Metode menghilangkan Ta'arud al-Hadith
|
Ilmu
yang membahas dan mengkaji hadith-hadith yang tampaknya saling bertentangan di
sebut dengan ilmu Mukhtalif al-Hadith wa Mushkiluh. Dr. Muhammad 'Ajaj al-Khatib
mendefinisikan ilmu ini dengan:
العلم الذي يبحث في الأحاديث آلتي ظاهرها متعارض فيزيل تعارضها أو يوفق
بينه كما يبحث فى الأحاديث التي يشكل فهمها أو تصورها فيدفع أشكالها ويوضح
حقيقتها
Ulama
telah memberikan perhatian serius terhadap ilmu ini sejak masa sahabat, yang
menjadi rujukan utama segala persoalan setelah Rasulullah SAW wafat. Mereka melakukan ijtihad
mengenai berbagai hukum, memadukan antar berbagai hadith, menjelaskan dan
menerangkan maksudnya. Kemudian generasi demi generasi mengikuti jejak mereka,
mengkompromikan antar hadith yang tampaknya saling bertentangan dan
menghjilangkan kesulitan dalam memahaminya.
Dalam
menghilangkan ta'arudul hadith, para ulama sepakat menggunakan beberapa metode
berikut ini.
Jam'u (mengkompromikan)
Definisinya
adalah:
التوقف بين الدليلين المتعارضين على وجه يزيل تعارضهما
Macam-macam
jama':
Mentakhshis 'Am-nya
Dalam
kitab "al-Minhaj" dan syarahnya, menurut madzab Syafi'iyah, apabila terjadi
pertentangan antara lafad 'am dan khash, maka ada dua kemungkinan. Pertama,
mungkin salah satunya lebih khash (khusus) daripada lainnya secara mutlak.
Kedua, mungkin ke-'am-annya dan ke-khash-annya hanya terletak pada satu sisi
saja.
Apabila
kondisi pertama terjadi maka lafad khash lebih diunggulkan dan diamalkan
daripada lafad 'am-nya. Karena lafad khash masih dapat merealisasikan apa yang
terkandung dalam lafad 'am. Mengamalkan lafad khash berarti mengamalkan
ketentuan kekhususannya dan mengamalkan lafad 'am berarti mengamalkan ketentuan
lain di luar ketentuan yang terkandung dalam lafad khash.
Apabila
kondisi kedua yang terjadi dan terdapat sesuatu yang dapat diunggulkan, maka
itulah yang diamalkan. Namun apabila tidak terdapat sesuatu yang dapat
diunggulkan, maka seorang mujtahid dapat memilih mana diantara keduanya yang
diamalkan. Keduanya tidak dapat diamalkan secara bersamaan. Contoh, hadith
nabi:
Bersamaan
dengan larangan Rasulullah SAW, shalat di waktu
karahah (Makruh).23 Apabila
ditinjau hadith pertama bersifat umum. Namun bila ditinjau dari segi shalatnya,
hadith ini bersifat khusus, karena menunjuk pada sebagian shalat saja, yaitu
shalat qadla' Apabila ditinjau dari segi shalatnya, maka hadith kedua bersifat
umum. Namun apabila ditinjau dari segi waktunya, maka hadith kedua bersifat
khusus, karena menunjuk pada sebagian waktu saja, yaitu waktu makruh. Dari
sinilah madzab Syafi'i mengunggulkan hadith pertama. Sehingga mereka
memperbolehkan mengqada' shalat yang tertinggal pada waktu karahah.
Mentaqyid muthlaq-nya
Mayoritas
ulama berpendapat bahwa lafad muthlaq dapat dipahami secara muqayyat. Artinya,
lafad muthlaq yang terdapat pada salah satu hadith yang bertentangan harus
dipahami secara muqayyad berdasarkan hadith satunya. Sebagaimana contoh hadith
yang berarti:
Bukhari
juga meriwayatkan hadith lain tanpa menyebutkan lafad: "setiap muslim". Turmudzi
berkata,
Dalam
kedua hadith tersebut terdapat obyek hukum yang sama yaitu zakat fitrah, dan
ketentuan hukum yang sama yaitu wajibnya zakat fitrah. Mutlaq dan muqayyadnya
terdapat pada sebab hukumnya, yaitu seseorang yang ditanggung wajib zakatnya
(muzakki). Pada hadith pertama, wajib zakat dibatasi dengan sifat Islam
(muslim), sedang hadith kedua, wajib zakat tidak dibatasi dengan sifat tersebut.
Artinya, lafad mutlaq yang terdapat pada hadith kedua harus dipahami secara
muqayyad berdasarkan hadith pertama. Sehingga zakat fitrah tidak diwajibkan
kecuali pada orang muslim yang menjadi tanggungan wajib zakat. Selanjutnya ulama
berperndapat bahwa zakat tidak diwajibkan kepada selain orang Islam. Begitu
pula, budak (orang yang menjadi tanggungan) yang non Islam.
Nasakh (Menggugurkan salah satunya)
Dengan
menggunakan pertimbangan:
Tarjih
Al-Amidi
mendefinisikan tarjih dengan
اقتران أحد الصالحين للدلالة على المطلوب مع تعارضهما بما يوجب العمل به
وإهمال الأخر
Mayoritas
ulama berpendapat bahwa mengamalkan dalil yang lebih unggul adalah wajib bila
dihubungkan dengan adanya dalil yang tidak unggul (lemah), karena dalil yang
lemah tidak boleh diamalkan, baik pengunggulan (tarjih) tersebut bersifat qath'i
maupun dzanni. Wajib mengutamakan dalil yang lebih unggul dari dua dalil dzanni
yang saling bertentangan jika ada unsur yang mengutamakannya. Sebagaimana mereka
lebih mengunggulkan hadith yang diriwayatkan oleh Aisyah ra. Tentang wajibnya
mandi jinabah, sekalipun bukan karena telah melakukan coitus, yaitu hadith:
الماء من الماء
Alasan
ditarjihnya hadith ini adalah karena istri-istri Nabi SAW. Lebih tahu terhadap perbuatan beliau
daripada orang lain. Para ulama juga lebih mengutamakan hadith yang
dfiriwayatkan oleh Aisyah ra. Berikut ini:
Daripada
hadith yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah:
Adapun
pentarjih-an hadith, para ahl Ushul memberikan beberapa pertimbangan di
dalamnya, meliputi:
|
No comments:
Post a Comment