PENDIDIKAN
DI INDONESIA
DALAM
PERSPEKTIF DEMOKRASI **
Cholisin*
I.
PENDAHULUAN
Masalah pendidikan di
Indonesia dapat dilihat dari pendekatan atau perspektif demokrasi. Dari
perspektif demokrasi, paling tidak akan diperoleh gambaran mengenai (1)
bagaimana kebijakan pendidikan di Indonesia dirumuskan dan dijalankan dengan
melibatkan secara langsung atau tidak langsung partisipasi masyarakat. Juga
dapat diperoleh gambaran apakah pendidikan memberikan peluang yang sama bagi
setiap warga negara untuk mengeyam pendidikan di semua tingkatan. (2) bagaimana
nilai-nilai dasar demokrasi itu diimplementasikan dalam proses pendidikan. Atau
dengan kata lain bagaimana pendidikan demokrasi dilaksanakan di Indonesia.
Kedua masalah tersebut di atas yang akan menjadi fokus dalam makalah ini.
II.
KEBIJAKAN PENDIDIKAN DI INDONESIA
Sejak Indonesia merdeka
sistem politik demokrasi telah menjadi pilihan untuk dikembangkan dalam
kehidupan bernegara.Robert Dahl (Sorenson, 2003) memberikan sumbangan pemikiran
untuk mendefinisikan demokrasi sebagai sebuah sistem politik. Menurut Dahl,
sifat dasar demokrasi ada pada responsifitas pemerintah terhadap preferensi
warganegaranya yang setara secara politis. Demokrasi sebagai sistem politik
didefinisikan oleh Henry B. Mayo (1960) sebagai berikut:A democratic political system is one in which public policiesare made
on a mayority basis, by representaives subject to effective popular control at
periodic elections wich are conducted on principle of political equality and
under conditions of political freedom.
Apa unsur - unsur
esensial atau prinsip - prinsip dasar demokrasi itu ? Lyman Tower Sargent
(1986) mengajukan unsur - unsur esensial demokrasi sbb. :
1. Keterlibatan
warganegara dalam pembuatan keputusan politik;
2. Tingkat
persamaan tertentu di antara warganegara;
3. Tingkat
kebebasan atau kemerdekaan tertentu yang diakui dan dipakai oleh para
warganegara
4. Suatu sistem
perwakilan;
5. Suatu sistem
pemilihan kekuasaan mayoritas.
Bagaimana dengan cita -
cita demokrasi di Indonesia ? Pada masa pergerakan maupun pada saat menyusun
UUD Indonesia merdeka, semua sependapat, agar demokrasi atau paham kedaulatan
rakyat menjadi salah satu sendi Indonesia merdeka. Diakui ada berbagai visi
diantara para anggota pergerakan dan penyusun UUD tentang demokrasi. Yamin dan
Agus Salim, mengajukan prinsip permusyawaratan yang bersumber dari prinsip
ajaran agama (khususnya Islam). Supomo, mengajukan visi bersumber budaya asli
Indonesia. Hatta dan Soekarno, mengajukan visi yang didasarkan pada
adat-istiadat Indonesia yang dipadukan dengan demokrasi modern.
Perbedaan visi atau
pendekatan di atas, tidak mengurangi persamaan pendapat tentang corak demokrasi
yang hendak dikembangkan di Indonesia. Persamaan tersebut : pertama, demokrasi tidak hanya diartikan
hanya sebatas sistem politik, tetapi juga sebagai sistem sosial dan ekonomi.
Dengan demikian demokrasi meliputi demokrasi politik dan demokrasi ekonomi.
Soekarno memberikan istilah sebagai "socio
democracie", Hatta menamakannya "demokrasi sosial". Menurut
Hatta (dalam Ahmad Syafi'I Ma'arif, 1985), sumber demokrasi sosial di Indonesia
ada tiga, yaitu : 1). sosialisme Barat yang membela prinsip-prinsip humanisme,
dan prinsip-prinsip ini juga dipandang sebagai tujuan. (2) ajaran Islam yang
memerintahkan kebenaran dan keadilan Tuhan dalam masyarakat. (3) pola hidup
dalam kolektivisme sebagaimana yang terdapat di desa - desa Indonesia.
Kedua, dalam pengertian politik disepakati
demokrasi yang hendak dijalankan bukanlah "duplikat" dari "western democracy" atau "eastern democracy", Secara kelembagaan
dipergunakan berbagai corak demokrasi modern seperti sistem perwakilan,
kepartaian, pemilihan umum dan lain sebagainya. Tetapi mekanisme diangkat dari
pranata sosial budaya asli seperti sistem permusyawaratan dalam pengambilan
keputusan.
Bagaimana demokrasi
dalam praktek kenegaraan di Indonesia? Yang jelas dan tampak dalam kenyataan
antara "das Sollen" dan
"das Sein", jauh berbeda.
Kurun waktu 1950 - 1959 berkembang demokrasi parlementer, yang dikenal sebagai
"ultra demokrasi". Setelah itu pada era rezim Orla berkembang
"Demokrasi Terpimpin", yang akhirnya tinggal terpimpinnya, sedangkan
demokrasinya telah hilang. Atau sering dikenal rezim otoriter Jilid I. Kemudian
pada masarezim Orba dikembangkan "Demokrasi Pancasila", tetapi lebih
tampak merupakan manipulasi, karena sejatinya pemerintah yang dikembangkan
adalah rezim otoriter. Atau dikenal sebagai rezim otoriter Jilid II.
Pada era transisi
dewasa ini, tampak telah dilakukan tahap pembenahan kelembagaan dan instrumen
demokrasi, namun belum ada kemauan serius untuk melakukan konsolidasi
demokrasi. Masalahnya dalam era reformasi kekuatan lama masih mendominasi
birokrasi, ekonomi dan moneter. Reformasi tidak mampu memutus dengan kekuatan
lama. Reformasi juga tidak mampu menghadirkan politisi yang negarawan, tetapi
tampak menghadirkan orang-orang yang terjun ke politik untuk mata pencaharian.
Di era reformasi ada kecenderungan demokrasi berkembang sebatas pada demokrasi
prosedural. Demokrasi substansial atau kultural dalam arti telah mewarnai dalam
perilaku masyarakat masih jauh dari yang diharapkan. Dalam istilah Daniel
Sparringa demokrasi kita baru pada tahap demokrasi 'zombi'.
Dengan kondisi
perkembangan demokrasi di Indonesia seperti di atas, maka dapat dibayangkan
pelibatan masyarakat dalam pembuatan kebijakan pendidikan atau demokratisasi
sistem pendidikan masih jauh dari yang diharapkan. Coba kita analisis melalui
pendapat Beredy mengenai demokratisasi pendidikan. Beredy ( dalam Zamroni,
2003) menyatakan demokratisasi sistem pendidikan memerlukan persyaratan :
1. Adanya komitmen
sebagaian besar warga bangsa untuk melakukan pembangunan pendidikan;
2. Memobilisasi
sumber daya manusia besar-besaran untuk mendukung dan berpartisipasi dalam
pendidikan;
3. Komitmen dan
penyediaan fasilitas pendidikan yang realsitik dan memadai; dan;
4. Adanya rekrutmen
dan promosi tenaga pendidikan yang memiliki keseimbangan antara tuntutan sosial
dan aspirasi individu.
Komitmen sebagian besar
warga bangsa untuk melakukan pembangunan pendidikansudah lama dirasakan. Dalam
masyarakat sesungguhnya telah tumbuh sikap sangat positif terhadap pendidikan.
Pendidikan telah diyakini sebagai jalan paling efektif untuk mobilisasi sosial
dan untuk kemajuan suatu bangsa. Komitmen masyarakat seperti tampak dalam
bentuk penyediaan dana pendidikan dan pendirian lembaga pendidikan. Komitmen
ini besar sekali kontribusinya dalam meringankan beban kewajiban negara sebagai
penanggung utama penyelenggaraan pendidikan nasional.
Memobilisasi sumber
daya manusia besar-besaran untuk mendukung dan berpartisipasi dalam pendidikan,
misalnya dalam bentuk relawan pendidikan masih kurang. Indikatornya masih
banyaknya usia wajib belajar belum memperoleh pendidikan. Pada tahun 2004
menurut Depdiknas dari 13 juta anak usia 13 - 15 tahun atau usia SMP yang belum
tertampung masih sekitar 2, 5 juta anak. Pendidikan alternatif program paket
belajar belum mampu mengatasi anak yang belum tertampung. Karena barusekitar
245.000 yang terlayani melalui 12.871 TBK (Tempat Kegiatan Belajar) di bawah
naungan 2 870 sekolah. Kondisi ini masih diperparah sekitar 97 % pelajar SMP
terbuka tidak melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi dikarenakan
faktor ekonomi atau tidak adanya sekolah lanjutan di tempat tinggal
mereka(Kompas, 19 Juli 2004).
Negara sebagai
penanggung jawab utama pendidikan nasional seharusnya menyediakan fasilitas
pendidikan yang realistik dan memadai. Apalagi pendidikan dalam UUD 1945
dijamin tidak sekedar sebagai hak warga negara tetapi juga merupakan HAM.
Secara normatif dalam sejarah pernah ada kebijakan negara yang mengamanatkan
anggaran pendidikan 25% dari APBN (Tap MPRS No. XXVII /MPRS/1966). Begitu pula
di era reformasi UUD 1945 mengamanatkan anggaran pendidikan 20 % dari APBN.
Dalam kenyataan empirik dana pendidikan dewasa ini hanya sekitar 3,8 % dari
APBN. Hal ini mencerminkan bahwa rezim pemerintahan selama ini belum ada yang
menjadikan pendidikan sebagai prioritas.
Rekrutmen dan promosi
tenaga pendidikan yang memiliki keseimbangan antara tuntutan sosial dan
aspirasi individu, masih jauh dari harapan. Hal ini bisa dilacak mulai dari
kesulitan menjaring input LPTK (Lembaga Pendidikan Tenaga Keguruan) maupun
proses pengolahannya dengan fasilitas yang serba minimal. Maka produk LPTK
menjadi tidak mudah untuk mencapai titik optimal. Dalam kondisi yang demikian
masih sering terjadi rekrutmen tenaga kependidikanyang tidak sepenuhnya
berdasarkan keahlian. Masih di tambah lagi dalam masyarakat telah terbentuk
citra profesi guru, sebagai profesi yang tidak manarik, terutama di lihat dari
segi penghasilan. Maka menjadi tidak mudah untuk menciptakan guru yang
professional yang merupakan tuntutan masyarakat. Begitu puladalam kenyataan
guru lebih diperankan sebagai tenaga administratif ketimbang tenaga akademik
yang otonom, maka aspirasi individu untuk mengembangkan potensi
akademiknyasulit di wujudkan.
Tampaknya pemerintah di
era reformasi menyadari akan masalah demokratisasipendidikan. Hal ini dicoba di
jawab dengan mengembangkan kebijakan pendidikan yang berupa otonomi di bidang
pendidikan. Dikembangkannya Kurikulum 2004 (Kurikukulum Berbasis Kompetensi),
MBS (Manajemen Berbasis Sekolah), Komite Sekolah antara lain merupakan upaya
penerapan secara konkrit otonomi pendidikan. Tetapi dalam pelaksanaannyamasih
banyak menghadapi kendala. Kebijakan pelaksanaan UAN (Ujian Akhir Nasional)
sebagai dasar untuk menentukan kelulusan dinilai mengurangi otonomi kewenangan
akademik guru. Cakupan kompetensi yang diuji dalam UAN terbatas pada aspek
kognitif, juga dinilai mereduksi tuntutan kompetensi dalam KBKyang mengharuskan
ketiga aspek kompetensi yakni kognitif, afektif dan psikomotorik untuk
dievaluasi. Di berbagai daerah baik provinsi maupun kabupaten/kota masih enggan
untuk melaksanakan ketentuan anggaran pendidikan sebesar 20% dari APBD. Oleh
karena itu dewasa ini pendidikan dirasakan relatif semakin mahal dan pada sisi
lain banyak fasilitas pendidikan yang jauh dari layak. Sementara itu rakyat
tidak banyak bisa berbuat untuk mempengaruhi perumusan kebijakan pendidikan.
Demokratisasi
pendidikan sebagai langkah untuk mengembangkan kebijakan pendidikan yang
demokratis memerlukan kondisi yang mendukung pembangunan demokrasi. Dalam hal
ini Dahl ( dalam Sorenson, 2003) mencatat lima kondisi yang dianggap paling
mendukung pembangunan demokrasi (poliarki) yaitu :
1. Para pemimpin
tidak menggunakan instrumen utamakekerasan (koersif), yaitu polisi dan militer
untuk meraih dan mempertahankan kekuasaannya;
2.Terdapat
organisasi masyarakat pluralis yang modern dan dinamis;
3.Potensi
konflik dalam pluralisme subkultural dipertahankan pada level yang masih dapat
ditoleransi;
4. Diantaran
penduduk negeri, khususnya lapisan politik aktifnya, terdapat budaya politik
dan sistem keyakinan yang mendukung ide demokrasi dan lembaga poliarki;
5. Dampak dari
pengaruh atau kontrol oleh negara asing dapat menghambat atau mendukung secara
positif.
III.
PENDIDIKAN DEMOKRASI
Adalah John Dewey (
dalam Tilaar, 2003) filosof pendidikan yang melihat hubungan yang begitu erat
antara pendidikan dan demokrasi. Dewey mengatakan bahwa apabila kita berbicara
mengenai demokrasi maka kita memasuki wilayah pendidikan. Pendidikan merupakan
sarana bagi tumbuh dan berkembangnya sikap demokrasi. Oleh karena itu,
pendidikan tidak dapat dilepaskan dari penyelenggaraan negara yang demokratis.
Pendidikan demokrasi
sebagai upaya sadar untuk membentuk kemampuan warga negara berpartisipasi
secara bertanggung jawab dalam kehidupan berbangsa dan bernegara sangatpenting.
Hal ini bisa dilihat dari nilai - nilai yang terkandung di dalam demokrasiakan
membawa kehidupan berbangsa dan negara yang lebih baik, dibandingkan dengan
ideologi non-demokrasi. Menurut Dahl (2001) keuntungan dari demokrasi sebagai
berikut :
1. Demokrasi
menolong mencegah tumbuhnya pemerintahan oleh kaum otokrat yang kejam dan
licik.
2. Demokrasi
menjamin bagi warga negaranya dengan sejumlah HAM yang tidak diberikan dan
tidak dapat diberikan oleh sistem-sitem yang tidak demokratis.
3. Demokrasi
menjamin kebebasan pribadi yang lebih luas bagi warga negaranya daripada
alternatif lain yang memungkinkan.
4.
Demokrasi membantu rakyat untuk melindungi kepentingan dasarnya.
5. Hanya
pemerintahan yang demokratis yang dapat memberikan kesempatan sebesar -
besarnya bagi orang - orang untuk menggunakan kebebasan untuk menentukan
nasibnya sendiri, yaitu untuk hidup di bawah hukum yang mereka pilih sendiri.
6. Hanya
pemerintahan yang demokratis yang dapat memberikan kesempatan sebesar-besarnya
untuk menjalankan tanggung jawab moral.
7. Demokrasi
membantu perkembangan manusia lebih total daripada alternatif lain yang
memungkinkan.
8. Hanya
pemerintahan yang demokratis yang dapat membantu perkembangan kadar persamaan
politik yang relatif tinggi.
9. Negara - negara demokrasi perwakilan
modern tidak berperang satu sama lain.
10.Negara -
negara dengan pemerintahan demokratis cenderung lebih makmur daripada negara -
negara dengan pemerintahan yang tidak demokratis.
Dalam pendidikan
demokrasimenekankan pada pengembangan ketrampilan intelektual (intellectual skill), ketrampilan pribadi
dan sosial (personal and social skill)
(Zamroni, 2003). Ketrampilan intelektual menekankan pada pengembangan berpikir
kritis siswa. Selama ini tampak ditekankan pada kegiatan mengakumulasi/menabung
pengetahuan sebanyak mungkin kepada siswa (knowledge
deposite).
Ketrampilan pribadi
ditekankan pada pengembangan kepercayaan diri dan harapan-harapan diri terhadap
sistem politiknya. Harapan itu misalnya bahwa sistem politik akan mengakomodasi
berbagai kepentingan dirinya sebagai warga negara. Dalam kenyataan ada
kecenderungan siswa dipolakan pada ketergantungan yang sangat tinggi terhadap
pemerintah atau pihak lain.Sedangkan ketrampilan sosial ditekankan pada
kemampuan emphatic dan respek pada orang lain, berkomunikasi dan toleransi.
Dalam pendidikan
demokrasi tampak ada tuntutan kepada sekolah untuk mentransfer pengajaran yang
bersifat akademis ke dalam realitas kehidupan yang luas di masyarakat. Dengan
perkataan lainpraktek pembelajaran dilakukan dengan materi yang substansial
(konsep teori yang sangat selektif) tetapi kaya dalam implementasi.
Untuk keberhasilan pendidikan
demokrasi diperlukan kondisi berkembangnya kultur demokrasi. Ruy ( dalam
Zamroni, 2003) mengemukakan ada 4 ciri kultur demokrasi, 1) merupakan budaya
campuran dari berbagai nilai-nilai dari ideologi politik yang berbeda - beda;
2) bersumber pada budaya umum dan bersifat horizontal; 3) didasarkan pada
masyarakat sipil (civil society); 4)
merupakan keterpaduan dari berbagai segmen masyarakat (kelompok kecil
masyarakat tercermin dalam norma dan perilaku masyarakat secara keseluruhan).
Di Indonesia kini
berkembang ideologi Islam, social democrat, dan nasionalis seperti tercermin
pada ideologi partai-partai politik (lihat Tabel di bawah ini).
Tabel
1. Peta Ideologis Partai - partai Politik
(official-unofficial,
declared-undeclared)
Ideologi Islam
|
Ideologi Sosial Demokrat
|
Ideologi Nasionalis
|
-Islam Orthodoks : Partai Bulan Bintang;
-Islam
Progresif : Partai Keadilan Sejahtera;
-Islam
Tradisionalis: Partai Persatuan Nahdlatul Ummah, Partai persatuan
pembangunan, Partai Bintang ;
-Islam
Modernis : Partai Amanat Nasional. Progessif Kiri : Partai Merdeka dan
Partai Buruh Sosial democrat;
|
-Progesif Kanan : Partai Perhimpunan
Indonesia Baru;
-Progressif Kiri : Partai Merdekas dan
Partai Buruh Sosial Demokrat;
-Konservatif
Tengah : Partai Sarikat Indonesia.
|
-Nasionalis Populis (Marhaenisme; Sosialisme Indonesia) : PNI
Marhaenisme; Partai Nasional Banteng Kemerdekaan; Partai Penegak Demokrasi
Indonesia, Partai Pelopor;
-Nasionalisme Negara (State
Developmentalism) :Partai Golkar, PDI Perjuangan, Partai Patriot
Pancasila; Partai Keadilan dan Persatuan.
-Nasionalis
Religi (Islam Kebangsaan) : Partai Kebangkitan Bangsa, Partai Damai
Sejahtera, Partai Karya Peduli Bangsa;
-Nasionalis
Demokrat (Nation State) :
Partai Demokrat;
-Nasionalis
Progesif (National Pluralis) : Partai Persatuan Demokrasi Kebangsaan dan
Partai Persatuan Daerah.
|
Sumber
:Diolah dari Daniel Sparringa . Pemilu 2004: Taksonomi Tema dan Isu Relevan,
dalam M. Farid Cahyono dan Lambang Triyono ,Editor. (2004). Pemilu 2004 Transisi Demokrasi dan Kekerasan,
h. 21-22.
Ideologi - ideologi
politik di Indonesia memang beragam tetapi kini kian mencair. Hal itu bisa
dilihat begitu mudahnya terjadi koalisi antara partai politik yang berbeda
ideologi. Sayangnya koalisi itu dibangun tidak atas dasar platform tetapi lebih
didasarkan atas bagi - bagi kekuasaan ('politik dagang sapi'). Dalam kenyataan
pragmatisme dan materialisme-lah yang menjadi ideologi partai
politik.Berpolitik untuk memperjuangkan idealisme seperti yang tercermin dalam
ideologi politik merupakan barang langka. Berpolitik untuk meperjuangkan
kepentingan publik telah berganti sebagaimata pencahariaan.
Dalam kondisi
perpolitikan tersebut di atas, maka pendidikan demokrasi telah kehilangan
referensi bagaimana berpolitik yang berorientasi pada idealisme dan berpolitik
yang etis. Oleh karena itu di kalangan masyarakat dewasa ini seperti tampak
dalam pemilihan presiden ada fenomena melemahnya politik aliran dan menguatnya
mesianisme (memilih karena figure, pemimpin yang mampu memberikan kesejahteraan
dan keadilan atau ratu adil). Namun baik pemilih yang masih berkutat pada
pertimbangan domain politik aliran dan mesianisme sama -sama masih dalam
tataran pemilih emosional. Pemilih rasional tampak belum berkembang. Ini
merupakan tantangan bagi pendidikandemokrasi yang berkehendak untuk
mengembangkan berpolitik (memilih) secara rasional.
Pada sisi lain budaya
umum yang bersifat horizontalyang penting bagi pendidikan demokrasi masih belum
berkembang. Kultur feodalistik-lah yang berkembang. Hal ini terlihat hubungan
patron-klien masih sangat kuat. Penguasa yang semestinya menjadi pelayan publik
justru minta dilayani oleh masyarakat. Egalitarianisme tidak berkembang. Budaya
politik demokrasi atau budaya politik kewarganegaraan (Almond & Verba,
1984) yang merupakan budaya campuran dari budaya politik partisipan, subyek dan
parokhial tidak berkembang secara proporsional. Budaya politik subyek yang
ditandai oleh kepatuhan tanpa sikap kritis terhadap penguasa berkembang
melampaui dua budaya politik yang lain. Hal ini disebabkan antara lain kuatnya
obsesi elite baik pada masa Orde Lama dan Orde Barupada kekuasaan.
Dalam masa Orde Baru
Ong Hok Ham (2002) mengambarkan bahwa obsesi elite Orde Baru (kekuasaan
Soeharto yang terdiri dari berbagai aliansi militer , politik, bisnis, dll.)
terhadap kekuasaan, jabatan, dan status segila obsesi orang Cina terhadap uang.
Obsesi - obsesi tersebut turut menegakkan orde patrimonial dan praetorian di
Indonesia. Adnan Buyung Nasution (Kompas, 15 Agustus 2004) dalam konteks ini
menyatakan pada zaman Orde Lama siapa dekat kekuasaan selamat, dan akan maju.
Akhirnya orang tersebut menjilat pada kekuasaan. Di zaman Soeharto kekuasaan
itu ditambah dengan materi. Kalau di zaman Soekarno kekuasaan itu memiliki
tujuan yang dianggap luhur karena waktu itu untuk revolusi. Dalam revolusi
masih ada sesuatu yang ideal. Lepas
benar atau tidak, revolusi untuk sesuatu yang dianggap luhur. Dalam zaman
Soeharto kekuasaan lebih ditekankan pada tujuan ekonomi, orang mengejar materi
kekayaan, kemewahan ataupun uang.
Budaya politik yang
horizontal belum berkembang masih diperparah oleh masyarakat sipil yang masih
lemah. Hal ini ditandai antara lain (1) mudahnya berkembang tindakan kekerasan
baik
oleh pemerintah maupun masyarakat,
seperti tampak dalam pelanggaran hak asasi manusia (HAM); (2) belum kuatnya
penghargaan dan toleransi terhadap pluarlisme tampak pada mudahnya berkembang
konflik sosial; (3) asosiasi dalam masyarakat yang mestinya independen tetapi
mampu mengendalikan masyarakat politik (political society) kenyataannya mudah
dihegemoni oleh penguasa maupun menjadi kepanjangan kepentingan kekuatan
politik. Hal ini diperparahkarena ternyata sosialisasi politik yang berkembang
seperti dinyatakan Afan Gafar ( dalam Cholisin, 2004) belum memunculkan civil
society. Indikatornya antara lain (1)dalam masyarakat kita, anak-anak tidak
didik menjadi insan mandiri. Anak - nak bahkan mengalami alienasi politik dalam
keluarga. Sejumlah keputusan penting dalam keluarga, termasuk keputusan nasib si
anak, merupakan domain orangdewasa, anak - anak tidak dilibatkan sama sekali.
(2) tingkat politisasi sebagain besar masyarakat kita sangat rendah. Ikut
terlibat dalam wacana publik tentang hak - hak dan kewajiban warga negara, hak
asasi manusia dan sejenisnya, bukanlah skala prioritas penting.
Budaya demokrasi juga
belum merupakan keterpaduan dari segmen masyarakat sebagaimana tercermin dalam
norma dan perilaku masyarakat. Hal ini disebabkan terutama kelompok kecil sulit
masuk dalam akses kekuasaan dalam kultur masih kuat budaya patron-kliennya.
IV.
PENUTUP
Kebijakan pendidikan
yang demokratis atau demokratisasi pendidikan dan pendidikan demokrasi belum
berkembang sesuai yang diharapkan. Hal ini disebabkan terutama dalam realitas
sistem politik yang berkembang justru otoriter. Ketika memasuki era reformasi,
memang demokrasi berkembang dengan pesat terutama demokrasi prosedural.
Demokrasi substansial atau dalam arti kultur belum tampak berkembang
menggembirakan. Dengan demikian tampak bahwa untuk mengembangkan demokratisasi
pendidikan dan pendidikan demokrasi dibutuhkan kondisi berkembangnya kultur
demokrasi di kalangan elit maupun masyarakat dan berkembangnya masyarakat
madani (civil society).Jika ini
terjadi maka harapan terwujudnya konsolidasi demokrasi sebagai basis untuk
demokratisasi pendidikan dan pendidikan demokrasi memiliki prospek yang cerah.
Bacaan:
Almond, Gabriel A., Verba,
Sydney.(1984). Budaya Politik. (Judul
Asli : The Civic Culture), Penerjemah
Oleh Sahat Simamora. Jakarta : Bina Aksara.
Cholisin.(2004).
Konsolidasi Demokrasi Melalui Pengembangan Karakter Kewarganegaraan, dalam Jurnal Civics : Media Kajian
Kewarganegaraan, Volume 1, Nomor 1, Juni 2004. Yogyakarta : Jurusan PPKn
FIS UNY.
Dahl, Robert A., (2001). Demokrasi : Menjelajahi Teori dan Praktek
Demokrasi . Jakarta Yayasan Obor Indonesia.
Daniel Sparringa.(2004). Pemilu 2004 :
Taksonomi Tema dan Isu Relevan, dalam M. Faried Cahyono dan Lambang Triyono
(Editor). Pemilu 2004 : Transisi
demokrasi dan Kekerasan. Yogyakarta : Center for Security and Peace Studies
(CSPS) UGM bekerjasama dengan Friedrich Ebert Stiffung (FES) Indonesia.
H.A.R. Tilaar.(2003). Kekuasaan & Pendidikan : Suatu Tinjauan
dari Perspektif Studi Kultural. Magelang : Indonesiatera.
Maarif,
Ahmad Syafii.(1985). Islam dan Masalah
Kenegaraan. Jakarta : LP3ES
Mayo,Henry B. (1960). An Introduction to Democracy Theory. New
York : Oxford University Press.
Ong Hok Ham.(2002). Dari Soal Priyayi sampai Nyi Blorong : Refleksi Historis Nusantara.
Jakarta : Penerbit Buku Kompas.
Sorenso, Georg (2003). Demokrasi dan Demokratisasi. Yogyakarta
: Pustaka Pelajar kerjasama dengan Center for Critical Social Studies.
Zamroni .(2003). Demokrasi dan
Pendidikan dalam Transisi : Perlunya Reorientasi Pengajaran Ilmu - Ilmu Sosial
di Sekolah Menengah, dalam Jurnal Ilmu
dan Kemanusiaan INOVASI,No.2 Th. XII/2003. Yogyakarta : LP3 UMY.
No comments:
Post a Comment