A. Pendahuluan
Isu jender akhir-akhir ini semakin ramai dibicarakan,
walaupun jender itu sendiri tidak jarang diartikan secara keliru. Jender adalah
suatu istilah yang relatif masih baru. Menurut Shorwalter, wacana jender mulai
ramai dibicarakan pada awal tahun 1977, ketika sekelompok feminis di London
tidak lagi memakai isu-isu lama seperti patriarchal atau sexist, tetapi
menggantinya dengan isu Jender (gender discourse).99 Sebelumnya
istilah sex dan gender digunakan secara rancu.
Dimensi teologi jender masih belum banyak dibicarakan,
padahal persepsi masyarakat terhadap jender banyak bersumber dari tradisi
keagamaan. Ketimpangan peran sosial berdasarkan jender (gender inequality)
dianggap sebagai divine creation, segalanya bersumber dari Tuhan. Berbeda
dengan persepsi para feminis yang menganggap ketimpangan itu semata-mata
sebagai konstruksi masyarakat (social construction).
Menurut penelitian para antropolog, masyarakat pra-primitif,
yang biasa juga disebut dengan masyarakat liar (savage society) sekitar sejuta
tahun lalu, menganut pola keibuan (maternal system). Perempuan lebih dominan
dari pada laki-laki di dalam pembentukan suku dan ikatan kekeluargaan. Pada
masa ini terjadi keadilan sosial dan kesetaraan jender.100
Proses peralihan masyarakat dari matriarchal dan ke
patriarchal family telah dijelaskan oleh beberapa teori. Satu di antara teori
itu ialah teori Marxis yang dilanjutkan oleh Engels yang mengemukakan bahwa
perkembangan masyarakat yang beralih dari collective production ke private
property dan sistem exchange yang semakin berkembang, menyebabkan perempuan
tergeser, karena fungsi reproduksi perempuan diperhadapkan dengan faktor
produksi.101
Ada suatu pendekatan lain yang menganggap agama,
khususnya agama-agama Ibrahimiah (Abrahamic religions) sebagai salah satu
faktor menancapnya faham patriarki di dalam masyarakat, karena agama-agama itu
memberikan justifikasi terhadap faham patriarki. Lebih dari itu, agama Yahudi
dan Kristen dianggap mentolerir faham misogyny, suatu faham yang menganggap
perempuan sebagai sumber malapetaka, bermula ketika Adam jatuh dari sorga
karena rayuan Hawa. Pendapat lain mengatakan bahwa peralihan masyarakat
matriarki ke masyarakat patriarki erat kaitannya dengan proses peralihan The
Mother God ke The Father God di dalam mitologi Yunani.
Kajian-kajian tentang jender memang tidak bisa
dilepaskan dari kajian teologis. Hampir semua agama mempunyai
perlakuan-perlakuan khusus terhadap kaum perempuan. Posisi perempuan di dalam
beberapa agama dan kepercayaan ditempatkan sebagai the second sex, dan kalau
agama mempersepsikan sesuatu biasanya dianggap sebagai “as it should be”
(keadaan sebenarnya), bukannya “as it is” (apa adanya).
Ketimpangan peran sosial berdasarkan jender masih
tetap dipertahankan dengan dalih doktrin agama. Agama dilibatkan untuk
melestarikan kondisi di mana kaum perempuan tidak menganggap dirinya sejajar
dengan laki-laki. Tidak mustahil di balik “kesadaran” teologis ini terjadi
manipulasi antropologis bertujuan untuk memapankan struktur patriarki, yang
secara umum merugikan kaum perempuan dan hanya menguntungkan kelas-kelas
tertentu dalam masyarakat.
Pandangan di sekitar teologi jender berkisar pada tiga
hal pokok: pertama, asal-usul kejadian laki-laki dan perempuan, kedua, fungsi
keberadaan laki-laki dan perempuan, ketiga, persoalan perempuan dan dosa
warisan. Ketiga hal ini memang dibahas secara panjang lebar dalam Kitab Suci
beberapa agama. Mitos-mitos tentang asal-usul kejadian perempuan yang
berkembang dalam sejarah umat manusia sejalan dengan apa yang tertera di dalam
Kitab Suci tersebut. Mungkin itulah sebabnya kaum perempuan kebanyakan menerima
kenyataan dirinya sebagai given dari Tuhan. Bahkan tidak sedikit dari mereka
merasa happy jika mengabdi sepenuhnya tanpa reserve kepada suami.
Tidaklah heran jika para feminis –sebagaimana dapat
dilihat dalam buku-buku yang bercorak feminis– memulai pembahasan dan kajiannya
dengan menyorot aspek-aspek teologi, seperti cerita tentang tulang rusuk,
perempuan sebagai helper Adam, dan pelanggaran Hawa dihubungkan dengan dosa warisan
(original sin).
Kata gender berasal dari bahasa Inggris berarti “jenis
kelamin”.102 Dalam Webster’s
New World Dictionary, gender diartikan sebagai perbedaan yang tampak antara
laki-laki dan perempuan dilihat dari segi nilai dan tingkah laku.103
Di dalam Women’s Studies Encyclopedia dijelaskan bahwa
gender adalah suatu konsep kultural yang berupaya membuat pembedaan
(distinction) dalam hal peran, perilaku, mentalitas, dan karakteristik
emosional antara laki-laki dan perempuan yang berkembang dalam masyarakat.104
Hilary M. Lips dalam bukunya yang terkenal Sex &
Gender: an Introduction mengartikan gender sebagai harapan-harapan budaya
terhadap laki-laki dan perempuan (cultural expectations for women and men).105 Pendapat ini
sejalan dengan pendapat kaum feminis, seperti Lindsey yang menganggap semua
ketetapan masyarakat perihal penentuan seseorang sebagai laki-laki atau
perempuan adalah termasuk bidang kajian gender (What a given society defines as
masculine or feminin is a component of gender).106
H. T. Wilson dalam Sex and Gender mengartikan gender
sebagai suatu dasar untuk menentukan pengaruh faktor budaya dan kehidupan
kolektif dalam membedakan laki-laki dan perempuan.107 Agak sejalan
dengan pendapat yang dikutip Showalter yang mengartikan gender lebih dari
sekedar pembedaan laki-laki dan perempuan dilihat dari konstruksi sosial
budaya, tetapi menekankan gender sebagai konsep analisa dalam mana kita dapat
menggunakannya untuk menjelaskan sesuatu (Gender is an analityc concept whose
meanings we work to elucidate, and a subject matter we proceed to study as we
try to define it).108
Kata gender belum masuk dalam perbendaharaan Kamus
Besar Bahasa Indonesia, tetapi istilah tersebut sudah lazim digunakan,
khususnya di Kantor Menteri Negara Urusan Peranan Wanita dengan istilah
“jender”. Jender diartikan sebagai “interpretasi mental dan kultural terhadap
perbedaan kelamin yakni laki-laki dan perempuan. Jender biasanya dipergunakan
untuk menunjukkan pembagian kerja yang dianggap tepat bagi laki-laki dan
perempuan”.109
Dari berbagai definisi di atas dapat disimpulkan bahwa
gender adalah suatu konsep yang digunakan untuk mengidentifikasi perbedaan
laki-laki dan perempuan dilihat dari segi pengaruh sosial budaya. Gender dalam
arti ini adalah suatu bentuk rekayasa masyarakat (social constructions),
bukannya sesuatu yang bersifat kodrati.
Kalau gender secara umum digunakan untuk
mengidentifikasi perbedaan laki-laki dan perempuan dari segi sosial budaya,
maka sex secara umum digunakan untuk mengidentifikasi perbedaan laki-laki dan
perempuan dari segi anatomi biologi.
Istilah sex (dalam kamus bahasa Indonesia juga berarti
“jenis kelamin”) lebih banyak berkonsentrasi kepada aspek biologi seseorang,
meliputi perbedaan komposisi kimia dan hormon dalam tubuh, anatomi fisik,
reproduksi, dan karakteristik biologis lainnya. Sedangkan gender lebih banyak
berkonsentrasi kepada aspek sosial, budaya, psikologis, dan aspek-aspek non
biologis lainnya.
Studi gender lebih menekankan pada aspek maskulinitas
(masculinity) atau feminitas (femininity) seseorang. Berbeda dengan studi sex
yang lebih menekankan kepada aspek anatomi biologi dan komposisi kimia dalam
tubuh laki-laki (maleness) dan perempuan (femaleness). Proses pertumbuhan anak
(child) menjadi seorang laki-laki (being a man) atau menjadi seorang perempuan
(being a woman), lebih banyak digunakan istilah gender dari pada istilah sex.
Istilah sex umumnya digunakan untuk merujuk kepada persoalan reproduksi dan
aktivitas seksual (love-making activities), selebihnya digunakan istilah
gender.
No comments:
Post a Comment