Monday, October 30, 2017

ALIRAN QADARIYAH DAN JABARIYAH



BAB I
PENDAHULUAN
A.     Latar belakang
Islam sebagaimana dijumpai dalam sejarah, ternyata tidak sesempit yang dipahami pada umumnya. Dalam sejarah pemikiran islam, terdapat lebih dari satu aliran yang berkembang. Hal ini dikarenakan  adanya perbedaan pendapat dikalangan ulama-ulama kalam dalam memahami ayat-ayat Al-Qur’an.
Ada ayat-ayat yang menunjukkan bahwa manusia bertanggung jawab atas perbuatannya sendiri dan ada pula ayat yang menunjukkan bahwa segala yang terjadi itu ditentukan oleh Allah, bukan kewenangan manusia. Dari perbedaan pendapat inilah lahir aliran Qodariyah dan Jabariyah. Aliran Qodariyah berpendapat bahwa manusia mempunyai kebebasan dan kekuatan sendiri untuk mewujudkan perbuatan-perbuatannya. Dengan kata lain manusia mampunyai qudrah (kekuatan atas perbuatannya). Sedangkan Jabariyah berpendapat bahwa manusia tidak mempunyai kebebasan dan kehendak dalam menentukan perbuatannya. Kalaupun ada kehendak dan kebebasan  yang dimiliki manusia, kehendak dan kebebasan tersebut tidak memiliki pengaruh apapun, karena yang menentukannya adalah kehendak Allah semata.
Kedua aliran ini masing-masing bersandar kepada ayat-ayat Al-Qur’an. Qodariyah antara lain bersandar pada surat al-Mudatsir ayat 38. 
@ä. ¤§øÿtR $yJÎ/ ôMt6|¡x. îpoYÏdu  
Terjemahnya:

“Tiap-tiap diri bertanggung jawab atas apa yang telah diperbuatnya,”

Sedangkan Jabariyah bersandar pada surat al-Hadid ayat 22.
!$tB z>$|¹r& `ÏB 7pt6ŠÅÁB Îû ÇÚöF{$# Ÿwur þÎû öNä3Å¡àÿRr& žwÎ) Îû 5=»tGÅ2 `ÏiB È@ö6s% br& !$ydr&uŽö9¯R 4 ¨bÎ) šÏ9ºsŒ n?tã «!$# ׎Å¡o  
Terjemahnya:

“Tiada suatu bencanapun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauhul Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah.”

Dalam  sejarah teologi islam, paham Qodariyah  selanjutnya di anut oleh kaum Mu’tazilah, sedngkan  paham Jabariyah terdapat dalam aliran Asy’ariah. 
B. Rumusan Masalah
            Berdasaarkan latar belakang masalah di atas maka masalah pokonya adalah bagaimana Qadariyah dan Jabariyah dalam sejarah pemikiran Islam? Adapun sub-sub masalah yang akan dibahas sebagai berikut:
1.      Bagaimana Asal Usul Kemunculan Qadariyah dan Jabariyah?
2.      Bagaimana daktrin Ajaran Qadariyah dan Jabariyah?
3.       Bagaimana Perbedaan dan Persamaan Qadariyah Dan Jabariyah?
C. Tujuan Penulisan
1.      Untuk mengetahui asal usul sejarah kemunculan Qadariyah dan Jabariyah
2.      Untuk mengetahui Bagaimana daktrin Ajaran Qadariyah dan Jabariyah
3.      Untuk mengetahui bagaimana Perbedaan dan Persamaan Qadariyah Dan Jabariyah










BAB II
PEMBAHASAN

A.     Qodariyah dan Jabariyah
1.      Asal-usul Kemunculan Qadariyah
Qadariyah berasal dari bahasa Arab, yaitu dari kata qadara yang artinya kemampuan dan kekuatan.[1] Adapun menurut pengertian terminology Qodariyah adalah suatu aliran yang percaya bahwa segala tindakkan manusia tidak diintervensi oleh Tuhan. Aliran ini berpendapat bahwa tiap-tiap orang adalah pencipta bagi segala perbuatannya, Ia dapat berbuat sesuatu atau meninggalkannya atas kehendaknya sendiri. Berdasarkan pengertian tersebut, dapat difahami bahwa Qadariyah dipakai untuk nama suatu aliran yang memberi peneknan atas kebebasan dan kekuatan manusia dalam mewujudkan perbuatan-perbuatannya. Dalam hal ini, Harun Nasution menegaskan bahwa kaum Qadariyah berasal dari pengertian bahwa manusia mempunyai qudrah atau kekuatan untuk melaksanakan kehendaknya, dan bukan berasal dari pengertian bahwa manusia terpaksa tunduk pada qadar Tuhan.[2]
Seharusnya, sebutan Qadariyah diberikan kepada aliran yang berpendapat bahwa qadar menentukan segala tingkah laku manusia, baik yang bagus maupun yang jahat. Namun, sebutan tersebut telah melekat kaum sunni, yang percaya bahwa manusia mempunyai kebebasan berkehendak.[3] Menurut Ahmad Amin, sebutan ini diberikan kepada para pengikut faham qadar oleh lawan mereka dengan merujuk Hadis yang menimbulkan kesan negatif bagi nama Qadariyah.
Hadis itu berbunyi:
اَلْقَدَرِيَّةُ مَجُوْسُ هذِهِ الأُمَّةِ

Terjemahnya:
“kaum  Qadariyah adalah  majusinya umat ini”.[4]

Kapan Qadariyah  muncul dan siapa tokoh-toohnya? Merupakan dua tema yang masih diperdebatkan. Menurut Ahmad Amin, ada ahliteologi yang megatakan bahwa Qadariyah  pertama  sekali dimunculkan oleh Ma’bad Al-Jauhani dan Ghailan Ad-Dismasyqy. [5] Ma’bad  adalah  seorang  tabi’i  yang dapat dipercaya dan pernah berguru pada Hasan Al-Basri.  Adapun  Ghailan  dalah seorang orator berasal dari Damaskus dan ayahnya menjadi ulama Usman bin Affan.
Ibnu  Nabata dalam kitabnya Syarh Al-Uyun, seperti dikutip Ahmad Amin menerima informasi lain bahwa yang pertama sekali memunculkan faham  Qodariyah  adalah  orang Irak yang semula beragama Kristen kemudian masuk Islam dan balik lagi  ke Agama Kristen. Dari orang  inilah, Ma’bad dan Ghailan mengambil faham ini.  Orang Irak yang dimaksud, sebagaimana dikatakan Muhammad Ibnu Syu’ib yang memperoleh informasi dari Al-Auzai.
Sementara itu, W. Montgomery Watt menemukan  dokumen lain melalui tulisan Hellmut Ritter dalam  bahasa Jerman yang dipublikasikan melalui majalah Der Islam  pada tahun 1933. Artikel ini menjelaskan bahwa faham  Qadariyah  terdapat dalam  kitab Risalah dan ditulis untuk Khalifah Abdul Malik oleh Hasan Al-Basri sekitar  tahun 700 M. Hasan Al-Basri (642-728) adalah anak seorang tahanan di Irak. Ia lahir  di Madinah, tetapi  pada tahun  657 M, pergi ke Basrah dan  tinggal di sana sampai akhir hayatnya. Apakah Hasan Al-Basri termasuk orang  Qadariyah  atau  bukan, hal ini memang  menjadi  perdebatan. Namun, yang jelas berdasarkan  catatannya yang terdapat dalam Kitab Risalah ini  ia percaya bahwa  manusia dapat memilih secara bebas  antara berbuat baik dan buruk. Hasan yakin bahwa manusia bebas memilih antara berbuat baik atau berbuat buruk.
Ma’bad Al-Jauhani dan Ghailan ad-Dismasyqi, menurut Watt, adalah penganut Qadariyah yang hidup setelah Hasan Al-Basri.  Kalau dihubungan dengan keterangan Adz-Dzahabi dalam Mizam  Al-I’tidal, seperti dikutip Ahmad Amin yang meyatakan  bahwa Ma’bad Al-Jauhani pernah  belajar pada Hasan Al-Bashri, maka sangat faham  Qadariyah  ini mula-mula dikembangkan Hasan Al-Bashri. Dengan demikian, keterangan yang di tulis oleh Ibnu  Nabatah  dalam Syahrul Al-Uyun  bahwa faham  Qadariyah berasal dari orang Irak Kristen yang masuk Islam kemudian  kembali kepada Kristen, adalah hasil rekayasa orang yang tidak sependapat dengan faham ini agar orang-orang tidak tertarik dengan pikiran Qadariyah. Lagi pula menurut Kramer, seperti dikutip lgnas Goldziher, dikalangan Gereja Timur ketika itu terjadi perdebatan tentang butir doktrin  Qadariyah yang mencekam pikirann para teolognya.[6]
Berkaitan dengan persoalan pertama kalinya Qadariyah muncul, ada baiknya bila meninjauh  kembali pendapat Ahmad Amin yang menyatakan kesulitan untuk menentukannya. Para peneliti sebelumnyapun  belum  sepakat mengenai hal ini karena penganut Qadariyah ketika itu banyak sekali. Sebagian terdapat di Irak dengan  bukti bahwa gerakan ini terjadi  pada  pengajian  Hasan Al-Basri. pendapat ini dikuatkan  oleh  Ibnu  Nabatah bahwa yang mencetuskan pendapat pertama tentang masalah ini adalah seorang Kristen dari Irak yang telah masuk Islam pendapatnya itu diambil oleh Ma’bad  dan  Ghailan. Sebagian lain berpendapat bahwa faham  ini muncul di Damaskus. Diduga disebabkan oleh pengaruh orang-orang Kristen yang banyak dipekerjakan di istana-istana khalifah.
Faham  Qadariyah  mendapat  tantangan  keras  dari umat Islam  ketika itu. Ada beberapa  hal  yang  mengakibatkan  terjadinya  reaksi  keras ini, pertama, seperti pendapat Harun Nasution, karena masyarakat Arab sebelum Islam kelihatannya  dipengaruhi  oleh faham fatalis. Kehidupan bangsa Arab ketika itu serba sederhana dan jauh dari pengetahuan. Mereka selalu terpaksa mengalah kepada keganasan alam, panas yang menyengat, serta tanah dan gunungnya yang gundul. Mereka merasa dirinya lemah dan tak mampu menghadapi kesukaran hidup yang ditimbulkan oleh alam sekelilingnya. faham itu terus dianut kendatipun mereka sudah beragama Islam. Karena itu, ketika faham  Qadariyah dikembangkan, mereka tidak dapat  menerimanya. Faham  Qadariyah  itu dianggap bertentangan dengan doktrin Islam.       
Kedua, tantangan dari pemerintah ketika itu. Tatangan ini sangat mungkin terjadi karena para pejabat pemerintahan menganut faham Jabariyah. Ada kemungkinan juga pejabat pemerintah menganggap gerakan faham Qadariyah sebagai suatu usaha menyebarkan faham dinamis dan daya kritis rakyat, yang pada gilirannya mampu mengkritik kebijakan-kebijakan mereka yang dianggap tidak sesuai, dan bahkan dapat menggulingkan tahta kerajaan mereka.
2.       Asal-usul Pertumbuhan Jabariyah
kata Jabariyah berasal dari kata jabara yang berarti memaksa. Di dalam Al-Munjid, dijelaskan bahwa nama jabariyah berasal dari kata jabara yang mengandung arti memaksa dan mengharuskannya melakukan sesuatu.[7] kalau dikatakan, Allah mempunyai sifat Al-Jabbar (dalam bentuk mubalaghah), itu artinya Allah Maha Memaksa. Ungkapan al-insan majbur (bentuk isim maf’ul) mempunyai arti bahwa manusia dipaksa atau terpaksa. Selanjutnya, kata jabara (bentuk pertama), setelah ditarik menjadi Jabariyah (dengan menambah ya nisbah), memiliki arti suatu kelompok atau aliran (isme). Lebih lanjut Asy-Syahratsan menegaskan bahwa faham al-jabar  berarti menghilangkan perbuatan manusia dalam arti yang sesungguhnya dan menyadarkannya kepada Allah.[8] dengan kata lain, manusia mengerjakan perbuatannya dalam keadaan terpaksa. Dalam bahasa Inggris, Jabariyah disebut fatalism atau predestination, yaitu faham yang menyebutkan bahwa perbuatan manusia telah ditentukan dari semula oleh qadha dan qadar Tuhan.[9]
Untuk mengetahui lebih lanjut mengenai asal-usul kemunculan dan perkembangan Jabariyah. Perlu dijelaskan mengenai orang yang melahirkan dan menyebarluaskan faham . al-jabar dan dalam situasi apa saja faham ini muncul.
Faham al-jabar pertama kali diperkenalkan oleh Ja’d bin Dirham kemudian disebarkan oleh Jahm bin Shafwan dari Khurasan. Dalam sejarah teologi Islam, Jahm tercatat sebagai tokoh yang mendirikan aliran Jahmiyah dalam kalangan Murji’ah. Ia adalah sekretaris Suraih bin Al-Haris dan selalu menemaniya dalam gerakan melawan kekuasaan Bani Umayah. Namun, dalam perkembangannya, faham al-jabar juga dikembagkan oleh tokoh lainnya diantaranya Al-Husain bin Muhammad An-Najjar dan Ja’d Dirrar.
Mengenai kemunculan faham al-jabar ini, para ahli pemikiran mengkajinya melalui pendekatan geokultural bangsa arab. Di mana ahli yang dimaksud adalah Ahmad Amin. Ia menggambarkan bahwa kehidupan bangsa Arab yang dikungkung oleh gurun pasir Sahara memberikan pengaruh besar ke dalam cara hidup mereka.[10] Ketergantungan mereka kepada alam Sahara yang ganas telah memunculkan sikap penyerahan diri terhadap alam.
Lebih lanjut, Harun Nasution menjelaskan bahwa dalam situasi demikian, masyarakat Arab tidak melihat jalan untuk mengubah keadaan sekeliling mereka sesuai dengan keinginannya sendiri. Mereka merasa lemah dalam menghadapi kesukaran-kesukaran hidup. Akhirnya, mereka banyak bergantung pada kehendak alam. Hal ini membawa mereka kepada sikap fatalism.
Sebenarnya benih-benih faham al-jabar sudah muncul jauh sebelum kedua tokoh diatas. Benih-benih itu terlihat dalam peristiwa sejarah berikut ini.
a.    Suatu ketika Nabi menjumpai sahabatnya yang sedang bertengkar dalam masalah takdir Tuhan. Nabi melarang mereka untuk memperdebatkan persoalan tersebut, agar terhindar dari kekeliruan penafsiran tentang ayat-ayat Tuhan mengenai takdir.[11]
b.   Khalifah Umar bin Khaththab pernah menangkap seseorang yang ketahuan mencuri. Ketika diinterogasi, pencuri itu berkata “Tuhan telah menentukan aku mencuri.” Mendengar ucapan itu, Umar marah sekali dan mengangap orang itu telah berdusta kepada Tuhan. Oleh karena itu, Umar memberikan dua jenis hukuman kepada pencuri itu. Pertama, hukuman potong tangan karena mencuri. Kedua, hukuman dera karena menggunakan dalil takdir Tuhan.[12]
c.  Khalifah Ali bin Thalib sesuai Perang Shiffin ditanya oleh seorang tua tentang qadar (ketentuan) Tuhan dalam kaitannya dengan pahala dan siksa. Orang tua itu bertanya, “Bila perjalanan (menuju Perang Shiffin) itu terjadi dengan qadha dan qadar Tuhan, tak ada pahala sebagai balasannya”. Ali menjelaskan bahwa qadha dan qadar bukanlah paksaan Tuhan. Ada pahala dan siksa sebagai balasan amal perbuatan manusia. Sekiranya qadha dan qadar itu merupakan paksaan, batallah pahala dan siksa, gugur pulalah makna janji dan ancaman Tuhan, serta tidak ada celaan Allah atas pelaku dosa dan pujian-Nya bagi orang-orang yang baik.
Pada pemerintahan Daulah Bani Umayah, pandangan tentang al-jabar semakin mencuat ke permukaan. Abdullah bin Abbas, melalui suratnya, memberikan reaksi keras kepada penduduk Syiria yang diduga berfaham Jabariyah.[13]
Paparan di atas menjelaskan bahwa bibit faham al-jabar telah muncul sejak awal periode Islam. Namun, al-jabar sebagai suatu pola pikir atau aliran yang di anut, dipelajari dan dikembangkan, baru terjadi pada masa pemerintahan Daulah Bani Umayah, yakni oleh kedua tokoh yang telah disebutkan di atas.[14]
Berkaitan dengan kemunculan aliran Jabariyah, adan yang mengatakan bahwa kemunculannya diakibatkan oleh pengaruh pemikiran asing, yaitu pengaruh agama Yahudi bermazhab Qurra dan agama Kristen bermazhab Yacobit.[15] Namun, tanpa pengaruh asing itu, faham al-jabar akan muncul juga di kalangan umat islam.
B.     Doktrin-Doktrin  Aliran Qodariyah dan Jabariyah
1.      Doktrin  Qadariyah
Harun Nasotion menjelaskan pendapat Ghalian tentang doktrin qadariyah bahwa manusia berkuasa atas perbuatannya. Manusia melakukan baik ataupun buruk atas kehendak dan dayanya sendiri. Apabila seseorang berbuat baik akan diberi ganjaran kebaikan dengan surga, dan begitupun sebaliknya apabila seseorang berbuat buruk maka akan diberi ganjaran siksa dengan neraka, itu berdasarkan pilihannya sendiri bukan atas takdir Tuhan. Oleh kerana itu, manusia yang berbuat akan mendapatkan balasannya sesuai dengan tindakannya.
Faham takdir  dalam pandangan qadariyah bukalah berarti manusia bertindak menurut nasib yang telah ditentukan sejak azali, melainkan takdir itu adalah ketentuan Allah yang diciptakan-Nya bagi alam semesta beserta seluruh isinya sejak azali, yaitu hukum yang dalam istilah AL-Qur’an disebut sebagai sunatullah.
Kaum qadariyah berpendapat bahwa tidak ada alasan yang tepat untuk menyandarkan segala perbuatan manusia kepada perbuatan Tuhan. Ayat-ayat Al-Qur’an yang mendukung faham ini adalah:
1.     QS Al-Kahfi : 29
È@è%ur ,ysø9$# `ÏB óOä3În/§ ( `yJsù uä!$x© `ÏB÷sãù=sù ÆtBur uä!$x© öàÿõ3uù=sù 4


Terjemahnya:
“Katakanlah kebenaran dari Tuhanmu, barang siapa yang mau beriman maka berimanlah dan barang siapa yang mau kafir maka kafirlah”. (QS. Al-Kahfi : 29).
2.      QS Ali Imran : 165
šÆÏBur Ĩ$¨Z9$# `tB äÏ­Gtƒ `ÏB Èbrߊ «!$# #YŠ#yRr& öNåktXq6Ïtä Éb=ßsx. «!$# ( tûïÉ©9$#ur (#þqãZtB#uä x©r& ${6ãm °! 3 öqs9ur ttƒ tûïÏ%©!$# (#þqãKn=sß øŒÎ) tb÷rttƒ z>#xyèø9$# ¨br& no§qà)ø9$# ¬! $YèÏJy_ ¨br&ur ©!$# ߃Ïx© É>#xyèø9$#  
Terjemahny :

“dan mengapa ketika kamu ditimpa musibah (pada peperangan Uhud), Padahal kamu telah menimpakan kekalahan dua kali lipat kepada musuh-musuhmu (pada peperangan Badar), kamu berkata: “Darimana datangnya (kekalahan) ini?” Katakanlah: “Itu dari (kesalahan) dirimu sendiri”. Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu”. (QS.Ali Imran :165)

3.      QS Ar-Ra’d : 11
 žcÎ) ©!$# Ÿw çŽÉitóム$tB BQöqs)Î/ 4Ó®Lym (#rçŽÉitóム$tB öNÍkŦàÿRr'Î/ 3 !#sŒÎ)ur yŠ#ur& ª!$# 5Qöqs)Î/ #[äþqß Ÿxsù ¨ŠttB ¼çms9 4 $tBur Oßgs9 `ÏiB ¾ÏmÏRrߊ `ÏB @A#ur  
terjemahnya :
“Sesungguhnya Allah tidak merobah Keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merobah keadaan[Tuhan tidak akan merobah Keadaan mereka, selama mereka tidak merobah sebab-sebab kemunduran mereka.] yang ada pada diri mereka sendiri”. (QS.Ar-R’d :11)
1.      Doktrin  Aliran Jabariyah
Asy-Syahratsani berpendapat bahwa aliran jabariyah dapat dikelompokkan menjadi dua bagian, yaitu ekstrim dan moderat.
a.      Jabariyah ekstrim
Disebut sebagai jabariyah ekstrim adalah karena pendapatnya bahwa perbuatan manusia bukan merupakan perbuatan yang timbul dari manusia senditi, tetapi perbuatan yang dipaksakan atas dirinya. Salah satu tokoh dari aliran Jabariyah ekstrim adalah Jahm bin Sofyan. Ia adalah seorang da’i yang fasih dan lancar (orator), menjabat sebagai sekretaris Harits bin Surais, seorang mawali yang menentang pemerintahan Bani Umayah dari Khurasam.
Berikut beberapa pendapat Jahm yang berkaitan dengan persoalan teologi: Manusia tidak mampu berbuat apa-apa, Surga dan neraka tidak kekal,Iman adalah ma’rifat atau membenarkan dalam hati, Kalam tuhan adalah makhluk.
Selain Jahm bin Sofyan, Ja’d bin Dirham pun merupakan tokoh aliran Jabariyah yang pada awalnya dipercaya mengajar di lingkungan Bani Umayah, tetapi setelah tampak pemikirannya yang kontroversial, Bani Umayah menolaknya. kemudian Ja’d lari dari kuffah  dan bertemu dengan Jahm, lalu mentransfer pikirannya kepada Jahm untuk disebarluaskan.
Berikut beberapa pikiran Ja’d yang secara umum sama dengan Jahm:
Al-Qur’an adalah makhluk, Allah tidak memiliki sifat yang serupa dengan makhluknya, Manusia terpaksa oleh Allah dalam segala-galanya.[16]
b.      Jabariyah moderat
Dikatakan Sebagai jabariyah moderat  karena pendapatnya bahwa Tuhan menciptakan perbuatan manusia, baik itu positif atau negatif, tetapi manusia mempunyai bagian di dalamnya. An-Najjar adalah salah satu tokoh jabariyah yang para pengikutnya disebut An-Najjariyah/Al-Husainiyah.
Berikut beberapa pendapat An-Najjar dalam aliran jabariyah moderat:
o    Tuhan menciptakan segala perbuatan manusia, tetapi manusia mengambil bagian atau peran dalam mewujudkan perbuatannya
o    Tuhan tidak dapat dilihat di akhirat,kecuali Tuhan memindahkan potensi hati (ma’rifat) pada manusia.
Tokoh lain yang memprakarsai ajaran jabariyah moderat adalah Adh-Dhirar. Secara umum  Pendapat-pendapatnya hampir sama dengan pendapat An-Najjar.

C.   Perbedaan Dan Persamaan Qadariyah Dan Jabariyah
Perbedaan antara kedua aliran Qadariyah dan Jabariyah adalah: aliran Qadariyah yang percaya bahwa segala tindakan manusia tidak diintervensi oleh Tuhan. Aliran ini berpendapat bahwa tiap-tiap orang adalah pencipta bagi segala perbuatannya, Ia dapat berbuat sesuatu atau meninggalkannya atas kehendaknya sendiri. Manusia mempunyai kewenangan untuk melakukan segala perbuatan atas kehendaknya sendiri, baik berbuat buruk maupun berbuat jahat. Oleh karena itu, ia berhak mendapatkan pahala atas kebaikan yang dilakukannya dan juga berhak pula memperoleh hukuman atas kejahatan yang diperbuatnya.
Sedangkan aliran Jabariyah ini berpendapat bahwa segala perbuatan manusia telah ditentukan dari semula oleh qadha dan qadar Tuhan. Segala perbuatan manusia bukan merupakan perbuatan yang timbul dari kemauannya sendiri, tetapi perbuatan yang dipaksakan atas dirinya. Adapun persamaannya, Qadariyah dan Jabariyah ini adalah sama-sama aliran kepercayaan (teologi) sesuai dengan konteks-politik yang terjadi














BAB III
                                                PENUTUP
A.     Kesimpulan
Dari  pembahasan diatas dapat disimpulkan bahwa Aliran Qadariyah merupakan suatu aliran yang mempercayai bahwasannya segala tindakan manusia tidak di intervensi oleh Tuhan, manusia adalah pencipta segala perbuatannya, dapat berbuat/meninggalkan sesuatu atas kehendaknya. Doktrin-doktrin aliran qadariyah diantaranya adalah bahwa manusia berkuasa atas perbuatannya. Manusia melakukan baik ataupun buruk atas kehendak dan daya nya sendiri.
Aliran Jabariyah merupakan aliran yang menolak adanya perbuatan dari manusia dan menyandarkan semua perbuatan kepada Allah. Dengan kata lain manusia mengerjakan perbuatan dalam keadaan terpaksa (majbur). Terbagi menjadi dua yakni jabariyah ekstrim dan moderat.disebut sebagai jabariyah ekstrim adalah karena pendapatnya bahwa perbuatan manusia bukan merupakan perbuatan yang timbul dari manusia senditi, tetapi perbuatan yang dipaksakan atas dirinya.sedangkan disebut sebagai jabariyah moderat adalah karena pendapatnya bahwa Tuhan menciptakan perbuatan manusia, baik itu positif atau negatif, tetapi manusia mempunyai bagian di dalamnya.
baik aliran Qadariyah maupun  Jabariyah  nampaknya memperlihatkan faham yang saling bertentangan sekalipun  mereka sama-sama berpegang pada Al-Qur’an. Hal ini memperlihatkan betapa terbukanya kemungkinan  terjadinya  perbedaan pendapat dalam Islam. Namun  pendapat  mana  yang lebih baik, tidaklah bias dinilai sekarang. Penilaian yang sesungguhnya akan diberikan oleh Tuhan diakhirat kelak. Penilaian baik atau tidaknya suatu pendapat dalam  pandangan manusia mungkin bisa dilakukan dengan cara mencoba menghubungkan pendapat tersebut dengan peristiwa-peristiwa yang berkembang dalam sejarah. Pendapat yang baik adalah apabila ia berlaku di masyarakat dan dapat bertahan dalam kehidupan manusia.
                                                DAFTAR PUSTAKA

Abu Zahra Imam Muhammad, Aliran Politik dan Aqidah dalam Islam, (Jakarta: Logos, 1996)
Ahmad Amin. Fajr Al-Islam, Maktabah An-Nahdhah Al-Misriyah li Ashhabiha Hasan Muhammad wa,( Kairo: Auladi., 1924).
Abdul Rozak, Anwar, Rosihon, Ilmu Kalam, Pustaka Setia, Bandung, 2001.
Aziz Dahlan, Sejarah Perkembangan Pemikiran dalam Islam, (Jakarta: Cipta,1987).
Ali Musthafa Al-Ghurabi, Tarikh Al-Firaq Al-Islamiyah  kairo: 1958).
Dr. Harun Nasution, Teologi Islam, Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan,(Jakarta: Ul-Press).
Hadis ini terdapat dalam Sunan Abu Daud, “Kitab As-Sunnah,” bab 16, Fi Al-Qadr, dan dalam Musnad  Imam Ahmad  bin  Hanbal, Jus II liafadz Al-Hadis An-Nabawi, (Jus V, E.J.Brill:Laiden, 1965).
Harun Nasution, Islam Ditinjau dari berbagai Aspek, Jakarta: UI Press, cet. VI, 1986).
Huwaidhy, Dirasat fi ilmi Al-Kalam wa Al-falsafah Al-Islamiyah, Kairo: Dar Ats-Tsaqafah, 1980).
Hadariyansyah..Pemikiran-Pemikiran Teologi dalam Sejarah Pemikiran Islam(.Banjarmasin:Antasari Press, 2008)
Ignaz Goldziher, Pengantar Teologi dan Hukum Islam, teri. Hersri Setiawan. INIS, (Jakarta, 1991).
Luwis Ma’luf Al-Yusu’I, Al-Munjid, Al-Khatahulikiyah, (Bairut: 1945).
W. Montgomery Watt, Islamic Philisophy and TheologyAn Extended Survey, (Harrassowitz: Edinburgh Univercity, 1992).
Luwis Ma’luf,Al-Munjid fi Al-lughah wa Al-Alam, (Beirut: Dar Al-Masyriq 1998).
Asy-Syahratnasy Al-Milal wa An-Nihal, (Bairut: Darul Fikr).



[1]Luwis Ma’luf Al-Yusu’I, Al-Munjid, Al-Khatahulikiyah, (Bairut: 1945), h. 436
[2]Dr. Harun Nasution, Teologi Islam , Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan,(Jakarta: Ul-Press), h. 31.
[3]W. Montgomery Watt, Islamic Philisophy and TheologyAn Extended Survey, (Harrassowitz: Edinburgh Univercity, 1992), h. 25.
[4]Hadis ini terdapat dalam Sunan Abu Daud, “Kitab As-Sunnah,” bab 16, Fi Al-Qadr, dan dalam Musnad  Imam Ahmad  bin  Hanbal, Jus II liafadz Al-Hadis An-Nabawi, (Jus V, E.J.Brill:, Laiden, 1965), h. 318.
[5]Ahmad Amin. Fajr Al-Islam, Maktabah An-Nahdhah Al-Misriyah li Ashhabiha Hasan Muhammad wa,( Kairo: Auladi., 1924), h. 284
[6]Ignaz Goldziher, Pengantar Teologi dan Hukum Islam, teri. Hersri Setiawan. INIS, (Jakarta, 1991), h. 79.

[7]Luwis Ma’luf,Al-Munjid fi Al-lughah wa Al-Alam, (Beirut: Dar Al-Masyriq 1998), h. 78
[8]Asy-Syahratnasy Al-Milal wa An-Nihal, (Bairut: Darul Fikr), h. 85
[9]Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan , (Jakarta: UI Press cet. V.  1986), h. 31
[10]Ahmad Amin. Fajr Al-Islam, (Kairo: Maktabah An-Nahdhah Al-Misriyah li Ashhabiha Hasan Muhammad wa Auladi. 1924), h. 284
[11]Aziz Dahlan, Sejarah Perkembangan Pemikiran dalam Islam, (Jakarta: Cipta,1987), h. 27-29
[12]Ali Musthafa Al-Ghurabi, Tarikh Al-Firaq Al-Islamiyah  kairo: 1958), h. 15
[13]Huwaidhy, Dirasat fi ilmi Al-Kalam wa Al-falsafah Al-Islamiyah, Kairo: Dar Ats-Tsaqafah, 1980), h. 98
[14]Harun Nasution, Islam Ditinjau dari berbagai Aspek, Jakarta: UI Press, cet. VI, 1986), h. 37
[15]Sahiludin A. Nasir, Pengantar Ilmu Kalam,( Jakarta: Rajawali 1991), h. 133
[16]Rosihan Anwar,Ilmu Kalam,( cetakan ke-2 2006), h. 68

No comments:

Makalah: Mahabbah, Makrifah

BAB I PENDAHULUAN   A.      Latar Belakang Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi membawa manusia larut dan terbuai dalam din...