Sunday, October 29, 2017

Sejarah Peradaban Islam



ALI BIN ABI THALIB KARRAMALLAHU WAJHU

Asrul Rahman
Program Magister Pasca Sarjana UIN Alauddin Makassar

Abstrak
Ali bin Abi Thalib merupakan salah satu dari empat khalifah al-Rasyidah. Anak dari Abu Thalib dan Fatimah binti Asad, diasuh dan dibesarkan oleh Rasulullah Saw., sekaligus sebagai orang pertama yang masuk Islam dari golongan anak-anak dan dari Bani Hasyim. Menikah dengan sembilan wanita, salah satu di antaranya adalah Fatimah az-Zahrah putri Nabi Saw. Pemuda yang memiliki akhlak yang terpuji dan pemberani, terlihat pada saat menggantikan posisi Rasulullah Saw untuk tidur di tempat tidurnya ketika Rasulullah Saw melakukan hijrah ke Madinah bersama Abu Bakar. Dibaiat menjadi khalifah keempat menggantikan khalifah Utsman bin Affan yang wafat terbunuh.

I.         Pendahuluan
Kepemimpinan khalifah utsman bin affan pada 6 tahun awal berjalan dengan lancar tanpa ada gangguan dan protes dari rakyat atau kaum muslimin yang telah meluas, sebab pada masa itu wilayah Islam telah meluas di wilayah jazirah Arab seperti Syam, Kufah, Basrah, dan Mesir.
Protes dan isu-isu pemberontakan terjadi pada masa kepemimpinan khalifah Utsman bin Affan terjadi pada 6 tahun akhir pemerintahannya. Thalhah bin Ubaidillah yang merupakan salah satu sahabat bahkan mengancam akan mengerahkan orang untuk membunuh khalifah Utsman bin Afffan disebabkan karena ketidak puasannya dengan kepemimpinan khalifah.[1]
Protes demi protes bergaung diberbagai wilayah kekuasaan Islam yang merupakan bentuk usaha dari golongan sabais atau golongan pengikut Abdullah ibnu Saba yang sengaja menanam duri dalam Islam yang berujung pada terbunuhya khalifah Utsman bin Affan.[2]
Kisruh protes terhadap kebijakan khalifah dari penduduk Mesir dicampuri oleh beberapa pihak yang sengaja untuk merusak Islam baik yang datang dari luar maupun yang ada di internal keluarga Khalifah Utsman bin Affan, dan peristiwa terbunuhnya khalifah Utsman membuka kran terpilihnya Ali bin Abi Thalib sebagai khalifah keempat menggantikan khalifah Utsman bin Affan.
II.      Nasab
Ali bin Abi Thalib bin Abdul Mutthalib bin Hasyim bin Abdi Manaf bi Qushay bin Murrah bin Ka’ab bin Luay bin Ghalib bin Fihr bin Malik bin Nadhr bin Kinanah bin Khuzaimah bin Mudrikah bin Ilyas bin Mudhar bin Nizar bin Ma’ad bin ‘Adnan.[3]
Ali dilahirkan dari pasangan Abu Thalib bin Abdul Mutthalib bin Hasyim bin Abdu Manaf dengan Fatimah binti Asad bin Hasyim bin Abdu Manaf.[4] Dilahirkan pada hari Jum’at 13 rajab 600 M (pendapat lain mengatakan bahwa tahun kelahirannya 570 M).
Orang tua Ali masih memiliki pertalian darah yang berasal dari moyang mereka Hasyim. Merupakan hal yang pertama kali terjadi dikalangan bani Hasyim sebuah proses perkawinan dari moyang yang sama.
Kebiasaan bangsa Arab Jahiliyah memberikan nama kepada anaknya dengan menggunakan gelar binatang sebagai tanda keperkasaannya. Sehingga ketika lahir Ali dinamai oleh ibunya dengan nama Haidar (singa) namun diganti oleh ayahnya Abu Thalib dengan nama Ali (yang berbudi luhur).
III.   Masa Muda
Masa kanak-kanak Ali diasuh oleh saudara sepupunya Muhammad SAW., sebab Muhammad SAW melihat kondisi pamannya Abu Thalib yang memiliki banyak anak namun miskin, berbeda dengan beberapa orang pamannya seperti Hamzah, Abbas, dan Abd. Uzza yang memiliki kelebihan harta namun memiliki perangai yang berbeda. Hal ini pula yang menjadi alasan bagi Abdul Mutthalib untuk memanggil Abu Thalib ketika menjelang ajalnya dan menyerakna cucu kesayangannya Muhammad SAW untuk diasuhnya daripada diserahkan kepada anak-anaknya yang lain.
Hamzah memiliki perangai yang kasar dan bengis sehingga ditakutkan Muhammad SAW akan mengikuti perangainya, Abbas yang berprofesi sebagai saudagar kaya namun ia kikir, Abd. Uzza juga memiliki banyak harta namun fanatisme terhadap ajaran nenek moyangnya sebagai penyembah berhala. Hal inilah yang ditakuti oleh Abdul Mutthalib yang selama hidupnya mewarisi apa yang didapatkannya dari Hasyim orang tuanya tentang etika-etika yang baik yang selama hidupnya tidak pernah menyembah berhala dan memiliki sifat yang baik dan agung yang kemudian mengantarkannya sebagai penjaga ka’bah dan pemberi makan dan minum bagi peziarah.[5]
Sifat yang diturunkan Abu Thalib kepada Muhammad SAW juga diturunkannya kepada Ali bin Abi Thalib. Ali yang pertama kali terbuka rohaninya melihat ajaran tauhid yang dibawa oleh Muhammad SAW sebagai risalah Tuhan, Ali hanya mengenal cahaya Islam dan pada saat usianya 10 tahun ia sudah menerima Islam tanpa ragu dan berunding sedikitpun.[6] Olehnya itu, sejarah mencatat bahwa Ali merupakan orang pertama dari Bani Hasyim dan dari kalangan anak muda (belum akil baligh) yang memeluk Islam.
IV.   Pernikahannya
Pernikahan pertamanya terjadi pada tahun 624 Masehi setelah perang Badar, Ali melamar putri Rasulullah SAW., Fatimah az-Zahrah binti Muhammad setelah sebelumnya akan dilamar oleh Abu Bakar as-Shiddiq dan Umar bin Khattab namun kurang mendapat respon dari Rasulullah SAW., ketika Ali yang meminta kepada Muhammad SAW., untuk melamar Fatimah maka Rasulullah menyambutnya dengan positif. Ali menjual perisainya seharga 400 dirham untuk dijadikan mahar.[7] Pernikahan Ali bin Abi Thalib dengan Fatimah az-Zahrah melahirkan anak yaitu Hasan, Husain, Muhsin, Ummu Kulsum, dan Zainab.
Pernikahan keduanya, dilakukan dengan Ummul Banin binti Haram yang darinya terlahir Jafar, Abbas, Abdullah, dan Utsman. Pernikahan ketiga dilakukan dengan Laila binti Mas’ud yang darinya terlahir Ubaidullah dan Abu Bakar. Istri keempatnya adalah Asma binti Umays dari terlahir Yahya dan Muhammad Asghar. Istri kelimanya bernama Rukiyah. Istri ketujuhnya adalah Haulah binti Ja’far darinya terlahir Muhammad bin al-Hanafiyah. Istri kedelapannya adalah Ummu Said binti Urwah darinya terlahir Ummul Hasan dan Ramlah Kubra. Istri kesembilannya adalah Mahabbab binti Imru’ul Qays darinya terlahir seorang putri yang meninggal ketika masih kecil.[8]
Ali bin Abi Thalib menikah sebanyak sembilan kali, namun pernikahannya yang kedua dan seterusnya dilakukan setelah wafatnya Fatimah az-Zahrah. Dari hasil pernikahannya melahirkan 14 orang anak laki-laki dan 17 orang anak perempuan.
V.      Sifat dan Keistimewaannya
1.    Pemberani
Ali bin Abi Thalib merupakan sosok yang pemberani, keberaniannya terlihat pada saat Rasulullah SAW ingin melakukan hijrah ke Madinah bersama Abu Bakar. Ali menggantikan posisi nabi Muhammad SAW untuk tidur di tempat tidurnya. Pada perang Badar tampil beradu tanding bersama dengan Hamzah, dan Abu Ubaidah, begitupula pada perang ahzab (khandak) Ali dengan keberaniannya menghadapi tantangan dari Amr bin Abd Wudd untuk beradu tanding.
2.    Berakhlak Mulia
Pemaaf merupakan sosok yang dimiliki oleh Ali bin Abi Thalib, sifat ini dilakukannya sebagaimana yang telah diterimanya dari gurunya (Rasulullah SAW) untuk senantiasa memberi maaf terhadap orang yang merugikannya. Lapang dada dan tidak pendendam juga merupakan akhlak yang dimiliki oleh Ali bin Abi Thalib. Beliau juga dikenal sebagai orang yang zahid yang menjauhi  kemewahan dan kesenangan dunia, serta memiliki sifat wara’ yang selalu menjauhi perbuatan dosa dan syubhat. Memiliki ilmu yang dalam dan luas sebagai tempat sahabat-sahabat yang terkemuka bertanya mengenai persoalan-persoalan hukum agama, tidak jarang diminta fatwanya terhadap perkaraperkara yang sulit.[9]
VI.   Kepemimpinan Khalifah Ali
Jum’at, 24 Dzulhijjah 35 H Ali bin Abi Thalib dibaiat oleh ummat, menggantikan posisi khalifah Utsman bin Affan yang tewas terbunuh.[10] Pengukuhannya sebagai khalifah tidak semulus seperti pengukuhan tiga orang khalifah sebelumnya. Ia dibaiat di tengah-tengah suasana berkabung atas meninggalnya khalifah Utsman bin Affan. Ali dibaiat oleh mayoritas rakyat Muhajirin dan Anshar serta para tokoh sahabat seperti Thalhah bin Ubaidillah dan Zubair bin Awwam, meskipun beberapa orang sahabat senior yang pada saat itu berada di Madinah tidak mau membaiatnya seperti Abdullah bin Umar, Muhammad bin Maslamah, Saad bin Abi Waqqas, Hasan bin Tsabit, dan Abdullah bin Salam.[11]
Muawiyah bin Abi Sofyan selaku gubernur Syam juga tidak membaiat Ali bin Abi Thalib dengan alasan bahwa perlu mengutamakan pengusutan kasus pembunuhan Utsman, jika pengusutan kasus tersebut telah selesai dilakukan dan Ali berhasil menangkap pembunuh Utsman, barulah Muawiyah bersedia membaiatnya sebagai khalifah.[12]
Kasus pembunuhan Utsman menjadi dalih dari sebagian kelompok yang melatari timbulnya kisruh pada masa kepemimpinan Ali bin Abi Thalib. Pada masanya terjadi beberapa perang antara sesama muslim seperti:
1.    Perang Jamal
Ketika Aisyah r.a melakukan ibadah haji di Makkah bersama istri-istri Rasulullah SAW lainnya (Hafsah dan Um Salamah) dengan rombongan terdengar olehnya berita kematian Utsman dalam perjalanan pulang ke Madinah sehingga mengurungkan niatnya untuk kembali ke Madinah, namun berbalik kembali ke Makkah. Di Masjidil Haram, Aisyah dibalik tirai berpidato dihadapan kaum muslimin tentang pembunuhan khalifah Utsman dan menyatakan kemarahannya.[13]
Pidato yang disampaikan oleh Aisyah ummul mukminin memiliki efek yang cukup besar, mengundang beberapa orang penting untuk memenuhi seruan tersebut seperti Ya’la bin Umayyah, Walid bin Uqbah, Sa’id bin As bin Umayyah dan Marwan bin Hakam. Kedatangan mereka ke Makkah memperkuat barisan Aisyah r.a untuk menuntut atas darah Utsman. Barisan ini lebih kuat lagi setelah kehadiran Zubair bin Awwam dan Thalhah bin Ubaidillah yang memang telah menentang Ali ketika di Madinah.
Aisyah sendiri pernah menuai kekecewaan terhadap sikap Ali bin Abi Thalib pada saat terjadi hadis al-ifk (berita bohong) yang menimpa dirinya. Pada saat itulah sikap Aisyah berubah kepada Ali bin Abi Thalib, diperparah dengan pembaiatan Ali bin Abi Thalib sebagai khalifah ketika dirinya berada di Makkah menunaikan ibadah haji.[14]
Ketika situasi di Basrah sudah mulai genting maka khalifah Ali bin Abi Thalib bergegas menuju Bashrah untuk mengamankan situasi sehingga tidak terjadi keributan dan peperangan, meskipun khalifah Ali sendiri dilarang menuju Bashrah dengan melihat statusnya sebagai khalifah.
Perangpun tak dapat dielakkan, meskipun khalifah Ali bin Abi Thalib telah berupaya melakukan musyawarah dengan berdialog dengan Zubair bin Awwam, Thalhah bin Ubaidillah, dan Aisyah ummul mukminin. Zubair bin Awwam dapat diyakinkan oleh khalifah Ali sehingga beliau menyadari dan berusaha menjauhkan diri dari perang tersebut sampai ia terbunuh oleh pedang Ibnu Jurmuz. Thalhah tetap dengan pendiriannya tetap melakukan perlawanan dan menuai ajal oleh anak panah Marwan bin Hakam, dan Aisyah Ummul Mukminin sendiri diyakinkan oleh khalifah Ali dan dipulangkan ke Madinah sehingga mengakhiri perang tersebut.
2.    Perang Siffin
Perang Siffin merupakan perang kedua yang dilakukan oleh khalifah Ali bin Abi Thalib pasca terpilihnya sebagai khalifah melawan pasukan Muawiyah bin Abu Sofyan di Syiria (Syam). Terjadi di Siffin (sebuah bukit) yang terleyak di sebelah barat Sungai Furat, selatan Riqqah, daerah berbatasan antara Suriah dengan Irak, terjadi pada bulan Dzulhijjah tahun 36 H (Juni 657 M).[15]
Pada awalnya peperangan hampir dimenangkan oleh khalifah Ali bin Abi Thalib, namun dengan kecerdikan taktik yang dilakukan oleh Amru bin Ash yang mengusulkan kepada Mua’wiyah untuk mengangkat al-Qur’an sebagai tanda menghentikan perang dan melakukan perundingan, cara ini kemudian dikenal dengan tahkim (arbitrase).[16]
Abu Musa al-Asy’ari berada dipihak Ali bin Abi Thalib dan Amr bin al-Ash mewakili kubu Muawiyah dalam proses perundingan, dimana dalam proses perundingan ini merugikan pihak Ali bin Abi Thalib yang mendapatkan kesempatan untuk berbicara lebih dahulu dengan alasan tradisi mendahulukan orang yang lebih tua, sehingga pada saat Abu Musa al-Asy’ari mengatakan bahwa menjatuhkan kepemimpinan Ali bin Abi Thalib sebagai khalifah, maka tampillah Amr bin al-Ash sebagai pembicara kedua yang menyetujui penjatuhan Ali  dan menolak penjatuhan Muawiyah.[17]
Peristiwa Siffin yang berujung pada proses tahkim yang dilakukan oleh kedua kubu antara Ali bin Abi Thalib dengan Muawiyah bin Abi Sofyan yang berdampak pada kekecewaan sebagian ummat dan penolakan Ali bin Abi Thalib terahadap pengukuhan Muawiyah sebagai khalifah dengan cara yang dianggap licik sampai akhir hidupnya.
Peristiwa tahkim menyebabkan menjadi alasan lahirnya aliran khawarij yang pada awalnya ikut berperang bersama dengan khalifah Ali meskipun pada awalnya golongan khawarij sendiri yang mendorong khalifah Ali bin Abi Thalib untuk melakukan arbitrase, setelah mendengarkan hasilnya maka merekapun memberontak.[18]
Pemberontakan yang dilakukan oleh golongan khawarij membuat khalifah Ali mengerahkan sebagian pasukannya untuk memberantas pergerakan yang dilakukan oleh golongan tersebt di Nahrawan sehingga menimbulkan banyak korban dari golongan khawarij, sehingga mengundang kemarahan dari pelanjut golongan tersebut untuk menyusun rencana melakukan pembunahan terhadap orang-orang yang melakukan arbitrase (Ali, Muawiyah, dan Amr bin al-Ash), yang berhasil membunuh khalifah Ali bin Abi Thalib di tangan Ibnu Muljam ketika hendak melakukan shalat Subuh di Masjid Kufah.
VII. Penutup
Ali bin Abi Thalib merupakan salah satu khalifah yang memiliki sifat zuhud, ketika dianobatkan sebagai khalifah keempat menggantikan khalifah Utsman bin Affan beliau dihadapkan dengan berbagai macam pemberontakan sehingga tidak memberikan ruang baginya untuk melakukan perluasan wilayah Islam. Khalifah Ali bin Abi Thalib telah berupaya untuk memenuhi keinginan ummat pada masanya untuk mengganti para pejabat yang diangkat oleh khalifah sebelumnya sebagai pejabat yang korup dan tidak berakhlak, namun hal tersebut tidak diindahkan oleh beberapa wilayah kekuasaan yang sebaliknya melakukan perlawanan terhadap keputusan khalifah.
Ali bin Abi Thalib merupakan ancaman bagi segelintir orang yang mencintai dunia dan hidup dalam gelimang harta dan kekuasaan yang telah dinikmatinya. Selain itu, fitnah yang dilakukan oleh kaum sabais yang menjadi musuh dalam selimut bagi khalifah Ali dan menjadi duri dalam Islam sehingga melahirkan fitnah besar bagi ummat yang diawali dengan terbunuhnya khalifah Utsman sampai kepada lahirnya aliran teologi.
Sifat iri dan dengki yang terbawa dari zaman jahiliyah tentang perebutan kekuasaan antar kabilah kembali melekat pada ummat tertentu yang memicu lahirnya pergolakan politik dari kaum Tulaqa’. Sehingga pasca terbunuhnya khalifah Ali menjadi akhir dari masa kepemimpinan khulafa ar-Rasyidin dan menjadi babak baru lahirnya Dinasti dalam Islam.  


DAFTAR PUSTAKA

Abdurrahman, Dudung. et.all. 2016. Sejarah Peradaban Islam: Dari Masa Klasik Hingga Moderen. Cet. V; Yogyakarta: LESFI
Al-Nadwi, Abu al-Hasan Ali. 1988. Islam Membangun Peradaban Dunia. Terj. M. Ruslan Shiddieq; Jakarta: Pustaka Jaya dan Djambatan
Al-Khateeb, Firas. 2016. Sejarah Islam Yang Hilang : Menelusuri Kembali Kejayaan Muslim pada Masa Lalu. Terj. Mursyid Wijanarko; Cet. II; Yogyakarta: PT. Bentang Pustaka
Amini, Ibrahim. 2002. Imam Mahdi: Penerus Kepemimpinan Ilahi (Studi Komprehensif dari Jalur Sunnah dan Syi’ah tentang Eksistensi Imam Mahdi. Jakarta: al-Huda
Audah, Ali. 2016. Ali bin Abi Thalib Sampai Kepada Hasan dan Husain. Cet. XIII; Jakarta: PT. Tintamas
Ash-Shallabi, Ali Muhammad. 2014. Ismi al-Mutthalib Fii Siiratu Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib. Lebanon: Darul Ma’rifah Beirut, 2014
Ash-Shiddieqy, M. Hasbi. 1992. Sejarah dan Pengantar Ilmu Tauhid / Kalam. Cet. VI; Jakarta: Bulan Bintang
Asy-Syak’ah, Mustofa Muhammad. 1994. Islami Bi Laa Madzaahib: Islam Tidak Bermazhab. Terj. A.M. Basalamah; Jakarta: Gema Insani
Asy-Syahrastani. Tth. al-Milal wa al-Nihal : Aliran-Aliran Teologi dalam Sejarah Umat Manusia. Terj. Aswadie Syukur; Surabaya: Bina Ilmu
Atjeh. Aboe Bakar. 2017. Sejarah Syiah di Nusantara. Bandung: Sega Arsy
Engineer, Asghar Ali. 1999. Asal Usul dan Perkembangan Islam. Terj. Imam Baehaqi; Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Fouda, Farag. 2003. Kebenaran Yang Hilang : Sisi Kelam Praktik Politik dan Kekuasaam dalam Sejarah Kaum Muslim. Terj. Kholid Dawam dan Syaiful Bahri; Cet. II; Ed. Digital; Jakarta: Democracy Project YayasanAbad Demokrasi
Haekal, Muhammad Husain. 2015. Abu Bakar as-Shiddiq : Sebuah Biografi dan Studi Analisis tentang Permulaan Sejarah Islam Sepeninggal Nabi. Terj. Ali Audah; Cet. XIV; Jakarta: PT. Tintamas Indonesia
________. 2015. Usman bin Affan: Antara Kekhalifahan dengan Kerajaan. Terj. Ali Audah; Cet. XIII; Jakarta: PT. Tintamas Indonesia
Kennedy, Hugh. 2016. Penaklukan Muslim Yang Mengubah Dunia. Terj. Ratih Ramelan; Cet. III; Jakarta: PT. Pustaka Alvabet
Khubairi, Syaikh Muhammad. 2011. Kecerdasan Fuqaha dan Kecerdikan Khulafa. Terj. Nabhani Idris; Jakarta: Pustaka al-Kautsar
Mannan, Abdul. 2016. Era Peradaban Baru: Dari Segumpal Darah Menuju Jalan Yang Lurus. Surabaya: Lentera Jaya Madina Mulia Mandiri
Nadwi, Sulaiman. 2015. Best Stories of Ali bin Abi Thalib: Kecerdasan dan Keberanian Menyatu dalam Dirinya Laksana Oase di Tengah Gurun. Jakarta: Kaysa Media
Nasution, Harun. 2015. Teologi Islam: Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan. Cet. V; Jakarta: Universitas Indonesia Press
Supriyadi, Dedi. 2008. Sejarah Peradaban Islam. Bandung: Pustaka Setia



[1] Ali Audah, Ali bin Abi Thalib Sampai Kepada Hasan dan Husain (Cet. XIII; Jakarta: PT. Tintamas, 2016), h. 232
[2] Sulaiman Nadwi, Best Stories of Ali bin Abi Thalib: Kecerdasan dan Keberanian Menyatu dalam Dirinya Laksana Oase di Tengah Gurun (Jakarta: Kaysa Media, 2015), h. 65
[3] Ali Muhammad ash-Shallabi, Ismi al-Mutthalib Fii Siiratu Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib (Lebanon: Darul Ma’rifah Beirut, 2014), h. 31
[4] Ali Audah, h. 27
[5] Sulaiman Nadwi, h. 11
[6] Ali Audah, h. 29
[7] Sulaiman Nadwi, h. 27
[8] Sulaiman Nadwi, h. 163
[9] Ali Muhammad al-Shallabi, h. 249
[10] Abdul Mannan, Era Peradaban Baru: Dari Segumpal Darah Menuju Jalan Yang Lurus (Surabaya: Lentera Jaya Madina Mulia Mandiri, 2016), h. 128
[11] Dedi Supriyadi, Sejarah Peradaban Islam (Bandung: Pustaka Setia, 2008), h. 93
[12] Dudung Abdurrahman et.all, Sejarah Peradaban Islam: Dari Masa Klasik Hingga Moderen (Cet. V; Yogyakarta: LESFI, 2016), h. 46
[13] Ali Audah, h. 220
[14] Ali Muhammad as-Shallabi, h. 451
[15] Ali Audah, h. 257
[16] Mustofa Muhammad asy-Syak’ah, Islami Bi Laa Madzaahib: Islam Tidak Bermazhab (Terj. A.M. Basalamah; Jakarta: Gema Insani, 1994), h. 103
[17] Harun Nasution, Teologi Islam : Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan (Cet. V; Jakarta: Universitas Indonesia Press, 2015), h. 7
[18] Asy-Syahrastani, al-Milal wa al-Nihal : Aliran-Aliran Teologi dalam Sejarah Umat Manusia (Terj. Aswadie Syukur; Surabaya: Bina Ilmu, tth), h. 102

No comments:

Makalah: Mahabbah, Makrifah

BAB I PENDAHULUAN   A.      Latar Belakang Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi membawa manusia larut dan terbuai dalam din...