Monday, October 30, 2017

SEJARAH PERKEMBANGAN TASAWUF




BAB I
PENDAHULUAN
A.      Latar Belakang
Islam sejak diturunkannya diterima dan diamalkan oleh masyarakat urban, atau masyarakat perkotaan di Mekah dan Madinah. Islam diterima ditengah masyarakat yang mampu berpikir rasional dan logis, membedakan dan menarik garis pemisah yang tegas antara yang Islam dan yang bukan Islam.
Agama Islam mengajarkan agar mencari petunjuk Tuhan yang benar sesuai dengan prinsip beragama menurut  prinsip al-Qur’an. Pada abad pertama Islam masih kurang terkontaminasi dengan berbagai macam pemahaman yang keliru, sebab masih berada dalam pengawasan dan bimbingan Nabi Saw.
Dewasa ini banyak dijumpai di masyarakat ajaran-ajaran yang menyimpang dengan mengatas namakan tasawuf sebagai landasan ajarannya, sehingga memberikan citra yang kurang baik terhadap Islam.
Pandangan tentang tasawuf pada masyarakat secara umum memiliki perbedaan, baik dalam hal memaknai ajaran tersebut, juga dalam mengaplikasikan konsep ajarannya. Bagi masyarakat yang kurang tertarik dengan konsep-konsep ajaran tasawuf, berpandangan bahwa ajarannya sarat dengan sikap atau perilaku yang kolot dan tertinggal sehingga bertentangan dengan kondisi zaman yang materialistik.
Pandangan lain tentang tasawuf datang dari kalangan yang memang bersimpati dengan konsep ajarannya, menganggap tasawuf sebagai media dengan konsep ajaran yang pas dan sesuai dengan nafas Islam untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT.
Pemaknaan tentang konsep-konsep ajaran sufisme atau tasawuf ditengah perkembangan abad moderen menjadi sesuatu yang penting bagi manusia, sebab manusia pada abad moderen ini menghadapi berbagai macam tantangan-tantangan yang semakin menjauhkan manusia dari Tuhan.
Peran penting tasawuf sebagai sebuah ajaran diperlukan untuk membentengi manusia dari perkembangan zaman. Sehingga manusia tidak terkontaminasi dari berbagai macam penyimpangan-penyimpangan sosial di masyarakat.
Menyikapi berbagai problem dalam pandangan tasawuf, terlebih dahulu perlu diketahui bagaimana perkembangan tasawuf dalam Islam.
B.  Rumusan Masalah
1.      Bagaimana sejarah perkembangan tasawuf dalam Islam ?
2.      Bagaimana klasifikasi tasawuf dan konsep ajarannya ?
C.  Tujuan
1.        Mengetahui sejarah perkembangan tasawuf dalam Islam
2.        Mengetahui klasifikasi tasawuf dan konsep ajarannya


BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A.      Sejarah Perkembangan Tasawuf
1.        Pengertian Tasawuf
Secara etimologi kata tasawuf diambil dari kata suffah yang berarti pelana.[1]  Kata tasawuf juga dapat dimaknai dari kata shuff atau wool kasar.[2]  Sedangkan secara terminologi tasawuf menurut Ibrahim Hilal adalah memilih jalan hidup secara zuhud, menjauhkan diri dari perhiasan hidup dalam segala bentuknya.  Tasawuf adalah bermacam-macam ibadah, wiridan lepas, berjaga diwaktu malam dengan memperbanyak shalat dan wirid, sehingga lemahlah unsur jasmaniah dalam diri seseorang dan semakin kuatlah unsur ruhaniahnya atau jiwanya.[3]
At-Taftazani menguraikan lebih rinci tentang pengertian tasawuf sebagai sebuah pandangan filosofis kehidupan yang bertujuan mengembangkan moralitas jiwa manusia yang dapat direalisasikan melalui latihan-latihan praktis tertentu (riyadliyyat ‘amaliyyah mu’ayyanah) yang mengakibatkan larutnya perasaan dalam hakikat transendental (al-haqiqat al-asma) dengan menggunakan pendekatan dzauq (cita rasa) sehingga menghasilkan kebahagiaan spritual (as-sa’adat ar-ruhiyyah) yang tidak dapat diekspresikan melalui bahasa biasa karena bersifat emosional dan individual (wujdaniyyat ath-thabi’i wa dztiyah).[4]
Dari kedua pendapat tentang pengertian tasawuf, disimpulkan bahwa tasawuf merupakan kegiatan ruhaniyah yang menitik beratkan pada bentuk pengolahan spritual bathiniyah yang dilakukan dengan menggunakan pendekatan cita rasa sehingga membuat pelakunya larut dalam pendekatan hakiki yang berfungsi utuk menguatkan jiwanya dari segala bentuk ancaman yang dapat merusak kadar keimanan spritual seseorang.
2.        Perkembangan Tasawuf    
Tasawuf berkembang dan dikenal secara luas di kawasan Islam sejak penghujung abad kedua hijriah,[5] sebagai perkembangan lanjut dari kesalehan asketis atau para zahid yang mengelompok di serambi Masjid Madinah. Kelompok ini lebih mengkhususkan diri untuk beribadah dan perkembangan kehidupan rohaniah dengan mengabaikan kenikmatan duniawi.
Mustafa Zahri menyatakan bahwa pada awalnya hidup kerohanian para kaum sufi semata-mata hanya mengendalikan jiwa dalam menempuh hidup mencari keridhaan Allah supaya tidak terpedaya oleh pengaruh kebendaan kemudian berubah menjadi suatu alat untuk mencapai tujuan yang lebih murni yaitu hendak mencapai hakekat Ketuhanan dengan mengenal Allah dengan sebenar-benarnya.[6]
Munculnya tasawuf dalam Islam tentang asal muasal tasawuf beragam. Awal munculnya tasawuf disinyalir berasal dari pengaruh Kristen dengan paham menjauhi dunia dan hidup mengasingkan diri dalam biara-biara sehingga dikatakan bahwa Zahid dan sufi Islam meninggalkan dunia, memilih hidup sederhana dan mengasingkan diri, adalah pengaruh cara hidup rahib-rahib Kristen.[7]
Zuhud yang dalam ajaran-ajaran agama non Islam semula hanya merupakan usaha individu untuk tidak tertarik terhadap kesenangan duniawi perlahan-lahan seiring perjalanan waktu mulai diterima oleh umat Islam. Apalagi bila melihat kenyataan bahwa zuhud adalah sebuah tiang penyangga bagi perilaku luhur atau dalam bahasa yang lebih tegas, zuhud pada hakikatnya merupakan solusi bagi problematika sosial yang disebabkan kecenderungan yang berlebihan terhadap materi.
Zuhud tidak bisa dipahami sebagai sikap antipati terhadap permasalahan keduniawian, namun harus dipandang sebagai satu sikap berlaku proporsional dan bertindak bijaksana dalam menyikapi permasalah keduniawian.
Zuhud bukan berarti keterputusan dari kehidupan duniawi sebagaimana yang telah dilaksanakan oleh kalangan pendeta, akan tetapi merupakan hikmah pemahaman yang membuat seseorang memiliki pandangan khusus terhadap kehidupan duniawi itu. Mereka tetap bekerja dan berusaha, akan tetapi kehidupan duniawi itu tidak menguasai kecenderungan qalbunya dan tidak membuat mereka mengingkari Tuhan-nya.[8]
Mayoritas ahli sejarah berpendapat bahwa tasawuf dan sufi muncul setelah abad II Hijriah sebagai sebuah hal yang dianggap baru dalam Islam dan berkembang pesat di kota Baghdad.
3.        Aliran-Aliran Tasawuf
Zuhud yang tersebar luas pada abad-abad pertama dan kedua Hijriyah terdiri atas berbagai aliran yaitu:
a.       Aliran Madinah
Madinah merupakan kota awal lahirnya gerakan zuhud yang berpegang teguh kepada al-Qur’an dan al-sunnah, dan mereka menetapkan Rasulullah sebagai panutan kezuhudannya. Di antara mereka dari kalangan sahabat adalah Abu Ubaidah al-Jarrah (w.18 H.), Abu Dzar al-Ghiffari (w. 22H.), Salman al-Farisi (w. 32 H.), Abdullah ibn Mas’ud (w. 33 H.), Hudzaifah ibn Yaman (w. 36 H.). Sementara itu dari kalangan tabi’in di antaranya adalah Sa’id ibn al-Musayyad (w. 91 H.) dan Salim ibn Abdullah (w. 106 H.).[9]
Aliran Madinah lebih cenderung pada pemikiran angkatan pertama kaum muslimin (salaf), dan berpegang teguh pada zuhud serta kerendah hatian Nabi Saw., selain itu aliran ini tidak begitu terpengaruh oleh perubahan-perubahan sosial yang berlangsung pada masa dinasti Umayyah, dan prinsip-prinsipnya tidak berubah walaupun mendapat tekanan dari Bani Umayyah. Aliran ini tetap konsisten bercorak murni Islam dan konsisten pada ajaran-ajaran Islam.
b.      Aliran Bashrah
Pada abad pertama dan kedua Hijriyah terdapat dua aliran zuhud yang menonjol, yaitu di Bashrah dan di Kufah. Orang-orang Arab yang tinggal di Bashrah berasal dari Bani Tamim. Mereka terkenal dengan sikapnya yang kritis dan tidak percaya kecuali pada hal-hal yang riil.
Merekapun terkenal menyukai hal-hal logis dalam nahwu, hal-hal nyata dalam puisi dan kritis dalam hal hadits. Mereka adalah penganut aliran ahlus sunnah, tapi cenderung pada aliran-aliran mu’tazilah dan qadariyah. Tokoh mereka dalam zuhud adalah Hasan al-Bashri, Malik ibn Dinar, Fadhl al-Raqqasyi, Rabbah ibn ‘Amru al-Qisyi, Shalih al-Murni atau Abdul Wahid ibn Zaid.[10]
Corak yang menonjol dari para zahid Bashrah ialah zuhud dan rasa takut yang berlebih-lebihan. Para sufi di Bashrah terkenal berlebih-lebihan dalam hal zuhud, ibadah, rasa takut mereka dan lain-lainnya, lebih dari apa yang terjadi di kota – kota lain.
c.       Aliran Kufah
Aliran Kufah berasal dariYaman, aliran ini bercorak idealistis, menyukai hal-hal aneh dalam nahwu, hal-hal image dalam puisi, dan harfiah dalam hal hadits serta Aqidah mereka cenderung pada aliran Syi’ah dan Rajaiyyah.
Para tokoh zahid Kufah pada abad pertama Hijriyah ialah ar-Rabi’ ibn Khatsim (w. 67 H.) pada masa pemerintahan Mu’awiyah, Sa’id ibn Jubair (w. 95 H.), Thawus ibn Kisan (w. 106 H.), Sufyan al-Tsauri (w. 161 H.).[11]
d.      Aliran Mesir
Pada abad-abad pertama dan kedua Hijriyah terdapat suatu aliran zuhud lain, yang dilupakan para orientalis, dan aliran ini tampaknya bercorak salafi seperti halnya aliran Madinah. Aliran tersebut adalah aliran Mesir. Sebagaimana diketahui, sejak penaklukan Islam terhadap Mesir, sejumlah sahabat telah memasuki kawasan itu, misalnya Amru ibn al-Ash, Abdullah ibn Amru ibn al-Ash yang terkenal kezuhudannya, al-Zubair bin Awwam dan Miqdad ibn al-Aswad.
Tokoh-tokoh zahid Mesir pada abad pertama Hijriyah di antaranya adalah Salim ibn ’Atar al-Tajibi dikenal sebagai orang yang terkenal tekun beribadah dan membaca al-Qur’an serta shalat malam. Sementara tokoh zahid yang paling menonjol pada abad II Hijriyyah adalah al-Laits ibn Sa’ad (w. 175 H.).[12]
Dari uraian tentang berbagai alirannya, baik dari aliran Madinah, Bashrah, Kufah, Mesir ataupun Khurasan, baik pada abad I dan II Hijriyyah dapat disimpulkan bahwa zuhud pada masa itu mempunyai karakteristik sebagai berikut:
1)      Zuhud ini berdasarkan ide menjauhi hal-hal duniawi, demi meraih pahala akhirat dan memelihara diri dari adzab neraka. Ide ini berakar dari ajaran-ajaran al-Qur’an dan al-Sunnah yang terkena dampak berbagai kondisi sosial politik yang berkembang dalam masyarakat Islam ketika itu.
2)      Bercorak praktis, dan para pendirinya tidak menaruh perhatian buat menyusun prinsip- prinsip teoritis zuhud sehingga mengarah pada tujuan moral.
3)      Motivasi zuhud ini ialah rasa takut, yaitu rasa takut yang muncul dari landasan amal keagamaan secara sungguh-sungguh yang pada akhir abad kedua Hijriyyah, ditangan Rabi’ah al-Adawiyyah, muncul motivasi cinta kepada Allah, yang bebas dari rasa takut terhadap adzab-Nya.[13]
Kelahiran tasawuf bermula dari gerakan zuhud dalam Islam, istilah tasawuf baru muncul pada pertengahan abad III Hijriyyah oleh Abu Hasyim al-Kufy (w.250 H.) dengan meletakkan al-sufy di belakang namanya. Pada masa ini para sufi telah ramai membicarakan konsep tasawuf yang sebelumnya tidak dikenal. Jika pada akhir abad II ajaran sufi berupa kezuhudan, maka pada abad ketiga ini orang sudah ramai membicarakan tentang lenyap dalam kecintaan (fana fi mahbub), bersatu dalam kecintaan (ittihad fi mahbub), bertemu dengan Tuhan (liqa’) dan menjadi satu dengan Tuhan (‘ain al jama’).
B.       Klasifikasi Tasawuf dan Konsep Ajarannya
Berdasarkan klasifikasinya tasawuf dibagi menjadi beberapa jenis, yaitu tasawuf falsafi, akhlaqi, amali, dan sunni.
1.    Tasawuf Falsafi
Tasawuf falsafi adalah tasawuf yang ajaran-ajarannya memadukan antara visi mistis dan visi rasional. Tasawuf ini menggunakan terminologi filosofis dalam pengungkapannya, yang berasal dari berbagai macam ajaran filsafat yang telah mempengaruhi para tokohnya.[14]
Konsep-konsep mereka yang disebut dengan tasawuf falsafi yakni tasawuf yang kaya dengan pemikiran-pemikiran filsafat. Ajaran filsafat yang paling banyak dipergunakan dalam analisis tasawuf adalah paham emanasi neo-Plotinus.
Perbedaan tasawuf sunni dan salafi lebih menonjol kepada segi praktis (العملي ), sedangkan tasawuf falsafi menonjol kepada segi teoritis (النطري ) sehingga dalam konsep-konsep tasawuf falsafi lebih mengedepankan asas rasio dengan pendektan-pendekatan filosofis yang ini sulit diaplikasikan ke dalam kehidupan sehari-hari khususnya bagi orang awam, bahkan bisa dikatakan mustahil.[15]
Kaum sufi falsafi menganggap bahwasanya tiadak ada sesuatupun yang wujud kecuali Allah, sehingga manusia dan alam semesta, semuanya adalah Allah. Mereka tidak menganggap bahwasanya Allah itu zat yang Esa, yang bersemayam di atas Arsy, dalam tasawuf falsafi, tentang bersatunya Tuhan dengan makhluknya, setidaknya terdapat beberapa term yang telah masyhur beserta para tokohnya yaitu; hulul, wadah al-wujud, insan kamil, Wujud Mutlak.[16]
Adapun konsep ajarannya adalah :
a.       Hulul, yaitu meyakini terjadinya kesatuan antara kholiq dengan makhluk, paham hulul ini disusun oleh Al-Hallaj.
b.      Wahdah Al-Wujud, yaitu bersatunya Tuhan dengan manusia yang telah mencapai hakiki atau dipercaya telah suci, paham ini dikenalkan oleh Ibnu Arabi.
c.       Ittihad, yaitu penggabungan antara dua hal yang menjadi satu atau dapat dipahami dengan bersatunya manusia dengan Tuhan, paham ini dikenalkan oleh Abu Yazid al-Busthami.
d.      Insan Kamil, yaitu manusia sempurna atau paripurna, paham ini dikembangkan oleh Al-Jilli.
e.       Wujud al-Mutlak, yaitu kesatuan mutlak antara manusia dengan Tuhan, paham ini dikenalkan oleh  Ibnu Sab’in.[17]
2.    Tasawuf Akhlaqi
Tasawuf ahlaki ditinjau dari sudut bahsa arab merupakan bentuk frase dalam kaidah bahasa arab di kenal dengan sebutan  jumlah idhofah yaitu merupakan gabungan dua kata menjadi satu kesatuan makna yang utuh dan menentukan realitas yang khusus, yaitu kata tasawuf dan ahklak.[18]
Tasawuf ahklaki merupakan kajian ilmu yang sangat memerlukan praktik untuk menguasainya, tidak hanya berupa teori sebagai sebuah pengetahuan akan tetapi harus terealisasi dalam perbutan manusia,supaya lebih mudah menempatkan posisi tasawuf dalam kehidupan masyarakat.
Tasawuf akhlaki merupakan gabungan antara ilmu tasawuf dan ilmu ahklak yang hubungannya sangat erat dengan tingkah laku dan perbuatan manusia dalam interaksi sosial pada lingkungan tempat tinggalnya.  Tasawuf akhlaqi adalah tasawuf yang berkonstrasi pada teori-teori perilaku, akhlaq atau budi pekerti atau perbaikan akhlaq.[19]
Adapun tokoh dan ajarannya adalah :
a.       Hasan Al-Basri
Nama lengkap Hasan Al-Bashri adalah Abu Sa’id Al Hasan bin Yasar.Ia seorang yang masyur dikalangan tabi’in. Lahir di Madinah pada tahun 21 H/632 M dan wafat pada hari Kamis bulan Rajab tanggal 10 tahun 110 H/728 M.
Ajaran-Ajaran tasawufnya  Hasan Al-Bashri adalah anjuran kepadanya setiap orang untuk senantiasa bersedih hati dan takut kalau tidak mampu melaksanakanseluruh perintah Allah dan menjauhi larangan-larangan-Nya. Ajarannya yaitu:
1)   Perasaan takut yang menyebabkan hatimu tentram lebih baik dari pada rasa tentram tapi yang menimbulkan rasa takut.
2)   Dunia adalah negeri tempat beramal
3)   Tafakur membawa kita pada kebaikan dan selalu berusaha untuk mengerjakannya. Menyesal atas perbuatan jahat menyebabkan kita bermaksud untuk tidak mengulanginya lagi.
4)   Dunia ini adalah seorang janda tua yang telah bungkuk dan beberapa kali ditinggalkan mati suaminya.
5)   Orang yang beriman akan senantiasa berduka cita pada pagi dan sore hari karena berada di antara dua perasaan takut.
6)   Hendaklah setiap orang sadar akan kematian yang senantiasa mengancamnya, dan juga takut akan kiamat yang hendak menagih janjinya.
7)   Banyak duka cita di dunia memperteguh semangat amal shaleh.[20]
b.      Al-Muhasibi
Nama lengkapnya adalah abu abdillah Al Harits bin asad Al muhasibi (w 243 H). Di lahirkan di basrah irak tahun 165 H/781M dan meninggal di Bahgdad irak tahun 243H/857M. Ia menempuh jalan tasawuf karena hendak keluar dari keraguan yang dihadapinya.
Pandangannya bahwa jalan keselamatan hanya dapat ditempuh melalui ketakwaan kepada Allah, melaksanakan kewajiban, wara’ dan meneladani Rasulullah.
Adapun ajarannya adalah:
1)      Pandangan Al Muhasibi tentang Ma’rifat
Menurut AL Muhasibi, ma’rifat harus ditempuh melalui jalan tasawuf yang mendasarkan kepada kitab dan sunnah. Tahapan ma’rifat adalah sebagai berikut:
a)      Taat. Awal kecintaan kepada Allah SWT adalah taat, yaitu wujud konkret ketaatan hamba kepada Allah. Kecintaan kepada Allah hanya dapat dibuktikan dengan jalan ketaatan, bukan hanya sekedar pengungkapan semata. Implementasinya adalah memenuhi hati dengan sinar dan kemudian melimpah pada lidah dan anggota tubuh yang lain.
b)      Aktivitas anggota tubuh yang telah disinari  oleh cahaya yang memenuhi hati merupakan ma’rifat selanjutnya.
c)      Pada tahap ketiga ini Allah menyingkapkan khazanah-khazanah keilmuan dan keghaiban kepada setiap orang yang telah menempuh kedua tahap di atas. Ia akan menyaksikan berbagai rahasia yang selamam ini disimpan Allah.
d)     Tahap keempat adalah apa yang dikatakan oleh sementara sufi dengan gana’ yang menyebabkan baqa’.
2)      Pandangan Al Muhasibi tentang Khauf dan Raja’
Khauf (rasa takut) dan raja’ (pengharapan) menempati posisi penting dalam perjalanan seseorang dalam membersihkan jiwa. Menurut Al Muhasibi, pangkal wara’ adalah ketakwaan; pangkal ketakwaan adalah introspeksi diri (musabat Al nafs); pangkal instrospeksi diri adalah khauf dan raja’; pangkal khauf dan raja’ adalah pengetahuan tentang janji dan ancaman Allah; pangkal pengetahuan tentang keduanya adalah perenungan. Khauf dan raja’ dapat dilakukan dengan sempurna bila berpegang teguh pada Al Qur-an dan As Sunnah.
Raja’ dalam pandangan Muhasibi seharusnya melahirkan amal saleh. Inilah yang dilakukan oleh mukmin yang sejati dan para sahabat nabi.[21]
c.       Al-Qusyairi
Nama lengkapnya adalah Abdul Karim bin Hawazin. Ia lahir tahun 376 H di Istewa, kawasan Naisabur dan wafat pada tahun 465 H.
Ajaran-Ajaran Tasawuf Al Qusyairi cenderung mengembalikan tasawuf ke atas landasan doktrin Ahlus Sunnah. Dalam ungkapannya, Al Qusyairi menolak para sufi syathahi, yang mengesankan terjadinya perpaduan antara sifat-sifat ketuhanan, khsususnya sifat terdahuluNya, dan sifat-sifat kemanusiaan, khususnya sifat baharuNya.
Selain itu dia mengecam keras para sufi yang gemar mempergunakan pakaian orang miskin, sedangkan tindakan mereka bertentangan dengan pakaian mereka. Dalam konteks berbeda, Al Qusyairi mengemukanan suatu penyimpangan lain dari para sufi, dengan ungkapan pedas.
“Kebanyakan para sufi yang menempuh jalan kebenaran dari kelompok tersebut telah tiada. Tidak ada bekas mereka yang tinggal dari kelompok tersebut kecuali bekas-bekas mereka.”[22]

d.      Al Ghozali
Nama lengkapnya adalah Abu Hamid Muhammad bin Muhammad bin Muhammad bin Ta’us Ath Thust Asy Syafi’i Al Ghazali. Dia dipanggil Al Ghazali karena dilahirkan di Ghazlah. Iran pada yahun 1058 M. Meninggal pada tahun 505  H pada usia 54 tahun.
Ajaran Tasawuf Al Ghazali memilih tasawuf sunni yang berdasarkan Al Qur-an dan sunnah Nabi. Corak tasawufnya adalah psiko-moral yang mengutamakan pendidikan moral. Al Ghazali menjadikan tasawuf sebagai sarana untuk berolah rasa dan berolah jiwa, hingga sampai pada ma’rifat yang membantu menciptakan (sa’adah).
a)      Pandangan Al Ghazali tentang Ma’rifat, menurut Al Ghazali, ma’rifat adalah mengetahui rahasia Allah dan pengetahui peraturan-peraturan Tuhan tentang segala yang ada. Alat memperoleh ma’rifat bersandar pada sir, qalb dan roh. Ma’rifat seorang sufi tidak dihalangi oleh hijab, sebagaimana ia melihat si Fulan ada di dalam rumah  dengan mata kepala sendiri.  Jadi ma’rifat menurut AL Ghazali adalah ma’rifat yang dibangun atas dasar dzauq rohani dan jasyf ilahi. Ma’rifat seperti ini dapat dicapai oleh para khawash auliya tanpa melalui perantara atau langsung dari Allah, sebagaimana ilmu kenabian. Nabi mendapat ilmu Allah melalui perantara malaikat, sedangkan wali mendapat ilmu melalui ilham. Namun kedua-duanya sama-sama memperoleh ilmu dari Allah.
b)      Pandangan Al Ghazali tentang As Sa’adah, kelezatan dan kebahagiaan yang paling tinggi adalah melihat Allah (ru’yatullah). Kenikmatan qalb sebagai alat memperoleh ma’rifat terletak ketika melihat Allah. Melihat Allah merupakan kenikmatan paling agung yang tiada taranya karena ma’rifat itu sendiri agung dan mulia. Kenikmatan qolb sebagai alat memperoleh ma’rifat terletak ketika melihat Allah. Melihat Allah merupakan kenikmatan paling agung yang tiada taranya karena ma’rifat itu sendiri agung dan mulia.Kelezatan dan kenikmatan dunia tergantung pada nafsu dan akan hilang setelah manusia mati, sedangkan kelezatan dan kenikmatan melihat Tuhan tergantung pada qalbu dan tidak akan hilang walaupun manusia sudah mati, hal ini karena  qalbu tidak ikut mati, malah kenikmatannya bertambah karena dapat keluar dari kegelapan menuju cahaya terang.[23]

3.    Tasawuf Amali
Tasawuf amali adalah tasawuf yang penekanannya pada amaliah berupa wirid dan amaliah lainnya. Tasawuf amali atau hadah, menghapuskan sifat-sifat yang tercela, melintasi semua hambatan itu, dan menghadap total dari segenap esensi diri hanya kepada Alla SWT. Di dalamnya terdapat kaedah-kaedah suluk (perjalanan tarbiyah ruhaniyah), macam-macam etika (adab) secara terperinci, seperti hubungan antara murid dengan shaykh, uzlah dengan khalwah, tidak banyak makan, mengoptimalkan waktu malam, diam, memeperbanyak zikir, dan semua yang berkaitan dengan kaedah-kedah suluk dan adab.[24]  
Pada hakikatnya metode kaum shufi ini hanyalah sebuah lanjutan atau pengembangan dari tasawuf sunni. Dinamakan tasawuf amali karena sisi amal di dalamnya lebih dominan dari sisi teori.
Menurut Al- Kalabazi dalam bukunya “At-Ta’arruf li al- Madzhab ahli ash-shaufiyah; menyatakan bahwa murid yaitu, orang yang mencari pengetahuan dan bimbingan dalam melaksanakan amal ibadahnya, dengan memusatkan segala perhatian dan usahanya kearah itu, melepas segala kemauannya dengan menggantungkan diri dan nasibnya kepada iradah Allah.
Dilihat dari sudut amalan serta jenis ilmu yang dipelajari, maka terdapat beberapa istialah yang khas dalam dunia tasawuf, yaitu: ilmu-lahir dan ilmu-bathin. Oleh karena itu cara memahami dan mengamalkannya juga harus memiliki aspek lahir dan aspek batin.
Kedua aspek yang terkandung dalam ilmu itu mereka bagi kepada empat kelompok, yaitu:
1)      Syari’at, yaitu amalan-amalan lahir yang difardukan dalam Agama, yang biasanya dikenal sebagai rukun Islam dan segala hal yang berhubungan dengan itu bersumber dari Al Quran dan Sunnah Rasul.
2)      Tarekat, yaitu dalam melakukan syari’at tersebut di atas, haruslah berdasarkan tata cara yang telah digariskan dalam Agama dan dilakukan hanya karena pengahambaan diri kepada Allah, karena kecintaan kepada Allah dan karena ingin berjumpa dengan-Nya.
3)      Hakikat, yaitu hakikat berarti inti sesuatu, puncak atau sumber asal sesuatu. Dalam dunia sufi, hakikat diartikan sebagai aspek lain dari syari’at yang bersifat lahiriyah, yaitu aspek bathiniah. Dengan demikian dapat diartikan sebagai rahasia yang paling dalam dari segala amal, inti dari syari’at dan akhir dari perjalanan yang ditempuh oleh seorang sufi.
4)      Ma’rifah. Dari segi bahasa, ma’rifah berarti pengetahuan atau pengalaman, sedangkan dalam istilah sufi, ma’rifah itu diartikan sebagai pengetahuan mengenai tuhan melalui hati sanubari.


BAB III
PENUTUP
A.  Kesimpulan
Munculnya aliran-aliran zuhud pada abad I dan II H sebagai reaksi terhadap hidup mewah khalifah dan keluarga serta pembesar-pembesar negara sebagai akibat dari kekayaan yang diperoleh setelah Islam meluas ke Syiria, Mesir, Mesopotamia dan Persia. Orang melihat perbedaan besar antara hidup sederhana dari Rasul serta para sahabat.
Pada akhir abad ke II Hijriyyah peralihan dari zuhud ke tasawuf sudah mulai tampak. Pada masa ini juga muncul analisis-analisis singkat tentang kesufian. Seiring dengan perkembangannya, tasawuf dibedakan menjadi tiga bagian, yaitu tasawuf falsafi, tasawuf akhlaqi, dan tasawuf amali.
B.   Saran
Untuk menuju kesempurnaan tentu butuh koreksi dari semua pihak yaitu koreksi yang bersifat konstruktif agar pembuatan makalah selanjutnya dapat lebih baik. Olehnya itu, penulis mengharapkan adanya koreksi dari pembaca agar kesempurnaan dalam penulisan makalh dapat tercapai.


DAFTAR PUSTAKA
Abdul Djalil, Maman. 2003. Tasawuf Tematik Membedah Tema-tema Penting.  Bandung: CV. Pustaka Setia
Anwar, Rosihan. 2009. Akhlak Tasawuf. Bandung: Pustaka Setia
Daradjat, Zakiyah. 1981. Pengantar Ilmu Tasawuf. Sumatera Utara: IAIN Sumut
Hamka. 2017. Tasawuf Modern. Cet. VI; Jakarta: Republika Penerbit
Halim Mahmud, Abdul. 2002. Tasawuf di Dunia Islam. Bandung: Pustaka Setia
Hilal, Ibrahim. 2002. Tasawuf (antara agama dan filsafat). Bandung. Pustaka Hidayah
Jamil. 2007. Cakrawala Tasawuf. Jakarta: GP. Press
Mulyati, Sri. 2006. Tasawuf Nusantara: Rangkaian Mutiara Sufi Terkemuka. Jakarta: Kencana Prenada Media Group
Nasution, Harun. 1995. Falsafat dan Mistisme dalam Islam. Jakarta: Bulan Bintang
Nata, Abudin. 2003. Akhlak Tasawuf . Cet; V; Jakarta: PT Raja Grafindo Persada
Ni’am, Syamsun.2011. Wasiat Tarekat Hadratus Syaikh Hasyim Asy’ari. Jogjakarta: Ar-Ruzz Media
Nurdin, Amin dan Afifi Fauzi Abbas. 2015. Sejarah Pemikiran Islam: Teologi Ilmu Kalam. Cet. III; Jakarta: Amzah
Rauf. A. Ma’mun et.all. 1995. Akhlak: Tasawuf  & Tarekat. Ujung Pandang: LSI Universitas Muslim Indonesia
Schimmel, Annemarie. 1986. Dimensi Mistik Dalam Islam, Terj. Sapardi Djokjo Damono. Jakarta: Pustaka Firdaus
Simuh.1997. Tasawuf dan Perkembangannya dalam Islam. Cet. II; Jakarta: PT. Raja Grafindo
Siregar, Rivai. 2000. Tasawuf: Dari Sufisme Klasik Ke Neo Sufisme. Cet. II; Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada
Sholihin, M. 2003. Tokoh sufi lintas zaman. Bandung: Pustaka Setia
Syukur, Amin. 2000. Zuhud di Abad Modern. Yogyakarta : Pustaka Pelajar
Tim Penulis. 1993. Ensiklopedi Islam. Jakarta: PT.Ichtiar Baru Van Joeve
Yunus, Ummu Kalsum. 2011. Ilmu Tasawuf, Cet. I; Makassar: Alauddin Press
Zahri, Mustafa. Tth. Kunci Memahami Ilmu Tasawuf . Surabaya: PT. Bina Ilmu


[1] A. Ma’mun Rauf, et.all. Akhlak: Tasawuf  & Tarekat (Ujung Pandang: LSI Universitas Muslim Indonesia, 1995), h. 95
[2] Rivai Siregar, Tasawuf: Dari Sufisme Klasik Ke Neo Sufisme (Cet. II; Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2000), h. 31
[3] Syamsun Ni’am, Wasiat Tarekat Hadratus Syaikh Hasyim Asy’ari (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2011), h. 48
[4] Syamsun Nu’man, h. 48-49
[5] Rivai Siregar, Tasawuf: Dari Sufisme Klasik Ke Neo Sufisme (Cet. II; Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2000), h. 36
[6] Mustafa Zahri, Kunci Memahami Ilmu Tasawuf (Surabaya: PT. Bina Ilmu, tth), h. 9
[7] Harun Nasution, Falsafat dan Mistisme dalam Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1995), h. 64
[8] Simuh, Tasawuf dan Perkembangannya dalam Islam (Cet. II; Jakarta: PT. Raja Grafindo, 1997), h. 23
[9] Tim Penulis, Ensiklopedi Islam (Jakarta: PT.Ichtiar Baru Van Joeve, 1993), h. 80-81
[10] Syamsun Ni’am, Wasiat Tarekat Hadratus Syaikh Hasyim Asy’ari (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2011), h. 54
[11] Rivai Siregar, Tasawuf: Dari Sufisme Klasik Ke Neo Sufisme (Cet. II; Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2000), h. 51
[12] Rivai Siregar, Tasawuf: Dari Sufisme Klasik Ke Neo Sufisme (Cet. II; Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2000), h. 51
[13] A. Ma’mun Rauf, et.all., h. 100
[14] Rosihan Anwar, Ahklak Tasawuf (Bandung: Pustaka Setia, 2009), h. 75
[15] Rosihan Anwar, h. 77
[16] Zakiyah Daradjat, Pengantar Ilmu Tasawuf (Sumatera Utara: IAIN Sumut, 1981), h. 123
[17] M. Sholihin. Tokoh sufi lintas zaman (Bandung: Pustaka Setia, 2003), h. 19-23
[18] Rivai Siregar, h. 96
[19] Mustafa Zahri, h. 15
[20] A. Ma’mun Rauf, et.all, h. 115
[21] Mustafa Zahri, h. 21
[22] Abudin Nata, Akhlak Tasawuf  (Cet; V; Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2003), h. 99
[23] Abudin Nata, Akhlak Tasawuf  (Cet; V; Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2003), h. 109
[24] Abudin Nata, h. 120

No comments:

Makalah: Mahabbah, Makrifah

BAB I PENDAHULUAN   A.      Latar Belakang Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi membawa manusia larut dan terbuai dalam din...