TAFSIR BI AL-MA’TSUR, TAFSIR BI AL-RA’YI, DAN TAFSIR IJMALI
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Untuk bisa berbicara dalam konteks masa dan ruang yang berbeda,
maka Al-Qur’an harus difahami dan ditafsirkan oleh para pembacanya. Al-Qur’an
bersifat tetap, jika dilihat dari bunyi teks dan proses pewahyuannya. Al-Qur’an
telah berhenti, karena pewahyuan sudah berakhir dengan berakhirnya masa
kenabian Muhammad.
Di sisi lain, masalah-masalah yang timbul dalam lingkungan umat
Islam, senantiasa berkembang seiring dinamika zaman. Maka untuk mempertemukan
Al-Qur’an dan perkembangan zaman, muncullah disiplin ilmu yang disebut dengan
tafsir. Para ulama lalu melakukan upaya-upaya untuk
menjadikan Al-Qur’an mampu berbicara pada setiap zaman yang berbeda, melalui
aktivitas penjelasan makna-makna Al-Qur’an, dan usaha-usaha itu kemudian
dikenal secara luas sebagai tafsir.
Pada peta keilmuan Islam, Ilmu tafsir
merupakan ilmu yang tergolong belum matang, sehingga selalu terbuka untuk
dikembangkan. Setiap periode memiliki perkembangan sampai saat ini. Meskipun sama-sama berusaha mengungkapkan makna Al-Qur’an,
masing-masing menggunakan cara dan pendekatan yang berbeda. Sehingga tidaklah
mengherankan, ketika metode yang digunakan oleh para ulama dalam penafsiran
Al-Qur’an juga mengalami perkembangan yang dinamis dari zaman ke zaman.
Metode-metode itu berkembang sejalan dengan perkembangan pemikiran,
peradaban manusia dan juga masalah-masalah yang berkembang dalam masyarakat. Di
samping itu, perkembangan tersebut juga terjadi
karena kebutuhan manusia akan metode baru, sebagai dampak dari perkembangan zaman yang tidak
terelakkan.
Melihat sejarah awal perkembangan tafsir,
muncul dua jenis penafsiran al-Qur’an secara estafet, yaitu tafsir bi
al-ma’tsur atau disebut juga dengan tafsir bi al-riwayah dan tafsir bi al-ra’yi
atau tafsir bi al-dirayah, serta tafsir ijmali. Untuk meminimalisir perdebatan
tentang bentuk ketiga jenis tafsir ini, penulis lebih memahami ketiganya tidak
sebagai sebagai sebuah metode ataupun corak tafsir melainkan jenis-jenis
penafsiran yang muncul dalam sejarah awal usaha pemahaman terhadap al-Qur’an.[1] Tulisan
ini akan memberikan penjelasan spesifik tentang ketiga jenis penafsiran tersebut, yaitu tafsir bi al-ma’tsur, tafsir bi al-ra’yi, dan tafsir ijmali.
B.
Rumusan Masalah
Adapun masalah-masalah yang telah penulis rumuskan adalah sebagai
berikut:
1.
Apa yang dimaksud dengan Tafsir
bi al-Ma’tsur, Tafsir bi al-Ra’yi, dan Tafsir
Ijmali ?
2.
Bagaimana sejarah munculnya Tafsir bi al-Ma’tsur, Tafsir bi al-Ra’yi, dan Tafsir
Ijmali ?
3.
Apa saja kelemahan dari Tafsir bi al-Ma’tsur, Tafsir bi al-Ra’yi, dan Tafsir
Ijmali ?
4.
Bagaimana contoh-contoh Tafsir
bi al-Ma’tsur, Tafsir bi al-Ra’yi, dan Tafsir Ijmali
?
C.
Tujuan Penulisan
Berdasarkan beberapa masalah yang telah dirumuskan dan engan
ditulisnya makalah ini, maka penulis berhapap agar para pembaca dapat :
1.
Mengetahui pengertian dan definisi dari Tafsir bi al-Ma’tsur, Tafsir bi al-Ra’yi, dan Tafsir
Ijmali.
2.
Memahami sejarah munculnya Tafsir bi al-Ma’tsur, Tafsir bi al-Ra’yi, dan Tafsir
Ijmali.
3.
Mengetahui kelemahan-kelemahan dari Tafsir
bi al-Ma’tsur, Tafsir bi al-Ra’yi, dan Tafsir
Ijmali.
4.
Mengetahui contoh-contoh dari Tafsir bi al-Ma’tsur, Tafsir bi al-Ra’yi, dan Tafsir Ijmali.
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Tafsir bi al-Ma’tsur, Tafsir bi al-Ra’yi, dan
Tafsir Ijmali
1.
Tafsir bi al-Ma’tsur
Pada dasarnya Tafsir bi al-Ma’tsur merupakan gabungan dari dua kata yang bila dipisahkan
mengandung dua makna yang berbeda. Secara
etimologi, kata Tafsir berasal dari bahasa arabfassara-yufassiru-tafsiran
yang berarti menerangkan, membuka dan menjelaskan. Sedangkan pengertian Tafsir secara terminology
ialah ilmu yang menerangkan tentang hal nuzulul ayat, keadaan-keadaannya,
kisah-kisahnya, tartib maknanya, muhkam mutasyabihnya, nasikh mansukhnya
dan selebihnya.[2]
Adapun Ma’tsur secara etimologi berasal dari kata Atsar
yang berarti bekas. Atsar juga bermakna
sama dengan Hadits, Sunnah, jejak, pengaruh dan kesan. Jadi dapat
dipahami bahwa secara terminology Ma’tsur berarti mengutip, menyebut,
dan menuqilkan sesuatu yang ada pada orang lain di masa lalu.[3] Sejalan dengan pengertian Harfiyah dan Maknawiyah di atas, dapat
disimpulkan bahwa Tafsir bi al-Ma’tsur adalah adalah penafsiran
ayat-ayat al-Qur’an yang didasarkan dan mengutip ayat-ayat al-Qur’an yang lain,
sunnah yang tertuang dalam hadits-hadits Nabi, pendapat Shahabat
dan Tabi’in.[4]
Namun terdapat perbedaan dalam pengkategorian pendapat tabi’in
sebagai tafsir bil-ma’tsur karena ada indikasi bahwa
pendapat tabi’in banyak telah terkooptasi oleh akal[5] berbeda dengan pendapat shahabat yang
dimungkinkan untuk mengetahui penafsiran suatu ayat berdasarkan petunjuk Nabi. Selain
itu shahabat juga menyertai Nabi pada saat turunnya sebagian ayat sehingga
mereka lebih mengetahui Asbab an-Nuzul sebuah ayat.
2.
Tafsir bi al-Ra’yi
Kata Al-ra’yu berasal dari
akar kata راي ج- اراء. Memiliki kata jamak ārā’un
atau ar’ā’un yang bisa berarti berpendapat.[6] Sedangkan secara istilah bisa didefinisikan sebagaimana pendapat beberapa
ulama yaitu :
a.
Tafsir Bi
Al-Ra’y ialah tafsir yang di dalam menjelaskan maknanya
hanya berpegang pada pemahaman sendiri dan penyimpulan yang didasarkan pada
ra’yu semata. Golongan ini telah menulis sejumlah kitab tafsir menurut
pokok-pokok mazhab mereka, seperti tafsir (karya) Abdurrahman bin Kaisan
al-asam, al-Juba’I, Abdul Jabbar,
Ar-Rummani, Zamakhsyari dan lain sebagainya.[7]
b.
Tafsir Bi
Al-Ra’y ialah Tafsir
berdasarkan ijtihad mufassir; pendapat atau ijtihadnya yang didasarkan atas
sarana ijtihad.[8]
c.
Muhammad Ali
Ash Shaabuniy, ialah ijtihad yang didasarkan pada dalil-dalil yang shohih,
kaidah yang murni dan tepat, bisa diikuti serta sewajarnya digunakan oleh orang
yang hendak mendalami tafsir Al-Qur’an
atau mendalami pengertiannya.[9]
Dari beberapa
pendapat di atas dapat penulis simpulkan bahwa tafsir bi al-ra’yi adalah
suatu metode tafsir dengan menggunakan kekuatan akal pikiran yang sudah
memenuhi syarat dan memiliki pengakuan dari para ulama untuk menjadi seorang
mufassir, namun penafsirannya harus tetap sejalan dengan hukum syari’ah tanpa
ada pertentangan.
Tidaklah yang
dimaksud dengan ra’yu ini dengan menafsirkan Al-Quran berdasarkan kata hati
atau kehendaknya. Al-Qurtubi berkata “barang siapa yang menafsirkan Al-Qur’an
berdasarkan imajinasinya (yang tepat menurut pandangannya tanpa berdasarkan
kaidah-kaidah) maka ia adalah orang yang keliru dan tercela.”
Dalam sebuah hadis diriwayatkan :
حَدَّثَنَا إِسْمَعِيلُ بْنُ مُوسَى الْفَزَارِيُّ
ابْنُ بِنْتِ السُّدِّيِّ حَدَّثَنَا شَرِيكُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ عَنْ مَنْصُورِ
بْنِ الْمُعْتَمِرِ عَنْ رِبْعِيِّ بْنِ حِرَاشٍ عَنْ عَلِيِّ بْنِ أَبِي طَالِبٍ
قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا تَكْذِبُوا
عَلَيَّ فَإِنَّهُ مَنْ كَذَبَ عَلَيَّ يَلِجُ فِي النَّارِ وَفِي الْبَاب عَنْ
أَبِي بَكْرٍ وَعُمَرَ وَعُثْمَانَ وَالزُّبَيْرِ وَسَعِيدِ بْنِ زَيْدٍ وَعَبْدِ
اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو وَأَنَسٍ وَجَابِرٍ وَابْنِ عَبَّاسٍ وَأَبِي سَعِيدٍ
وَعَمْرِو بْنِ عَبَسَةَ وَعُقْبَةَ بْنِ عَامِرٍ وَمُعَاوِيَةَ وَبُرَيْدَةَ
وَأَبِي مُوسَى وَأَبِي أُمَامَةَ وَعَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ وَالْمُقَنَّعِ
وَأَوْسٍ الثَّقَفِيِّ قَالَ أَبُو عِيسَى حَدِيثُ عَلِيٍّ حَدِيثٌ حَسَنٌ صَحِيحٌ
قَالَ عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ مَهْدِيٍّ مَنْصُورُ بْنُ الْمُعْتَمِرِ أَثْبَتُ
أَهْلِ الْكُوفَةِ و قَالَ وَكِيعٌ لَمْ يَكْذِبْ رِبْعِيُّ بْنُ حِرَاشٍ فِي
الْإِسْلَامِ كَذْبَةً. (رواه التّرمذى)[10]
Artinya :
Telah menceritakan kepada
kami Muhammad bin Basysyar telah menceritakan kepada kami Abdurrahman bin Mahdi
telah menceritakan kepada kami Sufyan dari Habib bin Abi Tsabit dari Maimun bin
Abi Syabib dari al Mughirah bin Syu'bah dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam,
beliau bersabda: "Barangsiapa meriwayatkan satu hadits dariku, dan dia
melihat bahwa hadits itu dusta, maka dia adalah salah satu dari para pendusta." dan dalam
bab lain dari Ali bin Abi Thalib dan Samurah. Abu Isa berkata; 'Ini adalah
hadits hasan shahih. dan Syu'bah telah meriwayatkan dari Al Hakam dari
Abdurrahman bin Abi Laila dari Samurah dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam.
Hadits ini di riwayatkan oleh al A'masy dan Ibnu Abi Laila dari al Hakam dari
Abdurrahman bin Abu Laila dari Ali dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam. Dan seakan-akan hadits Abdurrahman bin Abi Laila
dari Samurah menurut ahlul hadits lebih absah. Abu Isa berkata; aku bertanya
kepada Abu Muhammad Abdullah bin Abdurrahman tentang hadits Nabi shallallahu
'alaihi wasallam; "Barangsiapa meriwayatkan satu hadits dariku, dan dia
melihat bahwa hadits itu dusta,
maka dia adalah salah satu dari para pendusta."
Aku berkata kepadanya; 'jika seserang meriwayatkan satu hadits sedang dia
mengetahui bahwa isnadnya salah, maka apakah di khawatirkan dia termasuk
kategori hadits Nabi ini, atau jika orang-orang meriwayatkan satu hadits
mursal, kemudian sebagian mereka menyambungkannya atau membalik isnadnya,
apakah dia termasuk kategori hadits ini? ' dia menjawab; 'tidak, hanyasanya
makna hadits ini adalah jika seseorang meriwayatkan satu hadits, dan dia tidak
mengetahui sama sekali kedudukan hadits tersebut dari Nabi shallallahu 'alaihi
wasallam, kemudian dia meriwayatkannya, maka aku khawatir dia termasuk kategori
hadits ini. (HR. Tirmidzi)
Imam
Al-Qurtuby, mengatakan bahwasanya hadits Ibnu Abbas tersebut memiliki dua
penafsiran:
a.
Barang siapa
yang berpendapat dalam persoalan Al-Qur’an yang pelik dengan tidak berdasarkan
pengetahuan dari mazhab sahabat atau tabi’in berarti menentang Allah
b.
Barang siapa
yang mengatakan tentang Al-Qur’an suatu pendapat, sedang ia mengetahui bahwa
yang benar adalah pendapat yang lain, maka ia hanya bersedia menempatkan diri
di neraka.[11]
Hadits tersebut di atas
memberikan penegasan bahwa di dalam menafsirkan Al-Qur’an haruslah memenuhi
kriteria atau ketentuan yang telah ditetapkan oleh ulama sehingga akal pada
jenis penafsiran ini tidak menjadi acuan utama atau lebih mengutamakan akalnya
dalam menafsirkan Al-Qur’an tanpa mengikuti kaidah-kaidah yang digunakan dalam
menafsirkan Al-Qur’an.
3. Tafsir Ijmali
Secara lughawi, kata al-ijmali berarti ringkasan, ikhtisar,
global, dan penjumlahan. Jadi, tafsir
al-ijmali ialah penafsiran Al-Quran dengan cara mengemukakan isi dan
kandungan Al-Quran melalui pembahasan yang panjang dan luas, tidak secara
rinci.[12]
Di dalam sistematik uraiannya, penafsiran akan membahas ayat demi ayat sesuai
dengan susunan yang ada di dalam mushhaf, kemudian mengemukakan makna global
yang dimaksud oleh ayat tersebut. Makna yang diungkapkan biasanya diletakkan di
dalam rangkaian ayat-ayat atau menurut pola-pola yang diakui oleh jumhur ulama,
dan mudah dipahami oleh semua orang.
Penafsiran metode ini mengikuti cara dan susunan Al-quran yang membuat
masing-masing makna saling berkaitan dengan lainnya.[13]
Di samping itu, penyajiannya tidak terlalu jauh dari gaya bahasa Al-Quran
sehingga pendengar dan pembacanya seakan-akan masih tetap mendengar Al-quran
padahal yang didengarnya itu adalah
tafsirnya. Kitab Tafsir Al-Quran al-Karim
karangan Muhammad farid Wajdi, Al-Tafsir
al-Wasith terbitan Majma’ al-Buhuts al-Islamiyyah, dan Tafsir al-Jalalain serta Taj al-Tafasir karangan Muhammad Utsman
al-Mirghaani, masuk dalam kelompok ini.[14]
Dapat disimpulkan bahwa tafsir ijmali merupakan salah satu metode tafsir
yang dilakukan dengan cara sistematik antara ayat demi ayat yang kemudian dikemukakan
penfsirannya secara global.
B. Perkembangan Tafsir
bi al-Ma’tsur, Tafsir bi al-Ra’yi, dan Tafsir Ijmali
1.
Perkembangan Tafsir bi al-Ma’tsur
Tafsir ini merupakan salah satu jenis penafsiran yang muncul
pertama kali dalam sejarah khazanah intelaktual Islam.Sedikit sekali terjadi
perbedaan pendapat dalam produk-produk penafsirannya. Sebagian besar perbedaan
yang ditemukan adalah pada aspek pemahaman redaksional terhadap ayat-ayat
al-Qur’an.Ini disebabkan relativitas kualitas intelektual shahabat dalam
memahami ayat-ayat al-Qur’an tersebut sehingga wajar ditemukan perbedaan.[15]
Sebagai sebuah contoh dalam Mabahits
fi Ulum al-Qur’an, seorang Mufassir pada masa itu mengungkapkan
maksud sebuah kata dengan redaksi yang berbeda dengan redaksi Mufassir yang
lain dan masing-masing redaksi itu menunjuk makna yang juga berbeda namun
maksud semuanya adalah sama. Seperti
penafsiran terhadap kata shirat al-mustaqim, sebagian
menafsirkannya sebagai al-Qur’an dan sebagian yang lain menafsirkannya dengan
Islam. Kedua tafsiran ini berbeda namun senada karena Islam didasari oleh
al-Qur’an hanya saja masing-masing penafsiran itu menggunakan sifat yang tidak
digunakan oleh yang lain.
Tafsir bi al-Ma’tsurberkembang
dalam dua periode.Periode Periwayatan dan periode Kodifikasi.[16]Pada
periode periwayatan Rasulullah SAW langsung menjelaskan kepada para Sahabatnya
tentang segala permasalahan yang mereka temukan dalam makna ayat-ayat AL-Qur'an.Tafsir
pada periode ini para Sahabat masih memakai cara periwayatan di antara mereka
dan masa setelah mereka dari kalangan Tabi'in.
Kemudian pada periode Kodifikasi.Tafsir yang pertama kali
mengalami kodifikasi dan perkrmbangan adalah Tafsir bil Ma'tsur. Para
Ulama Hadits adalah orang-orang yang pertama intens dalam hal ini. Tafsir pada periode ini tidak sistematis dan tidak dikodifikasi khusus. Tetapi,
ditulis bersamaan dengan berbagai macam Hadits yang dikumpulkan dari
riwayat para sahabat dan Tabi'in. Kemudian setelah itu barulah Tafsir
terpisah dari Hadits dan dikodifikasi khusus yang terdapat pertama kali
pada riwayat 'Ali bin Abi Thalhah dari Ibnu 'Abbas.[17]Terdapat
Juz atau bagian-bagian yang dikodifikasi khusus. Misalnya; Al Juz-ul Mansûb li Abi
Rauq dan tiga Juz yang diriwayatkan oleh Muhammad bin Tsaur dari Ibnu Juraij
Secara garis besar, penafsiran pada masa ini kukuh
beracuan pada aspek riwayat-riwayat yang menjelaskan ayat-ayat al-Qur’an karena
dianggap sebagai jalan pengetahuan yang benar dan paling aman untuk tetap
terjaga dari ketergelinciran dan kesesatan dalam memahami al-Qur’an.Namun bukan
berarti tidak terjadi ijtihad karena hal ini dapat dilihat dari
sumber-sumber kajian tafsir yang digunakan selain al-Qur’an dan Sunnah juga
menggunakan Ijtihad shahabat dalam beberapa hal yang mutlak memerlukan
ijtihad. Dalam bahasa Quraish Shihab disebut sebagai keterpaksaan melakukan
ijtihad karena Nabi telah wafat.
Bahkan ditemukan juga riwayat Ahl Kitab Yahudi dan
Nashrani[18] yang telah masuk Islam[19] dan hal inilah yang ditengarai sebagai awal
kemunculan Isra’iliyyat.
Berikut ini, akan saya sebutkan karya-karya dari Tafsir
bil Ma’tsur.
1.
Tafsir Ibn
Abbas
2.
Tafsir Ibn
‘Uyainah
3.
Tafsir Ibn Abi
Hatim
4.
Tafsir Abu
Syaikh bin Hibban
5.
Tafsir Ibn
‘Atiyyah
6.
Tafsir Abu
Laits as-Samarqandi
7.
Tafsir Abu
Ishaq, al-Kasyfu wa al-Bayan ‘an Tafsir al-Qur’an
8.
Tafsir Ibn
Jarir at-Thabari, Jami’ul Bayan fi Tafsir al-Qur’an
9.
Tafsir Ibn Abi
Syaibah
10.
Tafsir
al-Baghawi, Ma’alimu at-Tanzil
11.
Tafsir Abil Fida’ al-Hafidz Ibn Katsir, Tafsir
al-Qur’an al-’Adzim
12.
Tafsir as-Sa’labi, al-Jawahir al-Hisan fi
Tafsir al-Qur’an
13.
Tafsir
Jalaluddin as-Suyuthi, ad-Duru al-Mansur fi Tafsiri bi al-Ma’tsur
2.
Perkembangan Tafsir bi al-Ra’yi
Pertama kali tafsir Al-Qur’an disampaikan secara syafāhiy (wicara, dari
mulut ke mulut). Kemudian setelah dimulai pembukuan kitab-kitab kumpulan hadis,
maka tafsir Al-Qur’an dibukukan bersama-sama dengan hadis, dan merupakan satu
dari beberapa bab yang terkandung dalam kitab hadis. Pada masa itu belum ada
penafsiran ayat per ayat, surat per surat, dari permulaan mushaf sampai dengan
akhir, dan belum ada penafsiran per judul pembahasan.
Pada
akhir pemerintahan Bani Umayyah dan awal pemerintahan Bani Abbasiyah, di
tengah-tengah masa pentadwinan cabang-cabang ilmu pengetahuan, tafsir Al-Qur’an
mulai memisahkan diri dari hadis, hidup mandiri secara utuh dan lengkap. Dalam artian, tiap-tiap ayat mendapat penafsiran, secara tertib menurut
urutan mushhaf. Penafsiran Al-Qur’an pada masa-masa pertama memakai cara naqli,
yaitu yang terkenal dengan istilah al-manhaj al-tafsīr bi al-ma’tsūr. Setelah
itu para ahli ilmu menafsirkan Al-Qur’an menurut keahlian mereka masing-masing.
Setelah
lahirnya sekte-sekte aqidah didukung dengan semakin berkembangnya ilmu-ilmu
kebahasaan dibuktikan dengan dijadikan ilmu tersebut sebagai disiplin ilmu
tersendiri, bermuncullah penta’wilan terhadap ayat-ayat mutasyabihat, untuk
menopang paham mereka masing-masing, meskipun sebenarnya bibit-bibit ta’wil
Al-Qur’an sudah dimulai oleh beberapa sahabat, seperti ‘Ali bin Abi Ṭālib,
‘Abdullāh bin Mas’ūd, dan ‘Abdullāh bin ‘Abbās ra. Kemudian setelah itu,
melalui Mu’tazilah, terjadilah perluasan tafsir bi al-ra’yi, sehingga
tidak terjadi pertentangan antara nash Al-Qur’an dan akal pikiran, seperti
kitab tafsir al-Kashshaf oleh al-Zamakhshāriy.[20]
Di
antara mereka ada yang menulis tafsirnya dengan ungkapan yang indah dan
menyusupkan madzhabnya ke dalam untaian kalimat yang dapat memperdaya banyak
orang sebagaimana dilakukan penulis Tafsir al-Kassyaf dalam menyisipkan paham ke-mu’tazila-annya.[21]
Dalam
perkembangannya, tafsir bi al-ra’yi dipengaruhi oleh latar belakang aqidah
mufassir dalam melakukan penafsiran terhadap Al-Qur’an. Lahirnya metode
penafsiran bi al-ra’yi sangat erat kaitannya dengan perkembangan aliran aqidah
di dalam Islam sehingga para mufassir yang melakukan penafsiran al-Qur’an
dengan menggunakan metode penafsiran ini bercorak aqidah dari mufassir atau
diwarnai dengan keyakinan aqidah mufassirnya.
3.
Perkembangan Tafsir Ijmali
Lahirnya metode-metode tafsir lebih banyak dilatar belakangi
oleh tuntutan perkembangan masyarakat yang selalu dinamis. Pada masa Nabi dan
para sahabat pada umumnya mereka adalah ahli bahasa Arab dan mengetahui secara
baik latar belakang turunnya ayat serta mengalami secara langsung situasi dan
kondisi umat ketika ayat-ayat al-Qur’an turun. Berdasarkan kenyataan tersebut,
maka untuk memahami suatu ayat, mereka tidak membutuhkan uraian secara rinci,
tetapi cukup dengan isyarat dan penjelasan global (ijmali).[22]
Ketika
Al-Quran diturunkan kepada Rasulullah Muhammad Saw, fungsi beliau adalah
sebagai mubayyin ( pemberi penjelasan ) kepada
sahabat-sahabat nabi tentang arti dan maksud dari kandungan al-Quran yang
diwahyukan itu, terutama dalam kaitannya dengan ayat-ayat yang tergolong tidak
dipahami ataupun samar artinya. Keadaan ini berlangsung
sampai dengan wafatnya Rasul Saw. Posisi Rasulullah Saw dalam kaitannya
dengan penafsiran Al-Quran ini dikatakan sebagai al-mufassir al-awwal (
mufassir pertama ).
Setelah wafatnya Rasul Saw, para sahabat tidak mendapatkan lagi tempat
bertanya yang selevel beliau. Akhirnya para sahabat melakukan ijtihad dalam
memahami Al-Quran, khususnya mereka yang tergolong memiliki kemampuan semacam
Ali bin Abi Thalib, Ibnu Abbas, ‘Ubay bin Ka’ab dan Ibnu Mas’ud. Selain
itu mereka juga tidak segan-segan untuk menanyakan suatu permasalahan sejarah,
terutama sejarah nabi-nabi atau kisah-kisah yang tercantum dalam Al-Quran
kepada tokoh-tokoh Ahlul kitab yang telah memeluk Islam, seperti Abdullah bin
Salam, Ka’ab al-Ahbar, dan lain-lain.
Perkembangan
tafsir selanjutnya ditandai dengan tokoh-tokoh tafsir di atas yang memiliki
murid dari kalangan tabi’in, khususnya di kota-kota tempat mereka tinggal.
Sehingga lahirlah tokoh-tokoh tafsir baru dari para tabiin tersebut,
diantaranya : Sa’id bin Jubair, Mujahid bin Jabr, di Makkah, yang ketika itu
berguru kepada Ibnu Abbas, Muhammad bin Ka’ab, Zaid bin Aslam, di Madinah, yang
berguru kepada Ubay bin Ka’ab dan Al-Hasan Al-Bashri, Amir Al-Sya’bi, di Irak,
yang ketika itu berguru kepada Abdullah bin Mas’ud.
Ketiga golongan di ataslah yang pada hakikatnya dapat disebut
kelompok Tafsir bil Ma’tsur. Periode ini merupakan
perkembangan awal penafsiran terhadap Al-Quran sampai sekitar tahun 150
H. Perkembangan tafsir selanjutnya berada di tangan generasi berikutnya,
yaitutabi’ al-tabi’in dengan tokoh-tokohnya antara lain
Sufyan bin Uyainah, Waki’ al-Jarrah, Syu’bah al-Hajjaj, Zaid bin Harun dan Abd
bin Humaid. Penulis tafsir yang terkenal
pada periode ini adalah al-Waqidi ( w.207 H ), sesudah itu Ibnu Jarir
ath-Thabary ( w. 310 H ). Para penafsir yang datang kemudian banyak mengutip
dan mengambil bahan dari tafsir ath-Thabary tersebut yang berjudul : Jami’al-Bayan.
Bersamaan
dengan masa tabi’in dan tabi’ al-tab’in, ekspansi Islam ke berbagai wilayah
jazirah arab maupun luar arab semakin berkembang dan meluas mencapai
daerah-daerah yang masyarakatnya heterogen dan memiliki dasar-dasar kebudayaan
kuno, seperti Persia, Messopotamia, India, Syiria, Turki, Mesir, dan
Afrika Selatan, sehingga berkembanglah ilmu pengetahuan yang dipelajari oleh
kaum muslimin, seperti ilmu logika, filsafat, ilmu eksakta, ilmu hukum, ilmu
ketabiban. Ilmu-ilmu yang disebut
terakhir ini berpengaruh terhadap perkembangan tafsir Al-Quran. Dalam
menafsirkan Al-Quran, para ahli tafsir tidak lagi merasa cukup dengan
hanya mengutip atau tepatnya menghafal riwayat dari generasi sahabat, tabi’in
dan tabi’ al-tabi’in seperti yang diwarisinya selama ini, akan tetapi telah
mulai berorientasi pada penafsiran Al-Quran yang didasarkan pada pendekatan
ilmu-ilmu bahasa pada khususnya dan penalaran-penalatan ilmiah yang lain pada
umumnya. Maka pada saat ini berkembanglah apa yang disebut dengan tafsir bil
ra’yi atau tafsir bi al-dirayah. Penulis tafsir jenis ini antara lain :
a.
Al-Zamakhsyari, dengan karyanya Tafsir al-Kasysyaf
b.
al-Qurthubi dengan tafsirnya al-Jami’ li Ahkam al-Quran
c.
Imam Ar-Razi dengan karyanya Mafatih al-Ghaib
d.
Abu Hayyan Muhammad bin Yusuf al-Andalusi karyanya al-Bahr al-Muhith
e.
Ibn
al-‘Arabi dengan tafsirnya Ahkam al-Quran, dll.
Berdasarkan
uraian di atas, periodesasi sejarah perkembangan tafsir pada umumnya dibagi
menjadi 3 peiode, yaitu : Pertama, periode mutaqaddimin ( abad 1 H –abad
4 H ) ; kedua, periode muta’akhirin ( abad 4 H – 12 H ) ; ketiga, peride baru (
abad 13 H/19 M – sekarang ).[23]
Jika dicermati bentuk-bentuk penafsiran terhadap Al-Quran
sejak masa Rasul Saw, sahabat dan tabi’in sebagaimana yang digolongkan oleh M.
Quraish Shihab sebagai tafsir bi al-ma’tsur, boleh dikatakan
sebagai dasar-dasar bagi tafsir Al-Quran yang menerapkan metode Ijmali.
Tafsir bi al-Ma’tsur adalah
jenis tafsir Al-Quran dengan Al-Quran, penafsiran Al-Quran dengan As-Sunnah
atau penafsiran Al-Quran menurut Atsar yang timbul dari kalangan sahabat.
C. Kelemahan Tafsir
bi al-Ma’tsur, Tafsir bi al-Ra’yi, dan Tafsir Ijmali
1. Tafsir bi
al-Ma’tsur
Sebagaimana telah kita ketahui bahwa Tafsir bi
al-Ma’tsur mencakup tafsir Al-Qur'an dengan Al-Qur'an, Al-Qur'an
dengan Sunnah dan Al-Qur'an dengan riwayat para Sahabat atau Tabi'in.Sedangkan
Tafsir Al-Qur'an dengan Al-Qur'an dan Al-Qur'an dengan
Hadits shahih tentu tidak ada pertentangan dalam kebenaran dan keabsahannya,
karena tidak ada keraguan di dalamnya. Sedangkan yang disandarkan ke Rasulullah
SAW dan ternyata itu lemah pada sanad atau matannya maka tentu itu tertolak dan
tidak bisa diterima.selama penisbahannya kepada Rasulullah SAW tidak benar.
Penafsiran Al-Qur'an dengan riwayat dari Sahabat
atau Tabi'in kemungkinan akan ada sisi lemahnya. Karena tidak ada ke-tsiqhah-an
pada riwayatnya. Sedangkan sebab-sebab lemahnya riwayat Tafsir bi al-Ma’tsur
ada tiga [24] :
a)
Banyaknya Produk dalam Penafsiran,
Perkembangan dalam pembuatan tafsir sama halnya dengan yang terjadi
dengan Hadits. Karena keduanya satu komposisi dan tidak bisa
terpisahkan.Sebagaimana dalam Hadits terdapat Shahih, Hasan
dan Dha'if. Dalam riwayat ada yang Tsiqah dan Syak begitu
juga dengan Tafsir, akan kita dapatkan hal yang sama. Banyak yang
melatar belakangi
pembuatan dalam Tafsir, di antaranya ; Fanatik terhadap golongan.
Sebagai contoh terdapat golongan yang saling fanatik terhadap golongannya.
Sebut saja Syi'ah yang mengagung-agungkan 'Ali bin Abi Thalib ra.
Sedangkan dari pihak rival ada Khawarij yang menjahui Syi'ah dan
mendeklarasikan diri sebagai musuh bagi Syi'ah.Sedangkan ditengah-tengah
antara kedua kubu Syi'ah dan Khawarij adalah mayoritas kaum
muslimin yang tidak mengatas namakan
salah satu dari kedua belah pihak.
Setiap golongan dari golongan-golongan ini tentunya
berusaha dengan segenap kemampuan untuk memenangakan golongan yang mereka
anggap benar dengan memakai ayat-ayat dalam Al-Qur'an dan Sunnah
yang kemudian dinisbahkannya kepada Rasulullah SAW. Maka beranjak dari sini,
banyak dari kalangan ulama dari setiap golongan memakai bahkan membuat Hadits
ataupun dalam menginterpretasi ayat-ayat Al-Qur'an dalam rangka kepentingan
golongan dan kelompok.
Namun disisi lain, jika kita lihat pada sisi
subjektifitas dari Tafsir ini dengan tidak melihat dari sisi sanadnya,
maka akan kita temukan nilai ilmiah dari Tafsir ini. Karena tidak semua
dan tidak selamanya yang ditafsirkan itu jauh menyimpang dari ayat yang
dimaksud.Tetapi kadang memang itu hasil dari ijtihadnya.
b)
Israiliat
Secara zhahir lafadz Israiliat menunjukkan corak kaum Yahudi dan kebudayaan mereka yang mempunyai
pengaruh didalam Tafsir. Namun, yang dimaksud disini lebih umum.Yaitu corak dari kaum Yahudi dan
juga Nasrani dalam Tafsir Al-Qur'an serta pengaruh kebudayaan mereka terhadap Tafsir.
Penamaan lafazd Israiliat karena Yahudi mempunyai
peran mayoritas dalam kontaminasi terhadap Tafsir Al-Qur'an dibandingkan
Nasrani. Banyak yang menuqil dari Yahudi karena keturunan mereka yang banyak
dan begitu dekatnya mereka dalam bersosialisasi kepada kaum Muslimin dari awal
mula munculnya Islam sampai agama yang hanif ini tersebar diseluruh penjuru
dunia dan umat manusia masuk Islam secara berbondong-bondong.
Yahudi dan Nasrani mempunyai kebudayaan agama yang mempunyai peran
dan pengaruh besar terhadap tafsir Al-Qur'an. Kebudayaan Yahudi bersandarkan
kepada kitab Taurat sebagaimana yang disinyalir Al-Qur'an Surah Al-Maidah
Ayat 44 yang artinya: " Sesungguhnya kami telah menurunkan Kitab
Taurat di dalamnya (ada)
petunjuk dan cahaya (yang menerangi), yang dengan Kitab itu diputuskan perkara
orang-orang Yahudi oleh Nabi-Nabi yang menyerah diri kepada Allah, oleh
orang-orang alim mereka dan pendeta-pendeta mereka, disebabkan mereka
diperintahkan memelihara kitab-kitab Allah dan mereka menjadi saksi
terhadapnya".
Pengaruh Israiliat dalam tafsir Israiliat dari Ahli Kitab
yang banyak diadopsi oleh ahli tafsir dalam menjelaskan Al-Qur'an tentunya
mempunyai pengaruh yang negatif dalam tafsir.Karena ini bukan hanya terjadi
pada masa Sahabat.Tetapi, terus berlangsung dari masa kemasa pengambilan
Israiliat didalam tafsir dengan tanpa melihat lagi kebenaran sumber tersebut. Bahkan
sudah banyak ditemukan kisah-kisah bohong dan dimasukkan kedalam tafsir
Al-Qur'an. Kabar Israiliat dibagi menjadi tiga bagian:
1)
Kabar atau berita yang diketahui kebenarannya bahwa itu dinuqilkan
dari Rasulullah SAW. Contoh : penamaan nama patner Nabi Musa as yaitu Khidir.
Karena nama ini dengan jelas disebutkan langsung oleh Rasulullah SAW.
sebagaimana yang diriwayatkan Al-Bukhari. Maka berita ini benar dan diterima.
2)
Kabar atau berita yang diketahui kebohongannya. Karena bertentangan
dengan Syari'at Islam atau tidak sesuai dengan akal manusiawi. Maka berita ini
tidak boleh diterima dan diriwayatkan.
3)
Kabar atau berita yang didiamkan. Tidak bisa dipastikan antara
kebenaran atau kebohongan berita tersebut. Tidak boleh mempercayai dan juga
tidak boleh mendustainya. Sebagaimana Hadits Rasulullah SAW:
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ بَشَّارٍ حَدَّثَنَا عُثْمَانُ بْنُ عُمَرَ
أَخْبَرَنَا عَلِيُّ بْنُ الْمُبَارَكِ عَنْ يَحْيَى بْنِ أَبِي كَثِيرٍ عَنْ
أَبِي سَلَمَةَ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ كَانَ أَهْلُ
الْكِتَابِ يَقْرَءُونَ التَّوْرَاةَ بِالْعِبْرَانِيَّةِ وَيُفَسِّرُونَهَا
بِالْعَرَبِيَّةِ لِأَهْلِ الْإِسْلَامِ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا تُصَدِّقُوا أَهْلَ الْكِتَابِ وَلَا تُكَذِّبُوهُمْ
وَقُولُوا { آمَنَّا بِاللَّهِ وَمَا أُنْزِلَ إِلَيْنَا } الْآيَةَ[25]
Artinya :
Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Basysyar Telah menceritakan
kepada kami 'Utsman bin 'Umar Telah mengabarkan kepada kami 'Ali Al Mubarak
dari Yahya bin Abu Katsir dari Abu Salamah dari Abu Hurairah radliallahu 'anhu
berkata; "Orang-orang ahlu kitab membaca Taurat dengan bahasa Ibrani dan
menjelaskannya kepada orang-orang Islam dengan bahasa arab. Melihat hal itu
Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: Janganlah kalian mempercayai
ahlu kitab dan jangan pula mendustakannya. Tetapi ucapkanlah; "Kami
beriman kepada Allah dan kepada apa yang telah diturunkan kepada kami. (Al
Baqarah; 136).' (HR. Bukhari)
Seorang Ahli Tafsir harus mempunyai kesadaran yang tinggi
terhadap apa yang ia nuqil. Khususnya yang bersumber dari Ahli Kitab. Harus
kritis dan teliti sehingga pada akhirnya dapat dipastikan bahwa berita tersebut
seirama dengan ruh Al-Qur'an, sesuai dengan akal dan Naql.
Tidak boleh mengambil kabar dari Ahli Kitab jika
seandainya Sunnah Rasulullah telah memberikan penjelasan terhadap permasalahan
tersebut. Pengambilan berita dari Ahli Kitab hanya sekadarnya saja. Artinya
ketika sedikit saja sudah cukup dan bisa menjelaskan yang umum dalam Al-Qur'an,
kenapa harus banyak? Maka penuqilan kabar berita dari Ahli Kitab harus sesuai porsinya
saja.
4)
Terhapusnya Sanad
Terhapusnya sanad adalah salah satu dari tiga sebab
lemahnya Tafsir bil Ma'tsur. Masa sahabat dan Tabi'in, Sanad
sangat menjadi perhatian dan menjadi karakteristik khusus pada masa itu. Mereka tidak akan menerima berita yang sanadnya tidak jelas apalagi
sampai sanadnya dihapus, maka mereka akan menolaknya dengan tegas.
Dengan demikian, maka dapat dipahami bahwa ketika ada kabar yang datang kepada para Sahabat atau Tabi'in, maka
mereka akan mengklarifikasi sanad, meminta dan menelitinya. Jika benar maka
akan diterima. Namun, jika tidak maka akan ditolak dan dihukum lemah.
2. Tafsir bi
al-Ra’yi
Menurut Amin
Suma, dalam bukunya Ulumul Qur’an, tafsir bir-ra’yi memiliki kelebihan dan
kekurangan. Kelebihannya terletak pada kemungkinan mufassir dapat menafsirkan
seluruh komponen ayat Al-Qur’an secara dinamis sesuai dengan perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi.[26]
Sehingga dengan tafsir bir-ra’yi memungkinkan untuk menjelaskan beberapa ayat
yang sebelumnya dipahami secara sempit oleh mufassir, menjadi luas dan dinamis,
seperti halnya kata qalam yang awalnya hanya di artikan sebagai pena,
dapat di artikan sebagai teknologi di zaman modern seperti mesin ketik atau
komputer.
Adapun
kelemahan dari tafsir bir-ra’yi terletak pada kemungkinan penafsiran yang
dipaksakan, subjektif dan pada hal-hal tertentu mungkin sulit dibedakan antara
pendekatan ilmiah yang sesungguhnya dengan kecenderungan subjektivitas
mufassirnya.[27]
Dengan
demikian, maka tafsir bi al-ra’yi dipandang oleh sebagian ulama yang menolaknya
sebagai metode penafsiran yang terkesan dipaksakan, subjektif dalam bentuk
penafsirannya sehingga sulit untuk membedakan antara pendekatan ilmiah sebab
bergantung pada subjektifitas mufassirnya.
3. Tafsir Ijmali
Metode ijmali,
sebagai salah satu metode penafsiran Al-Qur'an memiliki beberapa kelemahan di
antaranya adalah :
1)
Menjadikan petunjuk Al-Qur’an tidak utuh,
disebabkan karena penafsiran yang ringkas
dan pendek membuat pesan Al-Qur’an tersebut tidak utuh dan terpecah-pecah. Padahal Al-Quran mempunyai keistimewaan
dalam hal kecermatan dan cakupannya yang menyeluruh. Setiap kita menemukan ayat
yang bersifat umum yang memerlukan makna lebih lanjut, kita pasti menemukan
pada bagian lain, baik yang bersifat membatasi maupun memperjelas secara
rinci.
2)
Penafsiran dangkal atau tidak mendalam,
sebab metode tafsir ini tidak
menyediakan ruangan untuk memberikan uraian atau pembahasan yang mendalam dan
memuaskan pembacanya berkenaan dengan pemahaman suatu ayat. Ini boleh
disebut suatu kelemahan yang harus disadari para mufassir yang akan menggunakan
metode ijmali ini.
Dengan
kata lain, dapat dipahami bahwa kelemahan tafsir ijmali yang dimaksud adalah kelemahan
yang tidak bersifat negatif, melainkan hanyalah merupakan karakteristik atau
ciri-ciri metode penafsiran ini.
D. Contoh-Contoh Tafsir
bi al-Ma’tsur, Tafsir bi al-Ra’yi, dan Tafsir Ijmali
1.
Tafsir bi al-Ma’tsur (Tafsir Al-Quran dengan Al-Qur’an)
Surah Al-Fatihah ayat 7 :
xÞºuŽÅÀ tûïÏ%©!$# |MôJyè÷Rr& öNÎgø‹n=tã ÎŽöxî ÅUqàÒøóyJø9$# óOÎgø‹n=tæ Ÿwur tûüÏj9!$žÒ9$# ÇÐÈ
Terjemahnya :
(yaitu) jalan orang orangyang telah Engkau beri nikmat kepada
mereka; bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka yang
sesat.[28]
Yang dimaksud dengan mereka yang dimurkai dan mereka yang sesat
ialah semua golongan yang menyimpang dari ajaran Islam.
Ayat ini ditafsirkan dalam,
surah An-Nisa ayat 69 yang berbunyi :
`tBur ÆìÏÜム©!$# tAqß™§9$#ur y7Í´¯»s9'ré'sù yìtB tûïÏ%©!$# zNyè÷Rr& ª!$# NÍköŽn=tã z`ÏiB z`¿ÍhŠÎ;¨Y9$# tûüÉ)ƒÏd‰Å_Á9$#ur Ïä!#y‰pk’¶9$#ur tûüÅsÎ=»¢Á9$#ur 4 z`Ý¡ymur y7Í´¯»s9'ré& $Z)ŠÏùu‘ ÇÏÒÈ
Terjemahnya :
Dan Barangsiapa yang mentaati Allah dan Rasul(Nya), mereka itu akan
bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi nikmat oleh Allah, Yaitu:
Nabi-nabi, Para shiddiiqiin [314], orang-orang yang mati syahid, dan
orang-orang saleh. dan mereka Itulah teman yang sebaik-baiknya.[29]
Yang dimaksud ialah: orang-orang yang Amat
teguh kepercayaannya kepada kebenaran rasul, dan Inilah orang-orang yang
dianugerahi nikmat sebagaimana yang tersebut dalam surat Al Faatihah ayat 7.
2.
Tafsir bi al-Ra’yi
Ayat
Al-Quran yang jika ditafsirkan oleh orang yang bodoh akan menjadi rusak
maksudnya. Sebagaimana diungkapkan di dalam Al-Qur’an sebagai
berikut:
`tBur šc%x. ’Îû ÿ¾ÍnÉ‹»yd 4‘yJôãr& uqßgsù ’Îû ÍotÅzFy$# 4‘yJôãr& ‘@|Êr&ur Wx‹Î6y™ ÇÐËÈ
Terjemahnya :
“Barang siapa yang buta (hatinya)di
dunia ini, niscaya di akhirat (nanti) ia akan
lebih buta (pula) dan lebih tersesat dari jalan yang benar.” (Q.S. Al-Isra : 72)[30]
Ia
menetapkan bahwa setiap orang yang buta adalah celaka dan rugi serta akan masuk
neraka jahanam. Padahal yang dimasud dengan buta di sini bukan mata, tetapi
buta hati berdasarkan alasan firman Allah.
... ( $pk¨XÎ*sù Ÿw ‘yJ÷ès? ã»|Áö/F{$# `Å3»s9ur ‘yJ÷ès? Ü>qè=à)ø9$# ÓÉL©9$# ’Îû Í‘r߉Á9$# ÇÍÏÈ
Terjemahnya :
“… Karena sesungguhnya bukanlah
mata itu yang buta, tetapi yang buta ialah hati dalam dada.” (Q.S. Al- Hajj : 46)[31]
3.
Tafsir Ijmali
Contoh
dalam penafsiran Ijmali ini dapat kita lihat pada tafsir al Jalalain,
yang hanya membutuhkan beberapa baris saja saat menafsirkan lima ayat pertama
di dalam surat al Baqarah. Al Jalalain saat menafsirkan Firman Allah QS
al-Baqarah 1 memaparkan “الم” misalnya dia berkata
Allah Yang Maha Tahu maksudnya.
Demikian
pula halnya saat menafsirkan Firman Allah “الكتاب”
hanya menyatakan yang dibaca oleh Muhammad SAW. “لا
ريب فيه” berfungsi sebagai predikat dan subjeknya adalah “ذالك”. “هدى” berfurngsi sebagai predikta kedua bagi “ذالك” yang mengandung arti memberi petunjuk
bagi orang yang bertaqwa.
Berbeda
halnya dengan imam Qurthubiy dalam tafsirnya al Jami’ Liahkamil Qur’an,
yang membutuhkan tiga halaman dalam menjelaskan atau menafsirkan Firman Allah
QS Al Baqarah 1. Imam memulai penafsiran ayat ini dengan mengemukakan
pentakwilan huruf-huruf muqattha’ah di dalam Al-Qur’an.
Kemudian
imam membahas kata dzalika dan kata kitab. Dalam masalah ini imam
memaparkan penafsirkan dzalika dengaan isyarat kepada Alquran, yang
dilakukan oleh Abu Ubaidah dan Akramah.
Megenai
kata Kitab, terdapat beberapa pendapat dalam penafsirannya, diantaranya Dzalika
kitab yakni kitab yang telah Aku tulis atas makhluk-makhluk, dengan
berbagai bentuk kesedihan, kegembiraan, ajal rezeki yang tidak ada keraguan di
dalamnya. Ada juga yang berpendapat dzalikal kitabu adalah suatu isyarat
kepada Lauhul Mahfuz. Yang lainnya berpendapat dzalikal kitabu
adalah Kitab yang dijanjikan Allah kepada Nabi-Nya yang tidak akan terhapus
oleh air. Juga ada yang berpendapat maksudnya adalah isyarat kepada apa yang
termaktub di dalam Taurat dan Injil, serta juga ada yang berpendapat kata
tersebut maksudnya adalah suatu isyarat akan apa yang telah diturunkan Allah di
Makkah atau yang lazim disebut surat-surat Makkiy. Serta beragam pendapat
lainnya yang tidak dapat ditulis penulis kesemuanya.
Dalam
penafsirkan “فيه هدي للمتقين” juga terdapat
beberapa permasalahan, dan pada makalah ini penulis akan memaparkan sebagian
dari kesemuanya. Pertama, hudaa adalah petunjuk yang didapat oleh para Rasul
beserta para pengikut mereka. Kedua, ada yang menafsirkan hudaa disini adalah
salah satu nama sungai, karena sungai merupakan suatu tempat yang sangat
dibutuhkan manusia dalam kehidupan sehari-harinya, sebagaimana juga
hidayah/petunjuk sangat dibutuhkan manusia untuk menemukan kebahagian hidup.
Kemudian
imam memaparkan makna taqwa menurut beberapa ulama, diantaranya ada yang menafsirkan
taqwa adalah kebaikan, juga ada yang menafsirkan taqwa disini dengan sedikit
cakap. Karena kata taqwa asalnya adalah sedikit cakap. Serta berbagai
permasalahan lainnya yang diutarakan imam Qurthubiy dalam menafsirkan ayat
pertama surat al Baqarah ini.[32]
Dari
pemaparan contoh dari kedua bentuk penafsiran ini, dapat dilihat perbedaan
mendasar dalam penafsiran ayat Alquran dengan menggunakan metode ijmali dengan
perbedaannya dengan metode tafsir tahlili. Tafsir ijmali menggunakan metode
yang ringkas dengan bahasa yang populer, mudah dimengerti, yang polanya adalah
meletakkan tafsir di dalam rangkaian ayat-ayat seperti penjelasan kata yang
kemudian disimpulkan dengan penjelasan yang umum.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan pada makalah ini, maka dapat
disimpulkan sebagai berikut:
1.
Berdasarkan definisinya, maka dapat dipahami bahwa :
a.
Tafsir bi al-Ma’tsur adalah tafsir Al-Qur'an dengan Al-Qur'an yang
menjelaskan ayat satu kepada ayat yang lainnya. Al-Qur'an dengan Sunnah
Rasulullah SAW dan Al-Qur'an dengan perkataan Sahabat dan Tabi'in.
b.
Tafsir bi
al-ra’yi adalah suatu metode tafsir dengan menggunakan kekuatan akal
pikiran yang sudah memenuhi syarat dan memiliki pengakuan dari para ulama untuk
menjadi seorang mufassir, namun penafsirannya harus tetap sejalan dengan hukum
syari’ah tanpa ada pertentangan.
c.
Tafsir ijmali
merupakan salah satu metode tafsir yang dilakukan dengan cara sistematik antara
ayat demi ayat yang kemudian dikemukakan penfsirannya secara global.
2.
Adapun sejarah perkembangan metode-metode tafsir tersebut
adalah :
a. Tafsir bi
al-Ma’tsur berkembang dalam dua periode.Periode Periwayatan dan periode
Kodifikasi.Pada periode periwayatan Rasulullah SAW langsung menjelaskan kepada
para Sahabatnya tentang segala permasalahan yang mereka temukan dalam makna
ayat-ayat Al-Qur'an.Tafsir pada periode ini para Sahabat masih
memakai cara periwayatan di antara mereka dan masa setelah mereka dari kalangan
Tabi'in. Kemudian pada periode Kodifikasi. Tafsir yang pertama
kali mengalami kodifikasi adalah Tafsir bi al-Ma’tsur dan mengalami
perkembangan.Para Ulama Hadits adalah orang-orang yang pertama intens
dalam hal ini.
b. Dalam perkembangannya, tafsir bi al-ra’yi
dipengaruhi oleh latar belakang aqidah mufassir dalam melakukan penafsiran
terhadap Al-Qur’an. Lahirnya metode penafsiran bi al-ra’yi sangat erat kaitannya
dengan perkembangan aliran aqidah di dalam Islam sehingga para mufassir yang
melakukan penafsiran al-Qur’an dengan menggunakan metode penafsiran ini
bercorak aqidah dari mufassir atau diwarnai dengan keyakinan aqidah
mufassirnya.
c. Lahirnya
metode-metode tafsir lebih banyak dilatar belakangi
oleh tuntutan perkembangan masyarakat yang selalu dinamis. Pada masa Nabi dan
para sahabat pada umumnya mereka adalah ahli bahasa Arab dan mengetahui secara
baik latar belakang turunnya ayat serta mengalami secara langsung situasi dan
kondisi umat ketika ayat-ayat al-Qur’an turun. Berdasarkan kenyataan tersebut,
maka untuk memahami suatu ayat, mereka tidak membutuhkan uraian secara rinci,
tetapi cukup dengan isyarat dan penjelasan global (ijmali).
3.
Adapun kelemahan metode-metode tafsir tersebut adalah :
a. Tafsir bi al-Ma’tsur
§ Banyaknya
Produk dalam Penafsiran,
§ Kontaminasi Israiliat
§ Terhapusnya sanad
b. Tafsir bi al-Ra’yi
§ Penafsiran yang dipaksakan
§ Subjektif
§ Sulit dibedakan antara pendekatan ilmiah yang sesungguhnya dengan
kecenderungan subjektivitas mufassirnya.
c. Tafsir Ijmali
§ Menjadikan petunjuk Al-Qur’an tidak utuh
§ Penafsiran dangkal atau tidak mendalam
4.
Adapun contoh-contoh metode tafsir tersebut adalah:
a. Tafsir bi al-Ma’tsur
§ Qs. Al-Fatihah ayat 7 ditafsirkan oleh Qs. An-Nisa
ayat 69
b. Tafsir bi al-Ra’yi
§ Qs. Al-Isra ayat 72 ditafsirkan oleh Qs.
Al-Hajj ayat 46 yang kemudian diberikan penjelasan secara logika
c. Tafsir Ijmali
§ Contoh dalam penafsiran Ijmali ini dapat
kita lihat pada tafsir al Jalalain, yang hanya membutuhkan beberapa
baris saja saat menafsirkan lima ayat pertama di dalam surat al Baqarah. Al
Jalalain saat menafsirkan Firman Allah QS al-Baqarah 1 memaparkan “الم” misalnya dia berkata Allah Yang Maha Tahu
maksudnya.
B.
Saran
Di dalam penulisan makalah ini, penulis sangat menyadari bahwa
terdapat banyak kekurangan yang sempat terselip pada setiap lembaran di dalamnya. Untuk
itu, penulis berharap agar para pembaca secara terbuka dapat memberikan masukan
dan kritikan serta-merta sebagai perbaikan dan penyempurnaan makalah ini
kedepannya.
DAFTAR
PUSTAKA
Abu Zaid, Nasr Hamid. 2005. Tekstualitas Alquran, Terj.
Khoirun Nahdiyyin. Yogyakarta: PT. LKiS Pelangi Aksara
Adz-Dzahabi, Muhammad Husain. Tth. Al-Tafsir Wa
Al-Mufassirun. Jilid I.
Anwar, Rosihan. 2008. ‘Ulūm al-Qur’ān. Bandung:
Pustaka Setia.
Ash-Shaabuniy, Muhammad Ali. 1998. Study Ilmu
Al-Qur’an. Terj. Aminuddin. Bandung: Pustaka Setia.
Al-Qattan, Manna’
Khalil. 2001. Studi Ilmu-ilmu Qur’an. Terj.
Mudzakir AS, Cet VI; Bogor: Pustaka Litera Antar Nusa.
Ash-Shiddieqy,
Hasby. 1974. Sejarah pengantar Ilmu Al-Quran / Tafsir. Jakarta: Bulan
Bintang.
___________________. 1972. Ilmu-Ilmu al-Qur’an. Jakarta: Bulan
Bintang.
Baidan, Nashruddin. 2002. Metode Penafsiran
al-Qur’an. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Izzan, Ahmad. 2007. Metodologi
Ilmu Tafsir. Tafakkur: Bandung
Junan, Muhammad Anwar. 2001. Studi Ilmu-Ilmu Al-Qur’an.
Cet. I; Jakarta: Pustaka Firdaus.
Kementerian Agama RI. 2012. Al-Qur’an dan Terjemahnya.
Jakarta: PT Sinergi Pustaka Indonesia
Mesra,
Alimin. 2005. Ulumul Qur’an. Cet. I; Jakarta: PSW
M. Yusuf, Kadar. 2009. Study Al-Qur’an. Jakarta:
AMZAH
Shihab, Muhammad Quraish. 1996. Membumikan
al-Qur’an. Mizan : Bandung
_______________________. 2001. Sejarah dan Ulumul
Qur’an. Cet. I; Jakarta: Pustaka Firdaus
Suma, Muhammad Amin. 2013. Ulumul Qur’an. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada
Supiana dkk. Tth. Ulumul Qur’an dan Pengenalan
Metodologi Tafsir. Bandung: Pustaka Islamika.
Tim Penyusun Lidwa Pustaka. Tth. Hadits 9 Imam. Lidwa
Pustaka i-Software. Sunan Imam at-Tirmidzi : No. Hadits 2586
________________________. Hadits 9 Imam. Lidwa
Pustaka i-Software, tth, Shahih Bukhari : No. Hadits 4125
Yunus, Mahmud. 2007. Kamus Arabi – Indonesia. Jakarta:
Yayasan Penyelenggara Penterjemah Pentafsiran Al-Qur’an.
[1]
Nashruddin Baidan, Metode Penafsiran al-Qur’an (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar. 2002),h. 49.
[2]
Hasby Ash-Shiddieqy, Sejarah pengantar Ilmu Alquran/Tafsir, (Jakarta:
Bulan Bintang, 1974), h. 179
[3]
Muhammad Anwar Junan, Studi Ilmu-Ilmu Alquran, (Cet; I Jakarta: Pustaka
Firdaus, 2001), h. 47.
[4] Manna’ Khalil al-Qattan, Studi Ilmu-ilmu Qur’an terj.
Mudzakir AS (cet; VI Bogor: Pustaka Litera Antar Nusa, 2001), h. 482.
[5]
Supiana dkk, Ulumul Qur’an dan pengenalan metodologi Tafsir (Bandung:
Pustaka Islamika, t.t), h. 304.
[6] Mahmud Yunus, Kamus Arabi
– Indonesia ( Jakarta:
Yayasan Penyelenggara Penterjemah Pentafsiran Al-Qur’an, 2007), h.136
[7] Manna’ Khalil Al-Qattan, Studi
Ilmu-Ilmu Qur’an. Terj. Mudzakir As (Bogor: Pustaka Litera Antar Nusa, 2007), h. 488
[9] Muhammad
Ali Ash-Shaabuniy, Study Ilmu Al-Qur’an. Terj. Aminuddin (Bandung: Pustaka Setia, 1998), h. 258
[10] Tim Penyusun Lidwa Pustaka. Hadits 9 Imam. (Lidwa Pustaka
i-Software, tth), Sunan Imam at-Tirmidzi : No. Hadits 2586
[13]
Nasr Hamid Abu Zaid, Tekstualitas Alquran, Terj. Khoirun Nahdiyyin, (Yogyakarta: PT. LKiS Pelangi Aksara, 2005), h. 226
[15] Muhammad
Husain adz-Dzahabi, al-Tafsir wa al-Mufassirun, Jilid I. h. 34
[16]
Quraisy Shihab dkk, Sejarah dan Ulumul Qur’an, (cet; 1 Jakarta: Pustaka
Firdaus, 2001), h. 172.
[17]
Alimin Mesra, Ulumul Qur’an, (cet; 1 Jakarta: PSW, 2005), h. 216.
[18]
Muhammad Husain adz-Dzahabi, al-Tafsir wa al-Mufassirun, Jilid I,
h. 37.
[19]
Muhammad Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an (Mizan :
Bandung, 1996), h. 71
[22]
Nashruddin Baidan, Metodologi Penafsiran al-Qur’an (Cet.I;
Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998), h. 4.
[24]
Hasbi ash Shiddieqy, Ilmu-Ilmu al-Qur’an (Jakarta: Bulan
Bintang, 1972), h. 220
[25] Tim Penyusun Lidwa Pustaka. Hadits 9 Imam. (Lidwa Pustaka
i-Software, tth), Shahih Bukhari : No. Hadits 4125
[28] Kementerian Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya (Jakarta: PT Sinergi
Pustaka Indonesia, 2012), h. 1
[32] Hasby Ash-Shiddieqy, Sejarah pengantar Ilmu Alquran/Tafsir,
(Jakarta: Bulan Bintang, 1974), h. 181
No comments:
Post a Comment