BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Undang-Undang
Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 1menyebutkan
bahwa:
Pendidikan
adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses
pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk
memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian,
kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya,
masyarakat, bangsa dan negara.[1]
Berdasarkan
amanat perundang-undangan yang berlaku di negara Republik Indonesia, maka perlu
upaya yang dilakukan oleh pengelola pendidikan untuk menciptakan suasana
belajar yang menyenangkan dan proses pembelajaran yang menggenjot semangat
peserta didik untuk senantiasa meningkatkan kualitas dirinya dalam belajar.
Sekolah atau madrasah sebagai lembaga penyelenggara pelaksanaan
pendidikan merupakan wadah yang menyelenggarakan terjadinya proses
pembelajaran. Fungsi sekolah dewasa ini tidak hanya menjadi tempat
berlangsungnya transfer pengetahuan oleh guru terhadap peserta didik, namun
juga berfungsi untuk membangun mental dan keterampilan peserta didik sehingga
melahirkan out put yang mampu bersaing dan memiliki daya saing yang
handal.
Terwujudnya fungsi sekolah atau madrasah tentunya memerlukan dukungan
yang kuat dari berbagai elemen yang memiliki peran vital di dalamnya. Salah
satu elemen yang memiliki peran yang sangat besar adalah pemerintah melalui
kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia atau kementerian Agama
Republik Indonesia melalui penerapan kurikulum yang dibutuhkan oleh peserta
didik sebagai jawaban atas perkembangan zaman.
Mewujudkan pendidikan yang berkualitas tidak hanya mengandalkan
kurikulum yang telah diramu oleh para ahli di dalamnya, tetapi juga membutuhkan
tenaga guru sebagai pelaksana dalam menerapkan sebuah kurikulum yang telah
ditetapkan oleh pemerintah.
Guru tidak hanya dibutuhkan sebagai tenaga pengajar semata yang
mengembangkan aspek pengetahuan peserta didik, melainkan memiliki peran yang
ganda. Peran ganda yang dimaksudkan antara lain guru juga dituntut untuk
melangsungkan pendidikan sehingga terbentuk peserta didik yang memiliki mental
yang baik, serta memiliki peran melatih agar terbangun keterampilan peserta
didik sesuai dengan kemampuan yang dimilikinya.
Seiring dengan ditingkatkannya kesejahteraan guru melalui berbagai
macam tunjangan yang dikucurkan oleh pemerintah pusat, baik dalam bentung
tunjangan sertifikasi guru, tunjangan fungsional, maupun tunjangan kinerja bagi
guru, sehingga menuntut guru untuk lebih profesional lagi dalam melakoni
profesinya sebagai tenaga pendidik dan pengajar.
Namun berdasarkan fakta yang terjadi di lapangan, tunjangan
sertifikasi, tunjangan fungsional dan tunjangan kinerja yang diberikan kepada
guru justru menyita waktu guru untuk melakukan pengurusan dalam melengkapi
berkas pencairan tunjangan tersebut. Akibatnya proses belajar mengajar yang
dilakukan oleh guru terkadang tidak berjalan secara maksimal. Selain itu,
terdapat sebagian guru yang kurang memiliki kepedulian terhadap peserta
didiknya sehingga melahirkan kesan guru hanya sekedar melepaskan tanggung jawab
mengajar semata di sekolah atau madrasah, yang berimbas pada ketidak pedulian
terhadap tanggung jawab mendidik.
Dampak dari hal tersebut, tentunya ada pada peserta didik yang
membutuhkan perhatian guru. Guru seolah-olah lepas tangan dan memaksa peserta
didik untuk memecahkan masalah belajarnya sendiri.
Seiring dengan diterapkannya kurikulum 2013, maka peserta didik
diarahkan untuk mampu untuk menyelesaikan masalah belajarnya secara mandiri
melalui pendekatan saintifict.
Penerapan kurikulum 2013 di era moderen ini tentunya sejalan dengan
teori belajar yang telah ditetapkan oleh ahli sebelumnya melalui teori-teori
belajar yang mengarahkan pada lahirnya model-model pembelajaran. Salah satu
teori belajar yang sejalan dengan penerapan kurikulum 2013 ini adalah teori
belajar pemecahan masalah.
Sehingga yang menjadi fokus pembahasan pada makalah ini adalah
teori belajar pemecahan masalah.
B.
Rumusan Masalah
Adapun yang menjadi rumusan masalah
dalam makalah ini adalah sebagai berikut:
1.
Bagaimana
teori belajar pemecahan masalah?
2.
Bagaimana
model-model teori belajar pemecahan masalah?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Teori Belajar Pemecahan Masalah
1. Problem Solving
George Polya adalah tokoh yang
dikenal sebagai bapak problem solving setelah menghabiskan banyak
waktu bersama Szego dalam menulis buku tentang problem-problem analisis tentang
matematika pada tahun 1913. Beliau banyak menulis tentang analisis penyelesaian
masalah sehingga ide dan gagasannya tersebut dijadikan sebagai dasar lahirnya
teori problem solving.[2]
Problem solving adalah salah satu bagian dari teori belajar
pemecahan masalah yang dikembangkan oleh para ahli. Teori belajar ini
dikembangkan dari teori konstruktivisme yang berpandangan bahwa setiap
peserta didik harus memaknai pengalaman dan pemahaman yang dimilikinya sehingga
proses pembelajaran yang dilalui dapat dapat dimaknai.
Teori kontruktivisme dilandasi oleh
ilmu jiwa gestalt yang berpandangan bahwa belajar diransang dengan adanya
masalah atau soal. Sehingga dengan adanya masalah atau soal, maka peserta didik
dalam belajar akan berupaya semampunya dengan mengerahkan segala kemampuan yang
dimilikinya dan memformulasikan berbagai pengalaman yang telah dilaluinya untuk
dituangkan dalam mengatasi masalah atau soal yang dihadapinya sebagai satu
bentuk pemecahan masalah.
Jhon Dewey melihat dalam pemecahan
masalah tersebut dalam lima langkah, yaitu:
a.
Menyadari
adanya suatu masalah.
b.
Memajukan
hipotesis.
c.
Mengumpulkan
data atau keterangan.
d.
Menilai
dan mencoba hipotesis.
e.
Mengambil
kesimpulan.[3]
Polya menggambarkan bahwa terdapat beberapa cara menyelesaikan masalah yang
dikenal dengan istilah heuristika, yaitu:
a.
Memahami masalah.
b.
Merancang rencana.
c.
Menjalankan rencana.
d.
Melihat kembali.[4]
Sejalan dengan pandangan Polya, Bransford dan Stein menjelaskan konsep heuristika
yang dibangun oleh Polya dengan istilah IDEAL, yaitu:
a.
Identify problem and oppurtunities.
b.
Define goal and represent the
problem.
c.
Explore possible strategies.
d.
Anticipate outcomes and act.
e.
Look back and learn.[5]
Kedua konsep tersebut di atas, sesungguhnya adalah representasi dari
konsep pemecahan masalah yang coba ditunjukan simpanse ketika ingin mendapatkan
pisang. Dalam pemahamannya, simpanse juga membangun heuristika untuk tujuannya
mendapatkan pisang.[6]
Hal ini menjadi dasar berkembangnya beragam alternatif pemecahan masalah.
Secara detail dapat dipahami bahwa alternatif masalah yang ditetapkan oleh
Polya dan Bransford mencakup empat hal penting, yaitu:
a.
Mencari dan memahami masalah,
merupakan hal pertama yang harus dilakukan setiap individu ketika berhadapan
dengan masalah. Sebelum problem terpecahkan, problem harus dikenali dahulu.
Sebagai contoh, ketika mendapati situasi dimana seorang peserta didik disuruh
mengerjakan soal cerita yang di dalamnya memuat konsep operasi hitung campuran.
Maka dalam tahap ini, peserta didik harus bias memahami apakah soal tersebut
melibatkan operasi hitung campuran antara penjumlahan dan pengurangan;
penjumlahan dengan perkalian; penjumlahan dengan pembagian; pengurangan dengan
perkalian, pengurangan dengan pembagian ataukan pembagian dengan perkalian.
Dengan mengetahui oprasi hitung apa yang ada dalam soal tersebut maka akan
lebih mudah menentukan langkah selanjutnya.
b.
Menyusun strategi pemecahan masalah,
memungkinkan peserta didik memberi ruang yang begitu besar terhadap berbagai
alternative cara yang perlu dilakukan untuk menyelesaikan masalah. Teknik
algoritma, merupakan suatu startegi yang menjamin solusi atas suatu persoalan.
Bentuk algoritma berbeda-beda, seperti formula, instruksi serta mencoba semua
kemungkinan solusi. Menyambung contoh sebelumnya, maka ketika peserta didik
harus menyelesaikan yang melibatkan operasi hitung perkalian dengan
penjumlahan, prosedur perkalian dan penjumlahan harus dipakai dalam
menyelesaikan soal tersebut.
c.
Mengeksplorasi solusi, memberi
kesempatan ke peserta didik untuk mencoba berbagai kemungkinan cara untuk
mendapatkan hasil sesuai dengan prosedur yang benar. Dalam konteks ini, peserta
didik akan menemukan banyak cara menyelesaikan soal oprasi hitung campuran
tersebut. Namun karena aturannya adalah yang harus dilakukan yaitu operasi
perkaliannya dulu baru penjumlahan (misalnya), maka prosedur tersebut yang akan
dipilih.
d.
Memikirkan dan mendefenisikan
kembali masalah dan solusinya dari waktu ke waktu. Hal ini memungkinkan peserta
didik dapat melihat berbagai solusi lain yang benar namun juga tetap sesuai
prosedur yang baku. Dalam konteks contoh ini, peserta didik dapat merujuk
kembali soal tersebut untuk dikaji ulang dan melihat cara dan solusi pengerjaan
lainnya.[7]
Selain heuristika, teknik Brainstorming juga bisa diandalkan.
Brainstorming adalah startegi pemecahan masalah yang berguna untuk
memformulasikan solusi bagi masalah, yaitu dengan langkah-langkah sebagai
berikut:
a.
Mendefenisikan masalah.
b.
Membuat sebanyak mungkin solusi
tanpa mengevaluasinya.
c.
Memutuskan kriteria untuk menilai
solusi tanpa mengevaluasinya.
d.
Menggunakan kriteria tersebut untuk
memilih solusi terbaik.[8]
Dengan demikian, maka dapat dipahami
bahwa problem solving merupakan suatu keterampilan yang meliputi
kemampuan untuk mencari informasi, menganalisa situasi dan mengidentifikasi
masalah dengan tujuan untuk menghasilkan alternatif jawaban terhadap masalah yang
dihadapi sehingga dapat mengambil suatu tindakan atau sebuah keputusan untuk
mencapai sasaran yang diinginkan.
2. Problem Based Learning
Problem Based Learning (PBL) adalah suatu pendekatan pembelajaran yang
menggunakan masalah dunia nyata sebagai suatu konteks bagi peserta didik untuk
belajar tentang cara berpikir kriris dan keterampilan pemecahan masalah, serta
untuk memperoleh pengetahuan dan konsep yang esensial dari suatu materi
pelajaran.
PBL mula-mula dikembangkan pada sekolah kedokteran, Mc Master University
Medical School di Hamilton, Canada pada tahun 1960-an. PBL dikembangkan
sebagai respon atas fakta bahwa peserta didik mengalami kesulitan di tahun
pertama perkuliahan, seperti pada mata kuliah Anatomi, Biokimia, dan Fisiologi.[9]
Mereka tidak termotivasi menempuh mata kuliah tersebut karena tidak melihat
adanya relevansi dengan profesi mereka kelak. Selain itu. diperoleh fakta bahwa
para dokter muda yang baru lulus dari sekolah kedokteran tersebut memiliki
pengetahuan yang kaya, tetapi kurang memiliki keterampilan memadai untuk
memanfaatkan pengetahuan tersebut dalam kehidupan sehari-hari. Atas dasar hal tersebut, maka para pengajar mulai
merancang pembelajaran yang mendasarkan pada masalah atau kasus-kasus yang
aktual. Pembelajaran dimulai dengan penyajian masalah klinis yang dapat
diselesaikan dengan menggunakan pengetahuan medis yang relevan.[10]
Landasan teori PBL, yaitu kolaborativisme, suatu pandangan yang berpendapat
bahwa peserta didik akan menyusun pengetahuan degan cara membangun penalaran
dari semua pengetahuan yang sudah dimlikinya dan dari semua yang diperoleh
sebagai hasil kegiatan berinteraksi dengan sesama individu.
Hal tersebut juga menyiratkan bahwa proses pembelajaran berpindah dari
transfer informasi fasilitator ke proses konstruksi pengetahuan yang sifatnya
sosial dan individual.
Bern dan Erickson menegaskan
bahwa pembelajaran berbasis masalah (problem-based learning) merupakan
strategi pembelajaran yang melibatkan peserta didik dalam memecahkan masalah
dengan mengintegrasikan berbagai konsep dan keterampilan dari berbagai disiplin
ilmu. Strategi ini meliputi mengumpulkan informasi, dan mempresentasikan
penemuan.[11]
Peserta
didik terlibat dalam penyelidikan untuk memecahkan masalah yang
mengintegrasikan keterampilan dan konsep dari berbagai isi materi pelajaran.
Strategi ini mencakup pengumpulkan informasi berkaitan dengan pertanyaan,
menyintesa, dan mempresentasikan
penemuannya kepada orang lain.
Pada
hakikatnya PBL mengedepankan keaktifan peserta didik dalam memecahkan masalah
yang dihadapinya melalui tahapan tertentu seperti pengumpulan informasi yang
dapat dilakukan melalui pengamatan terhadap sebuah fenomena maupun pencarian
informasi melalui berbagai sumber. Selain itu, juga menuntut peserta didik
untuk menyampaikan hasil penemuannya yang dapat disampaikan dalam skala kecil
melalui diskusi kelompok maupun dalam cakupan yang luas disampaikan dihadapan
teman kelas.
3. Project Based Learning
Project Based Learning adalah pemanfaatan proyek dalam proses belajar mengajar, dengan
tujuan memperdalam pembelajaran, di mana peserta didik menggunakan
pertanyaan-pertanyaan investigatif dan juga teknologi yang relevan dengan hidup
mereka.
PjBL merupakan penerapan dari
pembelajaran aktif yang berdasar pada teori kontruktivisme dari Seymour Papert
yang merupakan murid dari Jean Piaget.[12]
Pembelajaran ini mencoba mengaitkan
antara produk teknologi dengan masalah-masalah kehidupan sehari-hari yang
dihadapi oleh peserta didik. Pembelajaran PjBL mengedepankan keterlibatan
peserta didik secara komprehensip dalam pembelajaran dengan melakukan
penyelidikan bersama anggota kelompoknya. Selain itu, peserta didik juga
diminta untuk merancang, melakukan pemecahan masalah, dan melaksanakan pengambilan
keputusan.
Melibatkan peserta didik dalam
pembelajaran berarti menuntut peserta didik untuk terlibat aktif dalam sebuah
proses pembelajaran sehingga peserta didik dapat memotivasi dirinya melalui
pengalaman. Tujuan dari melibatkan peserta didik pada teori pemecahan masalah
ini ialah melahirkan peserta didik yang berfikir secara orisinil yang berujung
pada pemecahan masalah dalam kehidupan nyata.
Brown dan Campione menyatakan bahwa
terdapat dua komponen pokok dalam pembelajaran berbasis projek, yaitu:
a.
Masalah
menantang yang mendorong peserta didik untuk mengorganisasikan dan melaksanakan
suatu kegiatan yang secara keseluruhan mengarahkan peserta didik kepada suatu
proyek yang bermakna dan harus diselesaikan sendiri sebagai tim.
b.
Karya
akhir berupa suatu artefak atau serangkaian artefak, atau suatu penyelesaian
tugas berkelanjutan yang bermakna bagi pengembangan pengetahuan dan
keterampilan mereka.[13]
PjBL menurut Seungyeon Han dan
Kakali Bhattacharya memuat tiga fase pokok yaitu:
a.
Planning, yaitu fase perencanaan yang mencakup tentang:
1)
Pemilihan
topik.
2)
Menemukan
sumber yang relevan dengan topik.
3)
Mengorganisasikan
sumber-sumber menjadi suatu bentuk yang berguna.
b.
Creating, yaitu fase implementasi atau fase penciptaan yang mencakup
tentang:
1)
Pengembangan
gagasan terkait proyek.
2)
Menggabungkan
dan menyinergikan seluruh kontribusi dari anggota kelompok.
3)
Menyujudkan
proyek.
c.
Processing, yaitu fase pemrosesan yang mencakup tentang:
1)
Bertukar
informasi terkait proyek hasil karya.
2)
Melakukan
refleksi terhadap hasil karya.[14]
Dengan demikian, maka dapat dipahami
bahwa PjBL merupakan pengembangan dari teori belajar kontruktivisme yang
menghubungkan antara penggunaan produk teknologi dengan masalah-masalah yang
dihadapi oleh peserta didi dalam kesehariannya dalam proses pembelajaran yang
mengarahkan peserta didik untuk terlibat aktif dalam proses pembelajaran
sehingga melahirkan pemikiran yang orisinil dari peserta didik untuk
menyelesaikan masalah yang dihadapinya.
B.
Model-Model Teori Belajar Pemecahan Masalah
1.
Model Pembelajaran Problem Solving
Model pemecahan masalah (problem solving) adalah penggunaan model
pembelajaran dalam kegiatan pembelajaran
dengan jalan melatih peserta didik menghadapi berbagai masalah baik itu masalah
pribadi atau perorangan maupun masalah kelompok untuk dipecahkan sendiri atau
secara bersama-sama. Orientasi pembelajaran problem
solving adalah investigasi dan penemuan
yang pada dasarnya adalah pemecahan masalah.
Adapun sintaks dari model problem
solving adalah sebagai berikut:
a.
Orientasi
pada masalah.
b.
Pengelompokan
pebelajar.
c.
Pendampingan
melalui bimbingan individual dan kelompok.
d.
Pengembangan
dan penyajian hasil karya.
e.
Menganalisis
dan penyajian hasil karya.[15]
Adapun manfaat penggunaan model problem
solving dalam pembelajaran adalah:
a. Mengembangkan
kemampuan peserta didik dalam memecahkan masalah-masalah serta mengambil
keputusan secara obyektif dan rasional.
b. Mengembangkan
kemampuan berpikir kritis, logis dan analitis.
c. Mengembangkan sikap
toleransi terhadap orang lain serta sikap hati-hati dalam mengemukakan
pendapat.
d. Memberikan pengalaman
proses dalam menarik kesimpulan bagi peserta didik.[16]
Setiap model pembelajaran tentunya memiliki kelebihan dan kekurangan. Kelebihan dari model problem solving
adalah:
a.
Melatih peserta didik untuk
mendesain suatu penemuan.
b.
Berpikir dan bertindak kreatif.
c.
Memecahkan masalah yang dihadapi
secara realistis.
d.
Mengidentifikasi dan melakukan
penyelidikan.
e.
Menafsirkan dan mengevaluasi hasil
pengamatan.
f.
Merangsang perkembangan kemajuan
berfikir peserta didik untuk menyelesaikan masalah yang dihadapi dengan tepat.
g.
Dapat membuat pendidikan sekolah
lebih relevan dengan kehidupan lingkungan sekitar, khususnya dunia kerja.
h.
Mendidik peserta didik untuk
berpikir secara sistematis.
i.
Mampu mencari berbagai jalan keluar
dari suatu kesulitan yang dihadapi.
j.
Belajar mengalalisis suatu masalah
dari berbagai aspek.
k.
Mendidik peserta didik untuk percaya
diri.[17]
Sedangkan
kelemahan dari model problem solving adalah:
a.
Memerlukan alokasi waktu yang lebih
panjang dibandingkan dengan metode pembelajaran yang lain.
b.
Di dalam kelompok kemampuan
anggotanya heterogen, maka peserta didik yang pandai akan mendominasi dalam
diskusi sedang peserta didik yang kurang pandai menjadi pasif sebagai pendengar
saja.[18]
Model problem solving adalah
salah satu model pembelajaran yang mengarahkan peserta didik dalam proses
pembelajaran untuk aktif melakukan kegiatan pembelajaran. Dimana peserta didik
dituntut untuk memecahkan masalahnya baik dilakukan secara mandiri maupun
secara berkelompok dengan tujuan melatih peserta didik untuk mapu mengatasi
masalah yang dihadapinya. Model ini akan efektif jika peserta didik termotivasi
oleh masalah yang dihadapinya, selain itu membutuhkan sikap percaya diri dari
peserta didik dalam memecahkan masalahnya.
2.
Model Pembelajaran Berbasis Masalah
Model pembelajaran berbasis masalah
adalah pembelajaran yang menekankan pada proses penyelesaian masalah yang
bersifat nyata atau fakta. Hal inilah yang mendasari sehingga terjadi perbedaan
antara model problem solving dengan problem based learning
yaitu pada masalah yang akan dipecahkan dimana model problem solving
memecahkan masalah yang sifatnya abstrakyang cukup melalui diskusi semata,
sedangkan problem based learning masalah yang dipecahkan
bersifat fakta yang membutuhkan penelitian atau pengamatan secara langsung oleh
peserta didik .
Sintaks dari model problem based
learning tidak berbeda dengan sintaks dari problem solving sebab
keduanya merupakan model pembelajaran yang berorientasi pada pemecahan masalah.
Adapun sintaks model problem
based learning adalah:
a.
Melakukan
orientasi masalah pada kepada siswa.
b.
Mengorganisasikan
siswa untuk belajar.
c.
Mengembangkan
dan menyajikan artefak dan memamerkannya.
d.
Menganalisis
dan mengevaluasi proses penyelesaian masalah.[19]
Sebagai suatu model pembelajaran, model pembelajaran berbasis masalah
memiliki beberapa keunggulan, di antaranya :
a.
Pemecahan masalah merupakan teknik
yang cukup bagus untuk lebih memahami isi pelajaran.
b.
Pemecahan masalah dapat menantang
kemampuan peserta didik serta memberikan kepuasan untuk menentukan pengetahuan
baru bagi peserta didik.
c.
Pemecahan masalah dapat meningkatkan
aktivitas pembelajaran peserta didik.
d.
Pemecahan masalah dapat membantu
peserta didik bagaimana mentrasfer pengetahuan mereka untuk memahami masalah
dalam kehidupan nyata.
e.
Pemecahan masalah dapat membantu
peserta didik untuk mengembangkan pengetahuan barunya dan bertanggungjawab
dalam pembelajaran yang mereka lakukan.
f.
Melalui pemecahan masalah dianggap
lebih menyenangkan dan disukai peserta didik.
g.
Pemecahan masalah dapat
mengembangkan kemampuan peserta didik untuk berpikir kritis dan mengembangkan
kemampuan mereka untuk menyesuaikan dengan pengetahuan baru.
h.
Pemecahan masalah dapat memberikan
kesempatan pada peserta didik untuk mengaplikasikan pengetahuan yang mereka
miliki dalam dunia nyata.
i.
Pemecahan masalah dapat
mengembangkan minat peserta didik untuk secara terus menerus belajar.[20]
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa strategi pembelajaran berbasis
masalah harus dimulai dengan kesadaran adanya masalah yang harus dipecahkan.
Pada tahapan ini guru membimbing peserta didik pada kesadaran adanya
kesenjangan atau gap yang dirasakan oleh manusia atau lingkungan sosial.
Kemampuan yang harus dicapai oleh peserta didik, pada tahapan ini adalah
peserta didik dapat menentukan atau menangkap kesenjangan yang terjadi dari
berbagai fenomena yang ada.
Disamping
keunggulannya, model ini juga mempunyai kelemahan, yaitu:
a.
Manakala peserta didik tidak
memiliki minat atau tidak mempunyai kepercayaan bahwa masalah yang dipelajari
sulit untuk dipecahkan, maka mereka akan merasa enggan untuk mencoba.
b.
Keberhasilan strategi pembelajaran
melalui problem solving membutuhkan cukup waktu untuk persiapan.
c.
Tanpa pemahaman mengapa mereka
berusaha untuk memecahkan masalah yang sedang dipelajari, maka mereka tidak
akan belajar apa yang mereka ingin pelajari.[21]
Dengan demikian, maka dapat dipahami
bahwa model problem based learning adalah salah satu bagian dari teori
belajar yang mengarahkan peserta didik untuk memecahkan masalah nyata yang
dihadapinya melalui tahapan tertentu atau sintaks dengan tujuan memberikan
peserta didik keterampian untuk mengatasi masalah nyata yang dihadapinya.
3.
Model Pembelajaran Berbasis Projek
Langkah-langkah pembelajaran berbasis proyek yaitu peserta didik diberikan
tugas dengan mengembangkan tema atau topik
dalam pembelajaran dengan melakukan kegiatan proyek yang realistik. Di samping
itu, penerapan pembelajaran berbasis proyek ini mendorong tumbuhnya
kreativitas, kemandirian, tanggung jawab, kepercayaan diri, serta berpikir
kritis dan analitis pada peserta didik.
Secara umum, langkah-langkah Pembelajaran berbasis proyek (PBP) dapat
dijelaskan sebagai berikut:
a.
Penentuan proyek, pada langkah ini
peserta didik menentukan tema atau topik proyek berdasarkan tugas proyek yang
diberikan oleh guru.
b.
Perancangan, peserta didik merancang
langkah-langkah kegiatan penyelesaian proyek dari awal sampai akhir beserta
pengelolaannya.
c.
Penyusunan jadwal pelaksanaan proyek,
peserta didik di bawah pendampingan guru melakukan penjadwalan semua kegiatan
yang telah dirancangnya.
d.
Penyelesaian proyek dengan
fasilitasi dan monitoring guru, langkah ini merupakan langkah pengimplementasian
rancangan proyek yang telah dibuat. Aktivitas yang dapat dilakukan dalam
kegiatan proyek di antaranya adalah dengan a) membaca, b) meneliti, c)
observasi, d) interview, e) merekam, f) berkarya seni, g) mengunjungi objek
proyek, atau h) akses internet. Guru bertanggung jawab memonitor aktivitas
peserta didik dalam melakukan tugas proyek mulai proses hingga penyelesaian
proyek. Pada kegiatan monitoring, guru membuat rubrik yang akan dapat merekam
aktivitas peserta didik dalam menyelesaikan tugas proyek.
e.
Penyusunan laporan dan presentasi
atau publikasi hasil proyek, hasil proyek dalam bentuk produk, baik itu berupa
produk karya tulis, karya seni, atau karya teknologi atau prakarya
dipresentasikan dan atau dipublikasikan kepada peserta didik yang lain dan guru
atau masyarakat dalam bentuk pameran produk pembelajaran.
f.
Evaluasi proses dan hasil proyek,
guru dan peserta didik pada akhir proses pembelajaran melakukan refleksi
terhadap aktivitas dan hasil tugas proyek. Proses refleksi pada tugas proyek dapat
dilakukan secara individu maupun kelompok. Pada tahap evaluasi, peserta didik
diberi kesempatan mengemukakan pengalamannya selama menyelesaikan tugas proyek
yang berkembang dengan diskusi untuk memperbaiki kinerja selama menyelesaikan
tugas proyek. Pada tahap ini juga dilakukan umpan balik terhadap proses dan
produk yang telah dihasilkan.[22]
Kelebihan dan kekurangan pembelajaran berbasis
proyek (project based learning) adalah sebagai berikut:
a.
Meningkatkan motivasi belajar
peserta didik untuk belajar, mendorong kemampuan mereka untuk melakukan
pekerjaan penting, dan mereka perlu untuk dihargai.
b.
Meningkatkan kemampuan pemecahan
masalah.
c.
Membuat peserta didik menjadi lebih aktif dan berhasil memecahkan
problem-problem yang kompleks.
d.
Meningkatkan kolaborasi.
e.
Mendorong peserta didik untuk mengembangkan dan mempraktikkan keterampilan
komunikasi.
f.
Meningkatkan keterampilan peserta didikdalam mengelola sumber.
g.
Memberikan pengalaman kepada peserta
didik pembelajaran dan praktik dalam mengorganisasi proyek, dan membuat alokasi
waktu dan sumber-sumber lain seperti perlengkapan untuk menyelesaikan tugas.
h.
Menyediakan pengalaman belajar yang
melibatkan peserta didik secara kompleks dan dirancang untuk berkembang sesuai
dunia nyata.
i.
Melibatkan para peserta didik untuk
belajar mengambil informasi dan menunjukkan pengetahuan yang dimiliki, kemudian
diimplementasikan dengan dunia nyata.
j.
Membuat suasana belajar menjadi
menyenangkan, sehingga peserta didik maupun pendidik menikmati proses
pembelajaran.[23]
Sedangkan kelemahan dari model Pembelajaran Berbasis Proyek adalah:
a.
Memerlukan banyak waktu untuk
menyelesaikan masalah.
b.
Membutuhkan biaya yang cukup banyak.
c.
Banyak instruktur yang merasa nyaman
dengan kelas tradisional, di mana instruktur memegang peran utama di kelas.
d.
Banyaknya peralatan yang harus
disediakan.
e.
Peserta didik yang memiliki kelemahan dalam percobaan dan pengumpulan informasi akan
mengalami kesulitan.
f.
Ada kemungkinan peserta
didik yang kurang aktif dalam kerja kelompok.
g.
Ketika topik yang diberikan kepada
masing-masing kelompok berbeda, dikhawatirkan peserta didik tidak bisa memahami
topik secara keseluruhan.[24]
Untuk mengatasi kelemahan dari pembelajaran berbasis proyek di atas seorang
pendidik harus dapat mengatasi dengan cara memfasilitasi peserta didik dalam
menghadapi masalah, membatasi waktu peserta didik dalam menyelesaikan proyek,
meminimalis dan menyediakan peralatan yang sederhana yang terdapat di
lingkungan sekitar, memilih lokasi penelitian yang mudah dijangkau sehingga
tidak membutuhkan banyak waktu dan biaya, menciptakan suasana pembelajaran yang
menyenangkan sehingga instruktur dan peserta didik merasa nyaman dalam proses
pembelajaran.
Dengan demikian, maka dapat dipahami bahwa pembelajaran berbasis projek
merupakan salah satuan model pembelajaran yang berbasis pemecahan masalah
melalui projek atau pemanfaatan produk teknologi dalam melalukan pemecahan
masalah nyata yang dihadapi oleh peserta didik yang bertujuan pada pengembangan
pengetahuan dan keterampilan peserta didik melalui percobaan-percobaan yang
diberikan oleh guru.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Adapun
kesimpulan dari pembahasan masalah yang telah pemakalah paparkan pada bab
sebelumnya adalah sebagai berikut:
1.
Teori
belajar pemecahan masalah merupakan pengembangan dari teori belajar kontruktivisme
yang menjadikan masalah atau soal sebagai alasan bagi peserta didik untuk
belajar. Teori pemecahan masalah ini melahirkan tiga pendekatan dalam
penyelesaian masalah, yaitu problem solving, problem based learning
dan projek based learning.
2.
Pengembangan
teori belajar pemecahan masalah melahirkan tiga model dalam pembelajaran yang
pada hakikatnya bertujuan untuk mengantarkan peserta didik untuk memecahkan
masalah yang dihadapinya. Ketiga model pembelajaran tersebut adalah model
pembelajaran problem solving, model pembelejaran problem based
learning dan model pembelajaran projek based learning.
B.
Implikasi
1. Teori belajar pemecahan masalah
diharapkan berimplikasi positif dalam mendesain perencanaan pelaksanaan
pembelajaran yang merupakan kegiatan menerjemahkan kurikulum sekolah atau
madrasah ke dalam kegiatan pembelajaran di dalam kelas.
2. Memahami berbagai pendekatan
disiplin ilmu yang membahas mengenai dasar teori belajar pemecahan masalah
dapat memberikan sebuah pandangan dan paradigma baru tentang dunia pendidikan
yang lebih komprehensif dan universal.
DAFTAR PUSTAKA
Barnawi dan M. Arifin.
2012. Strategi dan Kebijakan Pembelajaran Pendidikan Karakter. Cet. I;
Jogjakarta: Ar-Ruzz Media.
Daradjat, Zakiat. 2004.
Metodik Khusus Pengajaran Agama Islam. Cet. III; Jakarta: Bumi
Aksara.
Djamarah, Syaiful
Bahri. 2002. Psikologi Belajar. Cet. I; Jakarta: Rineka Cipta.
Hamalik, Oemar. 2009. Proses
Belajar Mengajar. Cet. X; Jakarta: Bumi Aksara.
Hergenhahn, B.R. dan
Mattew H. Olson. 2012. Theories of Learning. Cet. IV; Jakarta: Kencana.
Jannah, Miftahul.
“Problem Solving”, Blog Rifna’s Corner. http: //rifnatul. blogspot. com
/ 2011 / 12 / problem-solving.html (22 Juni 2018).
Komalasari, Kokom.
2013. Pembelajaran Kontekstual: Konsep dan Aplikasi. Cet. III; Bandung:
Revika Aditama.
Mufida,
Zahratul. et.all. “Model Problem Solving”, Blog Vida. http: //
berandamilikvida. blogspot. com / 2014 / 06 / makalah-model-problem-solving.
html. (22 Juni 2018).
Nasution, S. 2004.
Didaktik Asas-Asas Mengajar. Cet. III; Jakarta: Bumi Aksara.
Odjan, Lambertina
Sillun. “Model Pembelajaran Projek Based Learning”, Blog Geografi
Kanjuruhan. http: //
ignaswujon. blogspot. com / 2015 / 03 / makalah-belajar-dan-pembelajaran-model.
html. (22 Juni 2018).
Rahman, Mahlia
Nur. “Metakognisi dan Problem Solving”, Blog Miftahridlo. http: // miftahridlo. wordpress. com / 2010 / 01
/ 04 / gestalt-theory-tatapan-sepintas-terhadap-teori-gestalt-wolfgang-kohler/htm.
(22 Juni 2018).
Republik
Indonesia, Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional Nomor 20 Tahun 2003,
bab I, pasal 1.
Riyanto, Agus. ” Sejarah Model Problem Based Learning PBL Karakter dan Langkah
Penerapannya”, Blog Among
Guru. https://www. amongguru. com
/sejarah-model-problem-based-learning-pbl-karakter-dan-langkah-penerapannya /
html. ( 22 Juni 2018).
Syaputra, M.
Iqbal. et.all, “Model Pembelajaran Problem Based Learning”, Blog
Muhammad Iqbal Syaputra. http://iqbalpgrismg. blogspot. com / 2012 / 12 /
makalah-pbl-problem-based-learning. html. (22 Juni 2018).
Warsono dan
Hariyanto. 2013. Pembelajaran Aktif: Teori dan Asesmen. Cet. II;
Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.
[1]Republik
Indonesia, Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional Nomor 20 Tahun 2003,
bab I, pasal 1.
[2]Miftahul
Jannah, “Problem Solving”, Blog Rifna’s Corner. http: //rifnatul.
blogspot. com / 2011 / 12 / problem-solving.html (22 Juni 2018).
[3]S. Nasution, Didaktik
Asas-Asas Mengajar (Cet. III; Jakarta: Bumi Aksara, 2004), h. 44.
[4]B.R. Hergenhahn dan
Mattew H. Olson, Theories
of Learning (Cet. IV; Jakarta: Kencana, 2012), h. 420.
[5]Mahlia Nur
Rahman, “Metakognisi dan Problem Solving”, Blog Miftahridlo. http: // miftahridlo. wordpress. com / 2010 / 01 / 04 / gestalt-theory-tatapan-sepintas-terhadap-teori-gestalt-wolfgang-kohler/htm.
(22 Juni 2018).
[9]Agus Riyanto,” Sejarah Model Problem
Based Learning PBL Karakter dan Langkah Penerapannya”, Blog Among
Guru. https://www. amongguru. com /sejarah-model-problem-based-learning-pbl-karakter-dan-langkah-penerapannya
/ html. ( 22 Juni 2018).
[10]Agus Riyanto,” Sejarah Model Problem
Based Learning PBL Karakter dan Langkah Penerapannya”. ( 22
Juni 2018).
[11]Kokom Komalasari, Pembelajaran
Kontekstual: Konsep dan Aplikasi, (Cet. III; Bandung: Revika Aditama,
2013), h. 59.
[12]Warsono dan
Hariyanto, Pembelajaran Aktif: Teori dan Asesmen (Cet. II; Bandung: PT.
Remaja Rosdakarya, 2013), h. 152.
[14]Warsono dan
Hariyanto, Pembelajaran Aktif: Teori dan Asesmen, h. 157.
[15]Zahratul Mufida
et.all, “Model Problem Solving”, Blog Vida. http: // berandamilikvida. blogspot. com
/ 2014 / 06 / makalah-model-problem-solving. html. (22 Juni
2018).
[16]Zahratul Mufida
et.all, “Model Problem Solving”. (22 Juni 2018).
[17]Zahratul Mufida
et.all, “Model Problem Solving”. (22 Juni 2018).
[18]Zahratul Mufida
et.all, “Model Problem Solving”. (22 Juni 2018).
[19]Warsono dan
Hariyanto, Pembelajaran Aktif: Teori dan Asesmen (Cet. II; Bandung: PT.
Remaja Rosdakarya, 2013), h. 151.
[20]M. Iqbal
Syaputra, et.all, “Model Pembelajaran Problem Based Learning”, Blog
Muhammad Iqbal Syaputra. http://iqbalpgrismg.
blogspot. com / 2012 / 12 / makalah-pbl-problem-based-learning. html. (22 Juni
2018).
[22]Lambertina
Sillun Odjan, “Model Pembelajaran Projek Based Learning”, Blog Geografi
Kanjuruhan. http: // ignaswujon. blogspot. com / 2015
/ 03 / makalah-belajar-dan-pembelajaran-model. html. (22 Juni
2018).
[23]Lambertina
Sillun Odjan, “Model Pembelajaran Projek Based Learning. (22 Juni
2018).
No comments:
Post a Comment