Monday, October 30, 2017

Ulumul Qur'an


TAFSIR BI AL-MA’TSUR, TAFSIR BI AL-RA’YI, DAN TAFSIR IJMALI


BAB I

PENDAHULUAN
A.      Latar Belakang
Untuk bisa berbicara dalam konteks masa dan ruang yang berbeda, maka Al-Qur’an harus difahami dan ditafsirkan oleh para pembacanya. Al-Qur’an bersifat tetap, jika dilihat dari bunyi teks dan proses pewahyuannya. Al-Qur’an telah berhenti, karena pewahyuan sudah berakhir dengan berakhirnya masa kenabian Muhammad.
Di sisi lain, masalah-masalah yang timbul dalam lingkungan umat Islam, senantiasa berkembang seiring dinamika zaman. Maka untuk mempertemukan Al-Qur’an dan perkembangan zaman, muncullah disiplin ilmu yang disebut dengan tafsir. Para ulama lalu melakukan upaya-upaya untuk menjadikan Al-Qur’an mampu berbicara pada setiap zaman yang berbeda, melalui aktivitas penjelasan makna-makna Al-Qur’an, dan usaha-usaha itu kemudian dikenal secara luas sebagai tafsir.
Pada peta keilmuan Islam, Ilmu tafsir merupakan ilmu yang tergolong belum matang, sehingga selalu terbuka untuk dikembangkan. Setiap periode memiliki perkembangan sampai saat ini. Meskipun sama-sama berusaha mengungkapkan makna Al-Qur’an, masing-masing menggunakan cara dan pendekatan yang berbeda. Sehingga tidaklah mengherankan, ketika metode yang digunakan oleh para ulama dalam penafsiran Al-Qur’an juga mengalami perkembangan yang dinamis dari zaman ke zaman.
Metode-metode itu berkembang sejalan dengan perkembangan pemikiran, peradaban manusia dan juga masalah-masalah yang berkembang dalam masyarakat. Di samping itu, perkembangan tersebut juga terjadi karena kebutuhan manusia akan metode baru, sebagai dampak dari perkembangan zaman yang tidak terelakkan.
Melihat sejarah awal perkembangan tafsir, muncul dua jenis penafsiran al-Qur’an secara estafet, yaitu tafsir bi al-ma’tsur atau disebut juga dengan tafsir bi al-riwayah dan tafsir bi al-ra’yi atau tafsir bi al-dirayah, serta tafsir ijmali. Untuk meminimalisir perdebatan tentang bentuk ketiga jenis tafsir ini, penulis lebih memahami ketiganya tidak sebagai sebagai sebuah metode ataupun corak tafsir melainkan jenis-jenis penafsiran yang muncul dalam sejarah awal usaha pemahaman terhadap al-Qur’an.[1] Tulisan ini akan memberikan penjelasan spesifik tentang ketiga jenis penafsiran tersebut, yaitu tafsir bi al-ma’tsur, tafsir bi al-ra’yi, dan tafsir ijmali.
B.       Rumusan Masalah
Adapun masalah-masalah yang telah penulis rumuskan adalah sebagai berikut:
1.     Apa yang dimaksud dengan Tafsir bi al-Ma’tsur, Tafsir bi al-Ra’yi, dan Tafsir Ijmali ?
2.     Bagaimana sejarah munculnya Tafsir bi al-Ma’tsur, Tafsir bi al-Ra’yi, dan Tafsir Ijmali ?
3.     Apa saja kelemahan dari Tafsir bi al-Ma’tsur, Tafsir bi al-Ra’yi, dan Tafsir Ijmali ?
4.     Bagaimana contoh-contoh Tafsir bi al-Ma’tsur, Tafsir bi al-Ra’yi, dan Tafsir Ijmali ?
C.      Tujuan Penulisan
Berdasarkan beberapa masalah yang telah dirumuskan dan engan ditulisnya makalah ini, maka penulis berhapap agar para pembaca dapat :
1.      Mengetahui pengertian dan definisi dari Tafsir bi al-Ma’tsur, Tafsir bi al-Ra’yi, dan Tafsir Ijmali.
2.      Memahami sejarah munculnya Tafsir bi al-Ma’tsur, Tafsir bi al-Ra’yi, dan Tafsir Ijmali.
3.      Mengetahui kelemahan-kelemahan dari Tafsir bi al-Ma’tsur, Tafsir bi al-Ra’yi, dan Tafsir Ijmali.
4.      Mengetahui contoh-contoh dari Tafsir bi al-Ma’tsur, Tafsir bi al-Ra’yi, dan Tafsir Ijmali.









BAB II
PEMBAHASAN
A.      Pengertian Tafsir bi al-Ma’tsur, Tafsir bi al-Ra’yi, dan Tafsir Ijmali
1.        Tafsir bi al-Ma’tsur
Pada dasarnya Tafsir bi al-Ma’tsur merupakan  gabungan dari dua kata yang bila dipisahkan mengandung dua makna yang berbeda. Secara etimologi, kata Tafsir berasal dari bahasa arabfassara-yufassiru-tafsiran yang berarti menerangkan, membuka dan menjelaskan. Sedangkan pengertian Tafsir secara terminology ialah ilmu yang menerangkan tentang hal nuzulul ayat, keadaan-keadaannya, kisah-kisahnya, tartib maknanya, muhkam mutasyabihnya, nasikh mansukhnya dan selebihnya.[2]
Adapun Ma’tsur secara etimologi berasal dari kata Atsar yang berarti bekas. Atsar juga bermakna sama dengan Hadits, Sunnah, jejak, pengaruh dan kesan. Jadi dapat dipahami bahwa secara terminology Ma’tsur berarti mengutip, menyebut, dan menuqilkan sesuatu yang ada pada orang lain di masa lalu.[3] Sejalan dengan pengertian Harfiyah dan Maknawiyah di atas, dapat disimpulkan bahwa Tafsir bi al-Ma’tsur adalah adalah penafsiran ayat-ayat al-Qur’an yang didasarkan dan mengutip ayat-ayat al-Qur’an yang lain, sunnah yang tertuang dalam hadits-hadits Nabi, pendapat Shahabat dan Tabi’in.[4]
Namun terdapat perbedaan dalam pengkategorian pendapat tabi’in sebagai tafsir bil-ma’tsur karena ada indikasi bahwa pendapat tabi’in banyak telah terkooptasi oleh akal[5] berbeda dengan pendapat shahabat yang dimungkinkan untuk mengetahui penafsiran suatu ayat berdasarkan petunjuk Nabi. Selain itu shahabat juga menyertai Nabi pada saat turunnya sebagian ayat sehingga mereka lebih mengetahui Asbab an-Nuzul sebuah ayat.
2.        Tafsir bi al-Ra’yi
Kata Al-ra’yu berasal dari akar kata راي ج- اراء. Memiliki kata jamak ārā’un atau ar’ā’un yang bisa berarti berpendapat.[6] Sedangkan secara istilah bisa didefinisikan sebagaimana pendapat beberapa ulama yaitu :
a.       Tafsir Bi Al-Ra’y ialah tafsir yang di dalam menjelaskan maknanya hanya berpegang pada pemahaman sendiri dan penyimpulan yang didasarkan pada ra’yu semata. Golongan ini telah menulis sejumlah kitab tafsir menurut pokok-pokok mazhab mereka, seperti tafsir (karya) Abdurrahman bin Kaisan al-asam, al-Juba’I, Abdul Jabbar,  Ar-Rummani, Zamakhsyari dan lain sebagainya.[7]
b.      Tafsir Bi Al-Ra’y  ialah Tafsir berdasarkan ijtihad mufassir; pendapat atau ijtihadnya yang didasarkan atas sarana ijtihad.[8]
c.       Muhammad Ali Ash Shaabuniy, ialah ijtihad yang didasarkan pada dalil-dalil yang shohih, kaidah yang murni dan tepat, bisa diikuti serta sewajarnya digunakan oleh orang yang hendak mendalami  tafsir Al-Qur’an atau mendalami pengertiannya.[9]
Dari beberapa pendapat di atas dapat penulis simpulkan bahwa tafsir bi al-ra’yi adalah suatu metode tafsir dengan menggunakan kekuatan akal pikiran yang sudah memenuhi syarat dan memiliki pengakuan dari para ulama untuk menjadi seorang mufassir, namun penafsirannya harus tetap sejalan dengan hukum syari’ah tanpa ada pertentangan.
Tidaklah yang dimaksud dengan ra’yu ini dengan menafsirkan Al-Quran berdasarkan kata hati atau kehendaknya. Al-Qurtubi berkata “barang siapa yang menafsirkan Al-Qur’an berdasarkan imajinasinya (yang tepat menurut pandangannya tanpa berdasarkan kaidah-kaidah) maka ia adalah orang yang keliru dan tercela.”
Dalam sebuah hadis diriwayatkan :
حَدَّثَنَا إِسْمَعِيلُ بْنُ مُوسَى الْفَزَارِيُّ ابْنُ بِنْتِ السُّدِّيِّ حَدَّثَنَا شَرِيكُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ عَنْ مَنْصُورِ بْنِ الْمُعْتَمِرِ عَنْ رِبْعِيِّ بْنِ حِرَاشٍ عَنْ عَلِيِّ بْنِ أَبِي طَالِبٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا تَكْذِبُوا عَلَيَّ فَإِنَّهُ مَنْ كَذَبَ عَلَيَّ يَلِجُ فِي النَّارِ وَفِي الْبَاب عَنْ أَبِي بَكْرٍ وَعُمَرَ وَعُثْمَانَ وَالزُّبَيْرِ وَسَعِيدِ بْنِ زَيْدٍ وَعَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو وَأَنَسٍ وَجَابِرٍ وَابْنِ عَبَّاسٍ وَأَبِي سَعِيدٍ وَعَمْرِو بْنِ عَبَسَةَ وَعُقْبَةَ بْنِ عَامِرٍ وَمُعَاوِيَةَ وَبُرَيْدَةَ وَأَبِي مُوسَى وَأَبِي أُمَامَةَ وَعَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ وَالْمُقَنَّعِ وَأَوْسٍ الثَّقَفِيِّ قَالَ أَبُو عِيسَى حَدِيثُ عَلِيٍّ حَدِيثٌ حَسَنٌ صَحِيحٌ قَالَ عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ مَهْدِيٍّ مَنْصُورُ بْنُ الْمُعْتَمِرِ أَثْبَتُ أَهْلِ الْكُوفَةِ و قَالَ وَكِيعٌ لَمْ يَكْذِبْ رِبْعِيُّ بْنُ حِرَاشٍ فِي الْإِسْلَامِ كَذْبَةً. (رواه التّرمذى)[10]
Artinya :
Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Basysyar telah menceritakan kepada kami Abdurrahman bin Mahdi telah menceritakan kepada kami Sufyan dari Habib bin Abi Tsabit dari Maimun bin Abi Syabib dari al Mughirah bin Syu'bah dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, beliau bersabda: "Barangsiapa meriwayatkan satu hadits dariku, dan dia melihat bahwa hadits itu dusta, maka dia adalah salah satu dari para pendusta." dan dalam bab lain dari Ali bin Abi Thalib dan Samurah. Abu Isa berkata; 'Ini adalah hadits hasan shahih. dan Syu'bah telah meriwayatkan dari Al Hakam dari Abdurrahman bin Abi Laila dari Samurah dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam. Hadits ini di riwayatkan oleh al A'masy dan Ibnu Abi Laila dari al Hakam dari Abdurrahman bin Abu Laila dari Ali dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam. Dan seakan-akan hadits Abdurrahman bin Abi Laila dari Samurah menurut ahlul hadits lebih absah. Abu Isa berkata; aku bertanya kepada Abu Muhammad Abdullah bin Abdurrahman tentang hadits Nabi shallallahu 'alaihi wasallam; "Barangsiapa meriwayatkan satu hadits dariku, dan dia melihat bahwa hadits itu dusta, maka dia adalah salah satu dari para pendusta." Aku berkata kepadanya; 'jika seserang meriwayatkan satu hadits sedang dia mengetahui bahwa isnadnya salah, maka apakah di khawatirkan dia termasuk kategori hadits Nabi ini, atau jika orang-orang meriwayatkan satu hadits mursal, kemudian sebagian mereka menyambungkannya atau membalik isnadnya, apakah dia termasuk kategori hadits ini? ' dia menjawab; 'tidak, hanyasanya makna hadits ini adalah jika seseorang meriwayatkan satu hadits, dan dia tidak mengetahui sama sekali kedudukan hadits tersebut dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, kemudian dia meriwayatkannya, maka aku khawatir dia termasuk kategori hadits ini. (HR. Tirmidzi)
Imam Al-Qurtuby, mengatakan bahwasanya hadits Ibnu Abbas tersebut memiliki dua penafsiran:
a.       Barang siapa yang berpendapat dalam persoalan Al-Qur’an yang pelik dengan tidak berdasarkan pengetahuan dari mazhab sahabat atau tabi’in berarti menentang Allah
b.      Barang siapa yang mengatakan tentang Al-Qur’an suatu pendapat, sedang ia mengetahui bahwa yang benar adalah pendapat yang lain, maka ia hanya bersedia menempatkan diri di neraka.[11]
Hadits tersebut di atas memberikan penegasan bahwa di dalam menafsirkan Al-Qur’an haruslah memenuhi kriteria atau ketentuan yang telah ditetapkan oleh ulama sehingga akal pada jenis penafsiran ini tidak menjadi acuan utama atau lebih mengutamakan akalnya dalam menafsirkan Al-Qur’an tanpa mengikuti kaidah-kaidah yang digunakan dalam menafsirkan Al-Qur’an.
3.    Tafsir Ijmali
Secara lughawi, kata al-ijmali berarti ringkasan, ikhtisar, global, dan penjumlahan. Jadi, tafsir al-ijmali ialah penafsiran Al-Quran dengan cara mengemukakan isi dan kandungan Al-Quran melalui pembahasan yang panjang dan luas, tidak secara rinci.[12] Di dalam sistematik uraiannya, penafsiran akan membahas ayat demi ayat sesuai dengan susunan yang ada di dalam mushhaf, kemudian mengemukakan makna global yang dimaksud oleh ayat tersebut. Makna yang diungkapkan biasanya diletakkan di dalam rangkaian ayat-ayat atau menurut pola-pola yang diakui oleh jumhur ulama, dan mudah dipahami oleh semua orang.
Penafsiran metode ini mengikuti cara dan susunan Al-quran yang membuat masing-masing makna saling berkaitan dengan lainnya.[13] Di samping itu, penyajiannya tidak terlalu jauh dari gaya bahasa Al-Quran sehingga pendengar dan pembacanya seakan-akan masih tetap mendengar Al-quran padahal yang didengarnya  itu adalah tafsirnya. Kitab Tafsir Al-Quran al-Karim karangan Muhammad farid Wajdi, Al-Tafsir al-Wasith terbitan Majma’ al-Buhuts al-Islamiyyah, dan  Tafsir al-Jalalain serta Taj al-Tafasir karangan Muhammad Utsman al-Mirghaani, masuk dalam kelompok ini.[14]
Dapat disimpulkan bahwa tafsir ijmali merupakan salah satu metode tafsir yang dilakukan dengan cara sistematik antara ayat demi ayat yang kemudian dikemukakan penfsirannya secara global.
B.       Perkembangan Tafsir bi al-Ma’tsur, Tafsir bi al-Ra’yi, dan Tafsir Ijmali
1.        Perkembangan Tafsir bi al-Ma’tsur
Tafsir ini merupakan salah satu jenis penafsiran yang muncul pertama kali dalam sejarah khazanah intelaktual Islam.Sedikit sekali terjadi perbedaan pendapat dalam produk-produk penafsirannya. Sebagian besar perbedaan yang ditemukan adalah pada aspek pemahaman redaksional terhadap ayat-ayat al-Qur’an.Ini disebabkan relativitas kualitas intelektual shahabat dalam memahami ayat-ayat al-Qur’an tersebut sehingga wajar ditemukan perbedaan.[15]
Sebagai sebuah contoh dalam Mabahits fi Ulum al-Qur’an, seorang Mufassir pada masa itu mengungkapkan maksud sebuah kata dengan redaksi yang berbeda dengan redaksi Mufassir yang lain dan masing-masing redaksi itu menunjuk makna yang juga berbeda namun maksud semuanya adalah sama. Seperti penafsiran terhadap kata shirat al-mustaqim, sebagian menafsirkannya sebagai al-Qur’an dan sebagian yang lain menafsirkannya dengan Islam. Kedua tafsiran ini berbeda namun senada karena Islam didasari oleh al-Qur’an hanya saja masing-masing penafsiran itu menggunakan sifat yang tidak digunakan oleh yang lain.
Tafsir bi al-Ma’tsurberkembang dalam dua periode.Periode Periwayatan dan periode Kodifikasi.[16]Pada periode periwayatan Rasulullah SAW langsung menjelaskan kepada para Sahabatnya tentang segala permasalahan yang mereka temukan dalam makna ayat-ayat AL-Qur'an.Tafsir pada periode ini para Sahabat masih memakai cara periwayatan di antara mereka dan masa setelah mereka dari kalangan Tabi'in.
Kemudian pada periode Kodifikasi.Tafsir yang pertama kali mengalami kodifikasi dan perkrmbangan adalah Tafsir bil Ma'tsur. Para Ulama Hadits adalah orang-orang yang pertama intens dalam hal ini. Tafsir pada periode ini tidak sistematis dan tidak dikodifikasi khusus. Tetapi, ditulis bersamaan dengan berbagai macam Hadits yang dikumpulkan dari riwayat para sahabat dan Tabi'in. Kemudian setelah itu barulah Tafsir terpisah dari Hadits dan dikodifikasi khusus yang terdapat pertama kali pada riwayat 'Ali bin Abi Thalhah dari Ibnu 'Abbas.[17]Terdapat Juz atau bagian-bagian yang dikodifikasi khusus. Misalnya; Al Juz-ul Mansûb li Abi Rauq dan tiga Juz yang diriwayatkan oleh Muhammad bin Tsaur dari Ibnu Juraij
Secara garis besar, penafsiran pada masa ini kukuh beracuan pada aspek riwayat-riwayat yang menjelaskan ayat-ayat al-Qur’an karena dianggap sebagai jalan pengetahuan yang benar dan paling aman untuk tetap terjaga dari ketergelinciran dan kesesatan dalam memahami al-Qur’an.Namun bukan berarti tidak terjadi ijtihad karena hal ini dapat dilihat dari sumber-sumber kajian tafsir yang digunakan selain al-Qur’an dan Sunnah juga menggunakan Ijtihad shahabat dalam beberapa hal yang mutlak memerlukan ijtihad. Dalam bahasa Quraish Shihab disebut sebagai keterpaksaan melakukan ijtihad karena Nabi telah wafat.
Bahkan ditemukan juga riwayat Ahl Kitab Yahudi dan Nashrani[18] yang telah masuk Islam[19] dan hal inilah yang ditengarai sebagai awal kemunculan Isra’iliyyat.
Berikut ini, akan saya sebutkan karya-karya dari Tafsir bil Ma’tsur.
1.      Tafsir Ibn Abbas
2.      Tafsir Ibn ‘Uyainah
3.      Tafsir Ibn Abi Hatim
4.      Tafsir Abu Syaikh bin Hibban
5.      Tafsir Ibn ‘Atiyyah
6.      Tafsir Abu Laits as-Samarqandi
7.      Tafsir Abu Ishaq, al-Kasyfu wa al-Bayan ‘an Tafsir al-Qur’an
8.      Tafsir Ibn Jarir at-Thabari, Jami’ul Bayan fi Tafsir al-Qur’an
9.      Tafsir Ibn Abi Syaibah
10.  Tafsir al-Baghawi, Ma’alimu at-Tanzil
11.   Tafsir Abil Fida’ al-Hafidz Ibn Katsir, Tafsir al-Qur’an al-’Adzim
12.   Tafsir as-Sa’labi, al-Jawahir al-Hisan fi Tafsir al-Qur’an
13.  Tafsir Jalaluddin as-Suyuthi, ad-Duru al-Mansur fi Tafsiri bi al-Ma’tsur
2.        Perkembangan Tafsir bi al-Ra’yi
Pertama kali tafsir Al-Qur’an disampaikan secara syafāhiy (wicara, dari mulut ke mulut). Kemudian setelah dimulai pembukuan kitab-kitab kumpulan hadis, maka tafsir Al-Qur’an dibukukan bersama-sama dengan hadis, dan merupakan satu dari beberapa bab yang terkandung dalam kitab hadis. Pada masa itu belum ada penafsiran ayat per ayat, surat per surat, dari permulaan mushaf sampai dengan akhir, dan belum ada penafsiran per judul pembahasan.
Pada akhir pemerintahan Bani Umayyah dan awal pemerintahan Bani Abbasiyah, di tengah-tengah masa pentadwinan cabang-cabang ilmu pengetahuan, tafsir Al-Qur’an mulai memisahkan diri dari hadis, hidup mandiri secara utuh dan lengkap. Dalam artian, tiap-tiap ayat mendapat penafsiran, secara tertib menurut urutan mushhaf. Penafsiran Al-Qur’an pada masa-masa pertama memakai cara naqli, yaitu yang terkenal dengan istilah al-manhaj al-tafsīr bi al-ma’tsūr. Setelah itu para ahli ilmu menafsirkan Al-Qur’an menurut keahlian mereka masing-masing.
Setelah lahirnya sekte-sekte aqidah didukung dengan semakin berkembangnya ilmu-ilmu kebahasaan dibuktikan dengan dijadikan ilmu tersebut sebagai disiplin ilmu tersendiri, bermuncullah penta’wilan terhadap ayat-ayat mutasyabihat, untuk menopang paham mereka masing-masing, meskipun sebenarnya bibit-bibit ta’wil Al-Qur’an sudah dimulai oleh beberapa sahabat, seperti ‘Ali bin Abi Ṭālib, ‘Abdullāh bin Mas’ūd, dan ‘Abdullāh bin ‘Abbās ra. Kemudian setelah itu, melalui Mu’tazilah, terjadilah perluasan tafsir bi al-ra’yi, sehingga tidak terjadi pertentangan antara nash Al-Qur’an dan akal pikiran, seperti kitab tafsir al-Kashshaf oleh al-Zamakhshāriy.[20]
Di antara mereka ada yang menulis tafsirnya dengan ungkapan yang indah dan menyusupkan madzhabnya ke dalam untaian kalimat yang dapat memperdaya banyak orang sebagaimana dilakukan penulis Tafsir al-Kassyaf  dalam menyisipkan paham ke-mu’tazila-annya.[21]
Dalam perkembangannya, tafsir bi al-ra’yi dipengaruhi oleh latar belakang aqidah mufassir dalam melakukan penafsiran terhadap Al-Qur’an. Lahirnya metode penafsiran bi al-ra’yi sangat erat kaitannya dengan perkembangan aliran aqidah di dalam Islam sehingga para mufassir yang melakukan penafsiran al-Qur’an dengan menggunakan metode penafsiran ini bercorak aqidah dari mufassir atau diwarnai dengan keyakinan aqidah mufassirnya.
3.        Perkembangan Tafsir Ijmali
Lahirnya metode-metode tafsir lebih banyak dilatar belakangi oleh tuntutan perkembangan masyarakat yang selalu dinamis. Pada masa Nabi dan para sahabat pada umumnya mereka adalah ahli bahasa Arab dan mengetahui secara baik latar belakang turunnya ayat serta mengalami secara langsung situasi dan kondisi umat ketika ayat-ayat al-Qur’an turun. Berdasarkan kenyataan tersebut, maka untuk memahami suatu ayat, mereka tidak membutuhkan uraian secara rinci, tetapi cukup dengan isyarat dan penjelasan global (ijmali).[22]
Ketika Al-Quran diturunkan kepada Rasulullah Muhammad Saw, fungsi beliau adalah sebagai  mubayyin ( pemberi penjelasan )  kepada sahabat-sahabat nabi tentang arti dan maksud dari  kandungan al-Quran yang diwahyukan itu, terutama dalam kaitannya dengan ayat-ayat yang tergolong tidak dipahami ataupun samar artinya. Keadaan ini berlangsung sampai  dengan wafatnya Rasul Saw. Posisi Rasulullah Saw dalam kaitannya dengan penafsiran Al-Quran ini dikatakan sebagai al-mufassir al-awwal ( mufassir  pertama ).
Setelah wafatnya Rasul Saw, para sahabat tidak mendapatkan lagi tempat bertanya yang selevel beliau. Akhirnya para sahabat melakukan ijtihad dalam memahami Al-Quran, khususnya mereka yang tergolong memiliki kemampuan semacam Ali bin Abi Thalib, Ibnu Abbas, ‘Ubay bin Ka’ab dan Ibnu Mas’ud.  Selain itu mereka juga tidak segan-segan untuk menanyakan suatu permasalahan sejarah, terutama sejarah nabi-nabi atau kisah-kisah yang tercantum dalam Al-Quran kepada tokoh-tokoh Ahlul kitab yang telah memeluk Islam, seperti Abdullah bin Salam, Ka’ab al-Ahbar, dan lain-lain.
Perkembangan tafsir selanjutnya ditandai dengan tokoh-tokoh tafsir di atas yang memiliki murid dari kalangan tabi’in, khususnya di kota-kota tempat mereka tinggal. Sehingga lahirlah tokoh-tokoh tafsir baru dari para tabiin tersebut, diantaranya : Sa’id bin Jubair, Mujahid bin Jabr, di Makkah, yang ketika itu berguru kepada Ibnu Abbas, Muhammad bin Ka’ab, Zaid bin Aslam, di Madinah, yang berguru kepada Ubay bin Ka’ab dan Al-Hasan Al-Bashri, Amir Al-Sya’bi, di Irak, yang ketika itu berguru kepada Abdullah bin Mas’ud.
Ketiga golongan di ataslah yang pada hakikatnya dapat disebut kelompok Tafsir bil Ma’tsur. Periode ini merupakan perkembangan awal penafsiran terhadap Al-Quran sampai sekitar tahun 150 H.  Perkembangan tafsir selanjutnya berada di tangan generasi berikutnya, yaitutabi’ al-tabi’in dengan tokoh-tokohnya antara lain  Sufyan bin Uyainah, Waki’ al-Jarrah, Syu’bah al-Hajjaj, Zaid bin Harun dan Abd bin Humaid.  Penulis tafsir yang terkenal pada periode ini adalah al-Waqidi ( w.207 H ), sesudah itu Ibnu Jarir ath-Thabary ( w. 310 H ). Para penafsir yang datang kemudian banyak mengutip dan mengambil bahan dari tafsir ath-Thabary tersebut yang berjudul : Jami’al-Bayan.
Bersamaan dengan masa tabi’in dan tabi’ al-tab’in, ekspansi Islam ke berbagai wilayah jazirah arab  maupun luar arab semakin berkembang dan meluas mencapai daerah-daerah yang masyarakatnya heterogen dan memiliki dasar-dasar kebudayaan kuno, seperti Persia,  Messopotamia, India, Syiria, Turki, Mesir, dan Afrika Selatan, sehingga berkembanglah ilmu pengetahuan yang dipelajari oleh kaum muslimin, seperti ilmu logika, filsafat, ilmu eksakta, ilmu hukum, ilmu ketabiban. Ilmu-ilmu yang disebut terakhir ini berpengaruh terhadap perkembangan tafsir Al-Quran. Dalam menafsirkan Al-Quran, para ahli tafsir  tidak lagi merasa cukup dengan hanya mengutip atau tepatnya menghafal riwayat dari generasi sahabat, tabi’in dan tabi’ al-tabi’in seperti yang diwarisinya selama ini, akan tetapi telah mulai berorientasi pada penafsiran Al-Quran yang didasarkan pada pendekatan ilmu-ilmu bahasa pada khususnya dan penalaran-penalatan ilmiah yang lain pada umumnya. Maka pada saat ini berkembanglah apa yang disebut dengan tafsir bil ra’yi atau tafsir bi al-dirayah. Penulis tafsir jenis ini antara lain :
a.    Al-Zamakhsyari, dengan karyanya Tafsir al-Kasysyaf   
b.    al-Qurthubi dengan tafsirnya al-Jami’ li Ahkam al-Quran
c.    Imam Ar-Razi dengan karyanya  Mafatih al-Ghaib
d.   Abu Hayyan Muhammad bin Yusuf al-Andalusi karyanya  al-Bahr al-Muhith
e.    Ibn al-‘Arabi dengan tafsirnya Ahkam al-Quran, dll. 
Berdasarkan  uraian di atas, periodesasi sejarah perkembangan tafsir pada umumnya dibagi menjadi 3 peiode, yaitu : Pertama, periode mutaqaddimin ( abad  1 H –abad 4 H ) ; kedua, periode muta’akhirin ( abad 4 H – 12 H ) ; ketiga, peride baru ( abad 13 H/19 M – sekarang ).[23]
Jika dicermati bentuk-bentuk penafsiran terhadap Al-Quran sejak masa Rasul Saw, sahabat dan tabi’in sebagaimana yang digolongkan oleh M. Quraish Shihab sebagai tafsir bi al-ma’tsur,  boleh dikatakan sebagai dasar-dasar bagi tafsir Al-Quran yang  menerapkan metode  IjmaliTafsir bi al-Ma’tsur adalah jenis tafsir Al-Quran dengan Al-Quran, penafsiran Al-Quran dengan As-Sunnah atau penafsiran Al-Quran menurut Atsar yang timbul dari kalangan sahabat.
C.      Kelemahan Tafsir bi al-Ma’tsur, Tafsir bi al-Ra’yi, dan Tafsir Ijmali
1.    Tafsir bi al-Ma’tsur
Sebagaimana telah kita ketahui bahwa Tafsir bi al-Ma’tsur mencakup tafsir Al-Qur'an dengan Al-Qur'an, Al-Qur'an dengan Sunnah dan Al-Qur'an dengan riwayat para Sahabat atau Tabi'in.Sedangkan Tafsir Al-Qur'an dengan Al-Qur'an dan Al-Qur'an dengan Hadits shahih tentu tidak ada pertentangan dalam kebenaran dan keabsahannya, karena tidak ada keraguan di dalamnya. Sedangkan yang disandarkan ke Rasulullah SAW dan ternyata itu lemah pada sanad atau matannya maka tentu itu tertolak dan tidak bisa diterima.selama penisbahannya kepada Rasulullah SAW tidak benar.
Penafsiran Al-Qur'an dengan riwayat dari Sahabat atau Tabi'in kemungkinan akan ada sisi lemahnya. Karena tidak ada ke-tsiqhah-an pada riwayatnya. Sedangkan sebab-sebab lemahnya riwayat Tafsir bi al-Ma’tsur ada tiga [24] :
a)      Banyaknya Produk dalam Penafsiran,
Perkembangan dalam pembuatan tafsir sama halnya dengan yang terjadi dengan Hadits. Karena keduanya satu komposisi dan tidak bisa terpisahkan.Sebagaimana dalam Hadits terdapat Shahih, Hasan dan Dha'if. Dalam riwayat ada yang Tsiqah dan Syak begitu juga dengan Tafsir, akan kita dapatkan hal yang sama. Banyak yang melatar belakangi pembuatan dalam Tafsir, di antaranya ; Fanatik terhadap golongan. Sebagai contoh terdapat golongan yang saling fanatik terhadap golongannya. Sebut saja Syi'ah yang mengagung-agungkan 'Ali bin Abi Thalib ra. Sedangkan dari pihak rival ada Khawarij yang menjahui Syi'ah dan mendeklarasikan diri sebagai musuh bagi Syi'ah.Sedangkan ditengah-tengah antara kedua kubu Syi'ah dan Khawarij adalah mayoritas kaum muslimin yang tidak mengatas namakan salah satu dari kedua belah pihak.
Setiap golongan dari golongan-golongan ini tentunya berusaha dengan segenap kemampuan untuk memenangakan golongan yang mereka anggap benar dengan memakai ayat-ayat dalam Al-Qur'an dan Sunnah yang kemudian dinisbahkannya kepada Rasulullah SAW. Maka beranjak dari sini, banyak dari kalangan ulama dari setiap golongan memakai bahkan membuat Hadits ataupun dalam menginterpretasi ayat-ayat Al-Qur'an dalam rangka kepentingan golongan dan kelompok.
Namun disisi lain, jika kita lihat pada sisi subjektifitas dari Tafsir ini dengan tidak melihat dari sisi sanadnya, maka akan kita temukan nilai ilmiah dari Tafsir ini. Karena tidak semua dan tidak selamanya yang ditafsirkan itu jauh menyimpang dari ayat yang dimaksud.Tetapi kadang memang itu hasil dari ijtihadnya.
b)      Israiliat
Secara zhahir lafadz Israiliat menunjukkan corak kaum Yahudi dan kebudayaan mereka yang mempunyai pengaruh didalam Tafsir. Namun, yang dimaksud disini lebih umum.Yaitu corak dari kaum Yahudi dan juga Nasrani dalam Tafsir Al-Qur'an serta pengaruh kebudayaan mereka terhadap Tafsir.
Penamaan lafazd Israiliat karena Yahudi mempunyai peran mayoritas dalam kontaminasi terhadap Tafsir Al-Qur'an dibandingkan Nasrani. Banyak yang menuqil dari Yahudi karena keturunan mereka yang banyak dan begitu dekatnya mereka dalam bersosialisasi kepada kaum Muslimin dari awal mula munculnya Islam sampai agama yang hanif ini tersebar diseluruh penjuru dunia dan umat manusia masuk Islam secara berbondong-bondong.
Yahudi dan Nasrani mempunyai kebudayaan agama yang mempunyai peran dan pengaruh besar terhadap tafsir Al-Qur'an. Kebudayaan Yahudi bersandarkan kepada kitab Taurat sebagaimana yang disinyalir Al-Qur'an Surah Al-Maidah Ayat 44 yang artinya: " Sesungguhnya kami telah menurunkan Kitab Taurat di dalamnya (ada) petunjuk dan cahaya (yang menerangi), yang dengan Kitab itu diputuskan perkara orang-orang Yahudi oleh Nabi-Nabi yang menyerah diri kepada Allah, oleh orang-orang alim mereka dan pendeta-pendeta mereka, disebabkan mereka diperintahkan memelihara kitab-kitab Allah dan mereka menjadi saksi terhadapnya".
Pengaruh Israiliat dalam tafsir Israiliat dari Ahli Kitab yang banyak diadopsi oleh ahli tafsir dalam menjelaskan Al-Qur'an tentunya mempunyai pengaruh yang negatif dalam tafsir.Karena ini bukan hanya terjadi pada masa Sahabat.Tetapi, terus berlangsung dari masa kemasa pengambilan Israiliat didalam tafsir dengan tanpa melihat lagi kebenaran sumber tersebut. Bahkan sudah banyak ditemukan kisah-kisah bohong dan dimasukkan kedalam tafsir Al-Qur'an. Kabar Israiliat dibagi menjadi tiga bagian:
1)        Kabar atau berita yang diketahui kebenarannya bahwa itu dinuqilkan dari Rasulullah SAW. Contoh : penamaan nama patner Nabi Musa as yaitu Khidir. Karena nama ini dengan jelas disebutkan langsung oleh Rasulullah SAW. sebagaimana yang diriwayatkan Al-Bukhari. Maka berita ini benar dan diterima.
2)        Kabar atau berita yang diketahui kebohongannya. Karena bertentangan dengan Syari'at Islam atau tidak sesuai dengan akal manusiawi. Maka berita ini tidak boleh diterima dan diriwayatkan.
3)        Kabar atau berita yang didiamkan. Tidak bisa dipastikan antara kebenaran atau kebohongan berita tersebut. Tidak boleh mempercayai dan juga tidak boleh mendustainya. Sebagaimana Hadits Rasulullah SAW:
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ بَشَّارٍ حَدَّثَنَا عُثْمَانُ بْنُ عُمَرَ أَخْبَرَنَا عَلِيُّ بْنُ الْمُبَارَكِ عَنْ يَحْيَى بْنِ أَبِي كَثِيرٍ عَنْ أَبِي سَلَمَةَ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ كَانَ أَهْلُ الْكِتَابِ يَقْرَءُونَ التَّوْرَاةَ بِالْعِبْرَانِيَّةِ وَيُفَسِّرُونَهَا بِالْعَرَبِيَّةِ لِأَهْلِ الْإِسْلَامِ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا تُصَدِّقُوا أَهْلَ الْكِتَابِ وَلَا تُكَذِّبُوهُمْ وَقُولُوا { آمَنَّا بِاللَّهِ وَمَا أُنْزِلَ إِلَيْنَا } الْآيَةَ[25]
Artinya :
Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Basysyar Telah menceritakan kepada kami 'Utsman bin 'Umar Telah mengabarkan kepada kami 'Ali Al Mubarak dari Yahya bin Abu Katsir dari Abu Salamah dari Abu Hurairah radliallahu 'anhu berkata; "Orang-orang ahlu kitab membaca Taurat dengan bahasa Ibrani dan menjelaskannya kepada orang-orang Islam dengan bahasa arab. Melihat hal itu Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: Janganlah kalian mempercayai ahlu kitab dan jangan pula mendustakannya. Tetapi ucapkanlah; "Kami beriman kepada Allah dan kepada apa yang telah diturunkan kepada kami. (Al Baqarah; 136).' (HR. Bukhari)
Seorang Ahli Tafsir harus mempunyai kesadaran yang tinggi terhadap apa yang ia nuqil. Khususnya yang bersumber dari Ahli Kitab. Harus kritis dan teliti sehingga pada akhirnya dapat dipastikan bahwa berita tersebut seirama dengan ruh Al-Qur'an, sesuai dengan akal dan Naql.
Tidak boleh mengambil kabar dari Ahli Kitab jika seandainya Sunnah Rasulullah telah memberikan penjelasan terhadap permasalahan tersebut. Pengambilan berita dari Ahli Kitab hanya sekadarnya saja. Artinya ketika sedikit saja sudah cukup dan bisa menjelaskan yang umum dalam Al-Qur'an, kenapa harus banyak? Maka penuqilan kabar berita dari Ahli Kitab harus sesuai porsinya saja.
4)   Terhapusnya Sanad
Terhapusnya sanad adalah salah satu dari tiga sebab lemahnya Tafsir bil Ma'tsur. Masa sahabat dan Tabi'in, Sanad sangat menjadi perhatian dan menjadi karakteristik khusus pada masa itu. Mereka tidak akan menerima berita yang sanadnya tidak jelas apalagi sampai sanadnya dihapus, maka mereka akan menolaknya dengan tegas.
Dengan demikian, maka dapat dipahami bahwa ketika ada kabar yang datang kepada para Sahabat atau Tabi'in, maka mereka akan mengklarifikasi sanad, meminta dan menelitinya. Jika benar maka akan diterima. Namun, jika tidak maka akan ditolak dan dihukum lemah.
2.    Tafsir bi al-Ra’yi
Menurut Amin Suma, dalam bukunya Ulumul Qur’an, tafsir bir-ra’yi memiliki kelebihan dan kekurangan. Kelebihannya terletak pada kemungkinan mufassir dapat menafsirkan seluruh komponen ayat Al-Qur’an secara dinamis sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.[26] Sehingga dengan tafsir bir-ra’yi memungkinkan untuk menjelaskan beberapa ayat yang sebelumnya dipahami secara sempit oleh mufassir, menjadi luas dan dinamis, seperti halnya kata qalam yang awalnya hanya di artikan sebagai pena, dapat di artikan sebagai teknologi di zaman modern seperti mesin ketik atau komputer.
Adapun kelemahan dari tafsir bir-ra’yi terletak pada kemungkinan penafsiran yang dipaksakan, subjektif dan pada hal-hal tertentu mungkin sulit dibedakan antara pendekatan ilmiah yang sesungguhnya dengan kecenderungan subjektivitas mufassirnya.[27]
Dengan demikian, maka tafsir bi al-ra’yi dipandang oleh sebagian ulama yang menolaknya sebagai metode penafsiran yang terkesan dipaksakan, subjektif dalam bentuk penafsirannya sehingga sulit untuk membedakan antara pendekatan ilmiah sebab bergantung pada subjektifitas mufassirnya.
3.    Tafsir Ijmali
Metode ijmali, sebagai salah satu metode penafsiran Al-Qur'an memiliki beberapa kelemahan di antaranya adalah :  
1)      Menjadikan petunjuk Al-Quran tidak utuh, disebabkan karena penafsiran yang ringkas dan pendek membuat pesan Al-Quran tersebut tidak utuh dan terpecah-pecah. Padahal Al-Quran mempunyai keistimewaan dalam hal kecermatan dan cakupannya yang menyeluruh. Setiap kita menemukan ayat yang bersifat umum yang memerlukan makna lebih lanjut, kita pasti menemukan pada bagian lain, baik yang bersifat membatasi maupun memperjelas secara rinci. 
2)      Penafsiran dangkal atau tidak mendalam, sebab metode tafsir ini tidak menyediakan ruangan untuk memberikan uraian atau pembahasan yang mendalam dan  memuaskan pembacanya berkenaan dengan pemahaman suatu ayat. Ini boleh disebut suatu kelemahan yang harus disadari para mufassir yang akan menggunakan metode ijmali ini.
Dengan kata lain, dapat dipahami bahwa kelemahan tafsir ijmali yang dimaksud adalah kelemahan yang tidak bersifat negatif, melainkan hanyalah merupakan karakteristik atau ciri-ciri metode penafsiran ini.
D.      Contoh-Contoh Tafsir bi al-Ma’tsur, Tafsir bi al-Ra’yi, dan Tafsir Ijmali
1.        Tafsir bi al-Ma’tsur (Tafsir Al-Quran dengan Al-Qur’an)
Surah Al-Fatihah ayat 7 :
xÞºuŽÅÀ tûïÏ%©!$# |MôJyè÷Rr& öNÎgøn=tã ÎŽöxî ÅUqàÒøóyJø9$# óOÎgøn=tæ Ÿwur tûüÏj9!$žÒ9$# ÇÐÈ
Terjemahnya :
(yaitu) jalan orang orangyang telah Engkau beri nikmat kepada mereka; bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat.[28]

Yang dimaksud dengan mereka yang dimurkai dan mereka yang sesat ialah semua golongan yang menyimpang dari ajaran Islam.
Ayat ini ditafsirkan dalam, surah An-Nisa ayat 69 yang berbunyi :
`tBur ÆìÏÜム©!$# tAqߧ9$#ur y7Í´¯»s9'ré'sù yìtB tûïÏ%©!$# zNyè÷Rr& ª!$# NÍköŽn=tã z`ÏiB z`¿ÍhŠÎ;¨Y9$# tûüÉ)ƒÏdÅ_Á9$#ur Ïä!#ypk9$#ur tûüÅsÎ=»¢Á9$#ur 4 z`Ý¡ymur y7Í´¯»s9'ré& $Z)ŠÏùu ÇÏÒÈ  
Terjemahnya :
Dan Barangsiapa yang mentaati Allah dan Rasul(Nya), mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi nikmat oleh Allah, Yaitu: Nabi-nabi, Para shiddiiqiin [314], orang-orang yang mati syahid, dan orang-orang saleh. dan mereka Itulah teman yang sebaik-baiknya.[29]

Yang dimaksud ialah: orang-orang yang Amat teguh kepercayaannya kepada kebenaran rasul, dan Inilah orang-orang yang dianugerahi nikmat sebagaimana yang tersebut dalam surat Al Faatihah ayat 7.
2.        Tafsir bi al-Ra’yi
Ayat Al-Quran yang jika ditafsirkan oleh orang yang bodoh akan menjadi rusak maksudnya. Sebagaimana diungkapkan di dalam Al-Qur’an sebagai berikut:
`tBur šc%x. Îû ÿ¾ÍnÉ»yd 4yJôãr& uqßgsù Îû ÍotÅzFy$# 4yJôãr& @|Êr&ur WxÎ6y ÇÐËÈ  
Terjemahnya :
“Barang siapa yang buta (hatinya)di dunia ini, niscaya di akhirat (nanti) ia akan  lebih buta (pula) dan lebih tersesat dari jalan yang benar.”  (Q.S. Al-Isra : 72)[30]
Ia menetapkan bahwa setiap orang yang buta adalah celaka dan rugi serta akan masuk neraka jahanam. Padahal yang dimasud dengan buta di sini bukan mata, tetapi buta hati berdasarkan alasan firman Allah.
... ( $pk¨XÎ*sù Ÿw yJ÷ès? ㍻|Áö/F{$# `Å3»s9ur yJ÷ès? Ü>qè=à)ø9$# ÓÉL©9$# Îû ÍrߐÁ9$# ÇÍÏÈ  
Terjemahnya :
“… Karena sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, tetapi yang buta ialah hati dalam dada.”  (Q.S. Al- Hajj : 46)[31]

3.        Tafsir Ijmali
Contoh dalam penafsiran Ijmali ini dapat kita lihat pada tafsir al Jalalain, yang hanya membutuhkan beberapa baris saja saat menafsirkan lima ayat pertama di dalam surat al Baqarah. Al Jalalain saat menafsirkan Firman Allah QS al-Baqarah 1 memaparkan “الم” misalnya dia berkata Allah Yang Maha Tahu maksudnya.
Demikian pula halnya saat menafsirkan Firman Allah “الكتاب” hanya menyatakan yang dibaca oleh Muhammad SAW. “لا ريب فيه” berfungsi sebagai predikat dan subjeknya adalah “ذالك”. “هدى” berfurngsi sebagai predikta kedua bagi “ذالك” yang mengandung arti memberi petunjuk bagi orang yang bertaqwa.
Berbeda halnya dengan imam Qurthubiy dalam tafsirnya al Jami’ Liahkamil Qur’an, yang membutuhkan tiga halaman dalam menjelaskan atau menafsirkan Firman Allah QS Al Baqarah 1. Imam memulai penafsiran ayat ini dengan mengemukakan pentakwilan huruf-huruf muqattha’ah di dalam Al-Qur’an.
Kemudian imam membahas kata dzalika dan kata kitab. Dalam masalah ini imam memaparkan penafsirkan dzalika dengaan isyarat kepada Alquran, yang dilakukan oleh Abu Ubaidah dan Akramah.
Megenai kata Kitab, terdapat beberapa pendapat dalam penafsirannya, diantaranya Dzalika kitab yakni kitab yang telah Aku tulis atas makhluk-makhluk, dengan berbagai bentuk kesedihan, kegembiraan, ajal rezeki yang tidak ada keraguan di dalamnya. Ada juga yang berpendapat dzalikal kitabu adalah suatu isyarat kepada Lauhul Mahfuz. Yang lainnya berpendapat dzalikal kitabu adalah Kitab yang dijanjikan Allah kepada Nabi-Nya yang tidak akan terhapus oleh air. Juga ada yang berpendapat maksudnya adalah isyarat kepada apa yang termaktub di dalam Taurat dan Injil, serta juga ada yang berpendapat kata tersebut maksudnya adalah suatu isyarat akan apa yang telah diturunkan Allah di Makkah atau yang lazim disebut surat-surat Makkiy. Serta beragam pendapat lainnya yang tidak dapat ditulis penulis kesemuanya.
Dalam penafsirkan “فيه هدي للمتقين” juga terdapat beberapa permasalahan, dan pada makalah ini penulis akan memaparkan sebagian dari kesemuanya. Pertama, hudaa adalah petunjuk yang didapat oleh para Rasul beserta para pengikut mereka. Kedua, ada yang menafsirkan hudaa disini adalah salah satu nama sungai, karena sungai merupakan suatu tempat yang sangat dibutuhkan manusia dalam kehidupan sehari-harinya, sebagaimana juga hidayah/petunjuk sangat dibutuhkan manusia untuk menemukan kebahagian hidup.
Kemudian imam memaparkan makna taqwa menurut beberapa ulama, diantaranya ada yang menafsirkan taqwa adalah kebaikan, juga ada yang menafsirkan taqwa disini dengan sedikit cakap. Karena kata taqwa asalnya adalah sedikit cakap. Serta berbagai permasalahan lainnya yang diutarakan imam Qurthubiy dalam menafsirkan ayat pertama surat al Baqarah ini.[32]
 Dari pemaparan contoh dari kedua bentuk penafsiran ini, dapat dilihat perbedaan mendasar dalam penafsiran ayat Alquran dengan menggunakan metode ijmali dengan perbedaannya dengan metode tafsir tahlili. Tafsir ijmali menggunakan metode yang ringkas dengan bahasa yang populer, mudah dimengerti, yang polanya adalah meletakkan tafsir di dalam rangkaian ayat-ayat seperti penjelasan kata yang kemudian disimpulkan dengan penjelasan yang umum.





BAB III
PENUTUP
A.      Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan pada makalah ini, maka dapat disimpulkan sebagai berikut:
1.      Berdasarkan definisinya, maka dapat dipahami bahwa :
a.         Tafsir bi al-Ma’tsur adalah tafsir Al-Qur'an dengan Al-Qur'an yang menjelaskan ayat satu kepada ayat yang lainnya. Al-Qur'an dengan Sunnah Rasulullah SAW dan Al-Qur'an dengan perkataan Sahabat dan Tabi'in.
b.         Tafsir bi al-ra’yi adalah suatu metode tafsir dengan menggunakan kekuatan akal pikiran yang sudah memenuhi syarat dan memiliki pengakuan dari para ulama untuk menjadi seorang mufassir, namun penafsirannya harus tetap sejalan dengan hukum syari’ah tanpa ada pertentangan.
c.         Tafsir ijmali merupakan salah satu metode tafsir yang dilakukan dengan cara sistematik antara ayat demi ayat yang kemudian dikemukakan penfsirannya secara global.
2.      Adapun sejarah perkembangan metode-metode tafsir tersebut adalah :
a.       Tafsir bi al-Ma’tsur berkembang dalam dua periode.Periode Periwayatan dan periode Kodifikasi.Pada periode periwayatan Rasulullah SAW langsung menjelaskan kepada para Sahabatnya tentang segala permasalahan yang mereka temukan dalam makna ayat-ayat Al-Qur'an.Tafsir pada periode ini para Sahabat masih memakai cara periwayatan di antara mereka dan masa setelah mereka dari kalangan Tabi'in. Kemudian pada periode Kodifikasi. Tafsir yang pertama kali mengalami kodifikasi adalah Tafsir bi al-Ma’tsur dan mengalami perkembangan.Para Ulama Hadits adalah orang-orang yang pertama intens dalam hal ini.
b.      Dalam perkembangannya, tafsir bi al-ra’yi dipengaruhi oleh latar belakang aqidah mufassir dalam melakukan penafsiran terhadap Al-Qur’an. Lahirnya metode penafsiran bi al-ra’yi sangat erat kaitannya dengan perkembangan aliran aqidah di dalam Islam sehingga para mufassir yang melakukan penafsiran al-Qur’an dengan menggunakan metode penafsiran ini bercorak aqidah dari mufassir atau diwarnai dengan keyakinan aqidah mufassirnya.
c.       Lahirnya metode-metode tafsir lebih banyak dilatar belakangi oleh tuntutan perkembangan masyarakat yang selalu dinamis. Pada masa Nabi dan para sahabat pada umumnya mereka adalah ahli bahasa Arab dan mengetahui secara baik latar belakang turunnya ayat serta mengalami secara langsung situasi dan kondisi umat ketika ayat-ayat al-Qur’an turun. Berdasarkan kenyataan tersebut, maka untuk memahami suatu ayat, mereka tidak membutuhkan uraian secara rinci, tetapi cukup dengan isyarat dan penjelasan global (ijmali).
3.      Adapun kelemahan metode-metode tafsir tersebut adalah :
a.       Tafsir bi al-Ma’tsur
§ Banyaknya Produk dalam Penafsiran,
§ Kontaminasi Israiliat
§ Terhapusnya sanad
b.      Tafsir bi al-Ra’yi
§   Penafsiran yang dipaksakan
§  Subjektif
§  Sulit dibedakan antara pendekatan ilmiah yang sesungguhnya dengan kecenderungan subjektivitas mufassirnya.
c.       Tafsir Ijmali
§   Menjadikan petunjuk Al-Qur’an tidak utuh
§  Penafsiran dangkal atau tidak mendalam
4.      Adapun contoh-contoh metode tafsir tersebut adalah:
a.       Tafsir bi al-Ma’tsur
§ Qs. Al-Fatihah ayat 7 ditafsirkan oleh Qs. An-Nisa ayat 69
b.      Tafsir bi al-Ra’yi
§ Qs. Al-Isra ayat 72 ditafsirkan oleh Qs. Al-Hajj ayat 46 yang kemudian diberikan penjelasan secara logika
c.       Tafsir Ijmali
§  Contoh dalam penafsiran Ijmali ini dapat kita lihat pada tafsir al Jalalain, yang hanya membutuhkan beberapa baris saja saat menafsirkan lima ayat pertama di dalam surat al Baqarah. Al Jalalain saat menafsirkan Firman Allah QS al-Baqarah 1 memaparkan “الم” misalnya dia berkata Allah Yang Maha Tahu maksudnya.
B.       Saran
Di dalam penulisan makalah ini, penulis sangat menyadari bahwa terdapat banyak kekurangan yang sempat terselip pada setiap lembaran di dalamnya. Untuk itu, penulis berharap agar para pembaca secara terbuka dapat memberikan masukan dan kritikan serta-merta sebagai perbaikan dan penyempurnaan makalah ini kedepannya.














DAFTAR PUSTAKA

Abu Zaid, Nasr Hamid. 2005. Tekstualitas Alquran, Terj. Khoirun Nahdiyyin. Yogyakarta: PT. LKiS Pelangi Aksara
Adz-Dzahabi, Muhammad Husain. Tth. Al-Tafsir Wa Al-Mufassirun. Jilid I.
Anwar, Rosihan. 2008. ‘Ulūm al-Qur’ān. Bandung: Pustaka Setia.
Ash-Shaabuniy, Muhammad Ali. 1998. Study Ilmu Al-Qur’an. Terj. Aminuddin. Bandung: Pustaka Setia.
Al-Qattan, Manna’ Khalil. 2001. Studi Ilmu-ilmu Qur’an. Terj. Mudzakir AS, Cet VI;  Bogor: Pustaka Litera Antar Nusa.
Ash-Shiddieqy, Hasby. 1974. Sejarah pengantar Ilmu Al-Quran / Tafsir. Jakarta: Bulan Bintang.
___________________. 1972. Ilmu-Ilmu al-Qur’an. Jakarta: Bulan Bintang.
Baidan, Nashruddin. 2002. Metode Penafsiran al-Qur’an. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Izzan, Ahmad. 2007. Metodologi Ilmu Tafsir. Tafakkur: Bandung
Junan, Muhammad Anwar. 2001. Studi Ilmu-Ilmu Al-Qur’an. Cet. I; Jakarta: Pustaka Firdaus.
Kementerian Agama RI. 2012. Al-Qur’an dan Terjemahnya. Jakarta: PT Sinergi Pustaka Indonesia
Mesra, Alimin. 2005. Ulumul Qur’an. Cet. I; Jakarta: PSW
M. Yusuf, Kadar. 2009. Study Al-Qur’an. Jakarta: AMZAH
Shihab, Muhammad Quraish. 1996. Membumikan al-Qur’an. Mizan : Bandung
_______________________. 2001. Sejarah dan Ulumul Qur’an. Cet. I; Jakarta: Pustaka Firdaus
Suma, Muhammad Amin. 2013. Ulumul Qur’an. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada
Supiana dkk. Tth. Ulumul Qur’an dan Pengenalan Metodologi Tafsir. Bandung: Pustaka Islamika.
Tim Penyusun Lidwa Pustaka. Tth. Hadits 9 Imam. Lidwa Pustaka i-Software. Sunan Imam at-Tirmidzi : No. Hadits 2586
________________________. Hadits 9 Imam. Lidwa Pustaka i-Software, tth, Shahih Bukhari : No. Hadits 4125
Yunus, Mahmud. 2007.  Kamus Arabi – Indonesia. Jakarta: Yayasan Penyelenggara Penterjemah Pentafsiran Al-Qur’an.


[1] Nashruddin Baidan, Metode Penafsiran al-Qur’an (Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2002),h. 49.
[2] Hasby Ash-Shiddieqy, Sejarah pengantar Ilmu Alquran/Tafsir, (Jakarta: Bulan Bintang, 1974), h. 179
[3] Muhammad Anwar Junan, Studi Ilmu-Ilmu Alquran, (Cet; I Jakarta: Pustaka Firdaus, 2001), h. 47.
[4] Manna’ Khalil al-Qattan, Studi Ilmu-ilmu Qur’an terj. Mudzakir AS (cet; VI Bogor: Pustaka Litera Antar Nusa, 2001), h. 482.
[5] Supiana dkk, Ulumul Qur’an dan pengenalan metodologi Tafsir (Bandung: Pustaka Islamika, t.t), h. 304.
[6] Mahmud Yunus,  Kamus Arabi – Indonesia ( Jakarta: Yayasan Penyelenggara Penterjemah Pentafsiran Al-Qur’an, 2007), h.136
[7] Manna’ Khalil Al-Qattan,  Studi Ilmu-Ilmu  Qur’an. Terj. Mudzakir As (Bogor: Pustaka Litera Antar Nusa, 2007), h. 488
[8] Kadar M. Yusuf, Study Al-Qur’an  (Jakarta: AMZAH, 2009), h. 140
[9] Muhammad Ali Ash-Shaabuniy, Study Ilmu Al-Qur’an. Terj. Aminuddin (Bandung: Pustaka Setia, 1998), h. 258
[10] Tim Penyusun Lidwa Pustaka. Hadits 9 Imam. (Lidwa Pustaka i-Software, tth), Sunan Imam at-Tirmidzi : No. Hadits 2586
[11] Muhammad Ali Ash-Shaabuniy, h. 258
[12] Nasruddin Baidan, Metode Penafsiran Alquran, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), h. 1-2
[13] Nasr Hamid Abu Zaid, Tekstualitas Alquran, Terj. Khoirun Nahdiyyin, (Yogyakarta: PT. LKiS Pelangi Aksara, 2005), h. 226
[14] Ahmad Izzan, Metodologi Ilmu Tafsir (Tafakkur: Bandung 2007), h.105
[15] Muhammad Husain adz-Dzahabi, al-Tafsir wa al-Mufassirun, Jilid I. h. 34
[16] Quraisy Shihab dkk, Sejarah dan Ulumul Qur’an, (cet; 1 Jakarta: Pustaka Firdaus, 2001), h. 172.
[17] Alimin Mesra, Ulumul Qur’an, (cet; 1 Jakarta: PSW, 2005), h. 216.
[18] Muhammad Husain adz-Dzahabi, al-Tafsir wa al-Mufassirun, Jilid I, h. 37.
[19] Muhammad Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an (Mizan : Bandung, 1996), h. 71
[20] Rosihan Anwar, ‘Ulūm al-Qur’ān, (Bandung: Pustaka Setia, 2008), h. 220.
[21] Manna’ Khalil Al-Qattan,  h. 488
[22] Nashruddin Baidan, Metodologi Penafsiran al-Qur’an (Cet.I; Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998), h. 4.
[23] Nashruddin Baidan, h. 13

[24]  Hasbi ash Shiddieqy, Ilmu-Ilmu al-Qur’an (Jakarta: Bulan Bintang, 1972), h. 220
[25] Tim Penyusun Lidwa Pustaka. Hadits 9 Imam. (Lidwa Pustaka i-Software, tth), Shahih Bukhari : No. Hadits 4125
[26] Muhammad Amin Suma. Ulumul Qur’an. (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2013), h. 368
[27] Muhammad Amin Suma. h. 368
[28] Kementerian Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya (Jakarta: PT Sinergi Pustaka Indonesia, 2012), h. 1
[29] Kementerian Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, h. 115
[30] Kementerian Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, h. 395
[31] Kementerian Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, h. 470
[32] Hasby Ash-Shiddieqy, Sejarah pengantar Ilmu Alquran/Tafsir, (Jakarta: Bulan Bintang, 1974), h. 181
 

No comments:

Makalah: Mahabbah, Makrifah

BAB I PENDAHULUAN   A.      Latar Belakang Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi membawa manusia larut dan terbuai dalam din...