BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Tugas utama
guru adalah “mendidik,
mengajar, membimbing,
mengarahkan, melatih, menilai dan mengevaluasi peserta didik “.[1] Batasan tugas guru tersebut menunjukkan bahwa
sosok guru memiliki peran strategis dalam proses pendidikan, bahkan sumber daya
pendidikan lain yang memadai seringkali kurang berarti jika tidak disertai
dengan kualitas guru yang bermutu. Dengan kata lain, guru merupakan kunci
sukses dan ujung tombak dalam upaya meningkatkan kualitas layanan dan hasil
pendidikan.[2]
Islam
sebagai sebuah agama yang datang menyempurnakan agama sebelumnya sangat
mementingkan pendidikan. Dengan pendidikan yang benar dan berkualitas,
individu-individu yang beradab akan terbentuk
yang akhirnya memunculkan
kehidupan sosial yang bermoral. Perhatian pemerintah sebagai
pemegang kekuasaan di negara ini juga terlibat dan bertanggung jawab dalam
menangani masalah pendidikan dimana institusi-institusi pendidikan saat ini
memiliki kualitas dan fasilitas, namun institusi-institusi tersebut masih belum
memproduksi individu-individu yang
beradab. Sebabnya, visi dan
misi pendidikan yang
mengarah kepada terbentuknya
manusia yang beradab, kurang diperhatikan
dalam tujuan institusi pendidikan. Penekanan kepada pentingnya peserta
didik supaya hidup
dengan nilai-nilai kebaikan,
spiritual dan moralitas juga seperti
terabaikan.
Seorang
pendidik tugasnya bukan hanya mentransfer ilmunya kepada peserta didik akan
tetapi juga bertugas bagaimana mendidik peserta didiknya agar menjadi insan
yang berakhlakul karimah, sehingga
kelak peserta didiknya
menjadi insan yang berpengetahuan dan berakhlakul karimah.
Dengan
demikian maka pendidikan adalah menuntun
segala kekuatan kodrat yang ada pada peserta didik tersebut agar mereka sebagai
manusia dan sebagai anggota masyarakat dapat mencapai keselamatan dan
kebahagiaan setinggi-tingginya.
Guru adalah kurikulum
berjalan. Sebaik apa
kurikulum dan sistem pendidikan yang ada tanpa didukung
oleh kemampuan guru, semuanya akan sia-sia. Guru berkompeten dan bertanggung
jawab, utamanya dalam mengawal perkembangan peserta didik sampai ke suatu titik
maksimal. Tujuan akhir seluruh proses pendampingan guru adalah tumbuhnya
pribadi dewasa yang utuh.
Seiring dengan kemajuan teknologi
informasi yang begitu pesat, guru
tidak lagi sekedar bertindak sebagai penyaji informasi. Guru juga harus mampu
bertindak sebagai fasilitator, motivator, dan pembimbing yang lebih banyak
memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk mencari dan mengolah
sendiri informasi.[3] Dengan
demikian, guru juga
harus senantiasa meningkatkan keahliannya dan senantiasa mengikuti
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi sehingga ia mampu menghadapi berbagai
tantangan.
Dalam
Islam, sosok guru lebih strategis lagi karena di samping mengemban misi
keilmuan, guru juga mengemban tugas suci, yaitu misi dakwah dan misi kenabian,
yakni membimbing dan mengarahkan peserta didik ke arah moralitas yang lebih
baik menuju jalan Allah SWT.
Dari uraian di atas, selanjutnya dalam makalah ini dibahas lebih
lanjut uraian tentang guru dalam perspektif Islam (kedudukan guru
dalam sejarah pendidikan Islam).
B.
Rumusan Masalah
Adapun
fokus masalah yang menjadi rumusan masalah dalam makalah ini adalah:
1.
Apa pengertian guru dalam pendidikan
Islam?
2.
Bagaimana
kedudukan guru dalam pendidikan Islam?
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Guru
dalam Pendidikan Islam
Dalam Kamus Besar
Bahasa Indonesia, guru
diartikan sebagai orang yang
pekerjaannya (mata pencahariannya, profesinya) mengajar.[4] Definisi ini cakupan maknanya sangat luas,
mengajar apa saja bisa disebut guru, sehingga ada sebutan guru mengaji, guru
silat, guru olah raga, dan guru lainnya. Dalam dunia pendidikan, sebutan guru
dikenal sebagai pendidik.
Pendidik yang dikenal banyak orang adalah guru, sehingga banyak
pihak mengidentikkan pendidik dengan guru. Sebenarnya banyak spesialisasi
pendidik baik dalam arti teoritisi maupun praktisi yang pendidik tapi bukan
guru.[5] Dalam konteks pendidikan Islam, guru adalah
semua pihak yang berusaha memperbaiki orang lain secara Islami. Mereka ini bisa
orang tua (ayah atau ibu), paman,
kakak, tetangga, tokoh
agama, tokoh masyarakat, dan
masyarakat luas. Khusus orang tua, Islam memberikan perhatian penting
terhadap keduanya sebagai
pendidik pertama dan utama bagi
anak-anaknya, serta sebagai peletak fondasi yang kokoh bagi pendidikan
anak-anaknya di masa depan. Banyak dalil naqli yang menunjukkan hal ini,
misalnya sabda Rasulullah SAW :
أَبَا هُرَيْرَةَ
رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ كَانَ يُحَدِّثُ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
مَا مِنْ مَوْلُودٍ إِلَّا يُولَدُ عَلَى الْفِطْرَةِ فَأَبَوَاهُ يُهَوِّدَانِهِ أَوْ
يُنَصِّرَانِهِ أَوْ يُمَجِّسَانِهِ[6]
Artinya:
“Setiap anak dilahirkan dalam keadaan fitrah. Maka orang tuanya yang menjadikan
mereka beragama Yahudi,
Nasrani, atau Majusi”. (HR. Bukhari)
Ada beberapa istilah dalam
bahasa Arab yang biasa dipakai sebagai
sebutan bagi para
guru, yaitu ustâdz, mu’allim, mursyîd, murabbî, mudarris, dan muaddib. Istilah-istilah ini, dalam penggunaannya, memiliki makna tertentu.
Muhaimin berupaya mengelaborasi istilah-istilah atau predikat tersebut
sebagaimana dalam tabel berikut.[7]
Tabel 2.1. Karakteristik Guru dan Istilah yang semakna
dengannya
No
|
Predikat
|
Karakteristik
|
1
|
Ustadz
|
Orang yang berkomitmen
terhadap profesionalisme, yang melekat pada dirinya sikap dedikatif,
komitmen terhadap mutu, proses, dan hasil kerja, serta sikap continous improvement
|
2
|
Mu’allim
|
Orang yang menguasai ilmu
dan mampu mengembangkannya serta menjelaskan
fungsinya dalam kehidupan,
menjelaskan dimensi teoritis dan praktisnya, atau sekaligus
melakukan transfer ilmu / pengetahuan, internalisasi, serta amaliah
|
3
|
Murabbî
|
Orang yang
mendidik dan menyiapkan
peserta didik agar mampu berkreasi, serta mampu mengatur dan
memelihara hasil kreasinya untuk tidak menimbulkan malapetaka bagi dirinya,
masyarakat dan alam sekitarnya
|
4
|
Mursyîd
|
Orang yang mampu menjadi
model atau sentral identifikasi diri, atau menjadi pusat anutan, teladan dan
konsultan bagi peserta didiknya
|
5
|
Mudarris
|
Orang yang
memiliki kepekaan intelektual
dan informasi, serta memperbaharui pengetahuan dan keahliannya
secara berkelanjutan, dan
berusaha mencerdaskan peserta
didiknya, memberantas kebodohan
mereka, serta melatih
keterampilan sesuai dengan
bakat, minat dan kemampuannya
|
Sumber: Muhaimin: 2005
Di samping istilah-istilah atau predikat di atas,
dalam tradisi Islam Indonesia ditemukan pula beberapa predikat bagi guru yang
biasanya berbeda dalam setiap daerah. Misalnya, Kyai di pulau Jawa dan
Madura, Ajengan di Jawa Barat, Tuan Guru di Lombok, dan Teuku di
Aceh, Anre Gurutta atau Anrong Guru atau Annang Guru di
Sulawesi Selatan dan Barat.
Dengan demikian, maka dapat disimpulkan bahwa
istilah guru memiliki beberapa istilah lain yang memiliki makna yang berbeda
sesuai dengan penggunaan istilah yang digunakan. Pada hakikatnya guru adalah
sosok yang menjadi panutan bagi peserta didiknya yang diguguh dan dicontoh oleh
peserta didiknya, sehingga memiliki peran yang sangat penting dalam pembentukan
karakter sesuai dengan karakter yang melatar belakangi guru tersebut. Guru yang
memiliki moral yang baik, secara tidak langsung menanamkan moral yang baik pula
kepada peserta didiknya.
B.
Kedudukan
Guru dalam Pendidikan Islam
Kedudukan guru dalam Islam sangat istimewa. Banyak
dalil naqli yang menunjukkan hal tersebut. Misalnya Hadits yang diriwayatkan Abi
Umamah berikut :
عَنْ أَبِيْ أُمَامَةُ الْباَهِلِيْ قَالَ ... قَالَ رَسُوْلُ اللهَ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ الله وَمَلَائِكَتَه وَأَهْلُ السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضِيْنَ حَتَّى النَّمْلَة فِي حَجَرُهَا وَحَتَّى الْحَوْتَ لِيُصَلُّوْنَ عَلى مُعَلِّمِ النَّاسِ الْخَيْرِ. رواه الترمذي
Artinya:
“Sesungguhnya Allah, para malaikat, dan
semua makhluk yang ada di langit dan di bumi, sampai semut yang ada di liangnya
dan juga ikan besar, semuanya bersalawat kepada mu’allim yang
mengajarkan kebaikan kepada manusia”. (HR. Tirmidzi)
Tingginya kedudukan guru dalam Islam, menurut Ahmad
Tafsir, tak bisa dilepaskan dari pandangan bahwa semua ilmu pengetahuan
bersumber pada Allah, sebagaimana disebutkan dalam Qs. Al-Baqarah/32:
(#qä9$s% y7oY»ysö6ß™ Ÿw zNù=Ïæ !$uZs9 žwÎ) $tB !$oYtFôJ¯=tã ( y7¨RÎ) |MRr& ãLìÎ=yèø9$# ÞOŠÅ3ptø:$# ÇÌËÈ
Terjemahnya:
“mereka menjawab: "Maha suci
Engkau, tidak ada yang Kami ketahui selain dari apa yang telah Engkau ajarkan
kepada kami; Sesungguhnya Engkaulah yang Maha mengetahui lagi Maha
Bijaksana".[8]
Karena ilmu berasal dari Allah, maka guru pertama
adalah Allah.[9]
Pandangan
demikian melahirkan sikap pada orang Islam bahwa ilmu
itu
tidak terpisah dari Allah, ilmu tidak terpisah dari guru. Dengan
demikian,
kedudukan guru amat tinggi dalam Islam.
Alasan lain mengapa
guru mendapat kedudukan mulia dalam Islam adalah terkait
dengan
kewajiban menuntut ilmu bagi setiap muslim. Proses menuntut
ilmu
berlangsung di bawah bimbingan guru.
Tanpa guru, sulit rasanya
peserta
didik bisa memperoleh ilmu secara baik dan benar. Itulah
sebabnya,
kedudukan guru sangat istimewa dalam Islam. Bahkan dalam
tradisi
tasawuf atau tarekat, dikenal ungkapan, “siapa yang belajar tanpa
guru,
maka gurunya adalah setan”.
Al-Ghazali menggambarkan kedudukan guru agama
sebagai
berikut:
”Makhluk di atas bumi yang paling utama adalah manusia,
bagian
manusia yang paling utama adalah hatinya. Seorang guru sibuk
menyempurnakan,
memperbaiki, membersihkan dan mengarahkannya agar
dekat kepada Allah azza wajalla. Maka mengajarkan ilmu
merupakan
ibadah dan merupakan pemenuhan tugas dengan khalifah
Allah.
Bahkan merupakan tugas kekhalifahan Allah yang paling utama.
Sebab
Allah telah membukakan untuk hati seorang alim suatu
pengetahuan,
sifat-Nya yang paling istimewa. Ia bagaikan gudang bagi
benda-benda
yang paling berharga. Kemudian ia diberi izin untuk
memberikan
kepada orang yang membutuhkan. Maka derajat mana yang
lebih tinggi dari seorang hamba yang menjadi perantara antara
Tuhan
dengan makhluk-Nya daam mendekatkan mereka kepada Allah
dan
menggiring mereka menuju surga tempat peristirahatan abadi”.[10]
Lebih lanjut al-Gazâlî mengatakan “… orang tua
penyebab wujud kekinian dan kehidupan yang fana, sedang guru penentu kehidupan
yang abadi”.[11]
Dengan
ungkapan senada, Ikhwân al-Ṣafâ
berkata “… guru telah mengisi jiwamu dengan ragam pengetahuan dan membimbingnya
ke jalan keselamatan dan keabadian, seperti apa yang telah dilakukan kedua
orang tuamu yang menyebabkan tubuhmu terlahir ke dunia, mengasuhmu dan
mengajarimu mencari nafkah hidup di dunia fana ini”.[12]
Kedudukan guru yang istimewa, ternyata berimbang
dengan tugas dan tanggungjawabnya yang tidak
ringan. Seorang guru agama bukan hanya sekedar
sebagai tenaga pengajar, tetapi sekaligus sebagai pendidik.
Dengan kedudukan sebagai pendidik, guru berkewajiban
untuk
mewujudkan tujuan pendidikan Islam, yaitu mengembangkan
seluruh
potensi peserta didik agar menjadi muslim sempurna.[13]
Untuk mencapai tujuan
ini, guru harus berupaya melalui beragam cara seperti;
mengajar,
melatih, membiasakan, memberi contoh, memberi dorongan, memuji, menghukum, dan
bahkan mendoakan. Cara-cara tersebut harus dilakukan secara sungguh-sungguh dan
konsisten.
Dengan demikian, maka dapat dipahami bahwa kedudukan
guru dalam Islam sangatlah tinggi dimana Islam memandang guru sebagai sosok
yang memiliki pemahaman yang dalam sehingga mampu memberikan arah kepada
individu yang dibimbingnya sesuai dengan ajaran agama Islam dengan tujuan
terciptanya individu atau peserta didik yang memiliki karakter sesuai dengan
karakter ajaran Islam.
BAB
III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Berdasarkan
pembahasan yang telah pemakalah paparkan pada bab sebelumnya, maka dapat
ditarik kesimpulan sebagai berikut:
1.
Istilah
guru memiliki makna yang sama dengan istilah ustadz, muallim, murabbi,
mursyid dan mudarris yang memiliki makna positif sebagai sosok yang
menjadi teladan bagi individu atau peserta didiknya dengan tujuan memberikan
arah kepada individu atau peserta didiknya sesuai dengan ajaran agama Islam.
2.
Kedudukan
guru dalam Islam memiliki posisi yang tinggi dimana guru dengan ilmu yang
dimilikinya berfungsi sebagai pewaris para nabi. Selain itu, guru memiliki
kedudukan yang mulia di mata Allah swt. Selain itu, beratnya tanggung jawab
guru dalam mengemban amanah serta penerus risalah dalam mengajarkan ajaran
Islam, maka guru memiliki kedudukan yang istimewa yang memiliki fungsi ganda,
tidak hanya sekedar melepaskan kewajiban mengajar atau transfer of knowledge namun juga melakukan kegiatan mendidik
sehingga terbentuk karakter peserta didik yang terdidik yang dilandasi oleh
nilai-nilai ajaran agama yang dianutnya.
B.
Implikasi
1.
Guru
memiliki beberapa istilah yang sepadan dengannya, namun memiliki makna yang
berbeda bergantung pada objek yang menjadi sasarannya.
2.
Kedudukan
guru dalam Islam sangat mulia dan menempati posisi yang sangat tinggi dan
istimewa, dimana guru tidak hanya memiliki tanggung jawab dalam hal pengajaran
semata juga bertanggung jawab dalam pembentukan karakter peserta didik atau
lebih umum dikenal dengan istilah memiliki tanggung jawab moral untuk melakukan
pendidik peserta didik sehingga terbangun peserta didik yang beradab sesuai
dengan arah dari ajaran agama yang dianutnya.
DAFTAR
PUSTAKA
Al-‘Asqalânî,
Ibn Hajar. t.th. Fath al-Bârî bi Syarh Saḥîh
Bukhârî, Jilid 3. Beirut: Dar al- Fikr. Al-Kitâb al-Janâ iz, al-Bâb Mâ Qîla
fî Awlâd al-Mushrikîn, Nomor Hadits 1358.
Departemen
Agama RI. 2012. Al-Qur’an dan Terjemahnya. Jakarta: Direktorat Jenderal
Bimbingan Masyarakat Islam.
Kurniasih,
Imas dan Berlin Sani. Kupas Tuntas Kompetensi Pedagogik; Teori dan Praktik.
Bandung: Kata Pena.
Muhadjir,
Noeng. 2000. Ilmu Pendidikan dan
Perubahan Sosial; Teori Pendidikan Pelaku Sosial Kreatif. Yogyakarta : Rake
Sarasin.
Muhaimin.
2005. Pengembangan Kurikulum
Pendidikan Agama Islam
di Sekolah, Madrasah, dan Perguruan
Tinggi. Jakarta: Raja Grafindo Perkasa
Ramayulis.
2014. Metodologi Pendidikan Agama Islam. Jakarta: Kalam Mulia.
Republik
Indonesia, Undang-Undang Guru dan Dosen Nomor 14 Tahun 2005.
Ridla, Muhammad Jawwad. 2002. Tiga Aliran Utama Teori Pendidikan
Islam; Perspektif Sosiologis-Filosofis, terj. Mahmud Arif. Yogyakarta:
Tiara Wacana.
Samani, Muchlas. et.all. 2006. Mengenal
Sertifikasi Guru di Indonesia. Surabaya: Penerbit SIC d
Asosiasi Peneliti Pendidikan
Indonesia.
Shihab, Quraisy.
2003. Tafsir al-Misbah. Jakarta: Lentera Hati.
Sulaiman, Fathiyah Hasan. 1990. Konsep Pendidikan Al-Ghazali,
terj. Ahmad Hakim dan Imam Azis. Jakarta: P3M.
Tafsir, Ahmad. 2001. Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam. Bandung:
Remaja Rosdakarya.
Taniredja,
Tukiran. Et.all. 2016. Guru Yang Profesional. Bandung: Alfabeta.
Tim
Redaksi. 2005. Kamus Besar Bahasa
Indonesia. Jakarta: Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional-Balai
Pustaka.
Uno, Hamzah B.
2009. Profesi Kependidikan, Problema, Solusi, dan Reformasi Pendidikan di
Indonesia. Jakarta: Bumi Aksara.
[1]Republik
Indonesia, Undang-Undang Guru dan Dosen Nomor 14 Tahun 2005, Pasal 1,
ayat 1.
[2]Muchlas Samani, et.all. Mengenal Sertifikasi Guru di Indonesia (Surabaya: Penerbit SIC d
Asosiasi Peneliti Pendidikan
Indonesia, 2006), h. 8.
[3]Hamzah B Uno, Profesi
Kependidikan, Problema, Solusi, dan Reformasi Pendidikan di Indonesia (Jakarta:
Bumi Aksara, 2009), h. 16-17.
[4]Tim
Redaksi, Kamus Besar Bahasa Indonesia
(Jakarta: Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional-Balai Pustaka, 2005), h.
377.
[5]Noeng Muhadjir, Ilmu
Pendidikan dan Perubahan Sosial; Teori Pendidikan Pelaku Sosial Kreatif
(Yogyakarta: Rake Sarasin, 2000), h. 73.
[6]Ibn Hajar al-‘Asqalânî, Fath
al-Bârî bi Syarh Saḥîh Bukhârî, Jilid 3 (Beirut : Dar al- Fikr, t.th),
Al-Kitâb al-Janâ iz, al-Bâb Mâ Qîla fî Awlâd al-Mushrikîn, Nomor Hadits 1358,
h. 245-246.
[7]Muhaimin, Pengembangan Kurikulum
Pendidikan Agama Islam
di Sekolah, Madrasah, dan
Perguruan Tinggi (Jakarta: Raja Grafindo Perkasa, 2005), h. 50.
[8]Departemen
Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya (Jakarta: Direktorat Jenderal
Bimbingan Masyarakat Islam, 2012), h. 6.
[9]Quraisy Shihab,
Tafsir al-Misbah (Jakarta: Lentera Hati, 2003), h. 143.
[10]Ahmad
Tafsir, Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam (Bandung: Remaja
Rosdakarya, 2001), h. 77.
[11]Fathiyah
Hasan Sulaiman, Konsep Pendidikan Al-Ghazali, terj. Ahmad Hakim dan Imam
Azis (Jakarta: P3M, 1990), h. 41.
[12]Fathiyah Hasan
Sulaiman, Konsep Pendidikan Al-Ghazali, h. 42.
[13]Muhammad
Jawwad Ridla, Tiga Aliran Utama Teori Pendidikan Islam; Perspektif
Sosiologis-Filosofis, terj. Mahmud Arif (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2002),
h. 169.