalah hanya menukil beberapa yang perlu diketahui bahwa Ali ra.adalah seorang ulama rabbani, seorang pemberani yang masyhur, amanah, seorang yang zuhud, pandai dalam masalah hukum, ahli tafsir, pemurah, perkataannya penuh hikmah dan ia juga seorang khatib yang terkenal. Ali adalah khalifah dari kalangan Bani Hasyim, juga ayah dari dua cucu kesayangan Rasulullah saw (Al-Hasan dan al-Husain ra).[3]

Ali adalah orang yang tidur di ranjang Rasulullah saw pada malam beliau hijrah dari Makkah ke Yastrib bersama Abu Bakar Ash-Siddiq. Kemudian Ali menyusul sesudah menunaikan amanat yang menjadi tanggungan Rasulullah saw kepada yang berhak[4]. Ali juga adalah seorang sahabat yang turut serta bersama Rasulullah saw dalam seluruh perang kecuali perang Tabuk. Sebab ketika itu Ali diangkat sebagai pengganti Rasulullah sementara di Madinah[5].

Keterlibatan Ali dalam berbagai peperangan sangat menakjubkan. Tatkala perang khaibar meletus, dalam shahih Bukhari diriwayatkan bahwa Rasulullah memberikan bendera perang kepada Ali bin Abu Thalib. Rasulullah mengatakan bahwa kemenangan di Khaibar akan berada diatangan Ali.[6] Ketika itu Ali bin Abu Thalib menjebol pintu gerbang Khaibar sendirian, hingga akhirnya kaum muslimin mampu masuk kedalam benteng dan menaklukkan musuh-musuhnya. Lalu mereka menarik pintunya sementara pintu tersebut tidak mampu ditarik kecuali empat puluh orang.Ibnu Ishaq berkata dalam kitabnya Al-Maghazibahwa Ali mencabut pintu gerbang itu sendirian dan terus memegangnya hingga perang usai.[7]

Biografi diatas mengisahkan eksistensi Ali bin Abu Thalib dalam berbagai elemen kehidupan. Ia Merupakan sosok teladan yang patut diikuti oleh  khalayak kaum muslimin. Pemakalah memandang bahwa Ali merupakan hasil karya terbaik dari upaya didikan Sang Uswatun Hasanah.Maka selayaknyalah Ali ra.Diangkat menjadi khalifah dengan berbagai kelebihan dan kepiawaiannya, walaupun prosesnya tak semulus para khalifah sbelumnya.

B.     Masa Kepemimpinan Ali Bin Abu Thalib ra.

1.      Pengangkatan menjadi Khalifah

Ali bin Abu Thalib ra.dibaiat sebagai khilafah sehari setelah pembunuhan Ustman di Madinah. Pemilihan Ali sebagai khalifah tidak berdasarkan cara yang ditempuh dalam pemilihan para khalifah sebelumnya. Abu bakar dipilih berdasarkan persetujuan dari para sahabat yang ada di Madinah.Setelah Abu Bakar wafat tidak terjadi perbedaan, karena sebelumnya Umar telah diangkat sebagai calon pengganti sehingga kaum muslimin memandang wajib mentaatinya.Kemudian ketika Umar wafat, Ustman terpilih berdasarkan Undang-undang musyawarah yang telah digariskan Umar.[8]

Sedangkan saat Ustman wafat, ternyata sebagian kaum pemberontak yang dipimpin oleh Abdullah bin Saba’ condong untuk mengangkat Ali. Sementara itu mayoritas para sahabat bertebaran diberbagai kota.Saat itu di Madinah hanya terdapat beberapa sahabat yang dibawahi oleh Thalhah dan Az-Zubair.Walaupun sebagian para sahabat bersikap ragu-ragu, namun mereka tetap membaiat Ali atas dasar persatuan kaum muslimin.Peristiwa ini terjadi pada hari jum’at, 13 Dzulhijjah 35 H.

2.      Pencapaian dimasa PemerintahanSang Khalifah

Setelah Ali  ra. dibaiat menjadi khalifah, ia sebagai orang yang dikenal sangat teguh memegang hak kaum muslimin dan tidak main-main dengannya bergegas menggeser para gubernur yang diangkat oleh Ustman yang dianggap sebagai sumber fitnah dan penyebab bangkitnya para pemberontak menentang Ustman ra. Dia tidak mengindahkan nasihat sebagian para sahabat agar untuk sementara waktu mereka dibiarkan dalam posisinya sampai keadaan kembali tenang seperti sebelumnya. Begitu juga, tidak lama sesudah dilantik sebagai khalifah ia segera mengambil alih-alih tanah yang diberikan oleh Ustman kepada sebahagian para kerabat dan keluarga dekatnya untuk dikembalikan ke baitul mal..[9]

Ketegasan Ali sangat nampak ketika  orang-orang mendatangi Ali bin Abu Thalib. Kharijah bin mush’ab ra. menuturkan dari salam bin Abul Qasim dan Ustman bin Abu Ustman ra.

“Orang-orang  mendatangi Ali bin Abu Thalib lalu berseru, “engkau adalah Dia (Allah)!” Ali pun bertanya, “siapa aku?”"Aku ini siapa?’ mereka tetap menyerukan, “engkau adalah ilah kami.” Mendengar ucapan kufur tersebut, Ali segera mengusir mereka dengan berseru: “pulanglah kalian!” akan tetapi mereka menolak beranjak dari situ. Maka Ali menebas tengkuk atau leher mereka hingga tewas. Selanjutnya, Ali membariskan jassad mereka ditanah, kemudian dia meminta kepada Qanbar; pelanyannya untuk membakar orang-orang itu.[10]

Naiknya Ali bin Abi Thalib ra. ketumpuk kekhilafaan tidak lama setelah peristiwa terbunuhnya Ustman bin Affan, beliau segera memberikan kontribusinya dalam bidang peradilan, bahkan beliau memberikan perhatian yang penuh dalam pengkodifikasian masalah hukum peradilan yang sama dengan para pendahulunya yaitu berdasarkan Al-Qur’an, As-Sunnah, Ijma’, dan Qiyas. Hal tersebut terbukti melalui beberapa surat yang dikirimnya kepada Al-Asytar An-Nakha’I, gubernur Mesir.[11]

Selain itu Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib juga menetapkan metodologi Yudisial menurut pandangannya tentang keputusan hukum yang dibuat pemerintahan sebelumnya, serta kedudukan orang-orang yang memiliki keahlian sebagai qadhi dan penunjukkan mereka dalam pemerintahan.

Amirul Mukminin telah memberikan pengaruh yang sangat besar dalam membangun lembaga hukum pada masa pemerintahannya.Ijtihad-ijtihad beliau sangat jelas terlihat dalam permasalahan qisas, pidana, dan ta’zir.Disamping itu, beliau juga memberi sumbangih yang sangat besar dalam pengembangan madrasah fikih keislaman dengan ijtihad-ijtihadnya yang berwawasan luas berdasarkan keilmuan yang banyak, kedalaman pemahaman fikih, dan penguasaan terhadap maqashid   (tujuan-tujuan) syariah.

C.    Peristiwa Tahkim

Sebelum kita menelusuri bagaimana peristiwa tahkim itu, terlebih dahulu penulis memaparkan peristiwa-peristiwa besar yang terjadi pada masa kekhalifaan Ali bin abi Thalib ra.

1.      Perang Jamal

Muawiyah bin Abu Sofyan ra, gubernur Syam yang menggelorakan tuntutan qihsash terhadap para pembunuh Khalifah Ustman Bin Affan ra. Bahkan dia menolak melepaskan jabatannya sebagai gubernur sebelum Ali bin Abu Thalib menghukum mereka.[12]

            Terkait perselisihan ini, dinukilkan bahwa para pemberontak tengah mengambil kendali politik.Karena itulah Ali meminta Muawiyah untuk segera ke Madinah untuk membai’atnya agar situasi genting saat itu bisa diredam, baru kemudian para pembunuh Ustman dihukum qishash.Akan tetapi Muawiyah tidak memenuhi panggilan tersebut karena Muawiyah menginginkan penyelesaian untuk kasus terbunuhnya Ustman lebih penting sebelum pembai’atan.Sementara  itu Muawiyah juga menuturkan sebab yang lain bahwa kemaslahatan terbaik adalah tidak meninggalkan Syam dikarenakan pasukan Romawi memang sedang menanti-nantikan kesempatan terebut.

            Uraian di atas menggambarkan bahwa kedua para sahabat mulia terebut telah berijtihad dalam suatu persoalan sesuai dengan perhitungan dan pertimbangan masing-masing.Untuk itu, kita tetap mengutamakan berbaik sangka, sebagaimana Rasulullah saw pernah bersabda:

حَدَّثَنَا أَبُو سَلَمَةَ قَالَ أَخْبَرَنَا بَكْرُ بْنُ مُضَرَ عَنْ يَزِيدَ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ أُسَامَةَ بْنِ الْهَادِ عَن مُحَمَّدِ بْنِ إِبْرَاهِيمَ عَنْ بُسْرِ بْنِ سَعِيدٍ عَنْ أَبِي قَيْسٍ مَوْلَى عَمْرٍو عَنْ عَمْرِو بْنِ الْعَاصِ أَنَّهُ سَمِعَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ إِذَا حَكَمَ الْحَاكِمُ فَاجْتَهَدَ ثُمَّ أَصَابَ فَلَهُ أَجْرَانِ وَإِذَا حَكَمَ وَاجْتَهَدَ ثُمَّ أَخْطَأَ فَلَهُ أَجْرٌ

Terjemahnya:“Telah menceritakan kepada kami Abu Salamah ia berkata, telah mengabarkan kepada kami Bakr bin Mudlar dari Yazid bin Abdullah bin Usamah bin Al Hadi dari Muhammad bin Ibrahim dari Busr bin Sa'id dari Abu Qais budaknya Amru, dari Amru bin Ash, bahwa ia mendengar Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Jika seorang hakim memberi keputusan, lalu ia berijtihad dan benar dalam ijtihadnya, maka baginya dua pahala. Dan jika ia memberi putusan lalu berijtihad dan salah dalam ijtihadnya, maka baginya satu pahala."[13]

 

Beranjak dari perseteruan tersebut, dimana Ali bin Abu Thalib ra. tetap memikirkan solusi atas sikap Muawiyah bin Abu Sufyan ra, Ali mendapatkan kabar tentang keluarnya Thalhah bin Ubaidillah ra, dan Az-Zubair bin al-‘Awwam ra. beserta ‘Aisyah ra. menuju Basrah karena mendengar kabar mengenai terbunuhnya Ustman dan kabar tentang berkumpulnya warga Madinah untuk membai’at Ali sebagai Khalifah. atas alasan ini Aisyah ra. sangat marah dan mengecam keras tragedi yang terjadi dan berargumen bahwa Ustman dibunuh secara zalim lalu menyangka bahwa penduduk Madina termasuk didalamnya Ali telah melalaikan penjagaan dan perlindungan terhadap sang Khalifah.[14]

Mengetahui akan kemarahan Aisyah ra. dan bersepakatnya Thalhah dan Zubair atassikap Aisyah, Ali pun mengambil langkah untuk merundingkan masalah tersebut agar tidak terjadi kesalahpahaman. Ali memahami keinginan para sahabat tentang kasus terbunuhnya Ustman kemudian Ali menjelaskan bahwa ia tidak bertanggungjawab atas terbunuhnya Ustman. Justru situasi saat itu mengharuskan Ali untuk dibai’at supaya legalitas kuat didapatkannya untuk mengqishas orang-orang melakukan konspirasi politik dan membunuh Ustman.

Uraian diatas menjelaskan bahwa seluruh sahabat harus berpijak pada kebenaran.Mereka semua berijtihad sesuai dengan kemampuan mereka masing-masing serta sangat ingin mendamaikan kaum muslimin.Akan tetapi situasi itu kemudian menjadi kesempatan besar pihak-pihak yang ingin mengeruhkan situasi yang sebenarnya dapat berujung dengan kedamaian.

Abdullah bin Saba’ adalah tokoh utama dan pemimpin gerakan konspirasi politik atau penyulut api fitnah ditubuh kaum muslimin. Mengetahui akan dilakukannya perdamaian antara Ali di satu pihak, serta Thalhah, Zubair dan Aisyah di pihak lain akan menghentikan sepak terjang mereka yang berakhir pada penjatuhan hukuman qishash.[15]

Pada dasarnya antara kubu  Aisyah ra, Thalhah, dan Zubair dengan kubu Ali bin Abi Thalib ingin melakukan perjanjian damai, namun ternyata hal tersebut berujung pada peperangan akibat fitnah yang ditebarkan pengikut Abdullah bin Saba’ kepada kaum muslimin sebelum perjanjian damai dilakukan, dimana orang-orang munafik ini menyusup ketengah-tengah kaum muslimin untuk memprovokasi yang mengandung syubhat agar kaum muslimin tidak melakukan musyawarah dan akhirnya bercerai berai.

Sengitnya tragedi perang jamal benar-benar menyisakan penyesalan yang mendalam di hati  Amirul Mukminin, karena kaum muslimin bukannya membunuh pembunuh Ustman melainkan saudara mereka sendiri. Thalhah dan Zubair ra tewas terbunuh ditangan para pengikut Abdullah bin Saba’.

2.      Perang Siffin

Keputusan Muawiyah ra.telahbulat, beliau tidak ingin berbai’at dengan Ali bin Abi Thalib ra. sebelum pembunuh Ustman di qisash. Upaya-upaya terus dikerahkan dalam membujuk Muawiyah namun hasilnya tetap sama dan akhirnya tak ada jalan keluar selain perang.

Pada awal bulan Shafar tahun 37 H angin peperangan telah berhembus dan memadamkan cahaya akal dan kebijaksanaan, peperangan terdahsyat itu lagi-lagi menyisakkan ribuan mayat kaum muslimin.Diperkirakan kurang lebih 90.000 pasukan yang berperang dari kedua belah pihak.

Ketika kemenangan sudah dekat, Muawiyah dan pasukan mengangkat Mushaf-mushaf (Al-Qur’an) sambil menyerukan untuk menjadikan Kitabullah sebagai hakim.Disamping itu Ali menanggapi bahwa itu adalah siasat perang dan sekedar ucapan belaka dalam menyerukan tahkim.

Kaum munafik tidak tinggal diam atas peristiwa ini, seperti pada perang Jamal, mereka kembali menyusup dan menebarkan fitnah bahkan sampai mengancam Amirul Mukmini untuk menyetujui seruan pasukan Muawiyah mengenai usulan tahkim. Lama kemudian dengan paksaan tersebut Ali pun menyetujui, dan mengutusAbu Musa Al-Asy’ari sebagai wakil untuk bertahkim, sedangkan dari pasukan Muawiyah adalah Amr bin Al- ‘Ash.[16]

 

3.      Peristiwa Tahkim

Seruan untuk tahkim kepada Kitabullah tanpa syarat harus menyerahkan pembunuh Ustman kepada Muawiyah.Diterimanya seruan tahkim juga mensyaratkan kepada Muawiyah untuk taat dan berbai’at kepada Ali.Perang siffin telah membuat semuanya menjadi berkembang semua orang bersepakat menghentikan perang yang telah memakan banyak nyawa kaum muslimin.Mereka bersepakat bahwa menjaga kehormatan darah kaum muslimin lebih penting.Demikian pula hanya dengan menjaga harga diri umat dan meningkatkan kekuatan dihadapan musuh lebih utama daripada melanjutkan pertempuran.[17]

Amirul Mukminin Ali bin Abu Thalib telah menerima usulan untuk menghentikan peperangan di Siffin. Beliau rela menerima tahkim danbersedia kembali ke Kuffah.Kedua belah pihak bersepakat bahwa perselisihan yang terjadi harus dikembalikan kepada umat dan ahli syura.

Diantara faktor penyebab kedua belah pihak besepakat untuk bertahkim ialah:

a.       Tahkim adalah usaha paling terakhir yang diupayakan untuk mengentikan pertempuran dan melindungi tumpahnya darah kaum muslimin.

b.      Korban yang bergelimpangan, banyaknya darah yang mengalir, kekhawatiran akan kepunahan menjadi alasan yang sangat dipertimbangkan.

c.       Perang yang terlalu lama menimbulkan rasa jenuh dan bosan.

d.      Respon yang menyerukan perdamaian. Allah berfirman,

 

$pkšr'¯»tƒtûïÏ%©!$#(#þqãYtB#uä(#qãèÏÛr&©!$#(#qãèÏÛr&urtAqߧ9$#Í<'ré&ur͐öDF{$#óOä3ZÏB(bÎ*sù÷Läêôãt»uZs?Îû&äóÓx«çnrŠãsùn<Î)«!$#ÉAqߧ9$#urbÎ)÷LäêYä.tbqãZÏB÷sè?«!$$Î/ÏQöquø9$#ur̍ÅzFy$#4y7Ï9ºsŒ×Žöyzß`|¡ômr&ur¸xƒÍrù's?ÇÎÒÈ

 

Terjemahnya: “Wahai orang-orang yang berimana taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan Ulil Amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-qur’an) dan Rasul (Sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.”( QS. An-Nisaa’: 59)[18]

 

Dalam permasalahan ini, kelompok Ali bin abi Thalib lebih dekat pada kebenaran, sedangkan Muawiyah bin Abu Sufyan sebagai seorang mujtahid yang keliru dalam ijtihadnya, namun insya Allah tetaplah beliau mendapat pahala dari ijtihadnya itu.[19]Rangkaian peristiwa tersebut menampilkan opini penulis bahwa apa yang telah terjadi sebelum dan sesudah peperangan adalah sesuatu yang memang diluar keinginan para Sahabat. Mereka tidak lain hanya menginginkan kedamaian dan stabilitas pemerintahan berjalan dengan baik.Mereka pun tetap dalam keimanan yang hakiki.

Pendapat Pemakalah tentang  sosok Ali bin Abu Thalib ra.

Ali bin Abu Thalib adalah seorang sahabat yang menyatakan keislamannya diusia yang terbilang sangat belia. Masa hidupnya ia hibahkan untuk membela agama Allah dengan mengikuti berbagai peperangan hebat melawan kaum kafir serta berdakwah bersama Rasulullah dan para Sahabatnya. Ia juga dikenal seorang ulama fikih, ahli perang yang pemberani, negarawan dan memiliki pribadi  yang zuhud.

            Dalam pandangan pemakalah, Seorang Ali bin Abu Thalib adalah salah satu pemeran penting dalam perjalanan islam sejak masa Rasulullah saw hingga saat ini. Banyak hal yang harus diteladani dari diri beliau.Jejak-jejak perjuangan, rintisan-rintisan keilmuan maupun pemerintahan berpengaruh dari masa ke masa. Patutlah kita sebagai kaum intelektual islam menaruh perhatian lebih kepada sosok ini, terutama perannya sebagai seorang ulama, yang mampu membawa perubahan yang baik bagi kehidupan islam.Begitu pula dari segi pemerintahan dan kepemimpinan, meskipun penuh dengan berbagai konflik, tetapi beliau selalu bersikap adil dan teguh serta mengandalkan pertolongan Allah dalam menghadapi kecaman-kecaman di era kepemimpinannya.

 

BAB III

PENUTUP

A.    Kesimpulan

Berdasarkan pemaparan dari pembahasan sebelumnya, maka penulis dapat menarik kesimpulan, yaitu:

1.      Ali bin Abu Thalib dari keturunan Bani Hasyim sepupu sekaligus menantu Rasulullah saw. Rasulullah saw senang memanggilnya dengan Abu Turab dan Abu hasan, salah satu dari sahabat yang dijamin masuk syurga. Seorang ulama yang cerdas, terkenal dengan kezuhudan dan kewara’annya, dermawan dan murah hati, adil dan tidak pilih kasih. Sahabat yang selalu berada dalam barisan terdepan disetiap peperangan yang diikuti.

2.      Pemilihan Ali sebagai khalifah memang tidak semulus seperti pemilihan para khalifah sebelumnya. Namun itu tidak menjadi masalah. Yang terpenting, Ali ra. sangat  teguh dalam menerapkan syariat islam terkhusus dalam masalah hukum peradilan dan fikih, menjunjung tinggi asas musyawarah serta yang menjadi rujukan utama pemerintahannya adalah Al-qur’an. Selain itu beliau tak segan-segan membunuh orang yang murtad.

3.      Peristiwa tahkim terjadi berawal atas perbedaan argumentasi antara pihak Ali bin Abu Thalib dan Muawiyah bin Abu Sufyan, mereka tetap bertahan antara pembai’atan dan hukum qishash bagi pembunuh Ustaman bin Affan ra. Akhirnya berujung pada peperangan dalam waktu yang lama, perseturan kedua pihak dimanfaatkan oleh Abdullah bin Saba’ dan pengikutnya untuk menyelut api fitnah bagi keduanya. Namun pada akhirnya kedua belah pihak bersepakat atas kemaslahatan umat untuk melakukantahkim (arbitrase), maka berakhirlah perang Siffin tanpa adanyapihak yang menang maupun yang kalah.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

DAFTAR PUSTAKA

 

Ahmad ‘Isa, Muhammad, Al-Asyrah Al-Mubasysyaruuna Bil Jannah, terj. Kurnianto Fajar, Sepuluh Sahabat Nabi Dijamin Masuk Surga, (Cet.I;Jakarta:Pustaka Imam Asy-Syafi’i, 2011)

 

As-Suyuthi, Tarikh Al-Khulafa’.Terj. Samson Rahman, Tarikh Khulafa’ (Cet. IX; Jakarta: Pustaka Al-Kautsar,2000)

 

Departemen Agama RI, Al-Qur’an  Tajwid dan Terjemahannya, Jakarta Timur: Maghfirah Pustaka

 

Hasan Ibrahim hasan, Tarikh Al Islam As Siyasi Wa Ats Tsaqafi Wa Al Ijtima I, terj. Bahauddin, A, Sejarah dan Kebudayaan Islam

 

Muhammad Ash-Shalabi, Ali, ﺓﻋﺼﺮﻭﺸﺧﺼﯾﺘﻪﻠﺏﻃﺎﺃﺑﻲﺑﻦﻋﻠﻲﻤﻨﯾﻦﺍﻠﻤﺆﺃﻤﯾﺭﺓﯿﺭ, , terj. Muslich Taman, Akmal Burhanuddin, dan Ahmad Yaman, Biografi Ali bin Abi Thalib, (Cet. I; Jakarta Timur: Putaka Al-Kautsar,2012)

 

Musnad Imam Ahmad

 

Shahih Bukhari

 



 

 



                [1]Ali Muhammad Ash-Shalabi, ﺓﻋﺼﺮﻭﺸﺧﺼﯾﺘﻪﻠﺏﻃﺎﺃﺑﻲﺑﻦﻋﻠﻲﻤﻨﯾﻦﺍﻠﻤﺆﺃﻤﯾﺭﺓﯿﺭ, , terj. Muslich Taman, Akmal Burhanuddin, dan Ahmad Yaman, Biografi Ali bin Abi Thalib, (Cet. I; Jakarta Timur: Putaka Al-Kautsar,2012) , h.13

 

                [2]Muhammad Ahmad ‘Isa, Al-Asyrah Al-Mubasysyaruuna Bil Jannah, terj. Kurnianto Fajar, Sepuluh Sahabat Nabi Dijamin Masuk Surga, (Cet.I;Jakarta:Pustaka Imam Asy-Syafi’i, 2011) h. 279

 

            [3]As-Suyuthi, Tarikh Al-Khulafa’.Terj. Samson Rahman, Tarikh Khulafa’ (Cet. IX; Jakarta: Pustaka Al-Kautsar,2000), h.199

 

            [4]Hasan Ibrahim hasan, Tarikh Al Islam As Siyasi Wa Ats Tsaqafi Wa Al Ijtima I, terj. Bahauddin, A, Sejarah dan Kebudayaan Islam, h.506

 

            [5]As-Suyuthi, Tarikh Al-Khulafa’.Terj. Samson Rahman, Tarikh Khulafa’ h.194

 

            [6]Kitab Shahih Bukhari, Bab:Pertempuran Khaibar,No. Hadist : 3887

 

            [7]As-Suyuthi, Tarikh Al-Khulafa’.Terj. Samson Rahman, Tarikh Khulafa’  h.194

            [8]Hasan Ibrahim hasan, Tarikh Al Islam As Siyasi Wa Ats Tsaqafi Wa Al Ijtima I, terj. Bahauddin, A, Sejarah dan Kebudayaan Islam, h.507

            [9]Hasan Ibrahim hasan, Tarikh Al Islam As Siyasi Wa Ats Tsaqafi Wa Al Ijtima I, terj. Bahauddin, A, Sejarah dan Kebudayaan Islam, h.508

 

            [10]Muhammad Ahmad ‘Isa, Al-Asyrah Al-Mubasysyaruuna Bil Jannah, terj. Kurnianto Fajar, Sepuluh Sahabat Nabi Dijamin Masuk Surga, h. 286

            [11]Ali Muhammad Ash-Shalabi, ﺓﻋﺼﺮﻭﺸﺧﺼﯾﺘﻪﻠﺏﻃﺎﺃﺑﻲﺑﻦﻋﻠﻲﻤﻨﯾﻦﺍﻠﻤﺆﺃﻤﯾﺭﺓﯿﺭ, , terj. Muslich Taman, Akmal Burhanuddin, dan Ahmad Yaman, Biografi Ali bin Abi Thalib, h.363

            [12]Muhammad Ahmad ‘Isa, Al-Asyrah Al-Mubasysyaruuna Bil Jannah, terj. Kurnianto Fajar, Sepuluh Sahabat Nabi Dijamin Masuk Surga, h.288-289

            [13]Kitab Musnad Ahmad, Bab: Sisa Hadits 'Amru bin Al 'Ash dari Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam, No. Hadist : 17148

 

     [14]Muhammad Ahmad ‘Isa, Al-Asyrah Al-Mubasysyaruuna Bil Jannah, terj. Kurnianto Fajar, Sepuluh Sahabat Nabi Dijamin Masuk Surga, h.289

            [15]Muhammad Ahmad ‘Isa, Al-Asyrah Al-Mubasysyaruuna Bil Jannah, terj. Kurnianto Fajar, Sepuluh Sahabat Nabi Dijamin Masuk Surga, h.295

            [16]Muhammad Ahmad ‘Isa, Al-Asyrah Al-Mubasysyaruuna Bil Jannah, terj. Kurnianto Fajar, Sepuluh Sahabat Nabi Dijamin Masuk Surga, h.309

 

            [17]Ali Muhammad Ash-Shalabi, ﺓﻋﺼﺮﻭﺸﺧﺼﯾﺘﻪﻠﺏﻃﺎﺃﺑﻲﺑﻦﻋﻠﻲﻤﻨﯾﻦﺍﻠﻤﺆﺃﻤﯾﺭﺓﯿﺭ, , terj. Mulich Taman, Akmal Burhanuddin, dan Ahmad Yaman, Biografi Ali bin Abi Thalib, h.647-649

            [18]Departemen Agama RI, Al-Qur’an  Tajwid dan Terjemahannya, Jakarta Timur: Maghfirah Pustaka h.87

 

            [19]Ali Muhammad Ash-Shalabi, ﺓﻋﺼﺮﻭﺸﺧﺼﯾﺘﻪﻠﺏﻃﺎﺃﺑﻲﺑﻦﻋﻠﻲﻤﻨﯾﻦﺍﻠﻤﺆﺃﻤﯾﺭﺓﯿﺭ, , terj. Muslich Taman, Akmal Burhanuddin, dan Ahmad Yaman, Biografi Ali bin Abi Thalib, h.691

 

No comments:

Makalah: Mahabbah, Makrifah

BAB I PENDAHULUAN   A.      Latar Belakang Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi membawa manusia larut dan terbuai dalam din...