BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar
belakang
Islam
sebagaimana dijumpai dalam sejarah, ternyata tidak sesempit yang dipahami pada
umumnya. Dalam sejarah pemikiran islam, terdapat lebih dari satu aliran yang
berkembang. Hal ini dikarenakan adanya perbedaan pendapat dikalangan
ulama-ulama kalam dalam memahami ayat-ayat Al-Qur’an.
Ada
ayat-ayat yang menunjukkan bahwa manusia bertanggung jawab atas perbuatannya
sendiri dan ada pula ayat yang menunjukkan bahwa segala yang terjadi itu
ditentukan oleh Allah, bukan kewenangan manusia. Dari perbedaan pendapat inilah
lahir aliran Qodariyah dan Jabariyah. Aliran Qodariyah berpendapat bahwa
manusia mempunyai kebebasan dan kekuatan sendiri untuk mewujudkan
perbuatan-perbuatannya. Dengan kata lain manusia mampunyai qudrah (kekuatan
atas perbuatannya). Sedangkan Jabariyah berpendapat bahwa manusia tidak
mempunyai kebebasan dan kehendak dalam menentukan perbuatannya. Kalaupun ada
kehendak dan kebebasan yang dimiliki manusia, kehendak dan kebebasan
tersebut tidak memiliki pengaruh apapun, karena yang menentukannya adalah
kehendak Allah semata.
Kedua
aliran ini masing-masing bersandar kepada ayat-ayat Al-Qur’an. Qodariyah antara
lain bersandar pada surat al-Mudatsir ayat 38.
‘@ä. ¤§øÿtR $yJÎ/ ôMt6|¡x. îpoY‹Ïdu‘
Terjemahnya:
“Tiap-tiap diri bertanggung jawab atas apa yang telah
diperbuatnya,”
Sedangkan
Jabariyah bersandar pada surat al-Hadid ayat 22.
!$tB z>$|¹r& `ÏB 7pt6ŠÅÁ•B ’Îû ÇÚö‘F{$# Ÿwur þ’Îû öNä3Å¡àÿRr& žwÎ) ’Îû 5=»tGÅ2 `ÏiB È@ö6s% br& !$ydr&uŽö9¯R 4 ¨bÎ) šÏ9ºsŒ ’n?tã «!$# ׎šo„
Terjemahnya:
“Tiada suatu
bencanapun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan
telah tertulis dalam kitab (Lauhul Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya.
Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah.”
Dalam
sejarah teologi islam, paham
Qodariyah selanjutnya di anut oleh kaum Mu’tazilah, sedngkan paham
Jabariyah terdapat dalam aliran Asy’ariah.
B. Rumusan Masalah
Berdasaarkan
latar belakang masalah di atas maka masalah pokonya adalah bagaimana Qadariyah
dan Jabariyah dalam sejarah pemikiran Islam? Adapun sub-sub masalah yang akan
dibahas sebagai berikut:
1. Bagaimana Asal Usul Kemunculan
Qadariyah dan Jabariyah?
2. Bagaimana daktrin Ajaran
Qadariyah dan Jabariyah?
3. Bagaimana Perbedaan dan Persamaan
Qadariyah Dan Jabariyah?
C.
Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui asal usul
sejarah kemunculan Qadariyah dan Jabariyah
2. Untuk mengetahui Bagaimana
daktrin Ajaran Qadariyah dan Jabariyah
3. Untuk mengetahui bagaimana Perbedaan
dan Persamaan Qadariyah Dan Jabariyah
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Qodariyah dan Jabariyah
1. Asal-usul Kemunculan Qadariyah
Qadariyah
berasal dari bahasa Arab, yaitu dari kata qadara yang artinya kemampuan
dan kekuatan.[1]
Adapun menurut pengertian terminology Qodariyah adalah suatu aliran yang
percaya bahwa segala tindakkan manusia tidak diintervensi oleh Tuhan. Aliran
ini berpendapat bahwa tiap-tiap orang adalah pencipta bagi segala perbuatannya,
Ia dapat berbuat sesuatu atau meninggalkannya atas kehendaknya sendiri. Berdasarkan
pengertian tersebut, dapat difahami bahwa Qadariyah dipakai untuk nama suatu
aliran yang memberi peneknan atas kebebasan dan kekuatan manusia dalam
mewujudkan perbuatan-perbuatannya. Dalam hal ini, Harun Nasution menegaskan
bahwa kaum Qadariyah berasal dari pengertian bahwa manusia
mempunyai qudrah atau kekuatan untuk melaksanakan kehendaknya,
dan bukan berasal dari pengertian bahwa manusia terpaksa tunduk pada qadar
Tuhan.[2]
Seharusnya,
sebutan Qadariyah diberikan kepada aliran yang berpendapat
bahwa qadar menentukan segala tingkah laku manusia, baik yang
bagus maupun yang jahat. Namun, sebutan tersebut telah melekat kaum sunni, yang
percaya bahwa manusia mempunyai kebebasan berkehendak.[3] Menurut
Ahmad Amin, sebutan ini diberikan kepada para pengikut faham qadar oleh lawan
mereka dengan merujuk Hadis yang menimbulkan kesan negatif bagi nama Qadariyah.
Hadis itu berbunyi:
اَلْقَدَرِيَّةُ
مَجُوْسُ هذِهِ الأُمَّةِ
Terjemahnya:
“kaum
Qadariyah adalah majusinya umat ini”.[4]
Kapan Qadariyah
muncul dan siapa tokoh-toohnya? Merupakan dua tema yang masih diperdebatkan.
Menurut Ahmad Amin, ada ahliteologi yang megatakan bahwa Qadariyah pertama
sekali dimunculkan oleh Ma’bad
Al-Jauhani dan Ghailan Ad-Dismasyqy. [5] Ma’bad adalah seorang tabi’i yang dapat dipercaya dan pernah berguru pada
Hasan Al-Basri. Adapun Ghailan
dalah seorang orator berasal dari Damaskus dan ayahnya menjadi ulama
Usman bin Affan.
Ibnu
Nabata dalam kitabnya Syarh
Al-Uyun, seperti dikutip Ahmad Amin menerima informasi lain bahwa yang
pertama sekali memunculkan faham Qodariyah adalah orang Irak yang semula beragama Kristen
kemudian masuk Islam dan balik lagi ke
Agama Kristen. Dari orang inilah, Ma’bad
dan Ghailan mengambil faham ini. Orang Irak yang dimaksud, sebagaimana
dikatakan Muhammad Ibnu Syu’ib yang memperoleh informasi dari Al-Auzai.
Sementara
itu, W. Montgomery Watt menemukan dokumen lain melalui tulisan Hellmut Ritter
dalam bahasa Jerman yang dipublikasikan
melalui majalah Der Islam pada tahun 1933. Artikel ini
menjelaskan bahwa faham Qadariyah terdapat dalam kitab Risalah dan ditulis
untuk Khalifah Abdul Malik oleh Hasan Al-Basri sekitar tahun 700 M. Hasan Al-Basri (642-728) adalah
anak seorang tahanan di Irak. Ia lahir di
Madinah, tetapi pada tahun 657 M, pergi ke Basrah dan tinggal di sana sampai akhir hayatnya. Apakah
Hasan Al-Basri termasuk orang Qadariyah atau bukan, hal ini memang menjadi perdebatan. Namun, yang jelas berdasarkan catatannya yang terdapat dalam Kitab Risalah ini
ia percaya bahwa manusia dapat memilih secara bebas antara berbuat baik dan buruk. Hasan yakin
bahwa manusia bebas memilih antara berbuat baik atau berbuat buruk.
Ma’bad
Al-Jauhani dan Ghailan ad-Dismasyqi, menurut Watt, adalah penganut Qadariyah yang
hidup setelah Hasan Al-Basri. Kalau
dihubungan dengan keterangan Adz-Dzahabi dalam Mizam Al-I’tidal, seperti dikutip Ahmad Amin
yang meyatakan bahwa Ma’bad Al-Jauhani
pernah belajar pada Hasan Al-Bashri,
maka sangat faham Qadariyah ini mula-mula dikembangkan Hasan
Al-Bashri. Dengan demikian, keterangan yang di tulis oleh Ibnu Nabatah dalam Syahrul Al-Uyun bahwa
faham Qadariyah berasal dari orang Irak Kristen yang masuk
Islam kemudian kembali kepada Kristen,
adalah hasil rekayasa orang yang tidak sependapat dengan faham ini agar
orang-orang tidak tertarik dengan pikiran Qadariyah. Lagi pula
menurut Kramer, seperti dikutip lgnas Goldziher, dikalangan Gereja Timur ketika
itu terjadi perdebatan tentang butir doktrin Qadariyah yang
mencekam pikirann para teolognya.[6]
Berkaitan
dengan persoalan pertama kalinya Qadariyah muncul, ada baiknya
bila meninjauh kembali pendapat Ahmad
Amin yang menyatakan kesulitan untuk menentukannya. Para peneliti sebelumnyapun
belum sepakat mengenai hal ini karena penganut Qadariyah ketika
itu banyak sekali. Sebagian terdapat di Irak dengan bukti bahwa gerakan ini terjadi pada pengajian
Hasan Al-Basri. pendapat ini dikuatkan oleh Ibnu Nabatah
bahwa yang mencetuskan pendapat pertama tentang masalah ini adalah seorang
Kristen dari Irak yang telah masuk Islam pendapatnya itu diambil oleh Ma’bad dan Ghailan.
Sebagian lain berpendapat bahwa faham ini muncul di Damaskus. Diduga disebabkan oleh
pengaruh orang-orang Kristen yang banyak dipekerjakan di istana-istana
khalifah.
Faham
Qadariyah mendapat tantangan keras dari umat Islam ketika itu. Ada beberapa hal yang mengakibatkan
terjadinya reaksi keras ini, pertama, seperti
pendapat Harun Nasution, karena masyarakat Arab sebelum Islam kelihatannya dipengaruhi oleh faham fatalis. Kehidupan
bangsa Arab ketika itu serba sederhana dan jauh dari pengetahuan. Mereka selalu
terpaksa mengalah kepada keganasan alam, panas yang menyengat, serta tanah dan
gunungnya yang gundul. Mereka merasa dirinya lemah dan tak mampu menghadapi
kesukaran hidup yang ditimbulkan oleh alam sekelilingnya. faham itu terus
dianut kendatipun mereka sudah beragama Islam. Karena itu, ketika faham Qadariyah dikembangkan,
mereka tidak dapat menerimanya.
Faham Qadariyah itu dianggap bertentangan dengan doktrin
Islam.
Kedua,
tantangan dari pemerintah ketika itu. Tatangan ini sangat mungkin terjadi
karena para pejabat pemerintahan menganut faham Jabariyah. Ada
kemungkinan juga pejabat pemerintah menganggap gerakan faham Qadariyah sebagai
suatu usaha menyebarkan faham dinamis dan daya kritis rakyat, yang pada
gilirannya mampu mengkritik kebijakan-kebijakan mereka yang dianggap tidak
sesuai, dan bahkan dapat menggulingkan tahta kerajaan mereka.
2.
Asal-usul
Pertumbuhan Jabariyah
kata Jabariyah berasal
dari kata jabara yang berarti memaksa. Di
dalam Al-Munjid, dijelaskan bahwa nama jabariyah berasal
dari kata jabara yang mengandung arti memaksa dan
mengharuskannya melakukan sesuatu.[7] kalau
dikatakan, Allah mempunyai sifat Al-Jabbar (dalam bentuk mubalaghah),
itu artinya Allah Maha Memaksa. Ungkapan al-insan majbur (bentuk isim
maf’ul) mempunyai arti bahwa manusia dipaksa atau terpaksa. Selanjutnya,
kata jabara (bentuk pertama), setelah ditarik menjadi Jabariyah (dengan
menambah ya nisbah), memiliki arti suatu kelompok atau aliran (isme).
Lebih lanjut Asy-Syahratsan menegaskan bahwa faham al-jabar berarti
menghilangkan perbuatan manusia dalam arti yang sesungguhnya dan menyadarkannya
kepada Allah.[8] dengan
kata lain, manusia mengerjakan perbuatannya dalam keadaan terpaksa. Dalam
bahasa Inggris, Jabariyah disebut fatalism atau predestination,
yaitu faham yang menyebutkan bahwa perbuatan manusia telah ditentukan dari
semula oleh qadha dan qadar Tuhan.[9]
Untuk
mengetahui lebih lanjut mengenai asal-usul kemunculan dan perkembangan Jabariyah.
Perlu dijelaskan mengenai orang yang melahirkan dan menyebarluaskan faham . al-jabar dan
dalam situasi apa saja faham ini muncul.
Faham al-jabar pertama
kali diperkenalkan oleh Ja’d bin Dirham kemudian disebarkan oleh Jahm bin
Shafwan dari Khurasan. Dalam sejarah teologi Islam, Jahm tercatat sebagai tokoh
yang mendirikan aliran Jahmiyah dalam kalangan Murji’ah.
Ia adalah sekretaris Suraih bin Al-Haris dan selalu menemaniya dalam gerakan melawan
kekuasaan Bani Umayah. Namun, dalam perkembangannya, faham al-jabar juga
dikembagkan oleh tokoh lainnya diantaranya Al-Husain bin Muhammad An-Najjar dan
Ja’d Dirrar.
Mengenai
kemunculan faham al-jabar ini, para ahli pemikiran mengkajinya
melalui pendekatan geokultural bangsa arab. Di mana ahli yang dimaksud adalah
Ahmad Amin. Ia menggambarkan bahwa kehidupan bangsa Arab yang dikungkung oleh
gurun pasir Sahara memberikan pengaruh besar ke dalam cara hidup mereka.[10] Ketergantungan
mereka kepada alam Sahara yang ganas telah memunculkan sikap penyerahan diri
terhadap alam.
Lebih
lanjut, Harun Nasution menjelaskan bahwa dalam situasi demikian, masyarakat
Arab tidak melihat jalan untuk mengubah keadaan sekeliling mereka sesuai dengan
keinginannya sendiri. Mereka merasa lemah dalam menghadapi kesukaran-kesukaran
hidup. Akhirnya, mereka banyak bergantung pada kehendak alam. Hal ini membawa
mereka kepada sikap fatalism.
Sebenarnya
benih-benih faham al-jabar sudah muncul jauh sebelum kedua
tokoh diatas. Benih-benih itu terlihat dalam peristiwa sejarah berikut ini.
a.
Suatu
ketika Nabi menjumpai sahabatnya yang sedang bertengkar dalam masalah takdir
Tuhan. Nabi melarang mereka untuk memperdebatkan persoalan tersebut, agar
terhindar dari kekeliruan penafsiran tentang ayat-ayat Tuhan mengenai takdir.[11]
b.
Khalifah
Umar bin Khaththab pernah menangkap seseorang yang ketahuan mencuri. Ketika
diinterogasi, pencuri itu berkata “Tuhan telah menentukan aku mencuri.”
Mendengar ucapan itu, Umar marah sekali dan mengangap orang itu telah berdusta
kepada Tuhan. Oleh karena itu, Umar memberikan dua jenis hukuman kepada pencuri
itu. Pertama, hukuman potong tangan karena mencuri. Kedua,
hukuman dera karena menggunakan dalil takdir Tuhan.[12]
c.
Khalifah Ali bin Thalib sesuai Perang
Shiffin ditanya oleh seorang tua tentang qadar (ketentuan) Tuhan dalam
kaitannya dengan pahala dan siksa. Orang tua itu bertanya, “Bila perjalanan
(menuju Perang Shiffin) itu terjadi dengan qadha dan qadar Tuhan, tak ada
pahala sebagai balasannya”. Ali menjelaskan bahwa qadha dan qadar bukanlah
paksaan Tuhan. Ada pahala dan siksa sebagai balasan amal perbuatan manusia.
Sekiranya qadha dan qadar itu merupakan
paksaan, batallah pahala dan siksa, gugur pulalah makna janji dan ancaman
Tuhan, serta tidak ada celaan Allah atas pelaku dosa dan pujian-Nya bagi
orang-orang yang baik.
Pada
pemerintahan Daulah Bani Umayah, pandangan tentang al-jabar semakin
mencuat ke permukaan. Abdullah bin Abbas, melalui suratnya, memberikan reaksi
keras kepada penduduk Syiria yang diduga berfaham Jabariyah.[13]
Paparan
di atas menjelaskan bahwa bibit faham al-jabar telah muncul sejak awal periode
Islam. Namun, al-jabar sebagai suatu pola pikir atau aliran yang di anut,
dipelajari dan dikembangkan, baru terjadi pada masa pemerintahan Daulah Bani
Umayah, yakni oleh kedua tokoh yang telah disebutkan di atas.[14]
Berkaitan
dengan kemunculan aliran Jabariyah, adan yang mengatakan bahwa
kemunculannya diakibatkan oleh pengaruh pemikiran asing, yaitu pengaruh agama
Yahudi bermazhab Qurra dan agama Kristen bermazhab Yacobit.[15] Namun,
tanpa pengaruh asing itu, faham al-jabar akan muncul juga di
kalangan umat islam.
B.
Doktrin-Doktrin
Aliran Qodariyah dan Jabariyah
1. Doktrin Qadariyah
Harun
Nasotion menjelaskan pendapat Ghalian tentang doktrin qadariyah bahwa manusia
berkuasa atas perbuatannya. Manusia melakukan baik ataupun buruk atas kehendak
dan dayanya sendiri. Apabila seseorang berbuat baik akan diberi ganjaran
kebaikan dengan surga, dan begitupun sebaliknya apabila seseorang berbuat buruk
maka akan diberi ganjaran siksa dengan neraka, itu berdasarkan pilihannya
sendiri bukan atas takdir Tuhan. Oleh kerana itu, manusia yang berbuat akan
mendapatkan balasannya sesuai dengan tindakannya.
Faham takdir dalam pandangan qadariyah
bukalah berarti manusia bertindak menurut nasib yang telah ditentukan sejak
azali, melainkan takdir itu adalah ketentuan Allah yang diciptakan-Nya bagi
alam semesta beserta seluruh isinya sejak azali, yaitu hukum yang dalam istilah
AL-Qur’an disebut sebagai sunatullah.
Kaum qadariyah berpendapat bahwa tidak ada
alasan yang tepat untuk menyandarkan segala perbuatan manusia kepada perbuatan
Tuhan. Ayat-ayat Al-Qur’an yang mendukung faham ini adalah:
1.
QS Al-Kahfi :
29
È@è%ur ‘,ysø9$# `ÏB óOä3În/§‘ ( `yJsù uä!$x© `ÏB÷sã‹ù=sù ÆtBur uä!$x© öàÿõ3u‹ù=sù 4
Terjemahnya:
“Katakanlah kebenaran dari Tuhanmu, barang
siapa yang mau beriman maka berimanlah dan barang siapa yang mau kafir maka
kafirlah”. (QS. Al-Kahfi : 29).
2.
QS Ali Imran :
165
šÆÏBur Ĩ$¨Z9$# `tB ä‹Ï‚Gtƒ `ÏB Èbrߊ «!$# #YŠ#y‰Rr& öNåktXq™6Ïtä† Éb=ßsx. «!$# ( tûïÉ‹©9$#ur (#þqãZtB#uä ‘‰x©r& ${6ãm °! 3 öqs9ur “ttƒ tûïÏ%©!$# (#þqãKn=sß øŒÎ) tb÷rttƒ z>#x‹yèø9$# ¨br& no§qà)ø9$# ¬! $Yè‹ÏJy_ ¨br&ur ©!$# ߉ƒÏ‰x© É>#x‹yèø9$#
Terjemahny
:
“dan mengapa ketika kamu ditimpa musibah (pada
peperangan Uhud), Padahal kamu telah menimpakan kekalahan dua kali lipat kepada
musuh-musuhmu (pada peperangan Badar), kamu berkata: “Darimana datangnya
(kekalahan) ini?” Katakanlah: “Itu dari (kesalahan) dirimu sendiri”.
Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu”. (QS.Ali Imran :165)
3.
QS Ar-Ra’d : 11
žcÎ) ©!$# Ÿw çŽÉitóム$tB BQöqs)Î/ 4Ó®Lym (#rçŽÉitóム$tB öNÍkŦàÿRr'Î/ 3 !#sŒÎ)ur yŠ#u‘r& ª!$# 5Qöqs)Î/ #[äþqß™ Ÿxsù ¨ŠttB ¼çms9 4 $tBur Oßgs9 `ÏiB ¾ÏmÏRrߊ `ÏB @A#ur
terjemahnya
:
“Sesungguhnya
Allah tidak merobah Keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merobah keadaan[Tuhan
tidak akan merobah Keadaan mereka, selama mereka tidak merobah sebab-sebab
kemunduran mereka.] yang ada pada diri mereka sendiri”. (QS.Ar-R’d :11)
1. Doktrin Aliran Jabariyah
Asy-Syahratsani
berpendapat bahwa aliran jabariyah dapat dikelompokkan menjadi dua bagian,
yaitu ekstrim dan moderat.
a. Jabariyah ekstrim
Disebut
sebagai jabariyah ekstrim adalah karena pendapatnya bahwa perbuatan manusia
bukan merupakan perbuatan yang timbul dari manusia senditi, tetapi perbuatan
yang dipaksakan atas dirinya. Salah satu tokoh dari aliran Jabariyah ekstrim
adalah Jahm bin Sofyan. Ia adalah seorang da’i yang fasih dan lancar (orator), menjabat sebagai sekretaris Harits bin Surais, seorang
mawali yang menentang pemerintahan Bani Umayah dari Khurasam.
Berikut beberapa pendapat Jahm yang berkaitan dengan
persoalan teologi: Manusia tidak mampu berbuat apa-apa, Surga dan neraka tidak
kekal,Iman adalah ma’rifat atau membenarkan dalam hati, Kalam tuhan adalah
makhluk.
Selain Jahm bin Sofyan, Ja’d bin Dirham pun merupakan
tokoh aliran Jabariyah yang pada awalnya dipercaya mengajar di lingkungan Bani
Umayah, tetapi setelah tampak pemikirannya yang kontroversial, Bani Umayah
menolaknya. kemudian Ja’d lari dari kuffah dan bertemu dengan Jahm, lalu mentransfer
pikirannya kepada Jahm untuk disebarluaskan.
Berikut beberapa pikiran Ja’d yang secara umum sama
dengan Jahm:
Al-Qur’an adalah makhluk, Allah tidak memiliki sifat yang
serupa dengan makhluknya, Manusia terpaksa oleh Allah dalam segala-galanya.[16]
b. Jabariyah
moderat
Dikatakan Sebagai jabariyah moderat karena pendapatnya bahwa Tuhan menciptakan
perbuatan manusia, baik itu positif atau negatif, tetapi manusia mempunyai
bagian di dalamnya. An-Najjar adalah salah satu tokoh jabariyah yang para
pengikutnya disebut An-Najjariyah/Al-Husainiyah.
Berikut beberapa pendapat An-Najjar dalam aliran
jabariyah moderat:
o
Tuhan menciptakan segala perbuatan manusia, tetapi
manusia mengambil bagian atau peran dalam mewujudkan perbuatannya
o
Tuhan tidak dapat dilihat di akhirat,kecuali Tuhan
memindahkan potensi hati (ma’rifat) pada manusia.
Tokoh lain yang memprakarsai ajaran jabariyah moderat
adalah Adh-Dhirar. Secara umum Pendapat-pendapatnya hampir sama dengan
pendapat An-Najjar.
C. Perbedaan
Dan Persamaan Qadariyah Dan Jabariyah
Perbedaan
antara kedua aliran Qadariyah dan Jabariyah adalah: aliran Qadariyah yang
percaya bahwa segala tindakan manusia tidak diintervensi oleh Tuhan. Aliran ini
berpendapat bahwa tiap-tiap orang adalah pencipta bagi segala perbuatannya, Ia
dapat berbuat sesuatu atau meninggalkannya atas kehendaknya sendiri. Manusia
mempunyai kewenangan untuk melakukan segala perbuatan atas kehendaknya sendiri,
baik berbuat buruk maupun berbuat jahat. Oleh karena itu, ia berhak mendapatkan
pahala atas kebaikan yang dilakukannya dan juga berhak pula memperoleh hukuman
atas kejahatan yang diperbuatnya.
Sedangkan
aliran Jabariyah ini berpendapat bahwa segala perbuatan manusia telah
ditentukan dari semula oleh qadha dan qadar Tuhan. Segala perbuatan manusia
bukan merupakan perbuatan yang timbul dari kemauannya sendiri, tetapi perbuatan
yang dipaksakan atas dirinya. Adapun persamaannya, Qadariyah dan Jabariyah ini
adalah sama-sama aliran kepercayaan (teologi) sesuai dengan konteks-politik
yang terjadi
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari pembahasan diatas
dapat disimpulkan bahwa Aliran Qadariyah merupakan suatu aliran yang
mempercayai bahwasannya segala tindakan manusia tidak di intervensi oleh Tuhan,
manusia adalah pencipta segala perbuatannya, dapat berbuat/meninggalkan sesuatu
atas kehendaknya. Doktrin-doktrin aliran qadariyah diantaranya adalah bahwa
manusia berkuasa atas perbuatannya. Manusia melakukan baik ataupun buruk atas
kehendak dan daya nya sendiri.
Aliran Jabariyah merupakan aliran yang menolak adanya
perbuatan dari manusia dan menyandarkan semua perbuatan kepada Allah. Dengan
kata lain manusia mengerjakan perbuatan dalam keadaan terpaksa (majbur).
Terbagi menjadi dua yakni jabariyah ekstrim dan moderat.disebut sebagai
jabariyah ekstrim adalah karena pendapatnya bahwa perbuatan manusia bukan
merupakan perbuatan yang timbul dari manusia senditi, tetapi perbuatan yang
dipaksakan atas dirinya.sedangkan disebut sebagai jabariyah moderat adalah
karena pendapatnya bahwa Tuhan menciptakan perbuatan manusia, baik itu positif
atau negatif, tetapi manusia mempunyai bagian di dalamnya.
baik
aliran Qadariyah maupun Jabariyah nampaknya memperlihatkan faham yang saling
bertentangan sekalipun mereka sama-sama
berpegang pada Al-Qur’an. Hal ini memperlihatkan betapa terbukanya kemungkinan terjadinya perbedaan pendapat dalam Islam. Namun pendapat mana yang
lebih baik, tidaklah bias dinilai sekarang. Penilaian yang sesungguhnya akan
diberikan oleh Tuhan diakhirat kelak. Penilaian baik atau tidaknya suatu
pendapat dalam pandangan manusia mungkin
bisa dilakukan dengan cara mencoba menghubungkan pendapat tersebut dengan
peristiwa-peristiwa yang berkembang dalam sejarah. Pendapat yang baik adalah
apabila ia berlaku di masyarakat dan dapat bertahan dalam kehidupan manusia.
DAFTAR PUSTAKA
Abu Zahra Imam Muhammad,
Aliran Politik dan Aqidah dalam Islam, (Jakarta: Logos, 1996)
Ahmad Amin. Fajr Al-Islam,
Maktabah An-Nahdhah Al-Misriyah li Ashhabiha Hasan Muhammad wa,( Kairo:
Auladi., 1924).
Abdul Rozak, Anwar, Rosihon,
Ilmu Kalam, Pustaka Setia, Bandung, 2001.
Aziz Dahlan,
Sejarah Perkembangan Pemikiran dalam Islam, (Jakarta: Cipta,1987).
Ali
Musthafa Al-Ghurabi, Tarikh Al-Firaq Al-Islamiyah kairo: 1958).
Dr. Harun Nasution, Teologi
Islam, Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan,(Jakarta:
Ul-Press).
Hadis ini terdapat dalam Sunan
Abu Daud, “Kitab As-Sunnah,” bab 16, Fi Al-Qadr, dan dalam Musnad Imam Ahmad
bin Hanbal, Jus II liafadz
Al-Hadis An-Nabawi, (Jus V, E.J.Brill:Laiden, 1965).
Harun Nasution, Islam Ditinjau
dari berbagai Aspek, Jakarta: UI Press, cet. VI, 1986).
Huwaidhy, Dirasat fi ilmi
Al-Kalam wa Al-falsafah Al-Islamiyah, Kairo: Dar Ats-Tsaqafah, 1980).
Hadariyansyah..Pemikiran-Pemikiran
Teologi dalam Sejarah Pemikiran Islam(.Banjarmasin:Antasari Press, 2008)
Ignaz Goldziher, Pengantar
Teologi dan Hukum Islam, teri. Hersri Setiawan. INIS, (Jakarta, 1991).
Luwis
Ma’luf Al-Yusu’I, Al-Munjid, Al-Khatahulikiyah, (Bairut: 1945).
W. Montgomery Watt, Islamic
Philisophy and Theology: An Extended Survey, (Harrassowitz:
Edinburgh Univercity, 1992).
Luwis
Ma’luf,Al-Munjid fi Al-lughah wa Al-Alam, (Beirut: Dar Al-Masyriq 1998).
Asy-Syahratnasy Al-Milal
wa An-Nihal, (Bairut: Darul Fikr).
[2]Dr. Harun Nasution, Teologi
Islam , Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan,(Jakarta:
Ul-Press), h. 31.
[3]W. Montgomery Watt, Islamic
Philisophy and Theology: An Extended Survey, (Harrassowitz:
Edinburgh Univercity, 1992), h. 25.
[4]Hadis
ini terdapat dalam Sunan Abu Daud, “Kitab As-Sunnah,” bab 16, Fi
Al-Qadr, dan dalam Musnad Imam
Ahmad bin Hanbal, Jus II liafadz
Al-Hadis An-Nabawi, (Jus V, E.J.Brill:, Laiden, 1965), h. 318.
[5]Ahmad Amin. Fajr Al-Islam,
Maktabah An-Nahdhah Al-Misriyah li Ashhabiha Hasan Muhammad wa,( Kairo:
Auladi., 1924), h. 284
[6]Ignaz
Goldziher, Pengantar Teologi dan Hukum Islam, teri. Hersri
Setiawan. INIS, (Jakarta, 1991), h. 79.
[9]Harun Nasution, Teologi
Islam: Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan , (Jakarta:
UI Press cet. V. 1986), h. 31
[10]Ahmad Amin. Fajr Al-Islam,
(Kairo: Maktabah An-Nahdhah Al-Misriyah li Ashhabiha Hasan Muhammad wa Auladi.
1924), h. 284
[13]Huwaidhy, Dirasat fi ilmi
Al-Kalam wa Al-falsafah Al-Islamiyah, Kairo: Dar Ats-Tsaqafah, 1980), h. 98
No comments:
Post a Comment