BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Islam sejak diturunkannya diterima
dan diamalkan oleh masyarakat urban, atau masyarakat perkotaan di Mekah dan
Madinah. Islam diterima ditengah masyarakat yang mampu berpikir rasional dan
logis, membedakan dan menarik garis pemisah yang tegas antara yang Islam dan yang
bukan Islam.
Agama Islam mengajarkan agar mencari
petunjuk Tuhan yang benar sesuai dengan prinsip beragama menurut prinsip al-Qur’an. Pada abad pertama Islam
masih kurang terkontaminasi dengan berbagai macam pemahaman yang keliru, sebab
masih berada dalam pengawasan dan bimbingan Nabi Saw.
Dewasa ini banyak dijumpai di
masyarakat ajaran-ajaran yang menyimpang dengan mengatas namakan tasawuf
sebagai landasan ajarannya, sehingga memberikan citra yang kurang baik terhadap
Islam.
Pandangan tentang tasawuf pada
masyarakat secara umum memiliki perbedaan, baik dalam hal memaknai ajaran
tersebut, juga dalam mengaplikasikan konsep ajarannya. Bagi masyarakat yang
kurang tertarik dengan konsep-konsep ajaran tasawuf, berpandangan bahwa
ajarannya sarat dengan sikap atau perilaku yang kolot dan tertinggal sehingga
bertentangan dengan kondisi zaman yang materialistik.
Pandangan lain tentang tasawuf
datang dari kalangan yang memang bersimpati dengan konsep ajarannya, menganggap
tasawuf sebagai media dengan konsep ajaran yang pas dan sesuai dengan nafas
Islam untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT.
Pemaknaan tentang konsep-konsep
ajaran sufisme atau tasawuf ditengah perkembangan abad moderen menjadi sesuatu
yang penting bagi manusia, sebab manusia pada abad moderen ini menghadapi
berbagai macam tantangan-tantangan yang semakin menjauhkan manusia dari Tuhan.
Peran penting tasawuf sebagai sebuah
ajaran diperlukan untuk membentengi manusia dari perkembangan zaman. Sehingga
manusia tidak terkontaminasi dari berbagai macam penyimpangan-penyimpangan
sosial di masyarakat.
Menyikapi berbagai problem dalam
pandangan tasawuf, terlebih dahulu perlu diketahui bagaimana perkembangan
tasawuf dalam Islam.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana
sejarah perkembangan tasawuf dalam Islam ?
2. Bagaimana klasifikasi
tasawuf dan konsep ajarannya ?
C. Tujuan
1.
Mengetahui sejarah perkembangan
tasawuf dalam Islam
2.
Mengetahui klasifikasi tasawuf dan
konsep ajarannya
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A.
Sejarah
Perkembangan Tasawuf
1.
Pengertian
Tasawuf
Secara etimologi kata tasawuf diambil
dari kata suffah yang berarti pelana.[1]
Kata tasawuf juga dapat dimaknai
dari kata shuff atau wool kasar.[2] Sedangkan secara terminologi tasawuf menurut
Ibrahim Hilal adalah memilih jalan hidup secara zuhud, menjauhkan diri dari
perhiasan hidup dalam segala bentuknya. Tasawuf adalah bermacam-macam ibadah,
wiridan lepas, berjaga diwaktu malam dengan memperbanyak shalat dan wirid,
sehingga lemahlah unsur jasmaniah dalam diri seseorang dan semakin kuatlah
unsur ruhaniahnya atau jiwanya.[3]
At-Taftazani menguraikan lebih rinci
tentang pengertian tasawuf sebagai sebuah pandangan filosofis kehidupan yang
bertujuan mengembangkan moralitas jiwa manusia yang dapat direalisasikan
melalui latihan-latihan praktis tertentu (riyadliyyat ‘amaliyyah mu’ayyanah)
yang mengakibatkan larutnya perasaan dalam hakikat transendental (al-haqiqat
al-asma) dengan menggunakan pendekatan dzauq (cita rasa) sehingga
menghasilkan kebahagiaan spritual (as-sa’adat ar-ruhiyyah) yang tidak
dapat diekspresikan melalui bahasa biasa karena bersifat emosional dan
individual (wujdaniyyat ath-thabi’i wa dztiyah).[4]
Dari kedua pendapat tentang
pengertian tasawuf, disimpulkan bahwa tasawuf merupakan kegiatan ruhaniyah yang
menitik beratkan pada bentuk pengolahan spritual bathiniyah yang dilakukan
dengan menggunakan pendekatan cita rasa sehingga membuat pelakunya larut dalam
pendekatan hakiki yang berfungsi utuk menguatkan jiwanya dari segala bentuk
ancaman yang dapat merusak kadar keimanan spritual seseorang.
2.
Perkembangan
Tasawuf
Tasawuf berkembang dan dikenal
secara luas di kawasan Islam sejak penghujung abad kedua hijriah,[5]
sebagai perkembangan lanjut dari kesalehan asketis atau para zahid
yang mengelompok di serambi Masjid Madinah. Kelompok ini lebih mengkhususkan
diri untuk beribadah dan perkembangan kehidupan rohaniah dengan mengabaikan
kenikmatan duniawi.
Mustafa Zahri menyatakan bahwa pada
awalnya hidup kerohanian para kaum sufi semata-mata hanya mengendalikan jiwa
dalam menempuh hidup mencari keridhaan Allah supaya tidak terpedaya oleh
pengaruh kebendaan kemudian berubah menjadi suatu alat untuk mencapai tujuan yang
lebih murni yaitu hendak mencapai hakekat Ketuhanan dengan mengenal Allah
dengan sebenar-benarnya.[6]
Munculnya tasawuf dalam
Islam tentang asal muasal tasawuf beragam. Awal munculnya tasawuf disinyalir
berasal dari pengaruh Kristen dengan paham menjauhi dunia dan hidup mengasingkan
diri dalam biara-biara sehingga dikatakan bahwa Zahid dan sufi Islam
meninggalkan dunia, memilih hidup sederhana dan mengasingkan diri, adalah
pengaruh cara hidup rahib-rahib Kristen.[7]
Zuhud yang dalam
ajaran-ajaran agama non Islam semula hanya merupakan usaha individu untuk tidak
tertarik terhadap kesenangan duniawi perlahan-lahan seiring perjalanan waktu
mulai diterima oleh umat Islam. Apalagi bila melihat kenyataan bahwa zuhud
adalah sebuah tiang penyangga bagi perilaku luhur atau dalam bahasa yang lebih
tegas, zuhud pada hakikatnya merupakan solusi bagi problematika sosial yang
disebabkan kecenderungan yang berlebihan terhadap materi.
Zuhud tidak bisa
dipahami sebagai sikap antipati terhadap permasalahan keduniawian, namun harus
dipandang sebagai satu sikap berlaku proporsional dan bertindak bijaksana dalam
menyikapi permasalah keduniawian.
Zuhud bukan berarti
keterputusan dari kehidupan duniawi sebagaimana yang telah dilaksanakan oleh
kalangan pendeta, akan tetapi merupakan hikmah pemahaman yang membuat seseorang
memiliki pandangan khusus terhadap kehidupan duniawi itu. Mereka tetap bekerja
dan berusaha, akan tetapi kehidupan duniawi itu tidak menguasai kecenderungan qalbunya
dan tidak membuat mereka mengingkari Tuhan-nya.[8]
Mayoritas ahli sejarah berpendapat
bahwa tasawuf dan sufi muncul setelah abad II Hijriah sebagai sebuah hal yang
dianggap baru dalam Islam dan berkembang pesat di kota Baghdad.
3.
Aliran-Aliran
Tasawuf
Zuhud yang tersebar luas pada abad-abad
pertama dan kedua Hijriyah terdiri atas berbagai aliran yaitu:
a. Aliran
Madinah
Madinah merupakan kota awal lahirnya
gerakan zuhud yang berpegang teguh kepada al-Qur’an dan al-sunnah, dan mereka
menetapkan Rasulullah sebagai panutan kezuhudannya. Di antara mereka dari
kalangan sahabat adalah Abu Ubaidah al-Jarrah (w.18 H.), Abu Dzar al-Ghiffari
(w. 22H.), Salman al-Farisi (w. 32 H.), Abdullah ibn Mas’ud (w. 33 H.),
Hudzaifah ibn Yaman (w. 36 H.). Sementara itu dari kalangan tabi’in di antaranya
adalah Sa’id ibn al-Musayyad (w. 91 H.) dan Salim ibn Abdullah (w. 106 H.).[9]
Aliran Madinah lebih cenderung pada
pemikiran angkatan pertama kaum muslimin (salaf), dan berpegang teguh pada
zuhud serta kerendah hatian Nabi Saw., selain itu aliran ini tidak begitu
terpengaruh oleh perubahan-perubahan sosial yang berlangsung pada masa dinasti
Umayyah, dan prinsip-prinsipnya tidak berubah walaupun mendapat tekanan dari
Bani Umayyah. Aliran ini tetap konsisten bercorak murni Islam dan konsisten
pada ajaran-ajaran Islam.
b. Aliran
Bashrah
Pada abad pertama dan kedua Hijriyah
terdapat dua aliran zuhud yang menonjol, yaitu di Bashrah dan di Kufah. Orang-orang
Arab yang tinggal di Bashrah berasal dari Bani Tamim. Mereka terkenal dengan
sikapnya yang kritis dan tidak percaya kecuali pada hal-hal yang riil.
Merekapun terkenal menyukai hal-hal
logis dalam nahwu, hal-hal nyata dalam puisi dan kritis dalam hal hadits.
Mereka adalah penganut aliran ahlus sunnah, tapi cenderung pada aliran-aliran
mu’tazilah dan qadariyah. Tokoh mereka dalam zuhud adalah Hasan al-Bashri,
Malik ibn Dinar, Fadhl al-Raqqasyi, Rabbah ibn ‘Amru al-Qisyi, Shalih al-Murni
atau Abdul Wahid ibn Zaid.[10]
Corak yang menonjol dari para zahid
Bashrah ialah zuhud dan rasa takut yang berlebih-lebihan. Para sufi di Bashrah
terkenal berlebih-lebihan dalam hal zuhud, ibadah, rasa takut mereka dan lain-lainnya,
lebih dari apa yang terjadi di kota – kota lain.
c. Aliran Kufah
Aliran Kufah berasal dariYaman, aliran
ini bercorak idealistis, menyukai hal-hal aneh dalam nahwu, hal-hal image
dalam puisi, dan harfiah dalam hal hadits serta Aqidah mereka cenderung pada
aliran Syi’ah dan Rajaiyyah.
Para tokoh zahid Kufah pada abad
pertama Hijriyah ialah ar-Rabi’ ibn Khatsim (w. 67 H.) pada masa pemerintahan
Mu’awiyah, Sa’id ibn Jubair (w. 95 H.), Thawus ibn Kisan (w. 106 H.), Sufyan
al-Tsauri (w. 161 H.).[11]
d. Aliran Mesir
Pada abad-abad pertama dan kedua
Hijriyah terdapat suatu aliran zuhud lain, yang dilupakan para orientalis, dan
aliran ini tampaknya bercorak salafi seperti halnya aliran Madinah. Aliran
tersebut adalah aliran Mesir. Sebagaimana diketahui, sejak penaklukan Islam
terhadap Mesir, sejumlah sahabat telah memasuki kawasan itu, misalnya Amru ibn
al-Ash, Abdullah ibn Amru ibn al-Ash yang terkenal kezuhudannya, al-Zubair bin
Awwam dan Miqdad ibn al-Aswad.
Tokoh-tokoh zahid Mesir pada abad
pertama Hijriyah di antaranya adalah Salim ibn ’Atar al-Tajibi dikenal sebagai
orang yang terkenal tekun beribadah dan membaca al-Qur’an serta shalat malam. Sementara
tokoh zahid yang paling menonjol pada abad II Hijriyyah adalah al-Laits ibn
Sa’ad (w. 175 H.).[12]
Dari uraian tentang berbagai
alirannya, baik dari aliran Madinah, Bashrah, Kufah, Mesir ataupun Khurasan,
baik pada abad I dan II Hijriyyah dapat disimpulkan bahwa zuhud pada masa itu
mempunyai karakteristik sebagai berikut:
1) Zuhud ini
berdasarkan ide menjauhi hal-hal duniawi, demi meraih pahala akhirat dan
memelihara diri dari adzab neraka. Ide ini berakar dari ajaran-ajaran al-Qur’an
dan al-Sunnah yang terkena dampak berbagai kondisi sosial politik yang
berkembang dalam masyarakat Islam ketika itu.
2) Bercorak
praktis, dan para pendirinya tidak menaruh perhatian buat menyusun prinsip-
prinsip teoritis zuhud sehingga mengarah pada tujuan moral.
3) Motivasi
zuhud ini ialah rasa takut, yaitu rasa takut yang muncul dari landasan amal
keagamaan secara sungguh-sungguh yang pada akhir abad kedua Hijriyyah, ditangan
Rabi’ah al-Adawiyyah, muncul motivasi cinta kepada Allah, yang bebas dari rasa
takut terhadap adzab-Nya.[13]
Kelahiran tasawuf bermula dari
gerakan zuhud dalam Islam, istilah tasawuf baru muncul pada pertengahan abad
III Hijriyyah oleh Abu Hasyim al-Kufy (w.250 H.) dengan meletakkan al-sufy di
belakang namanya. Pada masa ini para sufi telah ramai membicarakan konsep
tasawuf yang sebelumnya tidak dikenal. Jika pada akhir abad II ajaran sufi
berupa kezuhudan, maka pada abad ketiga ini orang sudah ramai membicarakan
tentang lenyap dalam kecintaan (fana fi mahbub), bersatu dalam kecintaan
(ittihad fi mahbub), bertemu dengan Tuhan (liqa’) dan menjadi
satu dengan Tuhan (‘ain al jama’).
B.
Klasifikasi Tasawuf dan Konsep Ajarannya
Berdasarkan
klasifikasinya tasawuf dibagi menjadi beberapa jenis, yaitu tasawuf falsafi,
akhlaqi, amali, dan sunni.
1.
Tasawuf Falsafi
Tasawuf falsafi adalah tasawuf yang
ajaran-ajarannya memadukan antara visi mistis dan visi rasional. Tasawuf ini
menggunakan terminologi filosofis dalam pengungkapannya, yang berasal dari
berbagai macam ajaran filsafat yang telah mempengaruhi para tokohnya.[14]
Konsep-konsep mereka yang disebut
dengan tasawuf falsafi yakni tasawuf yang kaya dengan pemikiran-pemikiran
filsafat. Ajaran filsafat yang paling banyak dipergunakan dalam analisis
tasawuf adalah paham emanasi neo-Plotinus.
Perbedaan tasawuf sunni dan salafi
lebih menonjol kepada segi praktis (العملي
), sedangkan tasawuf falsafi menonjol kepada segi teoritis (النطري ) sehingga dalam konsep-konsep tasawuf falsafi lebih
mengedepankan asas rasio dengan pendektan-pendekatan filosofis yang ini sulit
diaplikasikan ke dalam kehidupan sehari-hari khususnya bagi orang awam, bahkan
bisa dikatakan mustahil.[15]
Kaum sufi falsafi menganggap bahwasanya
tiadak ada sesuatupun yang wujud kecuali Allah, sehingga manusia dan alam
semesta, semuanya adalah Allah. Mereka tidak menganggap bahwasanya Allah itu
zat yang Esa, yang bersemayam di atas Arsy, dalam tasawuf falsafi, tentang
bersatunya Tuhan dengan makhluknya, setidaknya terdapat beberapa term yang
telah masyhur beserta para tokohnya yaitu; hulul, wadah al-wujud, insan kamil,
Wujud Mutlak.[16]
Adapun
konsep ajarannya adalah :
a.
Hulul, yaitu meyakini terjadinya
kesatuan antara kholiq dengan makhluk, paham hulul ini disusun oleh Al-Hallaj.
b.
Wahdah Al-Wujud, yaitu bersatunya Tuhan dengan manusia yang telah mencapai hakiki atau
dipercaya telah suci, paham ini dikenalkan oleh Ibnu Arabi.
c.
Ittihad, yaitu penggabungan antara
dua hal yang menjadi satu atau dapat dipahami dengan bersatunya manusia dengan
Tuhan, paham ini dikenalkan oleh Abu Yazid al-Busthami.
d.
Insan Kamil, yaitu manusia sempurna
atau paripurna, paham ini dikembangkan oleh Al-Jilli.
e.
Wujud al-Mutlak, yaitu kesatuan
mutlak antara manusia dengan Tuhan, paham ini dikenalkan oleh Ibnu Sab’in.[17]
2.
Tasawuf Akhlaqi
Tasawuf ahlaki ditinjau dari sudut
bahsa arab merupakan bentuk frase dalam kaidah bahasa arab di kenal dengan
sebutan jumlah idhofah yaitu merupakan gabungan dua kata menjadi
satu kesatuan makna yang utuh dan menentukan realitas yang khusus, yaitu kata
tasawuf dan ahklak.[18]
Tasawuf ahklaki merupakan kajian ilmu
yang sangat memerlukan praktik untuk menguasainya, tidak hanya berupa teori sebagai
sebuah pengetahuan akan tetapi harus terealisasi dalam perbutan manusia,supaya
lebih mudah menempatkan posisi tasawuf dalam kehidupan masyarakat.
Tasawuf akhlaki merupakan gabungan
antara ilmu tasawuf dan ilmu ahklak yang hubungannya sangat erat dengan tingkah
laku dan perbuatan manusia dalam interaksi sosial pada lingkungan tempat
tinggalnya. Tasawuf akhlaqi adalah tasawuf yang
berkonstrasi pada teori-teori perilaku, akhlaq atau budi pekerti atau perbaikan
akhlaq.[19]
Adapun
tokoh dan ajarannya adalah :
a.
Hasan Al-Basri
Nama lengkap Hasan Al-Bashri adalah
Abu Sa’id Al Hasan bin Yasar.Ia seorang yang masyur dikalangan tabi’in. Lahir di
Madinah pada tahun 21 H/632 M dan wafat pada hari Kamis bulan Rajab tanggal 10
tahun 110 H/728 M.
Ajaran-Ajaran tasawufnya Hasan
Al-Bashri adalah anjuran kepadanya setiap orang untuk senantiasa bersedih hati
dan takut kalau tidak mampu melaksanakanseluruh perintah Allah dan menjauhi
larangan-larangan-Nya. Ajarannya yaitu:
1) Perasaan
takut yang menyebabkan hatimu tentram lebih baik dari pada rasa tentram tapi
yang menimbulkan rasa takut.
2) Dunia adalah
negeri tempat beramal
3) Tafakur
membawa kita pada kebaikan dan selalu berusaha untuk mengerjakannya. Menyesal
atas perbuatan jahat menyebabkan kita bermaksud untuk tidak mengulanginya lagi.
4) Dunia ini
adalah seorang janda tua yang telah bungkuk dan beberapa kali ditinggalkan mati
suaminya.
5) Orang yang
beriman akan senantiasa berduka cita pada pagi dan sore hari karena berada di
antara dua perasaan takut.
6) Hendaklah
setiap orang sadar akan kematian yang senantiasa mengancamnya, dan juga takut
akan kiamat yang hendak menagih janjinya.
7) Banyak duka
cita di dunia memperteguh semangat amal shaleh.[20]
b.
Al-Muhasibi
Nama lengkapnya adalah abu abdillah
Al Harits bin asad Al muhasibi (w 243 H). Di lahirkan di basrah irak tahun 165
H/781M dan meninggal di Bahgdad irak tahun 243H/857M. Ia menempuh jalan tasawuf
karena hendak keluar dari keraguan yang dihadapinya.
Pandangannya bahwa jalan keselamatan
hanya dapat ditempuh melalui ketakwaan kepada Allah, melaksanakan kewajiban,
wara’ dan meneladani Rasulullah.
Adapun ajarannya adalah:
1)
Pandangan Al Muhasibi tentang
Ma’rifat
Menurut AL Muhasibi, ma’rifat harus ditempuh melalui
jalan tasawuf yang mendasarkan kepada kitab dan sunnah. Tahapan ma’rifat adalah
sebagai berikut:
a)
Taat. Awal kecintaan kepada Allah
SWT adalah taat, yaitu wujud konkret ketaatan hamba kepada Allah. Kecintaan
kepada Allah hanya dapat dibuktikan dengan jalan ketaatan, bukan hanya sekedar
pengungkapan semata. Implementasinya adalah memenuhi hati dengan sinar dan
kemudian melimpah pada lidah dan anggota tubuh yang lain.
b)
Aktivitas anggota tubuh yang telah
disinari oleh cahaya yang memenuhi hati merupakan ma’rifat selanjutnya.
c)
Pada tahap ketiga ini Allah
menyingkapkan khazanah-khazanah keilmuan dan keghaiban kepada setiap orang yang
telah menempuh kedua tahap di atas. Ia akan menyaksikan berbagai rahasia yang
selamam ini disimpan Allah.
d)
Tahap keempat adalah apa yang
dikatakan oleh sementara sufi dengan gana’ yang menyebabkan baqa’.
2)
Pandangan Al Muhasibi tentang Khauf
dan Raja’
Khauf (rasa
takut) dan raja’ (pengharapan) menempati posisi penting dalam perjalanan
seseorang dalam membersihkan jiwa. Menurut Al Muhasibi, pangkal wara’ adalah
ketakwaan; pangkal ketakwaan adalah introspeksi diri (musabat Al nafs); pangkal
instrospeksi diri adalah khauf dan raja’; pangkal khauf dan raja’ adalah
pengetahuan tentang janji dan ancaman Allah; pangkal pengetahuan tentang
keduanya adalah perenungan. Khauf dan raja’ dapat dilakukan dengan sempurna bila
berpegang teguh pada Al Qur-an dan As Sunnah.
Raja’ dalam
pandangan Muhasibi seharusnya melahirkan amal saleh. Inilah yang dilakukan oleh
mukmin yang sejati dan para sahabat nabi.[21]
c. Al-Qusyairi
Nama lengkapnya adalah Abdul Karim bin
Hawazin. Ia lahir tahun 376 H di Istewa, kawasan Naisabur dan wafat pada
tahun 465 H.
Ajaran-Ajaran Tasawuf Al Qusyairi cenderung
mengembalikan tasawuf ke atas landasan doktrin Ahlus Sunnah. Dalam ungkapannya,
Al Qusyairi menolak para sufi syathahi, yang mengesankan terjadinya perpaduan
antara sifat-sifat ketuhanan, khsususnya sifat terdahuluNya, dan sifat-sifat
kemanusiaan, khususnya sifat baharuNya.
Selain itu dia mengecam keras para
sufi yang gemar mempergunakan pakaian orang miskin, sedangkan tindakan mereka
bertentangan dengan pakaian mereka. Dalam konteks berbeda, Al Qusyairi
mengemukanan suatu penyimpangan lain dari para sufi, dengan ungkapan pedas.
“Kebanyakan para sufi yang menempuh
jalan kebenaran dari kelompok tersebut telah tiada. Tidak ada bekas mereka yang
tinggal dari kelompok tersebut kecuali bekas-bekas mereka.”[22]
d. Al Ghozali
Nama lengkapnya adalah Abu Hamid
Muhammad bin Muhammad bin Muhammad bin Ta’us Ath Thust Asy Syafi’i Al Ghazali. Dia
dipanggil Al Ghazali karena dilahirkan di Ghazlah. Iran pada yahun 1058 M. Meninggal
pada tahun 505 H pada usia 54 tahun.
Ajaran Tasawuf Al Ghazali memilih
tasawuf sunni yang berdasarkan Al Qur-an dan sunnah Nabi. Corak tasawufnya
adalah psiko-moral yang mengutamakan pendidikan moral. Al Ghazali menjadikan
tasawuf sebagai sarana untuk berolah rasa dan berolah jiwa, hingga sampai pada
ma’rifat yang membantu menciptakan (sa’adah).
a)
Pandangan Al Ghazali tentang
Ma’rifat, menurut Al Ghazali, ma’rifat adalah mengetahui rahasia Allah dan pengetahui
peraturan-peraturan Tuhan tentang segala yang ada. Alat memperoleh ma’rifat
bersandar pada sir, qalb dan roh. Ma’rifat seorang sufi tidak dihalangi oleh
hijab, sebagaimana ia melihat si Fulan ada di dalam rumah dengan mata
kepala sendiri. Jadi ma’rifat menurut AL Ghazali adalah ma’rifat yang
dibangun atas dasar dzauq rohani dan jasyf ilahi. Ma’rifat seperti ini dapat
dicapai oleh para khawash auliya tanpa melalui perantara atau langsung dari
Allah, sebagaimana ilmu kenabian. Nabi mendapat ilmu Allah melalui perantara
malaikat, sedangkan wali mendapat ilmu melalui ilham. Namun kedua-duanya
sama-sama memperoleh ilmu dari Allah.
b)
Pandangan Al Ghazali tentang As
Sa’adah, kelezatan dan kebahagiaan yang paling tinggi adalah melihat Allah
(ru’yatullah). Kenikmatan qalb sebagai alat memperoleh ma’rifat terletak ketika
melihat Allah. Melihat Allah merupakan kenikmatan paling agung yang tiada
taranya karena ma’rifat itu sendiri agung dan mulia. Kenikmatan qolb sebagai
alat memperoleh ma’rifat terletak ketika melihat Allah. Melihat Allah merupakan
kenikmatan paling agung yang tiada taranya karena ma’rifat itu sendiri agung
dan mulia.Kelezatan dan kenikmatan dunia tergantung pada nafsu dan akan hilang
setelah manusia mati, sedangkan kelezatan dan kenikmatan melihat Tuhan
tergantung pada qalbu dan tidak akan hilang walaupun manusia sudah mati, hal
ini karena qalbu tidak ikut mati, malah kenikmatannya bertambah karena
dapat keluar dari kegelapan menuju cahaya terang.[23]
3.
Tasawuf Amali
Tasawuf amali adalah tasawuf yang
penekanannya pada amaliah berupa wirid dan amaliah lainnya. Tasawuf amali atau
hadah, menghapuskan sifat-sifat yang tercela, melintasi semua hambatan itu, dan
menghadap total dari segenap esensi diri hanya kepada Alla SWT. Di dalamnya
terdapat kaedah-kaedah suluk (perjalanan tarbiyah ruhaniyah), macam-macam etika
(adab) secara terperinci, seperti hubungan antara murid dengan shaykh, uzlah
dengan khalwah, tidak banyak makan, mengoptimalkan waktu malam, diam,
memeperbanyak zikir, dan semua yang berkaitan dengan kaedah-kedah suluk dan
adab.[24]
Pada hakikatnya metode kaum shufi
ini hanyalah sebuah lanjutan atau pengembangan dari tasawuf sunni. Dinamakan
tasawuf amali karena sisi amal di dalamnya lebih dominan dari sisi teori.
Menurut Al- Kalabazi dalam bukunya
“At-Ta’arruf li al- Madzhab ahli ash-shaufiyah; menyatakan bahwa murid yaitu,
orang yang mencari pengetahuan dan bimbingan dalam melaksanakan amal ibadahnya,
dengan memusatkan segala perhatian dan usahanya kearah itu, melepas segala
kemauannya dengan menggantungkan diri dan nasibnya kepada iradah Allah.
Dilihat dari sudut amalan serta
jenis ilmu yang dipelajari, maka terdapat beberapa istialah yang khas dalam
dunia tasawuf, yaitu: ilmu-lahir dan ilmu-bathin. Oleh karena itu cara memahami
dan mengamalkannya juga harus memiliki aspek lahir dan aspek batin.
Kedua aspek yang terkandung dalam
ilmu itu mereka bagi kepada empat kelompok, yaitu:
1) Syari’at,
yaitu amalan-amalan lahir yang difardukan dalam Agama, yang biasanya dikenal
sebagai rukun Islam dan segala hal yang berhubungan dengan itu bersumber dari
Al Quran dan Sunnah Rasul.
2) Tarekat,
yaitu dalam melakukan syari’at tersebut di atas, haruslah berdasarkan tata cara
yang telah digariskan dalam Agama dan dilakukan hanya karena pengahambaan diri
kepada Allah, karena kecintaan kepada Allah dan karena ingin berjumpa
dengan-Nya.
3) Hakikat,
yaitu hakikat berarti inti sesuatu, puncak atau sumber asal sesuatu. Dalam
dunia sufi, hakikat diartikan sebagai aspek lain dari syari’at yang bersifat
lahiriyah, yaitu aspek bathiniah. Dengan demikian dapat diartikan sebagai
rahasia yang paling dalam dari segala amal, inti dari syari’at dan akhir dari
perjalanan yang ditempuh oleh seorang sufi.
4) Ma’rifah. Dari
segi bahasa, ma’rifah berarti pengetahuan atau pengalaman, sedangkan dalam
istilah sufi, ma’rifah itu diartikan sebagai pengetahuan mengenai tuhan melalui
hati sanubari.
BAB
III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Munculnya aliran-aliran zuhud pada
abad I dan II H sebagai reaksi terhadap hidup mewah khalifah dan keluarga serta
pembesar-pembesar negara sebagai akibat dari kekayaan yang diperoleh setelah
Islam meluas ke Syiria, Mesir, Mesopotamia dan Persia. Orang melihat perbedaan
besar antara hidup sederhana dari Rasul serta para sahabat.
Pada akhir abad ke II Hijriyyah
peralihan dari zuhud ke tasawuf sudah mulai tampak. Pada masa ini juga muncul
analisis-analisis singkat tentang kesufian. Seiring dengan perkembangannya,
tasawuf dibedakan menjadi tiga bagian, yaitu tasawuf falsafi, tasawuf akhlaqi,
dan tasawuf amali.
B.
Saran
Untuk menuju kesempurnaan tentu
butuh koreksi dari semua pihak yaitu koreksi yang bersifat konstruktif agar
pembuatan makalah selanjutnya dapat lebih baik. Olehnya itu, penulis mengharapkan
adanya koreksi dari pembaca agar kesempurnaan dalam penulisan makalh dapat
tercapai.
DAFTAR
PUSTAKA
Abdul Djalil, Maman. 2003. Tasawuf Tematik Membedah Tema-tema Penting. Bandung: CV. Pustaka Setia
Anwar, Rosihan. 2009. Akhlak
Tasawuf. Bandung: Pustaka Setia
Daradjat, Zakiyah.
1981. Pengantar Ilmu Tasawuf. Sumatera Utara: IAIN Sumut
Hamka. 2017. Tasawuf Modern. Cet. VI;
Jakarta: Republika Penerbit
Halim Mahmud, Abdul.
2002. Tasawuf di Dunia Islam. Bandung: Pustaka Setia
Hilal, Ibrahim. 2002. Tasawuf (antara
agama dan filsafat). Bandung. Pustaka
Hidayah
Jamil. 2007. Cakrawala
Tasawuf. Jakarta: GP. Press
Mulyati, Sri. 2006. Tasawuf
Nusantara: Rangkaian Mutiara Sufi Terkemuka. Jakarta: Kencana Prenada Media
Group
Nasution, Harun. 1995. Falsafat
dan Mistisme dalam Islam. Jakarta: Bulan Bintang
Nata, Abudin. 2003. Akhlak
Tasawuf . Cet; V; Jakarta: PT Raja Grafindo Persada
Ni’am,
Syamsun.2011. Wasiat Tarekat Hadratus Syaikh Hasyim Asy’ari. Jogjakarta:
Ar-Ruzz Media
Nurdin,
Amin dan Afifi Fauzi Abbas. 2015. Sejarah Pemikiran Islam: Teologi Ilmu
Kalam. Cet. III; Jakarta: Amzah
Rauf.
A. Ma’mun et.all. 1995. Akhlak: Tasawuf
& Tarekat. Ujung Pandang: LSI Universitas Muslim Indonesia
Schimmel, Annemarie. 1986. Dimensi
Mistik Dalam Islam, Terj. Sapardi Djokjo Damono. Jakarta: Pustaka Firdaus
Simuh.1997.
Tasawuf dan Perkembangannya dalam Islam. Cet. II; Jakarta: PT. Raja
Grafindo
Siregar,
Rivai. 2000. Tasawuf: Dari Sufisme Klasik Ke Neo Sufisme. Cet. II;
Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada
Sholihin, M. 2003. Tokoh sufi
lintas zaman. Bandung: Pustaka Setia
Syukur, Amin. 2000. Zuhud di Abad
Modern. Yogyakarta : Pustaka Pelajar
Tim Penulis. 1993. Ensiklopedi
Islam. Jakarta: PT.Ichtiar Baru Van Joeve
Yunus, Ummu Kalsum. 2011.
Ilmu Tasawuf, Cet. I; Makassar: Alauddin Press
Zahri,
Mustafa. Tth. Kunci Memahami Ilmu Tasawuf . Surabaya: PT. Bina Ilmu
[1] A. Ma’mun
Rauf, et.all. Akhlak: Tasawuf &
Tarekat (Ujung Pandang: LSI Universitas Muslim Indonesia, 1995), h. 95
[2] Rivai Siregar,
Tasawuf: Dari Sufisme Klasik Ke Neo Sufisme (Cet. II; Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada, 2000), h. 31
[3] Syamsun Ni’am,
Wasiat Tarekat Hadratus Syaikh Hasyim Asy’ari (Jogjakarta: Ar-Ruzz
Media, 2011), h. 48
[4] Syamsun
Nu’man, h. 48-49
[5] Rivai Siregar,
Tasawuf: Dari Sufisme Klasik Ke Neo Sufisme (Cet. II; Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada, 2000), h. 36
[6] Mustafa Zahri,
Kunci Memahami Ilmu Tasawuf (Surabaya: PT. Bina Ilmu, tth), h. 9
[8] Simuh, Tasawuf
dan Perkembangannya dalam Islam (Cet. II; Jakarta: PT. Raja Grafindo,
1997), h. 23
[10] Syamsun Ni’am,
Wasiat Tarekat Hadratus Syaikh Hasyim Asy’ari (Jogjakarta: Ar-Ruzz
Media, 2011), h. 54
[11] Rivai Siregar,
Tasawuf: Dari Sufisme Klasik Ke Neo Sufisme (Cet. II; Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada, 2000), h. 51
[12] Rivai Siregar,
Tasawuf: Dari Sufisme Klasik Ke Neo Sufisme (Cet. II; Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada, 2000), h. 51
[13]
A. Ma’mun Rauf,
et.all., h. 100
[18] Rivai Siregar,
h. 96
[19] Mustafa Zahri,
h. 15
[20] A. Ma’mun
Rauf, et.all, h. 115
[21] Mustafa Zahri,
h. 21
No comments:
Post a Comment