Fenomenologi Hermeneutik
Oleh: Bagus Takwin
Ada beragam metode fenomenologi
yang telah dikembangkan oleh para ahli fenomenologi. Setiap metode memiliki
karakteristik tersendiri dan penggunaannya disesuaikan dengan fenomena dan
permasalahan yang hendak diteliti (Kruger, 1979; Giorgi, 1995). Salah satunya adalah
fenomenologi hermeneutik dari Paul Ricoeur (1985, 1986, 1991a, 1991b). Metode
ini dalam literatur ilmu humaniora diakui sebagai metode penafsiran yang rigorous
(ketat), dapat membawa peneliti kepada pemahaman tentang fenomena secara
apa adanya, menyeluruh dan sistematik terutama dalam menjelaskan tentang
identitas-diri tanpa mengabaikan aspek objektivitasnya (Smith, 1997;
Scott-Baumann, 2003).
Fenomenologi hermeneutik merupakan
sintesis dari beberapa metode hermeneutik dan metode fenomenologi (Ricoeur,
1985, 1991). Sambil mengkritik idealisme Husserl, Ricoeur menunjukkan bahwa
hermenutika tidak dapat dilepaskan dari fenomenologi. Fenomenologi merupakan
asumsi dasar yang tak tergantikan bagi hermeneutika. Di sisi lain, fenomenologi
tidak dapat menjalankan programnya untuk memahami berbagai fenomena secara utuh
dan menyeluruh tanpa penafsiran terhadap pengalaman-pengalaman subyek. Untuk
keperluan penafsiran itu dibutuhkan hermeneutika. Secara umum, fenomenologi
merupakan kajian tentang bagaimana manusia sebagai subyek memaknai obyek-obyek
di sekitarnya. Menurut Ricoeur (1985), sejauh tentang makna dan pemaknaan yang
dilakukan manusia, hermeneutik terlibat di sana. Jadi pada dasarnya
fenomenologi dan hermeneutik saling melengkapi. Dengan dasar itu, Ricoeur
mengembangkan metode fenomenologi hermeneutik.
Scott-Baumann (2003) menilai metode
yang dikembangkan oleh Ricoeur ini merupakan metode yang dapat menyelesaikan
pertentangan dilematis antara paradigma kuantitatif dan paradigma kualitatif
yang didasari oleh pertentangan epistemologis antara Explaining atau Enklären
(menjelaskan gejala untuk kemudian meramalkan dan mengontrolnya) dan
Understanding atau Verstehen (memahami melalui penafsiran
terhadap gejala) serta mempertemukan keduanya dalam satu metode penelitian yang
koheren dan konsisten.
Ricoeur (1985:43) mendefinisikan
hermeneutik sebagai teori pengoperasian pemahaman dalam hubungannya dengan
interpretasi terhadap teks. Menurutnya, apa yang diucapkan atau ditulis manusia
mempunyai makna lebih dari satu bila dihubungkan dengan konteks yang berbeda.
Karakteristik yang menyebabkan kata-kata memiliki makna lebih dari satu bila
digunakan dalam konteks-konteks yang berbeda oleh Ricoeur dinamakan ‘polisemi’.
Karakteristik inilah yang menjadikan hermeneutik diperlukan dalam memahami
manusia.
Meski secara esensial Ricoeur beroperasi dengan masuk ke
dalam orientasi pembaca dalam memahami teks, ia merasa tidak nyaman dengan
subjektivitas intrinsik yang diasosiasikan dengan hermeneutik. Ia berusaha
menemukan dasar objektivitas dalam memahami sebuah teks sambil tetap
mempertahankan keterbukaan penafsiran terhadap apa yang diungkapkan teks itu.
“Hermeneutik kecurigaan” yang dikemukakan Ricoeur
mewakili usahanya untuk mempertahankan hermeneutik sebagai sains dan seni. Menurut
Ricoeur (1970), hermeneutik dihidupkan oleh dua motivasi, kehendak untuk curiga
dan kehendak menyimak; kesediaan untuk menentang dan kesediaan untuk patuh. Dengan
dasar itu, dalam konteks pemahaman terhadap teks, yang pertama harus dilakukan
adalah upaya menjauhi idola (berhala) dengan cara menyadari secara
kritis kemungkinan berbaurnya harapan-harapan kita dalam memahami sebuah teks
sehingga pemahaman terhadap teks itu bukan berasal dari dalam diri kita sebagai
pembaca. Kedua, diperlukan kebutuhan untuk menyimak dalam keterbukaan terhadap
lambang dan alur teks, dengan demikian memungkinkan peristiwa-peristiwa kreatif
terjadi di hadapan teks dan berpengaruh terhadap kita.
Ricoeur mengkaji permasalahan bahasa, penafsiran,
subjektivitas, asal-usul kehendak dan tindakan manusia. Ia banyak dipengaruhi
oleh fenomenologi Jerman (Husserl, Heidegger dan Jaspers). Dalam pengaruh
fenomenologi itu Ricoeur menyanggah pandangan beberapa pemikiran tentang
penafsiran fenomenologis (termasuk dari Dilthey) dengan insight yang
diperoleh dari strukturalisme dan psikoanalisis yag kebanyakan diturunkan dari
pemikir Perancis seperti Lévi-Strauss dan analisis struktural naratif dari
Greimas dan Barthes.
Dalam fenomenologi hermeneutik,
Ricoeur (1985) menekankan pentingnya pemahaman tentang distanciation
(pengambilan-jarak). Kembalinya hermeneutik kepada fenomenologi terjadi melalui
pengambilan-jarak. Setiap pemaknaan yang dilakukan oleh kesadaran melibatkan
saat pengambilan-jarak dari obyek yang diberi makna, pengambilan-jarak dari
pengalaman yang dihayati sambil tetap secara murni dan lugas tertuju kepadanya.
Fenomenologi mulai ketika kita memutus pengalaman yang dihayati dengan maksud
memberi arti kepadanya. Pengambilan jarak ini berhubungan erat dengan epoché,
mengheningkan dan menjauhkan prasangka dan referensi terdahulu yang
berkaitan dengan fenomen, namun epoché dalam pengertian non-idealis sebagai
aspek dari pergerakan intensional kesadaran terhadap makna. Epoché yang
bertujuan mendapatkan pemahaman langsung dari fenomen dan pengambilan-jarak
dengan intensi memberi makna merupakan dua hal yang saling terkait erat.
Hubungan epoché dan
pengambilan-jarak sangat jelas terlihat dalam bahasa (Ricoeur, 1985). Tanda
linguistik hanya dapat merujuk kepada hal yang bukan benda. Tanda itu merujuk
kepada konsep atau makna dari benda-benda. Jadi dalam tanda itu terkandung
negativitas tertentu, menidakkan obyek-obyek yang dihayati melalui pengalaman.
Dalam ranah linguistik, semuanya terjadi dalam pengandaian bahwa subyek yang
berbicara memiliki ‘ruang kosong’ tempat bermulanya penggunaan tanda, ruang
kosong yang memutus hubunganya dengan pengalaman yang dihayati dengan maksud
untuk memasuki semesta simbolik. Epoché adalah peristiwa virtual,
tindakan imajiner yang memulai seluruh permainan yang dengannya kita
mempertukarkan tanda dengan benda dan tanda dengan tanda-tanda yang lain.
Fenomenologi dapat dipahami sebagai penguatan eksplisit dari peristiwa virtual
yang tampil sebagai tindakan yang khas, sebagai gerak-gerik filosofis.
Fenomenologi menjalin sifat tematik dari apa yang tadinya hanya bersifat
operatif, membuat makna tampil sebagai makna. Hermeneutik memperluas
gerak-gerik filosofis ini ke dalam ranah historis dan secara lebih umum lagi ke
dalam ilmu-ilmu tentang manusia. Pengalaman yang dihayati manusia yang
melibatkan bahasa dan pemaknaan merupakan rangkaian keterkaitan sejarah,
diperantarai oleh penyebaran berbagai dokumen tertulis, kerja, institusi, dan
monumen yang menampilkan masa lalu di masa kini. Rasa kepemilikan terhadap apa
yang ada di masa lalu merupakan upaya untuk mempertahankan pengalaman hidup
historis. Dari sisi hermeneutik, dapat dipahami bahwa pengalaman yang dihayati
sebagai obyek dari fenomenologi korespon dengan kesadaran yang ditujukan untuk
mempertahankan kebergunaan historis. Dengan demikian, pengambilan-jarak
hermeneutis ditujukan terhadap rasa kepemilikan masa lalu seperti juga yang
ditujukan epoché terhadap pengalaman yang dihayati. Hermeneutik bermula
ketika kita memutus hubungan kepemilikan kita dengan masa lalu agar dapat
memaknainya. Hermeneutik dan fenomenologi sama-sama memungkinkan subyek untuk
memaknai pengalaman yang dihayatinya dan kepemilikannya akan tradisi historis.
Fenomenologi dan hermeneutik juga sama-sama
memandang bahwa pemaknaan linguistik merupakan watak turunan dari pengalaman
yang dihayati. Dalam upaya memahami fenomena, kesadaran yang selalu tertuju
kepada obyek menggunakan perangkat-perangkat perseptualnya (noesis) untuk
memperoleh gambaran perseptual yang lengkap tentang fenomena (noema).
Pembentukan gambaran perseptual yang lengkap itu mensyaratkan perlengkapan
linguistik yang memadai untuk melakukan pengartian, predikasi, hubungan
sintaktik dan sebagainya agar gambaran itu dapat diartikulasikan. Dari sisi
hermeneutik, penempatan linguistik sebagai kendaraan yang digunakan untuk
memahami analisis terhadap gambaran perseptual pra-lingusitik merupakan prinsip
yang mendasari proses penafsiran.
Untuk menjelaskan ‘watak turunan’
turunan dari pemaknaan lingusitik, Ricoeur (1986) menggunakan analogi permainan
yang ia ambil dari pengalaman seni yang pada dasarnya bukan sesuatu yang
bersifat linguistik. Pengalaman seni terutama mengandung unsur permainan. Orang
terlibat dalam pengalaman seni sebagai pemain untuk mendapatkan efek main-main.
Di sisi lain, pengalaman seni merupakan pengalaman yang ditandai oleh kegiatan
memamerkan atau menampilkan pengalaman. Kegiatan memamerkan pengalaman itu tak
bisa tidak melibatkan medium linguistik. Pengalaman yang ditampilkan dipahami
oleh pemirsanya juga melalui medium linguistik. Jadi, di sini pun linguistik
merupakan turunan dari pengalaman yang dihayati subyek, baik sebagai penampil
maupun pemirsa.
Analogi permainan menjadi penting
dalam fenomelogi hermeneutik. Ricoeur (1985, 1991) memandang analogi permainan
sebagai salah satu bentuk pengambilan-jarak dalam fenomenologi hermeneutik.
Analogi permainan merujuk pada aktivitas membandingkan tindakan-tindakan dan
keyakinan-keyakinan manusia dengan permainan. Setiap permainan memiliki aturan
main yang ditentukan oleh pencipta atau para pemainnya. Dengan analogi
permainan dapat dipahami bahwa tindakan dan keyakinan manusia merupakan sebuah
kreasi manusia untuk menimbulkan efek-efek tertentu yang memuaskannya. Ada interes
yang didorong oleh kehendak manusia menunjukkan bahwa tindakan dan keyakinannya
bukan sesuatu yang didasarkan pada sesuatu yang mutlak dan tak dapat
ditawar-tawar. Penerapan analogi permainan dalam kegiatan penafsiran membawa
penafsir untuk dapat memperkaya teks yang ditafsirkan. Teks menjadi lebih
lentur dalam arti pembaca yang menafsirkannya dapat menghasilkan makna-makna
baru dari kegiatan membacanya.
Ricoeur juga menunjukkan
kekerabatan antara hermeneutik dan fenomenologi terlihat dalam penggunaan konsep
Labenswelt (dunia-kehidupan) dalam fenologi yang oleh hermeneutik
dipahami sebagai perbendaharaan makna, surplus kesadaran dalam pengalaman hidup
yang memungkinkan objetivikasi dan pemaknaan yang kaya terhadap fenomena dalam
kehidupan manusia. Dengan konsep Labenswelt itu, dimungkinkan
pengembangan fenomenologi persepsi yang membawa fenomenologi kepada hermeneutik
untuk memahami pengalaman historis. Dengan demikian, fenomenologi dan
hermeneutik merupakan dua hal yang tak terpisahkan dan selalu bersama-sama
dalam upaya memahami fenomena dan memahami manusia melalui ilmu-ilmu tentang
manusia.
Persoalan yang biasanya dihadapi
hermeneutik konvensional yang menekankan pemahaman atau verstehen adalah
relativitas dari hasil penafsiran. Dengan hermeneutika pemahaman mendalam
terhadap sebuah gejala dapat dilakukan tetapi kepastian hasil penafsiran tak
dapat dijaga sebab subyektivitas penafsir terlibat dalam proses penafsiran.
Penafsiran yang dilakukan satu penafsir seringkali menghasilkan pemahaman yang
berbeda dari penafsir lainnya sebab tak ada metode yang baku dan pasti yang
dapat digunakan untuk menangkap makna yang sesungguhnya dari teks. Bagi
Ricoeur, pendekatan in terlalu subyektif sehingga tak dapat memberi masukan
bagi epistemologi positivistik dalam ilmu-ilmu tentang manusia. Di sisi lain,
pendekatan penjelasan atau enklären yang obyektif dan ilmiah mengandung persoalan
kedangkalan dan reduksionistik. Penjelasan yang dicapai oleh peneliti pasti dan
obyektif tetapi hanya berkisar tentang hal-hal dipermukaan. Pendekatan ini
tidak mampu memahami obyek penelitiannya secara mendalam dan menyeluruh,
terutama dalam memahami manusia. Ricoeur berambisi mempertemukan dan memadukan
dua pendekatan ini dengan fenomenologi hermeneutiknya agar dapat digunakan
untuk menjelaskan dan memahami berbagai fenomena yang menjadi kajian dalam
ilmu-ilmu tentang manusia.
Berangkat dari pemahaman tentang
pengambilan-jarak dan epoché, Ricoeur (1985, 1991) menjelaskan
sintesisnya atas pendekatan penjelasan dan pemahaman. Dengan fenomenologi
hermeneutiknya, Ricoeur (1991: 106) lalu mendefinisikan teks sebagai “...any
discourse fixed by writing.” Teks
adalah diskursus yang dimantapkan dalam bentuk tulisan. Diskursus diartikan
sebagai peristiwa bahasa atau penggunaan bahasa sebagai lawan dari sistem
bahasa atau sistem kode linguistik. Diskursus menunjukkan bahasa sebagai
peristiwa, bukan sebagai sistem. Satuan terkecil dari gramatika bahasa yang
melandasi teks adalah kata sedangkan satuan terkecil dari diskursus adalah
kalimat. Teks merupakan hasil pengambilan-jarak terhadap pengalaman yang
dihayati dalam dunia. Dengan istilah teks, Ricoeur juga merujuk kepada
pengalaman dan tindakan manusia yang akan ditafsirkan. Pengalaman dan tindakan
manusia mengandung pemaknaan linguistik, oleh karena itu keduanya merupakan
diskursus. Pengambilan-jarak dan epoché mengindikasikan adanya pemutusan
hubungan antara pengalaman dan tindakan yang hendak dipahami dengan dunia.
Dengan kata lain, pengalaman dan tindakan sebagai diskursus di sini dibekukan
menjadi teks atau dalam bentuk-bentuk linguistik yang dapat dibaca. Selain itu,
merujuk pada definisi Weber (dalam Ricoeur, 1991) tentang objek-objek ilmu
humaniora yaitu perilaku yang diarahkan secara bermakna, Ricoeur memadankan
istilah ‘diarahkan secara bermakna’ dengan ‘karakter keterbacaan’.
Ricoeur mengenakan sifat-sifat teks
ke dalam tindakan. Seperti halnya teks merupakan diskursus yang dibekukan,
tindakan juga pada awalnya adalah sebuah diskursus dalam arti peristiwa
tindakan yang terjadi dalam matra waktu, melibatkan aktor-aktor tertentu
(pelaku maupun yang terkena tindakan) dengan maksud-maksud tertentu pula. Pemantapan
tindakan menjadikan tindakan tak lagi hanya merujuk pada satu peristiwa
tertentu, dengan demikian tindakan pun terkena sifat-sifat teks. Ricouer
menjelaskan sifat-sifat itu sebagai berikut:
1)
Pemantapan
tindakan; tindakan bermakna baru menjadi objek ilmu melalui objektivikasi yang
oleh Ricoeur disejajarkan dengan pemantapan diskursus ke dalam tulisan. Makna
tindakan pun jadi berbeda dari peristiwa tindakan.
2)
Otonomisasi
tindakan; seperti makna teks yang lepas dari intensi penulisnya, makna tindakan
juga lepas dari intensi pelakunya. Otonomisasi ini menghasilkan matra sosial
dari tindakan yang menghasilkan objektivitas tindakan. Tindakan manusia
meninggalkan jejak pada sejarah berupa rekaman pada diri orang-orang. Sebagai
rekaman, tindakan itu sudah lepas dari intensi penulisnya. Makna tindakan tidak
lagi sama dengan intensi otentik si pelaku awal.
3)
Relevansi
dan kepentingan yang berubah; tindakan bermakna yang menjadi objek ilmu
pengetahuan sosial, tidak lagi mengacu pada relevansi situasi awal. Kepentingan
tindakan jadi keluar dari relevansi situasi awal, melampaui kondisi-kondisi
sosial yang melahirkan tindakan itu. Di sini terlihat, suatu tindakan yang
dimantapkan tidak hanya mencerminkan jamannya, namun membukakan suatu kenyataan
dan kemungkinan baru juga.
4)
Tindakan
manusia sebagai karya terbuka; pada akhirnya, tindakan manusia menyapa dalam
bentuknya yang objektif menyapa siapa saja yang ‘membacanya’. Tindakan manusia,
seperti juga teks, merupakan karya terbuka, menguakkan acuan-acuan baru serta
menanti penafsiran dan pemaknaan yang segar dari praxis aktual.
Setelah dimantapkan sebagai teks, pengalaman dan
tindakan manusia dapat menjadi terbuka untuk ditafsirkan dan hasil
penafsirannya mencakup makna obyektif dan makna subyekti. Makna obyektif
berbeda dengan makna subyektifnya tetapi keduanya saling melengkapi dan
memperkaya penafsiran. Pemahaman yang tepat tidak dapat dihasilkan hanya dengan
kembali pada intensi orang yang mengalami atau pembuat tindakan. Konstruksi
makna yang dilakukan harus berbentuk proses dialektika antara pendugaan dan
pengesahan. Rekonstruksi teks sebagai keseluruhan harus bersifat daur ulang
dalam arti makna keseluruhan harus tampak dalam bagian-bagiannya. Sebaliknya,
keseluruhan dibangun dari rincian-rinciannya. Di sini tak bisa ditentukan
secara gamblang patokan untuk menentukan bagian mana yang paling penting dan
mana yang tidak penting, mana yang hakiki, dan mana yang artifisial. Keseluruhannya
harus dipahami secara mendalam.
Dalam kegiatan pengesahan
penafsiran, prosedur yang digunakan lebih cenderung kepada logika probabilitas
daripada logika verifikasi empirik. Di sini yang dilihat adalah mana ‘yang
lebih mungkin’. Dengan kata lain, digunakan logika ketidakpastian dan logika
probabilitas kualitatif. Kontrol terhadap validitas adalah adanya persaingan
antar penafsir. Sebuah penafsiran yang mampu melewati persaingan bukan saja
harus mungkin, namun juga harus ‘lebih mungkin’ daripada kemungkinan yang lain.
Dalam penafsiran ini dituntut usaha pemahaman yang mendalam terhadap teks atau
tindakan. Pemahaman terjadi secara tidak langsung melalui prosedur penjelasan.
Pemahaman diperoleh lewat proses dinamis penjelasan yang berlangsung. Dengan
adanya proses penjelasan, pemahaman dihindarkan dari kecenderungan hanya
menangkap ‘hal-hal yang dirasa’ penafsir sebab penafsir di sini menceburkan
dirinya secara total pada proses penafsiran yang melibatkan penjelasan.***
No comments:
Post a Comment