RESUME

(PEMBENTUKAN KARAKTER
INSAN KAMIL)
Oleh
:
Asrul
Rahman
Andi
Iskandar

Kelompok 1
Jurusan Pendidikan
Agama Islam
Program
Pascasarjana UIN Alauddin Makassar
Email : athayarrahman86ael@gmail.com
Manusia adalah sebuah ciptaan
yang paling sempurna dibanding ciptaan yang lain, manusia yang dibekali dengan
akal dan hati sebagai pembeda antara yang haq dan yang batil. Sungguh sangat
unik ketika kita mengkaji manusia karena penuh misteri khususnya dalam hal pencapaian diri atau pencapaian sebagai Insan Kamil, meskipun hal
itu sulit untuk diraih tapi kita pun tidak semudah untuk menyerah, dengan
dibekali kelebihan yang ada pada diri manusia maka tidak menutup kemungkinan
untuk bisa mencapainya.
Murtadha Muthahhari mengatakan bahwa manusia merupakan miniatur dari alam raya.[1]
Jika pada alam raya terdapat tiga tingkat alam yaitu : rohani, khayali, dan
jasmani, maka pada manusia ketiga alam tersebut juga terwujud yaitu dalam
bentuk ruh, nafs (diri), dan jism (tubuh).[2]
Perlu diketahui bahwa Insan (manusia) adalah makhluk Allah yang diciptakan dengan sebaik-baiknya
penciptaan. Meskipun dalam prakteknya manusia tidak bisa sempurna tapi manusia tetap berusaha untuk menjadi pribadi-pribadi yang selalu berusaha dan
berbuat yang terbaik bagi yang lainya.
Olehnya itu, bagaimanakah konsep pendidikan Islam terhadap pembentukan
karakter Insan Kamil ? bagaimanakah karakter Insan Kamil ? akan
penulis uraikan lebih lanjut di bawah ini.
Pendidikan Islam
A.
Pengertian Pendidikan Islam
Kata “pendidikan” yang umum digunakan
sekarang, dalam bahasa arabnya adalah “tarbiyah”, dengan kata kerja “rabba”.
Kata “pengajaran” dalam bahasa arabnya adalah “ta’lim” dengan kata
kerjanya “alama”. Pendidikan dan pengajaran dalam bahasa arabnya “tarbiyah wa
ta’lim” sedangkan “pendidikan islam” dalam bahasa arabnya adalah “tarbiyah
islamiyah”. Kata kerja rabba (mendidik) sudah di gunakan pada zaman nabi
muhammad SAW.[3]
Atang Abd. Hakim dan Jaih Mubarak,
mengemukakan pendapatnya bahwa pendidikan Islam adalah usaha orang dewasa
muslim yang bertakwa secara sadar mengarahkan dan membimbing pertumbuhan serta
perkembangan fitrah (kemampuan dasar) anak didik melalui ajaran Islam ke arah
titik maksimal pertumbuhan dan perkembangannya.[4]
M. Arifin lebih rinci mengemukakan pendapatnya
bahwa pendidikan secara teoritis mengandung pengertian “memberi makan”
(opvoeding) kepada jiwa anak didik sehingga mendapatkan kepuasan rohaniah, juga
sering diartikan dengan “ menumbuhkan” kemampuan dasar manusia.[5]
Dengan demikian, maka dapat dipahami bahwa Pendidikan
Islam merupakan sebuah usaha untuk menjadikan anak keturunan dapat mewarisi
ilmu pengetahuan yang bernuansa islami sehingga memberikan warna islami bagi
pertumbuhan dan perkembangannya. Setiap usaha dan tindakan yang disengaja untuk
mencapai tujuan harus mempunyai sebuah landasan atau dasar tempat berpijak yang
baik dan kuat.
B.
Dasar Pendidikan Islam
Bagi umat Islam agama adalah dasar
(pondasi) utama dari keharusan berlangsungnya pendidikan karena ajaran-ajaran
Islam yang bersifat universal mengandung aturan-aturan yang mengatur seluruh
aspek kehidupan manusia baik yang bersifat ubudiyyah (mengatur hubungan
manusia dengan Tuhannya), maupun yang bersifat muamalah (mengatur
hubungan manusia dengan sesamanya).[6]
Adapun dasar-dasar dari pendidikan
Islam adalah:
1.
Al-Qur’an
Menurut
pendapat yang paling kuat, seperti yang diungkapkan oleh Subhi Shaleh, al-Qur’an
berarti bacaan, yang merupakan kata turunan (masdar) dari fiil madhi
qara’a dengan arti ism al-maful yaitu maqru’ yang artinya dibaca.[7]
Qs. Al-‘Alaq [96] : 1-5.
ù&tø%$#
ÉOó™$$Î/
y7În/u‘
“Ï%©!$#
t,n=y{
ÇÊÈ t,n=y{
z`»|¡SM}$#
ô`ÏB
@,n=tã
ÇËÈ ù&tø%$#
y7š/u‘ur
ãPtø.F{$#
ÇÌÈ “Ï%©!$#
zO¯=tæ
ÉOn=s)ø9$$Î/
ÇÍÈ zO¯=tæ
z`»|¡SM}$#
$tB
óOs9
÷Ls>÷ètƒ
ÇÎÈ
Terjemahnya :
Bacalah
dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang Menciptakan, Dia telah menciptakan manusia
dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah yang Maha pemurah, yang mengajar
(manusia) dengan perantaran kalam, Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak
diketahuinya.[8]
Ayat
tersebut merupakan perintah kepada manusia untuk belajar dalam rangka
meningkatkan ilmu pengetahuan dan kemampuannya termasuk didalam mempelajari,
menggali, dan mengamalkan ajaran-ajaran yang ada al-Qur’an itu sendiri yang
mengandung aspek-aspek kehidupan manusia. Dengan demikian al-Qur’an merupakan
dasar yang utama dalam pendidikan Islam.
2.
As-Sunnah
Setelah al-Qur’an maka dasar dalam
pendidikan Islam adalah as-Sunnah, as-Sunnah merupakan perkataan, perbuatan
apapun pengakuan Rasulullah SAW, yang dimaksud dengan pengakuan itu adalah
perbuatan orang lain yang diketahui oleh Rasulullah dan beliau membiarkan saja
kejadian itu berjalan. Sunnah merupakan
sumber ajaran kedua setelah al-Qur’an, Sunnah juga berisi tentang akidah,
syari’ah, dan berisi tentang pedoman untuk kemaslahatan hidup manusia seutuhnya.[9]
Dengan demikian, maka dapat
disimpulkan bahwa dasar pendidikan Islam adalah al-Qur’an dan sunnah, yang
merupakan kitab induk bagi umat Islam yang memuat beragam konsep dan perintah
bagi umat Islam untuk melakukan proses pendidikan dan pengajaran yang sesuai
dengan tuntunan agama Islam.
C.
Tujuan Pendidikan Islam
Tujuan pendidikan Islam adalah
menciptakan pemimpin-pemimpin yang selalu amar ma’ruf nahi munkar.[10]
Tujuan pendidikan dapat dilihat dari berbagai segi, dari segi gradisnya tujuan akhir dan tujuan sementara. Apabila
dilihat dari sifatnya terdapat tujuan umum dan khusus, dilihat dari segi
penyelenggaraannya terbagi atas formal dan non formal, ada tujuan nasional dan
institusional.
Achmadi berpendapat bahwa tujuan
pendidikan Islam berdasarkan peranannya sebagai hamba Allah.
a.
Menjadi hamba Allah yang bertakwa.
Tujuan ini sejalan dengan tujuan hidup dan penciptaan manusia, yaitu
semata-mata untuk beribadah kepada Allah. Dengan pengertian ibadah yang
demikian itu maka implikasinya dalam pendidikan terbagi atas dua macam yaitu:
1) Pendidikan
memungkinkan manusia mengerti tuhannya secara benar, sehingga semua perbuatan
terbingkai ibadah yang penuh dengan penghayatan kepada ke Esaan-Nya.
2) Pendidikan
harus menggerakkan seluruh potensi manusia (sumber daya manusia), untuk
memahami sunnah Allah diatas bumi.
b.
Mengantarkan subjek didik menjadi
khalifatullah fil ard (wakil Tuhan diatas bumi) yang mampu memakmurkannya
(membudayakan alam sekitarnya).
c.
Memperoleh kesejahteraan,
kebahagiaan hidup di dunia sampai akhirat.[11]
Ketiga tujuan tertinggi tersebut
diatas berdasarkan pengalaman sejarah hidup manusia dan dalam pengalaman
aktivitas dari masa ke masa, belum pernah tercapai sepenuhnya baik secara
individu maupun sebagai makhluk sosial.
Ahmad D. Marimba mengemukakan bahwa
tujuan akhir pendidikan Islam adalah terbentuknya kepribadian muslim.[12]
Omar Muhammad al-Thaumy Athiyah
al-Arbasy berpendapat bahwa tujuan akhir pendidikan Islam adalah terciptanya
akhlak yang sempurna dan keutamaan yang terbagi pada tiga bidang asasi yaitu:
a.
Tujuan-tujuan individual yang
berkaitan dengan individu-individu pelajaran (learning), dan dengan
pribadi-pribadi mereka, dan apa-apa yang berkaitan dengan individu-individu
tersebut pada perubahan yang diinginkan pada tingkah laku, aktivitas, dan
pencapaiannya, dan pada pertumbuhan yang diingini pada pribadi mereka, dan pada
persiapan yang dimestikan kepada mereka, pada kehidupan dunia dan akhirat.
b.
Tujuan-tujuan sosial yang berkaitan
dengan kehidupan masyarakat secara keseluruhan dengan tingkah laku masyarakat
umumnya, dengan apa yang berkaitan dengan kehidupan, memperkaya pengalaman dan
kemajuan yang diingini.
c.
Tujuan profesional yang berkaitan
dengan pendidikan dan pengajaran sebagai ilmu, sebagai seni, sebagai profesi
dan sebagai suatu aktivitas diantara aktivitas-aktivitas masyarakat.[13]
Berdasar pada beragam pemahaman
tentang tujuan pendidikan Islam, maka dapat disimpulkan bahwa tujuan
pembentukan Islam adalah melahirkan karakter manusia-manusia Islam yang
berkepribadian yang sesuai dengan nilai-nilai al-Qur’an atau dengan kata lain
tujuan pendidikan Islam adalah melahirkan manusia Insan Kamil yang berkater
kuat sesuai dengan nilai-nilai al-Qur’an dan sunnah.
Karakter Insan Kamil
A. Pengertian Insan Kamil
Insan Kamil berarasal dari
bahasa arab, yaitu dari dua kata : insan dan kamil. Secara harfiyah, insan
berarti manusia, dan kamil berarti sempurna. Dengan demikian, insan kamil
berarti manusia yang sempurna.[14] Kamal atau kamil digunakan untuk sesuatu yang utuh dan rampung, dalam
tingkat atau derajat yang lebih tinggi, bahkan dari yang tinggi ini ada yang
lebih tinggi lagi dan seterusnya.
Kamal atau kamil adalah sifat bagi sesuatu secara vertikal, sedangkan taam
adalah sifat bagi sesuatu secara horisontal. Ketika sesuatu telah sampai pada
batas akhirnya atau selesai secara horisontal, maka dapat dikatakan telah
menjadi ta’am, dan ketika sesuatu itu bergerak secara vertikal, maka ia telah
memperoleh kamil.
Insan Kamil secara
umum, adalah manusia ta’am yang mulai melangkah secara vertikal, sehingga
menjadi kamil, lebih kamil lagi dan seterusnya hingga pada batas akhir
kesempurnaan ketika tak seorang pun dapat menjangkau kedudukannya. Manusia yang telah mencapai tingkat itu adalah
manusia yang paling sempurna.
Pengertian insan kamil
tidak sesederhana seperti yang selama ini dipahami kalangan ulama, yaitu
manusia teladan dengan menunjuk pada figur Nabi Muhammad SAW. Bagi sufi, insan kamil adalah lokus
penampakan (madzhar) diri Tuhan paling sempurna, meliputi nama-nama dan
sifat-sifat-Nya. Allah SWT memilih manusia sebagai makhluk yang memiliki keunggulan
(tafadhul) atau ahsani taqwim (ciptaan paling sempurna) menurut istilah
Alquran. Disebut demikian karena di antara seluruh makhluk Tuhan manusialah
yang paling siap menerima nama-nama dan sifat-sifat Tuhan. Makhluk lainnya hanya bisa menampakkan bagian-bagian tertentu. Bandingkan
dengan mineral, tumbuh-tumbuhan, binatang, bahkan malaikat tidak mampu mewadahi
semua nama dan sifat-Nya.
B. Ciri-Ciri Insan Kamil
Adapun ciri-ciri Insan
Kamil adalah sebagai berikut:
a. Berfungsi Akalnya Secara Optimal, Fungsi akal secara optimal dapat dijumpai pada
pendapat kaum Mu’tajzilah. Menurutnya manusia
yang akalnya berfunsi secara optimal dapat mengetahui bahwa segala perbuatan
baik seperti adil, jujur, berakhlak sesuai dengan esensinya dan merasa wajib melakukan
hal semua itu walaupun tidak diperintahkan oleh wahyu.Manusia yang berfungsi
akalnya sudah merasa wajib melakukan perbuatan yang baik. Dan manusia yang
demikianlah yang dapat mendekati tingkat insan kamil.Dengan demikian insan
kamil akalnya dapat mengenali perbuatan yang baik dan perbuatan buruk karena
hal itu telah terkandung pada esensi perbuatan tersebut.[15]
b. Berfungsi Intuisinya, Insan Kamil dapat juga dicirikan dengan berfungsinya
intuisi yang ada dalam dirinya.Intuisi ini dalam pandangan Ibn Sina disebut
jiwa manusia (rasional soul). Menurutnya jika yang berpengaruh dalam diri
manusia adalah jiwa manusianya, maka orang itu hampir menyerupai malaikat dan
mendekati kesempurnaan.[16]
c. Mampu Menciptakan Budaya, Sebagai bentuk pengamalan dari berbagai potensi
yang terdapat pada dirinya sebagai insan, manusia yang sempurna adalah manusia
yang mampu mendayagunakan seluruh potensi rohaniahnya secara optimal.Menurut
Ibn Khaldun manusia adalah makhluk berfikir.Sifat-sifat semacam ini tidak
dimiliki oleh makhluk lainnya. Lewat kemampuan berfikirnya itu, manusia tidak hanya membuat kehidupannya,
tetapi juga menaruh perhatian terhadap berbagai cara guna memperoleh makna hidup. Proses-proses semacam ini
melahirkan peradaban.[17] Tetapi dalam kacamata Ibn Khaldun, kelengkapan
serta kesempurnaan manusia tidaklah lahir dengan begitu saja, melainkan melalui
suatu proses tertentu. Proses tersebut sekarang ini dikenal dengan revolusi.[18]
d. Menghiasi Diri Dengan Sifat-Sifat Ketuhanan, Manusai merupakan makhluk yang mempunyai naluri
ketuhanan (fitrah).Ia cenderung kepada hal-hal yang berasal dari Tuhan, dan
mengimaninya. Sifat-sifat tersebut membuat ia menjadi wakil Tuhan di muka bumi.
Manusia seabagai khalifah yang demikian itu merupakan gambaran ideal.Yaitu
manusia yang berusaha menentukan nasibnya sendiri, baik sebagai kelompok
masyarakat maupun sebagai individu. Yaitu manusia yang memiliki tanggung jawab yang
besar, karena memiliki daya kehendak yang bebas.
e. Berakhlak Mulia, Insan kamil juga adalah manusia yang berakhlak mulia.Hal
ini sejalan dengan pendapat Ali Syari’ati yang mengatakan bahwa manusia yang
sempurna memiliki tiga aspek, yakni aspek kebenaran, kebajikan dan keindahan.
Dengan kata lain ia memiliki pengetahuan, etika dan seni. Semua ini dapat
dicapai dengan kesadaran, kemerdekaan dan kreativitas. Manusia yang ideal
(sempurna) adalah manusia yang memiliki otak yang briliyan sekaligus memiliki
kelembutan hati.Insan Kamil dengan kemampuan otaknya mampu menciptakan
peradaban yang tinggi dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, juga
memiliki kedalaman perasaan terhadap segala sesuatu yang menyebabkan
penderitaan, kemiskinan, kebodohan, dan kelemahan.
f. Berjiwa Seimbang, hakikat manusia terletak pada aspek kedalamannya, yang
bersifat permanen, immortal yang kini tengah bereksistensi sebagai bagian dari
perjalanan hidupnya yang teramat panjang.Tetapi disayangkan, kebanyakan dari
merekan lupa akan immortalitas yang hakiki tadi. Manusia modern mengabaikan
kebutuhannya yang paling mendasar, yang bersifat ruhiyah, sehingga mereka tidak
akan mendapatkan ketentraman batin, yang berarti tidak hanya keseimbangan diri,
terlebih lagi bila tekanannya pada kebutuhan materi kian meningkat, maka
keseimbangan akan semakin rusak. Kutipan tersebut mengisyaratkan tentang
perlunya sikap seimbang dalam kehidupan, yaitu seimbang antara pemenuhan
kebutuhan material dengan spiritual atau ruhiyah.Ini berarti perlunya
ditanamkan jiwa sufistik yang dibarengi dengan pengamalan syari’at Islam,
terutama ibadah, zikir, tafakkur, muhasabah dan seterusnya.[19]
Dengan demikian, maka
dapat dipahami bahwa ciri-ciri insan kamil terletak pada perilaku yang
ditampakkan sebagai hasil olah ruhaniyah dari seorang manusia dengan
menampakkan ciri mendasar yaitu berfungsi Akalnya Secara Optimal, berfungsi Intuisinya, mampu menciptakan budaya, menghiasi diri dengan Sifat-sifat ketuhanan, berakhlak mulia, dan berjiwa seimbang.
Penutup
Berdasarkan
paparan pembahasan pada bab sebelumnya, maka dapat ditarik sebagai kesimpulan
adalah sebagai berikut :
1.
Pendidikan
Islam merupakan sebuah usaha untuk menjadikan anak keturunan dapat mewarisi
ilmu pengetahuan yang bernuansa islami sehingga memberikan warna islami bagi
pertumbuhan dan perkembangannya. Setiap usaha
dan tindakan yang disengaja untuk mencapai tujuan harus mempunyai sebuah
landasan atau dasar tempat berpijak yang baik dan kuat.
2.
Dasar pendidikan Islam adalah
al-Qur’an dan sunnah, yang merupakan kitab induk bagi umat Islam yang memuat
beragam konsep dan perintah bagi umat Islam untuk melakukan proses pendidikan
dan pengajaran yang sesuai dengan tuntunan agama Islam.
3.
Tujuan pembentukan Islam adalah
melahirkan karakter manusia-manusia Islam yang berkepribadian yang sesuai
dengan nilai-nilai al-Qur’an atau dengan kata lain tujuan pendidikan Islam
adalah melahirkan manusia Insan Kamil yang berkater kuat sesuai dengan
nilai-nilai al-Qur’an dan sunnah.
4.
Insan kamil adalah
lokus penampakan (madzhar) diri Tuhan paling sempurna, meliputi nama-nama dan sifat-sifat-Nya.
Allah SWT memilih manusia sebagai makhluk yang memiliki keunggulan (tafadhul)
atau ahsani taqwim (ciptaan paling sempurna) menurut istilah al-Qur’an.
5.
Dipahami bahwa
ciri-ciri insan kamil terletak pada perilaku yang ditampakkan sebagai hasil
olah ruhaniyah dari seorang manusia dengan menampakkan ciri mendasar yaitu
berfungsi akalnya secara optimal, berfungsi intuisinya, mampu menciptakan budaya, menghiasi diri dengan Sifat-sifat ketuhanan, berakhlak mulia, dan berjiwa seimbang.
[4] Atang Abd. Hakim dan Jaih Mubarok. Metodologi Studi
Islam (Bandung: Remaja Rosda Karya, 2000), h. 154-155
[5] M.Arifin, Ilmu
Pendidikan Islam Suatu Tinjauan Teoritis dan Praktis Berdasarkan Pendekatan
Interdisipliner, (Jakarta: Bumi aksara, 1991), h. 32
[8] Kementerian
Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Jakarta : PT. Sinergi Pustaka,
2012), h. 904
[10] Chabib Thoha. Kapita Selekta Pendidikan Islam, (Cet.
I. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996), h.102
[11]
Achmadi. Ideologi Pendidikan
Islam: Paradigma HumanismeTeosentris (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005),
h. 95-98
[13] Omar Muhammad al-Taumy al-Syaibani al-Athiyah, al-Abrasy.
Filsafat Tarbiyah al-Islamiyah, terjemahan Hasan Langgulung. Falsafat
Pendidikan Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1989), h. 130
[15] Azyumardi Azra, Antara kebebasan dan
keterpaksaan manusia: pemikiran islam tentang perbuatan manusia, dalam Dawam Rahardjo (ed.), Insan Kamil Konsepsi Manusia menurut islam, (Cet.
XI; Jakarta :Grafiti Pers 1987), h.
43.
[16] Iqbal Abdul Rauf Saimima, Filsafat dan Mistisisme dalam Islam. (Jakarta:bulan bintang,1983), h. 83
[18] Fachry Ali, Realitas Manusia : Pandangan Sosiologis Ibnu Khaldun, (Jurnal Islam; Vol 2 Tahun 2005), h.149
No comments:
Post a Comment