AD-DURARUS SANIYYAH
FIY BAYAANIL MAQALAATI
AS-SUNNIYYAH
Mutiara Berharga Tentang Penjelasan
Maqalah-Maqalah Ahlu Sunnah
Di Sadur Oleh:
Asrul Rahman, S.Pd.I
Amassangan
Binuang
2014
MASAAIL DINIYYAH
BAGIAN PERTAMA
F Ijtihad dan Taqlid
Ijtihad adalah mengeluarkan (menggali) hukum-hukum yang tidak
terdapat nash (teks) yang jelas ; yang tidak mengandung kecuali satu
makna tentangnya.
Jadi Mujtahid (orang yang melakukan ijtihad) ialah
orang yang memiliki keahlian dalam hal ini. Ia adalah seorang yang hafal
ayat-ayat ahkam, hadits-hadits ahkam beserta mengetahui sanad-sanad
dan keadaan para perawinya, mengetahui nasikh dan mansukh, ‘am
dan khash, muthlaq dan muqayyad serta menguasai
betul bahasa Arab dengan sekira hafal pemaknaan-pemaknaan setiap nash sesuai
dengan bahasa al Qur’an, mengetahui apa yang telah disepakati oleh para ahli
ijtihad dan apa yang diperselisihkan oleh mereka, karena jika tidak mengetahui
hal ini maka dimungkinkan ia menyalahi ijma' (konsensus para
ulama) para ulama sebelumnya.
Lebih dari syarat-syarat di atas, masih ada sebuah syarat
besar lagi yang harus terpenuhi dalam berijtihad yaitu kekuatan pemahaman dan
nalar. Kemudian juga disyaratkan memiliki sifat ‘adalah; yaitu selamat
dari dosa-dosa besar dan tidak membiasakan berbuat dosa-dosa kecil yang bila
diperkirakan secara hitungan jumlah dosa kecilnya tersebut melebihi jumlah
perbuatan baiknya.
Sedangkan Muqallid (orang yang melakukan taqlid;
mengikuti pendapat para mujtahid) adalah orang yang belum sampai kepada
derajat tersebut di atas
Dalil bahwa orang Islam terbagi kepada dua tingkatan ini
adalah hadits Nabi shallallahu 'alayhi wasallam:
" نضر الله امرأ سمع مقالتي فوعاها فأداها كما سمعها ، فربّ
حامل مبلغ لا فقه عنده " (رواه الترمذي وابن حبان)
Maknanya
: “Allah memberikan kemuliaan kepada seseorang yang mendengar perkataanKu,
kemudian ia menjaganya dan menyampaikannya sebagaimana ia mendengarnya, betapa
banyak orang yang menyampaikan tapi tidak memiliki pemahaman”. (H.R.
at-Tirmidzi dan Ibnu Hibban)
Bukti terdapat pada lafazh: فربّ
مبلغ لا فقه عنده ""
“Betapa banyak orang yang menyampaikan tapi tidak
memiliki pemahaman”.
Dalam riwayat lain:
"وربّ مبلغ أوعى من سامع"
“Betapa banyak orang yang mendengar
(disampaikan kepadanya hadits) lebih mengerti dari yang menyampaikan”.
Bagian dari lafazh hadits tersebut
memberikan pemahaman kepada kita bahwa di antara sebagian orang yang mendengar
hadits dari Rasulullah shallallahu 'alayhi wasallam ada yang hanya
meriwayatkan saja dan pemahamannya terhadap kandungan hadits tersebut kurang
dari pemahaman orang yang mendengar darinya. Orang yang kedua ini dengan
kekuatan nalar dan pemahamannya memiliki kemampuan untuk menggali dan
mengeluarkan hukum-hukum dan masalah-masalah (dinamakan Istinbath) yang
terkandung di dalam hadits tersebut. Dari sini diketahui bahwa sebagian sahabat
Nabi ada yang pemahamannya kurang dari para murid dan orang yang mendengar hadits darinya. Pada
lafazh lain hadits ini:
" فربّ حامل فقه إلى من هو أفقه منه "
“Betapa banyak orang yang membawa fiqh
kepada orang yang lebih paham darinya”. Dua riwayat ini diriwayatkan oleh
at-Tirmidzi dan Ibnu Hibban.
Mujtahid dengan pengertian inilah yang dimaksud oleh hadits Nabi shallallahu
'alayhi wasallam:
"
إذا اجـتهد الحاكم فأصاب فله أجران وإذا اجـتهد فأخطأ فله أجر " (رواه
البخاري)
Maknanya:
“Apabila seorang Penguasa berijtihad dan benar maka ia mendapatkan dua
pahala dan bila salah maka ia mendapatkan satu pahala”. (H.R. al Bukhari)
Dalam hadits ini disebutkan Penguasa (الحاكم) secara khusus karena ia lebih
membutuhkan kepada aktivitas ijtihad dari pada lainnya. Di kalangan para ulama
salaf, terdapat para mujtahid yang sekaligus penguasa, seperti para khalifah
yang enam; Abu Bakr, ‘Umar, ‘Utsman, ‘Ali, al Hasan ibn ‘Ali, ‘Umar ibn ‘Abdul
‘Aziz, Syuraih al Qadli dan lainnya.
Para ulama hadits yang menulis karya-karya dalam Mushthalah
al Hadits menyebutkan bahwa ahli fatwa dari kalangan sahabat hanya
kurang dari sepuluh, yaitu sekitar enam menurut suatu pendapat. Sebagian
ulama lain berpendapat bahwa ada sekitar dua ratus sahabat yang mencapati
tingkatan Mujtahid dan ini pendapat yang lebih sahih. Jika keadaan para sahabat
saja demikian adanya maka bagaimana mungkin setiap orang muslim yang bisa
membaca al Qur’an dan menelaah beberapa kitab berani berkata: “Mereka (para
mujtahid) adalah manusia dan kita juga manusia, tidak seharusnya kita taqlid
kepada mereka”. Padahal telah terbukti dengan data yang valid bahwa
kebanyakan ulama salaf bukan mujtahid, mereka ikut (taqlid) kepada ahli
ijtihad yang ada di kalangan mereka. Dalam shahih al Bukhari diriwayatkan bahwa
seorang pekerja sewaan telah berbuat zina dengan isteri majikannya. Lalu ayah
pekerja tersebut bertanya tentang hukuman atas anaknya, ada yang mengatakan:
“Hukuman atas anakmu adalah membayar seratus ekor kambing dan (memerdekakan)
seorang budak perempuan”. Kemudian sang ayah kembali bertanya kepada ahli ilmu,
jawab mereka: “Hukuman atas anakmu dicambuk seratus kali dan diasingkan satu
tahun”. Akhirnya ia datang kepada Rasulullah shallallahu 'alayhi wasallam
bersama suami perempuan tadi dan berkata: “Wahai Rasulullah sesungguhnya
anakkku ini bekerja kepada orang ini, lalu ia berbuat zina dengan isterinya.
Ada yang berkata kepadaku hukuman atas anakku adalah dirajam, lalu aku menebus
hukuman rajam itu dengan membayar seratus ekor kambing dan (memerdekakan)
seorang budak perempuan. Lalu aku bertanya kepada para ahli ilmu dan mereka
menjawab hukuman anakmu adalah dicambuk seratus kali dan diasingkan satu tahun
?”. Rasulullah berkata: “Aku pasti akan memberi keputusan hukum terhadap
kalian berdua dengan Kitabullah, al walidah (budak perempuan) dan
kambing tersebut dikembalikan kepadamu dan hukuman atas anakmu adalah dicambuk
seratus kali dan diasingkan (dari kampungnya sejauh jarak Qashar –sekitar
78 Km) setahun”.
Laki-laki tersebut sekalipun seorang sahabat tapi ia
bertanya kepada para sahabat lainnya dan jawaban mereka salah lalu ia bertanya
kepada para ulama di kalangan mereka hingga kemudian Rasulullah memberikan
fatwa yang sesuai dengan apa yang dikatakan oleh para ulama mereka. Dalam
kejadian ini Rasulullah memberikan pelajaran kepada kita bahwa sebagian sahabat
sekalipun mereka mendengar langsung hadits dari Nabi namun tidak semuanya
memahaminya, artinya tidak semua sahabat memiliki kemampuan untuk mengambil hukum
dari hadits Nabi. Mereka ini hanya berperan meriwayatkan hadits kepada lainnya
sekalipun mereka memahami betul bahasa Arab yang fasih. Dengan demikian
sangatlah aneh orang-orang bodoh yang berani mengatakan: “Mereka adalah
manusia dan kita juga manusia...”. Mereka yang dimaksud adalah para ulama
mujtahid seperti para imam yang empat (Imam Abu Hanifah, Malik, Syafi'i dan
Ahmad ibn Hanbal).
Senada dengan hadits di atas, hadits yang diriwayatkan
Abu Dawud tentang seorang laki-laki yang terluka di kepalanya. Pada suatu malam
yang dingin ia junub, setelah ia bertanya tentang hukumnya kepada orang-orang
yang bersamanya, mereka menjawab: “Mandilah !”. Kemudian ia mandi dan meninggal
(karena kedinginan). Ketika Rasulullah dikabari tentang hal ini, beliau berkata:
“Mereka telah membunuhnya, semoga Allah membalas perbuatan mereka, Tidakkah
mereka bertanya kalau memang tidak tahu, karena obat ketidaktahuan adalah
bertanya !”. Jadi obat kebodohan adalah bertanya, bertanya kepada ahli ilmu.
Lalu Rasulullah berkata : " Sesungguhnya cukup bagi orang tersebut
bertayammum, dan membalut lukanya dengan kain lalu mengusap kain tersebut dan
membasuh (mandi) sisa badannya". (H.R. Abu Dawud dan lainnya). Dari kasus
ini diketahui bahwa seandainya ijtihad diperbolehkan bagi setiap orang Islam
untuk melakukannya, tentunya Rasulullah tidak akan mencela mereka yang memberi
fatwa kepada orang junub tersebut padahal mereka bukan ahli untuk berfatwa.
Kemudian di antara tugas khusus seorang
mujtahid adalah melakukan qiyas, yaitu mengambil hukum bagi sesuatu yang tidak
ada nashnya dengan sesuatu yang memiliki nash karena ada kesamaan dan
keserupaan antara keduanya.
Maka berhati-hati dan waspadalah terhadap mereka yang menganjurkan para
pengikutnya untuk berijtihad, padahal mereka sendiri, juga para pengikutnya
sangat jauh dari tingkatan ijtihad. Mereka dan para pengikutnya adalah para
pengacau dan perusak agama. Termasuk kategori ini adalah orang-orang yang di
majelis-majelis mereka biasa membagikan lembaran-lembaran tafsiran suatu ayat
atau hadits, padahal mereka tidak pernah belajar ilmu agama secara langsung
kepada para ulama. Orang-orang semacam ini adalah golongan yang menyempal dan
menyalahi para ulama Ushul Fiqh. Karena para ulama ushul berkata: “Qiyas adalah
pekerjaan seorang mujtahid”. Mereka juga menyalahi para ulama ahli hadits.
F
Bid’ah
Bid'ah dalam bahasa berarti sesuatu yang diadakan tanpa
ada contoh sebelumnya. Dalam pengertian syara' adalah sesuatu yang baru yang
tidak terdapat secara eksplisit (tertulis) dalam al Qur'an maupun hadits.
Bid'ah terbagi menjadi dua bagian, sebagaimana dipahami
dari hadits 'Aisyah –semoga Allah meridlainya- ia berkata : Rasulullah r
bersabda :
"من
أحدث في أمرنا هذا ما ليس منه فهو رد"
Maknanya
: "Barang siapa yang berbuat sesuatu yang baharu dalam syari'at ini
yang tidak sesuai dengannya, maka ia tertolak".
Bagian pertama : Bid'ah Hasanah, juga dinamakan Sunnah Hasanah yaitu
sesuatu yang baharu yang sejalan dengan al Qur'an dan Sunnah.
Bagian kedua : Bid'ah Sayyi-ah, juga dinamakan Sunnah Sayyi-ah yaitu
sesuatu yang baharu yang menyalahi al Qur'an dan Sunnah.
Pembagian bid'ah ini juga dapat dipahami dari hadits
Jarir ibn 'Abdillah al Bajali –semoga Allah meridlainya-, ia berkata :
Rasulullah shallallahu 'alayhi wasallam bersabda :
"من سن في الإسلام
سنة حسنة فله أجرها وأجر من عمل بها بعده من غير أن ينقص أجورهم شىء،ومن سن في
الإسلام سنة سيئة كان عليه وزرها ووزرمن عمل بها من بعده من غير أن ينقص من
أوزورهم شىء" (رواه مسلم)
Maknanya
: "Barang siapa merintis (memulai) dalam agama Islam sunnah (perbuatan)
yang baik maka baginya pahala dari perbuatan tersebut juga pahala dari orang
yang melakukannya (mengikutinya) setelahnya tanpa berkurang sedikitpun pahala
mereka, dan barang siapa merintis dalam Islam sunnah yang buruk maka
baginya dosa dari perbuatan tersebut juga dosa dari orang yang melakukannya
(mengikutinya) setelahnya tanpa berkurang dosa-dosa mereka sedikitpun"
(H.R. muslim)
Contoh bagian pertama : Peringatan maulid Nabi shallallahu 'alayhi wasallam
di bulan Rabi'ul awwal. Orang yang pertama kali mengadakannya adalah raja al
Muzhaffar penguasa Irbil pada abad 7 hijriyah. Pembuatan titik-titik
dalam (huruf-huruf) al Qur'an oleh Yahya bin Ya'mur, salah seorang tabi'in yang
agung. Beliau adalah seorang yang alim dan bertaqwa, perbuatan beliau ini
disepakati oleh para ulama dari kalangan ahli hadits dan lainnya, mereka
menganggap baik hal ini sekalipun mushhaf tersebut tidak memakai titik saat
Rasulullah mendiktekannya kepada para penulis wahyu. Begitu pula ketika 'Utsman
bin 'Affan menyalin dan menggandakan mushhaf menjadi lima atau enam naskah
tidak ada titk-titik (pada huruf-hurufnya). Sejak saat pemberian titik oleh
Yahya bin Ya'mur itulah semua umat Islam hingga kini selalu memakai titik dalam
penulisan huruf-huruf al Qur'an. Apakah mungkin hal ini dikatakan sebagai
bid'ah sesat sebab Rasulullah tidak pernah melakukannya ?!. Jika demikian
halnya maka hendaklah mereka meninggalkan mushhaf-mushhaf tersebut dan
menghilangkan titik-titiknya seperti pada masa Utsman. Abu Bakr bin Abu Dawud,
anak penulis kitab Sunan, dalam kitabnya al Mashahif berkata
: "orang yang pertama kali membuat titik dalam Mushhaf adalah Yahya bin
Ya'mur". Yahya bin Ya'mur adalah salah seorang ulama tabi'in yang
meriwayatkan (hadits) dari sahabat Abdullah bin umar dan lainnya.
Contoh bagian kedua : hal-hal yang baharu dalam masalah aqidah, seperti
bid'ahnya golongan Mu'tazilah, Khawarij dan mereka yang menyalahi apa yang
telah menjadi keyakinan para sahabat nabi. Contoh lainnya seperti penulisan
shad (ص) setelah nama Nabi sebagai pengganti shallahu
'alayhi wasallam صلى الله عليه وسلم . Padahal
para ahli hadits telah menegaskan dalam kitab-kitab Mushthalah al Hadits bahwa
menuliskan shad (ص) saja setelah penulisan nama Nabi adalah makruh,
namun begitu mereka tidak sampai mengharamkannya. Dengan demikian bagaimana
bisa orang-orang yang suka membuat kegaduhan itu mengatakan bahwa perayaan
maulid Nabi adalah bid'ah yang diharamkan dan bahwa bershalawat atas Nabi
dengan suara yang keras setelah adzan adalah bid'ah yang diharamkan, dengan
alasan bahwa Rasulullah dan atau para sahabatnya tidak pernah melakukannya ?!.
Termasuk
bid'ah sayyi-ah juga merubah nama Allah (الله) menjadi "Aah" (ءاه) atau sejenisnya yang dilakukan oleh banyak
orang dari mereka yang mengaku-ngaku sebagai pengikut tarekat, ini adalah
bid'ah yang diharamkan.
Imam
Syafi'i –semoga Allah meridlainya- berkata :
" المحدثات من
الأمور ضربان، ماأحدث مما يخالف كتابا أو سنة أو إجماعا أو أثرا فهذه البدعة
الضلالة، والثانية ما أحدث من الخير و لا يخالف كتابا أو سنة أو إجماعا وهذه محدثة
غير مذمومة "
"Perkara
yang baru terbagi menjadi dua bagian. Pertama sesuatu yang menyalahi al Qur'an,
Sunnah, Ijma' atau Atsar (apa yang dilakukan atau dikatakan sahabat tanpa ada
di antara mereka yang mengingkari), inilah bid'ah yang sesat. Kedua perkara
yang baru yang baik dan tidak menyalahi al Qur'an, Sunnah, maupun Ijma', inilah
sesuatu yang baru yang tidak tercela ". (Diriwayatkan oleh al Bayhaqi dengan sanad yang sahih
dalam kitabnya Manaqib asy-Syafi'i.)
F
Tawassul dan
Tabarruk
Dalam hadits shahih bahwa Rasulullah shallallahu
'alayhi wasallam mengajarkan kepada sebagian umatnya untuk berdo'a di
belakangnya (tidak di hadapannya) dengan mengucapkan:
"اللهم إني أسألك
وأتوجه إليك بنبينا محمد نبي الرحمة يا محمد إني أتوجه بك إلى ربي في حاجتي لتقضى
لي"
Maknanya: "Ya
Allah aku memohon dan memanjatkan do'a kepada-Mu dengan Nabi kami Muhammad;
Nabi pembawa rahmat, wahai Muhammad, sesungguhnya aku memohon kepada Allah
dengan engkau berkait dengan hajatku agar dikabulkan".
Orang tersebut melaksanakan petunjuk Rasulullah ini. Orang ini adalah
seorang buta yang ingin diberi kesembuhan dari butanya, akhirnya ia diberikan
kesembuhan oleh Allah di belakang Rasulullah (tidak di majlis Rasulullah) dan
kembali ke majlis Rasulullah dalam keadaan sembuh dan bisa melihat. Seorang
sahabat yang lain -yang menyaksikan langsung peristiwa ini, karena pada saat
itu ia berada di majelis Rasulullah- mengajarkan petunjuk ini kepada orang lain
pada masa khalifah Utsman ibn 'Affan –semoga Allah meridlainya- yang tengah
mengajukan permohonan kepada khalifah Utsman.
Pada saat itu Sayyidina Utsman sedang sibuk dan tidak sempat memperhatikan
orang ini. Maka orang ini melakukan hal yang sama seperti yang dilakukan oleh
orang buta pada masa Rasulullah tersebut. Setelah itu ia mendatangi
Utsman ibn 'Affan dan akhirnya ia disambut oleh khalifah 'Utsman dan dipenuhi
permohonannya. Umat Islam selanjutnya senantiasa menyebutkan hadits ini dan
mengamalkan isinya hingga sekarang. Para ahli hadits juga menuliskan hadits ini
dalam karya-karya mereka seperti al Hafizh at Thabarani – beliau menyatakan
dalam "al Mu'jam al Kabir" dan "al Mu'jam
ash-Shaghir": "Hadits ini shahih" [1] -, al Hafizh
at-Turmudzi dari kalangan ahli hadits mutaqaddimin, juga al Hafizh
an-Nawawi, al Hafizh Ibn al Jazari dan ulama muta-akhkhirin yang lain.
Hadits ini adalah dalil diperbolehkannya bertawassul dengan Nabi shallallahu
'alayhi wasallam pada saat Nabi masih hidup di belakangnya (tidak di
hadapannya). Hadits ini juga menunjukkan bolehnya bertawassul dengan Nabi
setelah beliau wafat seperti diajarkan oleh perawi hadits tersebut, yaitu
sahabat Utsman ibn Hunayf kepada tamu sayyidina Utsman, karena memang hadits
ini tidak hanya berlaku pada masa Nabi hidup tetapi berlaku selamanya dan tidak
ada yang menasakhkannya. Dari sini diketahui bahwa orang-orang Wahhabi
yang menyatakan bahwa tawassul adalah syirik dan kufur berarti telah
mengkafirkan ahli hadits tersebut yang mencantumkan hadits-hadits ini untuk
diamalkan. Semoga Allah melindungi kita dari paham yang tidak lurus seperti
paham orang-orang wahhabi ini. [2]
Dalam hadits lain yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah dalam Sunannya dari Abu
Sa'id al Khudri –semoga Allah meridlainya-, ia berkata, Rasulullah bersabda :
"من خرج من بيته
إلى الصلاة فقال : اللهم إني أسألك بحق السائلين عليك وبحق ممشاي هذا فإني لم أخرج
أشرا ولا بطرا ولا ريآء ولا سمعة خرجت اتقاء سخطك وابتغاء مرضاتك فأسألك أن
تنقذنـي من النار وأن تغفر لي ذنوبي إنه لا يغفر الذنوب إلا أنت ، أقبل الله عليه
بوجهه واستغفر له سبعون ألف ملك" (رواه أحمد في المسند والطبراني في الدعاء
وابن السني في عمل اليوم والليلة والبيهقي في الدعوات الكبير وغيرهم وحسن إسناده
الحافظ ابن حجر والحافظ أبو الحسن المقدسي والحافظ العراقي والحافظ الدمياطي
وغيرهم). ومعنى "أقبل الله عليه بوجهه" ليس على ظاهره بل هو مؤول بمعنى
الرضا عنه .
Maknanya: "Barangsiapa
yang keluar dari rumahnya untuk melakukan shalat (di masjid) kemudian ia
berdo'a: "Ya Allah sesungguhnya aku memohon kepada-Mu dengan derajat
orang-orang yang saleh yang berdo'a kepada-Mu (baik yang masih hidup atau yang
sudah meninggal) dan dengan derajat langkah-langkahku ketika berjalan ini,
sesungguhnya aku keluar rumah bukan untuk menunjukkan sikap angkuh dan sombong,
juga bukan karena riya dan sum'ah, aku keluar rumah untuk menjauhi murka-Mu dan
mencari ridla-Mu, maka aku memohon kepada-Mu: selamatkanlah aku dari api neraka
dan ampunilah dosa-dosaku, sesungguhnya tidak ada yang mengampuni dosa-dosa
kecuali Engkau, maka Allah akan meridlainya dan tujuh puluh ribu malaikat
memohonkan ampun untuknya" (H.R. Ahmad dalam "al Musnad",
ath-Thabarani dalam "ad-Du'a", Ibn as-Sunni dalam" 'Amal
al Yaum wa al-laylah", al Bayhaqi dalam Kitab "ad-Da'awat al
Kabir" dan selain mereka, sanad hadits ini dihasankan oleh al Hafizh
Ibn Hajar, al Hafizh Abu al Hasan al Maqdisi, al Hafizh al 'Iraqi, al Hafizh
ad-Dimyathi dan lain-lain).
Dalam hadits ini
juga terdapat dalil dibolehkannya bertawassul dengan para shalihin, baik yang
masih hidup maupun yang sudah meninggal. Hadits ini adalah salah satu dalil
Ahlussunnah Wal Jama'ah untuk membantah golongan Wahhabi yang mengharamkan
tawassul dan mengkafirkan pelakunya. [3}
Sedangkan tentang
mengambil berkah dengan berziarah ke makam para nabi dan wali, Rasulullah
bersabda dalam hadits yang diriwayatkan dari Abu Hurairah bahwa Nabi Musa
berdoa :
"
ربّ أدنني من الأرض المقدسة رمية بحجر "
Maknanya:
"Ya Allah dekatkanlah aku ke Tanah Bayt al Maqdis meskipun sejauh
lemparan batu"
Kemudian
Rasulullah bersabda :
"
والله لو أني عنده لأريتكم قبـره إلى جنب الطريق عند الكثيب الأحمر"
Maknanya
: "Demi Allah, jika aku di dekat kuburan Nabi Musa niscaya akan aku
perlihatkan kuburannya kepada kalian di samping jalan di daerah al Katsib
al Ahmar"
Al
Hafizh Waliyyuddin al 'Iraqi berkata : "Dalam hadits ini terdapat dalil
kesunnahan untuk mengetahui kuburan orang-orang yang saleh untuk berziarah ke
sana dan memenuhi hak-haknya". Karena itu para ahli hadits seperti al
Hafizh Syamsuddin ibn al Jazari mengatakan dalam kitabnya 'Uddah al Hishn al
Hashin :
ومن مواضع إجابة الدعاء
قبور الصالـحين
Maknanya:
" Di antara tempat dikabulkannya doa adalah kuburan orang-orang yang
saleh "
Apalagi
jika itu adalah kuburan Nabi Muhammad shallallahu 'alayhi wasallam
seperti yang dilakukan oleh sahabat Bilal ibn al Harits al Muzani (H.R. al
Bayhaqi, Ibn Abi Syaybah dan lain-lain dan dishahihkan oleh al Bayhaqi dan Ibnu
Katsir). Hal ini juga dilakukan oleh al Imam asy-Syafi'i terhadap kuburan al
Imam Abu Hanifah.
___________________________________
[1]. Para ahli hadits
(Hafizh) telah menyatakan bahwa hadits ini shahih, baik yang marfu' maupun
kadar yang mawquf (peristiwa di masa sayyidina 'Utsman), di antaranya al Hafizh
ath-Thabarani. Masalah tawassul dengan para nabi dan orang saleh ini hukumnya
boleh dengan ijma' para ulama Islam sebagaimana dinyatakan oleh ulama madzhab
empat seperti al Mardawi al Hanbali dalam Kitabnya al Inshaf, al Imam as-Subki
asy-Syafi'i dalam kitabnya Syifa as-Saqam, Mulla Ali al Qari al Hanafi dalam
Syarh al Misykat, Ibn al Hajj al Maliki dalam kitabnya al Madkhal
[2]. Golongan Wahhabi
adalah pengikut Muhammad ibn Abdul Wahhab an-Najdi. Mereka menyerupakan Allah
dengan makhluk-Nya, mengkafirkan orang-orang yang bertawassul dengan para nabi
dan orang-orang shalih, mengharamkan peringatan maulid Nabi dan membaca al
Qur'an untuk orang-orang muslim yang sudah meninggal dan mereka memiliki banyak
kesesatan-kesesatan yang lain. Para ulama Ahlussunnah banyak sekali yang
membantah mereka ini seperti Mufti Madzhab Syafi'i di Makkah al Mukarramah
Syekh Ahmad Zaini Dahlan (W. 134 H) dalam kitab tarikh yang salah satu fasalnya
berjudul Fitnah al Wahhabiyyah, Mufti madzhab Hanbali di Makkah al Mukarramah
Syekh Muhammad ibn Abdullah ibn Humaid (W. 1295 H) dalam kitabnya as-Suhub al
Wabilah 'Ala Dlara-ih al Hanabilah, Syekh Ibn 'Abidin al Hanafi (W. 1252 H)
dalam Hasyiyahnya, Syekh Ahmad ash-Shawi al Maliki (W. 1241 H) dalam kitabnya
Hasyiyah 'Ala Tafsir al Jalalain. Bagi yang menginginkan penjelasan yang
panjang lebar baca kitab al Maqalat as-Sunniyyah fi Kasyfi Dlalalat Ahmad ibn
Taimiyah.
[3]. Di
antara orang yang menyalahi Ahlussunnah dalam masalah ini adalah Yusuf al
Qardlawi. Ia menyatakan bahwa bertabarruk dengan peninggalan orang-orang yang
saleh termasuk syirik -wal 'iyadz billah- sebagaimana ia tuturkan dalam
kitabnya al Ibadah fi al Islam. Kesesatan al Qardlawi yang lain adalah seperti
pernyataan bahwa Rasulullah bisa saja salah dalam hal agama seperti ia
sampaikan lewat layar televisi al Jazirah, 12 september 1999. Al Qardlawi juga
membolehkan bagi seorang perempuan yang masuk Islam untuk tetap menjadi istri
suaminya yang kafir sebagaimana diangkat oleh Koran asy-Syarq al Awsath juga di
situs-situs internet. Al Qardlawi juga melarang membaca al Fatihah untuk
orang-orang Islam yang meninggal dunia, hal ini ia sampaikan lewat stasiun TV
al Jazirah. Telah banyak para ulama Islam yang membantah al Qardlawi di
antaranya adalah Syekh Nabil al Azhari, Syekh Khalil Daryan al Azhari, Mantan
Menteri Agama dan Urusan Wakaf Emirat Arab Syekh Muhammad ibn Ahmad al
Khazraji, Rektor al Azhar University Dr. Ahmad Umar Hasim, Dr. Shuhaib
asy-Syami (Amin Fatwa Halab, Syiria), al Muhaddits Syekh Abdul Hayy al Ghumari,
Dr. Sayyid Irsyad Ahmad al Bukhari dan lain-lain. Di antara ulama Indonesia
yang membantah al Qardlawi adalah Habib Syekh ibn Ahmad al Musawa. Karena ini
semua maka kita harus mewaspadai karya-karya al Qardlawi
F
Ziarah Ke
Makam Rasulullah SAW
Sebagian orang yang mengaku dirinya sebagai
ulama mengklaim bahwa melakukan perjalanan (safar) dengan tujuan ziarah
ke makam nabi atau wali adalah maksiat yang haram dilakukan. Pernyataan ini
sama sekali tidak berdasar. Bahkan bertentangan dengan ijma'
(kesepakatan para ulama) dari kalangan madzhab yang empat dan juga ulama selain
madzhab empat. Yakni ulama sejati yang dapat dipercaya fatwa-fatwa mereka.
Ziarah ke makam nabi hukumnya adalah sunnah.
Baik bagi orang yang berdomisili di Madinah maupun bagi mereka yang tinggal
jauh dari Madinah. Tegasnya, menempuh perjalanan dari luar kota Madinah ke
Madinah dengan niat hanya berziarah ke makam beliau adalah sunnah dan sudah
barang tentu pelakunya mendapat pahala dari Allah 'azza wajalla.
Banyak hadits dan atsar yang bisa dijadikan
dalil atas hal ini. Di antaranya adalah yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam
Musnad-nya, ath-Thabarani dalam al Mu'jam al Kabir dan al
Awsath dan al Hakim dalam Mustadrak-nya bahwasanya "pada suatu
hari datang Marwan (Marwan ibn al Hakam, salah seorang khalifah bani Umayyah).
Dia mendapati seseorang meletakkan wajahnya di atas makam Rasulullah (karena
rindu dan ingin memperoleh berkah dari beliau). Marwan menghardik orang itu:
"Tahukah kamu apa yang sedang kamu perbuat ?", lalu orang itu menoleh
dan ternyata dia adalah Abu Ayyub al Anshari (salah seorang sahabat nabi)
kemudian berkata: "Ya, aku mendatangi Rasulullah dan aku tidak mendatangi
sebongkah batu, aku mendengar Rasulullah shallallahu 'alayhi wasallam
bersabda: "Jangan tangisi agama ini jika ia dikendalikan oleh ahlinya,
tetapi tangisilah agama ini apabila ia dikendalikan oleh yang bukan
ahlinya". Maksudnya, Anda, wahai Marwan tidak layak menjadi khalifah.
Ibn Umar meriwayatkan bahwa Rasulullah shallallahu
'alayhi wasallam bersabda:
"مَنْ جَاءَنِيْ زائِرًا لاَ يَهُمُّهُ إلاَّ زِيَارَتِيْ
كَانَ حَقًّا عَلَيَّ أنْ أكُوْنَ لَهُ شَفِيْعًا" (رَوَاهُ الطَّبَرَانِي)
Maknanya: "Barangsiapa mendatangiku
untuk berziarah, tidak ada tujuan lain kecuali ziarah (ke makam) ku maka
sungguh menjadi hak bagiku untuk memberikan syafa'at kepadanya" (H.R.
ath-Thabarani dan dishahihkan oleh al Hafidz Sa'id ibn as-Sakan dalam as-Sunan
as-Shihah; kitab yang beliau karang khusus memuat hadits-hadits yang
disepakati kesahihannya, seperti halnya Shahih al Bukhari dan Shahih Muslim,
lihat: Ithaf as-Sadah al Muttaqin karya al Hafizh az-Zabidi, juz IV,
hlm. 416).
Dalam hadits lain, beliau bersabda:
"مَنْ زَارَ قَبْرِيْ وَجَبَتْ لَهُ شَفَاعَتِيْ"
(رَوَاهُ الدَّارَ قُطْنِيّ)
Maknanya: “Barangsiapa berziarah ke
makamku maka pasti akan memperoleh syafa'atku". (H.R. ad-Daraquthni,
dan adz-Dzahabi berkomentar: "Hadits ini menjadi kuat dengan adanya jalur
sanad yang berbeda-beda", lihat: Manahil ash-Shafa fi Takhrij Ahadits
asy-Syifa karya as-Suyuthi, hlm. 308).
Dalam kitab Wafa' al Wafa, juz IV,
hlm. 1045, as-Samhudi meriwayatkan bahwa Bilal ibn Rabah ketika berada di
daerah Syam bermimpi melihat Rasulullah bersabda kepadanya: "Sudah lama
engkau tidak mengunjungiku wahai Bilal...!" (Ma hadzihi al jafwah).
Ketika terjaga dari tidurnya, Bilal langsung menaiki hewan tunggangannya dan
bergegas menuju Madinah. Setelah sampai di makam Rasulullah, ia meneteskan air
mata dan membolak-balikkan wajahnya di atas tanah makam Rasulullah ".
Al-Hakim meriwayatkan bahwa Rasulullah
bersabda:
" لَيَهْبَطَنَّ
عِيْسَى بْنُ مَرْيَمَ حَكَمًا عَدْلاً وَإِمَامًا مُقْسِطًا وَلَيَسْلُكَنَّ
فَجًّا حَاجًّا أوْ مُعْتَمِرًا أوْ بِنِيَّتِهِمَا وَلَيَأْتِيَنَّ قَبْرِيْ
حَتَّى يُسَلِّمَ عَلَيَّ وَلأرُدَنَّ عَلَيْه " رَوَاهُ الحَاكِمُ
وَصَحَّحَهُ الذَّهَبِيّ
Maknanya: “Sungguh, Isa ibn Maryam akan turun
menjadi penguasa dan Imam yang adil, dia akan menempuh perjalanan untuk pergi
haji atau umrah atau dengan niat keduanya dan sungguh, dia akan mendatangi
makamku sehingga berucap salam kepadaku dan aku pasti akan menjawabnya"
(diriwayatkan oleh al Hakim dalam al Mustadrak dan dishahihkannya serta disetujui oleh adz-Dzahabi).
Al Hafizh 'Abdurrahman ibn al Jawzi
mengisahkan dalam kitabnya, al Wafa bi Ahwaal al Musthafa dan kisah ini
juga dituturkan oleh al Hafizh adl-Dliya' al Maqdisi bahwa Abu Bakr al Minqari
berkata: "Adalah aku, ath-Thabarani dan Abu asy-Syaikh berada di Madinah.
Kami dalam suatu keadaan dan kemudian rasa lapar melilit perut kami, pada hari
itu kami tidak makan. Ketika tiba waktu Isya', aku mendatangi makam Rasulullah
dan mengadu: “Wahai Rasulullah! lapar...lapar”, lalu aku kembali. Abu as-Syaikh
berkata kepadaku: "Duduklah, (mungkin) akan ada rizqi atau (kalau tidak,
kita akan) mati". Abu Bakr melanjutkan kisahnya: "Kemudian aku dan
Abu asy-Syaikh beranjak tidur sedangkan ath-Thabarani duduk melihat sesuatu.
Tiba-tiba datanglah seorang 'Alawi (sebutan bagi orang yang memiliki
garis keturunan dengan Ali dan Fatimah) lalu ia mengetuk pintu dan ternyata ia
ditemani oleh dua orang pembantu yang masing-masing membawa panci besar yang di
dalamnya ada banyak makanan. Maka kami duduk lalu makan. Kami mengira
sisa makanan akan diambil oleh pembantu itu, tapi ternyata ia meninggalkan kami
dan membiarkan sisa makanan itu ada pada kami. Setelah kami selesai makan,
'Alawi itu berkata: "Wahai kaum, apakah kalian mengadu kepada
Rasulullah?, sesungguhnya aku tadi mimpi melihat beliau dan beliau menyuruhku
untuk membawakan sesuatu kepada kalian". Dalam kisah ini, secara jelas
dinyatakan bahwa menurut mereka, mendatangi makam Rasulullah untuk meminta pertolongan
(al Istighatsah) adalah boleh dan baik. Siapapun mengetahui bahwa mereka
bertiga (terutama, ath-Thabarani, seorang ahli hadits kenamaan) adalah
ulama–ulama besar Islam. Dan kalau mau ditelusuri, banyak sekali cerita–cerita
semacam ini .
Dalam kitab asy-Syifa bi Ta'rif Huquq al
Mushthafa, al Qadli 'Iyadl menulis: "Ketika khalifah al Manshur
menunaikan ibadah haji lalu ziarah ke makam Rasulullah, ia bertanya kepada Imam
Malik (guru Imam Syafi'i): "Aku menghadap kiblat dan berdo'a ataukah aku
menghadap (makam) Rasulullah?". Imam Malik menjawab: "Kenapa anda
memalingkan wajah dari beliau sedangkan beliau adalah wasilah anda dan wasilah
bapak anda, Adam ‘alayhissalam ?, menghadaplah kepada beliau dan
berdo'alah kepada Allah agar anda memperoleh syafa'at dari beliau, niscaya
Allah akan menjadikan beliau pemberi syafaat bagi anda". Cerita ini adalah
shahih tanpa ada perselisihan pendapat, sebagaimana yang dikatakan Imam
Taqiyyuddin al Hushni (lihat: Daf'u Syubah man Syabbaha wa Tamarrada,
hlm. 74 dan 115).
Dalam kitab Tuhfah Ibn 'Asakir,
sebagaimana dikutip oleh as-Samhudi dalam Wafa' al Wafa, juz IV, hlm.
1405 bahwa ketika Rasulullah dimakamkan, Fatimah datang kemudian berdiri di
samping makam beliau lalu mengambil segenggam tanah dari makam dan ia letakkan
(sentuhkan) tanah itu ke matanya kemudian ia menangis…".
Dalam kitab al Ilal wa Ma'rifat ar-Rijal,
juz II, hlm. 35, dituturkan bahwa aku (Abdullah, putra Ahmad ibn Hanbal)
bertanya kepadanya (kepada ayahnya, Imam Ahmad) tentang orang yang menyentuh mimbar
nabi dengan niat agar mendapatkan berkah dengan menyentuh dan menciumnya, dan
melakukan hal yang sama atau semacamnya terhadap makam Rasulullah dengan niat
mendekatkan diri kepada Allah 'azza wajalla. Imam Ahmad menjawab:
"Tidak mengapa (la ba'sa bi dzalik)".
Lebih dari itu, para ulama dalam kitab-kitab
karangan mereka telah menjelaskan bahwa ziarah ke makam Rasulullah hukumnya
adalah sunnah dan selalu disebutkan dalam rangkaian manasik haji (lihat
kitab-kitab fiqh tentang manasik haji seperti al Idlah karya an-Nawawi, at-Tadzkirah
karya Ibn 'Aqil al Hanbali dan lain-lain). Dan hukum kesunnahan itu adalah
ijma'. Di antara mereka yang menegaskan hal tersebut adalah Imam Taqiyyuddin
as-Subki dalam kitab Syifa' as-Saqam Fi Ziyarah Khair al Anam, hlm. 65-66,
al Qadli 'Iyadl al Maliki dalam karyanya asy-Syifa bi Ta'rif Huquq al
Mushthafa juz II, hlm. 83, Imam an-Nawawi dalam Matn al 'Idlah fi
al Manasik, hlm. 156, beliau mengatakan tentang ziarah ke makam Rasulullah:
"فَإِنَّهَا
مِنْ أهَمِّ القُرُبَاتِ وَأنْجَحِ المَسَاعِي"
Maknanya: “Ia tergolong hal terpenting
untuk mendekatkan diri kepada Allah dan termasuk usaha paling sukses (baik)".
Selanjutnya adalah al Hafizh adl Dliya' al
Maqdisi dalam Fadlail al A'mal, hlm. 108, beliau menuturkan beberapa
hadits sebagai dalil penguat hal itu, di antaranya:
"مَنْ حَجَّ فَزَارَ قَبْرِيْ بَعْدَ وَفَاتِي فَكَأنَّمَا زَارَنِي فِي
حَيَاتِي"
Maknanya: “Barangsiapa pergi haji
kemudian ziarah ke makamku setelah aku wafat maka seakan-akan ia telah
mengunjungiku sewaktu aku masih hidup".
Ulama lain yang menyatakan kesunnahan ziarah
ke makam Rasulullah adalah al Hafizh Ibn Hajar al 'Asqalany dalam Fath al
Bari juz III, hlm. 65-66, Syekh Taqiyyuddin al Hushni (pengarang Kifayatul
Akhyar) dalam kitabnya Daf'u Syubah Man Syabbaha Wa Tamarrada hlm.
94-95, al Hafizh Abu Zur'ah al 'Iraqi dalam Tharh at-Tatsrib Fi Syarh
at-Taqrib hlm. 43, Syekh Ibn Hajar al Haytami dalam al Jawhar al
Munazhzham Fi Ziyarah al Qabr asy-Syarif an-Nabawi al Mukarram hlm. 27-28
dan masih banyak lagi yang lain.
Seseorang yang berziarah ke makam Rasulullah
dianjurkan untuk berdo'a di sana, sebagaimana hal itu disebutkan oleh
ulama-ulama empat madzhab. Di antaranya adalah Imam Abu Abdillah as-Samiri
dalam al Mustaw'ab, an-Nawawi dalam al 'Idlah, Abu Mansur al
Kirmani al Hanafi dan lain-lain (lihat nama-nama dan pernyataan mereka mengenai
hal ini dalam Daf'u Syubah Man Syabbaha Wa Tamarrada, hlm. 115-116).
Terakhir, penting untuk diketahui bahwa
ziarah ke makam Rasulullah atau ke makam orang-orang shaleh lainnya bukan
berarti menyembah mereka. Mereka hanyalah wasilah (perantara) kita
kepada Allah dalam berdo'a. Karenanya, al Imam Syamsuddin Ibn al Jazary
—seorang imam besar dalam hadits dan ilmu qira'at—menyatakan:
"مِنْ
مَوَاضِع إجَابَةِ الدُّعَاءِ قُبُوْرُ الصَّالِحِيْنَ"
Maknanya: “Termasuk tempat yang sering
menyebabkan do'a terkabul adalah kuburan orang-orang yang shaleh". (al
Hishn al Hashin dan 'Uddah al Hishn al Hashin).
Kalau ada orang yang berziarah ke suatu
makam dengan niat menyembah orang yang ada dalam makam atau dengan membawa
keyakinan bahwa si mayit bisa mendatangkan manfaat atau menolak bahaya dengan
sendirinya tanpa seizin Allah, tentu saja, dia adalah musyrik.
F
Hukum
Ikhtilath antara Laki-laki dan Perempuan
Ketahuilah bahwa sikap berlebih-lebihan dalam agama
adalah sikap yang tidak seharusnya. Yang dituntut dalam hal ini adalah bersikap
adil. Dengan demikian tidak boleh bagi siapapun menghalalkan sesuatu yang
diharamkan Allah dan Rasul-Nya, atau sebaliknya; menghalalkan sesuatu yang telah
diharamkannya. Allah berfirman:
) قل يا أهل الكتاب لا
تغلوا في دينكم( (سورة المائدة: 77)
Maknanya: "Katakanlah
[wahai Muhammad] wahai ahli kitab jangalah kalian berlebih-lebihan dalam
beragama kalian". (Q.S. al Ma-idah : 77)
Rasulullah
berkata kepada Ibn ‘Abbas di Muzdalifah saat melaksanakan haji: “Ambilkan batu
[untuk melempar jumrah] untukku”. Kemudian Ibnu ‘Abbas memungut batu seukuran khazaf
(kerikil sedang). Rasulullah bersabda: “(dengan) Batu-batu seukuran inilah
(kalian melempar jumrah), jauhilah oleh kalian intuk berlebih-lebihan dalam
urusan agama, sesungguhnya berlebih-lebihan dalam agama telah menghancurkan
orang-orang sebelum kalian”.
Ada
pendapat sebagian orang yang berlebih-lebihan dalam menyikapi hukum ikhthilath.
Mereka mengharamkan apa yang tidak diharamkan Allah. Mereka mengharamkan
berkumpulnya kaum laki-laki dan kaum perempuan, padahal bukan khalwah
[berdua-duaan], tidak terdapat persentuhan antara kaum laki-laki dan kaum
perempuan dan kaum perempuan tersebut menutup aurat [tidak membuka kepala atau
semacamnya]. Orang yang mengharamkan semacam ini hanya mengada-ada; mereka
tidak memiliki dalil.
Ikhthilath terbagi
kepada dua bagian; ikhthilath yang boleh dan ikhthilath yang
diharamkan. Ikhthilath yang boleh adalah yang tanpa adanya persentuhan
antara tubuh dan bukan khalwat (berdua-duaan) yang diharamkan. Ikhthilath
yang diharamkan adalah yang terdapat persentuhan [berbaur hingga bersentuhan]
antara kaum laki-laki dan perempuan. Hal ini seperti yang telah dijelaskan oleh
Syekh Ibn Hajar al-Haytami dalam al-Fatawa al-Kubra, dan syekh Ahmad ibn
Yahya al-Wansyuraysyi [ulama abad 10 H] dalam karyanya al-Mi’yar al-Mu’rib; sebuah
kitab yang memuat fatwa-fatwa ahli fiqh daerah Maghrib (Maroko).
Al-Bukhari [4]
, Muslim [5] , at-Tirmidzi [6] dan an-Nasa’i [7]
meriwayatkan dari Abi Hurairah bahwa salah seorang sahabat datang kepada Nabi.
Nabi kemudian menyuruh para isterinya untuk menjamunya sebagai tamu, tapi
mereka berkata: “Kita tidak memiliki apapun (untuk jamuan) kecuali air”.
Kemudian Nabi berkata di hadapan para sahabatnya: “Siapakah yang siap
menjadikannya sebagai tamu?”. Salah seorang sahabat dari kaum Anshar berkata:
“Saya wahai Rasulullah”. Kemudian ia membawa tamu tersebut menuju rumahnya. Ia
berkata kepada isterinya: “Muliakanlah tamu Rasulullah ini !”. Sang isteri
menjawab: “Kita tidak memiliki jamuan kecuali makanan anak kita”. Sahabat
Anshar berkata: “Siapkanlah makanan itu, hidupkanlah lampu dan tidurkanlah
anak-anakmu jika saat [kita hendak] makan malam !”. Kemudian sang isteri
menyiapkan makanan, menghidupkan lampu dan menidurkan anak-anaknya. Setelah itu
ia mendekati lampu seakan hendak membenarkannya, namun ia malah memadamkannya.
Kemudian kedua suami isteri ini mengerak-gerakkan tangannya memperlihatkan
kepada tamu seakan-akan sedang makan. Akhirnya keduanya tidur malam dalam
keadaan lapar. Saat menghadap Rasulullah di pagi harinya, Rasulullah bersabda:
" ضحك الله الليلة أو عجب من
فعالكما"
Kemudian turun firman Allah:
) ويؤثرون
على أنفسهم ولو كان بهم خصاصة، ومن يوق شح نفسه فأولئك هم المفلحون ( (سورة الـحشر:9)
Makna [ضحك] dalam hadits di atas “meridlai” bukan
berarti “tertawa” layaknya manusia. (artinya Allah meridlai apa yang kalian
kerjakan tadi malam). Sebagaimana hal ini dinyatakan al-Hafizh Ibn Hajar dalam Fath
al-Bari [8]. Dalam hal ini jelas sahabat Anshar dan isterinya duduk
bertiga dengan tamu, sebagaimana layaknya berkumpul saling berdekatan antara
orang-orang yang sedang makan. Dan Rasulullah dalam hal ini tidak mencegahnya.
Al-Bukhari meriwayatkan dalam kitab Shahih [9]-nya dari Sahl,
berkata: “Ketika Abu Usaid as-Sa’idi menjadi pengantin, ia mengundang
Rasulullah dan para sahabatnya. Tidak ada yang membuat makanan bagi para tamu
(undangannya) tersebut juga tidak mendekatkan (membawa) makanan kepada mereka
kecuali isterinya; Ummu Usaid”.
Al-Hafizh
Ibnu Hajar berkata: “Dalam hadits ini terdapat keterangan tentang kebolehan
berkhidmahnya seorang isteri terhadap suaminya dan para tamunya. Tentunya hal
ini bila saat aman dari adanya fitnah, juga perempuan tersebut harus dengan
menjaga apa yang seharusnya [menutup aurat]. Juga dalam hadits ini terdapat
keterangan bahwa seorang suami boleh meminta tolong [khidmah] kepada isteri” [10].
Ibn al
Mundzir, salah seorang imam mujtahid, dalam kitabnya al-Awsath, berkata:
“Mengkhabarkan kepada kami ‘Ali ibn ‘Abd al-‘Aziz, ia berkata:: Mengkhabarkan
kepada kami Hajjaj, ia berkata:: Mengkhabarkankan kepada kami dari Tsabit dan
Humaid dari Anas, beliau berkata: Kami bersama Abu Musa al-Asy’ari, kami shalat
di al-Mirbad, kemudian kami duduk di masjid al-Jami’, dan kami melihat al-Mughirah
ibn Syu’bah shalat bersama orang banyak, kaum laki-laki dan kaum perempuan
bercampur, lalu kamipun shalat bersamanya” [11].
Ibnu Hibban
meriwayatkan dari Sahl ibn Sa’d, berkata: “Kami kaum perempuan di masa
Rasulullah diperintah untuk tidak mengangkat kepala hingga kaum laki-laki
mengambil tempat duduknya masing-masing, karena sempitnya pakaian [yang mereka
kenakan]” [12].
Dua hadits
di atas merupakan dalil bahwa berkumpulnya kaum laki-laki dan kaum perempuan
dalam satu tempat adalah sesuatu yang boleh, sekalipun tidak ada penghalang (sitar)
antara mereka. Artinya bahwa ikhthilath antara kaum laki-laki dan kaum
perempuan adalah hal yang boleh selama tidak ada persentuhan. Adapun ikhtilath
yang diharamkan adalah yang disertai dengan adanya persentuhan tubuh.
An-Nawawi
dalam syarahnya terhadap kitab al-Muhadzdzab, berkata: “...karena
sesungguhnya ikhtilath antara kaum laki-laki dan kaum perempuan jika
bukan khalwah adalah sesuatu yang bukan haram” [13].
Perkataan
an-Nawawi di atas sesuai dengan petunjuk hadits Ibn ‘Abbas, bahwa Rasulullah
bersabda bagi kaum perempuan saat mereka berbaiat:
" إنما أنبئكن عن
المعروف الذي لا تعصينني فيه أن لا تخلون بالرجال وحدانا ولا تنحن نوحة الجاهلية
"
Maknanya :
"Aku beritahukan kepada kalian tentang kabaikan (al-Ma’ruf) yang tidak
boleh kalian durhaka kepadaku dalam hal ini; [ialah] janganlah kalian
berkhalwah dengan kaum laki-laki dalam keadaan sendiri dan janganlah kalian
menjerit-jerit [an-Niyahah; karena kematian seseorang] seperti
menjerit-jeritnya kaum jahiliyah". (H.R. Al-Hafizh Ibnu Jarir
at-Thabari)
Para ulama
fiqh telah mencatat bahwa bila ada dua orang laki-laki bersama dengan satu
orang perempuan atau dua orang perempuan dengan satu orang laki-laki bukan
tergolong khalwah yang diharamkan. Syekh Zakariyya al-Anshari
asy-Syafi’i dalam Syarh Raudl ath-Thalib, berkata: “Boleh bagi seorang
laki-laki untuk berkumpul dengan dua orang perempuan yang dapat dipercaya [tsiqah]”
[14]. Demikian pula disebutkan oleh Syekh Muhammad al-Amir al-Maliki [15].
Yang
diharamkan adalah khalwah antara satu orang laki-laki dengan satu orang
perempuan, sebagaimana diterangkan dalam hadits Nabi:
" لا يخلون رجل
بامرأة إلا كان ثالثهما الشيطان "
Maknanya:
"Tidaklah sekali-kali seorang laki-laki berkhalwah dengan seorang
perempuan kecuali orang ketiganya adalah syetan". Hadits Shahih
riwayat at-Tirmidzi [16].
Dalam hadits
lain Rasulullah bersabda:
" لا يدخلن رجل على مغيبة إلا ومعه رجل
أو رجلان "
Maknanya: "Janganlah seorang laki-laki masuk [rumah] seorang
perempuan yang sedang ditinggal suaminya, kecuali bersamanya satu laki-laki
lain atau dua laki-laki”. (H.R. Muslim [17] dan lainnya [18])
Hukum yang diintisarikan dari hadits-hadits di atas ialah bahwa
berkumpulnya antara laki-laki dan perempuan jika tiga orang atau lebih adalah
sesuatu yang boleh. Kebolehan ini berlaku dalam berbagai keadaan [mutlak]; baik
untuk kepentingan dunia selama tidak mengandung kemaksiatan, maupun untuk
kepentingan agama; seperti belajar ilmu agama atau dzikir. Dengan keharusan
perempuannya menutup aurat.
Dengan demikian orang yang mengharamkan berkumpulnya kaum laki-laki dan
kaum perempuan terlebih dengan tujuan belajar ilmu agama maka ia telah
mengharamkan sesuatu yang tidak diharamkan Allah. Ini jelas merupakan kesesatan
dan kebodohan. Padahal dalam hadits telah diriwayatkan bahwa kaum perempuan
shalat berjama’ah bersama Rasulullah. Mereka berada di barisan belakang setelah
barisan kaum laki-laki, dan di antara mereka tidak ada penghalang (sitar).
Kemudian juga dalam Shahih al-Bukhari [19] diriwayatkan
bahwa Rasulullah menyuruh kaum perempuan di hari raya untuk ikut shalat ied di
satu tempat di Madinah di dekat masjid [nabawi]. Saat itu banyak kaum perempuan
muda shalat ied di belakang Rasulullah, sementara kaum perempuan lainnya yang
sedang haidl menyaksikan dari jauh, untuk mendapatkan kebaikan. Dalam beberapa
kesempatan lainnya Rasulullah turun langsung bersama Bilal di mendatangi
(menghampiri) kaum perempuan untuk memberikan wejangan kepada mereka. Kemudian
dalam Shahih al-Bukhari ada sebuah bab yang beliau namakan dengan: “Bab Nasehat
Imam [pemimpin] bagi kaum perempuan di hari raya”.
Dan karena itulah tradisi kaum Muslimin masih berlanjut dari dahulu hingga
sekarang bahwa para ulama menentukan waktu dan tempat khusus di samping masjid
atau di tempat lainnya untuk mengajar kaum perempuan.
Setelah penjelasan panjang lebar yang dikutip dari hadits-hadits shahih dan
pernyataan para ulama di atas, tidak layak bagi seseorang untuk membangkang.
Apakah yang diharapkan dari sikap membangkang jika hadits-hadits shahih
merupakan dalil ?. Para ulama mujtahid memberikan tauladan kepada kita untuk
berpegang teguh dengan teks-teks syari’at yang memang shahih. Simak bagaimana
pernyataan Imam as-Syafi’i: “Jika sebuah hadits telah shahih maka itulah
madzhabku”. As-Syafi’i seorang ulama mujtahid berkata demikian, lantas siapakah
si pembangkang itu dibanding asy-Syafi’i ?!.
___________________________________
[4] Shahih al-Bukhari: Kitab
Manaqib al-Anshar: Bab firman Allah: [ ويؤثرون على أنفسهم ولو كان بهم خصاصة].
[5] Shahih
Muslim: Kitab al-Asyribah: Bab Ikram adl-Dlaif wa Fadli itsarihi.
[6]
Sunan at-Tirmidzi: Kitab Tafsir al-Qur’an min Surat al-Hasyr. Ia
berkata hadits shahih.
[7] Sunan
an-Nasa’i al-Kubra: Kitab at-Tafsir: Bab firman Allah: [ويؤثرون على أنفسهم ولو
كان بهم خصاصة].
[8]
Fath al-Bari (7/120)
[9]
Shahih al-Bukhari: Kitab an-Nikah: Bab Qiyam al-Mar’ah ‘Ala
ar-Rijal Fi al-‘Urs wa khidmatihim bi an-Nafs.
[10]
Fath al-Bari (9/251)
[11]
Lihat Kitab al-Ausat (2/401)
[12]
Lihat al-Ihsan Bi Tartib Shahih Ibn Hibban (3/317)
[13] al-Majmu’
Syarh al-Muhadzdzab (4/484)
[14]
Lihat Syarh ar-Raudl (3/407)
[15]
Lihat Hasyiat al-Amir ‘Ala al-Majmu’ (1/215)
[16]
Jami’ at-tirmidzi: Kitab ar-Radla’.
[17]
Shahih Muslim: Kitab as-Salam: Bab Tahrim al-Khalwah bi al-Mar’ah
al-Ajnabiyyah.
[18]
Ibnu Hibban dalam Shahih-nya (7/442) dan Ahmad
dalam Musnad-nya (2/171, 176, 213).
[19]
Shahih al-Bukhari: Kitab
al-‘Idain: Bab Khuruj
an-Nisa wa al-Huyyadl Ila al-Mushalla.
F
No comments:
Post a Comment