RESUME
PENGELOLAAN KELAS
Oleh :
§ Asrul Rahman
§ Andi Iskandar
Diresume
dari Buku :
Jhon W.
Santrock
(Psikologi Pendidikan, Ed. II; Cet. V; Jakarta : Kencana, 2013 h. 553-582)
(Psikologi Pendidikan, Ed. II; Cet. V; Jakarta : Kencana, 2013 h. 553-582)
A. Mengapa Kelas Harus Dikelola secara Efektif ?
Mengelola kelas (manajemen kelas)
yang efektif memiliki dua tujuan utama, yaitu :
1.
Membantu murid menghabiskan lebih banyak waktu untuk
belajar dan lebih sedikit waktu untuk aktivitas yang tidak mengarah pada
tujuan.
2.
Mencegah murid mengembangkan masalah akademis dan
emosional.
Pandangan lama menekankan pada
penciptaan dan pengaplikasian aturan untuk mengontrol tindak tanduk murid.
Pandangan yang baru memfokuskan pada kebutuhan murid untuk mengembangkan
hubungan dan kesempatan untuk menata diri (Kennedy, dkk, 2001). Manajemen kelas
yang mengorientasikan murid pada sikap pasif dan patuh pada aturan ketat dapat
melemahkan keterlibatan murid dalam pembelajaran aktif, pemikiran, dan
konstruksi pengetahuan sosial (Charles & Senter, 2002). Tren untuk menjadi
mau lebih berdisiplin diri dan tidak terlalu menekankan pada kontrol eksternal
pada diri murid (Freiberg, 1999). Secara historis, dalam manajemen kelas, guru
dianggap sebagai pengatur. Dalam tren yang lebih menekankan pada pelajar, guru
lebih dianggap sebagai pemandu, koordinator, dan fasilitator (Freiberg 1999;
Kauffman, dkk, 2002).
Model manajemen kelas yang baru
bukan mengarah pada mode permisif. Penekanan pada perhatian dan regulasi diri
murid bukan berarti guru tidak bertanggung jawab atas apa yang terjadi di kelas
(Emmer & Stough, 2001).
1.
Isu Manajemen pada
Kelas-kelas di Sekolah Dasar dan Sekolah Menengah
Guru di sekolah dasar (SD)
menghadapi tantangan untuk mengatur 20-25 anak yang sama sepanjang hari,
sedangkan di sekolah menengah, guru mengatur 20-25 remaja selama kurang lebih
50 menit setiap hari. Dibandingkan dengan murid sekolah menengah, murid SD
menghabiskan lebih banyak waktu dengan murid yang sama dalam satu ruang kelas
yang kecil dan keharusan untuk berinteraksi dengan orang-orang yang sama
sepanjang hari yang kelamaan dapat menumbuhkan perasaan bosan. Namun, dengan
100-150 murid, guru sekolah menengah dihadapkan pada masalah dalam membangun
hubungan personal dengan para murid karena mereka menghabiskan lebih sedikit
waktu untuk menemui murid di dalam kelas. Guru sekolah menengah juga harus
membuat pelajaran kelas bergerak cepat dan mengatur waktu dengan efektif karena
periode kelas sangatlah singkat. Selain itu, murid menengah berpotensi tidak
mau patuh terkait masalah kedisiplinan.
2.
Kelas yang Besar,
Kompleks, dan Berpotensi Menimbulkan Kekacauan
Walter
Doyle (1986) mendiskripsikan enam karakteristik yang merefleksikan kompleksitas
dan potensi problemnya :
1.
Ruang kelas itu
multidimensional.
Ruang kelas adalah tempat untuk banyak aktivitas akademik (membaca, menulis)
dan aktivitas sosial (permainan, berkomunikasi dengan teman, berargumentasi).
2.
Aktivitas terjadi
secara simultan (bersamaan).
Sekumpulan murid menulis di meja mereka, kumpulan murid yang lain mendiskusikan
sebuah kisah bersama guru.
3.
Hal-hal terjadi
dengan cepat.
Dua murid tiba-tiba berdebat tentang kepemilikan buku catatan, seorang murid
mengeluhkan bahwa murid lain menyalin jawabannya.
4.
Kejadian seringkali
tidak dapat diprediksi.
Alarm kebakaran mati, komputer tidak berfungsi, ada pertemuan yang tidak
diumumkan sebelumnya.
5.
Hanya ada sedikit
privasi.
Sebagian besar dari apa yang terjadi pada seorang murid diobservasi oleh murid
lain, di lain pihak mereka mungkin merasa bahwa guru bersikap tidak adil dalam
cara mendisiplinkan seorang murid.
6.
Kelas punya sejarah. Murid punya kenangan tentang
apa yang terjadi di kelas pada waktu terdahulu. Mereka mengingat bagaimana guru
menangani masalah kedisiplinan sebelumnya, apakah guru bertindak sesuai
janjinya.
3.
Memulai dengan
benar
Kunci memulai kompleksitas kelas
adalah dengan menggunakan beberapa hari pertama dan beberapa minggu pertama
dengan baik. Waktu tersebut digunakan untuk :
1.
Menyampaikan aturan dan prosedur yang Anda gunakan
kepada kelas dan mengajak murid bekerjasama untuk mematuhinya.
2.
Mengajak murid terlibat aktif dalam semua aktivitas
pembelajaran.
B.
Penekanan pada
Instruksi dan Suasana Kelas yang Positif
Publik
mengatakan bahwa kurangnya disiplin merupakan masalah nomor satu di sekolah,
tapi psikologi pendidikan lebih menekankan cara mengembangkan dan
mempertahankan lingkungan kelas yang positif untuk mendukung pembelajaran
(Evertson, Emmer, & Worsham, 2003). Murid sebagai pelajar aktif yang
terlibat dalam tugas-tugas berarti, berpikir secara reflektif dan proaktif,
serta sering berinteraksi dengan murid lain dalam pengalaman belajar yang
kolaboratif.
Menurut
sejarah, kelas yang dikelola secara efektif dideskripsikan sebagai “mesin yang
diminyaki dengan baik”, tetapi metafora yang lebih sesuai adalah “aktivitas
sarang lebah”. Ini tidak berarti bahwa kelas harus berisik dan kacau-balau.
Malahan, murid harus belajar aktif dan terlibat dalam tugas yang membuat mereka
termotivasi daripada tenang dan duduk pasif di kursi mereka. Seringkali mereka
akan berinteraksi satu sama lain dan dengan guru mereka saat mereka membangun pengetahuan
dan pemahamannya.
C. Merancang Lingkungan Fisik Kelas
1.
Prinsip Penyusunan
Kelas (Evertson,
Emmer, & Worsham, 2003)
a.
Mengurangi hambatan di area macet (area kerja
kelompok, meja guru, rak buku).
b.
Memastikan bahwa Anda bisa dengan mudah melihat
semua murid.
c.
Membuat materi pengajaran yang sering digunakan dan
persediaan murid menjadi mudah untuk diakses.
d.
Memastikan bahwa murid bisa dengan mudah
mengobservasi presentasi seluruh kelas.
2.
Gaya Penyusunan
Kelas (Crane,
2001; Fickes, 2001)
No.
|
Gaya Penyusunan Kelas
|
Keterangan
|
1.
|
![]() |
Gaya
Auditorium (auditorium style)
·
Murid duduk menghadap guru.
·
Mencegah kontak murid berhadap-hadapan.
·
Guru bebas bergerak kemanapun.
·
Biasa digunakan saat guru memberikan kuliah atau
seseorang mengadakan presentasi untuk seluruh kelas.
|
2.
|
![]() |
Gaya
tatap muka (face-to-face style)
·
Murid duduk menghadap satu sama lain.
·
Gangguan dari murid lain akan lebih tinggi dalam
susunan ini daripada dalam gaya auditorium
|
3.
|
![]() |
Gaya
off-site (off-site style)
·
Murid dalam jumlah kecil (3-4 orang).
·
Tidak duduk bersebelahan secara langsung.
·
Gaya ini menghasilkan lebih sedikit gangguan
daripada gaya hadap-hadapan.
·
Efektif untuk aktivitas belajar yang kooperatif.
|
4.
|
![]() |
Gaya
seminar (seminar style)
·
Murid dalam jumlah besar (10 lebih) duduk dalam
susunan sirkuler, empat persegi, atau bentuk U.
·
Sangat efektif saat guru menginginkan murid bicara
satu sama lain atau berbincang dengan guru.
|
5.
|
![]() |
Gaya
kluster (cluster style)
·
Murid dalam jumlah kecil (4-8 orang) bekerja dalam
kelompok kecil yang berdekatan.
·
Efektif untuk aktivitas belajar kolaboratif.
|
3. Personalisasi Kelas
Untuk
mengubah ruang kelas agar mencerminkan karakteristik murid yang menggunakan
ruang tersebut, tempellah foto, karya seni, proyek tertulis para murid, grafik
yang menyebutkan hari ulang tahun serta ungkapan positif lain dari identitas
murid.
D. Menciptakan Lingkungan yang Positif untuk
Pembelajaran
1.
Strategi Umum
a. Menggunakan gaya otoritatif
Seperti
orang tua yang otoritatif, guru yang otoritatif akan punya murid yang cenderung
mandiri, tidak cepat puas, mau bekerja sama dengan teman, dan menunjukkan
penghargaan diri yang tinggi. Strategi manajemen
kelas otoritatif akan mendorong murid untuk menjadi pemikir yang independen
dan pelaku yang independen tetapi strategi ini masih menggunakan sedikit
monitoring murid. Guru yang otoritatif melibatkan murid dalam kerja sama give-and-take dan menunjukkan sikap
perhatian kepada mereka. Guru yang otoritatif akan menjelaskan aturan dan
regulasi, serta menentukan standar dengan masukan murid.
Gaya
otoritatif bertentangan dengan strategi otoritarian dan permisif yang tidak
efisien. Gaya manajemen kelas otoritarian
adalah gaya yang restriktif dan punitif. Fokus utamanya adalah menjaga
ketertiban di kelas, bukan pada pengajaran dan pembelajaran. Guru otoriter
sangat mengekang dan mengontrol murid dan tidak banyak melakukan percakapan
dengan mereka. Murid di kelas otoritarian ini cenderung pasif, mengekspresikan kekhawatiran
tentang perbandingan sosial, dan memiliki ketrampilan komunikasi yang buruk.
Gaya manajemen kelas permisif memberi banyak otonomi pada murid
tapi tidak memberi banyak dukungan untuk pengembangan keahlian pembelajaran
atau pengelolaan perilaku mereka. Output yang dihasilkan yaitu murid memiliki
ketrampilan akademis yang tidak memadahi dan pengendalian diri yang rendah.
b.
Mengelola Aktivitas
Kelas Secara Efektif (Jacob
Kounin, 1970)
a)
Menunjukkan
seberapa jauh mereka “mengikuti”.
Kounin menggunakan istilah “withitness”
untuk mendeskripsikan strategi dimana murid senantiasa mengikuti apa yang
terjadi. Guru seperti ini akan selalu memonitor murid secara reguler. Ini akan
membuat mereka bisa mendeteksi perilaku yang salah sebelum perilaku itu lepas
kendali. Guru yang tidak “mengikuti” perkembangan kemungkinan besar tidak akan
melihat perilaku salah itu sebelum perilaku itu menguat dan menyebar.
b)
Atasi situasi
tumpang tindih secara efektif.
Contohnya ketika berjalan keliling ruangan dan memeriksa pekerjaan murid,
matanya tetap mengawasi seluruh kelas.
c)
Menjaga kelancaran
dan kontinuitas pelajaran.
Manajer yang efektif akan menjaga aliran pelajaran tetap lancar, mempertahankan
minat murid, dan menjaga murid agar tidak mudah terganggu. Guru sebaiknya
jangan meninggalkan aktivitas yang sedang berjalan dengan alasan yang tidak
jelas.
d)
Libatkan murid
dalam aktivitas yang menantang.
Aktivitas menantang yang dimaksud bukan aktivitas yang terlalu sulit. Murid
sering bekerja secara independen ketimbang diawasi oleh guru.
2.
Membuat,
Mengajarkan, serta Mempertahankan Aturan dan Prosedur
a. Membedakan Aturan dan Prosedur
Peraturan maupun prosedur adalah pernyataan
ekspektasi tentang perilaku (Evertson, Emma, & Worsham, 2003). Aturan fokus
pada ekspektasi umum atau khusus atau standar perilaku. Contoh aturan umum
yaitu “Hargai orang lain” sedangkan contoh aturan khusus yaitu “Dilarang
mengunyah permen karet di kelas”.
Prosedur (routines)
juga berisi ekspektasi tentang perilaku namun biasanya diterapkan untuk
aktivitas spesifik dan digunakan untuk mencapai tujuan, bukan untuk melarang
perilaku tertentu atau menciptakan standar umum. Contoh
prosedur : untuk meninggalkan ruangan (ijin pergi ke kamar kecil), kembali ke
ruangan (setelah jam makan siang), dan mengakhiri hari (setelah membersihkan
meja).
Aturan cenderung tidak berubah karena mengatur
dasar-dasar tindakan kita terhadap orang lain, diri kita sendiri, dan tugas;
seperti menghormati orang tua, hak milik, dan tidak mengganggu orang lain. Di
sisi pihak, prosedur mungkin berubah karena rutinitas dan aktivitas di kelas
bisa berubah. Misalnya, dalam sebuah kelas, prosedur atau rutinitas menyatakan
bahwa setelah murid masuk kelas mereka harus mengerjakan suatu soal. Akan
tetapi, suatu hari guru mengubah prosedur ini dengan membolehkan murid
mengawali harinya dengan menyelesaikan tugas seni yang belum mereka selesaikan.
b. Mengajarkan Aturan dan Prosedur
Cara terbaik untuk membuat murid belajar tentang
peraturan dan prosedur adalah dengan melibatkannya (diskusi) dalam menentukan
peraturan dan prosedur tersebut. Hal ini akan mendorong mereka untuk memikul
tanggung jawab lebih atas perilaku mereka sendiri (Emmer, Evertson, &
Worsham, 2003).
Di beberapa sekolah, murid dimungkinkan untuk
berpartisipasi dalam menentukan peraturan seluruh sekolah melalui perwakilan
kelas dengan bimbingan guru dan pengurus sekolah. Namun di sekolah dasar, tidak
biasa bagi murid untuk berpartisipasi dalam pembuatan peraturan, sehingga guru
lebih memilih untuk menciptakan dan menyampaikan peraturan kepada mereka. Guru
yang menentukan aturan yang masuk akal, memberi alasan yang jelas, dan
menegakkannya secara konsisten biasanya akan dipatuhi oleh sebagian besar
murid.
c.
Membuat Murid
Bekerja Sama
1)
Mengembangkan hubungan yang positif dengan murid
2)
Membuat murid berbagi dan memikul tanggung jawab
3)
Memberikan hadiah terhadap perilaku yang tepat
E.
Menjadi Komunikator
yang Baik
1.
Ketrampilan
Berbicara
Menurut
Florez (1999) strategi yang bagus untuk berbicara secara jelas dengan kelas,
yaitu :
a.
Menggunakan tata bahasa dengan benar.
b.
Memilih kosakata yang bisa dimengerti dan sesuai
untuk level murid.
c.
Menerapkan strategi guna meningkatkan kemampuan
murid untuk memahami apa yang Anda katakan; seperti menekankan pada kata-kata
kunci; mengulang penjelasan; atau memantau pemahaman murid.
d.
Berbicara dengan tempo yang tepat, tidak terlalu
cepat dan tidak terlalu lambat.
e.
Tidak menyampaikan hal-hal yang kabur.
f.
Menggunakan perencanaan dan pemikiran logis sebagai
dasar untuk berbicara secara jelas.
2.
Pesan “Kamu dan
“Saya”
Pesan
“Kamu” menurut pakar komunikasi adalah sebuah gaya yang tidak disukai dimana
pembicaraan tampak menghakimi orang dan menempatkannya dalam posisi defensif.
“Kamu” tersirat ketika seseorang mengatakan :
a.
“Itu benar-benar perkataan bodoh” (artinya: Ucapanmu
benar-benar bodoh)
b.
“Jauhi diriku” (artinya: Kamu mengganggu hidup saya)
Adalah
mudah bagi Anda dan murid Anda terjebak dalam perangkap pesan “Kamu” dan kurang
menggunakan pesan “Aku” atau “Saya”. Pesan “Saya” akan merefleksikan perasaan
pembicara dan lebih baik ketimbang pernyataan “Kamu” yang mengandung nada
menghakimi. Pakar komunikasi merekomendasikan agar Anda mengganti pesan “Kamu”
menjadi pesan “Aku”.
Di bawah
ini adalah beberapa contoh pesan “Aku” :Saya marah karena keadaan jadi buruk.
a.
Saya tidak suka kalau janji tidak ditepati.
b.
Saya sedih kalau perasaan saya tidak diperhatikan.
Pesan “Kamu” sama seperti menghakimi
lawan bicara. Pesan “Aku” membantu menggeser percakapan ke arah yang
konstruktif dengan mengekspresikan perasaan Anda tanpa menghakimi orang lain.
Selanjutnya,
aspek lain dari komunikasi verbal yang melibatkan bagaimana orang-orang
menghadapi konflik, bisa dilakukan dalam 4 gaya, yaitu:
1. Gaya
agresif (agressive style)
·
Orang-orang ini bersikap kasar, menuntut, bertindak
dalam cara yang bermusuhan, dan tidak peka terhadap perasaan orang lain.
2. Gaya
manipulatif (manipulative style)
·
Orang-orang ini berusaha untuk mendapatkan apa yang
ia inginkan dengan membuat orang lain merasa bersalah/menyesal untuk dirinya.
Mereka tidak mau bertanggung jawab untuk memenuhi kebutuhannya sendiri, tetapi
mereka memilih bertingkah sebagai korban agar orang lain melakukan sesuatu
untuknya.
3. Gaya
pasif (passive style)
·
Orang-orang ini tidak tegas dan pasrah. Mereka
membiarkan orang lain “menindas” dirinya. Individu pasif ini tidak
mengungkapkan perasaan mereka dan tidak membiarkan orang lain mengetahui apa
yang mereka inginkan.
4. Gaya
asertif (assertive style)
·
Orang-orang ini berani mengungkapkan perasaan,
meminta apa yang mereka inginkan, dan berkata “tidak” untuk hal yang tidak
mereka inginkan. Dari keempat gaya dalam menghadapi konflik, Robert Alberti dan
Michael Emmons (1995) mengatakan bahwa ketegasan (assertiveness) bisa
menciptakan hubungan yang positif dan konstruktif.
3.
Strategi untuk
menjadi individu yang lebih asertif (Bourne,
1995)
a. Mengevaluasi hak Anda. Tentukan hak Anda dalam situasi
yang Anda hadapi. Misalnya, Anda berhak membuat kesalahan dan mengubah pikiran
Anda.
b. Kemukakanlah problem Anda dan konsekuensinya terhadap
orang yang terlibat dalam konflik.
Deskripsikan problem seobjektif mungkin tanpa menyalahkan atau menghakimi,
misalnya: “Saya merasa terganggu kalau kalian ribut sendiri di kelas. Jadi
tolong jangan ulangi lagi ya”.
c. Ekspresikan perasaan Anda tentang situasi tertentu. Ketika Anda menyatakan perasaan
Anda, bahkan orang yang tidak setuju dengan Anda sekalipun akan bisa mengerti
perasaan Anda tentang situasi itu. Ingat, gunakan pesan “Aku” bukan pesan
“Kamu”.
d. Kemukakan permintaan Anda (ini adalah aspek penting dari
sikap asertif).
4.
Rintangan untuk
Komunikasi Verbal yang Efektif (Gordon,
1970)
a. Kritik.
Evaluasi ksar dan negatif terhadap orang lain biasanya akan mengurangi
efektivitas komunikasi. Contoh kritik kasar: “Salahmu sendiri gagal dalam tes,
seharusnya kamu belajar dahulu”. Ketimbang mengkritik seperti itu, lebih baik
Anda meminta murid untuk mengevaluasi kenapa mereka mendapat nilai buruk dalam
ujian dan bantu mereka sampai pada kesimpulan bahwa kegagalan mereka adalah
karena kurang berusaha.
b. Memberikan julukan dan pelabelan. Murid-murid biasanya
menggunakan nama panggilan atau labeling.
Mereka mungkin berkata pada murid lain “Dasar pecundang” atau “Bodoh Kamu”.
Monitorlah penggunaan kata-kata hinaan tersebut, hentikan dan beritahu mereka
agar menghargai perasaan orang lain.
c. Menasihati.
Yang dimaksud disini adalah Anda merendahkan orang lain lalu memberi nasihat
solusi. Misalnya seorang guru berkata, “Soal itu gampang diselesaikan. Aku
heran kenapa kalian begitu bodoh ...”
d. Mengatur-atur. Memerintahkan orang lain untuk melakukan apa yang
Anda mau bukanlah cara efektif karena menimbulkan resistensi. Misalnya guru
berteriak, “Bersihkan tempat ini sekarang!” akankah lebih baik jika perintah
ini diajukan dengan lembut dan tegas seperti, “Ingat aturan yang mengatakan
agar kita membersihkan tempat setiap kita selesai mengerjakan tugas.”
e. Ceramah moral (moralizing).
Ini berarti mengkhotbah bagi seseorang tentang apa yang seharusnya dia lakukan.
Misalnya guru berkata, “Kamu kan tahu seharusnya kamu menyerahkan PR tepat
waktu. Kamu pasti merasa bersalah kan.” Cara ini akan menaikkan rasa bersalah
dan kegelisahan murid. Cara yang lebih baik dalam kasus ini adalah tidak
menggunakan kata “seharusnya/harus”, tetapi berbicaralah dengan cara yang tidak
terlalu menyalahkan murid.
5.
Memberi Ceramah
yang Efektif
Anda
bukan hanya akan berbicara di depan kelas setiap hari baik itu secara informal
maupun formal, tetapi Anda juga akan berkesempatan memberikan ceramah di dalam
pertemuan pendidikan atau komunitas. Berikut ini pedoman memberikan pidato yang
efektif (Alverno College, 1995) :
a. Jalin
hubungan dengan audien.
b. Kemukakan
tujuan Anda.
c. Sampaikan
ceramah secara efektif.
d. Ikuti
konvensi yang sesuai.
e. Tata ceramah
dengan rapi.
f. Masukkan
bukti pendukung dan kembangkan ceramah Anda.
g. Gunakan
media secara efektif.
6.
Ketrampilan
Mendengarkan
Pendengar yang baik mendengarkan secara
aktif yang berarti memberikan perhatian penuh kepada pembicara, berfokus pada
isi intelektual dan emosional dari pesan. Dibawah ini adalah stategi untuk mengembangkan
ketrampilan mendengarkan (Santrock & Halonen, 2002) :
a. Beri perhatian cermat kepada orang yang sedang
berbicara. Ini
akan menunjukkan bahwa Anda tertarik pada apa yang dia katakan. Jangan lupa
untuk mempertahankan kontak mata.
b. Parafrasa.
Gunakan parafrasa ketika seseorang berkata sesuatu yang penting. Nyatakan apa
yang baru saja orang lain katakan dengan kalimat Anda sendiri, misalnya “Apakah
maksudmu itu berarti bahwa ...”
c. Sintesiskan tema dan pola. Situasi percakapan dapat
menjadi penuh dengan kepingan informasi yang kedengarannya tidak saling
berhubungan dan membentuk makna. Pendengar aktif yang baik akan meringkas tema,
contoh kalimat yang dapat Anda gunakan,
“Mari kita tinjau kembali apa yang sudah kita bicarakan sampai titik ini
...”
d. Berikan umpan balik (tanggapan) dengan cara yang
kompeten.
Tanggapan verbal maupun nonverbal membuat pembicara sedikit mengerti seberapa
jauh pesannya sampai sasaran. Pendengar yang baik akan memberikan tanggapan
secara cepat, jujur, jelas, dan informatif.
7.
Berkomunikasi
Secara Nonverbal
Berikut ini contoh perilaku umum yang dilakukan
orang untuk berkomunikasi secara nonverbal :
a. Mengangkat
alis sebagai tanda tak percaya.
b. Mengedipkan
mata sebagai tanda persetujuan.
c. Mengangkat
bahu sebagai tanda tak peduli.
d. Bersedekap
untuk melindungi diri.
e. Menepuk dahi
sebagai tanda lupa.
f. Mengetukkan
jari sebagai tanda tak sabar.
Para ahli mengatakan bahwa
komunikasi yang paling intrapersonal adalah komunikasi nonverbal. Contohnya
saat murid sedang menatap jendela dengan tatapan kosong mungkin mengindikasikan
bahwa ia sedang bosan. Sulit untuk menutup-nutupi komunikasi nonverbal dan
karenanya Anda sebaiknya menyadari bahwa komunikasi non-verbal dapat
menyampaikan apa yang Anda atau orang lain rasakan. Hal-hal yang perlu diperhatikan
dalam komunikasi non-verbal :
a.
Ekspresi wajah dan
komunikasi mata.
Wajah seseorang mengungkapkan emosi dan perhatian mereka. Senyum, merengut,
tatapan kebingungan, semuanya merupakan bentuk komunikasi. Kebanyakan orang
Amerika menggunakan kontak mata. Semakin banyak menggunakan kontak mata,
berarti orang semakin menyukai satu sama lain. Akan tetapi, ada perbedaan
kontak mata berdasarkan etnis. Orang-orang dari Afrika-Amerika, Latino, dan
Indian lebih sering menghindari kontak mata. Secara umum, senyum dan
mempertahankan kontak mata dengan murid Anda, menunjukkan Anda menyukai mereka.
b.
Sentuhan. Menyentuh dapat menjadi bentuk
komunikasi yang kuat. Menyentuh terutama dapat dipakai untuk menghibur
seseorang yang mengalami stress (pengalaman buruk), misalnya, jika seorang tua
murid sakit atau meninggal, atau murid kehilangan binatang kesayangan, maka
sentuhlah dengan lembut dan berikan hiburan dengan kata-kata yang hangat. Akan
tetapi, karena ada kekhawatiran adanya pelecehan seksual, Tiffani Field (1995),
seorang direktur Touch Research Institute di Universitas Miami (Florida) dan
seorang pakar psikologi perkembangan ternama berpendapat bahwa guru seharusnya
menggunakan sentuhan secara tepat dan sopan dalam berinteraksi dengan murid.
c.
Ruang. Masing-masing dari kita
memiliki ruang privat yang tidak boleh dimasuki orang lain. Karena kelas
biasanya penuh, maka tidak mengejutkan jika murid mengatakan bahwa mereka bisa
menyimpang barang esayangan mereka apabila mereka memiliki ruang sendiri. Jadi,
pastikan agar semua murid punya bangku sendiri. Beritahu murid bahwa mereka
berhak mendapat ruang individual tetapi mereka juga harus menghormati ruang
pribadi orang lain.
d.
Diam. Bukan hal yang bijak untuk
mendengar sesuatu dalam waktu yang lama tanpa memberi respon verbal. Komunikasi
interpersonal seharusnya berupa dialog, bukan monolog.
F.
Menangani Perilaku
Bermasalah
1.
Strategi Manajemen
Pakar
manajemen kelas Carolyn Evertson dan rekannya (Evertson, Emmer, & Worsham,
2003) membedakan antara intevensi minor dan intevensi moderat dalam menangani perilaku
bermasalah.
2.
Intervensi Minor
Masalah
ini melibatkan perilaku yang bila tidak sering, biasanya tidak mengganggu
aktivitas kelas dan pembelajaran. Contoh: murid mungkin ribut sendiri,
meninggalkan tempat duduknya tanpa ijin, bercanda sendiri, dan makan permen di
dalam kelas. Strategi untuk mengatasi intervensi minor :
a. Gunakan isyarat nonverbal. Jalin kontak mata dengan murid.
Kemudian beri isyarat dengan meletakkan telunjuk jari di bibir Anda, menggeleng
kepala, atau menggunakan isyarat tangan untuk menghentikan perilaku tersebut.
b. Terus lanjutkan aktivitas belajar. Terkadang transisi
antar-aktivitas berlangsung terlalu lama; dalam situasi ini murid mungkin
meninggalkan tempat duduknya, bercanda, dan mulai ribut. Strategi yang baik
adalah memulai aktivitas baru dengan segera. Dengan membuat rencana harian yang
efektif, Anda akan bisa menghilangkan transisi dan gap panjang dalam aktivitas
ini.
c. Dekati murid. Saat murid mulai bertindak menyimpang, Anda cukup
mendekatinya, maka biasanya dia akan diam.
d. Arahkan perilaku. Jika murid mengabaikan tugasnya, ingatkan mereka
tentang kewajibannya itu. Anda bisa mengatakan, “Ingat, semua anak harus
menyelesaikan soal matematika itu.”
e. Beri instruksi yang dibutuhkan. Terkadang murid melakukan kesalahan
kecil (kekeliruan) saat mereka tidak memahami cara mengerjakan suatu tugas.
Untuk mengatasinya, Anda harus memantau pekerjaan murid dan memberi petunjuk
jika dibutuhkan.
f. Suruh murid berhenti dengan nada tegas dan langsung.
Jalin kontak
mata dengan murid, bersikaplah asertif, dan suruh murid menghentikan
tindakannya. Buat pernyataan singkat, dan pantau situasi sampai murid patuh.
Strategi ini bisa dikombinasikan dengan strategi mengarahkan murid.
g. Beri murid pilihan. Beri tanggung jawab pada murid
dengan mengatakan bahwa dia punya pilihan yakni bertindak benar atau menerima
konsekuensi negatif. Misalnya Guru berkata, “Ingat, di kelas ini kalian tidak
boleh makan permen. Jika kalian makan permen saat pelajaran, kalian tidak akan
diperbolehkan membawa permen lagi.”
3.
Intervensi moderat
Ketika
murid menyalahgunakan privilisenya, mengganggu aktivitas, cabut dari kelas,
atau mengganggu pelajaran atau mengganggu pekerjaan murid lain. Strategi untuk mengatasi
intervensi mayor :
a. Jangan beri privilise atau aktivitas yang mereka
inginkan. Anda
biasanya akan bertemu dengan murid yang menyalahgunakan privilisenya, seperti
diperbolehkan berjalan keliling kelas atau mengerjakan tugas dengan teman.
Dalam kasus ini, Anda dapat mencabut privilise itu.
b. Buat perjanjian behavioral. Perjanjian (contracting) adalah menempatkan kontingensi penguatan dalam tulisan. Jika muncul
problem dan anak tidak bertindak sesuai harapan, guru dapat merujuk anak pada
perjanjian yang mereka sepakati. Analis perilaku terapan mengatakan bahwa perjanjian
kelas harus berisi masukan dari guru dan murid. Kontrak kelas mengandung
pernyataan “Jika ... maka ...” dan ditandatangani oleh guru dan murid, serta
diberi tanggal.
c. Pisahkan atau
keluarkan murid dari kelas. Strategi yang paling sering dipakai guru
untuk menghilangkan stimuli yang diinginkan adalah time-out (disetrap). Dengan kata lain, jauhkan penguatan positif
dari murid.
d. Kenakan hukuman
atau sanksi. Hukuman bisa berupa perintah mengerjakan
tugas berkali-kali. Misalnya dalam pelajaran menulis, murid mungkin dihukum
harus menulis halaman tambahan. Akan tetapi, masalah dalam penggunaan hukuman
adalah hukuman itu dapat membahayakan sikap murid terhadap pokok persoalan.
4.
Menggunakan Sumber Daya Lain
a. Mediasi teman
sebaya. Teman seusia (peer)
terkadang sangat efektif untuk mengajak murid-murid lain berperilaku tepat.
Mediator teman sebaya bisa dilatih untuk membantu murid menyelesaikan
pertikaian antarmurid dan untuk mengubah perilaku.
b. Konferensi
guru-orang tua. Anda juga bisa menelpon orang tua murid
atau mengadakan rapat orang tua untuk problem tertentu. Cukup dengan memberi
tahu orang tua, biasanya perilaku murid bisa berubah. Jangan menempatkan orang
tua dalam posisi defensif atau menyalahkan mereka karena perilaku anaknya yang
salah di sekolah. Cukup deskripsikan problem dan katakan bahwa Anda
mengharapkan bantuan dari orang tua.
c. Minta bantuan
kepala sekolah atau konselor. Murid bisa dipertemukan dengan kepala
sekolah atau konselor agar murid mendapat peringatan atau atau mungkin hukuman.
Atau mungkin akan diadakan rapat dengan orang tua jika perlu. Biarkan kepala
sekolah atau konselor menangani masalah sehingga Anda bisa menghemat waktu.
Akan tetapi, bantuan ini tidak selalu praktis di banyak sekolah.
d. Cari mentor.
Beberapa murid, terutama dari keluarga miskin, tidak punya orang semacam itu.
Seorang mentor dapat memberi dukungan yang mereka butuhkan untuk mengurangi
perilaku bermasalah. Cari orang yang bisa menjadi mentor untuk murid yang
beresiko bermasalah.
5.
Menangani agresi
Kekerasan di sekolah
telah menjadi perhatian besar, misalnya: murid terlibat perkelahian, melecehkan
murid lain, atau saling mengancam dengan kata bahkan senjata tajam. Perilaku
ini bisa menimbulkan kecemasan dan kemarahan, tetapi adalah penting untuk
bersiap menghadapi kemungkinan ini dengan tenang. Hindari debat atau
konfrontasi penuh emosi agar Anda bisa memecahkan konflik dengan baik. Dibawah
ini disajikan contoh-contoh agresi, yaitu :
a.
Perkelahian. Pakar manajemen kelas Carolyn
Evertson dan rekannya (Evertson, Emmer, & Worsham, 2003) memberi
rekomendasi untuk mengatasi murid yang berkelahi. Di SD, Anda biasanya
menghentikan perkelahian tanpa risiko cedera pada diri Anda. Apabila karena
suatu alasan Anda tidak bisa campur tangan, cari bantuan dari guru lain atau
staf sekolah. Apabila Anda melakukan intervensi, beri perintah verbal dengan
nada keras “Hentikan!” Pisahkan murid yang berkelahi dan suruh mereka kembali
ke aktivitas semula. Akan tetapi jika Anda menengahi perkelahian anak SMP atau
SMA, Anda mungkin butuh bantuan satu atau dua orang dewasa lainnya. Sekolah
Anda mungkin punya kebijakan sendiri soal perkelahian ini. Jika ada, Anda harus
menerapkan kebijakan itu dan melibatkan kepala sekolah dan atau orang tua murid
jika diperlukan. Umumnya, adalah lebih baik mendinginkan pihak yang bertengkar
sehingga mereka bisa tenang dahulu. Kemudian pertemukan kedua pihak yang
berkelahi itu dan selidiki pendapat kedua pihak yang menyebabkan pertikaian.
Tanyai saksi mata apabila perlu. Adakan pertemuan dengan pihak-pihak yang berkelahi,
tekankan bahwa perkelahian adalah tindakan yang salah, dan tunjukkan pentingnya
memahami pandangan orang lain dan arti penting dari kerja sama.
b.
Bullying. Dalam sebuah survey nasional, terdapat
lebih dari 15.000 murid dari grade satu hingga sepuluh, hampir satu dari tiga
murid mengatakan bahwa mereka pernah menjadi korban bullying (Nansel, dkk. 2001). Dalam studi ini, bullying didefinisikan sebagai tindakan verbal atau fisik yang
dimaksudkan untuk mengganggu orang lain yang lebih lemah. Murid-murid Sekolah Menengah
lebih sering mengalami hal ini. Mengejek tampang dan ucapan adalah bullying yang sering dipakai. Anak-anak
yang dirinya dihina mengatakan bahwa mereka merasa kesepian, kesulitan menjalin
persahabatan, depresi, kehilangan minat untuk masuk sekolah, atau tidak mau
masuk sekolah; sedangkan anak-anak yang melakukan bullying kemungkinan adalah mereka yang berprestasi rendah atau
suka merokok dan minum-minuman beralkohol. Dalam studi longitudinal lainnya, bullying meningkat selama masa sekolah
menengah pertama dan menurun pada masa sekolah menengah atas (Pellegrini &
Long, 2011). Dalam studi ini, sasaran bullying
adalah anak lelaki. Murid yang menjadi korban bullying dapat merasa tersiksa, baik dalam jangka pendek maupun
jangka panjang (Limber, 1997). Efek bullying
di masa remaja awal dapat bertahan hingga dewasa.
c.
Pembangkangan atau
Permusuhan terhadap guru. Edmund Emmer dan rekannya (Emmer, Evertson, & Worsham, 2003)
mendiskusikan strategi untuk menghadapi murid yang membangkang atau memusuhi
Anda. Jika murid dibiarkan berlaku seperti itu, kemungkinan kelakuannya akan
berlanjut dan menyebar. Jika mungkin, tanganilah perilaku murid itu secara
individual. Jika pembangkangannya tidak ekstrim dan terjadi dalam satu pelajaran,
cobalah katakan bahwa Anda akan membahasnya nanti agar tidak terjadi
perdebatan. Lalu, temui murid pada waktu yang tepat dan jelaskan konsekuensi
dari tindakan pembangkangan itu. Dalam kasus yang ekstrim dan jarang, murid
mungkin tidak mau bersikap kooperatif sama sekali. Maka Anda harus minta
bantuan.
6. Program Berbasis
Kelas dan Sekolah
Program untuk
mengatasi perilaku bermasalah menggunkan pendekatan pengayaan kompetensi sosial
dan resolusi konflik (Coie & Dodge, 1998).
a.
Program pengayaan
kompetensi sosial. Beberapa pakar pendidikan berpendapat bahwa perencanaan
sekolah yang terkoordinasi. kurikulum, pengajaran bermutu tinggi, dan
lingkungan sekolah yang suportif adalah hal-hal yang dibutuhkan untuk menangani
murid yang bermasalah dalam perilakunya (Weissberg & Greenberg, 1998). Tipe
program ini dimaksudkan untuk meningkatkan kompetensi sosial murid dengan
meningkatkan keterampilan dalam menghadapi hidup dan mengembangkan keahlian
sosioemosional. Periset telah menemukan bahwa program yang hanya berbasis
informasi dan pengetahuan hanya akan memberi efek minimal pada perbaikan
perilaku murid (Kirby, 1992). Sebaliknya, program yang mengajarkan kompetensi
sosial dan personal yang luas terbukti bisa mengurangi perilaku yang bermasalah
dan bahkan memperbaikinya (Greenberg, 1996; Weissberg, dkk., 1981). Program
kompetensi itu mencakup kontrol diri, manajemen stres, pemecahan masalah,
pembuatan keputusan, komunikasi, resistensi teman sebaya, dan asertivitas.
b.
Proyek peningkatan
kesadaran sosial-pemecahan problem sosial. Program ini didesain untuk anak SD
(Elias, dkk., 1991). Selama fase instruksional, guru menggunakan pelajaran
tertulis untuk memperkenalkan aktivitas kelas. Pelajaran itu diberikan dalam
format :
a)
Berbagi kisah kesuksesan personal,
situasi problem, dan perasaan yang ingin dibagi murid kepada guru dan
teman-temannya.
b)
Ulasan ringkas tentang keahlian kognitif,
emosional, atau behavioral yang akan diajarkan selama sesi pelajaran.
c)
Presentasi tulisan dan video situasi yang
membutuhkan aplikasi keahlian.
d)
Mendiskusikan situasi dan cara
menggunakan keahlian baru.
e)
Role-playing yang mendorong pelatihan
keahlian behavioral.
f)
Ringkasan dan ulasan.
Guru juga
mengintegrasikan aktivitas penyadaran sosial dan pemecahan masalah ke dalam aktivitas
kelas dan instruksi harian. Evaluasi menunjukkan bahwa program ini mampu
membantu murid mengatasi situasi problem sehari-hari dan menguragi tindak
kekerasan (Elias dkk., 1986).
c.
Program kompetensi
sosial untuk remaja muda. Menurut Weissberg & Caplan (1994), program untuk
anak SMP/SMA ini memberikan instruksi berbasis kelas dan membangun dukungan
environmental yang di desain untuk:
a) Mempromosikan kompetensi sosial dengan
meningkatkan kontrol diri, pengelolaan stres, melibatkan dalam tanggung jawab
pembuatan keputusan, pemecahan problem sosial, dan meningkatkan keahlian
komunikasi.
b) Meningkatkan komunikasi antara personil
sekolah dengan murid.
c) Mencegah perilaku antisosial dan agresif,
pelecehan dan perilaku seksual. Evaluasi terhadap program ini cukup positif.
Murid yang terlibat dalam program menunjukkan perilaku agresif yang lebih
kecil, lebih punya banyak pertimbangan untuk memecahkan masalah, strategi
manajemen stres yang lebih baik, dan lebih menghargai nilai-nilai sosial
(Weissberg, Barton, & Shriver, 1997).
d.
Tiga C Manajemen
Kelas dan Sekolah. David dan Roger Johnson (1999) menciptakan program ini untuk
menekankan arti penting dari pemberian bimbingan pada murid untuk mempelajari
cara mengatur perilaku mereka sendiri. Program tersebut adalah program C :
a) Cooperative
community (komunitas yang kooperatif). Komunitas pembelajaran akan mendapat
manfaat jika partisipan punya interdependensi positif satu sama lain. Mereka
bekerja untuk meraih tujuan bersama dengan melakukan aktivitas pembelajaran
yang terstruktur dan kooperatif.
b)
Constructive conflict resolution
(resolusi konflik yang konstruktif). Ketika timbul konflik, konflik itu bisa
dipecahkan secara konstruktif melalui training
resolusi konflik untuk semua partisipan dalam komunitas pembelajaran.
c) Civic
values (nilai-nilai kewarganegaraan). Komunitas kooperatif dan resolusi
konflik konstruktif hanya jika komunitas pembelajaran berbagi nilai-nilai civic yang sama, nilai yang menjadi
pedoman pembuatan keputusan. Nilai-nilai ini mencakup keyakinan bahwa
kesuksesan tergantung pada usaha bersama untuk meraih tujuan bersama dan saling
menghargai.
e.
Dukungan untuk
Pengelolaan Kelas Berpusat pada pembelajaran : Classroom Organization and Management Program (COMP). Program
COMP yang dikembangkan oleh Carolyn Evertson dan Alene Harris (1999), mendukung
kerangka manajemen kelas yang menekankan pembelajaran murid dan membimbing
murid untuk bertanggung jawab atas keputusan mereka sendiri, perilaku mereka,
dan pembelajaran mereka. COMP menekankan pencegahan problem, integrasi
manajemen dan pengajaran, keterlibatan murid, dan kolaborasi profesional
antar-guru. Program ini diimplementasikan melalui workshop training, aplikasi
kelas, dan releksi kolaboratif. Riset telah menunjukkan bahwa COMP menghasilkan
perubahan positif dalam perilaku guru dan murid (Evertson & Harris, 1999).