1.
Al-Imam
Adz-Dzahabi (673-784 H)
Nama lengkapnya Abu
Abdillah Muhammad bin Ahmad bin Utsman bin Qaimaz bin Abdullah adz-Dzahabi
al-Fariqi. Beliau berasal dari negara Turkumanistan, dan Maula Bani Tamim, Beliau
dilahirkan pada tahun 673 H di Mayyafariqin Diyar Bakr. Ia dikenal dengan
kekuatan hafalan, kecerdasan, kewara’an, kezuhudan, kelurusan aqidah dan
kefasihan lisannya.
1)
Guru-gurunya
Beliau menuntut ilmu
sejak usia dini dan ketika berusia 18 tahun menekankan perhatian pada dua
bidang ilmu: Ilmu-ilmu al-Qur’an dan Hadits Nabawi. Beliau menempuh perjalanan
yang jauh dalam mencari ilmu ke Syam, Mesir, dan Hijaz (Mekkah dan Madinah).
Beliau mengambil ilmu dari para ulama di negeri-negeri tersebut. Diantara para
ulama yang menjadi guru-guru beliau adalah:
1. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah
Yang beliau letakkan
namannya paling awal di deretan guru-guru yang memberikan ijazah pada beliau
dalam kitabnya, Mu’jam asy-Syuyukh. Beliau begitu mengagumi Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyah dengan mengatakan, “Dia lebih agung jika aku yang menyifatinya.
Seandainya aku bersumpah di antara rukun dan maqam maka sungguh aku akan
bersumpah bahwa mataku belum pernah melihat yang semisalnya. Tidak…-Demi Allah-
bahkan dia sendiri belum pernah melihat yang semisalnya dalam hal keilmuan.” (Raddul
Wafir , hal. 35)
2. Al-Hafizh Jamaluddin Yusuf bin Abdurman
al-Mizzi
Yang dikatakan oleh
beliau, “Dia adalah sandaran kami jika kami menemui masalah-masalah yang
musykil.” (ad-Durar al-Kaminah,V:235)
3. Al-Hafizh Alamuddin Abdul Qasim bin
Muhammad al-Birzali
Yang menyemangati
beliau dalam belajar ilmu hadits, beliau mengatakan tentangnya: “Dialah yang
menjadikanku mencintai ilmu hadits.” (ad-Durar al-Kaminah, III:323)
Ketiga ulama di atas
adalah yang banyak memberikan pengaruh terhadap kepribadian beliau. Adapun
guru-guru beliau yang lainnya adalah Umar bin Qawwas, Ahmad bin Hibatullah bin
Asakir, Yusuf bin Ahmad al-Ghasuli, Abdul Khaliq bin Ulwan, Zainab bintu Umar
bin Kindi, al-Abuqi, Isa bin Abdul Mun’im bin Syihab, Ibnu Daqiqil ‘Id, Abu
Muhammad ad-Dimyathi, Abul abbas azh-Zhahiri, ali bin Ahmad al-Gharrafi, Yahya
bin ahmad ash-Shawwaf, at-Tauzari, masih banyak lagi yang lainnya.
Al-Imam adz-Dzahabi
memiliki Mu’jam asy-Syuyukh (Daftar Guru-Guru) beliau yang jumlahnya mencapai
3000-an orang (adz-Dzahabi wa Manhajuhu fi Kitabihi, Tarikhil Islam)
2)
Murid-Muridnya
Di antara murid
beliau adalah: Tajuddin as-Subki, Muhammad bin Ali al-Husaini, al-Hafizh Ibnu
kasir, al-Hafizh Ibnu Rajab, dan masih banyak lagi selain mereka.
3)
Pujian
Para Ulama Kepada Beliau
Al-Imam Ibnu
Nashruddin ad-Dimasyqi berkata, “Beliau adalah Ayat (tanda kebesaran Allah-red)
dalam ilmu rijal, sandaran dalam jarh wa ta’dil (ilmu kritik hadits-red)
lantaran mengetahui cabang dan pokoknya, imam dalam qiraat, faqih dalam
pemikiran, sangat paham dengan madzhab-madzhab para imam dan para pemilik
pemikiran, penyebar sunnah dan madzhab salaf di kalangan generasi yang datang
belakangan.” (Raddul Wafir, hal. 13)
Ibnu Katsir berkata,
“Beliau adalah Syaikh al-Hafizh al-kabir, Pakar Tarikh Islam, Syaikhul
muhadditsin ……beliau adalah penutup syuyukh hadits dan huffazhnya.” (al-Bidayah
wa an-Nihayah, XIV:225)
Tajuddin as-Subki
berkata, “Beliau adalah syaikh Jarh wa Ta’dil, pakar Rijal, seakan-akan umat
ini dikumpulkan di satu tempat kemudian beliau melihat dan mengungkapkan seja
mereka.” (Thabaqah Syafi’iyyah Kubra, IX:101)
An-Nabilisi berkata,
“Beliau pakar zamannya dalam hal perawi dan keadaaan-keadaan mereka, tajam
pemahamannya, cerdas, dan ketenarannya sudah mencukupi dari pada menyebutkan
sifat-sifat nya.” (ad-Durar al-Kaminah, III:427)
Ash-Shafadi berkata,
“Beliau seorang hafizh yang tidak tertandingi, penceramah yang tidak tersaingi,
mumpuni dalam hadits dan rijalnya, memiliki pengetahuan yang sempurna tentang
‘illah dan keadaan-keadaannya, memiliki pengetahuan yang sempurna tentang
biografi manusia. Menghilangkan ketidakjelasan dan kekaburan dalam seja
manusia. Beliau memiliki akal yang cerdas, benarlah nisbahnya kepada dzahab
(emas). Beliau mengumpulkan banyak bidang ilmu, memberi manfaat yang banyak
kepada manusia, banyak memiliki karya ilmiah, lebih mengutamakan hal yang
ringkas dalam tulisannya dan tidak berpanjang lebar. Aku telah bertemu dan
berguru kepadanya, dan membaca banyak dari tulisan-tulisannya di bawah
bimbingannya. Aku tidak menjumpai padanya kejumudan, bahkan dia adalah faqih
dalam pandangannya, memiliki banyak pengetahuan tentang perkataan-perkataan
ulama, madzhab-madzahab para imam salaf dan para pemilik pemikiran.” (al-Wafi
bil Wafayat, II:163)
4)
Di
Antara Perkataan-Perkataan Beliau
Al-Imam adz-Dzahabi
berkata, “Tidak sedikit orang yang memusatkan perhatiannya pada ilmu kalam
melainkan ijtihadnya akan membawanya kepada perkataan yang menyelisihi Sunnah.
Karena itulah ulama salaf mencela setiap yang belajar ilmu-ilmu para umat
sebelum Islam. Ilmu kalam turunan dari ilmu para filosof atheis. Barangsiapa
yang sengaja ingin menggabungkan ilmu para nabi dengan ilmu para ahli filsafat
dengan mengandalkan kecerdasannya maka pasti dia akan menyelisihi para nabi dan
para ahli filsafat. Dan barangsiapa yang berjalan di belakang apa yang dibawa
oleh para rasul …..maka sungguh dia telah menempuh jalan salaf dan
menyelamatkan agma dan keyakinannya.” (Mizanul I’tidal, III:144)
Beliau menukil
perkataan ma’mar, “Dahulu dikatakan bahwa seseorang menuntut ilmu untuk selain
Allah maka ilmu itu enggan hingga semata-mata untuk Allah.” Kemudian beliau
mengomentari perkataan ma’mar tersebut dengan mengatakan, “Ya, dia awalnya
menuntut ilmu atas dorongan kecintaan kepada ilmu, agar menghilangkan
kejahilannya, agar mendapat pekerjaan, dan yang semacamnya. Dia belum tahu tentang
wajibnya ikhlas dalam menuntutnya dan kebenaran niat di dalamnya. Maka jika
sudah mengetahuinya, dia hisab dirinya dan takut terhadap akibat buruk dari
niatnya yang keliru, maka datanglah kepada niat yang shahih semuanya atau
sebagiannya. Kadang dia bertaubat dari niatnya yang keliru dan menyesal. Tanda
atas hal itu ialah bahwasanya dia mengurangi dari klaim-klaim, perdebatan, dan
perasaan memiliki ilmu yang banyak, dan dia hinakan dirinya. Adapun jika dia
merasa banyak ilmunya atau mengatakan “saya lebih berilmu dari pada Fulan; maka
sungguh celakalah dia.” (Siyar A’lamin Nubala’ , VII:17)
Beliau berkata, “Yang
dibutuhkan oleh seorang hafizh adalah hendaknya bertakwa, cerdas, mahir Nahwu,
mahir ilmu bahasa, memiliki rasa malu dan bermanhaj salaf.” (Siyar,
XIII:380)
Beliau berkata, “Ahli
hadits sekarang hendaknya memperhatikan kutubs sittah, musnad Ahamd dan Sunan
Baihaqi. Dan hendaknya teliti terhadap matan-matan dan sanad-sanadnya, kemudian
tidak mengambil manfa’at dari hal itu hingga dia bertakwa kepada Rabbnya dan
menjadikan hadits sebagai dasar agama. Kemudian ilmu bukanlah dengan banyak
riwayat, tetapi dia adalah cahaya yang Allah pancarkan ke dalam hati dan
syaratnya adalah ittiba’ (mengikuti nabi Shallallahu alaihi wassalam-red) dan
menjauhkan diri dari hawa nafsu dan kebid’ahan.” (Siyar, XIII:323)
Beliau berkata,
“Kebanyakan ulama pada zaman ini terpaku dengan taqlid dalam hal furu’, tidak
mau mengembangkan ijtihad, tenggelam dalam logika-logika umat terdahulu dan
pemikiran ahli filsafat. Dengan demikian, bencana pun meluas, hawa nafsu
menjadi hukum dan tanda-tanda tercabutnya ilmu semakin nampak. Semoga Allah
memati seseorang yang mau memperhatikan kondisi dirinya, menjaga ucapannya,
selalu membaca al-Qur’an, menangis atas kejadian zaman, memperhatikan kitab
ash-Shahihain dan beribadah kepada Allah sebelum ajal datang secara tiba-tiba.”
(Tadzki al-Huffazh, II:530)
5)
Karya-Karyanya
Beliau memiliki
sekitar 100 karya tulis, di antara karya-karya tulis itu adalah:
1. al-‘Uluww lil ‘Aliyyil Ghaffar
2. Taariikhul Islam
3. Siyar A’laamin Nubalaa’
4. Mukhtashar Tahdziibil Kamaal
5. Miizaanul I’tidaal Fii Naqdir Rijaal
6. Thabaqatul Huffazh
7. Al-Kaasyif Fii Man Lahu Riwaayah Fil
Kutubis Sittah
8. Mukhtashar Sunan al-Baihaqi
9. Halaqatul Badr Fii ‘Adadi Ahli Badr
10. Thabaqatul Qurra’
11. Naba’u Dajjal
12. Tahdziibut Tahdziib
13. Tanqiih Ahaadiitsit Ta’liiq
14. Muqtana Fii al-Kuna
15. Al-Mughni Fii adh-Dhu’afaa’
16. Al-‘Ibar Fii Khabari Man Ghabar
17. Talkhiishul Mustadrak
18. Ikhtishar Taarikhil Kathib
19. Al-Kabaair
20. Tahriimul Adbar
21. Tauqif Ahli Taufiq Fi Manaaqibi ash-Shiddiq
22. Ni’mas Smar Fi Manaaqib ‘Umar
23. At-Tibyaan Fi Manaaqib ‘Utsman
24. Fathul Mathalib Fii Akhbaar Ali bin Abi
Thalib
25. Ma Ba’dal Maut
26. Ikhtishar Kitaabil Qadar Lil Baihaqi
27. Nafdhul Ja’bah Fi Akhbaari Syu’bah
28. Ikhtishar Kitab al-Jihad, ‘Asakir
29. Mukhtashar athraafil Mizzi
30. At-Tajriid Fii Asmaa’ ish Shahaabah
31. Mukhtashar Tariikh Naisabuur, al-Hakim
32. Mukthashar al-Muhalla dan Tartiil
Maudhuu’at, Ibn al-Jauzi
6)
Wafatnya
Ia wafat pada malam
Senin, 3 Dzulqa’dah 748 H, di Damaskus, Syiria dan dimakamkan di pekuburan Bab ash-Shaghir.
2.
Imam Ibnul Qoyyim Al-Jauziyyah (wafat 656 H)
Nama seberanya adalah
Syamsuddin Abu Abdillah Muhammad bin Abi Bakr bin Ayyub bin Sa’ad bin Huraiz
az-Zar’i, kemudian ad-Dimasyqi. Dikenal dengan ibnul Qayyim al-Jauziyyah nisbat
kepada sebuah madrasah yang dibentuk oleh Muhyiddin Abu al-Mahasin Yusuf bin
Abdil Rahman bin Ali al-Jauzi yang wafat pada tahun 656 H, sebab ayah Ibnul
Qayyim adalah tonggak bagi madrasah itu.
Ibnul Qayyim
dilahirkan di tengah keluarga berilmu dan terhormat pada tanggal 7 Shaffar 691
H. Di kampung Zara’ dari perkampungan Hauran, sebelah tenggara Dimasyq
(Damaskus) sejauh 55 mil.
1)
Pertumbuhan
dan Thalabul Ilminya
Ia belajar ilmu
faraidl dari bapaknya karena beliau sangat menonjol dalam ilmu itu. Belajar
bahasa Arab dari Ibnu Abi al-Fath al-Baththiy dengan membaca kitab-kitab:
(al-Mulakhkhas li Abil Balqa’ kemudian kitab al-Jurjaniyah, kemudian Alfiyah
Ibnu Malik, juga sebagian besar Kitab al-kafiyah was Syafiyah dan sebagian
at-Tas-hil). Di samping itu belajar dari syaikh Majduddin at-Tunisi satu bagian
dari kitab al-Muqarrib li Ibni Ushfur.
Belajar ilmu Ushul
dari Syaikh Shafiyuddin al-Hindi, Ilmu Fiqih dari Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah
dan Syaikh Isma’il bin Muhammad al-Harraniy.
Beliau amat cakap
dalam hal ilmu melampaui teman-temannya, masyhur di segenap penjuru dunia dan
amat dalam pengetahuannya tentang madzhab-madzhab Salaf.
Pada akhirnya beliau
benar-benar bermulazamah secara total (berguru secara intensif) kepada Ibnu
Taimiyah sesudah kembalinya Ibnu Taimiyah dari Mesir tahun 712 H hingga
wafatnya tahun 728 H.
Pada masa itu, Ibnul
Qayyim sedang pada awal masa-masa mudanya. Oleh karenanya beliau sempat
betul-betul mereguk sumber mata ilmunya yang luas. Beliau dengarkan
pendapat-pendapat Ibnu Taimiyah yang penuh kematangan dan tepat. Oleh karena
itulah Ibnul Qayyim amat mencintainya, sampai-sampai beliau mengambil
kebanyakan ijtihad-ijtihadnya dan memberikan pembelaan atasnya. Ibnul Qayyim
yang menyebarluaskan ilmu Ibnu Taimiyah dengan cara menyusun karya-karyanya yang
bagus dan dapat diterima.
Ibnul Qayyim pernah
dipenjara, dihina dan diarak berkeliling bersama Ibnu Taimiyah sambil didera
dengan cambuk di atas seekor onta. Setelah Ibnu Taimiyah wafat, Ibnul Qayyim
pun dilepaskan dari penjara.
Sebagai hasil dari
mulazamahnya (bergurunya secara intensif) kepada Ibnu Taimiyah, beliau dapat
mengambil banyak faedah besar, diantaranya yang penting ialah berdakwah
mengajak orang supaya kembali kepada kitabullah Ta’ala dan sunnah Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam yang shahihah, berpegang kepada keduanya, memahami
keduanya sesuai dengan apa yang telah difahami oleh as-Salafus ash-Shalih,
membuang apa-apa yang berselisih dengan keduanya, serta memperbaharui segala
petunjuk ad-Din yang pernah dipalajarinya secara benar dan membersihkannya dari
segenap bid’ah yang diada-adakan oleh kaum Ahlul Bid’ah berupa manhaj-manhaj
kotor sebagai cetusan dari hawa-hawa nafsu mereka yang sudah mulai berkembang
sejak abad-abad sebelumnya, yakni: Abad kemunduran, abad jumud dan taqlid buta.
Beliau peringatkan
kaum muslimin dari adanya khurafat kaum sufi, logika kaum filosof dan zuhud
model orang-orang hindu ke dalam fiqrah Islamiyah.
Ibnul Qayyim
rahimahullah telah berjuang untuk mencari ilmu serta bermulazamah bersama para
Ulama supaya dapat memperoleh ilmu mereka dan supaya bisa menguasai berbagai
bidang ilmu Islam.
Penguasaannya
terhadap Ilmu Tafsir tiada bandingnya, pemahamannya terhadap Ushuluddin
mencapai puncaknya dan pengetahuannya mengenai Hadits, makna hadits, pemahaman
serta Istinbath-Istinbath rumitnya, sulit ditemukan tandingannya.
Semuanya itu menunjukkan bahwa beliau rahimahullah amat teguh berpegang pada prinsip, yakni bahwa “Baiknya” perkara kaum Muslimin tidak akan pernah terwujud jika tidak kembali kepada madzhab as-Salafus ash-Shalih yang telah mereguk ushuluddin dan syari’ah dari sumbernya yang jernih yaitu Kitabullah al-‘Aziz serta sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam asy-syarifah. Oleh karena itu beliau berpegang pada (prinsip) ijtihad serta menjauhi taqlid. Beliau ambil istinbath hukum berdasarkan petunjuk al-Qur’anul Karim, Sunnah Nabawiyah syarifah, fatwa-fatwa shahih para shahabat serta apa-apa yang telah disepakati oleh ahlu ats tsiqah (ulama terpercaya) dan A’immatul Fiqhi (para imam fiqih).
Semuanya itu menunjukkan bahwa beliau rahimahullah amat teguh berpegang pada prinsip, yakni bahwa “Baiknya” perkara kaum Muslimin tidak akan pernah terwujud jika tidak kembali kepada madzhab as-Salafus ash-Shalih yang telah mereguk ushuluddin dan syari’ah dari sumbernya yang jernih yaitu Kitabullah al-‘Aziz serta sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam asy-syarifah. Oleh karena itu beliau berpegang pada (prinsip) ijtihad serta menjauhi taqlid. Beliau ambil istinbath hukum berdasarkan petunjuk al-Qur’anul Karim, Sunnah Nabawiyah syarifah, fatwa-fatwa shahih para shahabat serta apa-apa yang telah disepakati oleh ahlu ats tsiqah (ulama terpercaya) dan A’immatul Fiqhi (para imam fiqih).
Dengan kemerdekaan
fikrah dan gaya bahasa yang logis, beliau tetapkan bahwa setiap apa yang dibawa
oleh Syari’ah Islam, pasti sejalan dengan akal dan bertujuan bagi kebaikan
serta kebahagiaan manusia di dunia maupun di akhirat. Beliau rahimahullah
benar-benar menyibukkan diri dengan ilmu dan telah benar-benar mahir dalam
berbagai disiplin ilmu, namun demikian beliau tetap terus banyak mencari ilmu,
siang maupun malam dan terus banyak berdo’a.
2)
Sasarannya
Sesungguhnya Hadaf
(sasaran) dari Ulama Faqih ini adalah hadaf yang agung. Beliau telah susun
semua buku-bukunya pada abad ke-tujuh Hijriyah, suatu masa dimana kegiatan
musuh-musuh Islam dan orang-orang dengki begitu gencarnya. Kegiatan yang telah
dimulai sejak abad ketiga Hijriyah ketika jengkal demi jengkal dunia mulai
dikuasai Isalam, ketika panji-panji Islam telah berkibar di semua sudut bumi
dan ketika berbagai bangsa telah banyak masuk Islam; sebahagiannya karena iman,
tetapi sebahagiannya lagi terdiri dari orang-orang dengki yang menyimpan dendam
kesumat dan bertujuan menghancurkan (dari dalam pent.) dinul Hanif (agama
lurus). Orang-orang semacam ini sengaja melancarkan syubhat (pengkaburan)-nya
terhadap hadits-hadits Nabawiyah Syarif dan terhadap ayat-ayat al-Qur’anul
Karim.
Mereka banyak membuat
penafsiran, ta’wil-ta’wil, tahrif, serta pemutarbalikan makna dengan maksud
menyebarluaskan kekaburan, bid’ah dan khurafat di tengah kaum Mu’minin.
Maka adalah satu
keharusan bagi para A’immatul Fiqhi serta para ulama yang memiliki semangat
pembelaan terhadap ad-Din, untuk bertekad memerangi musuh-musuh Islam beserta
gang-nya dari kalangan kaum pendengki, dengan cara meluruskan penafsiran secara
shahih terhadap ketentuan-ketentuan hukum syari’ah, dengan berpegang kepada
Kitabullah wa sunnatur Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai bentuk
pengamalan dari Firman Allah Ta’ala: “Dan Kami turunkan Al Qur’an kepadamu,
agar kamu menerangkan kepada Umat manusia apa yang telah diturunkan kepada
mereka.” (an-Nahl:44).
Juga firman Allah
Ta’ala, “Dan apa-apa yang dibawa Ar Rasul kepadamu maka ambillah ia, dan
apa-apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah.” (al-Hasyr:7).
3)
Murid-Muridnya
Ibnul Qayyim
benar-benar telah menyediakan dirinya untuk mengajar, memberi fatwa, berdakwah
dan melayani dialog. Karena itulah banyak manusia-manusia pilihan dari kalangan
para pemerhati yang menempatkan ilmu sebagai puncak perhatiannya, telah
benar-benar menjadi murid beliau.
Mereka itu adalah
para Ulama terbaik yang telah terbukti keutamaannya, di antaranya ialah: anak
beliau sendiri bernama Syarafuddin Abdullah, anaknya yang lain bernama Ibrahim,
kemudian Ibnu Katsir ad-Dimasyqiy penyusun kitab al-Bidayah wan Nihayah, al-Imam
al-Hafizh Abdurrahman bin Rajab al-Hambali al-Baghdadi penyusun kitab Thabaqat
al-Hanabilah, Ibnu Abdil Hadi al-Maqdisi, Syamsuddin Muhammad bin Abdil Qadir
an-Nablisiy, Ibnu Abdirrahman an-Nablisiy, Muhammad bin Ahmad bin Utsman bin
Qaimaz adz-Dzhahabi at-Turkumaniy asy-Syafi’i, Ali bin Abdil Kafi bin Ali bin
Taman As Subky, Taqiyussssddin Abu ath-Thahir al-Fairuz asy-Syafi’i dan
lain-lain.
4)
Aqidah
Dan Manhajnya
Adalah Aqidah Ibnul
Qayyim begitu jernih, tanpa ternodai oleh sedikit kotoran apapun, itulah sebabnya,
ketika beliau hendak membuktikan kebenaran wujudnya Allah Ta’ala, beliau ikuti
manhaj al-Qur’anul Karim sebagai manhaj fitrah, manhaj perasaan yang salim dan
sebagai cara pandang yang benar. Beliau –rahimahullah- sama sekali tidak mau
mempergunakan teori-teori kaum filosof.
Ibnul Qayiim
rahimahullah mengatakan, “Perhatikanlah keadaan alam seluruhnya –baik alam
bawah maupun- alam atas dengan segala bagian-bagaiannya, niscaya anda akan
temui semua itu memberikan kesaksian tentang adanya Sang Pembuat, Sang Pencipta
dan Sang Pemiliknya. Mengingkari adanya Pencipta yang telah diakui oleh akal
dan fitrah berarti mengingkari ilmu, tiada beda antara keduanya. Bahwa telah
dimaklumi; adanya Rabb Ta’ala lebih gamblang bagi akal dan fitrah dibandingkan
dengan adanya siang hari. Maka barangsiapa yang akal serta fitrahnya tidak
mampu melihat hal demikian, berarti akal dan fitrahnya perlu dipertanyakan.”
Hadirnya Imam Ibnul
Qayyim benar-benar tepat ketika zaman sedang dilanda krisis internal berupa
kegoncangan dan kekacauan (pemikiran Umat Islam–Pent.) di samping adanya
kekacauan dari luar yang mengancam hancurnya Daulah Islamiyah. Maka wajarlah
jika anda lihat Ibnul Qayyim waktu itu memerintahkan untuk membuang perpecahan
sejauh-jauhnya dan menyerukan agar umat berpegang kepada Kitabullah Ta’ala
serta Sunnah Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Manhaj serta hadaf
Ibnul Qayyim rahimahullah ialah kembali kepada sumber-sumber dinul Islam
yang suci dan murni, tidak terkotori oleh ra’yu-ra’yu (pendapat-pendapat) Ahlul
Ahwa’ wal bida’ (Ahli Bid’ah) serta helah-helah (tipu daya) orang-orang yang
suka mempermainkan agama.
Oleh sebab itulah
beliau rahimahullah mengajak kembali kepada madzhab salaf; orang-orang yang
telah mengaji langsung dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Merekalah sesungguhnya yang dikatakan sebagai ulama waratsatun nabi (pewaris
nabi) shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dalam pada itu, tidaklah Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam mewariskan dinar atau dirham, tetapi beliau
mewariskan ilmu. Berkenaan dengan inilah, Sa’id meriwayatkan dari Qatadah
tentang firman Allah Ta’ala, “Dan orang-orang yang diberi ilmu (itu)
melihat bahwa apa yang diturunkan kepadamu dari Rabb mu itulah yang haq.”
(Saba’:6).
Qotadah mengatakan,
“Mereka (orang-orang yang diberi ilmu) itu ialah para sahabat Muhammad shallallahu
‘alaihi wa sallam.” Di samping itu, Ibnul Qayyim juga mengumandangkan
bathilnya madzhab taqlid.
Kendatipun beliau
adalah pengikut madzhab Hanbali, namun beliau sering keluar dari pendapatnya
kaum Hanabilah, dengan mencetuskan pendapat baru setelah melakukan kajian
tentang perbandingan madzhab-madzhab yang masyhur.
Mengenai pernyataan
beberapa orang bahwa Ibnul Qayyim telah dikuasai taqlid terhadap imam madzhab
yang empat, maka kita memberi jawaban sebagai berikut, Sesungguhnya Ibnul
Qayyim rahimahullah amat terlalu jauh dari sikap taqlid. Betapa sering
beliau menyelisihi madzhab Hanabilah dalam banyak hal, sebaliknya betapa sering
beliau bersepakat dengan berbagai pendapat dari madzhab-madzhab yang
bermacam-macam dalam berbagai persoalan lainnya.
Memang, prinsip
beliau adalah ijtihad dan membuang sikap taqlid. Beliau rahimahullah senantiasa
berjalan bersama al-Haq di mana pun berada, ittijah (cara pandang)-nya dalam
hal tasyari’ adalah al-Qur’an, sunnah serta amalan-amalan para sahabat,
dibarengi dengan ketetapannya dalam berpendapat manakala melakukan suatu
penelitian dan manakala sedang berargumentasi.
Di antara da’wahnya
yang paling menonjol adalah da’wah menuju keterbukaan berfikir. Sedangkan
manhajnya dalam masalah fiqih ialah mengangkat kedudukan nash-nash yang memberi
petunjuk atas adanya sesuatu peristiwa, namun peristiwa itu sendiri sebelumnya
belum pernah terjadi.
Adapun cara
pengambilan istinbath hukum, beliau berpegang kepada al-Kitab, as-Sunnah, Ijma’
Fatwa-fatwa shahabat, Qiyas, Istish-habul Ashli (menyandarkan persoalan cabang
pada yang asli), al-Mashalih al-Mursalah, Saddu adz-Dzari’ah (tindak preventif)
dan al-‘Urf (kebiasaan yang telah diakui baik).
5)
Ujian
Yang Dihadapi
Adalah wajar jika
orang ‘Alim ini, seorang yang berada di luar garis taqlid turun temurun dan
menjadi penentang segenap bid’ah yang telah mengakar, mengalami tantangan
seperti banyak dihadapi oleh orang-orang semisalnya, menghadapi suara-suara
sumbang terhadap pendapat-pendapat barunya.
Orang-orang pun
terbagi menjadi dua kubu: Kubu yang fanatik kepadanya dan kubu lainnya kontra.
Oleh karena itu, beliau rahimahullah menghadapi berbagai jenis siksaan. Beliau
seringkali mengalami gangguan. Pernah dipenjara bersama Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyah secara terpisah-pisah di penjara al-Qal’ah dan baru dibebaskan setelah
Ibnu Taimiyah wafat.
Hal itu disebabkan
karena beliau menentang adanya anjuran agar orang pergi berziarah ke kuburan
para wali. Akibatnya beliau disekap, dihinakan dan diarak berkeliling di atas
seekor onta sambil didera dengan cambuk.
Pada saat di penjara,
beliau menyibukkan diri dengan membaca al-Qur’an, tadabbur dan tafakkur.
Sebagai hasilnya, Allah membukakan banyak kebaikan dan ilmu pengetahuan
baginya. Di samping ujian di atas, ada pula tantangan yang dihadapi dari para
qadhi karena beliau berfatwa tentang bolehnya perlombaan pacuan kuda asalkan
tanpa taruhan. Sungguhpun demikian Ibnul Qayyim rahimahullah tetap konsisten
(teguh) menghadapi semua tantangan itu dan akhirnya menang. Hal demikian
disebabkan karena kekuatan iman, tekad serta kesabaran beliau. Semoga Allah
melimpahkan pahala atasnya, mengampuninya dan mengampuni kedua orang tuanya
serta segenap kaum muslimin.
6)
Pujian
Ulama Terhadapnya
Sungguh Ibnul Qayyim rahimahullah
teramat mendapatkan kasih sayang dari guru-guru maupun muridnya. Beliau adalah
orang yang teramat dekat dengan hati manusia, amat dikenal, sangat cinta pada
kebaikan dan senang pada nasehat. Siapa pun yang mengenalnya tentu ia akan
mengenangnya sepanjang masa dan akan menyatakan kata-kata pujian bagi beliau.
Para Ulama pun telah memberikan kesaksian akan keilmuan, kewara’an, ketinggian
martabat serta keluasan wawasannya.
Ibnu Hajar pernah
berkata mengenai pribadi beliau, “Dia adalah seorang yang berjiwa pemberani,
luas pengetahuannya, faham akan perbedaan pendapat dan madzhab-madzhab salaf.”
Di sisi lain, Ibnu
Katsir mengatakan, “Beliau seorang yang bacaan Al-Qur’an serta akhlaqnya
bagus, banyak kasih sayangnya, tidak iri, dengki, menyakiti atau mencaci seseorang.
Cara shalatnya panjang sekali, beliau panjangkan ruku’ serta sujudnya hingga
banyak di antara para sahabatnya yang terkadang mencelanya, namun beliau
rahimahullah tetap tidak bergeming.”
Ibnu Katsir berkata
lagi, “Beliau rahimahullah lebih didominasi oleh kebaikan dan akhlaq
shalihah. Jika telah usai shalat Shubuh, beliau masih akan tetap duduk di
tempatnya untuk dzikrullah hingga sinar matahari pagi makin meninggi. Beliau
pernah mengatakan, ‘Inilah acara rutin pagi buatku, jika aku tidak mengerjakannya
nicaya kekuatanku akan runtuh.’ Beliau juga pernah mengatakan, ‘Dengan
kesabaran dan perasaan tanpa beban, maka akan didapat kedudukan imamah dalam
hal din (agama).’”
Ibnu Rajab pernah
menukil dari adz-Dzahabi dalam kitabnya al-Mukhtashar, bahwa adz-Dzahabi
mengatakan, “Beliau mendalami masalah hadits dan matan-matannya serta
melakukan penelitian terhadap rijalul hadits (para perawi hadits). Beliau juga
sibuk mendalami masalah fiqih dengan ketetapan-ketetapannya yang baik,
mendalami nahwu dan masalah-masalah Ushul.”
7)
Tsaqafahnya
Ibnul Qayyim rahimahullah
merupakan seorang peneliti ulung yang ‘Alim dan bersungguh-sungguh. Beliau
mengambil semua ilmu dan mengunyah segala tsaqafah yang sedang jaya-jayanya
pada masa itu di negeri Syam dan Mesir.
Beliau telah menyusun
kitab-kitab fiqih, kitab-kitab ushul, serta kitab-kitab sirah dan tarikh.
Jumlah tulisan-tulisannya tiada terhitung banyaknya, dan diatas semua itu,
keseluruhan kitab-kitabnya memiliki bobot ilmiah yang tinggi. Oleh karenanyalah
Ibnul Qayyim pantas disebut kamus segala pengetahuan ilmiah yang agung.
8)
Karya-Karyanya
Beliau rahimahullah
memang benar-benar merupakan kamus berjalan, terkenal sebagai orang yang
mempunyai prinsip dan beliau ingin agar prinsipnya itu dapat tersebarluaskan.
Beliau bekerja keras demi pembelaannya terhadap Islam dan kaum muslimin.
Buku-buku karangannya
banyak sekali, baik yang berukuran besar maupun berukuran kecil. Beliau telah
menulis banyak hal dengan tulisan tangannya yang indah. Beliau mampu menguasai
kitab-kitab salaf maupun khalaf, sementara orang lain hanya mampun menguasai
sepersepuluhnya.
Beliau teramat senang
mengumpulkan berbagai kitab. Oleh sebab itu Imam ibnul Qayyim terhitung sebagai
orang yang telah mewariskan banyak kitab-kitab berbobot dalam pelbagai cabang
ilmu bagi perpustakaan-perpustakaan Islam dengan gaya bahasanya yang khas;
ilmiah lagi meyakinkan dan sekaligus mengandung kedalaman pemikirannya
dilengkapi dengan gaya bahasa nan menarik.
9)
Beberapa
Karyanya
1. Tahdzib Sunan Abi Daud,
2. I’lam al-Muwaqqi’in ‘an Rabbil ‘Alamin,
3. Ighatsatul Lahfan fi Hukmi Thalaqil
Ghadlban,
4. Ighatsatul Lahfan fi Masha`id
asy-Syaithan,
5. Bada I’ul Fawa’id,
6. Amtsalul Qur’an,
7. Buthlanul Kimiya’ min Arba’ina wajhan,
8. Bayan ad-Dalil ’ala istighna’il
Musabaqah ‘an at-Tahlil,
9. At-Tibyan fi Aqsamil Qur’an,
10. At-Tahrir fi maa yahillu wa yahrum
minal haris,
11. Safrul Hijratain wa babus Sa’adatain,
12. Madarijus Salikin baina manazil Iyyaka na’budu
wa Iyyaka nasta’in,
13. Aqdu Muhkamil Ahya’ baina al-Kalimit
Thayyib wal Amais Shalih al-Marfu’ ila Rabbis Sama’
14. Syarhu Asma’il Kitabil Aziz,
15. Zaadul Ma’ad fi Hadyi Kairul Ibad,
16. Zaadul Musafirin ila Manazil as-Su’ada’
fi Hadyi Khatamil Anbiya’
17. Jala’ul Afham fi dzkris shalati ‘ala
khairil Am,.
18. Ash-Shawa’iqul Mursalah ‘Alal Jahmiyah
wal Mu’aththilah,
19. Asy-Syafiyatul Kafiyah fil Intishar lil
firqatin Najiyah,
20. Naqdul Manqul wal Muhakkil Mumayyiz
bainal Mardud wal Maqbul,
21. Hadi al-Arwah ila biladil Arrah,
22. Nuz-hatul Musytaqin wa raudlatul
Muhibbin,
23. al-Jawabul Kafi Li man sa`ala ’anid
Dawa`is Syafi,
24. Tuhfatul Wadud bi Ahkamil Maulud,
25. Miftah daris Sa’adah,
26. Ijtima’ul Juyusy al-Islamiyah ‘ala
Ghazwi Jahmiyyah wal Mu’aththilah,
27. Raf’ul Yadain fish Shalah,
28. Nikahul Muharram,
29. Kitab tafdlil Makkah ‘Ala al-Madinah,
30. Fadl-lul Ilmi,
31. ‘Uddatus Shabirin wa Dzakhiratus
Syakirin,
32. al-Kaba’ir,
33. Hukmu Tarikis Shalah,
34. Al-Kalimut Thayyib,
35. Al-Fathul Muqaddas,
36. At-Tuhfatul Makkiyyah,
37. Syarhul Asma il Husna,
38. Al-Masa`il ath-Tharablusiyyah,
39. Ash-Shirath al-Mustaqim fi Ahkami Ahlil
Jahim,
40. Al-Farqu bainal Khullah wal Mahabbah wa
Munadhorotul Khalil li qaumihi,
41. Ath-Thuruqul Hikamiyyah, dan masih
banyak lagi kitab-kitab serta karya-karya besar beliau yang digemari oleh
berbagai pihak.
10)
Wafatnya
Ibnul-Qoyyim
meninggal dunia pada waktu isya’ tanggal 13 Rajab 751 H. Ia dishalatkan di
Mesjid Jami’ Al-Umawi dan setelah itu di Masjid Jami’ Jarrah; kemudian
dikuburkan di Pekuburan Babush Shagir.
No comments:
Post a Comment