Sunday, January 7, 2018

TEORI PENDIDIKAN ISLAM (PEMBENTUKAN KARAKTER INSAN KAMIL)



RESUME

TEORI PENDIDIKAN ISLAM
(PEMBENTUKAN KARAKTER INSAN KAMIL)

Oleh :
Asrul Rahman
Andi IskandarText Box: 1

Kelompok 1
Jurusan Pendidikan Agama Islam
Program Pascasarjana UIN Alauddin Makassar


Manusia adalah sebuah ciptaan yang paling sempurna dibanding ciptaan yang lain, manusia yang dibekali dengan akal dan hati sebagai pembeda antara yang haq dan yang batil. Sungguh sangat unik ketika kita mengkaji manusia karena penuh misteri khususnya dalam hal pencapaian diri atau pencapaian sebagai Insan Kamil, meskipun hal itu sulit untuk diraih tapi kita pun tidak semudah untuk menyerah, dengan dibekali kelebihan yang ada pada diri manusia maka tidak menutup kemungkinan untuk bisa mencapainya.
Murtadha Muthahhari mengatakan bahwa manusia merupakan miniatur dari alam raya.[1] Jika pada alam raya terdapat tiga tingkat alam yaitu : rohani, khayali, dan jasmani, maka pada manusia ketiga alam tersebut juga terwujud yaitu dalam bentuk ruh, nafs (diri), dan jism (tubuh).[2]
Perlu diketahui bahwa Insan (manusia) adalah makhluk Allah yang diciptakan dengan sebaik-baiknya penciptaan. Meskipun dalam prakteknya manusia tidak bisa sempurna tapi manusia tetap berusaha untuk menjadi pribadi-pribadi yang selalu berusaha dan berbuat yang terbaik bagi yang lainya.
Olehnya itu, bagaimanakah konsep pendidikan Islam terhadap pembentukan karakter Insan Kamil ? bagaimanakah karakter Insan Kamil ? akan penulis uraikan lebih lanjut di bawah ini.
Pendidikan Islam
A.      Pengertian Pendidikan Islam
Kata “pendidikan” yang umum digunakan sekarang, dalam bahasa arabnya adalah “tarbiyah”, dengan kata kerja “rabba”. Kata “pengajaran” dalam bahasa arabnya adalah “ta’lim” dengan kata kerjanya “alama”. Pendidikan dan pengajaran dalam bahasa arabnya “tarbiyah wa ta’lim” sedangkan “pendidikan islam” dalam bahasa arabnya adalah “tarbiyah islamiyah”. Kata kerja rabba (mendidik) sudah di gunakan pada zaman nabi muhammad SAW.[3]
Atang Abd. Hakim dan Jaih Mubarak, mengemukakan pendapatnya bahwa pendidikan Islam adalah usaha orang dewasa muslim yang bertakwa secara sadar mengarahkan dan membimbing pertumbuhan serta perkembangan fitrah (kemampuan dasar) anak didik melalui ajaran Islam ke arah titik maksimal pertumbuhan dan perkembangannya.[4]  
M. Arifin lebih rinci mengemukakan pendapatnya bahwa pendidikan secara teoritis mengandung pengertian “memberi makan” (opvoeding) kepada jiwa anak didik sehingga mendapatkan kepuasan rohaniah, juga sering diartikan dengan “ menumbuhkan” kemampuan dasar manusia.[5]
Dengan demikian, maka dapat dipahami bahwa Pendidikan Islam merupakan sebuah usaha untuk menjadikan anak keturunan dapat mewarisi ilmu pengetahuan yang bernuansa islami sehingga memberikan warna islami bagi pertumbuhan dan perkembangannya. Setiap usaha dan tindakan yang disengaja untuk mencapai tujuan harus mempunyai sebuah landasan atau dasar tempat berpijak yang baik dan kuat.
B.       Dasar Pendidikan Islam
Bagi umat Islam agama adalah dasar (pondasi) utama dari keharusan berlangsungnya pendidikan karena ajaran-ajaran Islam yang bersifat universal mengandung aturan-aturan yang mengatur seluruh aspek kehidupan manusia baik yang bersifat ubudiyyah (mengatur hubungan manusia dengan Tuhannya), maupun yang bersifat muamalah (mengatur hubungan manusia dengan sesamanya).[6]
Adapun dasar-dasar dari pendidikan Islam adalah:
1.      Al-Qur’an
Menurut pendapat yang paling kuat, seperti yang diungkapkan oleh Subhi Shaleh, al-Qur’an berarti bacaan, yang merupakan kata turunan (masdar) dari fiil madhi qara’a dengan arti ism al-maful yaitu maqru’ yang artinya dibaca.[7]

Qs. Al-‘Alaq [96] : 1-5.
ù&tø%$# ÉOó$$Î/ y7În/u Ï%©!$# t,n=y{ ÇÊÈ   t,n=y{ z`»|¡SM}$# ô`ÏB @,n=tã ÇËÈ   ù&tø%$# y7š/uur ãPtø.F{$# ÇÌÈ   Ï%©!$# zO¯=tæ ÉOn=s)ø9$$Î/ ÇÍÈ   zO¯=tæ z`»|¡SM}$# $tB óOs9 ÷Ls>÷ètƒ ÇÎÈ
Terjemahnya :
Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang Menciptakan, Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah yang Maha pemurah, yang mengajar (manusia) dengan perantaran kalam, Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.[8]

Ayat tersebut merupakan perintah kepada manusia untuk belajar dalam rangka meningkatkan ilmu pengetahuan dan kemampuannya termasuk didalam mempelajari, menggali, dan mengamalkan ajaran-ajaran yang ada al-Qur’an itu sendiri yang mengandung aspek-aspek kehidupan manusia. Dengan demikian al-Qur’an merupakan dasar yang utama dalam pendidikan Islam.
2.      As-Sunnah
Setelah al-Qur’an maka dasar dalam pendidikan Islam adalah as-Sunnah, as-Sunnah merupakan perkataan, perbuatan apapun pengakuan Rasulullah SAW, yang dimaksud dengan pengakuan itu adalah perbuatan orang lain yang diketahui oleh Rasulullah dan beliau membiarkan saja kejadian itu berjalan.  Sunnah merupakan sumber ajaran kedua setelah al-Qur’an, Sunnah juga berisi tentang akidah, syari’ah, dan berisi tentang pedoman untuk kemaslahatan hidup manusia seutuhnya.[9]
Dengan demikian, maka dapat disimpulkan bahwa dasar pendidikan Islam adalah al-Qur’an dan sunnah, yang merupakan kitab induk bagi umat Islam yang memuat beragam konsep dan perintah bagi umat Islam untuk melakukan proses pendidikan dan pengajaran yang sesuai dengan tuntunan agama Islam.
C.    Tujuan Pendidikan Islam
Tujuan pendidikan Islam adalah menciptakan pemimpin-pemimpin yang selalu amar ma’ruf nahi munkar.[10] Tujuan pendidikan dapat dilihat dari berbagai segi, dari segi gradisnya  tujuan akhir dan tujuan sementara. Apabila dilihat dari sifatnya terdapat tujuan umum dan khusus, dilihat dari segi penyelenggaraannya terbagi atas formal dan non formal, ada tujuan nasional dan institusional.
Achmadi berpendapat bahwa tujuan pendidikan Islam berdasarkan peranannya sebagai hamba Allah.
a.       Menjadi hamba Allah yang bertakwa. Tujuan ini sejalan dengan tujuan hidup dan penciptaan manusia, yaitu semata-mata untuk beribadah kepada Allah. Dengan pengertian ibadah yang demikian itu maka implikasinya dalam pendidikan terbagi atas dua macam yaitu:
1)  Pendidikan memungkinkan manusia mengerti tuhannya secara benar, sehingga semua perbuatan terbingkai ibadah yang penuh dengan penghayatan kepada ke Esaan-Nya.
2)  Pendidikan harus menggerakkan seluruh potensi manusia (sumber daya manusia), untuk memahami sunnah Allah diatas bumi. 
b.      Mengantarkan subjek didik menjadi khalifatullah fil ard (wakil Tuhan diatas bumi) yang mampu memakmurkannya (membudayakan alam sekitarnya). 
c.       Memperoleh kesejahteraan, kebahagiaan hidup di dunia sampai akhirat.[11]
Ketiga tujuan tertinggi tersebut diatas berdasarkan pengalaman sejarah hidup manusia dan dalam pengalaman aktivitas dari masa ke masa, belum pernah tercapai sepenuhnya baik secara individu maupun sebagai makhluk sosial.
Ahmad D. Marimba mengemukakan bahwa tujuan akhir pendidikan Islam adalah terbentuknya kepribadian muslim.[12]  Omar Muhammad al-Thaumy Athiyah al-Arbasy berpendapat bahwa tujuan akhir pendidikan Islam adalah terciptanya akhlak yang sempurna dan keutamaan yang terbagi pada tiga bidang asasi yaitu:
a.       Tujuan-tujuan individual yang berkaitan dengan individu-individu pelajaran (learning), dan dengan pribadi-pribadi mereka, dan apa-apa yang berkaitan dengan individu-individu tersebut pada perubahan yang diinginkan pada tingkah laku, aktivitas, dan pencapaiannya, dan pada pertumbuhan yang diingini pada pribadi mereka, dan pada persiapan yang dimestikan kepada mereka, pada kehidupan dunia dan akhirat.
b.      Tujuan-tujuan sosial yang berkaitan dengan kehidupan masyarakat secara keseluruhan dengan tingkah laku masyarakat umumnya, dengan apa yang berkaitan dengan kehidupan, memperkaya pengalaman dan kemajuan yang diingini.
c.       Tujuan profesional yang berkaitan dengan pendidikan dan pengajaran sebagai ilmu, sebagai seni, sebagai profesi dan sebagai suatu aktivitas diantara aktivitas-aktivitas masyarakat.[13]
Berdasar pada beragam pemahaman tentang tujuan pendidikan Islam, maka dapat disimpulkan bahwa tujuan pembentukan Islam adalah melahirkan karakter manusia-manusia Islam yang berkepribadian yang sesuai dengan nilai-nilai al-Qur’an atau dengan kata lain tujuan pendidikan Islam adalah melahirkan manusia Insan Kamil yang berkater kuat sesuai dengan nilai-nilai al-Qur’an dan sunnah.
Karakter Insan Kamil
A.      Pengertian Insan Kamil
Insan Kamil berarasal dari bahasa arab, yaitu dari dua kata : insan dan kamil. Secara harfiyah, insan berarti manusia, dan kamil berarti sempurna. Dengan demikian, insan kamil berarti manusia yang sempurna.[14] Kamal atau kamil digunakan untuk sesuatu yang utuh dan rampung, dalam tingkat atau derajat yang lebih tinggi, bahkan dari yang tinggi ini ada yang lebih tinggi lagi dan seterusnya.
Kamal atau kamil adalah sifat bagi sesuatu secara vertikal, sedangkan taam adalah sifat bagi sesuatu secara horisontal. Ketika sesuatu telah sampai pada batas akhirnya atau selesai secara horisontal, maka dapat dikatakan telah menjadi ta’am, dan ketika sesuatu itu bergerak secara vertikal, maka ia telah memperoleh kamil.
Insan Kamil secara umum, adalah manusia ta’am yang mulai melangkah secara vertikal, sehingga menjadi kamil, lebih kamil lagi dan seterusnya hingga pada batas akhir kesempurnaan ketika tak seorang pun dapat menjangkau kedudukannya. Manusia yang telah mencapai tingkat itu adalah manusia yang paling sempurna.
Pengertian insan kamil tidak sesederhana seperti yang selama ini dipahami kalangan ulama, yaitu manusia teladan dengan menunjuk pada figur Nabi Muhammad SAW.  Bagi sufi, insan kamil adalah lokus penampakan (madzhar) diri Tuhan paling sempurna, meliputi nama-nama dan sifat-sifat-Nya. Allah SWT memilih manusia sebagai makhluk yang memiliki keunggulan (tafadhul) atau ahsani taqwim (ciptaan paling sempurna) menurut istilah Alquran. Disebut demikian karena di antara seluruh makhluk Tuhan manusialah yang paling siap menerima nama-nama dan sifat-sifat Tuhan. Makhluk lainnya hanya bisa menampakkan bagian-bagian tertentu. Bandingkan dengan mineral, tumbuh-tumbuhan, binatang, bahkan malaikat tidak mampu mewadahi semua nama dan sifat-Nya.
B.       Ciri-Ciri Insan Kamil
Adapun ciri-ciri Insan Kamil adalah sebagai berikut:
a.       Berfungsi Akalnya Secara Optimal, Fungsi akal secara optimal dapat dijumpai pada pendapat kaum Mu’tajzilah. Menurutnya manusia yang akalnya berfunsi secara optimal dapat mengetahui bahwa segala perbuatan baik seperti adil, jujur, berakhlak sesuai dengan esensinya dan merasa wajib melakukan hal semua itu walaupun tidak diperintahkan oleh wahyu.Manusia yang berfungsi akalnya sudah merasa wajib melakukan perbuatan yang baik. Dan manusia yang demikianlah yang dapat mendekati tingkat insan kamil.Dengan demikian insan kamil akalnya dapat mengenali perbuatan yang baik dan perbuatan buruk karena hal itu telah terkandung pada esensi perbuatan tersebut.[15]
b.      Berfungsi Intuisinya, Insan Kamil dapat juga dicirikan dengan berfungsinya intuisi yang ada dalam dirinya.Intuisi ini dalam pandangan Ibn Sina disebut jiwa manusia (rasional soul). Menurutnya jika yang berpengaruh dalam diri manusia adalah jiwa manusianya, maka orang itu hampir menyerupai malaikat dan mendekati kesempurnaan.[16]
c.       Mampu Menciptakan Budaya, Sebagai bentuk pengamalan dari berbagai potensi yang terdapat pada dirinya sebagai insan, manusia yang sempurna adalah manusia yang mampu mendayagunakan seluruh potensi rohaniahnya secara optimal.Menurut Ibn Khaldun manusia adalah makhluk berfikir.Sifat-sifat semacam ini tidak dimiliki oleh makhluk lainnya. Lewat kemampuan berfikirnya itu, manusia tidak hanya membuat kehidupannya, tetapi juga menaruh perhatian terhadap berbagai cara guna memperoleh  makna hidup. Proses-proses semacam ini melahirkan peradaban.[17] Tetapi dalam kacamata Ibn Khaldun, kelengkapan serta kesempurnaan manusia tidaklah lahir dengan begitu saja, melainkan melalui suatu proses tertentu. Proses tersebut sekarang ini dikenal dengan revolusi.[18]
d.      Menghiasi Diri Dengan Sifat-Sifat Ketuhanan, Manusai merupakan makhluk yang mempunyai naluri ketuhanan (fitrah).Ia cenderung kepada hal-hal yang berasal dari Tuhan, dan mengimaninya. Sifat-sifat tersebut membuat ia menjadi wakil Tuhan di muka bumi. Manusia seabagai khalifah yang demikian itu merupakan gambaran ideal.Yaitu manusia yang berusaha menentukan nasibnya sendiri, baik sebagai kelompok masyarakat maupun sebagai individu. Yaitu manusia yang memiliki tanggung jawab yang besar, karena memiliki daya kehendak yang bebas.
e.       Berakhlak Mulia, Insan kamil juga adalah manusia yang berakhlak mulia.Hal ini sejalan dengan pendapat Ali Syari’ati yang mengatakan bahwa manusia yang sempurna memiliki tiga aspek, yakni aspek kebenaran, kebajikan dan keindahan. Dengan kata lain ia memiliki pengetahuan, etika dan seni. Semua ini dapat dicapai dengan kesadaran, kemerdekaan dan kreativitas. Manusia yang ideal (sempurna) adalah manusia yang memiliki otak yang briliyan sekaligus memiliki kelembutan hati.Insan Kamil dengan kemampuan otaknya mampu menciptakan peradaban yang tinggi dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, juga memiliki kedalaman perasaan terhadap segala sesuatu yang menyebabkan penderitaan, kemiskinan, kebodohan, dan kelemahan.
f.       Berjiwa Seimbang, hakikat manusia terletak pada aspek kedalamannya, yang bersifat permanen, immortal yang kini tengah bereksistensi sebagai bagian dari perjalanan hidupnya yang teramat panjang.Tetapi disayangkan, kebanyakan dari merekan lupa akan immortalitas yang hakiki tadi. Manusia modern mengabaikan kebutuhannya yang paling mendasar, yang bersifat ruhiyah, sehingga mereka tidak akan mendapatkan ketentraman batin, yang berarti tidak hanya keseimbangan diri, terlebih lagi bila tekanannya pada kebutuhan materi kian meningkat, maka keseimbangan akan semakin rusak. Kutipan tersebut mengisyaratkan tentang perlunya sikap seimbang dalam kehidupan, yaitu seimbang antara pemenuhan kebutuhan material dengan spiritual atau ruhiyah.Ini berarti perlunya ditanamkan jiwa sufistik yang dibarengi dengan pengamalan syari’at Islam, terutama ibadah, zikir, tafakkur, muhasabah dan seterusnya.[19]

Dengan demikian, maka dapat dipahami bahwa ciri-ciri insan kamil terletak pada perilaku yang ditampakkan sebagai hasil olah ruhaniyah dari seorang manusia dengan menampakkan ciri mendasar yaitu berfungsi Akalnya Secara Optimal, berfungsi Intuisinya, mampu menciptakan budaya, menghiasi diri dengan Sifat-sifat ketuhanan, berakhlak mulia, dan berjiwa seimbang.
Penutup
 Berdasarkan paparan pembahasan pada bab sebelumnya, maka dapat ditarik sebagai kesimpulan adalah sebagai berikut :
1.      Pendidikan Islam merupakan sebuah usaha untuk menjadikan anak keturunan dapat mewarisi ilmu pengetahuan yang bernuansa islami sehingga memberikan warna islami bagi pertumbuhan dan perkembangannya. Setiap usaha dan tindakan yang disengaja untuk mencapai tujuan harus mempunyai sebuah landasan atau dasar tempat berpijak yang baik dan kuat.
2.      Dasar pendidikan Islam adalah al-Qur’an dan sunnah, yang merupakan kitab induk bagi umat Islam yang memuat beragam konsep dan perintah bagi umat Islam untuk melakukan proses pendidikan dan pengajaran yang sesuai dengan tuntunan agama Islam.
3.      Tujuan pembentukan Islam adalah melahirkan karakter manusia-manusia Islam yang berkepribadian yang sesuai dengan nilai-nilai al-Qur’an atau dengan kata lain tujuan pendidikan Islam adalah melahirkan manusia Insan Kamil yang berkater kuat sesuai dengan nilai-nilai al-Qur’an dan sunnah.
4.      Insan kamil adalah lokus penampakan (madzhar) diri Tuhan paling sempurna, meliputi nama-nama dan sifat-sifat-Nya. Allah SWT memilih manusia sebagai makhluk yang memiliki keunggulan (tafadhul) atau ahsani taqwim (ciptaan paling sempurna) menurut istilah al-Qur’an.
5.      Dipahami bahwa ciri-ciri insan kamil terletak pada perilaku yang ditampakkan sebagai hasil olah ruhaniyah dari seorang manusia dengan menampakkan ciri mendasar yaitu berfungsi akalnya secara optimal, berfungsi intuisinya, mampu menciptakan budaya, menghiasi diri dengan Sifat-sifat ketuhanan, berakhlak mulia, dan berjiwa seimbang.



[1] Murtadha Muthahari, Manusia Sempurna, terj. M. Hashem (Jakarta : Lentera, 2003), h. 2
[2] Murtadha Muthahari, Manusia Sempurna. h. 2
[3] Zakiah Drajat, Ilmu Pendidikan Islam (Jakarta: PT. Bumi Aksara, 2000), hlm. 25
[4] Atang Abd. Hakim dan Jaih Mubarok. Metodologi Studi Islam (Bandung: Remaja Rosda Karya, 2000), h. 154-155
[5] M.Arifin, Ilmu Pendidikan Islam Suatu Tinjauan Teoritis dan Praktis Berdasarkan Pendekatan Interdisipliner, (Jakarta: Bumi aksara, 1991), h. 32
[6] Zuhairini, Et. All. Metodologi Pendidikan Agama (Solo: Ramadhani, 1993), h. 53
[7] Atang Abd. Hakim dan Jaih Mubarok. Metodologi Studi Islam, h. 69
[8] Kementerian Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Jakarta : PT. Sinergi Pustaka, 2012), h. 904
[9] Zakiah daradjat. Ilmu Pendidikan Islam (Jakarta: Bumi Aksara, 2006), h. 20-21
[10] Chabib Thoha. Kapita Selekta Pendidikan Islam, (Cet. I. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996), h.102
[11] Achmadi. Ideologi Pendidikan Islam: Paradigma HumanismeTeosentris (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), h. 95-98
[12] Ahmad D. Marimba. Pengantar Filsafat Pendidikan Islam (Bandung: Al-Ma’arif, 1989), h. 46
[13] Omar Muhammad al-Taumy al-Syaibani al-Athiyah, al-Abrasy.  Filsafat Tarbiyah al-Islamiyah, terjemahan Hasan Langgulung. Falsafat Pendidikan Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1989), h. 130
[14] Mahmud Yunus, Kamus Arab Indonesia, (Jakarta: Hida-karya,1990), h.51 dan 387.
[15] Azyumardi Azra, Antara kebebasan dan keterpaksaan manusia: pemikiran islam tentang perbuatan manusia, dalam Dawam Rahardjo (ed.), Insan Kamil Konsepsi Manusia menurut islam, (Cet. XI; Jakarta :Grafiti Pers 1987), h. 43.
[16] Iqbal Abdul Rauf Saimima, Filsafat dan Mistisisme dalam Islam. (Jakarta:bulan bintang,1983), h. 83
[17] M. Sastra Partedeja, Culture and Religion, (Jurnal Islam; Vol. 3 Tahun 2001) h. 25
[18] Fachry Ali, Realitas Manusia : Pandangan Sosiologis Ibnu Khaldun, (Jurnal Islam; Vol 2 Tahun 2005), h.149
[19] Fachry Ali, Realitas Manusia : Pandangan Sosiologis Ibnu Khaldun, h.170

No comments:

Makalah: Mahabbah, Makrifah

BAB I PENDAHULUAN   A.      Latar Belakang Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi membawa manusia larut dan terbuai dalam din...