BAB II
PEMBAHASAN
A.
Latar Belakang
Pendidikan
Islam yang mengalami masa tunas pada masa Dinasti Bani Umayyah mencapai
puncaknya pada masa Dinasti Bani Abbasiyah. Kemajuan pendidikan Islam pada masa
ini dikarenakan penguasa dari Dinasti Bani Abbasiyah mengambil kebijakan dengan
mengangkat orang-orang Persia menjadi pejabat-pejabat penting di istana,
terutama dari keluarga Baramikah, sebuah keluarga yang telah lama bersentuhan dengan filsafat dan ilmu
pengetahuan Hellenisme yang mempengaruhi umat Islam untuk belajar dan mengembangkan pemikiran Islam. Hal ini semakin
nyata setelah penguasa dari Dinasti ini memproklamirkan aliran Mu’tazilah,
sebuah aliran teologi rasional sebagai mazhab resmi negara. Pada masa ini
pendidikan Islam mencapai zaman keemasannya. Filsafat Islam, ilmu pengetahuan,
sains dan pemikiran Islam mencapai kemajuan yang sangat pesat sehingga
menjadikan Islam sebagai pusat keilmuan yang tiada tandingnya di dunia dan
filsafat serta ilmu pengetahuannya menjadi kiblat dunia pada saat itu.
Perseteruan
antara agama dan ilmu pengetahuan (sains) merupakan isu klasik yang sampai saat
ini masih berkembang di dunia Barat dalam wujud sekularisme. Tetapi, Islam
tidak mendekati persoalan sains ini dari perspektif tersebut karena al-Qur’an
dan al-Sunnah telah memberikan sistem yang lengkap dan sempurna yang mencakup
semua aspek kehidupan manusia, termasuk kegiatan-kegiatan ilmiah atau
penyelidikan-penyelidikan ilmiah. Jadi, kegiatan ilmiah merupakan bagian yang
integral dari keseluruhan sistem Islam di mana masing-masing bagian memberikan
sumbangan terhadap yang lainnya.
Al-Qur’an
sangat menekankan pentingnya membaca (baca: mengamati) gejala alam dan
merenungkannya. Al- Qur’an mengambil contoh dari kosmologi, fisika, biologi,
ilmu kedokteran dan lainnya sebagai tanda kekuasaan Allah untuk dipikirkan oleh
manusia. Tidak kurang dari tujuh ratus lima puluh ayat – sekitar seperdelapan
al-Qur’an– yang mendorong orang beriman untuk menelaah alam, merenungkan dan
menyelidiki dengan kemampuan akal budinya serta berusaha memperoleh pengetahuan
dan pemahaman alamiah sebagai bagian dari hidupnya. Kaum muslim zaman klasik
memperoleh ilham dan semangat untuk mengadakan
penyelidikan ilmiah di bawah sinar petunjuk al-Qur’an, di samping dorongan
lebih lanjut dari karya-karya Yunani
dan sampai batas-batas tertentu oleh terjemahan naskah-naskah Hindu dan Persia.
Dengan semangat ajaran al-Qur’an, para ilmuwan muslim tampil dengan sangat
mengesankan dalam setiap bidang ilmu pengetahuan. Pengaruh al-Qur’an ini tidak
saja diakui oleh kalangan ilmuwan muslim zaman dahulu, seperti al-Ghazali, dan
al-Suyuthi, bahkan sarjana Baratpun mengakuinya, seperti R. Levy dan George
Sarton.
B.
Rumusan Masalah
1. Bagaimanakah Pandangan Islam Terhadap
Sains?
2. Bagaimanakah Prinsip-Prinsip Sains dalam
Islam?
3. Bagaimanakah Integrasi Islam dan Sains?
BAB III
PEMBAHASAN
1.
Pandangan Islam Terhadap Sains
Kata sains dan teknologi ibarat dua sisi
mata uang yang sulit dipisahkan satu sama lain. Sains, menurut Baiquni, adalah
himpunan pengetahuan manusia tentang alam yang diperoleh sebagai konsensus para
pakar, melalui penyimpulan secara rasional mengenai hasil-hasil analisis yang
kritis terhadap data pengukuran yang diperoleh dari observasi pada
gejala-gejala alam. Sedangkan teknologi adalah himpunan pengetahuan manusia
tentang proses-proses pemanfaatan alam yang diperoleh dari penerapan sains, dalam
kerangka kegiatan yang produktif ekonomis (Baiquni, 1995: 58-60).
Al-Qur’an, sebagai kalam Allah,
diturunkan bukan untuk tujuan-tujuan yang bersifat praktis. Oleh sebab itu,
secara obyektif, al-Qur’an bukanlah ensiklopedi sains dan teknologi apalagi al-Qur’an
tidak menyatakan hal itu secara gamblang.
Akan tetapi, dalam kapasitasnya sebagai
huda li al-nas, al-Qur’an memberikan informasi stimulan mengenai fenomena alam
dalam porsi yang cukup banyak, sekitar tujuh ratus lima puluh ayat (Ghulsyani,
1993: 78). Bahkan, pesan (wahyu) paling awal yang diterima Nabi SAW mengandung
indikasi pentingnya proses investigasi (penyelidikan). Informasi al- Qur’an
tentang fenomena alam ini, menurut Ghulsyani, dimaksudkan untuk menarik
perhatian manusia kepada Pencipta alam Yang Maha Mulia dan Maha Bijaksana
dengan mempertanyakan dan merenungkan wujud-wujud alam serta mendorong manusia
agar berjuang mendekat kepada-Nya (Ghulsyani, 1993). Dalam visi al-Qur’an,
fenomena alam adalah tanda-tanda kekuasaan Allah. Oleh sebab itu, pemahaman
terhadap alam itu akan membawa manusia lebih dekat kepada Tuhannya[1].
Pandangan al-Qur’an tentang sains dan
teknologi dapat ditelusuri dari pandangan al-Qur’an tentang ilmu. Al-Qur’an
telah meletakkan posisi ilmu pada tingkatan yang hampir sama dengan iman
seperti tercermin dalam surat al-Mujadalah ayat 11:
“… niscaya Allah akan
meninggikan orang-orang yang beriman di antara kamu dan orang-orang yang diberi
ilmu pengetahuan beberapa derajat.”
Ayat-ayat
al-Qur’an yang memerintahkan manusia mencari ilmu atau menjadi ilmuwan begitu
banyak. Al-Qur’an menggunakan berbagai istilah yang berkaitan dengan hal ini.
Misalnya, mengajak melihat, memperhatikan, dan mengamati kejadian-kejadian (Fathir:
27; al-Hajj: 5;
Luqman: 20; al- Ghasyiyah: 17-20; Yunus: 101;
al-Anbiya’: 30), membaca (al- ‘Alaq: 1-5) supaya mengetahui suatu kejadian
(al-An’am: 97; Yunus: 5), supaya mendapat jalan (al-Nahl: 15), menjadi yang
berpikir atau yang menalar berbagai fenomena (al-Nahl: 11; Yunus: 101; al-Ra’d:
4; al-Baqarah: 164; al-Rum: 24; al-Jatsiyah: 5, 13), menjadi ulu al-albab (Ali
‘Imran: 7; 190-191; al-Zumar: 18), dan mengambil pelajaran (Yunus: 3).
Sedangkan pandangan al-Qur’an tentang
sains dan teknologi, dapat diketahui dari wahyu pertama yang diterima Nabi
Muhammad saw.:
“Bacalah dengan
(menyebut) nama Tuhanmu Yang Menciptakan. Dia menciptakan manusia dari segumpal
darah. Bacalah dan Tuhanmulah Yang Maha Pemurah. Yang Mengajar (manusia) dengan
perantaraan kalam (tulis baca). Dia Mengajarkan manusia apa yang tidak
diketahuinya.” (QS al-‘Alaq: 1-5)
Kata iqra’, menurut Quraish Shihab,
diambil dari akar kata yang berarti menghimpun. Dari menghimpun lahir aneka
makna seperti menyampaikan, menelaah, mendalami, meneliti, mengetahui ciri
sesuatu, dan membaca baik yang tertulis maupun tidak. Sedangkan dari segi
obyeknya, perintah iqra’ itu mencakup segala sesuatu yang dapat dijangkau oleh
manusia. (Shihab, 1996:433)
Atas dasar itu, sebenarnya tidak ada
alasan untuk membuat dikotomi ilmu agama dan ilmu non agama. Sebab, sebagai
agama yang memandang dirinya paling lengkap tidak mungkin memisahkan diri dari
persoalan-persoalan yang bereperan penting dalam meningkatkan kesejahteraan
umatnya. Berkaitan dengan hal ini, Ghulsyani mengajukan beberapa alasan untuk
menolak dikotomi ilmu agama dan ilmu non agama sebagai berikut[2]:
1. Dalam sebagian besar ayat al-Qur’an,
konsep ilmu secara mutlak muncul dalam maknanya yang umum, seperti pada ayat 9
surat al-Zumar:
“Katakanlah:
adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak
mengetahui.”
Beberapa ayat
lain yang senada di antaranya QS 2:31; QS 12:76; QS 16: 70.
2. Beberapa ayat al-Qur’an secara eksplisit
menunjukkan bahwa ilmu itu tidak hanya berupa prinsip-prinsip dan hukum-hukum
agama saja. Misalnya, firman Allah pada surat Fathir ayat 27-28:
“Tidakkah
kamu melihat bahwasanya Allah menurunkan hujan dari langit lalu Kami hasilkan
dengan hujan itu buah-buahan yang beraneka ragam jenisnya. Dan di antara
gunung-gunung itu ada garis-garis putih dan merah yang beraneka ragam warnanya
dan ada (pula) yang hitam pekat. Dan demikian (pula) di antara manusia,
binatang-binatang melata dan binatang-binatang ternak ada yang bermacam-macam warnanya (dan jenisnya).
Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya hanyalah
“ulama”. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Pengampun."
Dengan
jelas kata ulama (pemilik pengetahuan) pada ayat di atas dihubungkan dengan
orang yang menyadari sunnatullah (dalam bahasa sains: “hukum-hukum alam”) dan
misteri-misteri penciptaan, serta merasa rendah diri di hadapan Allah Yang Maha
Mulia.
3. Di dalam al-Qur’an terdapat rujukan pada
kisah Qarun. “Qarun berkata: Sesungguhnya aku diberi harta itu karena ilmu yang
ada padaku.” (QS al-Qashash: 78) (Ghulsyani, 1993: 44- 45).
Di
samping itu, subyek yang dituntut oleh wahyu pertama (al-‘Alaq: 1-5) adalah
manusia, karena potensi ke arah itu hanya diberikan oleh Allah swt. kepada
jenis makhluk ini. Pemberian potensi ini tentunya tidak terlepas dari fungsi
dan tanggung jawab manusia sebagai khalifah Allah di atas muka bumi. Sedangkan
bumi dan langit beserta isinya telah ‘ditundukkan’ bagi kepentingan manusia.
Mari perhatikan firman Allah di dalam surat al-Jatsiyah ayat 13:
“Dan Dia menundukkan
untukmu apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi semuanya (sebagai
rahmat dari-Nya). Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat
tanda-tanda kekuasaan Allah bagi kaum yang berpikir.”
Kata
sakhkhara (menundukkan) pada ayat di atas atau kata yang semakna dengan itu
banyak ditemukan di dalam al- Qur’an yang menegaskan bahwa Allah swt.
menundukkan semua ciptaan-Nya sesuai dengan peraturan-peraturan (sunnatullah)
Nya, sehingga manusia dapat mengambil manfaat sepanjang manusia mau menggunakan
akal dan pikirannya serta mengikuti langkah dan prosedur yang sesuai dengan
sunnatullah itu. Misalnya, menurut Baiquni, (1997: 15- 16 ) tertiupnya sehelai
daun yang kering dan pipih oleh angin yang membawanya membumbung tinggi ke atas
adalah karena aliran udara di sekitarnya. Orang yang melakukan pengamatan dan
penelitian untuk menemukan jawaban atas pertanyaan: “bagaimana daun itu
diterbangkan?”, niscaya akan sampai kepada sunnatullah yang menyebabkan daun
itu bertingkah laku seperti yang tampak dalam pengamatannya. Pada dasarnya,
sebuah benda yang bentuknya seperti daun itu, yang panjang dan bagian pinggir
dan lebarnya melengkung ke bawah, akan mengganggu aliran udara karena pada
bagian yang melengkung itu aliran udara tidak selancar di tempat lain.
Akibatnya, tekanan udara di lengkungan itu lebih tinggi dari
pada
bagian lainnya sehingga benda itu terangkat. Orang yang melakukan pengamatan
dan penelitian itu menemukan sunnatullah yang dalam ilmu pengetahuan disebut
aerodinamika. Dengan pengetahuan yang lengkap dalam bidang aerodinamika dan
pengetahuan tentang sifat-sifat material tertentu manusia mampu menerapkan
ilmunya itu untuk membuat pesawat terbang yang dapat melaju dengan kecepatan
tertentu.
Untuk
dapat memahami sunnatullah yang beraturan di alam semesta ini, manusia telah
dibekali oleh Allah SWT dua potensi penting, yaitu potensi fitriyah (di dalam
diri manusia) dan potensi sumber daya alam (di luar diri manusia). Di samping
itu, al-Qur’an juga memberikan tuntunan praktis bagi manusia berupa
langkah-langkah penting bagaimana memahami alam agar dicapai manfaat yang
maksimal. Suatu cara penghampiran yang sederhana dalam mempelajari ilmu
pengetahuan ditunjukkan al-Qur’an dalam surat al-Mulk ayat 3-4 yang intinya
mencakup proses kagum, mengamati, dan memahami. Dalam konteks sains, al-Qur’an
mengembangkan beberapa langkah/proses sebagai berikut.
Pertama, al-Qur’an memerintahkan kepada
manusia untuk mengenali secara seksama alam sekitarnya seraya mengetahui
sifat-sifat dan proses-proses alamiah yang terjadi di dalamnya. Perintah ini,
misalnya, ditegaskan di dalam surat Yunus ayat 101.
“Katakanlah (wahai
Muhammad): Perhatikan (dengan nazhor) apa yang ada di langit dan di bumi….”
Dalam kata unzhuru (perhatikan), Baiquni
memahaminya tidak sekedar memperhatikan dengan pikiran kosong, melainkan dengan
perhatian yang seksama terhadap kebesaran Allah SWT dan makna dari gejala alam
yang diamati (Baiquni, 1997:20). Perintah ini tampak lebih jelas lagi di dalam
firman Allah di surat al-Ghasyiyah ayat 17-20:
“Maka apakah mereka
tidak memperhatikan (dengan nazhor) onta bagaimana ia diciptakan. Dan langit
bagaimana ia diangkat. Dan gunung-gunung bagaimana mereka ditegakkan. Dan bumi
bagaimana ia dibentangkan.”
Kedua, al-Qur’an mengajarkan kepada
manusia untuk mengadakan pengukuran terhadap gejala-gejala alam. Hal ini
diisyaratkan di dalam surat al-Qamar ayat 149.
“Sesungguhnya Kami
menciptakan segala sesuatu dengan ukuran.”
Ketiga, al-Qur’an menekankan pentingnya
analisis yang mendalam terhadap fenomena alam melalui proses penalaran yang
kritis dan sehat untuk mencapai kesimpulan yang rasional. Persoalan ini
dinyatakan dalam surat al-Nahl ayat 11- 12.
“Dia
menumbuhkan bagimu, dengan air hujan itu, tanaman- tanaman zaitun, korma,
anggur, dan segala macam buah- buahan. Sesungguhnya pada yang demikian itu
benar-benar terdapat tanda-tanda kekuasaan Allah bagi mereka yang mau berpikir.
Dan Dia menundukkan malam dan siang, matahari dan bulan untukmu; dan
bintang-bintang itu ditundukkan (bagimu) dengan perintah-Nya. Sebenarnya pada
yang demikian itu terdapat tanda-tanda kekuasaan Allah bagi kaum yang menalar.”
Tiga langkah yang dikembangkan oleh
al-Qur’an itulah yang sesungguhnya yang dijalankan oleh sains hingga saat ini,
yaitu observasi (pengamatan), pengukuran-pengukuran, lalu menarik kesimpulan
(hukum-hukum) berdasarkan observasi dan pengukuran itu.
Meskipun demikian, dalam perspektif
al-Qur’an, kesimpulan-kesimpulan ilmiah rasional bukanlah tujuan akhir dan
kebenaran mutlak dari proses penyelidikan terhadap gejala-gejala alamiah di
alam semesta. Sebab, seperti pada penghujung ayat yang menjelaskan
gejala-gejala alamiah, kesadaran adanya Allah dengan sifat-sifat-Nya Yang Maha
Sempurna menjadi tujuan hakiki di balik fakta-fakta alamiah yang dinampakkan.
Memahami
tanda-tanda kekuasaan Pencipta hanya mungkin dilakukan oleh orang-orang yang
terdidik dan bijak yang berusaha menggali rahasia-rahasia alam serta memiliki
ilmu (keahlian) dalam bidang tertentu. Ilmu-ilmu kealaman seperti matematika,
fisika, kimia, astronomi, biologi, geologi dan lainnya merupakan perangkat yang
dapat digunakan untuk memahami fenomena alam semesta secara tepat. Dengan
bantuan ilmu-ilmu serta didorong oleh semangat dan sikap rasional, maka
sunnatullah dalam wujud keteraturan tatanan (order) di alam ini tersingkap.
2.
Prinsip-Prinsip Dasar Kegiatan Ilmiah dalam
al-Qur’an
Atas dasar pandangan al-Qur’an tentang
ilmu pengetahuan (sains dan teknologi), dapat dirumuskan beberapa prinsip dasar
yang menopang dan memantapkan kegiatan ilmiah manusia sebagai berikut[3].
a. Prinsip Istikhlaf
Prinsip istikhlaf merupakan salah satu
prinsip dasar yang digariskan oleh al-Qur’an dalam mendukung dan memantapkan
kegiatan imiah. Konsep istikhlaf ini berkaitan erat dengan fungsi kekhalifahan
manusia. Dalam Islam, konsep kekhalifahan memiliki sifat yang multi
dimensional.
Pertama, konsep kekhalifahan telah
menempatkan manusia sebagai pengatur dunia ini dengan segenap kemampuan yang
dimilikinya. Untuk itu, imanusia dibekali dengan dua kekuatan pokok, wahyu
Allah dan kemampuan berpikir (akal). Apabila dua kekuatan itu dipergunakan sebagaimana
mestinya, maka manusia akan meraih keberhasilan dalam kehidupan kini dan
kehidupan nanti.
Kedua, sebagai khalifah Allah, manusia
adalah makhluk yang paling bertanggung jawab terhadap Allah dibandingkan
makhluk-makhluk lainnya. Tanggung jawab ini merupakan konsekuensi logis dari
anugerah kemampuan dan kekuatan yang dimilikinya.
Ketiga,
sebagai khalifah Allah, manusia adalah makhluk yang memiliki peranan penting
untuk mengolah potensi- potensi alam semesta. Manusia paling berperan dalam
mengelola seluruh aspek kehidupan, baik aspek fisik, sosial, dan spiritual yang
didasarkan pada hukum-hukum Allah.
Sungguhpun demikian, karena pusat
kehidupan alam semesta ini adalah Allah (Dia yang menciptakan, menggerakkan
segala sesuatu, dan mengawasinya), bukan manusia, maka manusia memiliki
kemampuan terbatas.
b. Prinsip Keseimbangan
Prinsip dasar lainnya yang digariskan
oleh al-Qur’an adalah keseimbangan antara kebutuhan-kebutuhan dasar manusia,
spiritual dan material. Prinsip ini dibahas secara luas dan mendalam di dalam
al-Qur’an dengan mengambi berbagai bentuk ungkapan. Manusia disusun oleh Allah
dengan susunan dan ukuran tertentu, lalu diperuntukkan bumi ini dengan kehendak-Nya
untuk memenuhi kebutuhan susunan yang membentuk manusia itu.
Dengan demikian, al-Qur’an menghendaki
terwujudnya keseimbangan yang adil antara dua sisi kejadian manusia (spiritual
dan material) sehingga manusia mampu berbuat, berubah dan bergerak secara
seimbang.
c. Prinsip Taskhir
Taskhir juga merupakan prinsip dasar
yang membentuk pandangan al-Qur’an tentang alam semesta (kosmos). Dan, tidak
dapat dipungkiri, manifestasi prinsip ini ke dalam kehidupan riil manusia harus
ditopang oleh ilmu pengetahuan. Alam semesta ini (langit, bumi, dan seisinya)
telah dijadikan oleh Allah untuk tunduk kepada manusia. Allah telah menentukan
dimensi, ukuran, dan sunnah-sunnah-Nya yang sesuai dengan fungsi dan kemampuan
manusia dalam mengelola alam semesta secara positif dan aktif. Tetapi,
bersamaan dengan itu, al-Qur’an juga meletakkan nilai-nilai dan norma-norma
yang mengatur hubungan antara manusia dan alam semesta. Oleh sebab itu,
al-Qur’an sangat mengecam eksploitasi yang melampaui batas.
Prinsip taskhir yang ditopang oleh
penguasaan ilmu pengetahuan dan metodologinya merupakan faktor kondusif bagi
manusia dalam membangun bentuk-bentuk peradaban yang sesuai dengan cita-cita
manusia dan kemanusiaan.
d. Prinsip Keterkaitan antara Makhluk
dengan Khalik
Prinsip penting lainnya adalah
keterkaitan antara sistem penciptaan yang mengagumkan dengan Sang Pencipta Yang
Maha Agung. Ilmu pengetahuan adalah alat yang mutlak untuk memberikan penjelasan dan mengungkapkan keterkaitan itu.
Ilmuwan-ilmuwan Muslim klasik telah
menghabiskan sebagian besar umurnya untuk mengadakan pengamatan dan penelitian
terhadap fenomena alam dan akhirnya mereka sampai kepada kesimpulan yang pasti
dan tidak dapat dipungkiri bahwa sesungguhnya di balik semua realitas yang
diciptakan (makhluk) pasti ada yang menciptakan. Proses penciptaan yang berada
pada tingkat sistem yang begitu rapih, teliti, serasi, tujuannya telah
ditentukan, dan keterikatannya terarah, pastilah bersumber dari kehendak Yang
Maha Tinggi, Maha Kuasa, dan Maha Mengatur.
Berdasarkan empat prinsip di atas, maka
jelaslah bahwa ilmu pengetahuan (sains dan teknologi) merupakan kebutuhan dasar
manusia yang Islami selama manusia melakukannya dalam rangka menemukan rahasia
alam dan kehidupan serta mengarahkannya kepada Pencipta alam dan kehidupan
tersebut dengan cara-cara yang benar dan memuaskan.
3.
Integrasi Islam dan Sains
Apa yang dimaksud dengan integrasi?
Secara harfiah dalam bahasa Inggris, terdapat tiga jenis kata yang merujuk pada
kata integrasi. Perata: sebagai kata kerja, yakni to integrate, yang berarti: mengintegrasikan, menyatupadukan,
menggabungkan, mempersatukan (dua hal atau lebih menjadi satu). Kedua: sebagai
kata benda, yakni integration, yang
berarti: integrasi, pengintegrasian atau penggabungan; atau integrity yang berarti ketulusan hati,
kejujuran dan keutuhan. Jika berkaitan dengan bilangan, integrasi merujuk pada
kata integer yang berarti bilangan
bulat/utuh. Dari kata ini dijumpai kata integrationist yang bermakna penyokong
paham integrasi, pemersatu. Ketiga: sebagai kata sifat, kata ini merujuk pada
kata integral yang bermakna hitungan integral, bulat, utuh, yang perlu untuk
melengkapi seperti dalam kalimat: reading
is integral part of the course
(membaca merupakan bagian pelengkap bagi kursus itu). Bentuk kata sifat lainnya
adalah integrated yang berarti yang digabungkan, yang terbuka untuk siapa saja
seperti integrated school (sekolah
terpadu), atau integrated society
(masyarakat yang utuh, masyarakat tanpa perbedan warna kulit)[4].
Ukuran Sains Islam:
1. Percaya Pada wahyu.
2. Sains adalah saranauntuk mencapai ridla
Allah: ia merupakan bentuk ibadah yang memilikifungsi spiritual dan sosial.
3. Banyak metode berlandaskan akal dan
wahyu, objektif dan subjektif, semuanya sama-sama valid.
4. Komitmen emosional sangat penting untuk
mengangkat usaha-usaha sains spiritual maupun sosial.
5. Pemihakan pada kebenaran, yakni, apabila
sains merupakan salah satu bentuk ibadah, maka seorang ilmuwan harus peduli
pada akibat-akibat penemuannya sebagaimana juga terhadap hasil-hasilnya; ibadah
adalah satu tindakan moral dan konsekuensinya harus baik secara moral; mencegah
ilmuwan agar jangan menjadi agen tak bermoral.
6. Adanya subjektivitas, arah sains
dibentuk oleh kriteria subjektif validitas sebuah pernyataan sains bergantung
baik pada bukti-bukti pelaksanaannya maupun pada tujuan dan pandangan orang
yang menjalankannya; pengakuan pilihan-pilihan subjektif pada penekanan dan
arah sains mengharuskan ilmuwan menghargai batas-batasnya.
7. Menguji pendapat, pernyataan-pernyataan
sains selalu dibuat atas dasar bukti yang tidak meyakinkan; menjadi seorang
ilmuwan adalah menjadi seorang pakar, juga pengambil keputusan moral, atas
dasar bukti yang tidak meyakinkan sehingga ketika bukti yang meyakinkan
dikumpulkan barangkali terlambat untuk rnengantisipasi akibat-akibat destruktif
dari aktivitas seseorang.
8. Sintesa, cara yang dominan meningkatkan
kemajuan sains; termasuk sintesis sains dan nilainilai.
9. Holistik, sains adalah sebuah aktivitas
yang terlalu rumit yang dibagi ke dalarn lapisan yang lebih kecil; la adalah
pemahaman interdisipliner dan holistik.
10. Universalisme, buah sains adalah bagi seluruh
umat manusia dan ilmu pengetahuan dan kebijaksanaan tidak bisa ditukar atau
dijual; sesuatu yang tidak bermoral.
11. Orientasi masyarakat, penggalian sains
adalah kewajiban masyarakat (fard kifayah), baik ilmuwan maupun masyarakat
memiliki hak dan kewajiban yang meyakini adanya interdependensi antara
keduanya.
12. Orientasi nilai, sains, seperti halnya
semua aktivitas manusia adalah sarat nilai; ia bisa baik atau buruk, halal atau
haram; sains yang menjadi benih perang adalah jahat.
13. Loyalitas pada Tuhan dan dalam culture
akademik. Sehingga mensinyalir, Islamic studys yang menjadi
identitas itu kurang diminati, dan kalah dengan prodi umum[5]
Dikotomi antara sains dan agama juga
terjadi didunia Barat sendiri pasca pandangan-pandangan keilmuan yang bersifat
positivistik yang mendistorsi nilai-nilai religi, justru muncul fenomena yang
hendak menyatukan sains dengan agama. Barbour dan Johan F. Houg misalnya,
melihat adanya upaya-upaya di Barat untuk memadukan sains dengan agama. Setelah
masa-masa yang sangat panjang konflik antara agama dengan sains, yang akhirnya
terjadi keterpisahan satu sama lain dalam sejarah Barat, kemudian muncul
pandangan tentang perlunya dialog antara sains dengan agama, dan akhirnya muncul
gagasan reintegrasi sains dengan agama. Diantaranya adalah model integrasi yang
di usung oleh F. Hough dengan tipologi sebagai berikut[6];
Pendekatan Konflik, suatu keyakinan
bahwa pada dasarnya sains dan agama tidak dapat dirujukan atau dipadukan. Artinya
banyak pemikir saintis yang memandang bahwa agama tidak akan pernah dapat
didamaikan dengan sains. Masing-masing berada pada posisi yang berbeda, sains
menguji semua hipotesis dan semua teorinya berdasarkan pengalaman, sedangkan
agama berdasarkan keyakinan. Kaum skeptis
ilmiah sering mengatakan agama dilandaskan pada asumsi-asumsi apriori atau
“keyakinan”, sedangkan sains tidak mau menerima begitu saja segala sesuatu
sebagai benar. Menurut kaum saintis,
memandang agama terlalu bersandar pada imajinasi yang liar, sedangkan sains
bertumpuk pada fakta yang dapat diamati. Agama terlalu emosional, penuh gairah
dan subjektif, sedangkan sains berusaha untuk tidak memihak, tidak terlalu
bergairah, dan objektif. Jadi, pertautan antara keduanya tidak dengan mudah dapat
dilakukan. Keduanya memiliki perbedaan mendasar sehingga upaya menyandingkan
keduanya dalam satu ”kotak” tentu akan memicu beberapa persoalan, terutama
terkait dengan benturan-benturan konseptual, metodologis dan ontologis antara
”sains” dan ”agama”. Secara tegas dapat dikatakan, bahwa dalam sejarah, sikap
”ekspansionis” agama
maupun ”sains” menolak pengaplingan wilayah masing-masing. Keduanya sulit
dipaksa berdiam dalam kotak-kotak tertentu, tetapi ingin memperluas wilyah
signifikansinya ke kotak-kotak lain. Maka, ketika satu ”kotak” didiami oleh dua
entitas ini, terbukalah peluang terjadinya konflik antara keduanya.[7]
Pendekatan kontras, suatu pernyataan
bahwa tidak adan pertentangan yang sungguh-sungguh, karena agama dan sains
memberi tanggapan terhadap masalah yang sangat berbeda. Banyak ilmuwan dan
agamawan tidak menemukan adanya pertentangan antara agama dan sains. Menurut
kubu kontras, „agama‟ dan „sains‟ sangatlah berbeda sehingga secara logis tidak
mungkin ada konflik di antara keduanya. Agama dan sains sama-sama absah
meskipun hanya dalam batas ruang penyelidikan mereka sendiri yang sudah jelas.
Kita tidak boleh menilai agama dengan tolok ukur sains, begitu juga sebaliknya,
oleh karena itu keduanya harus dipisahkan antara satu dan lainnya. Jika agama
dan sains sama-sama mencoba untuk mengerjakan pekerjaan yang sama, tentu saja
mereka akan bertentangan. Sains dan agama benar-benar mempunyai tugas-tugas
yang tidak sama dan tetap menjaga agar sains dan agama berada dalam wilayah
yurisdiksinya masing-masing. Jadi, agama dan sains tidak perlu mencampuri
urusan satu sama lain.
Pendekatan Kontak, suatu pendekatan yang
mengupayakan dialog, interaksi, dan kemungkinan adanya ”penyesuaian” antara
sains dan agama, dan terutama mengupayakan cara-cara bagaimana sains ikut
mempengaruhi pemahaman religius dan teologis. Cara untuk menghubungkan agama
dengan sains, sebab Haught, tidak rela membiarkan dunia ini terpilah-pilah
menjadi dua ranah. Tetapi ia juga tidak setuju pada harmoni yang dangkal dalam
pendekatan peleburan. Maka menurutnya, pendekatan ini setuju bahwa sains dan
agama jelas berbeda secara logis dan linguistik, tetapi dalam dunia kenyata,
mereka tidak dapat dikotak-kotakan dengan mutlak, sebagaimana diandaikan oleh
kubu pendekatan kontras. Kata Haught, bagaimanapun di dunia Barat, agama telah
membentu membentuk sejarah
sains, dan pada gilirannya kosmologi ilmiah pun telah mempengaruhi teologi.
Pendekatan Konfirmasi, suatu perspektif
yang lebih tenang, tetapi sangat penting, perspektif ini menyoroti cara-cara
agama, pada tataran yang mendalam, mendukung dan menghidupkan segala kegiatan
ilmiah. Pendekatan konfirmasi, menyarankan agama dan sains agar saling
mengukuhkan. Artinya, agama dapat memainkan peran dalam pengembangan sains yang
lebih bermakna. Begitu pula, temuan-temuan sains dapat memperkaya dan
memperbarui pemahaman teologis. Dengan demikian, posisi “agama memperkuat
dorongan yang dapat memunculkan sains.8 Agama dengan suatu cara yang sangat
mendalam, mendukung seluruh upaya kegiatan ilmiah”. Maka dapat dikatakan bahwa,
“pendekatan konfirmasi adalah “memperkuat” atau “mendukung”. Jadi, agama dapat
mendukung sepenuhnya dan bahkan melandasi upaya ilmiah dalam memberi makna
kepada alam semesta.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Tidak terdapat dikotomi ilmu agama dan
ilmu non agama. Sebab, sebagai agama yang memandang dirinya paling lengkap
tidak mungkin memisahkan diri dari persoalan-persoalan yang bereperan penting
dalam meningkatkan kesejahteraan umatnya
2. Prinsip dasar yang menopang dan
memantapkan kegiatan ilmiah manusia sebagai berikut: Prinsip Istikhlaf, Prinsip
Keseimbangan, Prinsip Taskhir, Prinsip Keterkaitan antara Makhluk dengan KhaliK
3. Integrasi Sains dan Islam dapat
dilakukan dengan pendekatan: Pendekatan kontras, Pendekatan Kontak, Pendekatan Konfirmasi.
Daftar
Pustaka
Abdul Azis Paradigma
Integrasi Sains dan Agama Upaya Transformasi Iain Lampung Kearah UIN.
Attas, Syed
Naquib al-. 1991. Islam dan Sekularisme, Bandung: Pustaka Salman.
Baiquni, Achmad (a). 1995. Al-Qur’an, Ilmu Pengetahuan dan
Teknologi, Yogyakarta: Dana Bhakti Wakaf.
---------------- (b).
1997. Al-Qur’an dan Ilmu Pengetahuan Kealaman, Yogyakarta: Dana Bhakti
Primayasa.
Barbour, Ian G. 2005.
Menemukan Tuhan dalam Sains Kontemporer dan Agama, Bandung: Mizan.
Dzahabi, al-. 1961.
al-Tafsir wa al-Mufassirun, Jilid II, Kairo: Daar al-Kutub al-Haditsah.
Ghulsyani, Mahdi. 1993.
Filsafat Sains Menurut al-Qur’an, Bandung: Mizan.
Haught,
John F., 1995, Science and Religion: From
Conflict to Conversation, Paulist Press, New York, Amerika, terj.
Fransiskus Borgias, 2004, Perjumpaan Sains dan Agama, dari Konflik ke Dialog,
(Mizan, Bandung)
Zainal Abidin Bagis et
al, 2005, Integrasi Ilmu dan Agama Interpretasi dan Aksi, Mizan, Bandung,
hlm.19.
[1] Jamal Fakhri “Sains
dan Teknologi dalam Al-Qur’an dan Implikasinya dalam Pembelajaran” Fakultas
Tarbiyah IAIN Raden Intan Lampung, TA’DIB, Vol. XV No. 01. Edisi, Juni 2010. H
123.
[2]Jamal Fakhri “Sains
dan Teknologi dalam Al-Qur’an dan Implikasinya dalam Pembelajaran” Fakultas
Tarbiyah IAIN Raden Intan Lampung, TA’DIB, Vol. XV No. 01. Edisi, Juni 2010. H
126.
[3][3] Jamal Fakhri “Sains
dan Teknologi dalam Al-Qur’an dan Implikasinya dalam Pembelajaran” Fakultas
Tarbiyah IAIN Raden Intan Lampung, TA’DIB, Vol. XV No. 01. Edisi, Juni 2010. H
160.
[4] John
M. Echols dan Hassan Shadily, Kamus Inggris Indonesia, (Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama, 1996), 326
[6] Haught, John F.,
1995, Science and Religion: From Conflict
to Conversation, Paulist Press, New York, Amerika, terj. Fransiskus
Borgias, 2004, Perjumpaan Sains dan Agama, dari Konflik ke Dialog, (Mizan, Bandung),
01.
[7] Zainal Abidin Bagis
et al, 2005, Integrasi Ilmu dan Agama Interpretasi dan Aksi, Mizan, Bandung,
hlm.19.
No comments:
Post a Comment