ALI BIN ABI
THALIB KARRAMALLAHU WAJHU
Asrul Rahman
Program Magister Pasca Sarjana UIN
Alauddin Makassar
Email: athayarrahman86ael@gmail.com
Abstrak
Ali bin Abi Thalib merupakan salah satu dari empat khalifah
al-Rasyidah. Anak dari Abu Thalib dan Fatimah binti Asad, diasuh dan dibesarkan
oleh Rasulullah Saw., sekaligus sebagai orang pertama yang masuk Islam dari
golongan anak-anak dan dari Bani Hasyim. Menikah dengan sembilan wanita, salah
satu di antaranya adalah Fatimah az-Zahrah putri Nabi Saw. Pemuda yang memiliki
akhlak yang terpuji dan pemberani, terlihat pada saat menggantikan posisi
Rasulullah Saw untuk tidur di tempat tidurnya ketika Rasulullah Saw melakukan
hijrah ke Madinah bersama Abu Bakar. Dibaiat menjadi khalifah keempat
menggantikan khalifah Utsman bin Affan yang wafat terbunuh.
I.
Pendahuluan
Kepemimpinan
khalifah utsman bin affan pada 6 tahun awal berjalan dengan lancar tanpa ada gangguan
dan protes dari rakyat atau kaum muslimin yang telah meluas, sebab pada masa
itu wilayah Islam telah meluas di wilayah jazirah Arab seperti Syam, Kufah,
Basrah, dan Mesir.
Protes
dan isu-isu pemberontakan terjadi pada masa kepemimpinan khalifah Utsman bin
Affan terjadi pada 6 tahun akhir pemerintahannya. Thalhah bin Ubaidillah yang
merupakan salah satu sahabat bahkan mengancam akan mengerahkan orang untuk
membunuh khalifah Utsman bin Afffan disebabkan karena ketidak puasannya dengan
kepemimpinan khalifah.[1]
Protes
demi protes bergaung diberbagai wilayah kekuasaan Islam yang merupakan bentuk
usaha dari golongan sabais atau golongan pengikut Abdullah ibnu Saba
yang sengaja menanam duri dalam Islam yang berujung pada terbunuhya khalifah
Utsman bin Affan.[2]
Kisruh
protes terhadap kebijakan khalifah dari penduduk Mesir dicampuri oleh beberapa
pihak yang sengaja untuk merusak Islam baik yang datang dari luar maupun yang
ada di internal keluarga Khalifah Utsman bin Affan, dan peristiwa terbunuhnya
khalifah Utsman membuka kran terpilihnya Ali bin Abi Thalib sebagai khalifah
keempat menggantikan khalifah Utsman bin Affan.
II.
Nasab
Ali
bin Abi Thalib bin Abdul Mutthalib bin Hasyim bin Abdi Manaf bi Qushay bin
Murrah bin Ka’ab bin Luay bin Ghalib bin Fihr bin Malik bin Nadhr bin Kinanah
bin Khuzaimah bin Mudrikah bin Ilyas bin Mudhar bin Nizar bin Ma’ad bin ‘Adnan.[3]
Ali
dilahirkan dari pasangan Abu Thalib bin Abdul Mutthalib bin Hasyim bin Abdu
Manaf dengan Fatimah binti Asad bin Hasyim bin Abdu Manaf.[4]
Dilahirkan pada hari Jum’at 13 rajab 600 M (pendapat lain mengatakan bahwa
tahun kelahirannya 570 M).
Orang
tua Ali masih memiliki pertalian darah yang berasal dari moyang mereka Hasyim.
Merupakan hal yang pertama kali terjadi dikalangan bani Hasyim sebuah proses
perkawinan dari moyang yang sama.
Kebiasaan
bangsa Arab Jahiliyah memberikan nama kepada anaknya dengan menggunakan gelar
binatang sebagai tanda keperkasaannya. Sehingga ketika lahir Ali dinamai oleh
ibunya dengan nama Haidar (singa) namun diganti oleh ayahnya Abu Thalib dengan
nama Ali (yang berbudi luhur).
III.
Masa
Muda
Masa
kanak-kanak Ali diasuh oleh saudara sepupunya Muhammad SAW., sebab Muhammad SAW
melihat kondisi pamannya Abu Thalib yang memiliki banyak anak namun miskin,
berbeda dengan beberapa orang pamannya seperti Hamzah, Abbas, dan Abd. Uzza
yang memiliki kelebihan harta namun memiliki perangai yang berbeda. Hal ini
pula yang menjadi alasan bagi Abdul Mutthalib untuk memanggil Abu Thalib ketika
menjelang ajalnya dan menyerakna cucu kesayangannya Muhammad SAW untuk
diasuhnya daripada diserahkan kepada anak-anaknya yang lain.
Hamzah
memiliki perangai yang kasar dan bengis sehingga ditakutkan Muhammad SAW akan
mengikuti perangainya, Abbas yang berprofesi sebagai saudagar kaya namun ia
kikir, Abd. Uzza juga memiliki banyak harta namun fanatisme terhadap ajaran
nenek moyangnya sebagai penyembah berhala. Hal inilah yang ditakuti oleh Abdul
Mutthalib yang selama hidupnya mewarisi apa yang didapatkannya dari Hasyim
orang tuanya tentang etika-etika yang baik yang selama hidupnya tidak pernah
menyembah berhala dan memiliki sifat yang baik dan agung yang kemudian
mengantarkannya sebagai penjaga ka’bah dan pemberi makan dan minum bagi
peziarah.[5]
Sifat
yang diturunkan Abu Thalib kepada Muhammad SAW juga diturunkannya kepada Ali
bin Abi Thalib. Ali yang pertama kali terbuka rohaninya melihat ajaran tauhid
yang dibawa oleh Muhammad SAW sebagai risalah Tuhan, Ali hanya mengenal cahaya
Islam dan pada saat usianya 10 tahun ia sudah menerima Islam tanpa ragu dan
berunding sedikitpun.[6]
Olehnya itu, sejarah mencatat bahwa Ali merupakan orang pertama dari Bani
Hasyim dan dari kalangan anak muda (belum akil baligh) yang memeluk Islam.
IV.
Pernikahannya
Pernikahan
pertamanya terjadi pada tahun 624 Masehi setelah perang Badar, Ali melamar
putri Rasulullah SAW., Fatimah az-Zahrah binti Muhammad setelah sebelumnya akan
dilamar oleh Abu Bakar as-Shiddiq dan Umar bin Khattab namun kurang mendapat
respon dari Rasulullah SAW., ketika Ali yang meminta kepada Muhammad SAW.,
untuk melamar Fatimah maka Rasulullah menyambutnya dengan positif. Ali menjual
perisainya seharga 400 dirham untuk dijadikan mahar.[7]
Pernikahan Ali bin Abi Thalib dengan Fatimah az-Zahrah melahirkan anak yaitu
Hasan, Husain, Muhsin, Ummu Kulsum, dan Zainab.
Pernikahan
keduanya, dilakukan dengan Ummul Banin binti Haram yang darinya terlahir Jafar,
Abbas, Abdullah, dan Utsman. Pernikahan ketiga dilakukan dengan Laila binti
Mas’ud yang darinya terlahir Ubaidullah dan Abu Bakar. Istri keempatnya adalah
Asma binti Umays dari terlahir Yahya dan Muhammad Asghar. Istri kelimanya
bernama Rukiyah. Istri ketujuhnya adalah Haulah binti Ja’far darinya terlahir
Muhammad bin al-Hanafiyah. Istri kedelapannya adalah Ummu Said binti Urwah
darinya terlahir Ummul Hasan dan Ramlah Kubra. Istri kesembilannya adalah
Mahabbab binti Imru’ul Qays darinya terlahir seorang putri yang meninggal
ketika masih kecil.[8]
Ali
bin Abi Thalib menikah sebanyak sembilan kali, namun pernikahannya yang kedua
dan seterusnya dilakukan setelah wafatnya Fatimah az-Zahrah. Dari hasil
pernikahannya melahirkan 14 orang anak laki-laki dan 17 orang anak perempuan.
V.
Sifat
dan Keistimewaannya
1.
Pemberani
Ali bin Abi
Thalib merupakan sosok yang pemberani, keberaniannya terlihat pada saat
Rasulullah SAW ingin melakukan hijrah ke Madinah bersama Abu Bakar. Ali
menggantikan posisi nabi Muhammad SAW untuk tidur di tempat tidurnya. Pada
perang Badar tampil beradu tanding bersama dengan Hamzah, dan Abu Ubaidah,
begitupula pada perang ahzab (khandak) Ali dengan keberaniannya menghadapi
tantangan dari Amr bin Abd Wudd untuk beradu tanding.
2.
Berakhlak
Mulia
Pemaaf
merupakan sosok yang dimiliki oleh Ali bin Abi Thalib, sifat ini dilakukannya
sebagaimana yang telah diterimanya dari gurunya (Rasulullah SAW) untuk
senantiasa memberi maaf terhadap orang yang merugikannya. Lapang dada dan tidak
pendendam juga merupakan akhlak yang dimiliki oleh Ali bin Abi Thalib. Beliau
juga dikenal sebagai orang yang zahid yang menjauhi kemewahan dan kesenangan dunia, serta
memiliki sifat wara’ yang selalu menjauhi perbuatan dosa dan syubhat. Memiliki
ilmu yang dalam dan luas sebagai tempat sahabat-sahabat yang terkemuka bertanya
mengenai persoalan-persoalan hukum agama, tidak jarang diminta fatwanya
terhadap perkaraperkara yang sulit.[9]
VI.
Kepemimpinan
Khalifah Ali
Jum’at, 24
Dzulhijjah 35 H Ali bin Abi Thalib dibaiat oleh ummat, menggantikan posisi
khalifah Utsman bin Affan yang tewas terbunuh.[10]
Pengukuhannya sebagai khalifah tidak semulus seperti pengukuhan tiga orang
khalifah sebelumnya. Ia dibaiat di tengah-tengah suasana berkabung atas
meninggalnya khalifah Utsman bin Affan. Ali dibaiat oleh mayoritas rakyat
Muhajirin dan Anshar serta para tokoh sahabat seperti Thalhah bin Ubaidillah
dan Zubair bin Awwam, meskipun beberapa orang sahabat senior yang pada saat itu
berada di Madinah tidak mau membaiatnya seperti Abdullah bin Umar, Muhammad bin
Maslamah, Saad bin Abi Waqqas, Hasan bin Tsabit, dan Abdullah bin Salam.[11]
Muawiyah bin
Abi Sofyan selaku gubernur Syam juga tidak membaiat Ali bin Abi Thalib dengan
alasan bahwa perlu mengutamakan pengusutan kasus pembunuhan Utsman, jika
pengusutan kasus tersebut telah selesai dilakukan dan Ali berhasil menangkap
pembunuh Utsman, barulah Muawiyah bersedia membaiatnya sebagai khalifah.[12]
Kasus
pembunuhan Utsman menjadi dalih dari sebagian kelompok yang melatari timbulnya
kisruh pada masa kepemimpinan Ali bin Abi Thalib. Pada masanya terjadi beberapa
perang antara sesama muslim seperti:
1.
Perang
Jamal
Ketika Aisyah
r.a melakukan ibadah haji di Makkah bersama istri-istri Rasulullah SAW lainnya
(Hafsah dan Um Salamah) dengan rombongan terdengar olehnya berita kematian
Utsman dalam perjalanan pulang ke Madinah sehingga mengurungkan niatnya untuk
kembali ke Madinah, namun berbalik kembali ke Makkah. Di Masjidil Haram, Aisyah
dibalik tirai berpidato dihadapan kaum muslimin tentang pembunuhan khalifah
Utsman dan menyatakan kemarahannya.[13]
Pidato yang
disampaikan oleh Aisyah ummul mukminin memiliki efek yang cukup besar,
mengundang beberapa orang penting untuk memenuhi seruan tersebut seperti Ya’la
bin Umayyah, Walid bin Uqbah, Sa’id bin As bin Umayyah dan Marwan bin Hakam.
Kedatangan mereka ke Makkah memperkuat barisan Aisyah r.a untuk menuntut atas
darah Utsman. Barisan ini lebih kuat lagi setelah kehadiran Zubair bin Awwam
dan Thalhah bin Ubaidillah yang memang telah menentang Ali ketika di Madinah.
Aisyah sendiri
pernah menuai kekecewaan terhadap sikap Ali bin Abi Thalib pada saat terjadi
hadis al-ifk (berita bohong) yang menimpa dirinya. Pada saat itulah
sikap Aisyah berubah kepada Ali bin Abi Thalib, diperparah dengan pembaiatan
Ali bin Abi Thalib sebagai khalifah ketika dirinya berada di Makkah menunaikan
ibadah haji.[14]
Ketika situasi
di Basrah sudah mulai genting maka khalifah Ali bin Abi Thalib bergegas menuju
Bashrah untuk mengamankan situasi sehingga tidak terjadi keributan dan
peperangan, meskipun khalifah Ali sendiri dilarang menuju Bashrah dengan
melihat statusnya sebagai khalifah.
Perangpun tak
dapat dielakkan, meskipun khalifah Ali bin Abi Thalib telah berupaya melakukan
musyawarah dengan berdialog dengan Zubair bin Awwam, Thalhah bin Ubaidillah,
dan Aisyah ummul mukminin. Zubair bin Awwam dapat diyakinkan oleh khalifah Ali
sehingga beliau menyadari dan berusaha menjauhkan diri dari perang tersebut
sampai ia terbunuh oleh pedang Ibnu Jurmuz. Thalhah tetap dengan pendiriannya
tetap melakukan perlawanan dan menuai ajal oleh anak panah Marwan bin Hakam,
dan Aisyah Ummul Mukminin sendiri diyakinkan oleh khalifah Ali dan dipulangkan
ke Madinah sehingga mengakhiri perang tersebut.
2.
Perang
Siffin
Perang
Siffin merupakan perang kedua yang dilakukan oleh khalifah Ali bin Abi Thalib
pasca terpilihnya sebagai khalifah melawan pasukan Muawiyah bin Abu Sofyan di
Syiria (Syam). Terjadi di Siffin (sebuah bukit) yang terleyak di sebelah barat
Sungai Furat, selatan Riqqah, daerah berbatasan antara Suriah dengan Irak,
terjadi pada bulan Dzulhijjah tahun 36 H (Juni 657 M).[15]
Pada
awalnya peperangan hampir dimenangkan oleh khalifah Ali bin Abi Thalib, namun
dengan kecerdikan taktik yang dilakukan oleh Amru bin Ash yang mengusulkan
kepada Mua’wiyah untuk mengangkat al-Qur’an sebagai tanda menghentikan perang
dan melakukan perundingan, cara ini kemudian dikenal dengan tahkim (arbitrase).[16]
Abu
Musa al-Asy’ari berada dipihak Ali bin Abi Thalib dan Amr bin al-Ash mewakili
kubu Muawiyah dalam proses perundingan, dimana dalam proses perundingan ini
merugikan pihak Ali bin Abi Thalib yang mendapatkan kesempatan untuk berbicara
lebih dahulu dengan alasan tradisi mendahulukan orang yang lebih tua, sehingga
pada saat Abu Musa al-Asy’ari mengatakan bahwa menjatuhkan kepemimpinan Ali bin
Abi Thalib sebagai khalifah, maka tampillah Amr bin al-Ash sebagai pembicara
kedua yang menyetujui penjatuhan Ali dan
menolak penjatuhan Muawiyah.[17]
Peristiwa
Siffin yang berujung pada proses tahkim yang dilakukan oleh kedua kubu antara
Ali bin Abi Thalib dengan Muawiyah bin Abi Sofyan yang berdampak pada
kekecewaan sebagian ummat dan penolakan Ali bin Abi Thalib terahadap pengukuhan
Muawiyah sebagai khalifah dengan cara yang dianggap licik sampai akhir
hidupnya.
Peristiwa
tahkim menyebabkan menjadi alasan lahirnya aliran khawarij yang pada awalnya
ikut berperang bersama dengan khalifah Ali meskipun pada awalnya golongan
khawarij sendiri yang mendorong khalifah Ali bin Abi Thalib untuk melakukan
arbitrase, setelah mendengarkan hasilnya maka merekapun memberontak.[18]
Pemberontakan
yang dilakukan oleh golongan khawarij membuat khalifah Ali mengerahkan sebagian
pasukannya untuk memberantas pergerakan yang dilakukan oleh golongan tersebt di
Nahrawan sehingga menimbulkan banyak korban dari golongan khawarij, sehingga
mengundang kemarahan dari pelanjut golongan tersebut untuk menyusun rencana
melakukan pembunahan terhadap orang-orang yang melakukan arbitrase (Ali,
Muawiyah, dan Amr bin al-Ash), yang berhasil membunuh khalifah Ali bin Abi
Thalib di tangan Ibnu Muljam ketika hendak melakukan shalat Subuh di Masjid
Kufah.
VII.
Penutup
Ali
bin Abi Thalib merupakan salah satu khalifah yang memiliki sifat zuhud, ketika
dianobatkan sebagai khalifah keempat menggantikan khalifah Utsman bin Affan
beliau dihadapkan dengan berbagai macam pemberontakan sehingga tidak memberikan
ruang baginya untuk melakukan perluasan wilayah Islam. Khalifah Ali bin Abi
Thalib telah berupaya untuk memenuhi keinginan ummat pada masanya untuk
mengganti para pejabat yang diangkat oleh khalifah sebelumnya sebagai pejabat
yang korup dan tidak berakhlak, namun hal tersebut tidak diindahkan oleh beberapa
wilayah kekuasaan yang sebaliknya melakukan perlawanan terhadap keputusan
khalifah.
Ali
bin Abi Thalib merupakan ancaman bagi segelintir orang yang mencintai dunia dan
hidup dalam gelimang harta dan kekuasaan yang telah dinikmatinya. Selain itu,
fitnah yang dilakukan oleh kaum sabais yang menjadi musuh dalam selimut bagi
khalifah Ali dan menjadi duri dalam Islam sehingga melahirkan fitnah besar bagi
ummat yang diawali dengan terbunuhnya khalifah Utsman sampai kepada lahirnya
aliran teologi.
Sifat
iri dan dengki yang terbawa dari zaman jahiliyah tentang perebutan kekuasaan
antar kabilah kembali melekat pada ummat tertentu yang memicu lahirnya
pergolakan politik dari kaum Tulaqa’. Sehingga pasca terbunuhnya khalifah Ali
menjadi akhir dari masa kepemimpinan khulafa ar-Rasyidin dan menjadi babak baru
lahirnya Dinasti dalam Islam.
DAFTAR PUSTAKA
Abdurrahman,
Dudung. et.all. 2016. Sejarah Peradaban Islam: Dari Masa Klasik Hingga
Moderen. Cet. V; Yogyakarta: LESFI
Al-Nadwi,
Abu al-Hasan Ali. 1988. Islam Membangun Peradaban Dunia. Terj. M. Ruslan
Shiddieq; Jakarta: Pustaka Jaya dan Djambatan
Al-Khateeb,
Firas. 2016. Sejarah Islam Yang Hilang : Menelusuri Kembali Kejayaan Muslim
pada Masa Lalu. Terj. Mursyid Wijanarko; Cet. II; Yogyakarta: PT. Bentang
Pustaka
Amini,
Ibrahim. 2002. Imam Mahdi: Penerus Kepemimpinan Ilahi (Studi Komprehensif
dari Jalur Sunnah dan Syi’ah tentang Eksistensi Imam Mahdi. Jakarta:
al-Huda
Audah,
Ali. 2016. Ali bin Abi Thalib Sampai Kepada Hasan dan Husain. Cet. XIII;
Jakarta: PT. Tintamas
Ash-Shallabi,
Ali Muhammad. 2014. Ismi al-Mutthalib Fii Siiratu Amirul Mukminin Ali bin
Abi Thalib. Lebanon: Darul Ma’rifah Beirut, 2014
Ash-Shiddieqy,
M. Hasbi. 1992. Sejarah dan Pengantar Ilmu Tauhid / Kalam. Cet. VI;
Jakarta: Bulan Bintang
Asy-Syak’ah,
Mustofa Muhammad. 1994. Islami Bi Laa Madzaahib: Islam Tidak Bermazhab. Terj.
A.M. Basalamah; Jakarta: Gema Insani
Asy-Syahrastani.
Tth. al-Milal wa al-Nihal : Aliran-Aliran Teologi dalam Sejarah Umat Manusia.
Terj. Aswadie Syukur; Surabaya: Bina Ilmu
Atjeh.
Aboe Bakar. 2017. Sejarah Syiah di Nusantara. Bandung: Sega Arsy
Engineer,
Asghar Ali. 1999. Asal Usul dan Perkembangan Islam. Terj. Imam Baehaqi;
Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Fouda,
Farag. 2003. Kebenaran Yang Hilang : Sisi Kelam Praktik Politik dan
Kekuasaam dalam Sejarah Kaum Muslim. Terj. Kholid Dawam dan Syaiful Bahri;
Cet. II; Ed. Digital; Jakarta: Democracy Project YayasanAbad Demokrasi
Haekal,
Muhammad Husain. 2015. Abu Bakar as-Shiddiq : Sebuah Biografi dan Studi
Analisis tentang Permulaan Sejarah Islam Sepeninggal Nabi. Terj. Ali Audah;
Cet. XIV; Jakarta: PT. Tintamas Indonesia
________.
2015. Usman bin Affan: Antara Kekhalifahan dengan Kerajaan. Terj. Ali
Audah; Cet. XIII; Jakarta: PT. Tintamas Indonesia
Kennedy,
Hugh. 2016. Penaklukan Muslim Yang Mengubah Dunia. Terj. Ratih Ramelan;
Cet. III; Jakarta: PT. Pustaka Alvabet
Khubairi,
Syaikh Muhammad. 2011. Kecerdasan Fuqaha dan Kecerdikan Khulafa. Terj.
Nabhani Idris; Jakarta: Pustaka al-Kautsar
Mannan,
Abdul. 2016. Era Peradaban Baru: Dari Segumpal Darah Menuju Jalan Yang Lurus.
Surabaya: Lentera Jaya Madina Mulia Mandiri
Nadwi,
Sulaiman. 2015. Best Stories of Ali bin Abi Thalib: Kecerdasan dan
Keberanian Menyatu dalam Dirinya Laksana Oase di Tengah Gurun. Jakarta:
Kaysa Media
Nasution,
Harun. 2015. Teologi Islam: Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan. Cet.
V; Jakarta: Universitas Indonesia Press
Supriyadi,
Dedi. 2008. Sejarah Peradaban Islam. Bandung: Pustaka Setia
[1] Ali Audah, Ali
bin Abi Thalib Sampai Kepada Hasan dan Husain (Cet. XIII; Jakarta: PT.
Tintamas, 2016), h. 232
[2] Sulaiman
Nadwi, Best Stories of Ali bin Abi Thalib: Kecerdasan dan Keberanian Menyatu
dalam Dirinya Laksana Oase di Tengah Gurun (Jakarta: Kaysa Media, 2015), h.
65
[3] Ali Muhammad
ash-Shallabi, Ismi al-Mutthalib Fii Siiratu Amirul Mukminin Ali bin Abi
Thalib (Lebanon: Darul Ma’rifah Beirut, 2014), h. 31
[4] Ali Audah, h.
27
[5] Sulaiman
Nadwi, h. 11
[6] Ali Audah, h.
29
[7] Sulaiman
Nadwi, h. 27
[8] Sulaiman
Nadwi, h. 163
[9] Ali Muhammad
al-Shallabi, h. 249
[10] Abdul Mannan, Era
Peradaban Baru: Dari Segumpal Darah Menuju Jalan Yang Lurus (Surabaya:
Lentera Jaya Madina Mulia Mandiri, 2016), h. 128
[11] Dedi
Supriyadi, Sejarah Peradaban Islam (Bandung: Pustaka Setia, 2008), h. 93
[12] Dudung
Abdurrahman et.all, Sejarah Peradaban Islam: Dari Masa Klasik Hingga Moderen
(Cet. V; Yogyakarta: LESFI, 2016), h. 46
[13] Ali Audah, h.
220
[14] Ali Muhammad
as-Shallabi, h. 451
[15] Ali Audah, h.
257
[16] Mustofa
Muhammad asy-Syak’ah, Islami Bi Laa Madzaahib: Islam Tidak Bermazhab
(Terj. A.M. Basalamah; Jakarta: Gema Insani, 1994), h. 103
[17] Harun
Nasution, Teologi Islam : Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan (Cet.
V; Jakarta: Universitas Indonesia Press, 2015), h. 7
[18] Asy-Syahrastani,
al-Milal wa al-Nihal : Aliran-Aliran Teologi dalam Sejarah Umat Manusia
(Terj. Aswadie Syukur; Surabaya: Bina Ilmu, tth), h. 102
No comments:
Post a Comment