BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang Masalah
Ilmu tasawuf mengalami
perkembangan yang sangat pesat, berawal dari upaya meniru pola kehidupan
Rosulluhan saw, baik sebelum menjadi Nabi dan terutama setelah beliau bertugas
menjadi Nabi dan Rosul, perilaku dan Nabi Muhammadlah yang dijadikan suri
tauladan utama bagi para sahabat yang kemudian berkembang menjadi doktrin yang
bersifat konseptual. Tasawufpada masa Rosulluhan SAW adalah sifat umum
yang terdapat pada hampir seluruh sahabt – sahabat Nabi tanpa terkecuali.
Menurut catatan sejarah dari sahabat Nabi yang pertama sekali
melembagakan tasawuf dengan cara mendirikan
madrasah tasawufadalah Huzaifah bin Al-Yamani,[1] sedangkan Imam Sufi yang pertama dalam sejarah
Islam adalah Hasan Al-Basri ( 21-110 H ) seorang ulama tabi'in,
murid pertama dari Huzaifah bin Al-Yamani, beliau dianggap tokoh sentral dan
yang paling pertama meletakkan dasar metodologi ilmu tasawuf. Hasan Al-Basri adalah
orang yang pertama mempraktekkan, berbicara menguraikan maksud tasawuf
sebagai pembuka jalan generasi berikutnya.
Hasan Basri
selain dilihat dari sisi keilmuannya juga harus di gali sedalam mungkin perihal
riwayat hidup, agar dapat dipahami begaimana faktor sosio-kultural, realitas
sosial yang dihadapi dan secaa lagsung atau tidak langsung berpengaruh terhadap
cara hidup dan berfikir seorang Hasan Basri.
B.
Rumusan
Masalah
Berdasarkan latar belakang penulisan
diatas dapatlah dirumuskan sebagai berikut:
1.
Bagaimakah
riwayat Hidup Hasan Basri?
2.
Bagaimanakah
konsep Zuhud yang dikembangkan oleh Hasan Basri?
3.
Bagaimanakah
perkembangan dan pengaruh konsep Zuhud?
DAFTAR ISI
Halaman Sampul……………………………………………………………………. i
BAB I PENDAHULUAN ………………………………………….………………. 1
- Latar
Belakang ..……………………………………………………………. 1
- Rumusan
Masalah.………………………………………………………….. 1
- Daftar
isi……..……....……………………………………………………… 2
BAB II PEMBAHASAN ………………………………………………………….... 3
- Biografi
Hasan al-Basri ……….……………..……………………………... 3
- Konsep
Zuhud Hasan al-Basri ……………..…...……………...…………… 6
- Perkembangan konsep Zuhud Hasan al-Basri ..…………….……...………..
8
BAB III KESIMPULAN DAN SARAN
- Kesimpulan
……………….………………………………………………… 10
- Saran
……………………….…………....………………………………......
10
DAFTAR PUSTAKA ………………………………….…………………….............
11
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Biografi Hasan Basri
Nama lengkapnya Hasan Bin Abil Hasan Al Basri, ia dilahirkan
di madinah pada tahun terakhir dari kekhalifaan umar bin khattab
pada tahun 21 H. asal keluarganya berasal dari misan, suatu desa yang terletak
antara basrah dan wasith. Kemudian mereka pindah ke Madinah.
Ayah hasan Al- Basri adalah seorang budak milik
Zaid bin Tsabit sedangkan ,ibunya juga seorang budak milik ummu
salamah, istri Nabi muhmmad. Ummu salamah sering mengutus budaknya untuk suatu
keperluannya, sehingga hasan seorang anak budaknya sering disusui oleh ummu
salamah. Dikisahkan bahwa ummu salamah sebelum islam adalah seorang yang
paling sempurna akhlaknya dan pendiriannya sangat teguh, ia juga seorang
perempuan yang sangat luas keilmuaannya diantara istri-istri Nabi.
Kemungkinan besar hasan basri
menjadi ulama yang sangat populer dan sangat dihormati, dikarenakan atas Barakah
susuan ummu salamah yang diberikan ketika Hasan Basri masih kecil.
Pada usia 12 tahun ia sudah hafal al-qur’an , saat usianya
14 tahun hasan bersama keluarganya pindah ke kota Basrah, irak. Semenjak
itulah ia dikenal dengan nama Hasan Basri, yaitu Hasan yang bertempat tinggal
dikota Basrah. dikala itu basrah merupakan kota keilmuan yang pesat peradabannya,
sehingga para Tabi’in yang singgah kesana untuk memperdalam
keilmuannya. Di basrah ia sangat aktif untuk mengikuti perkuliahannya, ia
banyak belajar kepada Ibnu Abbas, dari Ibnu Abbas Ia memperdalam ilmu tafsir,
ilmu hadist dan qira’at. Sedangkan ilmu fiqh, bahasa dan sastra didapatkan dari
sahabat yang lain.
B. Konsep
Zuhud Hasan Al-Bashri
Hasan
Al-Bashri adalah seorang sufi tabi'in, seorang yang sangat takwa, wara', dan
zahid. Hasan Al-Bashri tumbuh dalam lingkungan yang saleh dan mendalam pengetahuan
agamanya. Ia menerima hadis dari sebagian sahabat dan menyatakan bahwa kepada
Ali ibn Abi Thalib r.a. diperlihatkan sebagian ilmu pengetahuan maka beliau pun
begitu terpesona melihat pengetahuan itu.[2] Hasan
al-Basri dapat rnenyaksikan peristiwa pemberontakan terhadap Usman bin Affan
dan beberapa kejadian politis lainnya yang terjadi di madinah, yang
memorak-morandakan umat Islam. Tanpa dihetahui secara pasti motifnya, beliau
sekeluarga pindah ke Bashrah. Di kota ini,beliau membuka pengajian karena
keprihatinannya melihat gaya hidup dan kehidupan masyarakat yang telah
terpengaruh oleh duniawi sebagai salah satu ekses kemakmuran ekonomi yang
dicapai negeri-negeri Islam pada masa itu. Gerakan itulah yang menjadikan Hasan
Al-Bashri kelak menjadi orang yang sangat berperan dalam pertumbuhan kehidupan
sufi Bashrah. Di antara ajarannya yang terpenting adalah al-zuhud serta
al-khauf dan raja'. beliau dikenal sebagai pendiri madrasah zuhud di kota
Bashrah.
Dalam
perkembangan selanjutnya, Hasan Al-Bashri pun tidak luput dari pelegendaan yang
diembuskan oleh kaum sufi. Mereka mengatakan bahwa Hasan Al-Bashri mengetahui
rahasia-rahasia agama dan ilmu batin. walaupun dalam aktifitas sosialnya, Hasan
Al-Bashri dikenal sebagai figur yang sangat halus hatinya, sangat peka dan
mempunyai kepedulian sosial yang mendalam. Apabila beliau datang, beliau datang
dengan penuh perasaan, dan apabila disebutkan neraka kepadanya, beliau merasa
seakan neraka itu diciptakan hanya untuknya. beliau berkata,
"sesungguhnya, sedih yang berkepanjangan di dunia ini menjadi cambuk untuk
berbuat saleh.[3]
Ketika
ditanya tentang rahasia kesedihannya, Hasan Al-Bashri menjawab, "Sungguh,
bagi seorang mukmin, tidak ada jalan lain, kecuali harus bersedih, karena ia
selalu berada di antara dua ketakutan, yakni dosa yang telah lalu dan perlakuan
Allah kelak. Keduanya adalah "ajal" (saat) yang sudah pasti, tidak
seorang pun tahu, musibah apa yang akan diterimanya dalam ajal itu.[4] Jelaslah, kesedihan Hasan Al-Bashri
sebagaimana tersebut, dimotivasi oleh kezuhudannya dan rasa takut (khauf) akan
dosa serta mengharapkan (raja') ampunan Allah
atas segala dosa yang diperbuat.
Hasan
Al-Bashri merupakan salah satu contoh tokoh tasawuf dalam mengekspresikan
ajaran tasawufnya, yang dilandasi oleh aspek sosial-kultural lingkungannya,
ketika terjadi krisis moralitas, terutama di kalangan penguasa. Hasan Al-Bashri
merupakan sufi pertama penyeru gerakan moral tasawuf yang wujud melalui mega
proyeknya zuhud, khauf, dan raja' yang lahir dari kekacauan suasana sosial
politik pada zaman Dinasti Umayyah, yang sangat penting untuk dikaji.
Secara
umum, ekspresi zuhud dan perjalanan spiritual Hasan Al-Bashri, tampaknya
memperoleh infus atau motivasi dari tiga faktor. Infus ini kemudian memberikan
gambaran tentang tipe gerakannya yang muncul.Pertama, karena corak
kehidupan lyang profan dan hidup kepelesiran
yang diperagakan oleh umat Islam, terutama para pembesar negeri dan para
hzartawan. Aspek ini, merupakan motivasi
yang paling deras mendorong Hasan
Al-Bashri untuk melakukan protes tersamar lewat pendalaman kehidupan spiritual
(zuhud) dengan motivasi etika. Tampaknya, gerakan ini beliau orbitkan sebagai
gerakan sektarian yang introversionis, pemisahan dari tren kehidupan, eksklusif
dan tegas pendirian dalam upaya penyucian diri tanpa memedulikan alam sekitar. Kedua,
timbulnya sikap apatis sebagai reaksi maksimal pada radikalisme kaum Khawarij
dan polarisasi politik pada masa itu. menyebabkan Hasan Al-Bashri terpaksa
mengambil sikap menjauhi kehidupan masyarakat ramai, kemudian menyepi dan
sekaligus menghindari diri dari keterlibatan langsung dalam pertentangan
politik, untuk mempertahankan kesalehan dan ketenangan rohaniah. Apabila diukur
dari kriteria sosiologi, tampaknya gerakan Hasan Al-Bashri ini dapat dikategorikan
sebagai gerakan "sempalan", satu gerakan yang sengaja mengambil sikap
'uzlah yang cenderung eksklusif dan kritis terhadap penguasa.
Dalam
pandangan ini, kecenderungan memilih kehidupan rohaniah mistis, sepertinya
merupakan pelarian, atau upaya mencari kompensasi untuk menang dalam perjuangan
duniawi. Ketika di dunia yang penuh tipu daya ini sudah kering dari siraman
cinta sesama, Hasan Al-Bashri mencoba membangun dunia baru, realitas baru yang
terbebas dari kekejaman dan keserakahan, dunia spiritual yang penuh dengan
salju cinta. Ketiga, adalah corak kodifikasi hukum Islam dan perumusan
ilmu kalam yang rasional sehingga kurang bermotivasi etika yang menyebabkan
kehilangan moralitasnya, menjadi semacam wahana tanpa isi atau semacam bentuk
tanpa jiwa. Formalitas paham keagamaan dirasakan semakin kering dan menyesakkan
ruhuddin yang menyebabkan terputusnya komunikasi langsung suasana
keakraban personal antara hamba dan penciptaannya.Karena kondisi hukum dan
teologi yang kering tanpa jiwa itu, karena dominannya posisi moral dalam agama,
Hasan Al-Bashri tergugah untuk mencurahkan perhatian terhadap moralitas.[5]
Dari
historis pengembaraan spiritual Hasan Al-Bashri, aspek social tasawufnya pada
prinsipnya didasarkan atas nilai-nilai Islam sebagai landasannya yang diekspresikan
dalam bentuk kezuhudannya. Tidak hanya terhadap hal-hal yang halal. Menurut
Hasan Al-Bashri, zuhud terhadap perkara yang haram adalah suatu kewajiban,
sementara zuhud terhadap perkara halal adalah suatu keutamaan. Zuhud pada
masanya merupakan bentuk protes. Bentuk protes ini tidak sekadar lari dari
realitas sosial yang dihadapi dengan menyendiri beribadah, tetapi juga gencar
melakukan kritikan dan perbaikan kehidupan masyarakat, terutama ditujukan
terhadap penguasa yang zalim.
Aktivitas Sosial Politik
Adanya
beberapa pergolakan politik umat Islam pada masa awal itu, menjadi motif
munculnya pemikiran zuhud dan gerahan zuhud. Pada mulanya, zuhud bermotifkan
keagamaan semata, kemudian dimusuhi beberapa unsur luar. Gerakan ini semakin
intensif pada masa pemerintahan bani Umayyah. Salah satu pendukungnya ialah
ulama ahli hadis Hasan Al-Bashri.[6] Pada masa Muawiyyah berkuasa (661-680)
segalanya berubah. Putra dan pewaris Muawiyyah, Yazid (680-683) adalah pemabuk
berat. Keadaan seperti ini mendorong orang-orang yang berpikir serba agama, di
antaranya Hasan Al-Bashri untuk menarik diri dari masyarakat, yang nyata-nyata
sedang melaju pada keruntuhan. Banyak orang yang pernah mengenal nabi terpaksa
mengambil sikap ini, karena ngeri melihat kebejatan moralitas di kalangan atas.
Karena yakin benar, mereka tak takut mencela terang-terangan dan mengancam
bahwa hukuman dari Tuhan akan segera Menimpa.[7] Berbeda dengan yang lain, pada masa Umar bin
Abdul Aziz berkuasa (717 -720), ia mengadakan kerja sama dengan para ulama
besar pada zamannya, seperti Hasan Al-Bashri (ahli hadis dan fiqih) dan
Sulaiman Bin Umar. Dia berdialog dan meminta fatwa dari mereka tentang berbagai
hebijaksanaannya, mengajak mereka untuk mengajar rakyat mengenai hukum syariat.
Setia mengikuti perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya. Ia kemudian
menerapkan hukum syariat secara serius dan sistematis. Dialah khalifah pertama
dari dinasti Umayyah yang melakukan hal ini.[8][8] Hubungan Hasan Al-Bashri dengan penguasa (Umar bin Abdul
Aziz) sangatlah baik. Hal ini dapat dilihat melalui surat yang ditujukan kepada
umar bin Abdul Aziz, di antaranya isi surat tersebut adalah sebagai berikut.
Hati-hatilah terhadap dunia yang
menipu dan menggiurkan ini. Ia akan membunuh pemikirnya dengan angan-angannya,
dan membunuh lawan bicaranya. Ia bagaikan pengantin wanita yang menjadi
perhatian semua pihak, semua pandangan tertuju padanya, dan semua asyik
kepadanya, padahal hakikatnya adalah pembunuh suaminya.Yang kekal dengan yang
sirna tak boleh disamakan,yang akhir tak boleh dipandang sama dengan yang awal.
Berpalinglah dari pada dunia, dan tingalkanlah dia, karena di dalamnya sedikit
yang menarik dan dapat dijadikan teman.
Secara
historis dan kultural, Kota Bashrah memang telah dipengaruhi
peradaban-peradaban besar, seperti Romawi, Yunani, dan Persia. Hal ini ditandai
oleh perkembangan ilmu pengetahuan yang semakin meningkat dengan munculnya
filsafat dan kalam dalam Islam, sebagai akibat kontak budaya dan pengetahuan
dengan peradaban Yunani. Pada sisi lain, tingkat pertumbuhan ekonomi masyarakat
semakin meningkat, menyebabkan umat Islam cenderung hidup bebas (hedonis)
materialis, dan konsumtif.
Corak
kehidupan yang profan dan hidup mewah yang diperagakan oleh umat Islam,
terutama para pembesar negeri dan hartawan serta sikap hidup yang sekular dan
glamour dari kelompok elite dinasti penguasa istana tersebut, merupakan
dorongan deras atas sikap zuhud. Hasan Al-Bashri. Protes tersamar itu ia
lakukan dengan gaya hidup murni etis, pendalaman kehidupan spiritual dengan motivasi
etikal. Ia pernah berkata, “Jika Allah menghendaki seseorang itu baik, Dia
mematikan keluarganya sehingga ia dapat leluasa dalam beribadah”.[9]
Rabban ibn Amru Al-Qaisy pernah meriwayatkan bahwa dia pernah berkata:
“Seseorang
tidak akan sampai ke tingkat siddiq, sehinga ia meningalkan istrinya bagaikan
janda, dan anak-anaknya bagaikan anak yatim, dan bertempat tinggal di kandang
anjing.[10]”
Ucapan
ini terkesan ekstrem, namun merupakan gambaran bahwa seseorang yang hidup zuhud
harus meninggalkan mereka dan tidak terpengaruh oleh materi yang mengitarinya,
seperti istri, anak, dan tempat tinggal. Hanya satu yang dipikirkan dan
diinginkan, yaitu bertemu dan makrifat kepada Allah SWT. Sebagaimana dijelaskan
sebelumnya, bahwa setting sosial pada kehidupan Hasan Al-Bashri, telah
memengaruhi tradisi keilmuannya. Kejadian-kejadian yang, ia alami pada masa
itu, membuatnya bangkit menjadi seorang zahid, yang selalu menyeru umat Islam
untuk ber-takhalluk bi akhlaq Allah dan menjadikan syariat sebagai
landasan pijak pengamalan ibadah.
Ditinjau
dari upaya pendekatan diri dan pemahaman kepada Tuhan, dalam tradisi tasawuf
terdapat dua metode, yaitu unio-mistik dan transendentalis-mistik. Union-mistik
menekankan pemahaman bahwa Tuhan diformulasi sebagai inti sari murni yang
memiliki atribut mutlak, transendensi, dan sempurna. Perumusan ini lebih lanjut
mengandaikan Tuhan sebagai lautan yang tidak terbatas dan tidak terikat pada
kurun waktu. Paham ini mencerminkan bahwa manusia dipandang sebagai tempias
atau percikan dari lautan yang serba Ilahi, suatu tipe pemahaman yang kurang
menghargai aspek personalitas dan tanggung jawab manusia, yaitu suatu mazhab
mistik yang menempatkan manusia bersumber dari Tuhan untuk kemudian mencapai
penghayatan dan kebersatu-paduan kembali dengan Tuhan.[11].
Adapun
metode transendentalis-mistik dalam upaya memahami Tuhan. lebih menekankan
aspek personal antara manusia dan Tuhan. Pada paham kedua ini, hubungan manusia
dengan Tuhan dilukiskan sebagai hubungan antara kawual (makhluk) dengan Gusti
(Khalik). Metode tersebut juga merupakan suatu ajaran mistik yang tetap
mempertahankan adanya perbedaan esensial antara manusia dan Tuhan. Tuhan dipandang
sebagai Dzat yang transenden, mengatasi alam semesta. Sebaliknya, dalam
union-mistik, Tuhan dipandang sebagai Dzat imanen yang secara esensial
bersemayam dalam alam dan dalam diri manusia.[12] Dari dua
metode pendekatan terhadap Tuhan dalam tasawuf tersebut. Hasan Al-Bashri dapat
digolongkan ke dalam metode transendetalis-mistik. Hal ini karena beliau
mempergunakan pendekatan gnotis, -yakni berusaha untuk mendapatkan pengetahuan
langsung yang sedalam-dalamnya terhadap Tuhan melalui zuhud. Unio-mistik dalam
praktik penghayatan kepada Tuhan, membuat penekanan pada pendekatan
voluntaristis, yakni suatu bentuk upaya yang mengambil sikap membebaskan diri
untuk kemudian melarutkan dirinya dengan Tuhan.
Ditinjau
dari kode etik keilmuan yang lebih bersifat akademik, terdapat dua aliran
tasawuf, yaitu tasawuf falsafi dan tasawuf sunni.[13] Apabila dibandingkan antara tasawuf sunni dan
tasawuf falsafi, ditemukan sejumlah kesamaan dan prinsipil di samping
perbedaan-perbedaan yang cukup mendasar. Kedua aliran sama-sama mengakui
ajarannya bersumber dari Al-Quran dan As-Sunnah serta sama-sama mengamalkan
Islam secara konsekuen. Memang, semua sufi yang benar-benar sufi- dari aliran
mana pun, adalah orang-orang yang zahid dan 'abid serta mementingkan kesucian
rohani dan moralitas.
Demikian
juga, dalam proses perjalanan menuju arah yang ingin dicapai. Kedua aliran
sama-sama berjalan pada prinsip-prinsip Al-maqamat dan Al-ahwal. Perbedaan yang
jelas di antara kedua aliran ini, tampaknya terletak pada tujuan
"antara". yakni maqam tertinggi yang dapat dicapai seorang sufi.
Adapun pada aspek tujuan akhirnya, kedua aliran ini sama-sama ingin memperoleh
kebahagiaan yang hakiki. tujuan "antara" adalah terciptanya
komunikasi langsung antara sufi dan Tuhan dalam posisi seakan tiada jarak lagi
antara keduanya. Dalam memberi makna terhadap posisi "dekat tanpa
jarak" inilah terdapat perbedaan mendasar antara kedua aliran ini. Tasawuf
sunni berpendapat bahwa antara makhluk
dan khalik tetap ada jarak yang tak terjembatani sehingga tidak mungkin jumbuh
(bersatu) karena keduanya tidak seesensi. Sebaliknya tasawuf falsafi, dengan
tegas mengatakan manusia seesensi dengan Tuhan karena manusia berasal dan
tercipta dari esensi-Nya.[14]
Setelah mengetahui makna esensial dari kedua aliran ini,
alam pemikiran Hasan Al-Bashri dapat digolongkan ke dalam aliran sunni. Hal ini
karena ia tidak memiliki kecenderungan dan minat terhadap pemikiran spekulatif
filsafat. Barangkali karena ia sudah puas dengan argumentasi yang bersifat naqli
agamawi serta sikap ortodoksi dan kesederhanaannya.
C.
Perkembangan Konsep Zuhud
Lahirnya
gerakan asketisme (zuhud) sebagai bentuk awal dari sufisme dalam Islam. Gerakan
ini mulai muncul secara mencolok, terutama pada zaman dinasti Ummayah di kala
pemerintahan Islam mengambil bentuk kerajaan. Penindasan politik para penguasa
pada waktu itu dirasakan oleh masyarakat terlalu oversif sehingga melahirkan
bermacam aksi dan protes sosial, politik. Salah satu reaksi terhadap
ketidakadilan sosial dan degenerasi moral pada waktu itu adalah gerakan sufi
yang mencoba menangkap kedalaman dan spiritual Islam. Bukan Islam yang sudah
dikebiri menjadi sejumlah aturan hukum dan doktrin teologi yang kering, dan
juga bukan Islam yang telah berubah menjadi sistem politik yang memberikan justifikasi
bagi elitisme, nepotisme, dan eksploitasi. Menurut Nicholas, asketisme (zuhud)
merupakan bentuk tasawuf yang paling dini. Ia member atribut pada para asketis
dengan gelar "para sufi angkatan pertama" (abad-abad pertama dan
kedua Hijriah). Selanjutnya, (sampai abad ketiga) mulai tampak perbedaan jelas
antara asketisme.[15]
Jadi,
sebelum lahirnya tasawuf sebagai disiplin ilmu, zuhud merupakan permulaan
tasawuf. Setelah itu, zuhud merupakan salah satu maqamat dari tasawuf. Kalau
pada mulanya pengertian zuhud itu hanya hidup sederhana, kemudian bergeser dan
berkembang ke arah yang lebih keras dan ekstrem. Pengertian yang ekstrem
tentang zuhud datang pertama kali dari Hasan Al-Bashri yang mengatakan,
"perlakukanlah dunia ini sebagai jembatan sekadar untuk dilalui dan sama
sekali tidak membangun apa-apa di atasnya.”[16]
Menurut
A.J. Arberry, Hasan Al-Bashri mengatakan, "Beware of this world with all
wariness, for it is like to snake, smooth to the touch, but is venom is deadly.
Beware of this world for its hopes are lies, its, expectation false."[17]
Bahkan, menurut Al-Junaid, zuhud adalah tidak mempunyai apa-apa dan tidak
memiliki siapa saja. Konsep dasar pendirian tasawuf Hasan Al-Bashri adalah
zuhud terhadap dunia, menolak
kemegahannya, semata menuju kepadaAllah, tawakal, khauf, dan raja' ,
semuanya tidaklah terpisah. Jangan hanya takut kepada Allah, tetapi ikutilah
ketakutan itu dengan pengharapan. Takut akan murka-Nya, tetapi mengharap
karunia-Nya.[18]
Hasan
Al-Bashri senantiasa bersedih hati, senantiasa takut, apabila ia tidak
melaksanakan perintah Allah sepenuhnya dan tidak menjauhi larangan sepenuhnya
pula. Sedemikian takutnya, sehingga seakan-akan ia merasa bahwa neraka itu
dijadikan untuk dia. Abdul Al-Hakim Hasan meriwayatkan bahwa Hasan Al-Bashri
pernah mengatakan, “Aku pernah menjumpai suatu kaum yang lebih zuhud terhadap
barang yang halal daripada yang haram. "
Dari
apa yang disampaikan, secara otomatis, ia membagi zuhud pada dua tingkatan,
yaitu zuhud terhadap barang yang haram, ini adalah tingkatan zuhud yang
elementer, sedangkan yang lebih tinggi adalah zuhud terhadap barang-barang yang
halal, suatu tingkatan zuhud yang lebih tinggi dari zuhud sebelumnya. Hasan
Al-Bashri telah mencapai tingkatan kedua, sebagaimana diekspresikan dalam
bentuk sedikit makan, tidak terikat oleh makanan dan minuman, bahkan ia pernah
mengatakan, “seandainya menemukan alat yang dapat dipergunakan mencegah makan
pasti akan dilakukan- Ia berkata, "aku Senang makan sekali dapat kenyang
selamanya, sebagaimana semen yang tahan dalam air selama-lamanya."[19]
Hasan
A1-Basliri terkenal berpengetahuan mendalam, terkenal pula kezuhudan
(keasketisan) dan kerendahan hatinya. At-Tausi dalam kitabnva AI-Uma',
meriwayatkan, suatu ketika dikatakan pada Hasan Al-Bashri, "Engliau adalah
orang, yang paling memahami etika. Hal apakah yang paling bermanfaat, baik
untuk masa singkat atau lama" Jawabannya, mendalami agama. Sebab, itu arah
kalbu orang-orang yang menurut ilmu,
sikap asketis dalam hal duniawi, memperdekat pada Tuhan semata, dan mengerti
apa yang dianugerahkan Allah kepadamu. Di dalamnya terkandung kesempurnaan
iman."
Dari
pemaparan di atas, jelaslah Hasan Al-Bashri, berupaya untuk selalu meninggalkan
dan memalingkan diri dari hal-hal yang menghalangi untuk mengabdi kepada
Tuhannya. Zuhud terhadap dunia dan mendekatkan diri kepada Allah. Hal ini
sesuai dengan pemaknaan zuhud, yaitu ragaba ‘an syai’in ‘wa tarakahu
artinya tidak tertarik terhadap sesuatu dan meninggalkannya.
BAB III
PETUTUP
A. Kesimpulan
1.
Nama
lengkapnya Hasan Bin Abil Hasan Al Basri, ia dilahirkan di madinah pada tahun
terakhir dari kekhalifaan umar bin
khattab pada tahun 21 H. asal
keluarganya berasal dari misan, suatu desa yang terletak antara basrah dan
wasith. Kemudian mereka pindah ke
Madinah. Ayah hasan Al- Basri adalah seorang budak milik Zaid
bin Tsabit sedangkan ,ibunya juga seorang budak milik ummu salamah,
istri Nabi muhmmad. Ummu salamah sering mengutus budaknya untuk suatu
keperluannya, sehingga hasan seorang anak budaknya sering disusui oleh ummu
salamah. Dikisahkan bahwa ummu salamah sebelum islam adalah seorang yang paling sempurna akhlaknya dan pendiriannya
sangat teguh, ia juga seorang perempuan yang sangat luas keilmuaannya diantara
istri-istri Nabi.
2. pengembaraan
spiritual Hasan Al-Bashri, aspek social tasawufnya pada prinsipnya didasarkan
atas nilai-nilai Islam sebagai landasannya yang diekspresikan dalam bentuk
kezuhudannya. Tidak hanya terhadap hal-hal yang halal. Menurut Hasan Al-Bashri,
zuhud terhadap perkara yang haram adalah suatu kewajiban, sementara zuhud
terhadap perkara halal adalah suatu keutamaan. Zuhud pada masanya merupakan
bentuk protes. Bentuk protes ini tidak sekadar lari dari realitas sosial yang
dihadapi dengan menyendiri beribadah, tetapi juga gencar melakukan kritikan dan
perbaikan kehidupan masyarakat, terutama ditujukan terhadap penguasa yang
zalim.
3. Zuhud
ada dua tingkatan zuhud terhadap barang yang haram, ini adalah tingkatan zuhud
yang elementer, sedangkan yang lebih tinggi adalah zuhud terhadap barang-barang
yang halal, suatu tingkatan zuhud yang lebih tinggi dari zuhud sebelumnya.
Hasan Al-Bashri telah mencapai tingkatan kedua, sebagaimana diekspresikan dalam
bentuk sedikit makan, tidak terikat oleh makanan dan minuman.
B. Saran
Kehidupan manusia tidaklah selamaya
didunia, namun dunia merupakan batu loncatan untuk hidup kekal diakhirat olhnya
itu sebagai insan yang beriman hendaknya memanfaatkan hidup ini secara bijak
dan proporsional.
DAFTAR PUSTAKA
Abd.
Al-Hakim Hasan, Al-Tasawwuf Fi Syi’ri Al-‘Arabi, Mesir: Anjalu
Al-Misriyah,1954,
A.J.
Arberry, Pasang Surut Aliran Tasawuf, Bandung: Mizan, 1985,
A, Mustofa, Akhlak Tasawuf. Pustaka
Setia Bandung. 1997 cet I.
Hafizh
Dasuki, Ensiklopedia Islam, Jilid 5. Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1993,
Hamka,
Tasawuf Perkembangan Dan Pemurniannya, Jakarta: Citra Serumpun Padi, 1994
Komarudin
Hidayat, Upaya Pembebasan Manusia: Tinjauan Sufistik Terhadap Manusia Modern
Menurut Hossein Nasr, Dalam M. Dawam Rahardjo (Ed), Insane Kamil, Jakarta:
Grafida Pers. 1985.
Muzhar,
‘Ata’, Guru Pendidikan Agama Islam Dalam Perspektif Tantangan Hidup Beragama Di
Masa Depan, Semarang: Iain Walisongo, 1993
Shah,
M. Ainul Abied. (Et. Al). 2001, Islam Garda Depan, Mosaik Islam Timur Tengah, Bandung: Mizan, Ahmad
Bahjat, Bihar Al-Hubb Pledoi Kaum Sufi, Diterjemahkan Oleh Hasan Abrori Dari
Judul Aslinya, Bihar Al-Hubb ‘Inda Al-
Siregar,
Rivay, Tasawuf, Dari Sufisme Klasik Ke Neo-Sufisme, Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 1999, Syukur,
Amin, Zuhud Di Abad Modern, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997, Hlm. 65
Sufiyah,
Surabaya: Pustaka Progressif, 1997,
A. Mustofa, Akhlak Tasawuf. Pustaka
Setia Bandung. 1997 cet I hal 214
Shah, M. Ainul Abied. (Et. Al). 2001, Islam Garda Depan, Mosaik Islam Timur Tengah, Bandung: Mizan, hlm. 218.
Ahmad Bahjat, Bihar Al-Hubb Pledoi Kaum Sufi, Diterjemahkan Oleh Hasan Abrori
Dari Judul Aslinya, Bihar Al-Hubb ‘Inda Al-Sufiyah, Surabaya: Pustaka
Progressif, 1997, Hlm 160
Bahjat, Ibid, 1997, Hlm 160.
Siregar, Rivay, Tasawuf, Dari Sufisme Klasik Ke Neo-Sufisme, Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 1999, Hlm. 37-39
Syukur, Amin, Zuhud Di Abad Modern, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997, Hlm. 65
A.J. Arberry, Pasang Surut Aliran Tasawuf, Bandung: Mizan, 1985, Hlm 36
Hafizh Dasuki, Ensiklopedia Islam, Jilid 5. Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve,
1993, Hlm. 123.
Abd.
Al-Hakim Hasan, Al-Tasawwuf Fi Syi’ri Al-‘Arabi, Mesir: Anjalu
Al-Misriyah,1954, Hlm.38
Amin Syukur, Op.Cit, 1997 Hlm. 66.
Rivay Siregar, Op.Cit, 1999, Hlm. 13.
Rivay
Siregar, Ibid, Hlm 55-56
Al
Taftazani, Op.Cit, 1985, Hlm 77.
Rivay Siregar, Op.Cit, 1999, Hlm 17.
A.J.
Arberry, Ibid, 1950, Hlm. 33.
Hamka, Tasawuf Perkembangan Dan Pemurniannya, Jakarta: Citra Serumpun Padi,
1994, Hlm. 71.
Abdul Al-Hakim Hasan, Op.Cit, 1954, Hlm. 38.