** Maa-Katyayani **
|
Dewi Katyayani Penguasa
Jodoh Manusia. Dalam beberapa literatur Weda,
kita akan menemukan banyak sekali dewa dan dewi yang berpasangan menurut nivid
mereka masing-masing. Dalam sastra Weda
ini disebut sebagai Swarupa Sakti,
dan manusia juga memiliki hal yang sama, jadi dengan singkatnya bahwa setiap
yang dilahirkan ke dunia pasti kelak akan menemukan pasangannya sendiri. Atau
laki-laki akan berdampingan dengan wanita.
Entah dengan siapa yang jelas manusia
hanya mampu berusaha, tapi penentunya tetap di atas, yach... seperti kalimat rempeyek kacang ijo, biar jelek yang penting jodo... Mencari
jodoh bukan sebuah perkara mudah. Harus sesuai dengan kelahiran kita, sesuai
dengan selera kita, yang paling penting dapat menerima kekurangan kita agar
kelak tidak sering terjadi percekcokan.
Dalam beberapa kitab Purana, dewa yang
mengatur pertemuan manusia ini dan itu yang sangat berkaitan dengan asmara
adalah Dewa Kandarpa atau Sang Hyang Semara. Namun dalam
beberapa kitab Sruti dan kitab Nibandha yang lainnya, ada sosok Dewi yang
menjadi pengatur, kapan wanita itu menemukan suaminya, kapan wanita itu berjumpa
dengan pujaan hatinya, atau kapankah wanita itu bertemu dengan pasangan
hidupnya.
Nama beliau adalah Dewi Katyayani. Di Bali nama beliau
sangatlah asing dan hampir sebagian besar umat Hindu Bali jarang memuja
beliau sebagai Dewi Jodoh. Pasalnya fungsi beliau sendiri sudah
digantikan oleh Bhatara Semara untuk masalah asmara
manusia. Namun dalam kitab Weda perlu
kita ketahui bahwa jika seorang gadis yang umurnya dipandang sudah cukup layak
untuk menikah, namun tidak satupun laki-laki yang datang menghampirinya, maka
wanita itu dibenarkan untuk memohon kepada Bhatari
Katyayani untuk mendapatkan suami.
Ada banyak versi mengenai cerita
munculnya Dewi Katyayani ini.
Ada sumber yang menyebutkan bahwa beliau adalah putri dari Maharesi Kata,
oleh sebab itu beliau diberinama Dewi
Katyayani. Ada juga yang menyebutkan beliau adalah bagian
dari ekspansi penuh atau bagian dari bentuk paripurna Maha Durgha yang lebih dikenal
orang dengan nama Mahisasura-mardhini.
Jika kita merujuk pada difinisi ini,
maka beliau tidak lain tidak bukan adalah bagian lain dari Maha Durgha, yang merupakan
sakti Bhatara Siwa yang tentu saja merupakan Dewata Penguasa Cinta dan Asmara. Setiap
literatur Hindu mengagungkan Bhatara Siwa sebagai Dewatanya Asmara, Cinta dan
bahkan dalam beberapa fase Bhatara Siwa dan Bhatari Parwati diidentikkan dengan
seks.
Jika Dewi
Katyayani merupakan bagian penuh dari bentuk paripurna Maha Durgha, maka kita akan menemukan seluruh
atribut dan lambang kebesaran Maha Durgha juga menyertai atribut Sang Dewi Katyayani. Inilah fakta yang
sejati, bahwa di setiap kuil yang di bangun untuk memuja Dewi Katyayani, maka atribut Maha Durgha juga disertakan secara utuh.
Namun meskipun demikian, tampilan wajah
beliau sedikit lembut dan ayu. Layaknya Dewi Cinta yang menebarkan pesonanya
kepada siapapun juga. Di India sendiri, terdapat sebuah tradisi yang disebut
dengan Katyayani Vrata,
atau sebuah ajang dimana anak-anak gadis yang masih belum memiliki pasangan
hidup berdoa dan berpuasa untuk menyenangkan hati Dewi Katyayani dan berharap akan
menemukan laki-laki yang mereka cintai untuk menjadi suami mereka.
Mereka mempersembahkan bunga, dupa dan
buah dan tidak jarang juga bagi ibu-ibu atau wanita yang sudah memiliki suami,
mereka melakukan puasa untuk keselamatan serta berdoa agar suami mereka panjang
umur. Di Bali tradisi semacam ini tampaknya sudah mulai hilang, jika dahulu
Katyayani lebih identik dengan sebuah kesetiaan istri pada suaminya, dan kini
tampaknya kesetiaan itu harus dipupuk lagi, sebab banyak sekali kasus
perselingkuhan yang terjadi belakangan ini.
Dalam kitab Ramayana, sewaktu Maharaja
Janaka, seorang raja yang memerintah di negara Waideha tengah mengadakan
sayembara untuk mendapatkan mantu, maka pujian Dewi Katyayani terdengar sangat agung. Banyak raja
dan pangeran datang untuk mendapatkan Dewi Sita, putri Janaka. Namun dengan
satu syarat, bahwa mereka harus mampu mengangkat busur Siwa dan membentangkan
talinya.
Sebelum sayembara berlangsung, Dewi Sita
datang ke kuil Dewi Katyayani
dan berdoa kehadapan Maha Dewi berharap menemukan jodoh yang beliau idamkan,
yakni Rama. Dewi Sita mencuci kaki sang ibu Dewi dengan air
mata-nya dan beliaupun berkenan untuk memberikan Rama sebagai suami. Keesokan
harinya ketika sayembara berlangsung, semua yang hadir tampak seperti tidak
berdaya.
Sebab tidak satupun diantara mereka
yang mampu mengangkat busur Siwa apalagi membentangkan dawai panahnya. Akhirnya
tampillah Rama dengan enteng beliau mengangkat busur itu persis seperti
anak kecil memungut jamur di tanah. Soraak gembira terdengarlah dan Rama
bersatu dengan Sita. Gadis-gadis lain mengikuti jejak Sita, bahkan Dewi Draupadi sendiri berdoa kepada Dewi Katyayani untuk mendapatkan suami
yang bijaksana, kuat, tampan, berwibawa dan penurut. Akhirnya Pandawa Lima
datang sebagai jawaban doa Draupadi.
Dewi Rukmini juga melakukan hal
yang sama. Dan ini tampaknya ditiru oleh banyak gadis di dunia untuk
mendapatkan suami mereka. Tradisi ini berkembang hingga ke manca negara, namun
dengan nama yang berbeda. Tampaknya sekarang beliau lebih dikenal dengan Dewi Fortuna, dan alangkah bijaksananya
jika kita sendiri mengembangkan ini di tanah Bali. Sebab apa, wanita yang saleh
akan baik jika mendapatkan laki-laki yang saleh juga.
Untuk itulah, bagi pembaca yang budiman
yang belum memiliki pacar, jodoh dan juga sampai kepala uban belum juga menikah
lantaran sama sekali tidak bisa mencari, atau tidak berani merayu gadis atau
karena ngekoh ngalih,
maka jangan patah semangat. Bangkitlah dan imbangi dengan doa kepada Sang Hyang Katyayani. Niscaya apapun
yang kita lakukan akan berhasil baik.
Sumber bacaan Buku Sang Hyang Purana karya Gede Agus Budi
Adnyana, S.Pd.B. Ditulis dalam blog rare-angon nak bali belog.
No comments:
Post a Comment