Monday, January 15, 2018

Pengelolaan Kelas



RESUME

PENGELOLAAN KELAS


Oleh :
§  Asrul Rahman
§  Andi Iskandar


Diresume dari Buku :
Jhon W. Santrock
(Psikologi Pendidikan, Ed. II; Cet. V; Jakarta : Kencana, 2013 h. 553-582)

A.  Mengapa Kelas Harus Dikelola secara Efektif ?
Mengelola kelas (manajemen kelas) yang efektif memiliki dua tujuan utama, yaitu :
1.      Membantu murid menghabiskan lebih banyak waktu untuk belajar dan lebih sedikit waktu untuk aktivitas yang tidak mengarah pada tujuan.
2.      Mencegah murid mengembangkan masalah akademis dan emosional.
Pandangan lama menekankan pada penciptaan dan pengaplikasian aturan untuk mengontrol tindak tanduk murid. Pandangan yang baru memfokuskan pada kebutuhan murid untuk mengembangkan hubungan dan kesempatan untuk menata diri (Kennedy, dkk, 2001). Manajemen kelas yang mengorientasikan murid pada sikap pasif dan patuh pada aturan ketat dapat melemahkan keterlibatan murid dalam pembelajaran aktif, pemikiran, dan konstruksi pengetahuan sosial (Charles & Senter, 2002). Tren untuk menjadi mau lebih berdisiplin diri dan tidak terlalu menekankan pada kontrol eksternal pada diri murid (Freiberg, 1999). Secara historis, dalam manajemen kelas, guru dianggap sebagai pengatur. Dalam tren yang lebih menekankan pada pelajar, guru lebih dianggap sebagai pemandu, koordinator, dan fasilitator (Freiberg 1999; Kauffman, dkk, 2002).
Model manajemen kelas yang baru bukan mengarah pada mode permisif. Penekanan pada perhatian dan regulasi diri murid bukan berarti guru tidak bertanggung jawab atas apa yang terjadi di kelas (Emmer & Stough, 2001).
1.        Isu Manajemen pada Kelas-kelas di Sekolah Dasar dan Sekolah Menengah
Guru di sekolah dasar (SD) menghadapi tantangan untuk mengatur 20-25 anak yang sama sepanjang hari, sedangkan di sekolah menengah, guru mengatur 20-25 remaja selama kurang lebih 50 menit setiap hari. Dibandingkan dengan murid sekolah menengah, murid SD menghabiskan lebih banyak waktu dengan murid yang sama dalam satu ruang kelas yang kecil dan keharusan untuk berinteraksi dengan orang-orang yang sama sepanjang hari yang kelamaan dapat menumbuhkan perasaan bosan. Namun, dengan 100-150 murid, guru sekolah menengah dihadapkan pada masalah dalam membangun hubungan personal dengan para murid karena mereka menghabiskan lebih sedikit waktu untuk menemui murid di dalam kelas. Guru sekolah menengah juga harus membuat pelajaran kelas bergerak cepat dan mengatur waktu dengan efektif karena periode kelas sangatlah singkat. Selain itu, murid menengah berpotensi tidak mau patuh terkait masalah kedisiplinan.
2.        Kelas yang Besar, Kompleks, dan Berpotensi Menimbulkan Kekacauan
Walter Doyle (1986) mendiskripsikan enam karakteristik yang merefleksikan kompleksitas dan potensi problemnya :
1.    Ruang kelas itu multidimensional. Ruang kelas adalah tempat untuk banyak aktivitas akademik (membaca, menulis) dan aktivitas sosial (permainan, berkomunikasi dengan teman, berargumentasi).
2.    Aktivitas terjadi secara simultan (bersamaan). Sekumpulan murid menulis di meja mereka, kumpulan murid yang lain mendiskusikan sebuah kisah bersama guru.
3.    Hal-hal terjadi dengan cepat. Dua murid tiba-tiba berdebat tentang kepemilikan buku catatan, seorang murid mengeluhkan bahwa murid lain menyalin jawabannya.
4.    Kejadian seringkali tidak dapat diprediksi. Alarm kebakaran mati, komputer tidak berfungsi, ada pertemuan yang tidak diumumkan sebelumnya.
5.    Hanya ada sedikit privasi. Sebagian besar dari apa yang terjadi pada seorang murid diobservasi oleh murid lain, di lain pihak mereka mungkin merasa bahwa guru bersikap tidak adil dalam cara mendisiplinkan seorang murid.
6.    Kelas punya sejarah. Murid punya kenangan tentang apa yang terjadi di kelas pada waktu terdahulu. Mereka mengingat bagaimana guru menangani masalah kedisiplinan sebelumnya, apakah guru bertindak sesuai janjinya.
3.        Memulai dengan benar
Kunci memulai kompleksitas kelas adalah dengan menggunakan beberapa hari pertama dan beberapa minggu pertama dengan baik. Waktu tersebut digunakan untuk :
1.    Menyampaikan aturan dan prosedur yang Anda gunakan kepada kelas dan mengajak murid bekerjasama untuk mematuhinya.
2.    Mengajak murid terlibat aktif dalam semua aktivitas pembelajaran.
B.       Penekanan pada Instruksi dan Suasana Kelas yang Positif
Publik mengatakan bahwa kurangnya disiplin merupakan masalah nomor satu di sekolah, tapi psikologi pendidikan lebih menekankan cara mengembangkan dan mempertahankan lingkungan kelas yang positif untuk mendukung pembelajaran (Evertson, Emmer, & Worsham, 2003). Murid sebagai pelajar aktif yang terlibat dalam tugas-tugas berarti, berpikir secara reflektif dan proaktif, serta sering berinteraksi dengan murid lain dalam pengalaman belajar yang kolaboratif.
Menurut sejarah, kelas yang dikelola secara efektif dideskripsikan sebagai “mesin yang diminyaki dengan baik”, tetapi metafora yang lebih sesuai adalah “aktivitas sarang lebah”. Ini tidak berarti bahwa kelas harus berisik dan kacau-balau. Malahan, murid harus belajar aktif dan terlibat dalam tugas yang membuat mereka termotivasi daripada tenang dan duduk pasif di kursi mereka. Seringkali mereka akan berinteraksi satu sama lain dan dengan guru mereka saat mereka membangun pengetahuan dan pemahamannya.
C.  Merancang Lingkungan Fisik Kelas
1.      Prinsip Penyusunan Kelas (Evertson, Emmer, & Worsham, 2003)
a.    Mengurangi hambatan di area macet (area kerja kelompok, meja guru, rak buku).
b.    Memastikan bahwa Anda bisa dengan mudah melihat semua murid.
c.    Membuat materi pengajaran yang sering digunakan dan persediaan murid menjadi mudah untuk diakses.
d.    Memastikan bahwa murid bisa dengan mudah mengobservasi presentasi seluruh kelas.
2.      Gaya Penyusunan Kelas (Crane, 2001; Fickes, 2001)
No.
Gaya Penyusunan Kelas
Keterangan
1.






Gaya Auditorium (auditorium style)
·       Murid duduk menghadap guru.
·       Mencegah kontak murid berhadap-hadapan.
·       Guru bebas bergerak kemanapun.
·       Biasa digunakan saat guru memberikan kuliah atau seseorang mengadakan presentasi untuk seluruh kelas.
2.




Gaya tatap muka (face-to-face style)
·      Murid duduk menghadap satu sama lain.
·      Gangguan dari murid lain akan lebih tinggi dalam susunan ini daripada dalam gaya auditorium

3.





Gaya off-site (off-site style)
·      Murid dalam jumlah kecil (3-4 orang).
·      Tidak duduk bersebelahan secara langsung.
·      Gaya ini menghasilkan lebih sedikit gangguan daripada gaya hadap-hadapan.
·      Efektif untuk aktivitas belajar yang kooperatif.
4.

Gaya seminar (seminar style)
·      Murid dalam jumlah besar (10 lebih) duduk dalam susunan sirkuler, empat persegi, atau bentuk U.
·      Sangat efektif saat guru menginginkan murid bicara satu sama lain atau berbincang dengan guru.
5.





Gaya kluster (cluster style)

·      Murid dalam jumlah kecil (4-8 orang) bekerja dalam kelompok kecil yang berdekatan.
·      Efektif untuk aktivitas belajar kolaboratif.

3.      Personalisasi Kelas
       Untuk mengubah ruang kelas agar mencerminkan karakteristik murid yang menggunakan ruang tersebut, tempellah foto, karya seni, proyek tertulis para murid, grafik yang menyebutkan hari ulang tahun serta ungkapan positif lain dari identitas murid.




D.       Menciptakan Lingkungan yang Positif untuk Pembelajaran
1.    Strategi Umum
a.    Menggunakan gaya otoritatif
Seperti orang tua yang otoritatif, guru yang otoritatif akan punya murid yang cenderung mandiri, tidak cepat puas, mau bekerja sama dengan teman, dan menunjukkan penghargaan diri yang tinggi. Strategi manajemen kelas otoritatif akan mendorong murid untuk menjadi pemikir yang independen dan pelaku yang independen tetapi strategi ini masih menggunakan sedikit monitoring murid. Guru yang otoritatif melibatkan murid dalam kerja sama give-and-take dan menunjukkan sikap perhatian kepada mereka. Guru yang otoritatif akan menjelaskan aturan dan regulasi, serta menentukan standar dengan masukan murid.
Gaya otoritatif bertentangan dengan strategi otoritarian dan permisif yang tidak efisien. Gaya manajemen kelas otoritarian adalah gaya yang restriktif dan punitif. Fokus utamanya adalah menjaga ketertiban di kelas, bukan pada pengajaran dan pembelajaran. Guru otoriter sangat mengekang dan mengontrol murid dan tidak banyak melakukan percakapan dengan mereka. Murid di kelas otoritarian ini cenderung pasif, mengekspresikan kekhawatiran tentang perbandingan sosial, dan memiliki ketrampilan komunikasi yang buruk.
Gaya manajemen kelas permisif memberi banyak otonomi pada murid tapi tidak memberi banyak dukungan untuk pengembangan keahlian pembelajaran atau pengelolaan perilaku mereka. Output yang dihasilkan yaitu murid memiliki ketrampilan akademis yang tidak memadahi dan pengendalian diri yang rendah.
b.    Mengelola Aktivitas Kelas Secara Efektif (Jacob Kounin, 1970)
a)      Menunjukkan seberapa jauh mereka “mengikuti”. Kounin menggunakan istilah “withitness” untuk mendeskripsikan strategi dimana murid senantiasa mengikuti apa yang terjadi. Guru seperti ini akan selalu memonitor murid secara reguler. Ini akan membuat mereka bisa mendeteksi perilaku yang salah sebelum perilaku itu lepas kendali. Guru yang tidak “mengikuti” perkembangan kemungkinan besar tidak akan melihat perilaku salah itu sebelum perilaku itu menguat dan menyebar.
b)      Atasi situasi tumpang tindih secara efektif. Contohnya ketika berjalan keliling ruangan dan memeriksa pekerjaan murid, matanya tetap mengawasi seluruh kelas.
c)      Menjaga kelancaran dan kontinuitas pelajaran. Manajer yang efektif akan menjaga aliran pelajaran tetap lancar, mempertahankan minat murid, dan menjaga murid agar tidak mudah terganggu. Guru sebaiknya jangan meninggalkan aktivitas yang sedang berjalan dengan alasan yang tidak jelas.
d)      Libatkan murid dalam aktivitas yang menantang. Aktivitas menantang yang dimaksud bukan aktivitas yang terlalu sulit. Murid sering bekerja secara independen ketimbang diawasi oleh guru.
2.    Membuat, Mengajarkan, serta Mempertahankan Aturan dan Prosedur
a.    Membedakan Aturan dan Prosedur
Peraturan maupun prosedur adalah pernyataan ekspektasi tentang perilaku (Evertson, Emma, & Worsham, 2003). Aturan fokus pada ekspektasi umum atau khusus atau standar perilaku. Contoh aturan umum yaitu “Hargai orang lain” sedangkan contoh aturan khusus yaitu “Dilarang mengunyah permen karet di kelas”.
Prosedur (routines) juga berisi ekspektasi tentang perilaku namun biasanya diterapkan untuk aktivitas spesifik dan digunakan untuk mencapai tujuan, bukan untuk melarang perilaku tertentu atau menciptakan standar umum. Contoh prosedur : untuk meninggalkan ruangan (ijin pergi ke kamar kecil), kembali ke ruangan (setelah jam makan siang), dan mengakhiri hari (setelah membersihkan meja).
Aturan cenderung tidak berubah karena mengatur dasar-dasar tindakan kita terhadap orang lain, diri kita sendiri, dan tugas; seperti menghormati orang tua, hak milik, dan tidak mengganggu orang lain. Di sisi pihak, prosedur mungkin berubah karena rutinitas dan aktivitas di kelas bisa berubah. Misalnya, dalam sebuah kelas, prosedur atau rutinitas menyatakan bahwa setelah murid masuk kelas mereka harus mengerjakan suatu soal. Akan tetapi, suatu hari guru mengubah prosedur ini dengan membolehkan murid mengawali harinya dengan menyelesaikan tugas seni yang belum mereka selesaikan.
b.    Mengajarkan Aturan dan Prosedur
Cara terbaik untuk membuat murid belajar tentang peraturan dan prosedur adalah dengan melibatkannya (diskusi) dalam menentukan peraturan dan prosedur tersebut. Hal ini akan mendorong mereka untuk memikul tanggung jawab lebih atas perilaku mereka sendiri (Emmer, Evertson, & Worsham, 2003).
Di beberapa sekolah, murid dimungkinkan untuk berpartisipasi dalam menentukan peraturan seluruh sekolah melalui perwakilan kelas dengan bimbingan guru dan pengurus sekolah. Namun di sekolah dasar, tidak biasa bagi murid untuk berpartisipasi dalam pembuatan peraturan, sehingga guru lebih memilih untuk menciptakan dan menyampaikan peraturan kepada mereka. Guru yang menentukan aturan yang masuk akal, memberi alasan yang jelas, dan menegakkannya secara konsisten biasanya akan dipatuhi oleh sebagian besar murid.
c.    Membuat Murid Bekerja Sama
1)   Mengembangkan hubungan yang positif dengan murid
2)   Membuat murid berbagi dan memikul tanggung jawab
3)   Memberikan hadiah terhadap perilaku yang tepat
E.   Menjadi Komunikator yang Baik
1.    Ketrampilan Berbicara
Menurut Florez (1999) strategi yang bagus untuk berbicara secara jelas dengan kelas, yaitu :
a.       Menggunakan tata bahasa dengan benar.
b.      Memilih kosakata yang bisa dimengerti dan sesuai untuk level murid.
c.       Menerapkan strategi guna meningkatkan kemampuan murid untuk memahami apa yang Anda katakan; seperti menekankan pada kata-kata kunci; mengulang penjelasan; atau memantau pemahaman murid.
d.      Berbicara dengan tempo yang tepat, tidak terlalu cepat dan tidak terlalu lambat.
e.       Tidak menyampaikan hal-hal yang kabur.
f.       Menggunakan perencanaan dan pemikiran logis sebagai dasar untuk berbicara secara jelas.
2.    Pesan “Kamu dan “Saya”
       Pesan “Kamu” menurut pakar komunikasi adalah sebuah gaya yang tidak disukai dimana pembicaraan tampak menghakimi orang dan menempatkannya dalam posisi defensif. “Kamu” tersirat ketika seseorang mengatakan :
a.       “Itu benar-benar perkataan bodoh” (artinya: Ucapanmu benar-benar bodoh)
b.      “Jauhi diriku” (artinya: Kamu mengganggu hidup saya)
Adalah mudah bagi Anda dan murid Anda terjebak dalam perangkap pesan “Kamu” dan kurang menggunakan pesan “Aku” atau “Saya”. Pesan “Saya” akan merefleksikan perasaan pembicara dan lebih baik ketimbang pernyataan “Kamu” yang mengandung nada menghakimi. Pakar komunikasi merekomendasikan agar Anda mengganti pesan “Kamu” menjadi pesan “Aku”.
Di bawah ini adalah beberapa contoh pesan “Aku” :Saya marah karena keadaan jadi buruk.
a.    Saya tidak suka kalau janji tidak ditepati.
b.    Saya sedih kalau perasaan saya tidak diperhatikan.
       Pesan “Kamu” sama seperti menghakimi lawan bicara. Pesan “Aku” membantu menggeser percakapan ke arah yang konstruktif dengan mengekspresikan perasaan Anda tanpa menghakimi orang lain.
       Selanjutnya, aspek lain dari komunikasi verbal yang melibatkan bagaimana orang-orang menghadapi konflik, bisa dilakukan dalam 4 gaya, yaitu:
1. Gaya agresif (agressive style)
·      Orang-orang ini bersikap kasar, menuntut, bertindak dalam cara yang bermusuhan, dan tidak peka terhadap perasaan orang lain.
2. Gaya manipulatif (manipulative style)
·      Orang-orang ini berusaha untuk mendapatkan apa yang ia inginkan dengan membuat orang lain merasa bersalah/menyesal untuk dirinya. Mereka tidak mau bertanggung jawab untuk memenuhi kebutuhannya sendiri, tetapi mereka memilih bertingkah sebagai korban agar orang lain melakukan sesuatu untuknya.
3. Gaya pasif (passive style)
·      Orang-orang ini tidak tegas dan pasrah. Mereka membiarkan orang lain “menindas” dirinya. Individu pasif ini tidak mengungkapkan perasaan mereka dan tidak membiarkan orang lain mengetahui apa yang mereka inginkan.

4. Gaya asertif (assertive style)
·      Orang-orang ini berani mengungkapkan perasaan, meminta apa yang mereka inginkan, dan berkata “tidak” untuk hal yang tidak mereka inginkan. Dari keempat gaya dalam menghadapi konflik, Robert Alberti dan Michael Emmons (1995) mengatakan bahwa ketegasan (assertiveness) bisa menciptakan hubungan yang positif dan konstruktif.
3.    Strategi untuk menjadi individu yang lebih asertif (Bourne, 1995)
a.    Mengevaluasi hak Anda. Tentukan hak Anda dalam situasi yang Anda hadapi. Misalnya, Anda berhak membuat kesalahan dan mengubah pikiran Anda.
b.    Kemukakanlah problem Anda dan konsekuensinya terhadap orang yang terlibat dalam konflik. Deskripsikan problem seobjektif mungkin tanpa menyalahkan atau menghakimi, misalnya: “Saya merasa terganggu kalau kalian ribut sendiri di kelas. Jadi tolong jangan ulangi lagi ya”.
c.    Ekspresikan perasaan Anda tentang situasi tertentu. Ketika Anda menyatakan perasaan Anda, bahkan orang yang tidak setuju dengan Anda sekalipun akan bisa mengerti perasaan Anda tentang situasi itu. Ingat, gunakan pesan “Aku” bukan pesan “Kamu”.
d.    Kemukakan permintaan Anda (ini adalah aspek penting dari sikap asertif).
4.    Rintangan untuk Komunikasi Verbal yang Efektif (Gordon, 1970)
a.    Kritik. Evaluasi ksar dan negatif terhadap orang lain biasanya akan mengurangi efektivitas komunikasi. Contoh kritik kasar: “Salahmu sendiri gagal dalam tes, seharusnya kamu belajar dahulu”. Ketimbang mengkritik seperti itu, lebih baik Anda meminta murid untuk mengevaluasi kenapa mereka mendapat nilai buruk dalam ujian dan bantu mereka sampai pada kesimpulan bahwa kegagalan mereka adalah karena kurang berusaha.
b.    Memberikan julukan dan pelabelan. Murid-murid biasanya menggunakan nama panggilan atau labeling. Mereka mungkin berkata pada murid lain “Dasar pecundang” atau “Bodoh Kamu”. Monitorlah penggunaan kata-kata hinaan tersebut, hentikan dan beritahu mereka agar menghargai perasaan orang lain.
c.    Menasihati. Yang dimaksud disini adalah Anda merendahkan orang lain lalu memberi nasihat solusi. Misalnya seorang guru berkata, “Soal itu gampang diselesaikan. Aku heran kenapa kalian begitu bodoh ...”
d.    Mengatur-atur. Memerintahkan orang lain untuk melakukan apa yang Anda mau bukanlah cara efektif karena menimbulkan resistensi. Misalnya guru berteriak, “Bersihkan tempat ini sekarang!” akankah lebih baik jika perintah ini diajukan dengan lembut dan tegas seperti, “Ingat aturan yang mengatakan agar kita membersihkan tempat setiap kita selesai mengerjakan tugas.”
e.    Ceramah moral (moralizing). Ini berarti mengkhotbah bagi seseorang tentang apa yang seharusnya dia lakukan. Misalnya guru berkata, “Kamu kan tahu seharusnya kamu menyerahkan PR tepat waktu. Kamu pasti merasa bersalah kan.” Cara ini akan menaikkan rasa bersalah dan kegelisahan murid. Cara yang lebih baik dalam kasus ini adalah tidak menggunakan kata “seharusnya/harus”, tetapi berbicaralah dengan cara yang tidak terlalu menyalahkan murid.
5.    Memberi Ceramah yang Efektif
       Anda bukan hanya akan berbicara di depan kelas setiap hari baik itu secara informal maupun formal, tetapi Anda juga akan berkesempatan memberikan ceramah di dalam pertemuan pendidikan atau komunitas. Berikut ini pedoman memberikan pidato yang efektif (Alverno College, 1995) :
a.    Jalin hubungan dengan audien.        
b.    Kemukakan tujuan Anda.                                         
c.    Sampaikan ceramah secara efektif.                          
d.    Ikuti konvensi yang sesuai.
e.    Tata ceramah dengan rapi.
f.     Masukkan bukti pendukung dan kembangkan ceramah Anda.
g.    Gunakan media secara efektif.
6.    Ketrampilan Mendengarkan
       Pendengar yang baik mendengarkan secara aktif yang berarti memberikan perhatian penuh kepada pembicara, berfokus pada isi intelektual dan emosional dari pesan. Dibawah ini adalah stategi untuk mengembangkan ketrampilan mendengarkan (Santrock & Halonen, 2002) :
a.    Beri perhatian cermat kepada orang yang sedang berbicara. Ini akan menunjukkan bahwa Anda tertarik pada apa yang dia katakan. Jangan lupa untuk mempertahankan kontak mata.
b.    Parafrasa. Gunakan parafrasa ketika seseorang berkata sesuatu yang penting. Nyatakan apa yang baru saja orang lain katakan dengan kalimat Anda sendiri, misalnya “Apakah maksudmu itu berarti bahwa ...”
c.    Sintesiskan tema dan pola. Situasi percakapan dapat menjadi penuh dengan kepingan informasi yang kedengarannya tidak saling berhubungan dan membentuk makna. Pendengar aktif yang baik akan meringkas tema, contoh kalimat yang dapat Anda gunakan,  “Mari kita tinjau kembali apa yang sudah kita bicarakan sampai titik ini ...”
d.    Berikan umpan balik (tanggapan) dengan cara yang kompeten. Tanggapan verbal maupun nonverbal membuat pembicara sedikit mengerti seberapa jauh pesannya sampai sasaran. Pendengar yang baik akan memberikan tanggapan secara cepat, jujur, jelas, dan informatif.
7.    Berkomunikasi Secara Nonverbal
Berikut ini contoh perilaku umum yang dilakukan orang untuk berkomunikasi secara nonverbal :
a.    Mengangkat alis sebagai tanda tak percaya.         
b.    Mengedipkan mata sebagai tanda persetujuan.    
c.    Mengangkat bahu sebagai tanda tak peduli.         
d.    Bersedekap untuk melindungi diri.
e.    Menepuk dahi sebagai tanda lupa.
f.     Mengetukkan jari sebagai tanda tak sabar.
        Para ahli mengatakan bahwa komunikasi yang paling intrapersonal adalah komunikasi nonverbal. Contohnya saat murid sedang menatap jendela dengan tatapan kosong mungkin mengindikasikan bahwa ia sedang bosan. Sulit untuk menutup-nutupi komunikasi nonverbal dan karenanya Anda sebaiknya menyadari bahwa komunikasi non-verbal dapat menyampaikan apa yang Anda atau orang lain rasakan. Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam komunikasi non-verbal :
a.         Ekspresi wajah dan komunikasi mata. Wajah seseorang mengungkapkan emosi dan perhatian mereka. Senyum, merengut, tatapan kebingungan, semuanya merupakan bentuk komunikasi. Kebanyakan orang Amerika menggunakan kontak mata. Semakin banyak menggunakan kontak mata, berarti orang semakin menyukai satu sama lain. Akan tetapi, ada perbedaan kontak mata berdasarkan etnis. Orang-orang dari Afrika-Amerika, Latino, dan Indian lebih sering menghindari kontak mata. Secara umum, senyum dan mempertahankan kontak mata dengan murid Anda, menunjukkan Anda menyukai mereka.
b.        Sentuhan. Menyentuh dapat menjadi bentuk komunikasi yang kuat. Menyentuh terutama dapat dipakai untuk menghibur seseorang yang mengalami stress (pengalaman buruk), misalnya, jika seorang tua murid sakit atau meninggal, atau murid kehilangan binatang kesayangan, maka sentuhlah dengan lembut dan berikan hiburan dengan kata-kata yang hangat. Akan tetapi, karena ada kekhawatiran adanya pelecehan seksual, Tiffani Field (1995), seorang direktur Touch Research Institute di Universitas Miami (Florida) dan seorang pakar psikologi perkembangan ternama berpendapat bahwa guru seharusnya menggunakan sentuhan secara tepat dan sopan dalam berinteraksi dengan murid.
c.         Ruang. Masing-masing dari kita memiliki ruang privat yang tidak boleh dimasuki orang lain. Karena kelas biasanya penuh, maka tidak mengejutkan jika murid mengatakan bahwa mereka bisa menyimpang barang esayangan mereka apabila mereka memiliki ruang sendiri. Jadi, pastikan agar semua murid punya bangku sendiri. Beritahu murid bahwa mereka berhak mendapat ruang individual tetapi mereka juga harus menghormati ruang pribadi orang lain.
d.        Diam. Bukan hal yang bijak untuk mendengar sesuatu dalam waktu yang lama tanpa memberi respon verbal. Komunikasi interpersonal seharusnya berupa dialog, bukan monolog.
F.   Menangani Perilaku Bermasalah
1.    Strategi Manajemen
Pakar manajemen kelas Carolyn Evertson dan rekannya (Evertson, Emmer, & Worsham, 2003) membedakan antara intevensi minor dan intevensi moderat dalam menangani perilaku bermasalah.
2.    Intervensi Minor
Masalah ini melibatkan perilaku yang bila tidak sering, biasanya tidak mengganggu aktivitas kelas dan pembelajaran. Contoh: murid mungkin ribut sendiri, meninggalkan tempat duduknya tanpa ijin, bercanda sendiri, dan makan permen di dalam kelas. Strategi untuk mengatasi intervensi minor :
a.    Gunakan isyarat nonverbal. Jalin kontak mata dengan murid. Kemudian beri isyarat dengan meletakkan telunjuk jari di bibir Anda, menggeleng kepala, atau menggunakan isyarat tangan untuk menghentikan perilaku tersebut.
b.    Terus lanjutkan aktivitas belajar. Terkadang transisi antar-aktivitas berlangsung terlalu lama; dalam situasi ini murid mungkin meninggalkan tempat duduknya, bercanda, dan mulai ribut. Strategi yang baik adalah memulai aktivitas baru dengan segera. Dengan membuat rencana harian yang efektif, Anda akan bisa menghilangkan transisi dan gap panjang dalam aktivitas ini.
c.    Dekati murid. Saat murid mulai bertindak menyimpang, Anda cukup mendekatinya, maka biasanya dia akan diam.
d.    Arahkan perilaku. Jika murid mengabaikan tugasnya, ingatkan mereka tentang kewajibannya itu. Anda bisa mengatakan, “Ingat, semua anak harus menyelesaikan soal matematika itu.”
e.    Beri instruksi yang dibutuhkan. Terkadang murid melakukan kesalahan kecil (kekeliruan) saat mereka tidak memahami cara mengerjakan suatu tugas. Untuk mengatasinya, Anda harus memantau pekerjaan murid dan memberi petunjuk jika dibutuhkan.
f.     Suruh murid berhenti dengan nada tegas dan langsung. Jalin kontak mata dengan murid, bersikaplah asertif, dan suruh murid menghentikan tindakannya. Buat pernyataan singkat, dan pantau situasi sampai murid patuh. Strategi ini bisa dikombinasikan dengan strategi mengarahkan murid.
g.    Beri murid pilihan. Beri tanggung jawab pada murid dengan mengatakan bahwa dia punya pilihan yakni bertindak benar atau menerima konsekuensi negatif. Misalnya Guru berkata, “Ingat, di kelas ini kalian tidak boleh makan permen. Jika kalian makan permen saat pelajaran, kalian tidak akan diperbolehkan membawa permen lagi.”
3.    Intervensi moderat
Ketika murid menyalahgunakan privilisenya, mengganggu aktivitas, cabut dari kelas, atau mengganggu pelajaran atau mengganggu pekerjaan murid lain. Strategi untuk mengatasi intervensi mayor :
a.    Jangan beri privilise atau aktivitas yang mereka inginkan. Anda biasanya akan bertemu dengan murid yang menyalahgunakan privilisenya, seperti diperbolehkan berjalan keliling kelas atau mengerjakan tugas dengan teman. Dalam kasus ini, Anda dapat mencabut privilise itu.
b.    Buat perjanjian behavioral. Perjanjian (contracting) adalah menempatkan kontingensi penguatan dalam tulisan. Jika muncul problem dan anak tidak bertindak sesuai harapan, guru dapat merujuk anak pada perjanjian yang mereka sepakati. Analis perilaku terapan mengatakan bahwa perjanjian kelas harus berisi masukan dari guru dan murid. Kontrak kelas mengandung pernyataan “Jika ... maka ...” dan ditandatangani oleh guru dan murid, serta diberi tanggal.
c.    Pisahkan atau keluarkan murid dari kelas. Strategi yang paling sering dipakai guru untuk menghilangkan stimuli yang diinginkan adalah time-out (disetrap). Dengan kata lain, jauhkan penguatan positif dari murid.
d.    Kenakan hukuman atau sanksi. Hukuman bisa berupa perintah mengerjakan tugas berkali-kali. Misalnya dalam pelajaran menulis, murid mungkin dihukum harus menulis halaman tambahan. Akan tetapi, masalah dalam penggunaan hukuman adalah hukuman itu dapat membahayakan sikap murid terhadap pokok persoalan.
4.    Menggunakan Sumber Daya Lain
a.    Mediasi teman sebaya. Teman seusia (peer) terkadang sangat efektif untuk mengajak murid-murid lain berperilaku tepat. Mediator teman sebaya bisa dilatih untuk membantu murid menyelesaikan pertikaian antarmurid dan untuk mengubah perilaku.
b.    Konferensi guru-orang tua. Anda juga bisa menelpon orang tua murid atau mengadakan rapat orang tua untuk problem tertentu. Cukup dengan memberi tahu orang tua, biasanya perilaku murid bisa berubah. Jangan menempatkan orang tua dalam posisi defensif atau menyalahkan mereka karena perilaku anaknya yang salah di sekolah. Cukup deskripsikan problem dan katakan bahwa Anda mengharapkan bantuan dari orang tua.
c.    Minta bantuan kepala sekolah atau konselor. Murid bisa dipertemukan dengan kepala sekolah atau konselor agar murid mendapat peringatan atau atau mungkin hukuman. Atau mungkin akan diadakan rapat dengan orang tua jika perlu. Biarkan kepala sekolah atau konselor menangani masalah sehingga Anda bisa menghemat waktu. Akan tetapi, bantuan ini tidak selalu praktis di banyak sekolah.
d.    Cari mentor. Beberapa murid, terutama dari keluarga miskin, tidak punya orang semacam itu. Seorang mentor dapat memberi dukungan yang mereka butuhkan untuk mengurangi perilaku bermasalah. Cari orang yang bisa menjadi mentor untuk murid yang beresiko bermasalah.
5.    Menangani agresi
Kekerasan di sekolah telah menjadi perhatian besar, misalnya: murid terlibat perkelahian, melecehkan murid lain, atau saling mengancam dengan kata bahkan senjata tajam. Perilaku ini bisa menimbulkan kecemasan dan kemarahan, tetapi adalah penting untuk bersiap menghadapi kemungkinan ini dengan tenang. Hindari debat atau konfrontasi penuh emosi agar Anda bisa memecahkan konflik dengan baik. Dibawah ini disajikan contoh-contoh agresi, yaitu :
a.    Perkelahian. Pakar manajemen kelas Carolyn Evertson dan rekannya (Evertson, Emmer, & Worsham, 2003) memberi rekomendasi untuk mengatasi murid yang berkelahi. Di SD, Anda biasanya menghentikan perkelahian tanpa risiko cedera pada diri Anda. Apabila karena suatu alasan Anda tidak bisa campur tangan, cari bantuan dari guru lain atau staf sekolah. Apabila Anda melakukan intervensi, beri perintah verbal dengan nada keras “Hentikan!” Pisahkan murid yang berkelahi dan suruh mereka kembali ke aktivitas semula. Akan tetapi jika Anda menengahi perkelahian anak SMP atau SMA, Anda mungkin butuh bantuan satu atau dua orang dewasa lainnya. Sekolah Anda mungkin punya kebijakan sendiri soal perkelahian ini. Jika ada, Anda harus menerapkan kebijakan itu dan melibatkan kepala sekolah dan atau orang tua murid jika diperlukan. Umumnya, adalah lebih baik mendinginkan pihak yang bertengkar sehingga mereka bisa tenang dahulu. Kemudian pertemukan kedua pihak yang berkelahi itu dan selidiki pendapat kedua pihak yang menyebabkan pertikaian. Tanyai saksi mata apabila perlu. Adakan pertemuan dengan pihak-pihak yang berkelahi, tekankan bahwa perkelahian adalah tindakan yang salah, dan tunjukkan pentingnya memahami pandangan orang lain dan arti penting dari kerja sama.
b.    Bullying. Dalam sebuah survey nasional, terdapat lebih dari 15.000 murid dari grade satu hingga sepuluh, hampir satu dari tiga murid mengatakan bahwa mereka pernah menjadi korban bullying (Nansel, dkk. 2001). Dalam studi ini, bullying didefinisikan sebagai tindakan verbal atau fisik yang dimaksudkan untuk mengganggu orang lain yang lebih lemah. Murid-murid Sekolah Menengah lebih sering mengalami hal ini. Mengejek tampang dan ucapan adalah bullying yang sering dipakai. Anak-anak yang dirinya dihina mengatakan bahwa mereka merasa kesepian, kesulitan menjalin persahabatan, depresi, kehilangan minat untuk masuk sekolah, atau tidak mau masuk sekolah; sedangkan anak-anak yang melakukan bullying kemungkinan adalah mereka yang berprestasi rendah atau suka merokok dan minum-minuman beralkohol.  Dalam studi longitudinal lainnya, bullying meningkat selama masa sekolah menengah pertama dan menurun pada masa sekolah menengah atas (Pellegrini & Long, 2011). Dalam studi ini, sasaran bullying adalah anak lelaki. Murid yang menjadi korban bullying dapat merasa tersiksa, baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang (Limber, 1997). Efek bullying di masa remaja awal dapat bertahan hingga dewasa.
c.    Pembangkangan atau Permusuhan terhadap guru. Edmund Emmer dan rekannya (Emmer, Evertson, & Worsham, 2003) mendiskusikan strategi untuk menghadapi murid yang membangkang atau memusuhi Anda. Jika murid dibiarkan berlaku seperti itu, kemungkinan kelakuannya akan berlanjut dan menyebar. Jika mungkin, tanganilah perilaku murid itu secara individual. Jika pembangkangannya tidak ekstrim dan terjadi dalam satu pelajaran, cobalah katakan bahwa Anda akan membahasnya nanti agar tidak terjadi perdebatan. Lalu, temui murid pada waktu yang tepat dan jelaskan konsekuensi dari tindakan pembangkangan itu. Dalam kasus yang ekstrim dan jarang, murid mungkin tidak mau bersikap kooperatif sama sekali. Maka Anda harus minta bantuan.
6.    Program Berbasis Kelas dan Sekolah
Program untuk mengatasi perilaku bermasalah menggunkan pendekatan pengayaan kompetensi sosial dan resolusi konflik (Coie & Dodge, 1998).
a.    Program pengayaan kompetensi sosial. Beberapa pakar pendidikan berpendapat bahwa perencanaan sekolah yang terkoordinasi. kurikulum, pengajaran bermutu tinggi, dan lingkungan sekolah yang suportif adalah hal-hal yang dibutuhkan untuk menangani murid yang bermasalah dalam perilakunya (Weissberg & Greenberg, 1998). Tipe program ini dimaksudkan untuk meningkatkan kompetensi sosial murid dengan meningkatkan keterampilan dalam menghadapi hidup dan mengembangkan keahlian sosioemosional. Periset telah menemukan bahwa program yang hanya berbasis informasi dan pengetahuan hanya akan memberi efek minimal pada perbaikan perilaku murid (Kirby, 1992). Sebaliknya, program yang mengajarkan kompetensi sosial dan personal yang luas terbukti bisa mengurangi perilaku yang bermasalah dan bahkan memperbaikinya (Greenberg, 1996; Weissberg, dkk., 1981). Program kompetensi itu mencakup kontrol diri, manajemen stres, pemecahan masalah, pembuatan keputusan, komunikasi, resistensi teman sebaya, dan asertivitas.
b.    Proyek peningkatan kesadaran sosial-pemecahan problem sosial. Program ini didesain untuk anak SD (Elias, dkk., 1991). Selama fase instruksional, guru menggunakan pelajaran tertulis untuk memperkenalkan aktivitas kelas. Pelajaran itu diberikan dalam format :
a) Berbagi kisah kesuksesan personal, situasi problem, dan perasaan yang ingin dibagi murid kepada guru dan teman-temannya.
b) Ulasan ringkas tentang keahlian kognitif, emosional, atau behavioral yang akan diajarkan selama sesi pelajaran.
c) Presentasi tulisan dan video situasi yang membutuhkan aplikasi keahlian.
d) Mendiskusikan situasi dan cara menggunakan keahlian baru.
e) Role-playing yang mendorong pelatihan keahlian behavioral.
f) Ringkasan dan ulasan.
Guru juga mengintegrasikan aktivitas penyadaran sosial dan pemecahan masalah ke dalam aktivitas kelas dan instruksi harian. Evaluasi menunjukkan bahwa program ini mampu membantu murid mengatasi situasi problem sehari-hari dan menguragi tindak kekerasan (Elias dkk., 1986).
c.    Program kompetensi sosial untuk remaja muda. Menurut Weissberg & Caplan (1994), program untuk anak SMP/SMA ini memberikan instruksi berbasis kelas dan membangun dukungan environmental yang di desain untuk:
a)  Mempromosikan kompetensi sosial dengan meningkatkan kontrol diri, pengelolaan stres, melibatkan dalam tanggung jawab pembuatan keputusan, pemecahan problem sosial, dan meningkatkan keahlian komunikasi.
b)  Meningkatkan komunikasi antara personil sekolah dengan murid.
c)  Mencegah perilaku antisosial dan agresif, pelecehan dan perilaku seksual. Evaluasi terhadap program ini cukup positif. Murid yang terlibat dalam program menunjukkan perilaku agresif yang lebih kecil, lebih punya banyak pertimbangan untuk memecahkan masalah, strategi manajemen stres yang lebih baik, dan lebih menghargai nilai-nilai sosial (Weissberg, Barton, & Shriver, 1997).
d.    Tiga C Manajemen Kelas dan Sekolah. David dan Roger Johnson (1999) menciptakan program ini untuk menekankan arti penting dari pemberian bimbingan pada murid untuk mempelajari cara mengatur perilaku mereka sendiri. Program tersebut adalah program C :
a)  Cooperative community (komunitas yang kooperatif). Komunitas pembelajaran akan mendapat manfaat jika partisipan punya interdependensi positif satu sama lain. Mereka bekerja untuk meraih tujuan bersama dengan melakukan aktivitas pembelajaran yang terstruktur dan kooperatif.
b) Constructive conflict resolution (resolusi konflik yang konstruktif). Ketika timbul konflik, konflik itu bisa dipecahkan secara konstruktif melalui training resolusi konflik untuk semua partisipan dalam komunitas pembelajaran.
c)  Civic values (nilai-nilai kewarganegaraan). Komunitas kooperatif dan resolusi konflik konstruktif hanya jika komunitas pembelajaran berbagi nilai-nilai civic yang sama, nilai yang menjadi pedoman pembuatan keputusan. Nilai-nilai ini mencakup keyakinan bahwa kesuksesan tergantung pada usaha bersama untuk meraih tujuan bersama dan saling menghargai.
e.    Dukungan untuk Pengelolaan Kelas Berpusat pada pembelajaran : Classroom Organization and Management Program (COMP). Program COMP yang dikembangkan oleh Carolyn Evertson dan Alene Harris (1999), mendukung kerangka manajemen kelas yang menekankan pembelajaran murid dan membimbing murid untuk bertanggung jawab atas keputusan mereka sendiri, perilaku mereka, dan pembelajaran mereka. COMP menekankan pencegahan problem, integrasi manajemen dan pengajaran, keterlibatan murid, dan kolaborasi profesional antar-guru. Program ini diimplementasikan melalui workshop training, aplikasi kelas, dan releksi kolaboratif. Riset telah menunjukkan bahwa COMP menghasilkan perubahan positif dalam perilaku guru dan murid (Evertson & Harris, 1999).

Makalah: Mahabbah, Makrifah

BAB I PENDAHULUAN   A.      Latar Belakang Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi membawa manusia larut dan terbuai dalam din...