Konteks Sosio-Historis Arabia Pra-Islam
|
|
Kondisi
geografis
Posisi
Jazirah Arabia berada di dekat persimpangan tiga benua, sebelah barat
dibatasi Laut Merah, sebelah timur dibatasi Teluk Persia, sebelah selatan
dibatasi lautan India, dan sebelah utara dibatasi Suriah dan Mesopotamia(Syukri Faishal: 1973:1).
Secara
garis besar Jazirah Arabia terbagi menjadi dua bagian, yaitu bagian tengah
dan bagian pesisir. Daerah bagian tengah berupa padang pasir (shahra') yang
sebagian besar penduduknya adalah suku Badui yang mempunyai gaya hidup
pedesaan (nomadik), yaitu berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lain.
Sedangkan
bagian pesisir penduduknya hidup menetap dengan mata pencaharian bertani dan
berniaga (penduduk kota). Karena itu mereka sempat membina berbagai macam
budaya, bahkan kerajaan (Badri
Yatim: 2000:9).
Adanya
dua macam kondisi geografis yang berbeda ini mengakibatkan terjadinya
dualisme karakter penduduk, yakni antara kaum Badui dan penduduk kota (Effat al-Sharqawi:1986:37).
Keadaan
alam yang tidak ramah, bila musim panas suhu matahari terasa membakar, dan
sebaliknya, jika musim dingin cuaca berubah menjadi sangat dingin selain
mempengaruhi watak, sikap, dan perangai yang tercermin dalam kebudayaannya
juga dapat memperlihatkan cara atau gaya hidup yang kasar dan primitif.
Dikarenakan situasi yang tidak kondusif, maka secara historis mereka harus
menjalani kehidupan yang keras, gigih dan lebih mengutamakan kekuatan fisik.
Menghadapi kenyataan ini mereka dipaksa memiliki sifat keberanian untuk bisa
bertahan hidup (A. Latif
Osman:2000:24).
Bagi
masyarakat Arab dunia yang fana ini merupakan satu-satunya dunia yang eksis.
Eksistensi di luar batas dunia merupakan hal yang nonsen. Konsepsi tentang
eksistensi yang mencirikan pandangan dunia pagan Arab ini direkam dalam
berbagai bagian al-Qur'an. Mereka berkata, "Kehidupan kita hanyalah di
dunia ini, kita mati dan kita hidup serta tidak ada yang membinasakan kita
kecuali masa" (QS. 45:24).
Kemungkinan
akan dibangkitkannya manusia dalam kehidupan mendatang sama sekali merupakan
konsepsi yang asing dan berada di luar benak mereka. Sehingga pengejaran
terhadap kenikmatan semu duniawi yang dilakukan dengan berbagai cara menjadi
fenomena umum di Arabia (Taufik
Adnan Amal: 2001:17).
Sosio-Kultural
Arabia
Kebiasaan
mengembara membuat orang-orang Arab senang hidup bebas, tanpa aturan yang
mengikat sehingga mereka menjunjung tinggi nilai-nilai kebebasan. Pada musim
paceklik dan musim panas, mereka terbiasa melakukan perampasan sebagai sarana
hidup.
Peperangan
antar kabilah untuk merebut sumber mata air menjadi tradisi yang kuat, bahkan
berlanjut dari generasi ke generasi. Karena itu, mereka membutuhkan keturunan
yang banyak terutama anak laki-laki untuk menjaga kehormatan kabilahnya.
Sementara
anak perempuan, dalam pandangan mereka dianggap sebagai makhluk inferioritas
yang tidak memberikan kontribusi apa pun, maka dengan terpaksa harus dikubur
"hidup-hidup" (Ashgar
Ali Engineer: 1999:21).
Jika
malam tiba, mereka mengisinya dengan hiburan malam yang sangat meriah. Sambil
meminum minuman keras para penyanyi melantunkan lagu-lagu dengan iringan
musik yang iramanya menghentak-hentak dari tetabuhan yang terbuat dari kulit.
Dalam
keadaan mabuk jiwa mereka melayang-layang penuh dengan khayalan, kenikmatan,
dan keindahan. Dan dengan bermabuk-mabukan itu pula mereka dapat melupakan
kesulitan dan kekerasan hidup di tengah padang pasir (Badri Yatim dan H.D. Sirojuddin
AR:1997:42).
Namun
di balik watak dan prilaku keras mereka memiliki jiwa seni yang sangat halus
dalam bidang sastra, khususnya syair. Kepandaian dalam menggubah syair
merupakan kebanggaan, dan setiap kabilah akan memposisikan pada tempat yang
terhormat. Maka tidak heran kalau pada masa itu muncul para penyair ternama,
semisal Umru' al-Qais, al-Nabighah al-Dubyani, A'sya, Harits bin Hillizah
al-Yasykari, Antarah al-Absi, Zuhair bin Abi Sulma, Lubaid bin Rabi'ah dan
lainnya.
Mereka
mengekspresikan syairnya di pasar Ukkadz yang terletak di antara Tha'if dan
Nakhlak. Syair-syair yang berkualitas tinggi kemudian digantung di sekitar
Ka'bah dan dianggap sebagai hasil karya sasrta yang bermutu(muallaqat) (Abdul
Aziz:1402:75).
Sebelum
Islam datang, tradisi pendidikan mereka terbatas pada tradisi lisan.
Pewarisan pengetahuan berlangsung dari mulut ke mulut (oral), dan dari
generasi ke generasi. Materi pendidikan mencakup pengetahuan dan ketrampilan
dasar sesuai dengan kondisi kehidupan setempat saat itu. Dengan kebanyakan
penduduk yang masih nomad dan peternakan sebagai sumber daya utama, maka
materi pendidikan mencakup teknik dasar beternak secara alamiah, mengetahui
lokasi lahan tempat rumput subur, menunggang kuda, dan pengetahuan dasar
tentang arah untuk menghindari kesesatan di tengah padang pasir.
Pada
kehidupan nomad seperti ini, kita tidak tahu apakah upaya pewarisan ini
terjadi secara sistimatis dan terencana, atau berlangsung sebagai bagian dari
hidup itu sendiri. Yang pasti, apa yang kita sebut sebagai pendidikan pada
saat itu jelas berbeda dengan apa yang kita pahami di era modern.
Sisi
lain yang menarik dari kegiatan pendidikan mereka adalah dominannya syair
sebagai media ekspresi pemeliharaan buah pikiran dan tradisi yang mengakar.
Bagi masyarakat Arab, mengungkapkan sesuatu dalam bentuk syair mempunyai
nilai lebih dibanding dengan ungkapan bebas (prosa). Sehingga tidak
mengherankan kalau syair merupakan salah satu bagian penting dari kegiatan
budaya dan intelektual mereka dari dulu sampai sekarang (Hasan Asari:1995:104).
Situasi
Keberagamaan
Kerasnya
situasi gurun pasir membuat masyarakat Arab sering menghadapi rasa putus asa
dan ketakutan. Maka untuk meneguhkan hatinya, mereka mempercayai takhayyul
yang dianggap dapat memberikan keteguhan, kekuatan, dan kemakmuran. Selain
itu, ada juga kepercayaan yang bersumber dari cerita rekaan berupa legenda
yang tertuang dalam syair-syair atau cerita mengenai kepercayaan dan
peribadatan yang mereka percayai sebagai suatu agama.
Dalam
kajian antropologis, mungkin inilah salah satu alasan mengapa manusia
beragama? Agama menambah kemampuan manusia untuk menghadapi kelemahan
hidupnya. Agama dapat memberi dukungan psikologis waktu terjadi tragedi,
kecemasan, dan krisis. Agama juga memberi kepastian dan arti bagi manusia,
karena secara naturalistis nampaknya di dunia ini penuh dengan hal-hal yang
probabilistis (Roger M.
Keesing dan Samuel Gunawan:1992:93).
Suku
nomad padang pasir tidak mempunyai agama formal atau doktrin tertentu. Mereka
menganut apa yang disebut dengan humanisme suku, di mana yang paling penting
adalah keunggulan manusia dan kehormatan sukunya (W. Montgomery Watt:1961:51).
Keadaan
ini berbeda dengan penduduk kota Mekkah. Karena mereka tinggal di sebuah kota
dan sibuk dengan perdagangannya, maka mereka memerlukan agama formal. Apalagi
bagi kelas bawah yang mengalami kesulitan materi yang disebabkan oleh
ketimpangan dalam distribusi kekayaan, sehingga mereka memerlukan semacam
ketenangan spiritual. Sedangkan masyarakat pertanian mengembangkan
peribadatannya sendiri yang dikaitkan dengan kesuburan tanah.
Pemujaan
ini secara perlahan berkembang dari bentuk yang abstrak menjadi bentuk yang
konkrit. Al-Syahrastani, seorang sejarawan muslim mengatakan bahwa terdapat
360 berhala di sekitar Ka'bah, yang paling terkenal adalah Hubal yang dibawa
oleh Amr bin Lahi dari Belka di Syiria ke Arabia dengan tujuan agar bisa
mendatangkan hujan.
Tiga
patung tuhan lainnya yang terkenal di Mekkah adalah Manat, Lata, dan Uzza, menurut Tor Andraepersembahan
buat ketiganya sudah berlangsung lama. Dengan menilik namanya, Manat yang
dipuja oleh sukuHudzail yang suka berperang dan
mengarang puisi serta tinggal di selatan Mekkah nampaknya ia menjadi model
dewa perempuan yang menentukan nasib dan keberuntungan. Sedangkan Lata dikenal
pada masa Heroditus, dan bermakna "Dewi". Dalam sejarah ArabLata mempunyai
kedudukan sebagai Dewi Semit garis
ibu, kesuburan, dan langit terutama di kawasan Semit barat. Sedangkan Uzza yang
berarti perkasa dan terhormat berada di Nakla.
Dari
penjelasan di atas dipahami, bahwa ketiga patung tersebut adalah perempuan,
dan ketiganya dikaitkan dengan ritus kesuburan tanah atau pemujaan ibu yang
berasal dari wilayah utara atau negara-negara Mediterranian. Karena di Mekkah
sistem patriarki lebih menonjol, sehingga sistem matrilineal secara
struktural tidak menjadi bagian dari masyarakat.
Dalam
struktur masyarakat superioritas laki-laki lebih dominan, maka tuhan-tuhan
perempuan tidak dipuja dalam upacara meminta kesuburan. Satu-satunya kesimpulan
yang bisa dikemukakan adalah bahwa tuhan-tuhan itu berasal dari daerah yang
di situ pertanian sangat menonjol, yaitu kawasan subur di utara (W. Montgomery Watt: 1961:50).
Di
antara mereka masih ada suku-suku yang menganut agama hanif berdasarkan kepada
ajaran-ajaran yang telah disampaikan Nabi Ibrahim AS. Ka'bah tetap dihormati
dan dijadikan sebagai satu-satunya rumah peribadatan. Namun lambat laun
sendi-sendi ketauhidan sudah mulai retak dan hancur. Maka di atas runtuhnya
nilai-nilai tauhid itu, patung dan berhala pujaan mereka ditaruh di sekitar
Ka'bah. Mungkin pada saat itu Ka'bah merupakan simbol pertemuan keagamaan
yang dikenal bangsa Arab sebelum Islam, tetapi pertemuan itu dalam rangka
keanekaan dan perbedaan kepercayaan. Karena itu, ritus dan tata upacara
mereka dalam melaksanakan ibadah haji beraneka sesuai dengan perbedaan
kepercayaan dan sesembahannya.
Dinamika
Politik
Masyarakat
Arab, baik yang nomadik maupun yang menetap hidup dalam budaya kesukuan
Badui. Organisasi dan identitas sosial berakar pada keanggotaan dalam suatu
rentang komunitas yang luas. Kelompok beberapa keluarga membentuk kabilah
(klan) dan setiap kabilah membentuk suku yang dipimpin oleh seorang syaikh. Mereka sangat
menekankan hubungan kesukuan, sehingga kesetiaan atau solidaritas kelompok
menjadi sumber kekuatan.
Secara
sosiologis, menurut Soerjono Soekamto (1969:41) dengan mengutip pendapat Ibn
Khaldun, bahwa faktor yang menyebabkan bersatunya manusia dalam suku-suku,
klan, negara dan sebagainya adalah rasa solidaritas. Faktor inilah yang
menyebabkan adanya ikatan usaha atau kegiatan bersama.
Sementara
menurut Kinloch, hubungan antar kelompok itu menjadi kuat karena terdapat
beberapa ciri atau kriteria yang sama, di antaranya:
§ ciri fisiologis
§ kriteria kebudayaan
§ kriteria ekonomi
§ kriteria pelaku
(Kamanto Sunarto: tt:145)
Watak
dan loyalitas kesukuan ini oleh Ibn Khaldun disebut sebagai ashabiyah yang
menjadi faktor penting dalam membentuk kelompok politik yang solid. Ashabiyahmenurutnya
tidak hanya meliputi satu keluarga saja yang dihubungkan oleh tali
kekeluargaan, tetapi ia juga meliputi hubungan yang timbul akibat terjadinya
persekutuan (Zainab
al-Khudairi: 1995:143).
Ashabiyah, seperti diketahui,
hanya terdapat di kalangan orang-orang desa, sementara di kalangan
orang-orang kota kadar ashabiyah jauh
mengecil. Sekalipun solidaritas sosial masih ditemukan. Ada satu faktor yang
membuat kuatnya semangat ashabiyah di
kalangan masyarakat desa, yaitu kerasnya kehidupan karena mereka khawatir
terhadap serangan dari luar. Jadi ashabiyah-lah
yang menghubungkan antara individu yang satu dengan individu yang lain,
sehingga mereka menjadi kuat dan musuh-musuh akan mejadi segan (Zainab al-Khudairi:1995:147).
Di
kalangan suku sering terjadi konflik atau ghazwa(perang antar suku). Di
antara penyebabnya adalah perselisihan untuk merebut kepemimpinan, kekuasaan,
kekuatan, perebutan sumber mata air, perebutan padang rumput untuk gembala
ternak, dan sebagainya. Perselisihan itu tidak menjadi padam dengan
berakhirnya perang. Tetapi ia tetap diekspresikan dalam bentuk gubahan syair
yang membangkitkan semangat suku.
Menurut
sebagian para peneliti, perang antar suku ini menyingkapkan karakteristik
semangat fanatisme dan sifat cepat marah bangsa Arab yang kadang kala
membangkitkan pikiran khas kaum Badui untuk cepat melakukan kebajikan, dan
kadang kala mendorong berbuat hal yang tercela. Selain itu, ia juga
menyingkapkan relung-relung moral bangsa Arab yang diwarnai dengan
individualisme, keras kepala, dan sulit dikendalikan. Semua ini membentuk
keangkuhan dan kesombongan dalam berperang untuk mempertahankan sukunya,
apakah sukunya itu benar atau salah (Effat
al-Sharqawi: 1986:48).
Keadaan
Perekonomian
Mekkah
merupakan pusat keagamaan dan perdagangan, selain terdapat beberapa pasar
yang terkenal untuk melakukan transaksi, seperti pasar Ukkazh, Majnah, dan
Dzi al-Majaz. Di samping sebagai aktivitas transaksi, pasar juga berfungsi
sebagai panggung seni untuk unjuk kemampuan mengekspresikan karya-karya
sastra, terutama dalam bentuk gubahan syair.
Menurut
Effat (1986:41), ditinjau dari aspek budaya pada zaman dahulu Semenanjung
Arabia terbagi menjadi dua bagian. Pertama, kawasan yang sedikit sekali
terkena dampak budaya luar. Dan kedua, kawasan yang mempunyai hubungan begitu
erat dengan luar. Penduduk bagian pertama yang diwakili penduduk jantung
Semenanjung Arabia, betapapun tertutupnya telah berhasil merealisasikan salah
satu fase partisipasi ekonomi di antara mereka. Ini nampak gamblang dalam
kekohesifan suku dalam kawasan ini. Menurut hukum mereka, kekayaan suku
adalah milik suku dan menjadi usaha bersama yang dinikmati seluruh anggota
sesuai dengan kebutuhan masing-masing. Sebaliknya, semua anggota berusaha
mengembangkan kekayaan itu sesuai dengan potensi yang dimilikinya.
Dalam
dua sistem sosial yang berkembang di Semenanjung Arabia, yaitu sistem suku
dan sistem kaum pengembara, terdapat kecendrungan ke arah partisipasi dan
kerjasama ekonomi. Jadi, kedermawanan Arab yang sering digambarkan secara
terinci di dalam sastra jahili maksudnya adalah sebagai usaha perwujudan
partisipasi ekonomi. Tampaknya, sulitnya kehidupan di padang pasir, kerasnya
sendi-sendi ekonomi, dan bayang-bayang kelaparan bisa memaksa setiap orang
untuk terpanggil dalam partisipasi ekonomi tersebut.
Sementara
itu di daerah perkotaan dan kawasan yang bertetangga dengan negara-negara
besar, penduduknya mempunyai sistem ekonomi yang berbeda dengan sistem
ekonomi kaum Badui tadi. Penduduk daerah perkotaan lebih banyak bergerak di
sektor perdagangan, sejalan dengan adanya jalur-jalur perdagangan di sana.
Yang terkenal profesional dan penggerak mata rantai perdagangan ini ialah
orang-orang Yaman, sedangkan orang-orang Hijaz yang membeli komoditi tersebut
dijual di pasar Syam dan Mesir. Karenanya tidak heran apabila di Mekkah dan Yaman
terjadi kesenjangan status sosial yang begitu lebar (Effat al-Sharqawi: 1986:43).
Meskipun
Madinah memiliki peran sentral dalam evolusi eksternal misi kenabian
Muhammad, namun komersial Mekkalah yang tampaknya paling mendominasi
ungkapan-ungkapan dalam al-Qur'an. Kafilah-kafilah dagang yang biasanya pergi
ke selatan di musim dingin, dan ke utara di musim panas dirujuk dalam
al-Qur'an (106:2).
Istilah tijarah (perniagaan)
disebutkan sebanyak sembilan kali, dan ia merupakan tema sentral yang
tercermin dalam perbendaharaan kata yang digunakan dalam kitab suci tersebut.
W. Montgomery Watt (1998:5) mengutipC.C. Torry,
menyimpulkan bahwa istilah-istilah perniagaan digunakan dalam kitab suci
tersebut untuk mengungkapkan butir-butir doktrin yang paling mendasar, bukan
sekedar kiasan ilustratif.
Ungkapan-ungkapan
di dunia perniagaan memang menghiasi lembaran-lembaran al-Qur'an dan
digunakan untuk mengungkapkan ajaran Islam yang asasi. Hisab, suatu istilah
yang lazim digunakan untuk perhitungan untung-rugi dalam dunia perniagaan
muncul di beberapa tempat dalam al-Qur'an sebagai salah satu nama hari kiamat (yaum al-hisab),
ketika perhitungan terhadap segala perbuatan manusia dilakukan dengan cepat (sari' al-hisab).
Sementara kata hasib (pembuat perhitungan) dinisbatkan kepada Tuhan dalam
kaitannya dengan perbuatan manusia. Setiap orang akan bertanggungjawab atas
segala perbuatan yang telah dilakukannya.
Juga
ungkapan lainnya yang lazim digunakan dalam masyarakat niaga Mekkah, seperti
menjual (bay') dan
membeli (isytara) pada
umumnya digunakan al-Qur'an untuk mengungkapkan gagasan-gagasan keagamaan
Islam yang mendasar. Dalam al-Qur'an (9:111) disebutkan, "Sesungguhnya Tuhan telah membeli orang-orang
beriman diri dan harta mereka dengan memberikan surga kepada mereka ……. maka
bergembiralah dengan transaksi yang telah kamu lakukan dan itulah kemenangan
yang besar".
Orang-orang
beriman dinyatakan sebagai orang-orang yang menjual (yasyruna) kehidupan
dunia ini dengan kehidupan akhirat (QS. 4:74). Sementara orang-orang yang
tidak beriman dikatakan telah membarter (isytarau)kesesatan
dengan petunjuk (QS. 2:16), atau kekafiran dengan keimanan (QS. 3:177). Lebih
jauh kata bay' di
beberapa tempat dalam al-Qur'an juga dihubungkan dengan pengadilan akhirat,
dan disebutkan bahwa pada hari itu tidak ada lagi transaksi (QS: 2:254 &
14:31)(Taufik Adnan Amal:
2001:14).
|
No comments:
Post a Comment