Sunday, June 24, 2018

Guru dalam Perspektif Islam


BAB I
PENDAHULUAN
A.      Latar Belakang Masalah
Tugas  utama  guru  adalah  “mendidik,  mengajar,  membimbing, mengarahkan, melatih, menilai dan mengevaluasi peserta didik “.[1]  Batasan tugas guru tersebut menunjukkan bahwa sosok guru memiliki peran strategis dalam proses pendidikan, bahkan sumber daya pendidikan lain yang memadai seringkali kurang berarti jika tidak disertai dengan kualitas guru yang bermutu. Dengan kata lain, guru merupakan kunci sukses dan ujung tombak dalam upaya meningkatkan kualitas layanan dan hasil pendidikan.[2]
Islam sebagai sebuah agama yang datang menyempurnakan agama sebelumnya sangat mementingkan pendidikan. Dengan pendidikan yang benar dan berkualitas, individu-individu yang beradab akan terbentuk  yang  akhirnya  memunculkan  kehidupan  sosial  yang bermoral. Perhatian pemerintah sebagai pemegang kekuasaan di negara ini juga terlibat dan bertanggung jawab dalam menangani masalah pendidikan dimana institusi-institusi pendidikan saat ini memiliki kualitas dan fasilitas, namun institusi-institusi tersebut masih  belum  memproduksi  individu-individu  yang  beradab. Sebabnya,  visi  dan  misi  pendidikan  yang  mengarah  kepada terbentuknya manusia yang beradab, kurang diperhatikan  dalam tujuan institusi pendidikan. Penekanan kepada pentingnya peserta didik  supaya  hidup  dengan  nilai-nilai  kebaikan,  spiritual  dan moralitas juga seperti terabaikan.    
Seorang pendidik tugasnya bukan hanya mentransfer ilmunya kepada peserta didik akan tetapi juga bertugas bagaimana mendidik peserta didiknya agar menjadi insan yang berakhlakul karimah, sehingga  kelak  peserta  didiknya  menjadi  insan  yang berpengetahuan dan berakhlakul karimah.
Dengan demikian maka  pendidikan adalah menuntun segala kekuatan kodrat yang ada pada peserta didik tersebut agar mereka sebagai manusia dan sebagai anggota masyarakat dapat mencapai keselamatan dan kebahagiaan setinggi-tingginya.
Guru  adalah  kurikulum  berjalan.  Sebaik  apa  kurikulum  dan  sistem pendidikan yang ada tanpa didukung oleh kemampuan guru, semuanya akan sia-sia. Guru berkompeten dan bertanggung jawab, utamanya dalam mengawal perkembangan peserta didik sampai ke suatu titik maksimal. Tujuan akhir seluruh proses pendampingan guru adalah tumbuhnya pribadi dewasa yang utuh.
Seiring dengan kemajuan teknologi  informasi  yang begitu pesat, guru tidak lagi sekedar bertindak sebagai penyaji informasi. Guru juga harus mampu bertindak sebagai fasilitator, motivator, dan pembimbing yang lebih banyak memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk mencari dan mengolah sendiri  informasi.[3]  Dengan  demikian,  guru  juga  harus senantiasa meningkatkan keahliannya dan senantiasa mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi sehingga ia mampu menghadapi berbagai tantangan.
Dalam Islam, sosok guru lebih strategis lagi karena di samping mengemban misi keilmuan, guru juga mengemban tugas suci, yaitu misi dakwah dan misi kenabian, yakni membimbing dan mengarahkan peserta didik ke arah moralitas yang lebih baik menuju jalan Allah SWT.
Dari uraian di atas, selanjutnya dalam makalah ini dibahas lebih lanjut uraian  tentang  guru dalam perspektif Islam (kedudukan guru dalam sejarah pendidikan Islam).
B.       Rumusan Masalah
Adapun fokus masalah yang menjadi rumusan masalah dalam makalah ini adalah:
1.      Apa pengertian guru dalam pendidikan Islam?
2.      Bagaimana kedudukan guru dalam pendidikan Islam?



BAB II
PEMBAHASAN
A.      Pengertian Guru dalam Pendidikan Islam
Dalam  Kamus  Besar  Bahasa  Indonesia,  guru  diartikan  sebagai orang yang pekerjaannya (mata pencahariannya, profesinya) mengajar.[4]  Definisi ini cakupan maknanya sangat luas, mengajar apa saja bisa disebut guru, sehingga ada sebutan guru mengaji, guru silat, guru olah raga, dan guru lainnya. Dalam dunia pendidikan, sebutan guru dikenal sebagai pendidik.
Pendidik yang dikenal banyak orang adalah guru, sehingga banyak pihak mengidentikkan pendidik dengan guru. Sebenarnya banyak spesialisasi pendidik baik dalam arti teoritisi maupun praktisi yang pendidik tapi bukan guru.[5]   Dalam konteks pendidikan Islam, guru adalah semua pihak yang berusaha memperbaiki orang lain secara Islami. Mereka ini bisa orang tua  (ayah atau ibu),  paman,  kakak,  tetangga,  tokoh  agama,  tokoh masyarakat, dan masyarakat luas. Khusus orang tua, Islam memberikan perhatian  penting  terhadap  keduanya  sebagai  pendidik  pertama dan utama bagi anak-anaknya, serta sebagai peletak fondasi yang kokoh bagi pendidikan anak-anaknya di masa depan. Banyak dalil naqli yang menunjukkan hal ini, misalnya sabda Rasulullah SAW :
أَبَا هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ كَانَ يُحَدِّثُ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَا مِنْ مَوْلُودٍ إِلَّا يُولَدُ عَلَى الْفِطْرَةِ فَأَبَوَاهُ يُهَوِّدَانِهِ أَوْ يُنَصِّرَانِهِ أَوْ يُمَجِّسَانِهِ[6]
Artinya:
“Setiap anak dilahirkan dalam keadaan fitrah. Maka orang tuanya yang  menjadikan  mereka  beragama  Yahudi,  Nasrani,  atau  Majusi”. (HR. Bukhari)
Ada beberapa istilah dalam bahasa Arab yang biasa dipakai sebagai  sebutan  bagi  para  guru,  yaitu ustâdz, mu’allim, mursyîd, murabbî, mudarris, dan muaddib.  Istilah-istilah ini, dalam  penggunaannya, memiliki makna tertentu. Muhaimin berupaya mengelaborasi istilah-istilah atau predikat tersebut sebagaimana dalam tabel berikut.[7]
Tabel 2.1. Karakteristik Guru dan Istilah yang semakna dengannya
No
Predikat
Karakteristik
1
Ustadz
Orang yang berkomitmen terhadap profesionalisme,  yang  melekat pada dirinya sikap dedikatif, komitmen terhadap mutu, proses, dan hasil kerja, serta sikap continous improvement
2
Mu’allim
Orang yang menguasai ilmu dan mampu  mengembangkannya serta menjelaskan fungsinya  dalam  kehidupan,  menjelaskan  dimensi  teoritis dan praktisnya, atau sekaligus melakukan transfer ilmu / pengetahuan, internalisasi, serta amaliah
3
Murabbî
Orang  yang  mendidik  dan  menyiapkan  peserta didik agar mampu berkreasi, serta mampu mengatur dan memelihara hasil kreasinya untuk tidak menimbulkan malapetaka bagi dirinya, masyarakat dan alam sekitarnya
4
Mursyîd
Orang yang mampu menjadi model atau sentral identifikasi diri, atau menjadi pusat anutan, teladan dan konsultan bagi peserta didiknya
5
Mudarris
Orang  yang  memiliki  kepekaan  intelektual  dan informasi, serta memperbaharui pengetahuan dan  keahliannya  secara  berkelanjutan,  dan  berusaha  mencerdaskan peserta didiknya, memberantas kebodohan  mereka,  serta  melatih  keterampilan  sesuai dengan bakat, minat dan kemampuannya
Sumber: Muhaimin: 2005
Di samping istilah-istilah atau predikat di atas, dalam tradisi Islam Indonesia ditemukan pula beberapa predikat bagi guru yang biasanya berbeda dalam setiap daerah. Misalnya, Kyai di pulau Jawa dan Madura, Ajengan di Jawa Barat, Tuan Guru di Lombok, dan Teuku di Aceh, Anre Gurutta atau Anrong Guru atau Annang Guru di Sulawesi Selatan dan Barat.
Dengan demikian, maka dapat disimpulkan bahwa istilah guru memiliki beberapa istilah lain yang memiliki makna yang berbeda sesuai dengan penggunaan istilah yang digunakan. Pada hakikatnya guru adalah sosok yang menjadi panutan bagi peserta didiknya yang diguguh dan dicontoh oleh peserta didiknya, sehingga memiliki peran yang sangat penting dalam pembentukan karakter sesuai dengan karakter yang melatar belakangi guru tersebut. Guru yang memiliki moral yang baik, secara tidak langsung menanamkan moral yang baik pula kepada peserta didiknya.
B.       Kedudukan Guru dalam Pendidikan Islam
Kedudukan guru dalam Islam sangat istimewa. Banyak dalil naqli yang menunjukkan hal tersebut. Misalnya Hadits yang diriwayatkan Abi Umamah berikut :
عَنْ أَبِيْ أُمَامَةُ الْباَهِلِيْ قَالَ ... قَالَ رَسُوْلُ اللهَ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ الله وَمَلَائِكَتَه وَأَهْلُ السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضِيْنَ حَتَّى النَّمْلَة فِي حَجَرُهَا وَحَتَّى الْحَوْتَ لِيُصَلُّوْنَ عَلى مُعَلِّمِ النَّاسِ الْخَيْرِ. رواه الترمذي

Artinya:
“Sesungguhnya Allah, para malaikat, dan semua makhluk yang ada di langit dan di bumi, sampai semut yang ada di liangnya dan juga ikan besar, semuanya bersalawat kepada mu’allim yang mengajarkan kebaikan kepada manusia”. (HR. Tirmidzi)

Tingginya kedudukan guru dalam Islam, menurut Ahmad Tafsir, tak bisa dilepaskan dari pandangan bahwa semua ilmu pengetahuan bersumber pada Allah, sebagaimana disebutkan dalam Qs. Al-Baqarah/32:
(#qä9$s% y7oY»ysö6ß Ÿw zNù=Ïæ !$uZs9 žwÎ) $tB !$oYtFôJ¯=tã ( y7¨RÎ) |MRr& ãLìÎ=yèø9$# ÞOŠÅ3ptø:$# ÇÌËÈ  


Terjemahnya:
“mereka menjawab: "Maha suci Engkau, tidak ada yang Kami ketahui selain dari apa yang telah Engkau ajarkan kepada kami; Sesungguhnya Engkaulah yang Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana".[8]

Karena ilmu berasal dari Allah, maka guru pertama adalah Allah.[9] Pandangan demikian melahirkan sikap pada orang Islam bahwa ilmu itu tidak terpisah dari Allah, ilmu tidak terpisah dari guru. Dengan demikian, kedudukan guru amat tinggi dalam Islam.
Alasan lain mengapa guru mendapat kedudukan mulia dalam Islam adalah terkait dengan kewajiban menuntut ilmu bagi setiap muslim. Proses menuntut ilmu berlangsung di bawah bimbingan guru.
Tanpa guru, sulit rasanya peserta didik bisa memperoleh ilmu secara baik dan benar. Itulah sebabnya, kedudukan guru sangat istimewa dalam Islam. Bahkan dalam tradisi tasawuf atau tarekat, dikenal ungkapan, “siapa yang belajar tanpa guru, maka gurunya adalah setan”.
Al-Ghazali menggambarkan kedudukan guru agama sebagai berikut: ”Makhluk di atas bumi yang paling utama adalah manusia, bagian manusia yang paling utama adalah hatinya. Seorang guru sibuk menyempurnakan, memperbaiki, membersihkan dan mengarahkannya agar dekat kepada Allah azza wajalla. Maka mengajarkan ilmu merupakan ibadah dan merupakan pemenuhan tugas dengan khalifah Allah. Bahkan merupakan tugas kekhalifahan Allah yang paling utama. Sebab Allah telah membukakan untuk hati seorang alim suatu pengetahuan, sifat-Nya yang paling istimewa. Ia bagaikan gudang bagi benda-benda yang paling berharga. Kemudian ia diberi izin untuk memberikan kepada orang yang membutuhkan. Maka derajat mana yang lebih tinggi dari seorang hamba yang menjadi perantara antara Tuhan dengan makhluk-Nya daam mendekatkan mereka kepada Allah dan menggiring mereka menuju surga tempat peristirahatan abadi”.[10]
Lebih lanjut al-Gazâlî mengatakan “… orang tua penyebab wujud kekinian dan kehidupan yang fana, sedang guru penentu kehidupan yang abadi”.[11] Dengan ungkapan senada, Ikhwân al-Ṣafâ berkata “… guru telah mengisi jiwamu dengan ragam pengetahuan dan membimbingnya ke jalan keselamatan dan keabadian, seperti apa yang telah dilakukan kedua orang tuamu yang menyebabkan tubuhmu terlahir ke dunia, mengasuhmu dan mengajarimu mencari nafkah hidup di dunia fana ini”.[12]
Kedudukan guru yang istimewa, ternyata berimbang dengan tugas dan tanggungjawabnya yang tidak ringan. Seorang guru agama bukan hanya sekedar sebagai tenaga pengajar, tetapi sekaligus sebagai pendidik. Dengan kedudukan sebagai pendidik, guru berkewajiban untuk mewujudkan tujuan pendidikan Islam, yaitu mengembangkan seluruh potensi peserta didik agar menjadi muslim sempurna.[13]
Untuk mencapai tujuan ini, guru harus berupaya melalui beragam cara seperti; mengajar, melatih, membiasakan, memberi contoh, memberi dorongan, memuji, menghukum, dan bahkan mendoakan. Cara-cara tersebut harus dilakukan secara sungguh-sungguh dan konsisten.
Dengan demikian, maka dapat dipahami bahwa kedudukan guru dalam Islam sangatlah tinggi dimana Islam memandang guru sebagai sosok yang memiliki pemahaman yang dalam sehingga mampu memberikan arah kepada individu yang dibimbingnya sesuai dengan ajaran agama Islam dengan tujuan terciptanya individu atau peserta didik yang memiliki karakter sesuai dengan karakter ajaran Islam.




BAB III
PENUTUP
A.      Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan yang telah pemakalah paparkan pada bab sebelumnya, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:
1.      Istilah guru memiliki makna yang sama dengan istilah ustadz, muallim, murabbi, mursyid dan mudarris yang memiliki makna positif sebagai sosok yang menjadi teladan bagi individu atau peserta didiknya dengan tujuan memberikan arah kepada individu atau peserta didiknya sesuai dengan ajaran agama Islam.
2.      Kedudukan guru dalam Islam memiliki posisi yang tinggi dimana guru dengan ilmu yang dimilikinya berfungsi sebagai pewaris para nabi. Selain itu, guru memiliki kedudukan yang mulia di mata Allah swt. Selain itu, beratnya tanggung jawab guru dalam mengemban amanah serta penerus risalah dalam mengajarkan ajaran Islam, maka guru memiliki kedudukan yang istimewa yang memiliki fungsi ganda, tidak hanya sekedar melepaskan kewajiban mengajar atau transfer of knowledge  namun juga melakukan kegiatan mendidik sehingga terbentuk karakter peserta didik yang terdidik yang dilandasi oleh nilai-nilai ajaran agama yang dianutnya.
B.       Implikasi
1.    Guru memiliki beberapa istilah yang sepadan dengannya, namun memiliki makna yang berbeda bergantung pada objek yang menjadi sasarannya.
2.    Kedudukan guru dalam Islam sangat mulia dan menempati posisi yang sangat tinggi dan istimewa, dimana guru tidak hanya memiliki tanggung jawab dalam hal pengajaran semata juga bertanggung jawab dalam pembentukan karakter peserta didik atau lebih umum dikenal dengan istilah memiliki tanggung jawab moral untuk melakukan pendidik peserta didik sehingga terbangun peserta didik yang beradab sesuai dengan arah dari ajaran agama yang dianutnya.




DAFTAR PUSTAKA
Al-‘Asqalânî, Ibn Hajar. t.th. Fath al-Bârî bi Syarh Saḥîh Bukhârî, Jilid 3. Beirut: Dar al- Fikr. Al-Kitâb al-Janâ iz, al-Bâb Mâ Qîla fî Awlâd al-Mushrikîn, Nomor Hadits 1358.
Departemen Agama RI. 2012. Al-Qur’an dan Terjemahnya. Jakarta: Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam.
Kurniasih, Imas dan Berlin Sani. Kupas Tuntas Kompetensi Pedagogik; Teori dan Praktik. Bandung: Kata Pena.
Muhadjir, Noeng. 2000. Ilmu Pendidikan dan Perubahan Sosial; Teori Pendidikan Pelaku Sosial Kreatif. Yogyakarta : Rake Sarasin.
Muhaimin. 2005. Pengembangan  Kurikulum  Pendidikan  Agama  Islam  di  Sekolah, Madrasah, dan Perguruan Tinggi. Jakarta: Raja Grafindo Perkasa
Ramayulis. 2014. Metodologi Pendidikan Agama Islam. Jakarta: Kalam Mulia.
Republik Indonesia, Undang-Undang Guru dan Dosen Nomor 14 Tahun 2005.
Ridla, Muhammad Jawwad. 2002. Tiga Aliran Utama Teori Pendidikan Islam; Perspektif Sosiologis-Filosofis, terj. Mahmud Arif. Yogyakarta: Tiara Wacana.
Samani, Muchlas. et.all. 2006. Mengenal Sertifikasi Guru di Indonesia. Surabaya: Penerbit SIC  d  Asosiasi  Peneliti  Pendidikan  Indonesia.
Shihab, Quraisy. 2003. Tafsir al-Misbah. Jakarta: Lentera Hati.
Sulaiman, Fathiyah Hasan. 1990. Konsep Pendidikan Al-Ghazali, terj. Ahmad Hakim dan Imam Azis. Jakarta: P3M.
Tafsir, Ahmad. 2001. Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Taniredja, Tukiran. Et.all. 2016. Guru Yang Profesional. Bandung: Alfabeta.
Tim Redaksi. 2005. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional-Balai Pustaka.
Uno, Hamzah B. 2009. Profesi Kependidikan, Problema, Solusi, dan Reformasi Pendidikan di Indonesia. Jakarta: Bumi Aksara.


[1]Republik Indonesia, Undang-Undang Guru dan Dosen Nomor 14 Tahun 2005, Pasal 1, ayat 1.
[2]Muchlas Samani, et.all. Mengenal Sertifikasi Guru di Indonesia (Surabaya: Penerbit SIC  d  Asosiasi  Peneliti  Pendidikan  Indonesia,  2006),  h. 8.
[3]Hamzah B Uno, Profesi Kependidikan, Problema, Solusi, dan Reformasi Pendidikan di Indonesia (Jakarta: Bumi Aksara, 2009), h. 16-17.
[4]Tim Redaksi, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional-Balai Pustaka, 2005), h. 377.
[5]Noeng Muhadjir, Ilmu Pendidikan dan Perubahan Sosial; Teori Pendidikan Pelaku Sosial Kreatif (Yogyakarta: Rake Sarasin, 2000), h. 73.
[6]Ibn Hajar al-‘Asqalânî, Fath al-Bârî bi Syarh Saḥîh Bukhârî, Jilid 3 (Beirut : Dar al- Fikr, t.th), Al-Kitâb al-Janâ iz, al-Bâb Mâ Qîla fî Awlâd al-Mushrikîn, Nomor Hadits 1358, h. 245-246.
[7]Muhaimin, Pengembangan  Kurikulum  Pendidikan  Agama  Islam  di  Sekolah, Madrasah, dan Perguruan Tinggi (Jakarta: Raja Grafindo Perkasa, 2005), h. 50.
[8]Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya (Jakarta: Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam, 2012), h. 6.
[9]Quraisy Shihab, Tafsir al-Misbah (Jakarta: Lentera Hati, 2003), h. 143.
[10]Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2001), h. 77.
[11]Fathiyah Hasan Sulaiman, Konsep Pendidikan Al-Ghazali, terj. Ahmad Hakim dan Imam Azis (Jakarta: P3M, 1990), h. 41.
[12]Fathiyah Hasan Sulaiman, Konsep Pendidikan Al-Ghazali, h. 42.
[13]Muhammad Jawwad Ridla, Tiga Aliran Utama Teori Pendidikan Islam; Perspektif Sosiologis-Filosofis, terj. Mahmud Arif (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2002), h. 169.

Makalah: Mahabbah, Makrifah

BAB I PENDAHULUAN   A.      Latar Belakang Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi membawa manusia larut dan terbuai dalam din...