Hand
Book
ETIKA
KEHIDUPAN MUSLIM
Al-Qismu Al-Ilmi-Dar Al-Wathan

Oleh:
ASRUL
RAHMAN, S.Pd.I
BINUANG
AMASSANGAN
2014
Etika Tidur
dan Bangun
Berintrospeksi
diri (muhasabah) sesaat sebelum tidur. Sangat dianjurkan sekali bagi setiap
muslim bermuhasabah (berintrospeksi diri) sesaat sebelum tidur, mengevaluasi
segala perbuatan yang telah ia lakukan di siang hari. Lalu jika ia dapatkan
perbuatannya baik maka hendaknya memuji kepada Allah SWT dan jika sebaliknya
maka hendaknya segera memohon ampunan-Nya, kembali dan bertobat kepada-Nya.
Tidur dini,
berdasarkan hadits yang bersumber dari `Aisyah ra "Bahwasanya
Rasulullah SAW tidur pada awal malam dan bangun pada pengujung malam, lalu
beliau melakukan shalat".(Muttafaq `alaih)
Disunnatkan
berwudhu' sebelum tidur, dan berbaring miring sebelah kanan. Al-Bara' bin `Azib
ra menuturkan : Rasulullah SAW bersabda: "Apabila kamu akan tidur, maka
berwudlu'lah sebagaimana wudlu' untuk shalat, kemudian berbaringlah dengan
miring ke sebelah kanan..." Dan tidak mengapa berbalik kesebelah kiri
nantinya.
Disunnatkan pula
mengibaskan sperei tiga kali sebelum berbaring, berdasarkan hadits Abu Hurairah
ra bahwasanya Rasulullah ra bersabda: "Apabila seorang dari kamu akan
tidur pada tempat tidurnya, maka hendaklah mengirapkan kainnya pada tempat tidurnya
itu terlebih dahulu, karena ia tidak tahu apa yang ada di atasnya..."
Di dalam satu riwayat dikatakan: "tiga kali". (Muttafaq `alaih).
Makruh tidur
tengkurap. Abu Dzar ra menuturkan :"Nabi SAW pernah lewat melintasi
aku, dikala itu aku sedang berbaring tengkurap. Maka Nabi membangunkanku dengan
kakinya sambil bersabda :"Wahai Junaidab (panggilan Abu Dzar),
sesungguhnya berbaring seperti ini (tengkurap) adalah cara berbaringnya
penghuni neraka". (H.R. Ibnu Majah dan dinilai shahih oleh Al-Albani).
Makruh tidur di
atas dak terbuka, karena di dalam hadits yang bersumber dari `Ali bin Syaiban
disebutkan bahwasanya Nabi SAW telah bersabda: "Barangsiapa yang tidur
malam di atas atap rumah yang tidak ada penutupnya, maka hilanglah jaminan
darinya". (HR. Al-Bukhari di dalam al-Adab al-Mufrad, dan dinilai
shahih oleh Al-Albani).
Menutup pintu,
jendela dan memadamkan api dan lampu sebelum tidur. Dari Jabir ra diriwayatkan
bahwa sesung-guhnya Rasulullah r telah bersabda: "Padamkanlah lampu di
malam hari apabila kamu akan tidur, tutuplah pintu, tutuplah rapat-rapat
bejana-bejana dan tutuplah makanan dan minuman". (Muttafaq'alaih).
Membaca ayat Kursi,
dua ayat terakhir dari Surah Al-Baqarah, Surah Al-Ikhlas dan Al-Mu`awwidzatain
(Al-Falaq dan An-Nas), karena banyak hadits-hadits shahih yang menganjurkan hal
tersebut.
Membaca do`a-do`a
dan dzikir yang keterangannya shahih dari Rasulullah SAW, seperti :
Allaahumma qinii
yauma tab'atsu 'ibaadaka
"Ya
Allah, peliharalah aku dari adzab-Mu pada hari Engkau membangkitkan kembali
segenap hamba-hamba-Mu". Dibaca tiga
kali.(HR. Abu Dawud dan di hasankan oleh Al Albani)
Dan membaca:
Bismika Allahumma
Amuutu Wa ahya
"
Dengan menyebut nama-Mu ya Allah, aku mati dan aku hidup." (HR.
Al Bukhari)
Apabila di saat
tidur merasa kaget atau gelisah atau merasa ketakutan, maka disunnatkan
(dianjurkan) berdo`a dengan do`a berikut ini :
"
A'uudzu bikalimaatillaahit taammati min ghadhabihi Wa syarri 'ibaadihi, wa min
hamazaatisy syayaathiini wa an yahdhuruuna."
Aku
berlindung dengan Kalimatullah yang sempurna dari murka-Nya, kejahatan
hamba-hamba-Nya, dari gangguan syetan dan kehadiran mereka kepadaku". (HR.
Abu Dawud dan dihasankan oleh Al Albani)
Hendaknya apabila
bangun tidur membaca :
"Alhamdu
Lillahilladzii Ahyaanaa ba'da maa Amaatanaa wa ilaihinnusyuuru"
"Segala
puji bagi Allah yang telah menghidupkan kami setelah kami dimatikan-Nya, dan
kepada-Nya lah kami dikembalikan."
(HR. Al-Bukhari)
Etika (Adab)
Buang Hajat
Segera membuang
hajat. Apabila seseorang merasa akan buang air maka
hendaknya bersegera melakukannya, karena hal tersebut berguna bagi agamanya dan
bagi kesehatan jasmani.
Menjauh dari
pandangan manusia di saat buang air (hajat). berdasarkan hadits yang bersumber
dari al-Mughirah bin Syu`bah Radhiallaahu 'anhu disebutkan " Bahwasanya
Nabi Shallallaahu 'alaihi wa sallam apabila pergi untuk buang air (hajat) maka
beliau menjauh". (Diriwayat-kan oleh empat Imam dan dinilai shahih
oleh Al-Albani).
Menghindari tiga
tempat terlarang, yaitu aliran air, jalan-jalan manusia dan tempat berteduh
mereka. Sebab ada hadits dari Mu`adz bin Jabal Radhiallaahu 'anhu yang
menyatakan demikian.
Tidak mengangkat
pakaian sehingga sudah dekat ke tanah, yang demikian itu supaya aurat tidak
kelihatan. Di dalam hadits yang bersumber dari Anas Radhiallaahu 'anhu ia
menuturkan: "Biasanya apabila Nabi Shallallaahu 'alaihi wa sallam
hendak membuang hajatnya tidak mengangkat (meninggikan) kainnya sehingga sudah
dekat ke tanah. (HR. Abu Daud dan At-Turmudzi, dinilai shahih oleh Albani).
Tidak membawa
sesuatu yang mengandung penyebutan Allah kecuali karena terpaksa. Karena tempat
buang air (WC dan yang serupa) merupakan tempat kotoran dan hal-hal yang najis,
dan di situ setan berkumpul dan demi untuk memelihara nama Allah dari
penghinaan dan tindakan meremehkannya.
Dilarang menghadap
atau membelakangi kiblat, berdasar-kan hadits yang bersumber dari Abi Ayyub
Al-Anshari Shallallaahu 'alaihi wa sallam menyebutkan bahwasanya Nabi
Shallallaahu 'alaihi wa sallam telah bersabda: "Apabila kamu telah tiba
di tempat buang air, maka janganlah kamu menghadap kiblat dan jangan pula
membelakanginya, apakah itu untuk buang air kecil ataupun air besar. Akan
tetapi menghadaplah ke arah timur atau ke arah barat".
(Muttafaq'alaih).
Ketentuan di atas
berlaku apabila di ruang terbuka saja. Adapun jika di dalam ruang (WC) atau
adanya pelindung / penghalang yang membatasi antara si pembuang hajat dengan
kiblat, maka boleh menghadap ke arah kiblat.
Dilarang kencing di
air yang tergenang (tidak mengalir), karena hadits yang bersumber dari Abu
Hurairah Radhiallaahu 'anhu bahwasanya Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa
sallam bersabda: "Jangan sekali-kali seorang diantara kamu buang air
kecil di air yang menggenang yang tidak mengalir kemudian ia mandi di
situ".(Muttafaq'alaih).
Makruh mencuci
kotoran dengan tangan kanan, karena hadits yang bersumber dari Abi Qatadah
Radhiallaahu 'anhu menyebutkan bahwasanya Nabi Shallallaahu 'alaihi wa sallam
bersabda: "Jangan sekali-kali seorang diantara kamu memegang dzakar
(kemaluan)nya dengan tangan kanannya di saat ia kencing, dan jangan pula
bersuci dari buang air dengan tangan kanannya." (Muttafaq'alaih).
Dianjurkan kencing
dalam keadaan duduk, tetapi boleh jika sambil berdiri. Pada dasarnya buang air
kecil itu di lakukan sambil duduk, berdasarkan hadits `Aisyah Radhiallaahu
'anha yang berkata: Siapa yang telah memberitakan kepada kamu bahwa
Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa sallam kencing sambil berdiri, maka jangan
kamu percaya, sebab Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa sallam tidak pernah
kencing kecuali sambil duduk. (HR. An-Nasa`i dan dinilai shahih oleh
Al-Albani).
Sekalipun demikian
seseorang dibolehkan kencing sambil berdiri dengan syarat badan dan pakaiannya
aman dari percikan air kencingnya dan aman dari pandangan orang lain kepadanya.
Hal itu karena ada hadits yang bersumber dari Hudzaifah, ia berkata: "Aku
pernah bersama Nabi Shallallaahu 'alaihi wa sallam (di suatu perjalanan) dan
ketika sampai di tempat pembuangan sampah suatu kaum beliau buang air kecil
sambil berdiri, maka akupun menjauh daripadanya. Maka beliau bersabda:
"Mendekatlah kemari". Maka aku mendekati beliau hingga aku berdiri di
sisi kedua mata kakinya. Lalu beliau berwudhu dan mengusap kedua
khuf-nya." (Muttafaq alaih).
Makruh berbicara di
saat buang hajat kecuali darurat. berdasarkan hadits yang bersumber dari Ibnu
Umar Shallallaahu 'alaihi wa sallam diriwayatkan: "Bahwa sesungguhnya
ada seorang lelaki lewat, sedangkan Rasulullah saw. sedang buang air kecil.
Lalu orang itu memberi salam (kepada Nabi), namun beliau tidak menjawabnya.
(HR. Muslim).
Makruh bersuci
(istijmar) dengan mengunakan tulang dan kotoran hewan, dan disunnatkan bersuci
dengan jumlah ganjil. Di dalam hadits yang bersumber dari Salman Al-Farisi
Radhiallaahu 'anhu disebutkan bahwasanya ia berkata: "Kami dilarang
oleh Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa sallam beristinja (bersuci) dengan
menggunakan kurang dari tiga biji batu, atau beristinja dengan menggunakan
kotoran hewan atau tulang. (HR. Muslim).
Dan Nabi
Shallallaahu 'alaihi wa sallam juga bersabda: " Barangsiapa yang
bersuci menggunakan batu (istijmar), maka hendaklah diganjil-kan."
Disunnatkan masuk
ke WC dengan mendahulukan kaki kiri dan keluar dengan kaki kanan berbarengan
dengan dzikirnya masing-masing. Dari Anas bin Malik Radhiallaahu 'anhu
diriwayatkan bahwa ia berkata: "Adalah Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa
sallam apabila masuk ke WC mengucapkan :
"Allaahumma
inni a'udzubika minal khubusi wal khabaaits"
"Ya
Allah, aku berlindung kepada-Mu dari pada syetan jantan dan setan betina".
Dan apabila keluar,
mendahulukan kaki kanan sambil mengucapkan : "Ghufraanaka"
(ampunan-Mu ya Allah).
Mencuci kedua
tangan sesudah menunaikan hajat. Di dalam hadis yang bersumber dari Abu
Hurairah ra. diriwayatkan bahwasanya "Nabi Shallallaahu 'alaihi wa
sallam menunaikan hajatnya (buang air) kemudian bersuci dari air yang berada
pada sebejana kecil, lalu menggosokkan tangannya ke tanah. (HR. Abu Daud
dan Ibnu Majah).
Etika
Berpakaian dan Berhias
Disunnatkan memakai
pakaian baru, bagus dan bersih. Rasulullah Shallallaahu
'alaihi wa sallam telah bersabda kepada salah seorang shahabatnya di saat
beliau melihatnya mengenakan pakaian jelek : "Apabila Allah
mengaruniakan kepadamu harta, maka tampakkanlah bekas ni`mat dan kemurahan-Nya
itu pada dirimu. (HR. Abu Daud dan dishahihkan oleh Al-Albani).
Pakaian harus
menutup aurat, yaitu longgar tidak membentuk lekuk tubuh dan tebal tidak
memperlihatkan apa yang ada di baliknya.
Pakaian laki-laki
tidak boleh menyerupai pakaian perempuan atau sebaliknya. Karena hadits yang
bersum-ber dari Ibnu Abbas Radhiallaahu 'anhu ia menuturkan: "Rasulullah
melaknat (mengutuk) kaum laki-laki yang menyerupai kaum wanita dan kaum wanita
yang menyerupai kaum pria." (HR. Al-Bukhari).
Tasyabbuh atau
penyerupaan itu bisa dalam bentuk pakaian ataupun lainnya.
Pakaian tidak
merupakan pakaian show (untuk ketenaran), karena Rasulullah Radhiallaahu 'anhu
telah bersabda: "Barang siapa yang mengenakan pakaian ketenaran di
dunia niscaya Allah akan mengenakan padanya pakaian kehinaan di hari
Kiamat." ( HR. Ahmad, dan dinilai hasan oleh Al-Albani).
Pakaian tidak boleh
ada gambar makhluk yang bernyawa atau gambar salib, karena hadits yang
bersumber dari Aisyah Radhiallaahu 'anha menyatakan bahwasanya beliau berkata: "Rasulullah
Shallallaahu 'alaihi wa sallam tidak pernah membiarkan pakaian yang ada gambar
salibnya melainkan Nabi menghapusnya". (HR. Al-Bukhari dan Ahmad).
Laki-laki tidak
boleh memakai emas dan kain sutera kecuali dalam keadaan terpaksa. Karena
hadits yang bersumber dari Ali Radhiallaahu 'anhu mengatakan:
"Sesungguhnya Nabi Allah Subhaanahu wa Ta'ala pernah membawa kain sutera
di tangan kanannya dan emas di tangan kirinya, lalu beliau bersabda:
Sesungguhnya dua jenis benda ini haram bagi kaum lelaki dari umatku".
(HR. Abu Daud dan dinilai shahih oleh Al-Albani).
Pakaian laki-laki
tidak boleh panjang melebihi kedua mata kaki. Karena Rasulullah Shallallaahu
'alaihi wa sallam telah bersabda : "Apa yang berada di bawah kedua mata
kaki dari kain itu di dalam neraka" (HR. Al-Bukhari).
Adapun perempuan,
maka seharusnya pakaiannya menutup seluruh badannya, termasuk kedua kakinya.
Adalah haram
hukumnya orang yang menyeret (menggusur) pakaiannya karena sombong dan bangga
diri. Sebab ada hadits yang menyatakan : "Allah tidak akan
memperhatikan di hari Kiamat kelak kepada orang yang menyeret kainnya karena
sombong". (Muttafaq'alaih).
Disunnatkan
mendahulukan bagian yang kanan di dalam berpakaian atau lainnya. Aisyah
Radhiallaahu 'anha di dalam haditsnya berkata: "Rasulullah Shallallaahu
'alaihi wa sallam suka bertayammun (memulai dengan yang kanan) di dalam segala
perihalnya, ketika memakai sandal, menyisir rambut dan bersuci'.
(Muttafaq'-alaih).
Disunnatkan kepada
orang yang mengenakan pakaian baru membaca :
"Segala puji
bagi Allah yang telah menutupi aku dengan pakaian ini dan mengaruniakannya
kepada-ku tanpa daya dan kekuatan dariku".
(HR. Abu Daud dan dinilai hasan oleh Al-Albani).
Disunnatkan memakai
pakaian berwarna putih, katrena hadits mengatakan: "Pakaialah yang
berwarna putih dari pakaianmu, karena yang putih itu adalah yang terbaik dari
pakaian kamu ..." (HR. Ahmad dan dinilah shahih oleh Albani).
Disunnatkan
menggunakan farfum bagi laki-laki dan perempuan, kecuali bila keduanya dalam
keadaan berihram untuk haji ataupun umrah, atau jika perempuan itu sedang
berihdad (berkabung) atas kematian suaminya, atau jika ia berada di suatu
tempat yang ada laki-laki asing (bukan mahramnya), karena larangannya shahih.
Haram bagi
perempuan memasang tato, menipiskan bulu alis, memotong gigi supaya cantik dan
menyambung rambut (bersanggul). Karena Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa
sallam di dalam haditsnya mengatakan: "Allah melaknat (mengutuk) wanita
pemasang tato dan yang minta ditatoi, wanita yang menipiskan bulu alisnya dan
yang meminta ditipiskan dan wanita yang meruncingkan giginya supaya kelihatan
cantik, (mereka) mengubah ciptaan Allah". Dan di dalam riwayat Imam
Al-Bukhari disebutkan: "Allah melaknat wanita yang menyambung
rambutnya". (Muttafaq'alaih).
Etika di
Jalanan
Berjalan
dengan sikap wajar dan tawadlu, tidak berlagak sombong di saat berjalan atau
mengangkat kepala karena sombong atau mengalihkan wajah dari orang lain karena
takabbur. Allah Subhaanahu wa Ta'ala berfirman yang artinya:
"Dan janganlah
kamu memalingkan mukamu dari manusia (karena sombong) dan janganlah kamu
berjalan di muka bumi dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai
orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri".
(Luqman: 18)
Memelihara
pandangan mata, baik bagi laki-laki maupun perempuan. Allah Subhaanahu wa
Ta'ala berfirman yang artinya:
"Katakanlah
kepada orang laki-laki beriman: "Hendaklah mereka menahan pandangannya,
dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka.
Sesungguhnya Allah Yang Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat. Dan katakanlah
kepada wanita yang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan
memelihara kemaluannya...." (An-Nur:
30-31).
Tidak mengganggu,
yaitu tidak membuang kotoran, sisa makanan di jalan-jalan manusia, dan tidak
buang air besar atau kecil di situ atau di tempat yang dijadikan tempat mereka
bernaung.
Menyingkirkan
gangguan dari jalan. Ini merupakan sedekah yang karenanya seseorang bisa masuk
surga. Dari Abu Hurairah Radhiallaahu 'anhu diriwayatkan bahwasanya Rasulullah
Shallallaahu 'alaihi wa sallam bersabda: "Ketika ada seseorang sedang
berjalan di suatu jalan, ia menemukan dahan berduri di jalan tersebut, lalu
orang itu menyingkirkannya. Maka Allah bersyukur kepadanya dan mengampuni
dosanya..." Di dalam suatu riwayat disebutkan: maka Allah
memasukkannya ke surga". (Muttafaq'alaih).
Menjawab salam
orang yang dikenal ataupun yang tidak dikenal. Ini hukumnya wajib, karena
Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa sallam bersabda:"Ada lima perkara
wajib bagi seorang muslim terhadap saudaranya- diantaranya: menjawab
salam". (Muttafaq alaih).
Beramar ma`ruf dan
nahi munkar. Ini juga wajib dilakukan oleh setiap muslim, masing-masing sesuai
kemampuannya.
Menunjukkan orang
yang tersesat (salah jalan), memberikan bantuan kepada orang yang membutuhkan
dan menegur orang yang berbuat keliru serta membela orang yang teraniaya. Di
dalam hadits disebutkan: "Setiap persendian manusia mempunyai kewajiban
sedekah...dan disebutkan diantaranya: berbuat adil di antara manusia adalah
sedekah, menolong dan membawanya di atas kendaraannya adalah sedekah atau
mengangkatkan barang-barangnya ke atas kendaraannya adalah sedekah dan
menunjukkan jalan adalah sedekah...." (Muttafaq alaih).
Perempuan hendaknya
berjalan di pinggir jalan. Pada suatu ketika Nabi pernah melihat campur baurnya
laki-laki dengan wanita di jalanan, maka ia bersabda kepada wanita:
"Meminggirlah kalian, kalain tidak layak memenuhi jalan, hendaklah kalian
menelusuri pinggir jalan. (HR. Abu Daud, dan dinilai shahih oleh
Al-Albani).
Tidak ngebut bila
mengendarai mobil khususnya di jalan-jalan yang ramai dengan pejalan kaki,
melapangkan jalan untuk orang lain dan memberikan kesempatan kepada orang lain
untuk lewat. Semua itu tergolong di dalam tolong-menolong di dalam kebajikan.
Etika
Memberi Salam
Makruh
memberi salam dengan ucapan: "Alaikumus salam" karena di dalam hadits
Jabir Radhiallaahu 'anhu diriwayatkan bahwasanya ia menuturkan : Aku pernah
menjumpai Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa sallam maka aku berkata:
"Alaikas salam ya Rasulallah". Nabi menjawab: "Jangan kamu
mengatakan: Alaikas salam". Di dalam riwayat Abu Daud disebutkan:
"karena sesungguhnya ucapan "alaikas salam" itu adalah salam
untuk orang-orang yang telah mati". (HR. Abu Daud dan At-Turmudzi,
dishahihkan oleh Al-Albani).
Dianjurkan
mengucapkan salam tiga kali jika khalayak banyak jumlahnya. Di dalam hadits
Anas disebutkan bahwa Nabi Shallallaahu 'alaihi wa sallam apabila ia
mengucapkan suatu kalimat, ia mengulanginya tiga kali. Dan apabila ia datang
kepada suatu kaum, ia memberi salam kepada mereka tiga kali" (HR.
Al-Bukhari).
Termasuk sunnah
adalah orang mengendarai kendaraan memberikan salam kepada orang yang berjalan
kaki, dan orang yang berjalan kaki memberi salam kepada orang yang duduk, orang
yang sedikit kepada yang banyak, dan orang yang lebih muda kepada yang lebih
tua. Demikianlah disebutkan di dalam hadits Abu Hurairah yang muttafaq'alaih.
Disunnatkan keras
ketika memberi salam dan demikian pula menjawabnya, kecuali jika di sekitarnya
ada orang-orang yang sedang tidur. Di dalam hadits Miqdad bin Al-Aswad
disebutkan di antaranya: "dan kami pun memerah susu (binatang ternak)
hingga setiap orang dapat bagian minum dari kami, dan kami sediakan bagian
untuk Nabi Shallallaahu 'alaihi wa sallam Miqdad berkata: Maka Nabi pun
datang di malam hari dan memberikan salam yang tidak membangunkan orang yang
sedang tidur, namun dapat didengar oleh orang yang bangun".(HR.
Muslim).
Disunatkan
memberikan salam di waktu masuk ke suatu majlis dan ketika akan
meninggalkannya. Karena hadits menyebutkan: "Apabila salah seorang kamu
sampai di suatu majlis hendaklah memberikan salam. Dan apabila hendak keluar,
hendaklah memberikan salam, dan tidaklah yang pertama lebih berhak daripada
yang kedua. (HR. Abu Daud dan disahihkan oleh Al-Albani).
Disunnatkan memberi
salam di saat masuk ke suatu rumah sekalipun rumah itu kosong, karena Allah
telah berfirman yang artinya: " Dan apabila kamu akan masuk ke suatu
rumah, maka ucapkanlah salam atas diri kalian" (An-Nur: 61)
Dan karena ucapan
Ibnu Umar Radhiallaahu 'anhuma : "Apabila seseorang akan masuk ke suatu
rumah yang tidak berpenghuni, maka hendaklah ia mengucapkan : Assalamu `alaina
wa `ala `ibadillahis shalihin" (HR. Bukhari di dalam Al-Adab
Al-Mufrad, dan disahihkan oleh Al-Albani).
Dimakruhkan memberi
salam kepada orang yang sedang di WC (buang hajat), karena hadits Ibnu Umar
Radhiallaahu 'anhuma yang menyebutkan "Bahwasanya ada seseorang yang lewat
sedangkan Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa sallam sedang buang air kecil, dan
orang itu memberi salam. Maka Nabi tidak menjawabnya". (HR. Muslim)
Disunnatkan memberi
salam kepada anak-anak, karena hadits yang bersumber dari Anas Radhiallaahu
'anhu menyebutkan: Bahwasanya ketika ia lewat di sekitar anak-anak ia memberi
salam, dan ia mengatakan: "Demikianlah yang dilakukan oleh Rasulullah
Shallallaahu 'alaihi wa sallam". (Muttafaq'alaih).
Tidak memulai
memberikan salam kepada Ahlu Kitab, sebab Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa
sallam bersabda :" Janganlah kalian terlebih dahulu memberi salam
kepada orang-orang Yahudi dan Nasrani....." (HR. Muslim). Dan apabila
mereka yang memberi salam maka kita jawab dengan mengucapkan "wa
`alaikum" saja, karena sabda Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa sallam :
"Apabila Ahlu Kitab memberi salam kepada kamu, maka jawablah: wa `alaikum".(Muttafaq'alaih).
Disunnatkan memberi
saam kepada orang yang kamu kenal ataupun yang tidak kamu kenal. Di dalam
hadits Abdullah bin Umar Radhiallaahu 'anhu disebutkan bahwasanya ada seseorang
yang bertanya kepada Nabi Shallallaahu 'alaihi wa sallam : "Islam yang
manakah yang paling baik? Jawab Nabi: Engkau memberikan makanan dan memberi
salam kepada orang yang telah kamu kenal dan yang belum kamu kenal".
(Muttafaq'alaih).
Disunnatkan
menjawab salam orang yang menyampaikan salam lewat orang lain dan kepada yang
dititipinya. Pada suatu ketika seorang lelaki datang kepada Rasulullah
Shallallaahu 'alaihi wa sallam lalu berkata: Sesungguhnya ayahku menyampaikan
salam untukmu. Maka Nabi menjawab : "`alaika wa `ala abikas salam"
Dilarang memberi
salam dengan isyarat kecuali ada uzur, seperti karena sedang shalat atau bisu
atau karena orang yang akan diberi salam itu jauh jaraknya. Di dalam hadits
Jabir bin Abdillah Radhiallaahu 'anhu diriwayatkan bahwasanya Rasulullah
Shallallaahu 'alaihi wa sallam bersabda: "Janganlah kalian memberi
salam seperti orang-orang Yahudi dan Nasrani, karena sesungguhnya pemberian
salam mereka memakai isyarat dengan tangan". (HR. Al-Baihaqi dan
dinilai hasan oleh Al-Albani).
Disunnatkan kepada
seseorang berjabat tangan dengan saudaranya. Hadits Rasulullah mengatakan:
"Tiada dua orang muslim yang saling berjumpa lalu berjabat tangan,
melainkan diampuni dosa keduanya sebelum mereka berpisah" (HR. Abu
Daud dan dishahihkan oleh Al-Albani).
Dianjurkan tidak
menarik (melepas) tangan kita terlebih dahulu di saat berjabat tangan sebelum
orang yang dibattangani itu melepasnya. Hadits yang bersumber dari Anas
Radhiallaahu 'anhu menyebutkan: "Nabi Shallallaahu 'alaihi wa sallam
apabila ia diterima oleh seseorang lalu berjabat tangan, maka Nabi tidak
melepas tangannya sebelum orang itu yang melepasnya...." (HR.
At-Tirmidzi dan dishahihkan oleh Al-Albani).
Haram hukumnya
membungkukkan tubuh atau sujud ketika memberi penghormatan, karena hadits yang
bersumber dari Anas menyebutkan: Ada seorang lelaki berkata: Wahai Rasulullah,
kalau salah seorang di antara kami berjumpa dengan temannya, apakah ia harus
membungkukkan tubuhnya kepadanya? Nabi Shallallaahu 'alaihi wa sallam menjawab:
"Tidak". Orang itu bertanya: Apakah ia merangkul dan menciumnya?
Jawab nabi: Tidak. Orang itu bertanya: Apakah ia berjabat tangan dengannya?
Jawab Nabi: Ya, jika ia mau. (HR. At-Turmudzi dan dinilai shahih oleh
Al-Albani).
Haram berjabat
tangan dengan wanita yang bukan mahram. Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa
sallam ketika akan dijabat tangani oleh kaum wanita di saat baiat, beliau
bersabda: "Sesungguhnya aku tidak berjabat tangan dengan kaum
wanita". (HR.Turmudzi dan Nasai, dan dishahihkan oleh Albani).
Etika Minta
Izin
Hendaknya orang
yang akan meminta izin memilih waktu yang tepat untuk minta izin.
Hendaknya
orang yang akan minta izin mengetuk pintu rumah orang yang akan dikunjunginya
secara pelan. Anas Radhiallaahu 'anhu meriwayatkan bahwasanya ia telah berkata:
Sesungguhnya pintu-pintu kediaman Nabi Shallallaahu 'alaihi wa sallam
diketuk (oleh para tamunya) dengan ujung kuku". (HR. Al-Bukhari di
dalam Al-Adab Al-Mufrad dan dishahihkan oleh Al-Albani).
Hendaknya orang
yang mengetuk pintu tidak menghadap ke pintu yang diketuk, tetapi sebaiknya
menolehkan pandangannya ke kanan atau ke kiri agar pandangan tidak terjatuh
kepada sesuatu di dalam rumah tersebut yang dimana penghuni rumah tidak ingin
ada orang lain yang melihatnya. Karena minta izin itu sebenarnya dianjurkan
untuk menjaga pandangan.
Sebelum minta izin
hendaknya memberi salam terlebih dahulu. Rib`iy berkata: Telah bercerita
kepada saya seorang lelaki dari Bani `Amir, bahwasanya ia pernah minta izin
kepada Nabi Shallallaahu 'alaihi wa sallam di saat beliau ada di suatu rumah.
Orang itu berkata: Bolehkah saya masuk? Maka Nabi Shallallaahu 'alaihi wa
sallam berkata kepada pembantunya: "Jumpailah orang itu dan ajari dia cara
minta izin, dan katakan kepadanya: Ucapkan Assalamu `alaikum, bolehkah saya
masuk?". (HR. Ahmad dan Abu Daud, dishahihkan oleh Al-Albani).
Minta izin itu
sampai tiga kali, jika sesudah tiga kali tidak ada jawaban maka hendaknya
pulang. Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa sallam telah bersabda: "Apabila
salah seorang di antara kamu minta izin sudah tiga kali, lalu tidak diberi
izin, maka hendaklah ia pulang". (Muttafaq'alaih).
Apabila orang yang
minta izin itu ditanya tentang namanya, maka hendaklah ia menyebutkan nama dan
panggilannya, dan jangan mengatakan: "Saya". Jabir Radhiallaahu 'anhu
menuturkan: "Aku pernah datang kepada Nabi Shallallaahu 'alaihi wa
sallam untuk menanyakan hutang yang ada pada ayah saya. Maka aku ketuk pintu
(rumah Nabi). Lalu Nabi berkata: "Siapa itu?". Maka aku jawab: Saya.
Maka Nabi berkata: "Saya! Saya!" dengan nada tidak suka."
(Muttafaq'alaih).
Hendaknya peminta
izin pulang apabila permintaan izinnya ditolak, karena Allah telah berfirman
yang artinya: "Dan jika dikatakan kepada kamu "pulang", maka
pulanglah kamu, karena yang demikian itu lebih suci bagi kamu". (An-Nur:
28).
Hendaknya peminta
izin tidak memasuki rumah apabila tidak ada orangnya, karena hal tersebut
merupakan perbuatan melampaui hak orang lain.
Etika Majlis
Hendaknya
memberi salam kepada orang-orang yang di dalam majlis di saat masuk dan keluar
dari majlis tersebut. Abu Hurairah Radhiallaahu 'anhu telah meriwayatkan
bahwasanya Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa sallam telah bersabda: "Apabila
salah seorang kamu sampai di suatu majlis, maka hendaklah memberi salam, lalu
jika dilihat layak baginya duduk maka duduklah ia. Kemudian jika bangkit (akan
keluar) dari majlis hendaklah memberi salam pula. Bukanlah yang pertama lebih
berhak daripada yang selanjutnya. (HR. Abu Daud dan At-Tirmidzi, dinilai
shahih oleh Al-Albani).
Hendaknya duduk di
tempat yang masih tersisa. Jabir bin Samurah telah menuturkan: Adalah kami,
apabila kami datang kepada Nabi Shallallaahu 'alaihi wa sallam maka
masing-masing kami duduk di tempat yang masih tersedia di majlis. (HR. Abu
Daud dan dishahihkan oleh Al-Albani).
Jangan sampai
memindahkan orang lain dari tempat duduknya kemudian mendudukinya, akan tetapi
berlapang-lapanglah di dalam majlis. Ibnu Umar Radhiallaahu 'anhuma telah
meriwayatkan bahwa sesungguhnya Nabi Shallallaahu 'alaihi wa sallam telah
bersabda: "Seseorang tidak boleh memindahkan orang lain dari tempat
duduknya, lalu ia menggantikannya, akan tetapi berlapanglah dan
perluaslah." (Muttafaq'alaih).
Tidak duduk di
tengah-tengah halaqah (lingkaran majlis).
Tidak duduk di
antara dua orang yang sedang duduk kecuali seizin mereka. Rasulullah
Shallallaahu 'alaihi wa sallam bersabda: "Tidak halal bagi seseorang
memisah di antara dua orang kecuali seizin keduanya". (HR. Ahmad dan
dishahihkan oleh Al-Albani).
Tidak boleh
menempati tempat duduk orang lain yang keluar sementara waktu untuk suatu
keperluan. Nabi Shallallaahu 'alaihi wa sallam bersabda: "Apabila
seorang di antara kamu bangkit (keluar) dari tempat duduknya, kemudian kembali,
maka ia lebih berhak menempatinya". (HR.Muslim).
Tidak berbisik
berduaan dengan meninggalkan orang ketiga. Ibnu Mas`ud Radhiallaahu 'anhu menuturkan
: Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa sallam telah bersabda: "Apabila
kamu tiga orang, maka dua orang tidak boleh berbisik-bisik tanpa melibatkan
yang ketiga sehingga kalian bercampur baur dengan orang banyak, karena hal
tersebut dapat membuatnya sedih". (Muttafaq'alaih).
Para anggota majlis
hendaknya tidak banyak tertawa. Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa sallam telah
bersabda:"Janganlah kamu memperbanyak tawa, karena banyak tawa itu
mematikan hati". (HR. Ibnu Majah dan dinilai shahih oleh Al-Albani).
Hendaknya setiap
anggota majlis menjaga pembicaraan yang terjadi di dalam forum (majlis).
Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa sallam bersabda: "Apabila seseorang
membicarakan suatu pembicaraan kemudian ia menoleh, maka itu adalah
amanat". (HR. At-Tirmidzi, dinilai hasan oleh Al-Albani).
Anggota majlis
hendaknya tidak melakukan suatu perbuatan yang bertentangan dengan perasaan
orang lain, seperti menguap atau membuang ingus atau bersendawa di dalam
majlis.
Tidak melakukan
perbuatan memata-matai. Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa sallam bersabda: "Janganlah
kamu mencari-cari atau memata-matai orang". (Muttafaq'alaih).
Disunnatkan menutup
majlis dengan do`a Kaffarat majlis, karena Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa
sallam telah bersabda: "Barang siapa yang duduk di dalam suatu majlis
dan di majlis itu terjadi banyak gaduh, kemudian sebelum bubar dari majlis itu
ia membaca : "Maha Suci Engkau ya Allah, dengan segala puji bagi-Mu; aku
bersaksi bahwasanya tiada yang berhak disembah selain engkau; aku memohon ampunanmu
dan aku bertobat kepada-Mu", melainkan Allah mengampuni apa yang terjadi
di majlis itu baginya". (HR. Ahmad dan At-Tirmidzi, dan dishahihkan
oleh Al- Albani).
Etika
Berbicara
Hendaknya
pembicaran selalu di dalam kebaikan. Allah Subhaanahu wa Ta'ala berfirman yang
artinya: "Tidak ada kebaikan pada kebanyakan bisik-bisikan mereka,
kecuali bisik-bisikan dari orang yang menyuruh (manusia) memberi sedekah atau
berbuat ma`ruf, atau mengadakan perdamaian diantara manusia".
(An-Nisa: 114).
Hendaknya pembicaran
dengan suara yang dapat dide-ngar, tidak terlalu keras dan tidak pula terlalu
rendah, ungkapannya jelas dapat difahami oleh semua orang dan tidak dibuat-buat
atau dipaksa-paksakan.
Jangan membicarakan
sesuatu yang tidak berguna bagimu. Hadits Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa
sallam menyatakan: "Termasuk kebaikan islamnya seseorang adalah
meninggalkan sesuatu yang tidak berguna". (HR. Ahmad dan Ibnu Majah).
Janganlah kamu
membicarakan semua apa yang kamu dengar. Abu Hurairah Radhiallaahu 'anhu di
dalam hadisnya menuturkan : Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa sallam telah
bersabda: "Cukuplah menjadi suatu dosa bagi seseorang yaitu apabila ia
membicarakan semua apa yang telah ia dengar".(HR. Muslim)
Menghindari
perdebatan dan saling membantah, sekali-pun kamu berada di fihak yang benar dan
menjauhi perkataan dusta sekalipun bercanda. Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa
sallam bersabda: "Aku adalah penjamin sebuah istana di taman surga bagi
siapa saja yang menghindari bertikaian (perdebatan) sekalipun ia benar; dan
(penjamin) istana di tengah-tengah surga bagi siapa saja yang meninggalkan
dusta sekalipun bercanda". (HR. Abu Daud dan dinilai hasan oleh
Al-Albani).
Tenang dalam
berbicara dan tidak tergesa-gesa. Aisyah Radhiallaahu 'anha. telah menuturkan: "Sesungguhnya
Nabi Shallallaahu 'alaihi wa sallam apabila membicarakan suatu pembicaraan,
sekiranya ada orang yang menghitungnya, niscaya ia dapat menghitungnya".
(Mutta-faq'alaih).
Menghindari
perkataan jorok (keji). Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa sallam bersabda: "Seorang
mu'min itu pencela atau pengutuk atau keji pembicaraannya". (HR.
Al-Bukhari di dalam Al-Adab Mufrad, dan dishahihkan oleh Al-Albani).
Menghindari sikap
memaksakan diri dan banyak bicara di dalam berbicara. Di dalam hadits Jabir
Radhiallaahu 'anhu disebutkan: "Dan sesungguhnya manusia yang paling
aku benci dan yang paling jauh dariku di hari Kiamat kelak adalah orang yang
banyak bicara, orang yang berpura-pura fasih dan orang-orang yang
mutafaihiqun". Para shahabat bertanya: Wahai Rasulllah, apa arti
mutafaihiqun? Nabi menjawab: "Orang-orang yang sombong". (HR.
At-Turmudzi, dinilai hasan oleh Al-Albani).
Menghindari
perbuatan menggunjing (ghibah) dan mengadu domba. Allah Subhaanahu wa Ta'ala
berfirman yang artinya: "Dan janganlah sebagian kamu menggunjing
sebagian yang lain".(Al-Hujurat: 12).
Mendengarkan
pembicaraan orang lain dengan baik dan tidak memotongnya, juga tidak
menampakkan bahwa kamu mengetahui apa yang dibicarakannya, tidak menganggap
rendah pendapatnya atau mendustakannya. Jangan memonopoli dalam berbicara,
tetapi berikanlah kesempatan kepada orang lain untuk berbicara.
Menghindari
perkataan kasar, keras dan ucapan yang menyakitkan perasaan dan tidak
mencari-cari kesalahan pembicaraan orang lain dan kekeliruannya, karena hal
tersebut dapat mengundang kebencian, permusuhan dan pertentangan.
Menghindari sikap
mengejek, memperolok-olok dan memandang rendah orang yang berbicara. Allah
Subhaanahu wa Ta'ala berfirman yang artinya: "Wahai orang-orang yang
beriman, janganlah suatu kaum mengolok-olokan kaum yang lain (karena) boleh
jadi mereka (yang diolok-olokan) lebih baik dari mereka (yang mengolok-olokan),
dan jangan pula wanita-wanita (mengolok-olokan) wanita-wanita lain (karena)
boleh jadi wanita-wanita (yang diperolok-olokan) lebih baik dari wanita (yang
mengolok-olokan). (Al-Hujurat: 11).
Etika
Berbeda Pendapat
Ikhlas
dan mencari yang haq serta melepaskan diri dari nafsu di saat berbeda pendapat.
Juga menghindari sikap show (ingin tampil) dan membela diri dan nafsu.
Mengembalikan
perkara yang diperselisihkan kepada Kitab Al-Qur'an dan Sunnah. Karena Allah
Subhaanahu wa Ta'ala telah berfirman yang artinya: "Dan jika kamu
berselisih pendapat tentang sesuatu maka kembalikanlah ia kepada Allah (Kitab)
dan Rasul". (An-Nisa: 59).
Berbaik sangka
kepada orang yang berbeda pendapat denganmu dan tidak menuduh buruk niatnya,
mencela dan menganggapnya cacat.
Sebisa mungkin
berusaha untuk tidak memperuncing perselisihan, yaitu dengan cara menafsirkan
pendapat yang keluar dari lawan atau yang dinisbatkan kepadanya dengan tafsiran
yang baik.
Berusaha sebisa
mungkin untuk tidak mudah menyalahkan orang lain, kecuali sesudah penelitian
yang dalam dan difikirkan secara matang.
Berlapang dada di
dalam menerima kritikan yang ditujukan kepada anda atau catatan-catatang yang
dialamatkan kepada anda.
Sedapat mungkin
menghindari permasalahan-permasalahan khilafiyah dan fitnah. Berpegang teguh
dengan etika berdialog dan menghindari perdebatan, bantah-membantah dan kasar
menghadapi lawan.
Etika Bercanda
Hendaknya
percandaan tidak mengandung nama Allah, ayat-ayat-Nya, Sunnah rasul-Nya atau
syi`ar-syi`ar Islam. Karena Allah telah berfirman tentang orang-orang yang
memperolok-olokan shahabat Nabi Shallallaahu 'alaihi wa sallam , yang ahli baca
al-Qur`an yang artinya: "Dan jika kamu tanyakan kepada mereka (tentang
apa yang mereka lakukan), tentulah mereka menjawab: "Sesungguh-nya kami
hanyalah bersenda gurau dan bermain-main saja". Katakanlah: "Apakah
dengan Allah, ayat-ayat-Nya dan Rasul-Nya kamu selalu berolok-olok?".
Tidak usah kamu minta ma`af, karena kamu kafir sesudah beriman". (At-Taubah:
65-66).
Hendaknya
percandaan itu adalah benar tidak mengandung dusta. Dan hendaknya pecanda tidak
mengada-ada cerita-cerita khayalan supaya orang lain tertawa. Rasulullah
Shallallaahu 'alaihi wa sallam bersabda: "Celakalah bagi orang yang
berbicara lalu berdusta supaya dengannya orang banyak jadi tertawa. Celakalah
baginya dan celakalah". (HR. Ahmad dan dinilai hasan oleh Al-Albani).
Hendaknya
percandaan tidak mengandung unsur menyakiti perasaan salah seorang di antara
manusia. Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa sallam bersabda: "Janganlah
seorang di antara kamu mengambil barang temannya apakah itu hanya canda atau
sungguh-sungguh; dan jika ia telah mengambil tongkat temannya, maka ia harus
mengembalikannya kepadanya". (HR. Ahmad dan Abu Daud; dinilai hasan
oleh Al-Albani).
Bercanda tidak
boleh dilakukan terhadap orang yang lebih tua darimu, atau terhadap orang yang
tidak bisa bercanda atau tidak dapat menerimanya, atau terhadap perempuan yang
bukan mahrammu.
Hendaknya anda
tidak memperbanyak canda hingga menjadi tabiatmu, dan jatuhlah wibawamu dan
akibatnya kamu mudah dipermainkan oleh orang lain.
Etika
Bergaul Dengan Orang Lain
Hormati
perasaan orang lain, tidak mencoba menghina atau menilai mereka cacat.
Jaga dan
perhatikanlah kondisi orang, kenalilah karakter dan akhlaq mereka, lalu
pergaulilah mereka, masing-masing menurut apa yang sepantasnya.
Mendudukkan orang
lain pada kedudukannya dan masing-masing dari mereka diberi hak dan dihargai.
Perhatikanlah
mereka, kenalilah keadaan dan kondisi mereka, dan tanyakanlah keadaan mereka.
Bersikap
tawadhu'lah kepada orang lain dan jangan merasa lebih tinggi atau takabbur dan
bersikap angkuh terhadap mereka.
Bermuka manis dan
senyumlah bila anda bertemu orang lain.
Berbicaralah kepada
mereka sesuai dengan kemampuan akal mereka.
Berbaik sangkalah
kepada orang lain dan jangan memata-matai mereka.
Mema`afkan
kekeliruan mereka dan jangan mencari-cari kesalahan-kesalahannya, dan tahanlah
rasa benci terhadap mereka.
Dengarkanlah
pembicaraan mereka dan hindarilah perdebatan dan bantah-membantah dengan
mereka.
Etika di
Masjid
Berdo`a
di saat pergi ke masjid. Berdasarkan hadits Ibnu Abbas Radhiallaahu anhu beliau
menyebutkan: Adalah Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Sallam apabila ia keluar
(rumah) pergi shalat (di masjid) berdo`a : "Ya Allah, jadikanlah cahaya
di dalam hatiku, dan cahaya pada lisanku, dan jadikanlah cahaya pada
pendengaranku dan cahaya pada penglihatanku, dan jadikanlah cahaya dari
belakangku, dan cahaya dari depanku, dan jadikanlah cahaya dari atasku dan
cahaya dari bawahku. Ya Allah, anugerahilah aku cahaya".
(Muttafaq'alaih).
Berjalan menuju
masjid untuk shalat dengan tenang dan khidmat. Rasulullah Shallallaahu alaihi
wa Sallam telah bersabda: "Apabila shalat telah diiqamatkan, maka
janganlah kamu datang menujunya dengan berlari, tetapi datanglah kepadanya
dengan berjalan dan memperhatikan ketenangan. Maka apa (bagian shalat) yang
kamu dapati ikutilah dan yang tertinggal sempurnakanlah. (Muttafaq'alaih).
Berdo`a disaat
masuk dan keluar masjid. Disunatkan bagi orang yang masuk masjid mendahulukan
kaki kanan, kemudian bershalawat kepada Nabi Shallallaahu alaihi wa Sallam lalu
mengucapkan: "(Ya Allah, bukakanlah bagiku pintu-pintu rahmat-Mu)"
Dan bila keluar
mendahulukan kaki kiri, lalu bershalawat kepada Nabi Shallallaahu alaihi wa
Sallam kemudian membaca do`a: "(Ya Allah, sesungguhnya aku memohon
bagian dari karunia-Mu)". (HR. Muslim).
Disunnatkan
melakukan shalat sunnah tahiyatul masjid bila telah masuk masjid. Rasulullah
Shallallaahu alaihi wa Sallam bersabda: "Apabila seorang di antara kamu
masuk masjid hendaklah shalat dua raka`at sebelum duduk". (Muttafaq
alaih).
Dilarang
berjual-beli dan mengumumkan barang hilang di dalam masjid. Rasulullah
Shallallaahu alaihi wa Sallam bersabda: "Apabila kamu melihat orang
yang menjual atau membeli sesuatu di dalam masjid, maka doakanlah "Semoga
Allah tidak memberi keuntungan bagimu". Dan apabila kamu melihat orang
yang mengumumkan barang hilang, maka do`akanlah "Semoga Allah tidak
mengembalikan barangmu yang hilang". (HR. At-Turmudzi dan dishahihkan
oleh Al-Albani).
Dilarang masuk ke
masjid bagi orang makan bawang putih, bawang merah atau orang yang badannya
berbau tidak sedap. Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Sallam bersabda: "Barangsiapa
yang memakan bawang putih, bawang merah atau bawang daun, maka jangan
sekali-kali mendekat ke masjid kami ini, karena malaikat merasa terganggu dari
apa yang dengan-nya manusia terganggu". (HR. Muslim). Dan termasuk
juga rokok dan bau lain yang tidak sedap yang keluar dari badan atau pakaian.
Dilarang keluar
dari masjid sesudah adzan. Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Sallam bersabda: "Apabila
tukang adzan telah adzan, maka jangan ada seorangpun yang keluar sebelum
shalat". (HR. Al-Baihaqi dan dishahihkan oleh Al-Albani).
Tidak lewat di
depan orang yang sedang shalat, dan disunnatkan bagi orang yang sholat menaroh
batas di depannya. Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Sallam bersabda: "Kalau
sekiranya orang yang lewat di depan orang yang sedang sholat itu mengetahui
dosa perbuatannya, niscaya ia berdiri dari jarak empat puluh itu lebih baik
baginya daripada lewat di depannya". (Muttafaq alaih).
Tidak menjadikan
masjid sebagai jalan. Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Sallam bersabda: "Janganlah
kamu menjadikan masjid sebagai jalan, kecuali (sebagai tempat) untuk berzikir
dan shalat". (HR. Ath-Thabrani, dinilai hasan oleh Al-Albani).
Tidak menyaringkan
suara di dalam masjid dan tidak mengganggu orang-orang yang sedang shalat.
Termasuk perbuatan mengganggu orang shalat adalah membiarkan Handphone anda
dalam keadaan aktif di saat shalat.
Hendaknya wanita
tidak memakai farfum atau berhias bila akan pergi ke masjid. Rasulullah
Shallallaahu alaihi wa Sallam bersabda: "Apabila salah seorang di
antara kamu (kaum wanita) ingin shalat di masjid, maka janganlah menyentuh
farfum". (HR. Muslim).
Orang yang junub,
wanita haid atau nifas tidak boleh masuk masjid. Allah berfirman: "(Dan
jangan pula menghampiri masjid), sedang kamu dalam keadaan junub, kecuali
sekedar berlalu saja, hingga kamu mandi". (an-Nisa: 43).
`Aisyah
Radhiallaahu anha meriwayatkan bahwa Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Sallam
telah bersabda kepadanya: "Ambilkan buat saya kain alas dari
masjid". Aisyah menjawab: Sesungguhnya aku haid? Nabi bersabda:
"Sesungguhnya haidmu bukan di tanganmu". (HR. Muslim).
Etika
Membaca Al-Qur'an
Sebaiknya
orang yang membaca Al-Qur'an dalam keadaan sudah berwudhu, suci pakaiannya,
badannya dan tempatnya serta telah bergosok gigi.
Hendaknya memilih
tempat yang tenang dan waktunya pun pas, karena hal tersebut lebih dapat
konsentrasi dan jiwa lebih tenang.
Hendaknya memulai
tilawah dengan ta`awwudz, kemu-dian basmalah pada setiap awal surah selain
selain surah At-Taubah. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman yang artinya: "Apabila
kamu akan mem-baca al-Qur'an, maka memohon perlindungan-lah kamu kepada Allah
dari godaan syetan yang terkutuk". (An-Nahl: 98).
Hendaknya selalu
memperhatikan hukum-hukum tajwid dan membunyikan huruf sesuai dengan makhrajnya
serta membacanya dengan tartil (perlahan-lahan). Allah berfirman yang Subhanahu
wa Ta'ala artinya: "Dan Bacalah Al-Qur'an itu dengan
perlahan-lahan". (Al-Muzzammil: 4).
Disunnatkan
memanjangkan bacaan dan memperindah suara di saat membacanya. Anas bin Malik
Radhiallaahu anhu pernah ditanya: Bagaimana bacaan Nabi Shallallaahu alaihi
wa Sallam (terhadap Al-Qur'an? Anas menjawab: "Bacaannya panjang (mad),
kemudian Nabi membaca "Bismillahirrahmanirrahim" sambil memanjangkan
Bismillahi, dan memanjangkan bacaan ar-rahmani dan memanjangkan bacaan ar-rahim".
(HR. Al-Bukhari). Dan Nabi Shallallaahu alaihi wa Sallam juga bersabda: "Hiasilah
suara kalian dengan Al-Qur'an". (HR. Abu Daud, dan dishahih-kan oleh
Al-Albani).
Hendaknya membaca
sambil merenungkan dan menghayati makna yang terkandung pada ayat-ayat yang
dibaca, berinteraksi dengannya, sambil memohon surga kepada Allah bila terbaca
ayat-ayat surga, dan berlindung kepada Allah dari neraka bila terbaca ayat-ayat
neraka. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman yang artinya: "Ini adalah
sebuah kitab yang Kami turunkan kepadamu penuh dengan berkah supaya mereka
memperhatikan ayat-ayatnya dan supaya mendapat pelajaran orang-orang yang
mempunyai fikiran." (Shad: 29). Dan di dalam hadits Hudzaifah ia
menuturkan: "......Apabila Nabi terbaca ayat yang mengandung makna
bertasbih (kepada Allah) beliau bertasbih, dan apabila terbaca ayat yang
mengandung do`a, maka beliau berdo`a, dan apabila terbaca ayat yang bermakna
meminta perlindungan (kepada Allah) beliau memohon perlindungan". (HR.
Muslim).
Hendaknya
mendengarkan bacaan Al-Qur'an dengan baik dan diam, tidak berbicara. Allah
Subhanahu wa Ta'ala berfirman yang artinya: "Dan apabila Al-Qur'an
dibacakan, maka dengarkanlah baik-baik, dan perhatikanlah dengan tenang agar
kamu men-dapat rahmat". (Al-A`raf: 204).
Hendaklah selalu
menjaga al-Qur'an dan tekun membacanya dan mempelajarinya (bertadarus) hingga
tidak lupa. Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Sallam bersabda: "Peliharalah
Al-Qur'an baik-baik, karena demi Tuhan yang diriku berada di tangan-Nya, ia
benar-benar lebih liar (mudah lepas) dari pada unta yang terikat di tali
kendalinya". (HR. Al-Bukhari).
Hendaknya tidak
menyentuh Al-Qur'an kecuali dalam keadaan suci. Allah Subhanahu wa Ta'ala telah
berfirman yang artinya: "Tidak akan menyentuhnya kecuali orang-orang yang
disucikan". (Al-Waqi`ah: 79).
Boleh bagi wanita
haid dan nifas membaca al-Qur'an dengan tidak menyentuh mushafnya menurut salah
satu pendapat ulama yang lebih kuat, karena tidak ada hadits shahih dari
Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Sallam yang melarang hal tersebut.
Disunnatkan
menyaringkan bacaan Al-Qur'an selagi tidak ada unsur yang negatif, seperti riya
atau yang serupa dengannya, atau dapat mengganggu orang yang sedang shalat,
atau orang lain yang juga membaca Al-Qur'an.
Termasuk sunnah
adalah berhenti membaca bila sudah ngantuk, karena Rasulullah Shallallaahu
alaihi wa Sallam bersabda: "Apabila salah seorang kamu bangun di malam
hari, lalu lisannya merasa sulit untuk membaca Al-Qur'an hingga tidak menyadari
apa yang ia baca, maka hendaknya ia berbaring (tidur)". (HR. Muslim).
Etika Berdoa
Terlebih
dahulu sebelum berdo`a hendaknya memuji kepada Allah kemudian bershalawat
kepada Nabi Shallallaahu alaihi wa Sallam. Rasulullah Shallallaahu alaihi wa
Sallam pernah mendengar seorang lelaki sedang berdo`a di dalam shalatnya, namun
ia tidak memuji kepada Allah dan tidak bershalawat kepada Nabi Shallallaahu
alaihi wa Sallam maka Nabi bersabda kepadanya: "Kamu telah tergesa-gesa
wahai orang yang sedang shalat. Apabila anda selesai shalat, lalu kamu duduk,
maka memujilah kepada Allah dengan pujian yang layak bagi-Nya, dan
bershalawatlah kepadaku, kemudian berdo`alah". (HR. At-Turmudzi, dan
dishahihkan oleh Al-Albani).
Mengakui dosa-dosa,
mengakui kekurangan (keteledoran diri) dan merendahkan diri, khusyu', penuh
harapan dan rasa takut kepada Allah di saat anda berdo`a. Allah Subhanahu wa
Ta'ala berfirman yang artinya: "Sesungguhnya mereka adalah orang-orang
yang selalu bersegera di dalam (mengerjakan) perbuatan-perbuatan yang baik dan
mereka berdo`a kepada Kami dengan harap dan cemas. Dan mereka adalah orang-orang
yang khusyu` kepada Kami". (Al-Anbiya': 90).
Berwudhu' sebelum
berdo`a, menghadap Kiblat dan mengangkat kedua tangan di saat berdo`a. Di dalam
hadits Abu Musa Al-Asy`ari Radhiallaahu anhu disebutkan bahwa setelah Nabi
Shallallaahu alaihi wa Sallam selesai melakukan perang Hunain :" Beliau
minta air lalu berwudhu, kemudian mengangkat kedua tangannya; dan aku melihat
putih kulit ketiak beliau". (Muttafaq'alaih).
Benar-benar
(meminta sangat) di dalam berdo`a dan berbulat tekad di dalam memohon. Rasulullah
Shallallaahu alaihi wa Sallam bersabda: "Apabila kamu berdo`a kepada
Allah, maka bersungguh-sungguhlah di dalam berdo`a, dan jangan ada seorang kamu
yang mengatakan :Jika Engkau menghendaki, maka berilah aku", karena
sesungguhnya Allah itu tidak ada yang dapat memaksanya". Dan di dalam
satu riwayat disebutkan: "Akan tetapi hendaknya ia bersungguh-sungguh
dalam memohon dan membesarkan harapan, karena sesungguhnya Allah tidak merasa
berat karena sesuatu yang Dia berikan". (Muttafaq'alaih).
Menghindari do`a
buruk terhadap diri sendiri, anak dan harta. Rasulullah Shallallaahu alaihi wa
Sallam bersabda: "Jangan sekali-kali kamu mendo`akan buruk terhadap
diri kamu dan juga terhadap anak-anak kamu dan pula terhadap harta kamu, karena
khawatir do`a kamu bertepatan dengan waktu dimana Allah mengabulkan
do`amu". (HR. Muslim).
Merendahkan suara
di saat berdo`a. Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Sallam bersabda: "Wahai
sekalian manusia, kasihanilah diri kamu, karena sesungguhnya kamu tidak berdo`a
kepada yang tuli dan tidak pula ghaib, sesungguhnya kamu berdo`a (memohon)
kepada Yang Maha Mendengar lagi Maha Dekat dan Dia selalu menyertai kamu".
(HR. Al-Bukhari).
Berkonsentrasi di
saat berdo`a. Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Sallam bersabda: "Berdo`alah
kamu kepada Allah sedangkan kamu dalam keadaan yakin dikabulkan, dan ketahuilah
bahwa sesungguhnya Allah tidak mengabulkan do`a dari hati yang lalai".
(HR. At-Turmudzi dan dihasankan oleh Al-Albani).
Tidak memaksa
bersajak di dalam berdo`a. Ibnu Abbas pernah berkata kepada `Ikrimah: "Lihatlah
sajak dari do`amu, lalu hindarilah ia, karena sesungguhnya aku memperhatikan
Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Sallam dan para shahabatnya tidak melakukan
hal tersebut".(HR. Al-Bukhari).
Etika Makan dan
Minum
Berupaya
untuk mencari makanan yang halal. Allah Shallallaahu alaihi wa Sallam
berfirman: “Wahai orang-orang yang beriman, makanlah di antara rizki yang
baik-baik yang Kami berikan kepadamu”. (Al-Baqarah: 172). Yang baik disini
artinya adalah yang halal.
Hendaklah makan dan
minum yang kamu lakukan diniatkan agar bisa dapat beribadah kepada Allah, agar
kamu mendapat pahala dari makan dan minummu itu.
Hendaknya mencuci
tangan sebelum makan jika tangan kamu kotor, dan begitu juga setelah makan
untuk menghilangkan bekas makanan yang ada di tanganmu.
Hendaklah kamu puas
dan rela dengan makanan dan minuman yang ada, dan jangan sekali-kali
mencelanya. Abu Hurairah Radhiallaahu anhu di dalam haditsnya menuturkan: “Rasulullah
Shallallaahu alaihi wa Sallam sama sekali tidak pernah mencela makanan. Apabila
suka sesuatu ia makan dan jika tidak, maka ia tinggalkan”. (Muttafaq’alaih).
Hendaknya jangan
makan sambil bersandar atau dalam keadaan menyungkur. Rasulullah Shallallaahu
alaihi wa Sallam bersabda; “Aku tidak makan sedangkan aku menyandar”.
(HR. al-Bukhari). Dan di dalam haditsnya, Ibnu Umar Radhiallaahu anhu
menuturkan: “Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Sallam telah melarang dua
tempat makan, yaitu duduk di meja tempat minum khamar dan makan sambil
menyungkur”. (HR. Abu Daud, dishahihkan oleh Al-Albani).
Tidak makan dan
minum dengan menggunakan bejana terbuat dari emas dan perak. Di dalam hadits
Hudzaifah dinyatakan di antaranya bahwa Nabi Shallallaahu alaihi wa Sallam
telah bersabda: “... dan janganlah kamu minum dengan menggunakan bejana
terbuat dari emas dan perak, dan jangan pula kamu makan dengan piring yang
terbuat darinya, karena keduanya untuk mereka (orang kafir) di dunia dan untuk
kita di akhirat kelak”. (Muttafaq’alaih).
Hendaknya memulai
makanan dan minuman dengan membaca Bismillah dan diakhiri dengan Alhamdulillah.
Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Sallam bersabda: “Apabila seorang diantara
kamu makan, hendaklah menyebut nama Allah Subhanahu wa Ta'ala dan jika lupa
menyebut nama Allah Subhanahu wa Ta'ala pada awalnya maka hendaknya mengatakan
: Bismillahi awwalihi wa akhirihi”. (HR. Abu Daud dan dishahihkan oleh
Al-Albani). Adapun meng-akhirinya dengan Hamdalah, karena Rasulullah
Shallallaahu alaihi wa Sallam bersabda: “Sesungguhnya Allah sangat meridhai
seorang hamba yang apabila telah makan suatu makanan ia memuji-Nya dan apabila
minum minuman ia pun memuji-Nya”. (HR. Muslim).
Hendaknya makan
dengan tangan kanan dan dimulai dari yang ada di depanmu. Rasulllah
Shallallaahu alaihi wa Sallam bersabda Kepada Umar bin Salamah: “Wahai anak,
sebutlah nama Allah dan makanlah dengan tangan kananmu dan makanlah apa yang di
depanmu. (Muttafaq’alaih).
Disunnatkan makan
dengan tiga jari dan menjilati jari-jari itu sesudahnya. Diriwayatkan dari
Ka`ab bin Malik dari ayahnya, ia menuturkan: “Adalah Rasulullah Shallallaahu
alaihi wa Sallam makan dengan tiga jari dan ia menjilatinya sebelum
mengelapnya”. (HR. Muslim).
Disunnatkan
mengambil makanan yang terjatuh dan membuang bagian yang kotor darinya lalu
memakannya. Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Sallam bersabda: “Apabila
suapan makan seorang kamu jatuh hendaklah ia mengambilnya dan membuang bagian
yang kotor, lalu makanlah ia dan jangan membiarkannya untuk syetan”. (HR.
Muslim).
Tidak meniup makan
yang masih panas atau bernafas di saat minum. Hadits Ibnu Abbas menuturkan “Bahwasanya
Nabi Shallallaahu alaihi wa Sallam melarang bernafas pada bejana minuman atau
meniupnya”. (HR. At-Turmudzi dan dishahihkan oleh Al-Albani).
Tidak
berlebih-lebihan di dalam makan dan minum. Karena Rasulullah Shallallaahu
alaihi wa Sallam bersabda: “Tiada tempat yang yang lebih buruk yang dipenuhi
oleh seseorang daripada perutnya, cukuplah bagi seseorang beberapa suap saja
untuk menegakkan tulang punggungnya; jikapun terpaksa, maka sepertiga untuk
makanannya, sepertiga untuk minumannya dan sepertiga lagi untuk bernafas”.
(HR. Ahmad dan dishahihkan oleh Al-Albani).
Hendaknya pemilik
makanan (tuan rumah) tidak melihat ke muka orang-orang yang sedang makan, namun
seharusnya ia menundukkan pandangan matanya, karena hal tersebut dapat
menyakiti perasaan mereka dan membuat mereka menjadi malu.
Hendaknya kamu
tidak memulai makan atau minum sedangkan di dalam majlis ada orang yang lebih
berhak memulai, baik kerena ia lebih tua atau mempunyai kedudukan, karena hal
tersebut bertentangan dengan etika.
Jangan sekali-kali
kamu melakukan perbuatan yang orang lain bisa merasa jijik, seperti mengirapkan
tangan di bejana, atau kamu mendekatkan kepalamu kepada tempat makanan di saat
makan, atau berbicara dengan nada-nada yang mengandung makna kotor dan
menjijik-kan.
Jangan minum
langsung dari bibir bejana, berdasarkan hadits Ibnu Abbas beliau berkata, “Nabi
Shallallaahu alaihi wa Sallam melarang minum dari bibir bejana wadah air.”
(HR. Al Bukhari)
Disunnatkan minum
sambil duduk, kecuali jika udzur, karena di dalam hadits Anas disebutkan “Bahwa
sesungguhnya Nabi Shallallaahu alaihi wa Sallam melarang minum sambil berdiri”.
(HR. Muslim).
Etika
Bertamu
Untuk orang yang mengundang:
Hendaknya
mengundang orang-orang yang bertaqwa, bukan orang yang fasiq. Rasulullah
Shallallaahu alaihi wa Sallam bersabda: “Janganlah kamu bersahabat kecuali
dengan seorang mu`min, dan jangan memakan makananmu kecuali orang yang
bertaqwa”. (HR. Ahmad dan dinilai hasan oleh Al-Albani).
Jangan hanya
mengundang orang-orang kaya untuk jamuan dengan mengabaikan orang-orang fakir.
Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Sallam bersbda: “Seburuk-buruk makanan
adalah makanan pengantinan (walimah), karena yang diundang hanya orang-orang
kaya tanpa orang-orang faqir.” (Muttafaq’ alaih).
Undangan jamuan
hendaknya tidak diniatkan berbangga-bangga dan berfoya-foya, akan tetapi niat
untuk mengikuti sunnah Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Sallam dan
membahagiakan teman-teman sahabat.
Tidak
memaksa-maksakan diri untuk mengundang tamu. Di dalam hadits Anas Radhiallaahu
anhu ia menuturkan: “Pada suatu ketika kami ada di sisi Umar, maka ia
berkata: “Kami dilarang memaksa diri” (membuat diri sendiri repot).” (HR.
Al-Bukhari)
Jangan anda
membebani tamu untuk membantumu, karena hal ini bertentangan dengan kewibawaan.
Jangan kamu
menampakkan kejemuan terhadap tamumu, tetapi tampakkanlah kegembiraan dengan
kahadirannya, bermuka manis dan berbicara ramah.
Hendaklah segera
menghidangkan makanan untuk tamu, karena yang demikian itu berarti
menghormatinya. Jangan tergesa-gesa untuk mengangkat makanan (hidangan) sebelum
tamu selesai menikmati jamuan.
Disunnatkan
mengantar tamu hingga di luar pintu rumah. Ini menunjukkan penerimaan tamu yang
baik dan penuh perhatian.
Bagi tamu :
Hendaknya memenuhi
undangan dan tidak terlambat darinya kecuali ada udzur, karena hadits Nabi
Shallallaahu alaihi wa Sallam mengatakan: “Barangsiapa yang diundang kepada
walimah atau yang serupa, hendaklah ia memenuhinya”. (HR. Muslim).
Hendaknya tidak
membedakan antara undangan orang fakir dengan undangan orang yang kaya, karena
tidak memenuhi undangan orang faqir itu merupakan pukulan (cambuk) terhadap
perasaannya.
Jangan tidak hadir
sekalipun karena sedang berpuasa, tetapi hadirlah pada waktunya, karena hadits
yang bersumber dari Jabir Shallallaahu alaihi wa Sallam menyebutkan bahwasanya
Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Sallam telah bersabda:”Barangsiapa yang
diundang untuk jamuan sedangkan ia berpuasa, maka hendaklah ia menghadirinya.
Jika ia suka makanlah dan jika tidak, tidaklah mengapa. (HR. Ibnu Majah dan
dishahihkan oleh Al-Albani).
Jangan terlalu lama
menunggu di saat bertamu karena ini memberatkan yang punya rumah juga jangan
tergesa-gesa datang karena membuat yang punya rumah kaget sebelum semuanya
siap.
Bertamu tidak boleh
lebih dari tiga hari, kecuali kalau tuan rumah memaksa untuk tinggal lebih dari
itu.
Hendaknya pulang
dengan hati lapang dan memaafkan kekurang apa saja yang terjadi pada tuan
rumah.
Hendaknya
mendo`akan untuk orang yang mengundangnya seusai menyantap hidangannya. Dan di
antara do`a yang ma’tsur adalah: “Orang yang berpuasa telah berbuka puasa
padamu. dan orang-orang yang baik telah memakan makananmu dan para malaikan
telah bershalawat untukmu”. (HR. Abu Daud, dishahihkan Al-Albani).
“Ya Allah,
ampunilah mereka, belas kasihilah mereka, berkahilah bagi mereka apa yang telah
Engkau karunia-kan kepada mereka. Ya Allah, berilah makan orang yang telah
memberi kami makan, dan berilah minum orang yang memberi kami minum”
Etika
Menjenguk Orang Sakit
Untuk orang yang berkunjung
(menjenguk):
Hendaknya
tidak lama di dalam berkunjung, dan mencari waktu yang tepat untuk berkunjung,
dan hendaknya tidak menyusahkan si sakit, bahkan berupaya untuk menghibur dan
membahagiakannya.
Hendaknya mendekat
kepada si sakit dan menanyakan keadaan dan penyakit yang dirasakannya, seperti
mengatakan: “Bagaimana kamu rasakan keadaanmu?”. Sebagai-mana pernah
dilakukan oleh Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Sallam.
Mendo`akan semoga
cepat sembuh, dibelaskasihi Allah, selamat dan disehatkan. Ibnu Abbas
Radhiallaahu anhu telah meriwayat-kan bahwasanya Nabi Shallallaahu alaihi wa
Sallam apabila beliau menjenguk orang sakit, ia mengucapkan: “Tidak apa-apa.
Sehat (bersih) insya Allah”. (HR. Al-Bukhari). Dan berdo`a tiga kali
sebagaimana dilakukan oleh Nabi Shallallaahu alaihi wa Sallam.
Mengusap si sakit
dengan tangan kanannya, dan berdo`a:
“Hilangkanlah
kesengsaraan (penyakitnya) wahai Tuhan bagi manusia, sembuhkanlah, Engkau Maha
Penyembuh, tiada kesembuhan kecuali kesembuhan dari-Mu, kesembuhan yang tidak
meninggalkan penyakit”. (Muttafaq’alaih).
Mengingatkan si
sakit untuk bersabar atas taqdir Allah Subhanahu wa Ta'ala dan jangan
mengatakan “tidak akan cepat sembuh”, dan hendaknya tidak mengharapkan
kematiannya sekalipun penyakitnya sudah kronis.
Hendaknya
mentalkinkan kalimat Syahadat bila ajalnya akan tiba, memejamkan kedua matanya
dan mendo`akan-nya. Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Sallam telah bersabda:
“Talkinlah orang yang akan meninggal di antara kamu “La ilaha illallah”. (HR.
Muslim).
Untuk orang yang sakit:
Hendaknya segera
bertobat dan bersungguh-sungguh beramal shalih.
Berbaik sangka
kepada Allah, dan selalu mengingat bahwa ia sesungguhnya adalah makhluk yang
lemah di antara makhluk Allah lainnya, dan bahwa sesungguhnya Allah Subhanahu
wa Ta'ala tidak membutuhkan untuk menyiksanya dan tidak mem-butuhkan
ketaatannya
Hendaknya cepat
meminta kehalalan atas kezhaliman-kezhaliman yang dilakukan olehnya, dan segera
mem-bayar/menunaikan hak-hak dan kewajiban kepada pemi-liknya, dan menyampaikan
amanat kepada yang berhak menerimanya.
Memperbanyak zikir
kepada Allah, membaca Al-Qur’an dan beristighfar (minta ampun).
Mengharap pahala
dari Allah dari musibah (penyakit) yang dideritanya, karena dengan demikian ia
pasti diberi pahala. Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Sallam bersabda: “Apa
saja yang menimpa seorang mu’min baik berupa kesedihan, kesusahan, keletihan
dan penyakit, hingga duri yang menusuknya, melainkan Allah meninggikan
karenanya satu derajat baginya dan mengampuni kesalahannya karenanya”.
(Muttafaq’alaih).
Berserah diri dan
tawakkal kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala dan berkeyakinan bahwa kesembuhan itu
dari Allah, dengan tidak melupakan usaha-usaha syar`i untuk kesembuhan-nya,
seperti berobat dari penyakitnya.
Etika
Janazah dan Ta'ziah
Segera
merawat janazah dan mengebumikannya untuk meringankan beban keluarganya dan
sebagai rasa belas kasih terhadap mereka. Abu Hurairah Radhiallaahu anhu di
dalam haditsnya menyebutkan bahwasanya Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Sallam
telah bersabda: “Segeralah (di dalam mengurus) jenazah, sebab jika
amal-amalnya shalih, maka kebaikanlah yang kamu berikan kepadanya; dan jika
sebaliknya, maka keburukan-lah yang kamu lepaskan dari pundak kamu”.
(Muttafaq alaih).
Tidak menangis
dengan suara keras, tidak meratapinya dan tidak merobek-robek baju. Karena
Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Sallam telah bersabda: “Bukan golongan
kami orang yang memukul-mukul pipinya dan merobek-robek bajunya, dan menyerukan
kepada seruan jahiliyah”. (HR. Al-Bukhari).
Disunatkan
mengantar janazah hingga dikubur. Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Sallam
bersada: “Barangsiapa yang menghadiri janazah hingga menshalatkannya, maka
baginya (pahala) sebesar qirath; dan barangsiapa yang menghadirinya hingga
dikuburkan maka baginya dua qirath”. Nabi ditanya: “Apa yang disebut dua
qirath itu?”. Nabi menjawab: “Seperti dua gunung yang sangat besar”.
(Muttafaq’alaih).
Memuji si mayit
(janazah) dengan mengingat dan menyebut kebaikan-kebaikannya dan tidak mencoba
untuk menjelek-jelekkannya. Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Sallam bersabda:”Janganlah
kamu mencaci-maki orang-orang yang telah mati, karena mereka telah sampai
kepada apa yang telah mereka perbuat”. (HR. Al-Bukhari).
Memohonkan ampun
untuk janazah setelah dikuburkan. Ibnu Umar Radhiallaahu anhu pernah berkata:
“Adalah Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Sallam apabila selesai mengubur
janazah, maka berdiri di atasnya dan bersabda:”Mohonkan ampunan untuk
saudaramu ini, dan mintakan kepada Allah agar ia diberi keteguhan, karena dia
sekarang akan ditanya”. (HR. Abu Daud dan dishahihkan oleh Albani).
Disunatkan
menghibur keluarga yang berduka dan memberikan makanan untuk mereka. Rasulullah
Shallallaahu alaihi wa Sallam telah bersabda: “Buatkanlah makanan untuk
keluarga Ja`far, karena mereka sedang ditimpa sesuatu yang membuat mereka
sibuk”. (HR. Abu Daud dan dinilai hasan oleh Al-Albani).
Disunnatkan
berta`ziah kepada keluarga korban dan menyarankan mereka untuk tetap sabar, dan
mengatakan kepada mereka: “Sesungguhnya milik Allahlah apa yang telah Dia
ambil dan milik-Nya jualah apa yang Dia berikan; dan segala sesuatu disisi-Nya
sudah ditetapkan ajalnya. Maka hendaklah kamu bersabar dan mengharap pahala
dari-Nya”. (Muttafaq’alaih).
Etika Safar
(Bepergian Jauh)
Disunnatkan
bagi orang yang berniat untuk melakukan perjalan jauh (safar) beristikharah
terlebih dahulu kepada Allah mengenai rencana safarnya itu, dengan sholat dua
raka`at di luar shalat wajib, lalu berdo`a dengan do`a istikharah.
Hendaknya bertobat
kepada Allah Shallallaahu alaihi wa Sallam dari segala kemaksiatan yang pernah
ia lakukan dan meminta ampun kepada-Nya dari segala dosa yang telah
diperbuatnya, sebab ia tidak tahu apa yang akan terjadi di balik kepergiannya
itu.
Hendaknya ia
mengembalikan barang-barang yang bukan haknya dan amanat-amanat kepada
orang-orang yang berhak menerimanya, membayar hutang atau menyerahkannya kepada
orang yang akan melunasinya dan berpesan kebaikan kepada keluarganya.
Membawa perbekalan
secukupnya, seperti air, makanan dan uang.
Disunnatkan bagi
musafir pergi dengan ditemani oleh teman yang shalih selama perjalanannya untuk
meringankan beban diperjalananya dan menolongnya bila perlu. Rasulullah
Shallallaahu alaihi wa Sallam telah bersabda: “Kalau sekiranya manusia
mengetahui apa yang aku ketahui di dalam kesendirian, niscaya tidak ada orang
yang menunggangi kendaraan (musafir) yang berangkat di malam hari sendirian”. (HR.
Al-Bukhari)
Disunnatkan bagi
para musafir apabila jumlah mereka lebih dari tiga orang mengangkat salah satu
dari mereka sebagai pemimpin (amir), karena hal tersebut dapat memper-mudah
pengaturan urusan mereka. Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Sallam bersabda: “Apabila
tiga orang keluar untuk safar, maka hendaklah mereka mengangkat seorang amir
dari mereka”. (HR. Abu Daud dan dishahihkan oleh Al-Albani).
Disunnatkan
berangkat safar pada pagi (dini) hari dan sore hari, karena Rasulullah
Shallallaahu alaihi wa Sallam bersabda: “Ya Allah, berkahilah bagi ummatku
di dalam kediniannya”. Dan juga bersabda: “Hendaknya kalian memanfaatkan
waktu senja, karena bumi dilipat di malam hari”. (Keduanya diriwayat-kan
oleh Abu Daud dan dishahihkan oleh Al-Albani).
Disunatkan bagi
musafir apabila akan berangkat mengu-capkan selamat tinggal kepada keluarga,
kerabat dan teman-temannya, sebagaimana dilakukan oleh Rasulullah Shallallaahu
alaihi wa Sallam dan dia sabdakan: “Aku titipkan kepada Allah agamamu,
amanatmu dan penutup-penutup amal perbuatanmu”. (HR. At-Turmudzi,
dishahihkan oleh Al-Albani).
Apabila si musafir
akan naik kendaraannya, baik berupa mobil atau lainnya, maka hendaklah ia
membaca basmalah; dan apabila telah berada di atas kendaraannya hendaklah ia
bertakbir tiga kali, kemudian membaca do`a safar berikut ini: “Maha Suci
Tuhan yang telah menundukkan semua ini bagi kami, padahal kami sebelumnya tidak
mampu menguasainya, dan sesungguhnya kami akan kembali kepada Tuhan kami; Ya
Allah, sesungguhnya kami memohon kepadamu di dalam perjalanan kami ini
kebajikan dan ketaqwaan, dan amal yang Engkau ridhai; Ya Allah, mudahkanlah
perjalannan ini bagi kami dan dekatkanlah kejauhannya; Ya Allah, Engkau adalah
Penyerta kami di dalam perjalanan ini dan Pengganti kami di keluarga kami; Ya
Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari bencana safar dan kesedihan
pemandangan, dan keburukan tempat kembali pada harta dan keluarga”. (HR.
Muslim).
Disunnatkan
bertakbir di saat jalan menanjak dan bertasbih di saat menurun, karena ada
hadits Jabir yang menuturkan: “Apabila (jalan) kami menanjak, maka kami
bertakbir, dan apabila menurun maka kami bertasbih”. (HR. Al-Bukhari).
Disunnatkan bagi
musafir selalu berdo`a di saat perjala-nannya, karena do`anya mustajab (mudah
dikabulkan).
Apabila si musafir
perlu untuk bermalam atau beristirahat di tengah perjalanannya, maka hendaknya
menjauh dari jalan; karena Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Sallam bersabda:
“Apabila kamu hendak mampir untuk beristirahat, maka menjauhlah dari jalan, karena
jalan itu adalah jalan binatang melata dan tempat tidur bagi binatang-binatang
di malam hari”. (HR. Muslim).
Apabila musafir
telah sampai tujuan dan menunaikan keperluannya dari safar yang ia lakukan,
maka hendaknya segera kembali ke kampung halamannya. Di dalam hadits Abu
Hurairah Radhiallaahu anhu disebutkan diantaranya: “......Apabila salah
seorang kamu telah menunaikan hajatnya dari safar yang dilakukannya, maka
hendaklah ia segera kembali ke kampung halamannya”. (Muttafaq’ alaih).
Disunnatkan pula
bagi si musafir apabila ia kembali ke kampung halamannya untuk tidak masuk ke
rumahnya di malam hari, kecuali jika sebelumnya diberi tahu terlebih dahulu.
Hadits Jabir menuturkan :”Nabi Shallallaahu alaihi wa Sallam melarang
seseorang mengetuk rumah (membangunkan) keluarganya di malam hari”.
(Muttafaq’alaih).
Disunnatkan bagi
musafir di saat kedatangannya pergi ke masjid terlebih dahulu untuk shalat dua
rakaat. Ka`ab bin Malik meriwayatkan: “Bahwasanya Nabi Shallallaahu alaihi
wa Sallam apabila datang dari perjalanan (safar), maka ia langsung menuju
masjid dan di situ ia shalat dua raka`at”. (Muttafaq’ alaih).
Etika
Berkomunikasi Lewat Telepon
Ceklah
dengan baik nomor telepon yang akan anda hubungi sebelum anda menelpon agar
anda tidak mengganggu orang yang sedang tidur atau mengganggu orang yang sedang
sakit atau merisaukan orang lain.
Pilihlah waktu yang
tepat untuk berhubungan via telepon, karena manusia mempunyai kesibukan dan
keperluan, dan mereka juga mempunyai waktu tidur dan istirahat, waktu makan dan
bekerja.
Jangan
memperpanjang pembicaraan tanpa alasan, karena khawatir orang yang sedang
dihubungi itu sedang mempunyai pekerjaan penting atau mempunyai janji dengan
orang lain.
Hendaknya wanita
tidak memperindah suara di saat ber-bicara (via telpon) dan tidak berbicara
melantur dengan laki-laki. Allah berfirman yang artinya: “Maka janganlah
kamu tunduk dalam berbicara sehingga berkeinginanlah orang yang ada penyakit
dalam hatinya, dan ucapkanlah perkataan yang baik”. (Al-Ahzab: 32).
Maka hendaknya
wanita berhati-hati, jangan berbicara diluar kebiasaan dan tidak melantur
berbicara dengan lawan jenisnya via telepon, apa lagi memperpanjang
pembicaraan, memperindah suara, memperlembut dan lain sebagainya.
Hendaknya penelpon
memulai pembicaraannya dengan ucapan Assalamu`alaikum, karena dia adalah orang
yang datang, maka dari itu ia harus memulai pembicaraannya dengan salam dan
juga menutupnya dengan salam.
Tidak memakai
telpon orang lain kecuali seizin pemilik-nya, dan itupun bila terpaksa.
Tidak merekam
pembicaraan lawan bicara kecuali seizin darinya, apapun bentuk pembicaraannya.
Karena hal tersebut merupakan tindakan pengkhianatan dan mengungkap rahasia
orang lain, dan inilah tipu muslihat. Dan apabila rekaman itu kamu sebarluaskan
maka itu berarti lebih fatal lagi dan merupakan penodaan terhadap amanah. Dan
termasuk di dalam hal ini juga adalah merekam pembicaraan orang lain dan apa
yang terjadi di antara mereka. Maka, ini haram hukumnya, tidak boleh
dikerjakan!
Tidak menggunakan
telepon untuk keperluan yang negatif, karena telepon pada hakikatnya adalah
nikmat dari Allah yang Dia berikan kepada kita untuk kita gunakan demi memenuhi
keperluan kita. Maka tidak selayaknya jika kita menjadikannya sebagai bencana,
menggunakannya untuk mencari-cari kejelekan dan kesalahan orang lain dan
mencemari kehormatan mereka, dan menyeret kaum wanita ke jurang kenistaan. Ini
haram hukumnya, dan pelakunya layak dihukum.
Etika
Pengantin dan Pergaulan Suami-Istri
Merayu
istri dan bercanda dengannya di saat santai berduaan. Nabi Shallallaahu alaihi
wa Sallam selalu bercanda, tertawa dan merayu istri-istrinya.
Meletakkan tangan
di kepala istri dan mendo`akannya. Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Sallam bersabda:
“Apabila salah seorang kamu menikahi seorang wanita, maka hendaklah ia memegang
ubun-ubunnya, dan bacalah bimillah lalu mohon berkahlah kepada Allah, dan
hendaknya ia membaca: “Ya Allah, sesungguhnya aku memohon kepada-Mu dari
kebaikannya dan kebaikan sifat yang ada padanya; dan aku berlindung kepada-Mu
dari keburukanya dan keburukan sifat yang ada padanya)” (HR. Abu Daud dan
dihasankan oleh Al-Albani).
Disunnahkan bagi
kedua mempelai melakukan shalat dua raka`at bersama, karena hal tersebut
dinukil dari kaum salaf.
Membaca basmalah
sebelum melakukan jima`. Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Sallam bersabda:
“Kalau sekiranya seorang di antara kamu hendak bersenggama dengan istrinya
membaca : “Dengan menyebut nama Alllah, ya Allah, jauhkanlah setan dari kami
dan jauhkan syetan dari apa yang Engkau rizkikan kepada kami), maka
sesungguhnya jika keduanya dikaruniai anak dari persenggamaannya itu, niscaya
ia tidak akan dibahayakan oleh setan selama-lamanya” (Muttafaq alaih).
Jika sang suami
ingin bersenggama lagi, maka dianjurkan berwudhu terlebih dahulu, karena
Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Sallam bersabda: “Apabila salah seorang
kamu telah bersetubuh dengan istrinya, lalu ingin mengulanginya kembali maka
hendaklah ia berwudhu”. (HR. Muslim).
Disunatkan bagi
kedua suami istri berwudhu sebelum tidur sesudah melakukan jima`, karena hadits
Aisyah menuturkan :”Adalah Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Sallam apabila
beliau hendak makan atau tidur sedangkan ia junub, maka beliau mencuci
kemaluannya dan berwudhu sebagaimana wudhu untuk shalat” (Muttafaq’alaih).
Haram bagi suami
menyetubuhi istrinya di saat ia sedang haid atau menyetubuhi duburnya.
Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Sallam bersabda: Barangsiapa yang
melakukan persetubuhan terhadap wanita haid atau wanita pada duburnya, atau
datang kepada dukun (tukang sihir) lalu membenarkan apa yang dikatakannya, maka
sesungguhnya ia telah kafir terhadap apa yang diturunkan kepada Muhammad”.
(HR. Al-Arba`ah dan dishahihkan oleh Al-Alnbani).
Haram bagi
suami-istri menyebarkan tentang rahasia hubungan keduanya. Rasulullah
Shallallaahu alaihi wa Sallam bersabda: “Sesungguh-nya manusia yang paling
buruk kedudukannya di sisi Allah pada hari Kiamat adalah orang lelaki yang
berhubungan dengan istrinya (jima`), kemudian ia menyebarkan rahasianya”.
(HR. Muslim).
Hendaknya
masing-masing saling bergaul dengan baik, dan melaksanakan kewajiban
masing-masing terhadap yang lain. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman yang
artinya: “Dan para istri mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya
menurut yang ma`ruf”. (Al-Baqarah: 228).
Hendaknya suami
berlaku lembut dan bersikap baik terhadap istrinya dan mengajarkan sesuatu yang
dipan-dang perlu tentang masalah agamanya, serta menekankan apa-apa yang
diwajib Allah terhadapnya. Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Sallam telah
bersabda: “Ingatlah, berpesan baiklah selalu kepada istri, karena
sesungguhnya mereka adalah tawanan disisi kalian....” (HR. Turmudzi dan
dishahihkan oleh Al-Albani).
Hendaknya istri
selalu ta`at kepada suaminya sesuai kemampuannya asal bukan dalam hal
kemaksiatan, dan hendaknya tidak mematuhi siapapun dari keluarganya bila tidak
disukai oleh suami dan bertentangan dengan kehendaknya, dan hendaknya istri
tidak menolak ajakan suami bila mengajaknya. Rasulullah Shallallaahu alaihi wa
Sallam bersabda: “Apabila suami mengajak istrinya ke tempat tidutrnya lalu
ia tidak memenuhi ajakannya, lalu sang suami tidur dalam keadaan marah
kepadanya, maka malaikat melaknat wanita tersebut hingga pagi”. (Muttafaq
alaih).
Hendaknya suami
berlaku adil terhadap istri-istrinya di dalam masalah-masalah yang harus
bertindak adil. Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Sallam bersabda: “Barangsiapa
mempunyai dua istri, lalu ia lebih cenderung kepada salah satunya, niscaya ia datang
di hari Kiamat kelak dalam keadaan sebelah badannya miring”. (HR. Abu Daud
dan dishahihkan oleh Al-Albani).
Etika di
Pasar
Hendaknya
berdzikir kepada Allah di saat masuk ke pasar, karena Rasulullah Shallallaahu
alaihi wa Sallam bersabda: “Barangsiapa yang masuk ke pasar lalu membaca: “Tiada
tuhan yang berhak disembah selain Allah semata, tiada sekutu bagi-Nya,
milik-Nyalah kerajaan, dan kepunyaan-Nyalah segala pujian, Dia yang
menghidupkan dan yang mematikan, dan Dia Maha Hidup tidak akan mati; di tangan-Nyalah
segala kebaikan, dan Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu), maka Allah mencatat
sejuta kebajikan baginya, dan menghapus sejuta dosa darinya, dan Dia tinggikan
baginya sejuta derajat dan Dia bangunkan satu istana baginya di dalam surga”. (HR.
Ahmad dan At-Turmudzi, di nilai hasan oleh Al-Albani).
Tidak menyaringkan
suara dengan berbagai pertengkaran dan perdebatan. Di antara sifat kepribadian
Nabi Shallallaahu alaihi wa Sallam adalah Bahwasanya beliau bukanlah seorang
yang keras kepala atau keras hati dan bukan pula orang yang suka teriak-teriak di
pasar dan juga bukan orang yang membalas keburukan dengan keburukan, akan
tetapi ia mema`afkan dan mengampuni’. (HR. Al-Bukhari).
Menjaga kebersihan
pasar. Pasar tidak boleh dicemari dengan kotoran dan sampah, karena hal
tersebut dapat melumpuhkan arus jalanan dan menjadi sumber bau busuk yang
mengganggu.
Menjaga agar selalu
memenuhi akad dan janji serta kesepakatan-kesepakatan di antara dua belah fihak
(pembeli dan penjual). Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman yang artinya: “Wahai
orang-orang yang beriman, penuhilah akad-akad itu”. (Al-Ma’idah : 1)
Mengukuhkan jual
beli dengan persaksian atau catatan (dokumentasi), karena Allah Subhanahu wa
Ta'ala telah berfirman yang artinya: “Dan persaksikanlah apabila kamu
berjual beli”. (Al-Baqarah: 282).
Bersikap ramah dan
memberikan kemudahan di dalam proses jual beli. Rasulullah Shallallaahu alaihi
wa Sallam bersabda: “Allah akan belas kasih kepada seorang hamba yang ramah
apabila menjual, ramah apabila membeli dan ramah apabila memberikan keputusan”.
(HR. Al-Bukhari).
Jujur, terbuka dan
tidak menyembunyikan cacat barang jualan. Rasulullah Shallallaahu alaihi wa
Sallam bersabda: “Seorang muslim itu adalah saudara muslim lainnya, maka
tidak halal bagi seorang muslim membeli dari saudaranya suatu pembelian yang
ada cacatnya kecuali telah dijelaskannya terlebih dahulu”. (HR. Ahmad dan
dishahihkan oleh Al-Albani).
Jangan mudah
mengobral sumpah di dalam berjual beli. Rasulullah Shallallaahu alaihi wa
Sallam bersabda: “Hindarilah banyak bersumpah di dalam berjual-beli, karena
sumpah itu dapat menghabiskan (barang) kemudian membatalkan (barakahnya)”. (HR.
Muslim).
Menghindari
penipuan, kecurangan dan pengkaburan serta berlebih-lebihan di dalam menarik
keuntungan. Telah diriwayatkan bahwa sesungguhnya Nabi Shallallaahu alaihi wa
Sallam pernah menjumpai setumpuk makanan, maka Nabi memasukkan tangannya ke
dalam tumpukan tersebut, maka jari-jemarinya basah. Maka beliau bersabda: “Apa
ini, wahai si pemilik makanan?” Pemilik makanan menjawab :Terkena hujan, wahai
Rasulullah. Maka Nabi bersabda: “Kenapa bagian yang basah tidak kamu letakkan
di paling atas agar dilihat oleh manusia? Barangsiapa yang curang terhadap
kami, maka ia bukan dari golongan kami”. (HR. Muslim).
Menghindari
perbuatan curang di dalam menakar atau menimbang barang dan tidak
menguranginya. Allah berfirman yang artinya: “Celakalah bagi orang-orang
yang curang, yaitu orang-orang yang apabila menerima takaran dari orang lain
mereka minta dipenuhi, dan apabila mereka menakar atau menimbang untuk orang
lain, mereka mengurangi”. (Al-Muthaffifin : 1-3).
Menghindari riba,
penimbunan barang dan segala per-buatan yang dapat merugikan orang banyak.
Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Sallam bersabda: “Allah mengutuk
(melaknat) pemakan riba, pemberinya, saksi dan penulisnya”. (HR. Ahmad, dan
dishahihkan oleh Al-Albani). Dan Nabi Shallallaahu alaihi wa Sallam bersabda: “Tidak
akan menimbun barang kecuali orang yang salah “. (HR. Muslim).
Membersihkan pasar
dari segala barang yang haram diperjual-belikan.
Menghindari
promosi-promosi palsu yang bertujuan menarik perhatian pembeli dan mendorongnya
untuk membeli, karena Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Sallam telah melarang
najasy. (Muttafaq’alaih). Najasy adalah semacam promosi palsu.
Hindarilah penjulan
barang rampasan (hasil ghashab) dan curian. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman
yang artinya: “Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan
harta sesama kamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang
berlaku dengan suka sama suka di antara kamu”. (Al-Nisa: 29).
Menundukkan
pandangan mata dari wanita dan menghindar dari percampurbauran dan
berdesak-desakan dengan mereka. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman yang
artinya: “Katakanlah kepada laki-laki yang beriman: “Hendaklah mereka
menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah
lebih suci bagi mereka, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka
perbuat. Dan katakanlah kepada wanita yang beriman: “Hendaklah mereka menahan
pandangannya, dan memelihara kemaluannya; (An-Nur: 30-31).
Selalu menjaga
syi`ar-syi`ar agama (shalat berjama`ah, dll.), tidak melalaikan shalat
berjama`ah karena berjual-beli. Maka sebaik-baik manusia adalah orang yang
keduniaannya tidak membuatnya lalai terhadap masalah-masalah akhiratnya atau
sebaliknya. Allah berfirman yang artinya: “Laki-laki yang tidak dilalaikan
oleh perniagaan dan tidak (pula) oleh jual beli dari mengingat Allah, dan
(dari) mendirikan shalat, dan (dari) menunaikan zakat”. (An-Nur: 37).
Etika
Bertetangga
Menghormati
tetangga dan berprilaku baik terhadap mereka. Rasulullah Shallallaahu alaihi wa
Sallam bersabda, sebagaimana di dalam hadits Abu Hurairah Radhiallaahu anhu : “....Barangsiapa
yang beriman kepada Allah dan hari Akhir, maka hendaklah ia memu-liakan
tetangganya”. Dan di dalam riwayat lain disebutkan: “hendaklah ia berprilaku
baik terhadap tetangganya”. (Muttafaq’alaih).
Bangunan yang kita
bangun jangan mengganggu tetangga kita, tidak membuat mereka tertutup dari
sinar mata hari atau udara, dan kita tidak boleh melampaui batasnya, apakah
merusak atau mengubah miliknya, karena hal tersebut menyakiti perasaannya.
Hendaknya Kita
memelihara hak-haknya di saat mereka tidak di rumah. Kita jaga harta dan
kehormatan mereka dari tangan-tangan orang jahil; dan hendaknya kita ulurkan
tangan bantuan dan pertolongan kepada mereka yang membutuhkan, serta
memalingkan mata kita dari wanita mereka dan merahasiakan aib mereka.
Tidak melakukan
suatu kegaduhan yang mengganggu mereka, seperti suara radio atau TV, atau
mengganggu mereka dengan melempari halaman mereka dengan kotoran, atau menutup
jalan bagi mereka. Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Sallam telah bersabda: “Demi
Allah, tidak beriman; demi Allah, tidak beriman; demi Allah, tidak beriman!
Nabi ditanya: Siapa, wahai Rasulullah? Nabi menjawab: “Adalah orang yang
tetangganya tidak merasa tentram karena perbuatan-nya”. (Muttafaq’alaih).
Jangan kikir untuk
memberikan nasihat dan saran kepada mereka, dan seharusnya kita ajak mereka
berbuat yang ma`ruf dan mencegah yang munkar dengan bijaksana (hikmah) dan
nasihat baik tanpa maksud menjatuhkan atau menjelek-jelekkan mereka.
Hendaknya kita
selalu memberikan makanan kepada tetangga kita. Rasulullah Shallallaahu alaihi
wa Sallam bersabda kepada Abu Dzarr: “Wahai Abu Dzarr, apabila kamu memasak
sayur (daging kuah), maka perbanyaklah airnya dan berilah tetanggamu”. (HR.
Muslim).
Hendaknya kita
turut bersuka cita di dalam kebahagiaan mereka dan berduka cita di dalam duka
mereka; kita jenguk bila ia sakit, kita tanyakan apabila ia tidak ada, bersikap
baik bila menjumpainya; dan hendaknya kita undang untuk datang ke rumah.
Hal-hal seperti itu mudah membuat hati mereka jinak dan sayang kepada kita.
Hendaknya kita
tidak mencari-cari kesalahan/kekeliruan mereka dan jangan pula bahagia bila
mereka keliru, bahkan seharusnya kita tidak memandang kekeliruan dan kealpaan
mereka.
Hendaknya kita
sabar atas prilaku kurang baik mereka terhadap kita. Rasulullah Shallallaahu
alaihi wa Sallam bersabda: “Ada tiga kelompok manusia yang dicintai
Allah.... –Disebutkan di antaranya- : Seseorang yang mempunyai tetangga, ia
selalu disakiti (diganggu) oleh tetangganya, namun ia sabar atas gangguannya
itu hingga keduanya dipisah oleh kematian atau keberangkatannya”. (HR.
Ahmad dan dishahihkan oleh Al-Albani).
No comments:
Post a Comment