Sunday, June 24, 2018

Teori Belajar Pemecahan Masalah



BAB I
PENDAHULUAN
A.  Latar Belakang
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 1menyebutkan bahwa:
Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.[1]
Berdasarkan amanat perundang-undangan yang berlaku di negara Republik Indonesia, maka perlu upaya yang dilakukan oleh pengelola pendidikan untuk menciptakan suasana belajar yang menyenangkan dan proses pembelajaran yang menggenjot semangat peserta didik untuk senantiasa meningkatkan kualitas dirinya dalam belajar.
Sekolah atau madrasah sebagai lembaga penyelenggara pelaksanaan pendidikan merupakan wadah yang menyelenggarakan terjadinya proses pembelajaran. Fungsi sekolah dewasa ini tidak hanya menjadi tempat berlangsungnya transfer pengetahuan oleh guru terhadap peserta didik, namun juga berfungsi untuk membangun mental dan keterampilan peserta didik sehingga melahirkan out put yang mampu bersaing dan memiliki daya saing yang handal.
Terwujudnya fungsi sekolah atau madrasah tentunya memerlukan dukungan yang kuat dari berbagai elemen yang memiliki peran vital di dalamnya. Salah satu elemen yang memiliki peran yang sangat besar adalah pemerintah melalui kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia atau kementerian Agama Republik Indonesia melalui penerapan kurikulum yang dibutuhkan oleh peserta didik sebagai jawaban atas perkembangan zaman.
Mewujudkan pendidikan yang berkualitas tidak hanya mengandalkan kurikulum yang telah diramu oleh para ahli di dalamnya, tetapi juga membutuhkan tenaga guru sebagai pelaksana dalam menerapkan sebuah kurikulum yang telah ditetapkan oleh pemerintah.
Guru tidak hanya dibutuhkan sebagai tenaga pengajar semata yang mengembangkan aspek pengetahuan peserta didik, melainkan memiliki peran yang ganda. Peran ganda yang dimaksudkan antara lain guru juga dituntut untuk melangsungkan pendidikan sehingga terbentuk peserta didik yang memiliki mental yang baik, serta memiliki peran melatih agar terbangun keterampilan peserta didik sesuai dengan kemampuan yang dimilikinya.
Seiring dengan ditingkatkannya kesejahteraan guru melalui berbagai macam tunjangan yang dikucurkan oleh pemerintah pusat, baik dalam bentung tunjangan sertifikasi guru, tunjangan fungsional, maupun tunjangan kinerja bagi guru, sehingga menuntut guru untuk lebih profesional lagi dalam melakoni profesinya sebagai tenaga pendidik dan pengajar.
Namun berdasarkan fakta yang terjadi di lapangan, tunjangan sertifikasi, tunjangan fungsional dan tunjangan kinerja yang diberikan kepada guru justru menyita waktu guru untuk melakukan pengurusan dalam melengkapi berkas pencairan tunjangan tersebut. Akibatnya proses belajar mengajar yang dilakukan oleh guru terkadang tidak berjalan secara maksimal. Selain itu, terdapat sebagian guru yang kurang memiliki kepedulian terhadap peserta didiknya sehingga melahirkan kesan guru hanya sekedar melepaskan tanggung jawab mengajar semata di sekolah atau madrasah, yang berimbas pada ketidak pedulian terhadap tanggung jawab mendidik.
Dampak dari hal tersebut, tentunya ada pada peserta didik yang membutuhkan perhatian guru. Guru seolah-olah lepas tangan dan memaksa peserta didik untuk memecahkan masalah belajarnya sendiri.
Seiring dengan diterapkannya kurikulum 2013, maka peserta didik diarahkan untuk mampu untuk menyelesaikan masalah belajarnya secara mandiri melalui pendekatan saintifict.
Penerapan kurikulum 2013 di era moderen ini tentunya sejalan dengan teori belajar yang telah ditetapkan oleh ahli sebelumnya melalui teori-teori belajar yang mengarahkan pada lahirnya model-model pembelajaran. Salah satu teori belajar yang sejalan dengan penerapan kurikulum 2013 ini adalah teori belajar pemecahan masalah.
Sehingga yang menjadi fokus pembahasan pada makalah ini adalah teori belajar pemecahan masalah.   
B.       Rumusan Masalah
Adapun yang menjadi rumusan masalah dalam makalah ini adalah sebagai berikut:
1.      Bagaimana teori belajar pemecahan masalah?
2.      Bagaimana model-model teori belajar pemecahan masalah?



BAB II
PEMBAHASAN
A.      Teori Belajar Pemecahan Masalah
1.    Problem Solving
George Polya adalah tokoh yang dikenal sebagai bapak problem solving setelah menghabiskan banyak waktu bersama Szego dalam menulis buku tentang problem-problem analisis tentang matematika pada tahun 1913. Beliau banyak menulis tentang analisis penyelesaian masalah sehingga ide dan gagasannya tersebut dijadikan sebagai dasar lahirnya teori problem solving.[2]
Problem solving adalah salah satu bagian dari teori belajar pemecahan masalah yang dikembangkan oleh para ahli. Teori belajar ini dikembangkan dari teori konstruktivisme yang berpandangan bahwa setiap peserta didik harus memaknai pengalaman dan pemahaman yang dimilikinya sehingga proses pembelajaran yang dilalui dapat dapat dimaknai.
Teori kontruktivisme dilandasi oleh ilmu jiwa gestalt yang berpandangan bahwa belajar diransang dengan adanya masalah atau soal. Sehingga dengan adanya masalah atau soal, maka peserta didik dalam belajar akan berupaya semampunya dengan mengerahkan segala kemampuan yang dimilikinya dan memformulasikan berbagai pengalaman yang telah dilaluinya untuk dituangkan dalam mengatasi masalah atau soal yang dihadapinya sebagai satu bentuk pemecahan masalah.
Jhon Dewey melihat dalam pemecahan masalah tersebut dalam lima langkah, yaitu:
a.       Menyadari adanya suatu masalah.
b.      Memajukan hipotesis.
c.       Mengumpulkan data atau keterangan.
d.      Menilai dan mencoba hipotesis.
e.       Mengambil kesimpulan.[3]
Polya menggambarkan bahwa terdapat beberapa cara menyelesaikan masalah yang dikenal dengan istilah heuristika, yaitu:
a.       Memahami masalah.
b.      Merancang rencana.
c.       Menjalankan rencana.
d.      Melihat kembali.[4]
Sejalan dengan pandangan Polya, Bransford dan Stein menjelaskan konsep heuristika yang dibangun oleh Polya dengan istilah IDEAL, yaitu:
a.       Identify problem and oppurtunities.
b.      Define goal and represent the problem.
c.       Explore possible strategies.
d.      Anticipate outcomes and act.
e.       Look back and learn.[5]
Kedua  konsep tersebut di atas, sesungguhnya adalah representasi dari konsep pemecahan masalah yang coba ditunjukan simpanse ketika ingin mendapatkan pisang. Dalam pemahamannya, simpanse juga membangun heuristika untuk tujuannya mendapatkan pisang.[6]
Hal ini menjadi dasar berkembangnya beragam alternatif pemecahan masalah. Secara detail dapat dipahami bahwa alternatif masalah yang ditetapkan oleh Polya dan Bransford mencakup empat hal penting, yaitu:
a.    Mencari dan memahami masalah, merupakan hal pertama yang harus dilakukan setiap individu ketika berhadapan dengan masalah. Sebelum problem terpecahkan, problem harus dikenali dahulu. Sebagai contoh, ketika mendapati situasi dimana seorang peserta didik disuruh mengerjakan soal cerita yang di dalamnya memuat konsep operasi hitung campuran. Maka dalam tahap ini, peserta didik harus bias memahami apakah soal tersebut melibatkan operasi hitung campuran antara penjumlahan dan pengurangan; penjumlahan dengan perkalian; penjumlahan dengan pembagian; pengurangan dengan perkalian, pengurangan dengan pembagian ataukan pembagian dengan perkalian. Dengan mengetahui oprasi hitung apa yang ada dalam soal tersebut maka akan lebih mudah menentukan langkah selanjutnya.
b.    Menyusun strategi pemecahan masalah, memungkinkan peserta didik memberi ruang yang begitu besar terhadap berbagai alternative cara yang perlu dilakukan untuk menyelesaikan masalah. Teknik algoritma, merupakan suatu startegi yang menjamin solusi atas suatu persoalan. Bentuk algoritma berbeda-beda, seperti formula, instruksi serta mencoba semua kemungkinan solusi. Menyambung contoh sebelumnya, maka ketika peserta didik harus menyelesaikan yang melibatkan operasi hitung perkalian dengan penjumlahan, prosedur perkalian dan penjumlahan harus dipakai dalam menyelesaikan soal tersebut.
c.    Mengeksplorasi solusi, memberi kesempatan ke peserta didik untuk mencoba berbagai kemungkinan cara untuk mendapatkan hasil sesuai dengan prosedur yang benar. Dalam konteks ini, peserta didik akan menemukan banyak cara menyelesaikan soal oprasi hitung campuran tersebut. Namun karena aturannya adalah yang harus dilakukan yaitu operasi perkaliannya dulu baru penjumlahan (misalnya), maka prosedur tersebut yang akan dipilih.
d.   Memikirkan dan mendefenisikan kembali masalah dan solusinya dari waktu ke waktu. Hal ini memungkinkan peserta didik dapat melihat berbagai solusi lain yang benar namun juga tetap sesuai prosedur yang baku. Dalam konteks contoh ini, peserta didik dapat merujuk kembali soal tersebut untuk dikaji ulang dan melihat cara dan solusi pengerjaan lainnya.[7]
Selain heuristika, teknik Brainstorming juga bisa diandalkan. Brainstorming adalah startegi pemecahan masalah yang berguna untuk memformulasikan solusi bagi masalah, yaitu dengan langkah-langkah sebagai berikut:
a.    Mendefenisikan masalah.
b.    Membuat sebanyak mungkin solusi tanpa mengevaluasinya.
c.    Memutuskan kriteria untuk menilai solusi tanpa mengevaluasinya.
d.   Menggunakan kriteria tersebut untuk memilih solusi terbaik.[8]
Dengan demikian, maka dapat dipahami bahwa problem solving merupakan suatu keterampilan yang meliputi kemampuan untuk mencari informasi, menganalisa situasi dan mengidentifikasi masalah dengan tujuan untuk menghasilkan alternatif jawaban terhadap masalah yang dihadapi sehingga dapat mengambil suatu tindakan atau sebuah keputusan untuk mencapai sasaran yang diinginkan.

2.    Problem Based Learning
Problem Based Learning (PBL) adalah suatu pendekatan pembelajaran yang menggunakan masalah dunia nyata sebagai suatu konteks bagi peserta didik untuk belajar tentang cara berpikir kriris dan keterampilan pemecahan masalah, serta untuk memperoleh pengetahuan dan konsep yang esensial dari suatu materi pelajaran.
PBL mula-mula dikembangkan pada sekolah kedokteran, Mc Master University Medical School di Hamilton, Canada pada tahun 1960-an. PBL dikembangkan sebagai respon atas fakta bahwa peserta didik mengalami kesulitan di tahun pertama perkuliahan, seperti pada mata kuliah Anatomi, Biokimia, dan Fisiologi.[9]
Mereka tidak termotivasi menempuh mata kuliah tersebut karena tidak melihat adanya relevansi dengan profesi mereka kelak. Selain itu. diperoleh fakta bahwa para dokter muda yang baru lulus dari sekolah kedokteran tersebut memiliki pengetahuan yang kaya, tetapi kurang memiliki keterampilan memadai untuk memanfaatkan pengetahuan tersebut dalam kehidupan sehari-hari. Atas dasar hal tersebut, maka para pengajar mulai merancang pembelajaran yang mendasarkan pada masalah atau kasus-kasus yang aktual. Pembelajaran dimulai dengan penyajian masalah klinis yang dapat diselesaikan dengan menggunakan pengetahuan medis yang relevan.[10]
Landasan teori PBL, yaitu kolaborativisme, suatu pandangan yang berpendapat bahwa peserta didik akan  menyusun pengetahuan degan cara membangun penalaran dari semua pengetahuan yang sudah dimlikinya dan dari semua yang diperoleh sebagai hasil kegiatan berinteraksi dengan sesama individu.
Hal tersebut juga menyiratkan  bahwa proses pembelajaran berpindah dari transfer informasi fasilitator ke proses konstruksi pengetahuan yang sifatnya sosial dan individual.
Bern dan Erickson menegaskan bahwa pembelajaran berbasis masalah (problem-based learning) merupakan strategi pembelajaran yang melibatkan peserta didik dalam memecahkan masalah dengan mengintegrasikan berbagai konsep dan keterampilan dari berbagai disiplin ilmu. Strategi ini meliputi mengumpulkan informasi, dan mempresentasikan penemuan.[11]
Peserta didik terlibat dalam penyelidikan untuk memecahkan masalah yang mengintegrasikan keterampilan dan konsep dari berbagai isi materi pelajaran. Strategi ini mencakup pengumpulkan informasi berkaitan dengan pertanyaan, menyintesa, dan mempresentasikan  penemuannya kepada orang lain.
Pada hakikatnya PBL mengedepankan keaktifan peserta didik dalam memecahkan masalah yang dihadapinya melalui tahapan tertentu seperti pengumpulan informasi yang dapat dilakukan melalui pengamatan terhadap sebuah fenomena maupun pencarian informasi melalui berbagai sumber. Selain itu, juga menuntut peserta didik untuk menyampaikan hasil penemuannya yang dapat disampaikan dalam skala kecil melalui diskusi kelompok maupun dalam cakupan yang luas disampaikan dihadapan teman kelas.
3.    Project Based Learning
Project Based Learning adalah pemanfaatan proyek dalam proses belajar mengajar, dengan tujuan memperdalam pembelajaran, di mana peserta didik menggunakan pertanyaan-pertanyaan investigatif dan juga teknologi yang relevan dengan hidup mereka.
PjBL merupakan penerapan dari pembelajaran aktif yang berdasar pada teori kontruktivisme dari Seymour Papert yang merupakan murid dari Jean Piaget.[12]
Pembelajaran ini mencoba mengaitkan antara produk teknologi dengan masalah-masalah kehidupan sehari-hari yang dihadapi oleh peserta didik. Pembelajaran PjBL mengedepankan keterlibatan peserta didik secara komprehensip dalam pembelajaran dengan melakukan penyelidikan bersama anggota kelompoknya. Selain itu, peserta didik juga diminta untuk merancang, melakukan pemecahan masalah, dan melaksanakan pengambilan keputusan.
Melibatkan peserta didik dalam pembelajaran berarti menuntut peserta didik untuk terlibat aktif dalam sebuah proses pembelajaran sehingga peserta didik dapat memotivasi dirinya melalui pengalaman. Tujuan dari melibatkan peserta didik pada teori pemecahan masalah ini ialah melahirkan peserta didik yang berfikir secara orisinil yang berujung pada pemecahan masalah dalam kehidupan nyata.
Brown dan Campione menyatakan bahwa terdapat dua komponen pokok dalam pembelajaran berbasis projek, yaitu:
a.    Masalah menantang yang mendorong peserta didik untuk mengorganisasikan dan melaksanakan suatu kegiatan yang secara keseluruhan mengarahkan peserta didik kepada suatu proyek yang bermakna dan harus diselesaikan sendiri sebagai tim.
b.    Karya akhir berupa suatu artefak atau serangkaian artefak, atau suatu penyelesaian tugas berkelanjutan yang bermakna bagi pengembangan pengetahuan dan keterampilan mereka.[13]  
PjBL menurut Seungyeon Han dan Kakali Bhattacharya memuat tiga fase pokok yaitu:
a.    Planning, yaitu fase perencanaan yang mencakup tentang:
1)   Pemilihan topik.
2)   Menemukan sumber yang relevan dengan topik.
3)   Mengorganisasikan sumber-sumber menjadi suatu bentuk yang berguna.
b.    Creating, yaitu fase implementasi atau fase penciptaan yang mencakup tentang:
1)   Pengembangan gagasan terkait proyek.
2)   Menggabungkan dan menyinergikan seluruh kontribusi dari anggota kelompok.
3)   Menyujudkan proyek.
c.    Processing, yaitu fase pemrosesan yang mencakup tentang:
1)   Bertukar informasi terkait proyek hasil karya.
2)   Melakukan refleksi terhadap hasil karya.[14]
Dengan demikian, maka dapat dipahami bahwa PjBL merupakan pengembangan dari teori belajar kontruktivisme yang menghubungkan antara penggunaan produk teknologi dengan masalah-masalah yang dihadapi oleh peserta didi dalam kesehariannya dalam proses pembelajaran yang mengarahkan peserta didik untuk terlibat aktif dalam proses pembelajaran sehingga melahirkan pemikiran yang orisinil dari peserta didik untuk menyelesaikan masalah yang dihadapinya.

B.       Model-Model Teori Belajar Pemecahan Masalah
1.      Model Pembelajaran Problem Solving
Model pemecahan masalah (problem solving) adalah penggunaan model pembelajaran dalam kegiatan pembelajaran dengan jalan melatih peserta didik menghadapi berbagai masalah baik itu masalah pribadi atau perorangan maupun masalah kelompok untuk dipecahkan sendiri atau secara bersama-sama. Orientasi pembelajaran problem solving adalah investigasi dan penemuan yang pada dasarnya adalah pemecahan masalah.
Adapun sintaks dari model problem solving adalah sebagai berikut:
a.    Orientasi pada masalah.
b.    Pengelompokan pebelajar.
c.    Pendampingan melalui bimbingan individual dan kelompok.
d.   Pengembangan dan penyajian hasil karya.
e.    Menganalisis dan penyajian hasil karya.[15]
Adapun manfaat penggunaan model problem solving dalam pembelajaran adalah:
a.    Mengembangkan kemampuan peserta didik dalam memecahkan masalah-masalah serta mengambil keputusan secara obyektif dan rasional.
b.    Mengembangkan kemampuan berpikir kritis, logis dan analitis.
c.    Mengembangkan sikap toleransi terhadap orang lain serta sikap hati-hati dalam mengemukakan pendapat.
d.   Memberikan pengalaman proses dalam menarik kesimpulan bagi peserta didik.[16]
Setiap model pembelajaran tentunya memiliki kelebihan dan kekurangan.  Kelebihan dari model problem solving adalah:
a.    Melatih peserta didik untuk mendesain suatu penemuan.
b.    Berpikir dan bertindak kreatif.
c.    Memecahkan masalah yang dihadapi secara realistis.
d.   Mengidentifikasi dan melakukan penyelidikan.
e.    Menafsirkan dan mengevaluasi hasil pengamatan.
f.     Merangsang perkembangan kemajuan berfikir peserta didik untuk menyelesaikan masalah yang dihadapi dengan tepat.
g.    Dapat membuat pendidikan sekolah lebih relevan dengan kehidupan lingkungan sekitar, khususnya dunia kerja.
h.    Mendidik peserta didik untuk berpikir secara sistematis.
i.      Mampu mencari berbagai jalan keluar dari suatu kesulitan yang dihadapi.
j.      Belajar mengalalisis suatu masalah dari berbagai aspek.
k.    Mendidik peserta didik untuk percaya diri.[17]
Sedangkan kelemahan dari model problem solving adalah:
a.    Memerlukan alokasi waktu yang lebih panjang dibandingkan dengan metode pembelajaran yang lain.
b.    Di dalam kelompok kemampuan anggotanya heterogen, maka peserta didik yang pandai akan mendominasi dalam diskusi sedang peserta didik yang kurang pandai menjadi pasif sebagai pendengar saja.[18]
Model problem solving adalah salah satu model pembelajaran yang mengarahkan peserta didik dalam proses pembelajaran untuk aktif melakukan kegiatan pembelajaran. Dimana peserta didik dituntut untuk memecahkan masalahnya baik dilakukan secara mandiri maupun secara berkelompok dengan tujuan melatih peserta didik untuk mapu mengatasi masalah yang dihadapinya. Model ini akan efektif jika peserta didik termotivasi oleh masalah yang dihadapinya, selain itu membutuhkan sikap percaya diri dari peserta didik dalam memecahkan masalahnya.
2.      Model Pembelajaran Berbasis Masalah
Model pembelajaran berbasis masalah adalah pembelajaran yang menekankan pada proses penyelesaian masalah yang bersifat nyata atau fakta. Hal inilah yang mendasari sehingga terjadi perbedaan antara model problem solving dengan problem based learning yaitu pada masalah yang akan dipecahkan dimana model problem solving memecahkan masalah yang sifatnya abstrakyang cukup melalui diskusi semata, sedangkan problem based learning masalah yang dipecahkan bersifat fakta yang membutuhkan penelitian atau pengamatan secara langsung oleh peserta didik .
Sintaks dari model problem based learning tidak berbeda dengan sintaks dari problem solving sebab keduanya merupakan model pembelajaran yang berorientasi pada pemecahan masalah.
Adapun sintaks model problem based learning adalah:
a.       Melakukan orientasi masalah pada kepada siswa.
b.      Mengorganisasikan siswa untuk belajar.
c.       Mengembangkan dan menyajikan artefak dan memamerkannya.
d.      Menganalisis dan mengevaluasi proses penyelesaian masalah.[19]
Sebagai suatu model pembelajaran, model pembelajaran berbasis masalah memiliki beberapa keunggulan, di antaranya :
a.    Pemecahan masalah merupakan teknik yang cukup bagus untuk lebih memahami isi pelajaran.
b.    Pemecahan masalah dapat menantang kemampuan peserta didik serta memberikan kepuasan untuk menentukan pengetahuan baru bagi peserta didik.
c.    Pemecahan masalah dapat meningkatkan aktivitas pembelajaran peserta didik.
d.   Pemecahan masalah dapat membantu peserta didik bagaimana mentrasfer pengetahuan mereka untuk memahami masalah dalam kehidupan nyata.
e.    Pemecahan masalah dapat membantu peserta didik untuk mengembangkan pengetahuan barunya dan bertanggungjawab dalam pembelajaran yang mereka lakukan.
f.     Melalui pemecahan masalah dianggap lebih menyenangkan dan disukai peserta didik.
g.    Pemecahan masalah dapat mengembangkan kemampuan peserta didik untuk berpikir kritis dan mengembangkan kemampuan mereka untuk menyesuaikan dengan pengetahuan baru.
h.    Pemecahan masalah dapat memberikan kesempatan pada peserta didik untuk mengaplikasikan pengetahuan yang mereka miliki dalam dunia nyata.
i.      Pemecahan masalah dapat mengembangkan minat peserta didik untuk secara terus menerus belajar.[20]
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa strategi pembelajaran berbasis masalah harus dimulai dengan kesadaran adanya masalah yang harus dipecahkan. Pada tahapan ini guru membimbing peserta didik pada kesadaran adanya kesenjangan atau gap yang dirasakan oleh manusia atau lingkungan sosial.
Kemampuan yang harus dicapai oleh peserta didik, pada tahapan ini adalah peserta didik dapat menentukan atau menangkap kesenjangan yang terjadi dari berbagai fenomena yang ada.
Disamping keunggulannya, model ini juga mempunyai kelemahan, yaitu:
a.    Manakala peserta didik tidak memiliki minat atau tidak mempunyai kepercayaan bahwa masalah yang dipelajari sulit untuk dipecahkan, maka mereka akan merasa enggan untuk mencoba.
b.    Keberhasilan strategi pembelajaran melalui problem solving membutuhkan cukup waktu untuk persiapan.
c.    Tanpa pemahaman mengapa mereka berusaha untuk memecahkan masalah yang sedang dipelajari, maka mereka tidak akan belajar apa yang mereka ingin pelajari.[21]
Dengan demikian, maka dapat dipahami bahwa model problem based learning adalah salah satu bagian dari teori belajar yang mengarahkan peserta didik untuk memecahkan masalah nyata yang dihadapinya melalui tahapan tertentu atau sintaks dengan tujuan memberikan peserta didik keterampian untuk mengatasi masalah nyata yang dihadapinya.
3.      Model Pembelajaran Berbasis Projek
Langkah-langkah pembelajaran berbasis proyek yaitu peserta didik diberikan tu­gas dengan mengembangkan tema  atau topik dalam pembelajaran dengan melakukan kegiatan proyek yang realistik. Di samping itu, penerapan pembelajaran berbasis proyek ini mendorong tumbuhnya kreativitas, kemandirian, tanggung jawab, kepercayaan diri, serta berpikir kritis dan analitis pada peserta didik.
Secara umum, langkah-langkah Pembelajaran berbasis proyek (PBP) dapat dijelaskan sebagai berikut:
a.    Penentuan proyek, pada langkah ini peserta didik menentukan tema atau topik proyek berdasarkan tugas proyek yang diberikan oleh guru.
b.    Perancangan, peserta didik merancang langkah-langkah kegiatan penyelesaian proyek dari awal sampai akhir beserta pengelolaannya.
c.    Penyusunan jadwal pelaksanaan proyek, peserta didik di bawah pendampingan guru melakukan penjadwalan semua kegiatan yang telah dirancangnya.
d.   Penyelesaian proyek dengan fasilitasi dan monitoring guru, langkah ini merupakan langkah pengimplementasian rancangan proyek yang telah dibuat. Aktivitas yang dapat dilakukan dalam kegiatan proyek di antaranya adalah dengan a) membaca, b) meneliti, c) observasi, d) interview, e) merekam, f) berkarya seni, g) mengunjungi objek proyek, atau h) akses internet. Guru bertanggung jawab memonitor aktivitas peserta didik dalam melakukan tugas proyek mulai proses hingga penyelesaian proyek. Pada kegiatan monitoring, guru membuat rubrik yang akan dapat merekam aktivitas peserta didik dalam menyelesaikan tugas proyek.
e.    Penyusunan laporan dan presentasi atau publikasi hasil proyek, hasil proyek dalam bentuk produk, baik itu berupa produk karya tulis, karya seni, atau karya teknologi atau prakarya dipresentasikan dan atau dipublikasikan kepada peserta didik yang lain dan guru atau masyarakat dalam bentuk pameran produk pembelajaran.
f.     Evaluasi proses dan hasil proyek, guru dan peserta didik pada akhir proses pembelajaran melakukan refleksi terhadap aktivitas dan hasil tugas proyek. Proses refleksi pada tugas proyek dapat dilakukan secara individu maupun kelompok. Pada tahap evaluasi, peserta didik diberi kesempatan mengemukakan pengalamannya selama menyelesaikan tugas proyek yang berkembang dengan diskusi untuk memperbaiki kinerja selama menyelesaikan tugas proyek. Pada tahap ini juga dilakukan umpan balik terhadap proses dan produk yang telah dihasilkan.[22]
Kelebihan dan kekurangan pembelajaran berbasis proyek (project based learning) adalah sebagai berikut:
a.    Meningkatkan motivasi belajar peserta didik untuk belajar, mendorong kemampuan mereka untuk melakukan pekerjaan penting, dan mereka perlu untuk dihargai.
b.    Meningkatkan kemampuan pemecahan masalah.
c.    Membuat peserta didik menjadi lebih aktif dan berhasil memecahkan problem-problem yang kompleks.
d.   Meningkatkan kolaborasi.
e.    Mendorong peserta didik untuk mengembangkan dan mempraktikkan keterampilan komunikasi.
f.     Meningkatkan keterampilan peserta didikdalam mengelola sumber.
g.    Memberikan pengalaman kepada peserta didik pembelajaran dan praktik dalam mengorganisasi proyek, dan membuat alokasi waktu dan sumber-sumber lain seperti perlengkapan untuk menyelesaikan tugas.
h.    Menyediakan pengalaman belajar yang melibatkan peserta didik secara kompleks dan dirancang untuk berkembang sesuai dunia nyata.
i.      Melibatkan para peserta didik untuk belajar mengambil informasi dan menunjukkan pengetahuan yang dimiliki, kemudian diimplementasikan dengan dunia nyata.
j.      Membuat suasana belajar menjadi menyenangkan, sehingga peserta didik maupun pendidik menikmati proses pembelajaran.[23] 
Sedangkan kelemahan dari model Pembelajaran Berbasis Proyek adalah:
a.    Memerlukan banyak waktu untuk menyelesaikan masalah.
b.    Membutuhkan biaya yang cukup banyak.
c.    Banyak instruktur yang merasa nyaman dengan kelas tradisional, di mana instruktur memegang peran utama di kelas.
d.   Banyaknya peralatan yang harus disediakan.
e.    Peserta didik yang memiliki kelemahan dalam percobaan dan pengumpulan informasi akan mengalami kesulitan.
f.     Ada kemungkinan peserta didik yang kurang aktif dalam kerja kelompok.
g.    Ketika topik yang diberikan kepada masing-masing kelompok berbeda, dikhawatirkan peserta didik tidak bisa memahami topik secara keseluruhan.[24]
Untuk mengatasi kelemahan dari pembelajaran berbasis proyek di atas seorang pendidik harus dapat mengatasi dengan cara memfasilitasi peserta didik dalam menghadapi masalah, membatasi waktu peserta didik dalam menyelesaikan proyek, meminimalis dan menyediakan peralatan yang sederhana yang terdapat di lingkungan sekitar, memilih lokasi penelitian yang mudah dijangkau sehingga tidak membutuhkan banyak waktu dan biaya, menciptakan suasana pembelajaran yang menyenangkan sehingga instruktur dan peserta didik merasa nyaman dalam proses pembelajaran.
Dengan demikian, maka dapat dipahami bahwa pembelajaran berbasis projek merupakan salah satuan model pembelajaran yang berbasis pemecahan masalah melalui projek atau pemanfaatan produk teknologi dalam melalukan pemecahan masalah nyata yang dihadapi oleh peserta didik yang bertujuan pada pengembangan pengetahuan dan keterampilan peserta didik melalui percobaan-percobaan yang diberikan oleh guru.






BAB III
PENUTUP
A.      Kesimpulan
Adapun kesimpulan dari pembahasan masalah yang telah pemakalah paparkan pada bab sebelumnya adalah sebagai berikut:
1.      Teori belajar pemecahan masalah merupakan pengembangan dari teori belajar kontruktivisme yang menjadikan masalah atau soal sebagai alasan bagi peserta didik untuk belajar. Teori pemecahan masalah ini melahirkan tiga pendekatan dalam penyelesaian masalah, yaitu problem solving, problem based learning dan projek based learning.
2.      Pengembangan teori belajar pemecahan masalah melahirkan tiga model dalam pembelajaran yang pada hakikatnya bertujuan untuk mengantarkan peserta didik untuk memecahkan masalah yang dihadapinya. Ketiga model pembelajaran tersebut adalah model pembelajaran problem solving, model pembelejaran problem based learning dan model pembelajaran projek based learning.
B.       Implikasi
1.    Teori belajar pemecahan masalah diharapkan berimplikasi positif dalam mendesain perencanaan pelaksanaan pembelajaran yang merupakan kegiatan menerjemahkan kurikulum sekolah atau madrasah ke dalam kegiatan pembelajaran di dalam kelas.
2.    Memahami berbagai pendekatan disiplin ilmu yang membahas mengenai dasar teori belajar pemecahan masalah dapat memberikan sebuah pandangan dan paradigma baru tentang dunia pendidikan yang lebih komprehensif dan universal.



DAFTAR PUSTAKA
Barnawi dan M. Arifin. 2012. Strategi dan Kebijakan Pembelajaran Pendidikan Karakter. Cet. I; Jogjakarta: Ar-Ruzz Media.
Daradjat, Zakiat. 2004. Metodik Khusus Pengajaran Agama Islam. Cet. III; Jakarta: Bumi Aksara. 
Djamarah, Syaiful Bahri. 2002. Psikologi Belajar. Cet. I; Jakarta: Rineka Cipta.
Hamalik, Oemar. 2009. Proses Belajar Mengajar. Cet. X; Jakarta: Bumi Aksara.
Hergenhahn, B.R. dan Mattew H. Olson. 2012. Theories of Learning. Cet. IV; Jakarta: Kencana.
Jannah, Miftahul. “Problem Solving”, Blog Rifna’s Corner. http: //rifnatul. blogspot. com / 2011 / 12 / problem-solving.html (22 Juni 2018).
Komalasari, Kokom. 2013. Pembelajaran Kontekstual: Konsep dan Aplikasi. Cet. III; Bandung: Revika Aditama.
Mufida, Zahratul. et.all. “Model Problem Solving”, Blog Vida. http: // berandamilikvida. blogspot. com / 2014 / 06 / makalah-model-problem-solving. html. (22 Juni 2018).
Nasution, S. 2004. Didaktik Asas-Asas Mengajar. Cet. III; Jakarta: Bumi Aksara.
Odjan, Lambertina Sillun. “Model Pembelajaran Projek Based Learning”, Blog Geografi Kanjuruhan. http: // ignaswujon. blogspot. com / 2015 / 03 / makalah-belajar-dan-pembelajaran-model. html. (22 Juni 2018).
Rahman, Mahlia Nur. “Metakognisi dan Problem Solving”, Blog Miftahridlo. http: // miftahridlo. wordpress. com / 2010 / 01 / 04 / gestalt-theory-tatapan-sepintas-terhadap-teori-gestalt-wolfgang-kohler/htm. (22 Juni 2018).
Republik Indonesia, Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional Nomor 20 Tahun 2003, bab I, pasal 1.
Riyanto, Agus. ” Sejarah Model Problem Based Learning PBL Karakter dan Langkah Penerapannya”, Blog Among Guru. https://www. amongguru. com /sejarah-model-problem-based-learning-pbl-karakter-dan-langkah-penerapannya / html. ( 22 Juni 2018).
Syaputra, M. Iqbal. et.all, “Model Pembelajaran Problem Based Learning”, Blog Muhammad Iqbal Syaputra. http://iqbalpgrismg. blogspot. com / 2012 / 12 / makalah-pbl-problem-based-learning. html. (22 Juni 2018).
Warsono dan Hariyanto. 2013. Pembelajaran Aktif: Teori dan Asesmen. Cet. II; Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.



[1]Republik Indonesia, Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional Nomor 20 Tahun 2003, bab I, pasal 1.
[2]Miftahul Jannah, “Problem Solving”, Blog Rifna’s Corner. http: //rifnatul. blogspot. com / 2011 / 12 / problem-solving.html (22 Juni 2018).
[3]S. Nasution, Didaktik Asas-Asas Mengajar (Cet. III; Jakarta: Bumi Aksara, 2004), h. 44.
[4]B.R. Hergenhahn dan Mattew H. Olson, Theories of Learning (Cet. IV; Jakarta: Kencana, 2012), h. 420.
[5]Mahlia Nur Rahman, “Metakognisi dan Problem Solving”, Blog Miftahridlo. http: // miftahridlo. wordpress. com / 2010 / 01 / 04 / gestalt-theory-tatapan-sepintas-terhadap-teori-gestalt-wolfgang-kohler/htm. (22 Juni 2018).
[6]Mahlia Nur Rahman, “Metakognisi dan Problem Solving”. (22 Juni 2018).  
[7]Mahlia Nur Rahman, “Metakognisi dan Problem Solving”. (22 Juni 2018).   
[8]B.R. Hergenhahn dan Mattew H. Olson, Theories of Learning, h. 428. 
[9]Agus Riyanto,” Sejarah Model Problem Based Learning PBL Karakter dan Langkah Penerapannya”, Blog Among Guru. https://www. amongguru. com /sejarah-model-problem-based-learning-pbl-karakter-dan-langkah-penerapannya / html. ( 22 Juni 2018).
[10]Agus Riyanto,” Sejarah Model Problem Based Learning PBL Karakter dan Langkah Penerapannya. ( 22 Juni 2018).
[11]Kokom Komalasari, Pembelajaran Kontekstual: Konsep dan Aplikasi, (Cet. III; Bandung: Revika Aditama, 2013), h. 59.
[12]Warsono dan Hariyanto, Pembelajaran Aktif: Teori dan Asesmen (Cet. II; Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2013), h. 152.
[13]Warsono dan Hariyanto, Pembelajaran Aktif: Teori dan Asesmen, h. 156.  
[14]Warsono dan Hariyanto, Pembelajaran Aktif: Teori dan Asesmen, h. 157.
[15]Zahratul Mufida et.all, “Model Problem Solving”, Blog Vida. http: // berandamilikvida. blogspot. com / 2014 / 06 / makalah-model-problem-solving. html. (22 Juni 2018).
[16]Zahratul Mufida et.all, “Model Problem Solving”. (22 Juni 2018).
[17]Zahratul Mufida et.all, “Model Problem Solving”. (22 Juni 2018). 
[18]Zahratul Mufida et.all, “Model Problem Solving”. (22 Juni 2018). 
[19]Warsono dan Hariyanto, Pembelajaran Aktif: Teori dan Asesmen (Cet. II; Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2013), h. 151.
[20]M. Iqbal Syaputra, et.all, “Model Pembelajaran Problem Based Learning”, Blog Muhammad Iqbal Syaputra. http://iqbalpgrismg. blogspot. com / 2012 / 12 / makalah-pbl-problem-based-learning. html. (22 Juni 2018).
[21]M. Iqbal Syaputra, et.all, “Model Pembelajaran Problem Based Learning. (22 Juni 2018).  
[22]Lambertina Sillun Odjan, “Model Pembelajaran Projek Based Learning”, Blog Geografi Kanjuruhan. http: // ignaswujon. blogspot. com / 2015 / 03 / makalah-belajar-dan-pembelajaran-model. html. (22 Juni 2018).
[23]Lambertina Sillun Odjan, “Model Pembelajaran Projek Based Learning. (22 Juni 2018). 
[24]Lambertina Sillun Odjan, “Model Pembelajaran Projek Based Learning. (22 Juni 2018).   

No comments:

Makalah: Mahabbah, Makrifah

BAB I PENDAHULUAN   A.      Latar Belakang Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi membawa manusia larut dan terbuai dalam din...