Sunday, April 29, 2018

Islam dan Sains


BAB II
PEMBAHASAN
A.    Latar Belakang
Pendidikan Islam yang mengalami masa tunas pada masa Dinasti Bani Umayyah mencapai puncaknya pada masa Dinasti Bani Abbasiyah. Kemajuan pendidikan Islam pada masa ini dikarenakan penguasa dari Dinasti Bani Abbasiyah mengambil kebijakan dengan mengangkat orang-orang Persia menjadi pejabat-pejabat penting di istana, terutama dari keluarga Baramikah, sebuah keluarga yang telah lama bersentuhan dengan filsafat dan ilmu pengetahuan Hellenisme yang mempengaruhi umat Islam untuk belajar dan mengembangkan pemikiran Islam. Hal ini semakin nyata setelah penguasa dari Dinasti ini memproklamirkan aliran Mu’tazilah, sebuah aliran teologi rasional sebagai mazhab resmi negara. Pada masa ini pendidikan Islam mencapai zaman keemasannya. Filsafat Islam, ilmu pengetahuan, sains dan pemikiran Islam mencapai kemajuan yang sangat pesat sehingga menjadikan Islam sebagai pusat keilmuan yang tiada tandingnya di dunia dan filsafat serta ilmu pengetahuannya menjadi kiblat dunia pada saat itu.
Perseteruan antara agama dan ilmu pengetahuan (sains) merupakan isu klasik yang sampai saat ini masih berkembang di dunia Barat dalam wujud sekularisme. Tetapi, Islam tidak mendekati persoalan sains ini dari perspektif tersebut karena al-Qur’an dan al-Sunnah telah memberikan sistem yang lengkap dan sempurna yang mencakup semua aspek kehidupan manusia, termasuk kegiatan-kegiatan ilmiah atau penyelidikan-penyelidikan ilmiah. Jadi, kegiatan ilmiah merupakan bagian yang integral dari keseluruhan sistem Islam di mana masing-masing bagian memberikan sumbangan terhadap yang lainnya.
Al-Qur’an sangat menekankan pentingnya membaca (baca: mengamati) gejala alam dan merenungkannya. Al- Qur’an mengambil contoh dari kosmologi, fisika, biologi, ilmu kedokteran dan lainnya sebagai tanda kekuasaan Allah untuk dipikirkan oleh manusia. Tidak kurang dari tujuh ratus lima puluh ayat – sekitar seperdelapan al-Qur’an– yang mendorong orang beriman untuk menelaah alam, merenungkan dan menyelidiki dengan kemampuan akal budinya serta berusaha memperoleh pengetahuan dan pemahaman alamiah sebagai bagian dari hidupnya. Kaum muslim zaman klasik memperoleh ilham dan semangat untuk mengadakan penyelidikan ilmiah di bawah sinar petunjuk al-Qur’an, di samping dorongan lebih lanjut dari karya-karya Yunani dan sampai batas-batas tertentu oleh terjemahan naskah-naskah Hindu dan Persia. Dengan semangat ajaran al-Qur’an, para ilmuwan muslim tampil dengan sangat mengesankan dalam setiap bidang ilmu pengetahuan. Pengaruh al-Qur’an ini tidak saja diakui oleh kalangan ilmuwan muslim zaman dahulu, seperti al-Ghazali, dan al-Suyuthi, bahkan sarjana Baratpun mengakuinya, seperti R. Levy dan George Sarton.
B.     Rumusan Masalah
1.      Bagaimanakah Pandangan Islam Terhadap Sains?
2.      Bagaimanakah Prinsip-Prinsip Sains dalam Islam?
3.      Bagaimanakah Integrasi Islam dan Sains?


BAB III
PEMBAHASAN
1.      Pandangan Islam Terhadap Sains
Kata sains dan teknologi ibarat dua sisi mata uang yang sulit dipisahkan satu sama lain. Sains, menurut Baiquni, adalah himpunan pengetahuan manusia tentang alam yang diperoleh sebagai konsensus para pakar, melalui penyimpulan secara rasional mengenai hasil-hasil analisis yang kritis terhadap data pengukuran yang diperoleh dari observasi pada gejala-gejala alam. Sedangkan teknologi adalah himpunan pengetahuan manusia tentang proses-proses pemanfaatan alam yang diperoleh dari penerapan sains, dalam kerangka kegiatan yang produktif ekonomis (Baiquni, 1995: 58-60).
Al-Qur’an, sebagai kalam Allah, diturunkan bukan untuk tujuan-tujuan yang bersifat praktis. Oleh sebab itu, secara obyektif, al-Qur’an bukanlah ensiklopedi sains dan teknologi apalagi al-Qur’an tidak menyatakan hal itu secara gamblang.
Akan tetapi, dalam kapasitasnya sebagai huda li al-nas, al-Qur’an memberikan informasi stimulan mengenai fenomena alam dalam porsi yang cukup banyak, sekitar tujuh ratus lima puluh ayat (Ghulsyani, 1993: 78). Bahkan, pesan (wahyu) paling awal yang diterima Nabi SAW mengandung indikasi pentingnya proses investigasi (penyelidikan). Informasi al- Qur’an tentang fenomena alam ini, menurut Ghulsyani, dimaksudkan untuk menarik perhatian manusia kepada Pencipta alam Yang Maha Mulia dan Maha Bijaksana dengan mempertanyakan dan merenungkan wujud-wujud alam serta mendorong manusia agar berjuang mendekat kepada-Nya (Ghulsyani, 1993). Dalam visi al-Qur’an, fenomena alam adalah tanda-tanda kekuasaan Allah. Oleh sebab itu, pemahaman terhadap alam itu akan membawa manusia lebih dekat kepada Tuhannya[1].
Pandangan al-Qur’an tentang sains dan teknologi dapat ditelusuri dari pandangan al-Qur’an tentang ilmu. Al-Qur’an telah meletakkan posisi ilmu pada tingkatan yang hampir sama dengan iman seperti tercermin dalam surat al-Mujadalah ayat 11:
“… niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antara kamu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat.”
Ayat-ayat al-Qur’an yang memerintahkan manusia mencari ilmu atau menjadi ilmuwan begitu banyak. Al-Qur’an menggunakan berbagai istilah yang berkaitan dengan hal ini. Misalnya, mengajak melihat, memperhatikan, dan mengamati kejadian-kejadian   (Fathir:   27;   al-Hajj:   5;   Luqman:   20;   al- Ghasyiyah: 17-20; Yunus: 101; al-Anbiya’: 30), membaca (al- ‘Alaq: 1-5) supaya mengetahui suatu kejadian (al-An’am: 97; Yunus: 5), supaya mendapat jalan (al-Nahl: 15), menjadi yang berpikir atau yang menalar berbagai fenomena (al-Nahl: 11; Yunus: 101; al-Ra’d: 4; al-Baqarah: 164; al-Rum: 24; al-Jatsiyah: 5, 13), menjadi ulu al-albab (Ali ‘Imran: 7; 190-191; al-Zumar: 18), dan mengambil pelajaran (Yunus: 3).
Sedangkan pandangan al-Qur’an tentang sains dan teknologi, dapat diketahui dari wahyu pertama yang diterima Nabi Muhammad saw.:
“Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang Menciptakan. Dia menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah dan Tuhanmulah Yang Maha Pemurah. Yang Mengajar (manusia) dengan perantaraan kalam (tulis baca). Dia Mengajarkan manusia apa yang tidak diketahuinya.” (QS al-‘Alaq: 1-5)
Kata iqra’, menurut Quraish Shihab, diambil dari akar kata yang berarti menghimpun. Dari menghimpun lahir aneka makna seperti menyampaikan, menelaah, mendalami, meneliti, mengetahui ciri sesuatu, dan membaca baik yang tertulis maupun tidak. Sedangkan dari segi obyeknya, perintah iqra’ itu mencakup segala sesuatu yang dapat dijangkau oleh manusia. (Shihab, 1996:433)
Atas dasar itu, sebenarnya tidak ada alasan untuk membuat dikotomi ilmu agama dan ilmu non agama. Sebab, sebagai agama yang memandang dirinya paling lengkap tidak mungkin memisahkan diri dari persoalan-persoalan yang bereperan penting dalam meningkatkan kesejahteraan umatnya. Berkaitan dengan hal ini, Ghulsyani mengajukan beberapa alasan untuk menolak dikotomi ilmu agama dan ilmu non agama sebagai berikut[2]:
1.      Dalam sebagian besar ayat al-Qur’an, konsep ilmu secara mutlak muncul dalam maknanya yang umum, seperti pada ayat 9 surat al-Zumar:
“Katakanlah: adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui.”
Beberapa ayat lain yang senada di antaranya QS 2:31; QS 12:76; QS 16: 70.
2.      Beberapa ayat al-Qur’an secara eksplisit menunjukkan bahwa ilmu itu tidak hanya berupa prinsip-prinsip dan hukum-hukum agama saja. Misalnya, firman Allah pada surat Fathir ayat 27-28:
“Tidakkah kamu melihat bahwasanya Allah menurunkan hujan dari langit lalu Kami hasilkan dengan hujan itu buah-buahan yang beraneka ragam jenisnya. Dan di antara gunung-gunung itu ada garis-garis putih dan merah yang beraneka ragam warnanya dan ada (pula) yang hitam pekat. Dan demikian (pula) di antara manusia, binatang-binatang melata dan binatang-binatang ternak ada yang  bermacam-macam warnanya (dan jenisnya). Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya hanyalah “ulama”. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Pengampun."
Dengan jelas kata ulama (pemilik pengetahuan) pada ayat di atas dihubungkan dengan orang yang menyadari sunnatullah (dalam bahasa sains: “hukum-hukum alam”) dan misteri-misteri penciptaan, serta merasa rendah diri di hadapan Allah Yang Maha Mulia.
3.      Di dalam al-Qur’an terdapat rujukan pada kisah Qarun. “Qarun berkata: Sesungguhnya aku diberi harta itu karena ilmu yang ada padaku.” (QS al-Qashash: 78) (Ghulsyani, 1993: 44- 45).
Di samping itu, subyek yang dituntut oleh wahyu pertama (al-‘Alaq: 1-5) adalah manusia, karena potensi ke arah itu hanya diberikan oleh Allah swt. kepada jenis makhluk ini. Pemberian potensi ini tentunya tidak terlepas dari fungsi dan tanggung jawab manusia sebagai khalifah Allah di atas muka bumi. Sedangkan bumi dan langit beserta isinya telah ‘ditundukkan’ bagi kepentingan manusia. Mari perhatikan firman Allah di dalam surat al-Jatsiyah ayat 13:
“Dan Dia menundukkan untukmu apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi semuanya (sebagai rahmat dari-Nya). Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda kekuasaan Allah bagi kaum yang berpikir.”
Kata sakhkhara (menundukkan) pada ayat di atas atau kata yang semakna dengan itu banyak ditemukan di dalam al- Qur’an yang menegaskan bahwa Allah swt. menundukkan semua ciptaan-Nya sesuai dengan peraturan-peraturan (sunnatullah) Nya, sehingga manusia dapat mengambil manfaat sepanjang manusia mau menggunakan akal dan pikirannya serta mengikuti langkah dan prosedur yang sesuai dengan sunnatullah itu. Misalnya, menurut Baiquni, (1997: 15- 16 ) tertiupnya sehelai daun yang kering dan pipih oleh angin yang membawanya membumbung tinggi ke atas adalah karena aliran udara di sekitarnya. Orang yang melakukan pengamatan dan penelitian untuk menemukan jawaban atas pertanyaan: “bagaimana daun itu diterbangkan?”, niscaya akan sampai kepada sunnatullah yang menyebabkan daun itu bertingkah laku seperti yang tampak dalam pengamatannya. Pada dasarnya, sebuah benda yang bentuknya seperti daun itu, yang panjang dan bagian pinggir dan lebarnya melengkung ke bawah, akan mengganggu aliran udara karena pada bagian yang melengkung itu aliran udara tidak selancar di tempat lain. Akibatnya, tekanan udara di lengkungan itu lebih tinggi dari
pada bagian lainnya sehingga benda itu terangkat. Orang yang melakukan pengamatan dan penelitian itu menemukan sunnatullah yang dalam ilmu pengetahuan disebut aerodinamika. Dengan pengetahuan yang lengkap dalam bidang aerodinamika dan pengetahuan tentang sifat-sifat material tertentu manusia mampu menerapkan ilmunya itu untuk membuat pesawat terbang yang dapat melaju dengan kecepatan tertentu.
Untuk dapat memahami sunnatullah yang beraturan di alam semesta ini, manusia telah dibekali oleh Allah SWT dua potensi penting, yaitu potensi fitriyah (di dalam diri manusia) dan potensi sumber daya alam (di luar diri manusia). Di samping itu, al-Qur’an juga memberikan tuntunan praktis bagi manusia berupa langkah-langkah penting bagaimana memahami alam agar dicapai manfaat yang maksimal. Suatu cara penghampiran yang sederhana dalam mempelajari ilmu pengetahuan ditunjukkan al-Qur’an dalam surat al-Mulk ayat 3-4 yang intinya mencakup proses kagum, mengamati, dan memahami. Dalam konteks sains, al-Qur’an mengembangkan beberapa langkah/proses sebagai berikut.

Pertama, al-Qur’an memerintahkan kepada manusia untuk mengenali secara seksama alam sekitarnya seraya mengetahui sifat-sifat dan proses-proses alamiah yang terjadi di dalamnya. Perintah ini, misalnya, ditegaskan di dalam surat Yunus ayat 101.
“Katakanlah (wahai Muhammad): Perhatikan (dengan nazhor) apa yang ada di langit dan di bumi….”
Dalam kata unzhuru (perhatikan), Baiquni memahaminya tidak sekedar memperhatikan dengan pikiran kosong, melainkan dengan perhatian yang seksama terhadap kebesaran Allah SWT dan makna dari gejala alam yang diamati (Baiquni, 1997:20). Perintah ini tampak lebih jelas lagi di dalam firman Allah di surat al-Ghasyiyah ayat 17-20:
“Maka apakah mereka tidak memperhatikan (dengan nazhor) onta bagaimana ia diciptakan. Dan langit bagaimana ia diangkat. Dan gunung-gunung bagaimana mereka ditegakkan. Dan bumi bagaimana ia dibentangkan.”
Kedua, al-Qur’an mengajarkan kepada manusia untuk mengadakan pengukuran terhadap gejala-gejala alam. Hal ini diisyaratkan di dalam surat al-Qamar ayat 149.
“Sesungguhnya Kami menciptakan segala sesuatu dengan ukuran.”
Ketiga, al-Qur’an menekankan pentingnya analisis yang mendalam terhadap fenomena alam melalui proses penalaran yang kritis dan sehat untuk mencapai kesimpulan yang rasional. Persoalan ini dinyatakan dalam surat al-Nahl ayat 11- 12.
“Dia menumbuhkan bagimu, dengan air hujan itu, tanaman- tanaman zaitun, korma, anggur, dan segala macam buah- buahan. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda kekuasaan Allah bagi mereka yang mau berpikir. Dan Dia menundukkan malam dan siang, matahari dan bulan untukmu; dan bintang-bintang itu ditundukkan (bagimu) dengan perintah-Nya. Sebenarnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda kekuasaan Allah bagi kaum yang menalar.”
Tiga langkah yang dikembangkan oleh al-Qur’an itulah yang sesungguhnya yang dijalankan oleh sains hingga saat ini, yaitu observasi (pengamatan), pengukuran-pengukuran, lalu menarik kesimpulan (hukum-hukum) berdasarkan observasi dan pengukuran itu.
Meskipun demikian, dalam perspektif al-Qur’an, kesimpulan-kesimpulan ilmiah rasional bukanlah tujuan akhir dan kebenaran mutlak dari proses penyelidikan terhadap gejala-gejala alamiah di alam semesta. Sebab, seperti pada penghujung ayat yang menjelaskan gejala-gejala alamiah, kesadaran adanya Allah dengan sifat-sifat-Nya Yang Maha Sempurna menjadi tujuan hakiki di balik fakta-fakta alamiah yang dinampakkan.
Memahami tanda-tanda kekuasaan Pencipta hanya mungkin dilakukan oleh orang-orang yang terdidik dan bijak yang berusaha menggali rahasia-rahasia alam serta memiliki ilmu (keahlian) dalam bidang tertentu. Ilmu-ilmu kealaman seperti matematika, fisika, kimia, astronomi, biologi, geologi dan lainnya merupakan perangkat yang dapat digunakan untuk memahami fenomena alam semesta secara tepat. Dengan bantuan ilmu-ilmu serta didorong oleh semangat dan sikap rasional, maka sunnatullah dalam wujud keteraturan tatanan (order) di alam ini tersingkap.

2.      Prinsip-Prinsip Dasar Kegiatan Ilmiah dalam al-Qur’an
Atas dasar pandangan al-Qur’an tentang ilmu pengetahuan (sains dan teknologi), dapat dirumuskan beberapa prinsip dasar yang menopang dan memantapkan kegiatan ilmiah manusia sebagai berikut[3].
a.       Prinsip Istikhlaf
Prinsip istikhlaf merupakan salah satu prinsip dasar yang digariskan oleh al-Qur’an dalam mendukung dan memantapkan kegiatan imiah. Konsep istikhlaf ini berkaitan erat dengan fungsi kekhalifahan manusia. Dalam Islam, konsep kekhalifahan memiliki sifat yang multi dimensional.
Pertama, konsep kekhalifahan telah menempatkan manusia sebagai pengatur dunia ini dengan segenap kemampuan yang dimilikinya. Untuk itu, imanusia dibekali dengan dua kekuatan pokok, wahyu Allah dan kemampuan berpikir (akal). Apabila dua kekuatan itu dipergunakan sebagaimana mestinya, maka manusia akan meraih keberhasilan dalam kehidupan kini dan kehidupan nanti.
Kedua, sebagai khalifah Allah, manusia adalah makhluk yang paling bertanggung jawab terhadap Allah dibandingkan makhluk-makhluk lainnya. Tanggung jawab ini merupakan konsekuensi logis dari anugerah kemampuan dan kekuatan yang dimilikinya.
Ketiga, sebagai khalifah Allah, manusia adalah makhluk yang memiliki peranan penting untuk mengolah potensi- potensi alam semesta. Manusia paling berperan dalam mengelola seluruh aspek kehidupan, baik aspek fisik, sosial, dan spiritual yang didasarkan pada hukum-hukum Allah.
Sungguhpun demikian, karena pusat kehidupan alam semesta ini adalah Allah (Dia yang menciptakan, menggerakkan segala sesuatu, dan mengawasinya), bukan manusia, maka manusia memiliki kemampuan terbatas.
b.      Prinsip Keseimbangan
Prinsip dasar lainnya yang digariskan oleh al-Qur’an adalah keseimbangan antara kebutuhan-kebutuhan dasar manusia, spiritual dan material. Prinsip ini dibahas secara luas dan mendalam di dalam al-Qur’an dengan mengambi berbagai bentuk ungkapan. Manusia disusun oleh Allah dengan susunan dan ukuran tertentu, lalu diperuntukkan bumi ini dengan kehendak-Nya untuk memenuhi kebutuhan susunan yang membentuk manusia itu.
Dengan demikian, al-Qur’an menghendaki terwujudnya keseimbangan yang adil antara dua sisi kejadian manusia (spiritual dan material) sehingga manusia mampu berbuat, berubah dan bergerak secara seimbang.
c.       Prinsip Taskhir
Taskhir juga merupakan prinsip dasar yang membentuk pandangan al-Qur’an tentang alam semesta (kosmos). Dan, tidak dapat dipungkiri, manifestasi prinsip ini ke dalam kehidupan riil manusia harus ditopang oleh ilmu pengetahuan. Alam semesta ini (langit, bumi, dan seisinya) telah dijadikan oleh Allah untuk tunduk kepada manusia. Allah telah menentukan dimensi, ukuran, dan sunnah-sunnah-Nya yang sesuai dengan fungsi dan kemampuan manusia dalam mengelola alam semesta secara positif dan aktif. Tetapi, bersamaan dengan itu, al-Qur’an juga meletakkan nilai-nilai dan norma-norma yang mengatur hubungan antara manusia dan alam semesta. Oleh sebab itu, al-Qur’an sangat mengecam eksploitasi yang melampaui batas.
Prinsip taskhir yang ditopang oleh penguasaan ilmu pengetahuan dan metodologinya merupakan faktor kondusif bagi manusia dalam membangun bentuk-bentuk peradaban yang sesuai dengan cita-cita manusia dan kemanusiaan.
d.      Prinsip Keterkaitan antara Makhluk dengan Khalik
Prinsip penting lainnya adalah keterkaitan antara sistem penciptaan yang mengagumkan dengan Sang Pencipta Yang Maha Agung. Ilmu pengetahuan adalah alat yang mutlak untuk       memberikan     penjelasan            dan      mengungkapkan keterkaitan itu.
Ilmuwan-ilmuwan Muslim klasik telah menghabiskan sebagian besar umurnya untuk mengadakan pengamatan dan penelitian terhadap fenomena alam dan akhirnya mereka sampai kepada kesimpulan yang pasti dan tidak dapat dipungkiri bahwa sesungguhnya di balik semua realitas yang diciptakan (makhluk) pasti ada yang menciptakan. Proses penciptaan yang berada pada tingkat sistem yang begitu rapih, teliti, serasi, tujuannya telah ditentukan, dan keterikatannya terarah, pastilah bersumber dari kehendak Yang Maha Tinggi, Maha Kuasa, dan Maha Mengatur.
Berdasarkan empat prinsip di atas, maka jelaslah bahwa ilmu pengetahuan (sains dan teknologi) merupakan kebutuhan dasar manusia yang Islami selama manusia melakukannya dalam rangka menemukan rahasia alam dan kehidupan serta mengarahkannya kepada Pencipta alam dan kehidupan tersebut dengan cara-cara yang benar dan memuaskan.

3.      Integrasi Islam dan Sains
Apa yang dimaksud dengan integrasi? Secara harfiah dalam bahasa Inggris, terdapat tiga jenis kata yang merujuk pada kata integrasi. Perata: sebagai kata kerja, yakni to integrate, yang berarti: mengintegrasikan, menyatupadukan, menggabungkan, mempersatukan (dua hal atau lebih menjadi satu). Kedua: sebagai kata benda, yakni integration, yang berarti: integrasi, pengintegrasian atau penggabungan; atau integrity yang berarti ketulusan hati, kejujuran dan keutuhan. Jika berkaitan dengan bilangan, integrasi merujuk pada kata integer yang berarti bilangan bulat/utuh. Dari kata ini dijumpai kata integrationist yang bermakna penyokong paham integrasi, pemersatu. Ketiga: sebagai kata sifat, kata ini merujuk pada kata integral yang bermakna hitungan integral, bulat, utuh, yang perlu untuk melengkapi seperti dalam kalimat: reading is integral part of the course (membaca merupakan bagian pelengkap bagi kursus itu). Bentuk kata sifat lainnya adalah integrated yang berarti yang digabungkan, yang terbuka untuk siapa saja seperti integrated school (sekolah terpadu), atau integrated society (masyarakat yang utuh, masyarakat tanpa perbedan warna kulit)[4].
Ukuran Sains Islam:
1.      Percaya Pada wahyu.
2.      Sains adalah saranauntuk mencapai ridla Allah: ia merupakan bentuk ibadah yang memilikifungsi spiritual dan sosial.
3.      Banyak metode berlandaskan akal dan wahyu, objektif dan subjektif, semuanya sama-sama valid.
4.      Komitmen emosional sangat penting untuk mengangkat usaha-usaha sains spiritual maupun sosial.
5.      Pemihakan pada kebenaran, yakni, apabila sains merupakan salah satu bentuk ibadah, maka seorang ilmuwan harus peduli pada akibat-akibat penemuannya sebagaimana juga terhadap hasil-hasilnya; ibadah adalah satu tindakan moral dan konsekuensinya harus baik secara moral; mencegah ilmuwan agar jangan menjadi agen tak bermoral.
6.      Adanya subjektivitas, arah sains dibentuk oleh kriteria subjektif validitas sebuah pernyataan sains bergantung baik pada bukti-bukti pelaksanaannya maupun pada tujuan dan pandangan orang yang menjalankannya; pengakuan pilihan-pilihan subjektif pada penekanan dan arah sains mengharuskan ilmuwan menghargai batas-batasnya.
7.      Menguji pendapat, pernyataan-pernyataan sains selalu dibuat atas dasar bukti yang tidak meyakinkan; menjadi seorang ilmuwan adalah menjadi seorang pakar, juga pengambil keputusan moral, atas dasar bukti yang tidak meyakinkan sehingga ketika bukti yang meyakinkan dikumpulkan barangkali terlambat untuk rnengantisipasi akibat-akibat destruktif dari aktivitas seseorang.
8.      Sintesa, cara yang dominan meningkatkan kemajuan sains; termasuk sintesis sains dan nilainilai.
9.      Holistik, sains adalah sebuah aktivitas yang terlalu rumit yang dibagi ke dalarn lapisan yang lebih kecil; la adalah pemahaman interdisipliner dan holistik.
10.  Universalisme, buah sains adalah bagi seluruh umat manusia dan ilmu pengetahuan dan kebijaksanaan tidak bisa ditukar atau dijual; sesuatu yang tidak bermoral.
11.  Orientasi masyarakat, penggalian sains adalah kewajiban masyarakat (fard kifayah), baik ilmuwan maupun masyarakat memiliki hak dan kewajiban yang meyakini adanya interdependensi antara keduanya.
12.  Orientasi nilai, sains, seperti halnya semua aktivitas manusia adalah sarat nilai; ia bisa baik atau buruk, halal atau haram; sains yang menjadi benih perang adalah jahat.
13.  Loyalitas pada Tuhan dan dalam culture akademik. Sehingga mensinyalir, Islamic studys yang menjadi identitas itu kurang diminati, dan kalah dengan prodi umum[5]
Dikotomi antara sains dan agama juga terjadi didunia Barat sendiri pasca pandangan-pandangan keilmuan yang bersifat positivistik yang mendistorsi nilai-nilai religi, justru muncul fenomena yang hendak menyatukan sains dengan agama. Barbour dan Johan F. Houg misalnya, melihat adanya upaya-upaya di Barat untuk memadukan sains dengan agama. Setelah masa-masa yang sangat panjang konflik antara agama dengan sains, yang akhirnya terjadi keterpisahan satu sama lain dalam sejarah Barat, kemudian muncul pandangan tentang perlunya dialog antara sains dengan agama, dan akhirnya muncul gagasan reintegrasi sains dengan agama. Diantaranya adalah model integrasi yang di usung oleh F. Hough dengan tipologi sebagai berikut[6];
Pendekatan Konflik, suatu keyakinan bahwa pada dasarnya sains dan agama tidak dapat dirujukan atau dipadukan. Artinya banyak pemikir saintis yang memandang bahwa agama tidak akan pernah dapat didamaikan dengan sains. Masing-masing berada pada posisi yang berbeda, sains menguji semua hipotesis dan semua teorinya berdasarkan pengalaman, sedangkan agama berdasarkan keyakinan. Kaum skeptis ilmiah sering mengatakan agama dilandaskan pada asumsi-asumsi apriori atau “keyakinan”, sedangkan sains tidak mau menerima begitu saja segala sesuatu sebagai benar. Menurut kaum saintis, memandang agama terlalu bersandar pada imajinasi yang liar, sedangkan sains bertumpuk pada fakta yang dapat diamati. Agama terlalu emosional, penuh gairah dan subjektif, sedangkan sains berusaha untuk tidak memihak, tidak terlalu bergairah, dan objektif. Jadi, pertautan antara keduanya tidak dengan mudah dapat dilakukan. Keduanya memiliki perbedaan mendasar sehingga upaya menyandingkan keduanya dalam satu ”kotak” tentu akan memicu beberapa persoalan, terutama terkait dengan benturan-benturan konseptual, metodologis dan ontologis antara ”sains” dan ”agama”. Secara tegas dapat dikatakan, bahwa dalam sejarah, sikap ”ekspansionis” agama maupun ”sains” menolak pengaplingan wilayah masing-masing. Keduanya sulit dipaksa berdiam dalam kotak-kotak tertentu, tetapi ingin memperluas wilyah signifikansinya ke kotak-kotak lain. Maka, ketika satu ”kotak” didiami oleh dua entitas ini, terbukalah peluang terjadinya konflik antara keduanya.[7]
Pendekatan kontras, suatu pernyataan bahwa tidak adan pertentangan yang sungguh-sungguh, karena agama dan sains memberi tanggapan terhadap masalah yang sangat berbeda. Banyak ilmuwan dan agamawan tidak menemukan adanya pertentangan antara agama dan sains. Menurut kubu kontras, „agama‟ dan „sains‟ sangatlah berbeda sehingga secara logis tidak mungkin ada konflik di antara keduanya. Agama dan sains sama-sama absah meskipun hanya dalam batas ruang penyelidikan mereka sendiri yang sudah jelas. Kita tidak boleh menilai agama dengan tolok ukur sains, begitu juga sebaliknya, oleh karena itu keduanya harus dipisahkan antara satu dan lainnya. Jika agama dan sains sama-sama mencoba untuk mengerjakan pekerjaan yang sama, tentu saja mereka akan bertentangan. Sains dan agama benar-benar mempunyai tugas-tugas yang tidak sama dan tetap menjaga agar sains dan agama berada dalam wilayah yurisdiksinya masing-masing. Jadi, agama dan sains tidak perlu mencampuri urusan satu sama lain.
Pendekatan Kontak, suatu pendekatan yang mengupayakan dialog, interaksi, dan kemungkinan adanya ”penyesuaian” antara sains dan agama, dan terutama mengupayakan cara-cara bagaimana sains ikut mempengaruhi pemahaman religius dan teologis. Cara untuk menghubungkan agama dengan sains, sebab Haught, tidak rela membiarkan dunia ini terpilah-pilah menjadi dua ranah. Tetapi ia juga tidak setuju pada harmoni yang dangkal dalam pendekatan peleburan. Maka menurutnya, pendekatan ini setuju bahwa sains dan agama jelas berbeda secara logis dan linguistik, tetapi dalam dunia kenyata, mereka tidak dapat dikotak-kotakan dengan mutlak, sebagaimana diandaikan oleh kubu pendekatan kontras. Kata Haught, bagaimanapun di dunia Barat, agama telah membentu membentuk sejarah sains, dan pada gilirannya kosmologi ilmiah pun telah mempengaruhi teologi.
Pendekatan Konfirmasi, suatu perspektif yang lebih tenang, tetapi sangat penting, perspektif ini menyoroti cara-cara agama, pada tataran yang mendalam, mendukung dan menghidupkan segala kegiatan ilmiah. Pendekatan konfirmasi, menyarankan agama dan sains agar saling mengukuhkan. Artinya, agama dapat memainkan peran dalam pengembangan sains yang lebih bermakna. Begitu pula, temuan-temuan sains dapat memperkaya dan memperbarui pemahaman teologis. Dengan demikian, posisi “agama memperkuat dorongan yang dapat memunculkan sains.8 Agama dengan suatu cara yang sangat mendalam, mendukung seluruh upaya kegiatan ilmiah”. Maka dapat dikatakan bahwa, “pendekatan konfirmasi adalah “memperkuat” atau “mendukung”. Jadi, agama dapat mendukung sepenuhnya dan bahkan melandasi upaya ilmiah dalam memberi makna kepada alam semesta.  


BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
1.      Tidak terdapat dikotomi ilmu agama dan ilmu non agama. Sebab, sebagai agama yang memandang dirinya paling lengkap tidak mungkin memisahkan diri dari persoalan-persoalan yang bereperan penting dalam meningkatkan kesejahteraan umatnya
2.      Prinsip dasar yang menopang dan memantapkan kegiatan ilmiah manusia sebagai berikut: Prinsip Istikhlaf, Prinsip Keseimbangan, Prinsip Taskhir, Prinsip Keterkaitan antara Makhluk dengan KhaliK
3.      Integrasi Sains dan Islam dapat dilakukan dengan pendekatan: Pendekatan kontras, Pendekatan Kontak, Pendekatan Konfirmasi.



Daftar Pustaka
Abdul Azis Paradigma Integrasi Sains dan Agama Upaya Transformasi Iain Lampung Kearah UIN.
Attas, Syed Naquib al-. 1991. Islam dan Sekularisme, Bandung: Pustaka Salman.
Baiquni, Achmad (a).  1995. Al-Qur’an, Ilmu Pengetahuan dan Teknologi, Yogyakarta: Dana Bhakti Wakaf.
---------------- (b). 1997. Al-Qur’an dan Ilmu Pengetahuan Kealaman, Yogyakarta: Dana Bhakti Primayasa.
Barbour, Ian G. 2005. Menemukan Tuhan dalam Sains Kontemporer dan Agama, Bandung: Mizan.
Dzahabi, al-. 1961. al-Tafsir wa al-Mufassirun, Jilid II, Kairo: Daar al-Kutub al-Haditsah.
Ghulsyani, Mahdi. 1993. Filsafat Sains Menurut al-Qur’an, Bandung: Mizan.
Haught, John F., 1995, Science and Religion: From Conflict to Conversation, Paulist Press, New York, Amerika, terj. Fransiskus Borgias, 2004, Perjumpaan Sains dan Agama, dari Konflik ke Dialog, (Mizan, Bandung)
Zainal Abidin Bagis et al, 2005, Integrasi Ilmu dan Agama Interpretasi dan Aksi, Mizan, Bandung, hlm.19.


[1] Jamal Fakhri “Sains dan Teknologi dalam Al-Qur’an dan Implikasinya dalam Pembelajaran” Fakultas Tarbiyah IAIN Raden Intan Lampung, TA’DIB, Vol. XV No. 01. Edisi, Juni 2010. H 123.
[2]Jamal Fakhri “Sains dan Teknologi dalam Al-Qur’an dan Implikasinya dalam Pembelajaran” Fakultas Tarbiyah IAIN Raden Intan Lampung, TA’DIB, Vol. XV No. 01. Edisi, Juni 2010. H 126.
[3][3] Jamal Fakhri “Sains dan Teknologi dalam Al-Qur’an dan Implikasinya dalam Pembelajaran” Fakultas Tarbiyah IAIN Raden Intan Lampung, TA’DIB, Vol. XV No. 01. Edisi, Juni 2010. H 160.
[4] John M. Echols dan Hassan Shadily, Kamus Inggris Indonesia, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1996), 326
[5] Abdul Azis Paradigma Integrasi Sains dan Agama Upaya Transformasi Iain Lampung Kearah UIN. H 7.
[6] Haught, John F., 1995, Science and Religion: From Conflict to Conversation, Paulist Press, New York, Amerika, terj. Fransiskus Borgias, 2004, Perjumpaan Sains dan Agama, dari Konflik ke Dialog, (Mizan, Bandung), 01.
[7] Zainal Abidin Bagis et al, 2005, Integrasi Ilmu dan Agama Interpretasi dan Aksi, Mizan, Bandung, hlm.19.

No comments:

Makalah: Mahabbah, Makrifah

BAB I PENDAHULUAN   A.      Latar Belakang Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi membawa manusia larut dan terbuai dalam din...