Tuesday, October 31, 2017

Pulau Karamasang "Wisata Bahari Yang Mempesona"

Pulau Karamasang terletak di Lingkungan Binuang Binuang I Kel. Amassangan Kec. Binuang Kabupaten Polewali Mandar.

Pulau Karamasang merupakan salah satu tempat yang layak untuk dikunjungi bagi orang yang senang dengan keindahan wisata bahari.

    Hamparan Pasir Putih Yang Rindang dan menyejukkan memandang luasnya laut
  • Menikmati Keindahan Sunset


  •  Berendam di kesegaran Air Laut


  •  Menikmati Keindahan Puncak Bukit Karamasang

Konsep Zuhud Hasan al-Basri



BAB I
PENDAHULUAN
A.     Latar Belakang Masalah
Ilmu tasawuf mengalami perkembangan yang sangat pesat, berawal dari upaya meniru pola kehidupan Rosulluhan saw, baik sebelum menjadi Nabi dan terutama setelah beliau bertugas menjadi Nabi dan Rosul, perilaku dan Nabi Muhammadlah yang dijadikan suri tauladan utama bagi para sahabat yang kemudian berkembang menjadi doktrin yang bersifat konseptual. Tasawufpada masa Rosulluhan SAW adalah sifat umum yang terdapat pada hampir seluruh sahabt – sahabat Nabi tanpa terkecuali. Menurut catatan sejarah dari sahabat Nabi yang pertama sekali melembagakan tasawuf dengan cara mendirikan madrasah tasawufadalah Huzaifah bin Al-Yamani,[1] sedangkan Imam Sufi yang pertama dalam sejarah Islam adalah Hasan Al-Basri ( 21-110 H ) seorang ulama tabi'in, murid pertama dari Huzaifah bin Al-Yamani, beliau dianggap tokoh sentral dan yang paling pertama meletakkan dasar metodologi ilmu tasawuf. Hasan Al-Basri adalah orang yang pertama mempraktekkan, berbicara menguraikan maksud tasawuf sebagai pembuka jalan generasi berikutnya.
Hasan Basri selain dilihat dari sisi keilmuannya juga harus di gali sedalam mungkin perihal riwayat hidup, agar dapat dipahami begaimana faktor sosio-kultural, realitas sosial yang dihadapi dan secaa lagsung atau tidak langsung berpengaruh terhadap cara hidup dan berfikir seorang Hasan Basri.
B.     Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang penulisan diatas dapatlah dirumuskan sebagai berikut:
1.      Bagaimakah riwayat Hidup Hasan Basri?
2.      Bagaimanakah konsep Zuhud yang dikembangkan oleh Hasan Basri?
3.      Bagaimanakah perkembangan dan pengaruh konsep Zuhud?





DAFTAR ISI
Halaman Sampul……………………………………………………………………. i
BAB I PENDAHULUAN ………………………………………….………………. 1
  1. Latar Belakang ..……………………………………………………………. 1
  2. Rumusan Masalah.………………………………………………………….. 1
  3. Daftar isi……..……....……………………………………………………… 2
BAB II PEMBAHASAN ………………………………………………………….... 3
  1. Biografi Hasan al-Basri ……….……………..……………………………... 3
  2. Konsep Zuhud Hasan al-Basri ……………..…...……………...…………… 6
  3. Perkembangan konsep Zuhud Hasan al-Basri ..…………….……...……….. 8
BAB III KESIMPULAN DAN SARAN
  1. Kesimpulan ……………….………………………………………………… 10
  2. Saran ……………………….…………....………………………………......  10
DAFTAR PUSTAKA ………………………………….……………………............. 11














BAB II
PEMBAHASAN
A.    Biografi Hasan Basri
Nama lengkapnya Hasan Bin Abil Hasan Al Basri, ia dilahirkan di madinah pada tahun terakhir dari kekhalifaan  umar bin khattab  pada tahun 21 H. asal keluarganya berasal dari misan, suatu desa yang terletak antara basrah dan wasith. Kemudian mereka  pindah ke Madinah.
Ayah hasan Al- Basri adalah seorang budak milik  Zaid  bin Tsabit sedangkan ,ibunya juga seorang budak milik ummu salamah, istri Nabi muhmmad. Ummu salamah sering mengutus budaknya untuk suatu keperluannya, sehingga hasan seorang anak budaknya sering disusui oleh ummu salamah. Dikisahkan bahwa ummu salamah sebelum islam adalah seorang yang  paling sempurna akhlaknya dan pendiriannya sangat teguh, ia juga seorang perempuan yang sangat luas keilmuaannya diantara istri-istri Nabi.
Kemungkinan besar hasan basri menjadi ulama yang sangat populer dan sangat dihormati, dikarenakan atas Barakah susuan ummu salamah yang diberikan ketika Hasan Basri masih kecil.
Pada usia 12 tahun ia sudah hafal al-qur’an , saat usianya 14 tahun hasan bersama keluarganya pindah ke kota Basrah, irak. Semenjak  itulah ia dikenal dengan nama Hasan Basri, yaitu Hasan yang bertempat tinggal dikota Basrah. dikala itu basrah merupakan kota keilmuan yang pesat peradabannya, sehingga para Tabi’in yang singgah kesana untuk  memperdalam keilmuannya. Di basrah ia sangat aktif untuk mengikuti perkuliahannya, ia banyak belajar kepada Ibnu Abbas, dari Ibnu Abbas Ia memperdalam ilmu tafsir, ilmu hadist dan qira’at. Sedangkan ilmu fiqh, bahasa dan sastra didapatkan dari sahabat yang lain.

B.     Konsep Zuhud Hasan Al-Bashri
Hasan Al-Bashri adalah seorang sufi tabi'in, seorang yang sangat takwa, wara', dan zahid. Hasan Al-Bashri tumbuh dalam lingkungan yang saleh dan mendalam pengetahuan agamanya. Ia menerima hadis dari sebagian sahabat dan menyatakan bahwa kepada Ali ibn Abi Thalib r.a. diperlihatkan sebagian ilmu pengetahuan maka beliau pun begitu terpesona melihat pengetahuan itu.[2] Hasan al-Basri dapat rnenyaksikan peristiwa pemberontakan terhadap Usman bin Affan dan beberapa kejadian politis lainnya yang terjadi di madinah, yang memorak-morandakan umat Islam. Tanpa dihetahui secara pasti motifnya, beliau sekeluarga pindah ke Bashrah. Di kota ini,beliau membuka pengajian karena keprihatinannya melihat gaya hidup dan kehidupan masyarakat yang telah terpengaruh oleh duniawi sebagai salah satu ekses kemakmuran ekonomi yang dicapai negeri-negeri Islam pada masa itu. Gerakan itulah yang menjadikan Hasan Al-Bashri kelak menjadi orang yang sangat berperan dalam pertumbuhan kehidupan sufi Bashrah. Di antara ajarannya yang terpenting adalah al-zuhud serta al-khauf dan raja'. beliau dikenal sebagai pendiri madrasah zuhud di kota Bashrah.
Dalam perkembangan selanjutnya, Hasan Al-Bashri pun tidak luput dari pelegendaan yang diembuskan oleh kaum sufi. Mereka mengatakan bahwa Hasan Al-Bashri mengetahui rahasia-rahasia agama dan ilmu batin. walaupun dalam aktifitas sosialnya, Hasan Al-Bashri dikenal sebagai figur yang sangat halus hatinya, sangat peka dan mempunyai kepedulian sosial yang mendalam. Apabila beliau datang, beliau datang dengan penuh perasaan, dan apabila disebutkan neraka kepadanya, beliau merasa seakan neraka itu diciptakan hanya untuknya. beliau berkata, "sesungguhnya, sedih yang berkepanjangan di dunia ini menjadi cambuk untuk berbuat saleh.[3]
Ketika ditanya tentang rahasia kesedihannya, Hasan Al-Bashri menjawab, "Sungguh, bagi seorang mukmin, tidak ada jalan lain, kecuali harus bersedih, karena ia selalu berada di antara dua ketakutan, yakni dosa yang telah lalu dan perlakuan Allah kelak. Keduanya adalah "ajal" (saat) yang sudah pasti, tidak seorang pun tahu, musibah apa yang akan diterimanya dalam ajal itu.[4]  Jelaslah, kesedihan Hasan Al-Bashri sebagaimana tersebut, dimotivasi oleh kezuhudannya dan rasa takut (khauf) akan dosa serta mengharapkan (raja') ampunan Allah
atas segala dosa yang diperbuat.


Hasan Al-Bashri merupakan salah satu contoh tokoh tasawuf dalam mengekspresikan ajaran tasawufnya, yang dilandasi oleh aspek sosial-kultural lingkungannya, ketika terjadi krisis moralitas, terutama di kalangan penguasa. Hasan Al-Bashri merupakan sufi pertama penyeru gerakan moral tasawuf yang wujud melalui mega proyeknya zuhud, khauf, dan raja' yang lahir dari kekacauan suasana sosial politik pada zaman Dinasti Umayyah, yang sangat penting untuk dikaji.
Secara umum, ekspresi zuhud dan perjalanan spiritual Hasan Al-Bashri, tampaknya memperoleh infus atau motivasi dari tiga faktor. Infus ini kemudian memberikan gambaran tentang tipe gerakannya yang muncul.Pertama, karena corak kehidupan lyang  profan dan hidup kepelesiran yang diperagakan oleh umat Islam, terutama para pembesar negeri dan para hzartawan. Aspek ini, merupakan motivasi  yang  paling deras mendorong Hasan Al-Bashri untuk melakukan protes tersamar lewat pendalaman kehidupan spiritual (zuhud) dengan motivasi etika. Tampaknya, gerakan ini beliau orbitkan sebagai gerakan sektarian yang introversionis, pemisahan dari tren kehidupan, eksklusif dan tegas pendirian dalam upaya penyucian diri tanpa memedulikan alam sekitar. Kedua, timbulnya sikap apatis sebagai reaksi maksimal pada radikalisme kaum Khawarij dan polarisasi politik pada masa itu. menyebabkan Hasan Al-Bashri terpaksa mengambil sikap menjauhi kehidupan masyarakat ramai, kemudian menyepi dan sekaligus menghindari diri dari keterlibatan langsung dalam pertentangan politik, untuk mempertahankan kesalehan dan ketenangan rohaniah. Apabila diukur dari kriteria sosiologi, tampaknya gerakan Hasan Al-Bashri ini dapat dikategorikan sebagai gerakan "sempalan", satu gerakan yang sengaja mengambil sikap 'uzlah yang cenderung eksklusif dan kritis terhadap penguasa.
Dalam pandangan ini, kecenderungan memilih kehidupan rohaniah mistis, sepertinya merupakan pelarian, atau upaya mencari kompensasi untuk menang dalam perjuangan duniawi. Ketika di dunia yang penuh tipu daya ini sudah kering dari siraman cinta sesama, Hasan Al-Bashri mencoba membangun dunia baru, realitas baru yang terbebas dari kekejaman dan keserakahan, dunia spiritual yang penuh dengan salju cinta. Ketiga, adalah corak kodifikasi hukum Islam dan perumusan ilmu kalam yang rasional sehingga kurang bermotivasi etika yang menyebabkan kehilangan moralitasnya, menjadi semacam wahana tanpa isi atau semacam bentuk tanpa jiwa. Formalitas paham keagamaan dirasakan semakin kering dan menyesakkan ruhuddin yang menyebabkan terputusnya komunikasi langsung suasana keakraban personal antara hamba dan penciptaannya.Karena kondisi hukum dan teologi yang kering tanpa jiwa itu, karena dominannya posisi moral dalam agama, Hasan Al-Bashri tergugah untuk mencurahkan perhatian terhadap moralitas.[5]
Dari historis pengembaraan spiritual Hasan Al-Bashri, aspek social tasawufnya pada prinsipnya didasarkan atas nilai-nilai Islam sebagai landasannya yang diekspresikan dalam bentuk kezuhudannya. Tidak hanya terhadap hal-hal yang halal. Menurut Hasan Al-Bashri, zuhud terhadap perkara yang haram adalah suatu kewajiban, sementara zuhud terhadap perkara halal adalah suatu keutamaan. Zuhud pada masanya merupakan bentuk protes. Bentuk protes ini tidak sekadar lari dari realitas sosial yang dihadapi dengan menyendiri beribadah, tetapi juga gencar melakukan kritikan dan perbaikan kehidupan masyarakat, terutama ditujukan terhadap penguasa yang zalim.
Aktivitas Sosial Politik
Adanya beberapa pergolakan politik umat Islam pada masa awal itu, menjadi motif munculnya pemikiran zuhud dan gerahan zuhud. Pada mulanya, zuhud bermotifkan keagamaan semata, kemudian dimusuhi beberapa unsur luar. Gerakan ini semakin intensif pada masa pemerintahan bani Umayyah. Salah satu pendukungnya ialah ulama ahli hadis Hasan Al-Bashri.[6]  Pada masa Muawiyyah berkuasa (661-680) segalanya berubah. Putra dan pewaris Muawiyyah, Yazid (680-683) adalah pemabuk berat. Keadaan seperti ini mendorong orang-orang yang berpikir serba agama, di antaranya Hasan Al-Bashri untuk menarik diri dari masyarakat, yang nyata-nyata sedang melaju pada keruntuhan. Banyak orang yang pernah mengenal nabi terpaksa mengambil sikap ini, karena ngeri melihat kebejatan moralitas di kalangan atas. Karena yakin benar, mereka tak takut mencela terang-terangan dan mengancam bahwa hukuman dari Tuhan akan segera Menimpa.[7]  Berbeda dengan yang lain, pada masa Umar bin Abdul Aziz berkuasa (717 -720), ia mengadakan kerja sama dengan para ulama besar pada zamannya, seperti Hasan Al-Bashri (ahli hadis dan fiqih) dan Sulaiman Bin Umar. Dia berdialog dan meminta fatwa dari mereka tentang berbagai hebijaksanaannya, mengajak mereka untuk mengajar rakyat mengenai hukum syariat. Setia mengikuti perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya. Ia kemudian menerapkan hukum syariat secara serius dan sistematis. Dialah khalifah pertama dari dinasti Umayyah yang melakukan hal ini.[8][8] Hubungan Hasan Al-Bashri dengan penguasa (Umar bin Abdul Aziz) sangatlah baik. Hal ini dapat dilihat melalui surat yang ditujukan kepada umar bin Abdul Aziz, di antaranya isi surat tersebut adalah sebagai berikut.
Hati-hatilah terhadap dunia yang menipu dan menggiurkan ini. Ia akan membunuh pemikirnya dengan angan-angannya, dan membunuh lawan bicaranya. Ia bagaikan pengantin wanita yang menjadi perhatian semua pihak, semua pandangan tertuju padanya, dan semua asyik kepadanya, padahal hakikatnya adalah pembunuh suaminya.Yang kekal dengan yang sirna tak boleh disamakan,yang akhir tak boleh dipandang sama dengan yang awal. Berpalinglah dari pada dunia, dan tingalkanlah dia, karena di dalamnya sedikit yang menarik dan dapat dijadikan teman.

Secara historis dan kultural, Kota Bashrah memang telah dipengaruhi peradaban-peradaban besar, seperti Romawi, Yunani, dan Persia. Hal ini ditandai oleh perkembangan ilmu pengetahuan yang semakin meningkat dengan munculnya filsafat dan kalam dalam Islam, sebagai akibat kontak budaya dan pengetahuan dengan peradaban Yunani. Pada sisi lain, tingkat pertumbuhan ekonomi masyarakat semakin meningkat, menyebabkan umat Islam cenderung hidup bebas (hedonis) materialis, dan konsumtif.
Corak kehidupan yang profan dan hidup mewah yang diperagakan oleh umat Islam, terutama para pembesar negeri dan hartawan serta sikap hidup yang sekular dan glamour dari kelompok elite dinasti penguasa istana tersebut, merupakan dorongan deras atas sikap zuhud. Hasan Al-Bashri. Protes tersamar itu ia lakukan dengan gaya hidup murni etis, pendalaman kehidupan spiritual dengan motivasi etikal. Ia pernah berkata, “Jika Allah menghendaki seseorang itu baik, Dia mematikan keluarganya sehingga ia dapat leluasa dalam beribadah”.[9] Rabban ibn Amru Al-Qaisy pernah meriwayatkan bahwa dia pernah berkata:
“Seseorang tidak akan sampai ke tingkat siddiq, sehinga ia meningalkan istrinya bagaikan janda, dan anak-anaknya bagaikan anak yatim, dan bertempat tinggal di kandang anjing.[10]
Ucapan ini terkesan ekstrem, namun merupakan gambaran bahwa seseorang yang hidup zuhud harus meninggalkan mereka dan tidak terpengaruh oleh materi yang mengitarinya, seperti istri, anak, dan tempat tinggal. Hanya satu yang dipikirkan dan diinginkan, yaitu bertemu dan makrifat kepada Allah SWT. Sebagaimana dijelaskan sebelumnya, bahwa setting sosial pada kehidupan Hasan Al-Bashri, telah memengaruhi tradisi keilmuannya. Kejadian-kejadian yang, ia alami pada masa itu, membuatnya bangkit menjadi seorang zahid, yang selalu menyeru umat Islam untuk ber-takhalluk bi akhlaq Allah dan menjadikan syariat sebagai landasan pijak pengamalan ibadah.
Ditinjau dari upaya pendekatan diri dan pemahaman kepada Tuhan, dalam tradisi tasawuf terdapat dua metode, yaitu unio-mistik dan transendentalis-mistik. Union-mistik menekankan pemahaman bahwa Tuhan diformulasi sebagai inti sari murni yang memiliki atribut mutlak, transendensi, dan sempurna. Perumusan ini lebih lanjut mengandaikan Tuhan sebagai lautan yang tidak terbatas dan tidak terikat pada kurun waktu. Paham ini mencerminkan bahwa manusia dipandang sebagai tempias atau percikan dari lautan yang serba Ilahi, suatu tipe pemahaman yang kurang menghargai aspek personalitas dan tanggung jawab manusia, yaitu suatu mazhab mistik yang menempatkan manusia bersumber dari Tuhan untuk kemudian mencapai penghayatan dan kebersatu-paduan kembali dengan Tuhan.[11].
Adapun metode transendentalis-mistik dalam upaya memahami Tuhan. lebih menekankan aspek personal antara manusia dan Tuhan. Pada paham kedua ini, hubungan manusia dengan Tuhan dilukiskan sebagai hubungan antara kawual (makhluk) dengan Gusti (Khalik). Metode tersebut juga merupakan suatu ajaran mistik yang tetap mempertahankan adanya perbedaan esensial antara manusia dan Tuhan. Tuhan dipandang sebagai Dzat yang transenden, mengatasi alam semesta. Sebaliknya, dalam union-mistik, Tuhan dipandang sebagai Dzat imanen yang secara esensial bersemayam dalam alam dan dalam diri manusia.[12] Dari dua metode pendekatan terhadap Tuhan dalam tasawuf tersebut. Hasan Al-Bashri dapat digolongkan ke dalam metode transendetalis-mistik. Hal ini karena beliau mempergunakan pendekatan gnotis, -yakni berusaha untuk mendapatkan pengetahuan langsung yang sedalam-dalamnya terhadap Tuhan melalui zuhud. Unio-mistik dalam praktik penghayatan kepada Tuhan, membuat penekanan pada pendekatan voluntaristis, yakni suatu bentuk upaya yang mengambil sikap membebaskan diri untuk kemudian melarutkan dirinya dengan Tuhan.
Ditinjau dari kode etik keilmuan yang lebih bersifat akademik, terdapat dua aliran tasawuf, yaitu tasawuf falsafi dan tasawuf sunni.[13]  Apabila dibandingkan antara tasawuf sunni dan tasawuf falsafi, ditemukan sejumlah kesamaan dan prinsipil di samping perbedaan-perbedaan yang cukup mendasar. Kedua aliran sama-sama mengakui ajarannya bersumber dari Al-Quran dan As-Sunnah serta sama-sama mengamalkan Islam secara konsekuen. Memang, semua sufi yang benar-benar sufi- dari aliran mana pun, adalah orang-orang yang zahid dan 'abid serta mementingkan kesucian rohani dan moralitas.
Demikian juga, dalam proses perjalanan menuju arah yang ingin dicapai. Kedua aliran sama-sama berjalan pada prinsip-prinsip Al-maqamat dan Al-ahwal. Perbedaan yang jelas di antara kedua aliran ini, tampaknya terletak pada tujuan "antara". yakni maqam tertinggi yang dapat dicapai seorang sufi. Adapun pada aspek tujuan akhirnya, kedua aliran ini sama-sama ingin memperoleh kebahagiaan yang hakiki. tujuan "antara" adalah terciptanya komunikasi langsung antara sufi dan Tuhan dalam posisi seakan tiada jarak lagi antara keduanya. Dalam memberi makna terhadap posisi "dekat tanpa jarak" inilah terdapat perbedaan mendasar antara kedua aliran ini. Tasawuf sunni berpendapat  bahwa antara makhluk dan khalik tetap ada jarak yang tak terjembatani sehingga tidak mungkin jumbuh (bersatu) karena keduanya tidak seesensi. Sebaliknya tasawuf falsafi, dengan tegas mengatakan manusia seesensi dengan Tuhan karena manusia berasal dan tercipta dari esensi-Nya.[14]
Setelah mengetahui makna esensial dari kedua aliran ini, alam pemikiran Hasan Al-Bashri dapat digolongkan ke dalam aliran sunni. Hal ini karena ia tidak memiliki kecenderungan dan minat terhadap pemikiran spekulatif filsafat. Barangkali karena ia sudah puas dengan argumentasi yang bersifat naqli agamawi serta sikap ortodoksi dan kesederhanaannya.





C.     Perkembangan Konsep Zuhud
Lahirnya gerakan asketisme (zuhud) sebagai bentuk awal dari sufisme dalam Islam. Gerakan ini mulai muncul secara mencolok, terutama pada zaman dinasti Ummayah di kala pemerintahan Islam mengambil bentuk kerajaan. Penindasan politik para penguasa pada waktu itu dirasakan oleh masyarakat terlalu oversif sehingga melahirkan bermacam aksi dan protes sosial, politik. Salah satu reaksi terhadap ketidakadilan sosial dan degenerasi moral pada waktu itu adalah gerakan sufi yang mencoba menangkap kedalaman dan spiritual Islam. Bukan Islam yang sudah dikebiri menjadi sejumlah aturan hukum dan doktrin teologi yang kering, dan juga bukan Islam yang telah berubah menjadi sistem politik yang memberikan justifikasi bagi elitisme, nepotisme, dan eksploitasi. Menurut Nicholas, asketisme (zuhud) merupakan bentuk tasawuf yang paling dini. Ia member atribut pada para asketis dengan gelar "para sufi angkatan pertama" (abad-abad pertama dan kedua Hijriah). Selanjutnya, (sampai abad ketiga) mulai tampak perbedaan jelas antara asketisme.[15]
Jadi, sebelum lahirnya tasawuf sebagai disiplin ilmu, zuhud merupakan permulaan tasawuf. Setelah itu, zuhud merupakan salah satu maqamat dari tasawuf. Kalau pada mulanya pengertian zuhud itu hanya hidup sederhana, kemudian bergeser dan berkembang ke arah yang lebih keras dan ekstrem. Pengertian yang ekstrem tentang zuhud datang pertama kali dari Hasan Al-Bashri yang mengatakan, "perlakukanlah dunia ini sebagai jembatan sekadar untuk dilalui dan sama sekali tidak membangun apa-apa di atasnya.”[16]
Menurut A.J. Arberry, Hasan Al-Bashri mengatakan, "Beware of this world with all wariness, for it is like to snake, smooth to the touch, but is venom is deadly. Beware of this world for its hopes are lies, its, expectation false."[17] Bahkan, menurut Al-Junaid, zuhud adalah tidak mempunyai apa-apa dan tidak memiliki siapa saja. Konsep dasar pendirian tasawuf Hasan Al-Bashri adalah zuhud terhadap dunia, menolak  kemegahannya, semata menuju kepadaAllah, tawakal, khauf, dan raja' , semuanya tidaklah terpisah. Jangan hanya takut kepada Allah, tetapi ikutilah ketakutan itu dengan pengharapan. Takut akan murka-Nya, tetapi mengharap karunia-Nya.[18]
Hasan Al-Bashri senantiasa bersedih hati, senantiasa takut, apabila ia tidak melaksanakan perintah Allah sepenuhnya dan tidak menjauhi larangan sepenuhnya pula. Sedemikian takutnya, sehingga seakan-akan ia merasa bahwa neraka itu dijadikan untuk dia. Abdul Al-Hakim Hasan meriwayatkan bahwa Hasan Al-Bashri pernah mengatakan, “Aku pernah menjumpai suatu kaum yang lebih zuhud terhadap barang yang halal daripada yang haram. "
Dari apa yang disampaikan, secara otomatis, ia membagi zuhud pada dua tingkatan, yaitu zuhud terhadap barang yang haram, ini adalah tingkatan zuhud yang elementer, sedangkan yang lebih tinggi adalah zuhud terhadap barang-barang yang halal, suatu tingkatan zuhud yang lebih tinggi dari zuhud sebelumnya. Hasan Al-Bashri telah mencapai tingkatan kedua, sebagaimana diekspresikan dalam bentuk sedikit makan, tidak terikat oleh makanan dan minuman, bahkan ia pernah mengatakan, “seandainya menemukan alat yang dapat dipergunakan mencegah makan pasti akan dilakukan- Ia berkata, "aku Senang makan sekali dapat kenyang selamanya, sebagaimana semen yang tahan dalam air selama-lamanya."[19]
Hasan A1-Basliri terkenal berpengetahuan mendalam, terkenal pula kezuhudan (keasketisan) dan kerendahan hatinya. At-Tausi dalam kitabnva AI-Uma', meriwayatkan, suatu ketika dikatakan pada Hasan Al-Bashri, "Engliau adalah orang, yang paling memahami etika. Hal apakah yang paling bermanfaat, baik untuk masa singkat atau lama" Jawabannya, mendalami agama. Sebab, itu arah kalbu orang-orang yang  menurut ilmu, sikap asketis dalam hal duniawi, memperdekat pada Tuhan semata, dan mengerti apa yang dianugerahkan Allah kepadamu. Di dalamnya terkandung kesempurnaan iman."
Dari pemaparan di atas, jelaslah Hasan Al-Bashri, berupaya untuk selalu meninggalkan dan memalingkan diri dari hal-hal yang menghalangi untuk mengabdi kepada Tuhannya. Zuhud terhadap dunia dan mendekatkan diri kepada Allah. Hal ini sesuai dengan pemaknaan zuhud, yaitu ragaba ‘an syai’in ‘wa tarakahu artinya tidak tertarik terhadap sesuatu dan meninggalkannya.
BAB III
PETUTUP
A.    Kesimpulan
1.      Nama lengkapnya Hasan Bin Abil Hasan Al Basri, ia dilahirkan di madinah pada tahun terakhir dari kekhalifaan  umar bin khattab  pada tahun 21 H. asal keluarganya berasal dari misan, suatu desa yang terletak antara basrah dan wasith. Kemudian mereka  pindah ke Madinah. Ayah hasan Al- Basri adalah seorang budak milik  Zaid  bin Tsabit sedangkan ,ibunya juga seorang budak milik ummu salamah, istri Nabi muhmmad. Ummu salamah sering mengutus budaknya untuk suatu keperluannya, sehingga hasan seorang anak budaknya sering disusui oleh ummu salamah. Dikisahkan bahwa ummu salamah sebelum islam adalah seorang yang  paling sempurna akhlaknya dan pendiriannya sangat teguh, ia juga seorang perempuan yang sangat luas keilmuaannya diantara istri-istri Nabi.
2.      pengembaraan spiritual Hasan Al-Bashri, aspek social tasawufnya pada prinsipnya didasarkan atas nilai-nilai Islam sebagai landasannya yang diekspresikan dalam bentuk kezuhudannya. Tidak hanya terhadap hal-hal yang halal. Menurut Hasan Al-Bashri, zuhud terhadap perkara yang haram adalah suatu kewajiban, sementara zuhud terhadap perkara halal adalah suatu keutamaan. Zuhud pada masanya merupakan bentuk protes. Bentuk protes ini tidak sekadar lari dari realitas sosial yang dihadapi dengan menyendiri beribadah, tetapi juga gencar melakukan kritikan dan perbaikan kehidupan masyarakat, terutama ditujukan terhadap penguasa yang zalim.
3.      Zuhud ada dua tingkatan zuhud terhadap barang yang haram, ini adalah tingkatan zuhud yang elementer, sedangkan yang lebih tinggi adalah zuhud terhadap barang-barang yang halal, suatu tingkatan zuhud yang lebih tinggi dari zuhud sebelumnya. Hasan Al-Bashri telah mencapai tingkatan kedua, sebagaimana diekspresikan dalam bentuk sedikit makan, tidak terikat oleh makanan dan minuman.

B.     Saran
Kehidupan manusia tidaklah selamaya didunia, namun dunia merupakan batu loncatan untuk hidup kekal diakhirat olhnya itu sebagai insan yang beriman hendaknya memanfaatkan hidup ini secara bijak dan proporsional.







DAFTAR PUSTAKA

Abd. Al-Hakim Hasan, Al-Tasawwuf Fi Syi’ri Al-‘Arabi, Mesir: Anjalu Al-Misriyah,1954,
A.J. Arberry, Pasang Surut Aliran Tasawuf, Bandung: Mizan, 1985,
A, Mustofa,  Akhlak TasawufPustak­a Setia Bandung. 1997 cet I.
Hafizh Dasuki, Ensiklopedia Islam, Jilid 5. Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1993,
Hamka, Tasawuf Perkembangan Dan Pemurniannya, Jakarta: Citra Serumpun Padi, 1994
Komarudin Hidayat, Upaya Pembebasan Manusia: Tinjauan Sufistik Terhadap Manusia Modern Menurut Hossein Nasr, Dalam M. Dawam Rahardjo (Ed), Insane Kamil, Jakarta: Grafida Pers. 1985.
Muzhar, ‘Ata’, Guru Pendidikan Agama Islam Dalam Perspektif Tantangan Hidup Beragama Di Masa Depan, Semarang: Iain Walisongo, 1993
Shah, M. Ainul Abied. (Et. Al). 2001, Islam Garda Depan, Mosaik  Islam Timur Tengah, Bandung: Mizan, Ahmad Bahjat, Bihar Al-Hubb Pledoi Kaum Sufi, Diterjemahkan Oleh Hasan Abrori Dari Judul Aslinya, Bihar Al-Hubb ‘Inda Al-
Siregar, Rivay, Tasawuf, Dari Sufisme Klasik Ke Neo-Sufisme, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1999,[1] Syukur, Amin, Zuhud Di Abad Modern, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997, Hlm. 65
Sufiyah, Surabaya: Pustaka Progressif, 1997,




[1]. A. Mustofa,  Akhlak TasawufPustak­a Setia Bandung. 1997 cet I hal 214
[2] Shah, M. Ainul Abied. (Et. Al). 2001, Islam Garda Depan, Mosaik  Islam Timur Tengah, Bandung: Mizan, hlm. 218.
[3] Ahmad Bahjat, Bihar Al-Hubb Pledoi Kaum Sufi, Diterjemahkan Oleh Hasan Abrori Dari Judul Aslinya, Bihar Al-Hubb ‘Inda Al-Sufiyah, Surabaya: Pustaka Progressif, 1997, Hlm 160
[4] Bahjat, Ibid, 1997, Hlm 160.
[5] Siregar, Rivay, Tasawuf, Dari Sufisme Klasik Ke Neo-Sufisme, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1999, Hlm. 37-39
[6] Syukur, Amin, Zuhud Di Abad Modern, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997, Hlm. 65
[7] A.J. Arberry, Pasang Surut Aliran Tasawuf, Bandung: Mizan, 1985, Hlm 36
[8] Hafizh Dasuki, Ensiklopedia Islam, Jilid 5. Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1993, Hlm. 123.
[9] Abd. Al-Hakim Hasan, Al-Tasawwuf Fi Syi’ri Al-‘Arabi, Mesir: Anjalu Al-Misriyah,1954, Hlm.38
[10] Amin Syukur, Op.Cit, 1997 Hlm. 66.
[11] Rivay Siregar, Op.Cit, 1999, Hlm. 13.
[12] Ibid
[13] Ibid, Hlm 55
[14] Rivay Siregar, Ibid, Hlm 55-56
[15] Al Taftazani, Op.Cit, 1985, Hlm 77.
[16] Rivay Siregar, Op.Cit, 1999, Hlm 17.
[17] A.J. Arberry, Ibid, 1950, Hlm. 33.
[18] Hamka, Tasawuf Perkembangan Dan Pemurniannya, Jakarta: Citra Serumpun Padi, 1994, Hlm. 71.
[19] Abdul Al-Hakim Hasan, Op.Cit, 1954, Hlm. 38.

Makalah: Mahabbah, Makrifah

BAB I PENDAHULUAN   A.      Latar Belakang Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi membawa manusia larut dan terbuai dalam din...