Sunday, November 26, 2017

JAM’U AL-QUR’AN WAL KITABAH

BAB I
PENDAHULUAN

A.       Latar Belakang Masalah
Al-Qur’an merupakan sumber rujukan utama yang menempati posisi sentral bagi seluruh disiplin ilmu ke Islaman. Kitab suci ini, di samping menjadi al-huda (petunjuk), juga sebagai al-bayyinah (penjelas) serta menjadi al-furqan (pemisah antara yang benar dan yang salah) yang menurut sementara ulama, diturunkan dalam kurun waktu kurang lebih dua puluh dua tahun, dua bulan dan dua puluh dua hari.[1]
Salah satu yang sangat dibanggakan umat islam dari dahulu hingga sekarang ini adalah keontitikan Al-Qur’an yang merupakan warisan Islam terpenting dan paling berharga. Meskipun Mushab yang kita kenal sekarang ini berdasarkan Rasm Utsman Bin Affan (Al-Mushaf ‘ala Al-Rasm Al-Utsman) akan tetapi sebenarnya ia tidak begitu saja muncul sebagai sebuah karya besar yang hampa dari proses panjang yang telah dilalu pada masa-masa sebelumnya.[2]
Proses ini dimulai pada masa Rasulullah Saw, setiap kali menerima wahyu Al-Qur’an, Rasulullah langsung mengingat, menghafalnya dan memberitahukan serta membacakannya kepada para sahabat, agar mereka mengingat dan menghafalnya pula.[3]
Ada beberapa faktor yang terlebih dahulu harus dikemukakan dalam rangka pembahasan pada makalah ini, yang merupakan faktor-faktor pendukung bagi pembuktian otentitas Al-Qur’an.
1.      Masyarakat Arab yang hidup pada masa turunnya Al-Qur’an adalah masyarakat yang tidak mengenal baca tulis.
2.      Masyararakat Arab, khususnya pada masa turunnya Al-Qur’an dikenal sebagai masyarakat sederhana dan bersahaja.
3.      Masyarakat Arab sangat gandrung lagi membanggakan kesusastraan; mereka bahkan melakukan perlombaan-perlombaan dalam bidang ini pada waktu-waktu tertentu.
4.      Al-Qur’an mencapai tingkat tertinggi dari segi keindahan bahasanya dan sangat mengagumkan bukan saja bagi orang mukmin, tetapi juga orang kafir.
5.      Al-Qur’an demikian pula Rasulullah saw, menganjurkan kepada kaum muslim untuk memperbanyak membaca dan mempelajari Al-Qur’an dan anjuran tersebut mendapat sambutan hangat.
6.      Ayat-ayat Al-qur’an turun berdialog dengan mereka, mengomentari keadaan dan peristiwa-peristiwa yang mereka alami, samping itu, ayat-ayat Al-qur’an turun sedikit demi sedikit.
7.      Dalam Al-Qur’an, demikian pula hadis-hadis Nabi, ditemukan petunjuk-petunjuknya yang mendorong para sahabatnya untuk selalu bersifat teliti dan hati-hati dalam menyampaikan berita, lebih-lebih kalau berita tersebut merupakan Firman-firman Allah atau Sabda Rasulullah Saw.[4]
Dari hal tersebut di atas, maka menarik untuk dikaji, khususnya aspek sejarah dari proses pengumpulan al-Qur’an pada masa Rasulullah saw sampai pada masa sahabat, dan juga usaha lanjutan pemeliharaan al-Qur’an pasca Khulafa’al-Rasyidun.
B.       Rumusan Masalah
Berdasarkan pada latar belakang di atas, maka adapun yang menjadi rumusan masalah pada makalah ini adalah sebagai berikut :
1.      Apa pengertian jam’u Qur’an wal kitabah ?
2.      Bagaimana pengumpulan al-Qur’an pada masa Nabi Muhammad saw?
3.      Bagaimana pengumpulan al-Qur’an pada masa Khulafa’ al-Rasyidun?
4.      Bagaimana usaha lanjutan pemeliharaan al-Qur’an pasca Khulafa’ al-Rasyidun.

C.       Tujuan Penulisan
Berdasarkan pada rumusan masalah di atas, maka adapun tujuan penulisan yang diharapkan penulis dapat dicapai, adalah sebagai berikut:
1.      Untuk mengetahui pengertian Jam’u Qur’an wal Kitabah !
2.      Untuk mengetahui pengumpulan Al-qur’an pada masa Nabi Muhammad saw !
3.      Untuk mengetahui pengumpulan Al-Qur’an pada masa Khulafaur rasyidin !
4.      Untuk mengetahui usaha lanjutan pemeliharaan Al-Qur’an pasca Kuhlafau Rasyidin !




















BAB II
PEMBAHASAN

A.       Pengertian Jam’u Qur’an Wal Kitabah
Kata Al-Jam’u berasal dari kata ”Jama’a – Yajma’u – Jam’an” yang berarti pengumpulan atau penghimpunan. Adapun makna Al-Qur’an menurut bahasa, kata Qur’an adalah bentuk masdar (kata benda verbal) dari qara’a yang berarti membaca, baik membaca dengan melihat tulisan ataupun secara menghafal. Jadi Jam’ul Qur’an berarti upaya mengumpulkan Al-Qur’an yang berserakan untuk diteliti dan diselidiki.
Menurut Mardan, yang dimaksud dengan ’pengumpulan’ (pengkodifikasian) Al-Qur’an di kalangan ulama adalah salah satu dari dua pengertian berikut :
1.      Jam’ul Qur’an dalam arti hifzuhu (menghafalnya dalam hati). Inilah makna yang dimaksudkan dalam firman Allah kepada Nabi :
لا تُحَرِّكْ بِهِ لِسانَكَ لِتَعْجَلَ بِه. إِنَّ عَلَيْنا جَمْعَهُ وَ قُرْآنَهُ. فَإِذا قَرَأْناهُ فَاتَّبِعْ قُرْآنَهُ . ثُمَّ إِنَّ عَلَيْنا بَيانَهُ ِ
Artinya : Janganlah kamu gerakkan lidahmu karena tergesa-gesa ingin (membaca) Al-Qur’an. Karena mengumpulkan dan membacanya adalah tanggungan Kami. Apabila Kami telah selesai membacakannya, maka ikutilah bacaannya itu. Kemudian, penjelasannya adalah (juga) tanggungan Kami. (QS. Al-Qiyamah:16-19).[5]
Nabi senantiasa menggerak-gerakkan kedua bibir dan lidahnya untuk membaca Al-Qur’an, ketika diturunkan kepadanya sebelum Jibril selesai membacakanya, karena ingin menghafalnya.
2.      Jam’ul Qur’an dalam arti kitabatuhu kullihi (penulisan Al-Qur’an semuanya). Ini dimaksudkan adalah baik dengan memisah-misahkan ayat-ayat dan surah-surahnya, atau menertibkan ayat-ayat semata, baik setiap surah ditulis dalam suatu lembaran secara terpisah, ataupun menertibkan ayat-ayat dan surah-surahnya dalam lembaran-lembaran yang terkumpul, yang menghimpun semua surah, yang sebagiannya ditulis sesudah bagian yang lain.[6]
Sebagian besar literatur yang membahas tentang ilmu-ilmu Al-Qur’an menejaskan bahwa Jam’ul Qur’an meliputi proses penyampaian, pencatatan, pengumpulan catatan, dan kodifikasi hingga menjadi mushaf Al-Qur’an.

B.       Pengumpulan Al-Qur’an Pada Masa Nabi Muhammad Saw
Pengumpulan Al-Qur’an pada masa Nabi muhammad Saw ada dua macam, yaitu :
1.      Pengumpulan dalam arti menghafalnya
Rasulullah Saw, amat menyukai wahyu, ia senantiasa menunggu penurunan wahyu dengan rasa rindu, lalu menghafal dan memahaminya persis dijanjilan Allah : “Sesungguhnya atas tanggungan Kami-lah Mengumpulkannya di dadamu dan membuatmu pandai membacanya”. (QS. Al-Waqiah :75).[7]
Oleh karena itu, Nabi Muhammad saw adalah hafiz (penghafal) Al-qur’an pertama dan merupakan contoh yang paling baik bagi para sahabat dalam agama dan sumber risalah. Al-qur’an diturunkan selama 22 tahun lebih. Proses turunnya terkadang hanya turun 1 ayat dan terkadang sampai 10 ayat. Setiap kali sebuah ayat turun Nabi saw menghafalnya bersama para sahabatnya, yang konon bangsa Arab secara kodrati memang mempunyai daya hafal yang kuat. Hal ini karna umumnya mereka buta huruf, sehingga dalam penulisan berita-berita, syair-syair, dan silsilah mereka dilakukan dengan catatan di hati mereka.
Di samping antusiasme para sahabat untuk mempelajari dan menghafal Al-Qur’an, Rasulullah pun mendukung mereka ke arah itu dan memilih orang tertentu yang akan mengajarkan Al-Qur’an kepada umat Islam.
Dari keterangan di atas, jelas bahwa para penghafal Al-Qur’an pada masa Rasulullah Saw, amat banyak penghafal Al-Qur’an, dan mereka berpegang pada hafalan dalam penukilan pada masa itu termasuk ciri khas umat ini. Ibn Al-Jazari guru para Qurra’ pada masanya  menyebutkan : “Penukilan Al-Qur’an dengan berpegang pada hafalan, bukannya pada Mushaf-mushaf dan kitab-kitab, merupakan satu keistimewaan yang diberikan oleh Allah kepada umat ini.[8]
2.              Pengumpulan Al-Qur’an dalam arti penulisannya
Para penulis Al-Qur’an sebagai sekertaris Nabi saw, adalah Ali, Muawiah, Ubai Bin Ka’ab, dan Zaid bin Tsabit. Di samping itu sebagian sahabatpun menuliskan Al-Qur’an yang turun ketika itu atas kemauan mereka sendiri tanpa diperintah oleh Nabi saw, mereka menuliskannya pada pelepah kurma, lempengan batu, daun lontar, kulit atau daun kayu, pelana, potongan tulang belulang binatang. Zaid bin Sabit berkata ; “Kami menyusun Al-qur’an dihadapan Rasulullah saw, pada kulit binatang”. Ini menunjukkan betapa besar kesuliatan yang dihadapi para sahabat dalam menuliskan Al-Qur’an. Alat-alat tulis tidak cukup tersedia bagi mereka. Dengan demikian penulis-penulis Al-Qur’an ini semakin bertambah kemampuan daya hafalan mereka.
Tulisan-tulisan pada masa Nabi saw tidak terkumpul dalam satu mushaf, yang ada pada seorang belum tentu dimiliki pada orang lain. Para ulama telah menyampaikan bahwa segolongan dari mereka, di antaranya : Ali bin Abi Talib, Mu’az bin Jabal, Ubai bin Qa’ab, Zain bin Sabit, dan Abdullah bin Mas’ud telah menghafal seluruh isi Al-Qur’an pada masa Rasulullah Saw. Mereka menyebutkan pula bahwa Zain bin Sabit adalah orang yang terakhir membacakan Al-qur’an di hadapan rasulullah Saw.[9]
Rasulullah Saw, telah berpulang ke Rahmatullah pada saat Al-Qur’an telah dihafal dan ditulis dalam mushaf dengan susunan seperti disebutkan di atar, ayat-ayat dan surah-surah dipisah-pisahkan, atau diterbitkan ayat-ayatnya saja. Dan setiap surah berada dalam lembaran secara terpisah dan dalam tujuh huruf, tetap Al-Qur’an belum dikumpulkan dalam satu mushaf yang menyeluruh (lengkap). Bila wahyu turun, segera dihafal oleh para Qurra’ dan ditulis oleh para penulis tetapi pada saat itu belum masih senantiasa menanti turunnya wahyu dari waktu ke waktu. Di samping itu, terkadang pula terdapat ayat yang me-nasikh sesuatu yang turun sebelumnya.[10]
Diantara faktor-faktor yang mendorong penulisan Al-Qur’an pada masa Nabi adalah :
a.       Mem-back up hapalan yang telah dilakukan oleh nabi dan para sahabatnya.
b.      Mempresentasikan wahyu dengan cara yang paling sempurna, karena bertolak dari hapalan para sahabat saja tidak cukup karena terkadang mereka lupa atau sebagian dari mereka sudah wafat. Adapun tulisan akan tetap terpelihara walaupun pada masa Nabi, Al-Qur’an tidak ditulis di tempat tertentu.[11]
Susunan atau tertib penulisan Al-Qur’an itu tidak menurut tertib nuzulnya, tetapi setiap ayat yang turun dituliskan ditempat penulisan sesuai dengan petunjuk Nabi Saw. Menurut Al-Zarkasyi, Al-Qur’an tidak dituliskan dalam satu mushaf pada zaman Nabi Saw, agar ia tidak berubah pada setiap waktu. Oleh karena itu penulisannya kemudian dilakukan kemudian susudah Al-Qur’an selesai semua turun, yaitu dengan wafatnya Rasulullah Saw.[12]

C.       Pengumpulan Al-Qur’an Pada Masa Khlafa’ Al-Rasyidun
1.      Pengumpulan Al-Qur’an Pada Masa Abu Bakar
Al-Qur’an seluruhnya rampung ditulis pada masa Rasulullah masih hidup, hanya saja ayat-ayat dan surah-surahnya masih terpisah. Orang pertama yang menghimun Al-Qur’an sesuai kehendak Rasulullah adalah Abu Bakar As-Siddiq. Abdullah Al-Muhasabi mengatakan dalam buku Fahmus-sunan: penulisan Al-Qur’an, karena Rasulullah sendiri telah memerintahkan penulisannya. Tapi ketika itu masih tercecer pada berbagai lembaran kulit dan daun, tulang belulang, atau pada pelepah kurma. Kemudian Abu Bakar As-Siddiq memerintahkan pengumpulan menjadi sebuah naskah. Juga naskah Al-Qur’an yang tertulis lembaran-lembaran kulit yang terdapat di dalam rumah Rasulullah saat itu masih dalam keadaan terpisah-pisah, kemudian dikumpul dikumpul oleh seorang sahabat, lalu diikatnya dengan tali agar tidak ada yang hilang.[13]
Rasulullah saw berpulang kerahmatullah setelah beliau menyampaikan risalah dan menyampaikan amanat serta memberi petunjuk kepada umatnya untuk menjalankan agama yang lurus. Setelah beliau wafat, kekhalifahan dipegang oleh Abu Bakar al-Siddiq r.a. Pada masa pemerintahannya, ia banyak menghadapi masalah di antaranya memerangi orang-orang yang murtad, serta memerangi pengikut Musailamah al-Kazzab yang mengaku sebagai nabi.
Ketika terjadi perang Yamamah, banyak kalangan sahabat penghafal al-Qur’an dan ahli bacanya yang gugur. Jumlahnya lebih 70 orang huffadz ternama. Melihat banyaknya penghafal al-Qur’an yang gugur, Umar merasa prihatin lalu beliau menemui Abu Bakar dan berkata: “Telah banyak di antara para huffadz dan qurra’ yang gugur dalam medan pertempuran, aku khawatir akan gugur pula yang lainnya, sehingga hilang apa yang tersimpan dalam dada mereka dan lenyaplah ayat-ayat al-Qur’an itu. Menurut pendapatku, baiklah kiranya jika engkau memerintahkan agar al-Qur’an dikumpulkan. Pada awalnya Abu Bakar ragu, karena hal tersebut tidak pernah dilakukan oleh Nabi. Namun setelah dijelaskan oleh Umar tentang nilai positifnya, ia kemudian menerima usul tersebut.
Zaid bin Tsabit adalah orang yang ditunjuk Abu Bakar untuk mengumpulkan al-Qur’an dalam satu mushaf. Adapun alasan penunjukan Zaid oleh karena beliau berusia muda, berintelegensi tinggi dan pekerjaannya di masa Nabi sebagai penulis wahyu.
Meskipun pada awalnya Zaid bin Tsabit juga ragu namun pada akhirnya ia bersedia melaksanakan hal tersebut. Atas kesediaan Zaid bin Tsabit, dibuatlah sebuah panitia yang diketuainya, sedang anggotanya adalah Ubay bin Ka’ab, Ali bin Abi Thalib dan Utsman bin Affan.
Dalam menjalankan tugasnya, berbagai metode dilakukan untuk mengumpulkan al-Qur’an. Diantaranya mengumpulkan tulisan-tulisan al-Qur’an dari para sahabat, mencocokkan dengan hafalan para sahabat, ataupun menghadirkan dua orang saksi yang menyaksikan bahwa pembawa al-Qur’an itu telah mendengarnya dari lisan Rasulullah saw. .
Zaid bin Sabit mengumpulkan Al-Qur’an dari pelepah kurma, kepingan-kepingan batu, dan dari hafalan para penghafal, sampai akhirnya dia mendapatkan akhir surah at-Taubah ayat 128 berada pada Abu Khuzaimah al-Ansari, yang tidak di dapatkan pada orang lain, yang berbunyi :
لَقَدْ جاءَكُمْ رَسُولٌ مِنْ أَنْفُسِكُمْ عَزيزٌ عَلَيْهِ ما عَنِتُّمْ حَريصٌ عَلَيْكُمْ بِالْمُؤْمِنينَ رَؤُوفٌ رَحيمٌ
Artinya : “Sesungguhnya telah datang kepadamu seorang Rasul dari kaummu sendiri berat terasa olehnya penderitaanmu, sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, dan amat belas kasihan lagi penyayang terhadap orang-orang mukmin (QS. At-Taubah:128).[14]

Setelah selesai dikumpulkan, ia di tangan Abu Bakar. Setelah ia wafat, mushaf itu berpindah kepada Umar hingga wafatnya, kemudian ke tangan Hafsah, putri Umar. Sesudahnya, Utsman memintanya dari Hafsah. Dengan demikian, Abu Bakar adalah orang pertama yang mengumpulkan Al-Qur’an dalam satu mushaf. Dengan cara seperti inilah Zaid mengumpulkan ayat-ayat dan surah-surah Al-Qur’an dan mengumpulkannya yang sebelumnya terpisah-pisah.
Masa pengumpulan Al-Qur’an ini terlihat sangat singkat. Sebagaimana diketahui, Abu Bakar hanya memerintah kekhalifaan Islam ketika itu selama kurang lebih dua tahun mulai Rabi’ul Awwal 11 H sampai Jumadil Tsani 13 H.. Sementara Zaid melalui tugasnya setelah peperangan Yamamah (bulan ketiga tahun 12 H). Hal ini berarti bahwa waktu yang tersisa bagi Zaid hanya 15 bulan.
Al-Zarqani mengemukakan bahwa mushaf yang disusun pada masa Abu Bakar hanyalah penulisan urutan-urutan ayat-ayatnya saja tanpa mengurut surah-surahnya.
Demikianlah pengumpulan Al-Qur’an pada masa kekhalifahan Abu Bakar, yang dilakukan dengan berbagai metode dalam rangka menjaga validitas dan keutuhan Al-Qur’an. Para ulama’ berpendapat bahwa penamaan Al-Qur’an dengan “mushaf” baru muncul sejak saat itu, yakni pada saat Abu Bakar mengumpulkan Al-Qur’an. Ali bin Abi Thalib berkata, orang yang paling besar pahalanya dalam hal mushaf ialah Abu Bakar. Semoga Allah melimpahkan rahmat-Nya kepadanya. Dialah yang pertama mengumpulkan Kitab Allah. Pengumpulan ini dinamakan “Pengumpulan Kedua”.[15]
2.      Pengumpulan Al-Qur’an Pada Masa Utsman bin Affan
Ketika Utsman bin Affan memegang kekhalifahan, dan para sahabat berpencar keberbagai daerah dan masing-masing membawa bacaan yang didengarnya dari Rasulullah saw. serta di antara mereka ada yang memiliki bacaan yang tidak dimiliki oleh lainnya, orang-orang berbeda pendapat dalam bacaan. Setiap pembaca (qari’) mengunggulkan bacaannya dan menyalahkan bacaan qari’ lainnya sehingga permasalahan tersebut menjadi besar, perselisihanpun semakin memuncak.
Sebagaimana yang digambarkan dalam sejarah, bahwa sekembalinya Huzaifah bin al-Yaman dari peperangan menaklukkan daerah Armenia dan Azerbaijan, ia mengutarakan kekhawatiran kepada khalifah Usman bin Affan tentang perbedaan bacaan al-Qur’an di kalangan kaum muslimin. Mihsan menggambarkan bahwa penduduk Syam memakai bacaan Ubay bin Ka’ab, penduduk Kuffah memakai bacaan Abdullah bin Mas’ud dan penduduk lainnya memakai bacaan Abu Musa Al-Asy’ari. Cara-cara pembacaan al-Qur’an yang mereka bawakan berbeda-beda sejalan dengan perbedaan huruf yang dengan al-Qur’an diturunkan. Apabila mereka berkumpul pada suatu pertemuan, atau di suatu medan pertempuran, sebagian mereka merasa heran akan adanya perbedaan qira’at itu.
Atas kejadian tersebut, Utsman kemudian bermusyawarah dengan para sahabat mengenai apa yang harus dilakukan. Dalam musyawarah tersebut Utsman dan para sahabat bersepakat untuk menyalin kembali Mushaf al-Qur’an yang ada pada tangan Hafsah untuk dijadikan rujukan apabila terjadi perselisihan tentang cara membaca al-Qur’an. Untuk melaksanakan tugas tersebut, Usman menunjuk satu tim yang terdiri dari Zaid bin Tsabit, Abdullah bin Zubair, Sa’id bin Ash dan Abdul Rahman bin Haris bin Hasyim.
Setelah kumpulan tulisan itu sampai ketangan Utsman, ia kemudian menugaskan Zaid bin Tsabit, Abdullah bin Zubair, Sa’id bin al-Ash dan Abdul Rahman bin al-Harits bin Hisyam untuk menyalin shuhuf-shuhuf tersebut kedalam beberapa mushaf. Proses penyalinan lembaran tersebut ke dalam mushaf disertai dengan perintah Utsman bahwa apabila terdapat perbedaan atas beberapa tulisan dalam lembaran tersebut, maka tulislah dalam bahasa Quraisy dengan alasan bahwa al-Qur’an diturunkan dengan lisan (bahasa) Quraisy.
Ladjnah yang dibentuk oleh Usman itu menyelesaikan usahanya pada tahun 25 Hijriyah, atau pada tahun 30 Hijriyah setelah delapan tahun tampuk pemerintahan dipegang oleh Usman ibn Affan. Menurut dugaan, besar sekali kemungkinan, bahwa pekerjaan tersebut diselesaikan antara 25 H dan 30 H itu.
Mushaf yang disusun pada masa khalifah Usman bin Affan ini lebih lengkap jika dibandingkan dengan mushaf pada masa khalifah Abu Bakar. Al-Zarqani menjelaskan bahwa mushaf Usmani telah dilengkapi penulisannya selain tertib urutan ayat, juga sudah ada urutan-urutan surah.
Al-Zarkasyi menjelaskan hasil kerja tersebut berwujud empat mushaf al-Qur’an. Tiga diantaranya di kirim ke Syam, Kuffah dan Basrah dan satu mushaf ditinggalkan di Madinah untuk pegangan khalifah yang kemudian dikenal dengan al-Mushaf al-Imam. Agar persoalan silang pendapat mengenai bacaan dapat diselesaikan dengan tuntas, maka Utsman memerintahkan semua mushaf yang berbeda dengan hasil kerja panitia yang empat itu dibakar. Umat pun menerima perintah itu dengan patuh, sedang qira’at dengan enam huruf lainnya ditinggalkan. Keputusan ini tidak salah, karena qira’at dengan tujuh huruf itu tidak wajib.
Dalam pada itu, latar belakang dibukukannya pada periode itu, karena Utsman bin Affan melihat banyak perbedaan cara-cara membaca Al-Qur’an. Sebagian bacaan itu bercampur dengan kesalahan, tetapi masing-masing mempertahankan dan berpegang pada bacaannya, serta menentang setiap orang yang menyalahi bacannya dan bahkan mereka saling mengkafirkan. Para sahabat amat memprihatinkan kenyataan ini karena takut kalau-kalau perbedaan itu akan menimbulkan penyimpangan dan perubahan.
Dengan usahanya itu, Usman telah berhasil menghindarkan timbulnya fitnah dengan mengikis sumber perselisihan serta menjaga Al-Qur’an dari perubahan dan penyimpangan sepanjang zaman.[16]
3.      Perbedaan Antara Pengumpulan Abu Bakar dengan Utsman
Motif Abu bakar adalah ke khawatiran beliau akan hilangnya Al-Qur’an karena banyaknya Huffazh yang gugur dalam peperangan. Sedang motif utsman untuk mengumpulkan al-Qur’an adalah karena yang disaksikan sendiri di daerah-daerah dan mereka saling menyalahkan satu sama lainnya.
Pengumpulan Al-Qur’an oleh Abu Bakar ialah memindahkan semua tulisan Al-Qur’an yang semula bertebaran pada kulit-kulit binatang, tulang-belulang, dan pelepah kurma, kemudian dikumpulkan dalam satu mushaf. Sedang pengumpulan yang dilakukan oleh Utsman adalah menyalinnya dalam satu bahasa (Bahasa Quraisy). Dalam usaha Utsman telah berhasil menghindarkan timbulnya fitnah dan mengikis sumber perselisihan serta menjaga Al-Qur’an dari penambahan dan penyimpangan sepanjang zaman, serta mencetaknya menjadi satu Mushaf yang baku, yang dikenal dengan nama “Mushaf Utsmani”.

D.      Usaha Lanjutan Pemeliharaan Al-Qur’an Pasca Kuhlafau Rasyidin
Upaya penyempurnaan Al-qur’an itu tidak berlangsung sekaligus, tetapi bertahap dan dilakukan oleh generasi sampai abad III H (atau akhir abad IX M). Ketika proses penyempurnaan naskah Al-Qur’an (Mushfa Usmani) selesai dilakukan. Tercatat pula tiga nama yang disebut-sebyt sebagai orang yang pertama kali meletakkan tanda titik pada mushaf Usmani. Ketiga orang itu adalah: Abu Al-Aswad Ad-Du’ali Yahya Bin Yamar, Nashr Bin ‘Ashlm Al-laits. Dan adapun orang yang disebut-sebut pertama kali meletakkan Hamzah, Tasydid, Al-raum, dan Al-Isyman adalah Al-Khalil Bin Ahmad Farahidi Al-Azdi.[17]
Setelah periode Khalifah Utsman, pemeliharaan Al-Qur’an di kalangan umat Islam semakin diperketat dengan teliti dan hati-hati. Naskah-naskah Al-Qur’an yang dikirim ke Negara-negara Islam pada masa pemerintahannya, disalin kembali oleh umat Islam dengan penuh kehati-hatian dengan tulisan yang lebih indah dan rapi sesuai dengan perkembagan khat Arab.
Abdul Aziz bin Marwan, seorang Gubernur Mesir setelah menulis mushaf Al-Qur’an, ia menyuruh umat Islam memeriksanya seraya berkata, “siapa yang dapat menunjukkan barang sesuatu kesalahan dalam tulisan ini, akan diberikan kepadanya seekor kuda dan 30 dinar.” Di antara yang memeriksa itu ada seorang qari’ yang dapat menunjukkan suatu kesalahan, yaitu kata “naj’ah”, padahal yang sebenarnya “na’jah”,
إِنَّ هذا أَخي‏ لَهُ تِسْعٌ وَ تِسْعُونَ نَعْجَةً وَ لِيَ نَعْجَةٌ واحِدَةٌ فَقالَ أَكْفِلْنيها وَ عَزَّني‏ فِي الْخِط
Artinya : “Sesungguhnya saudaraku ini mempunyai sembilan puluh sembilan ekor kambing betina dan aku mempunyai seekor saja. Lalu dia berkata, ‘Serahkanlah kambingmu itu kepadaku’, dan dia mengalahkan aku dalam perdebatan”. (QS. As-Shad:23)[18]
Dengan adaya huruf cetak yang memahami huruf Arab, maka dapat pulalah Al-Qur’an dicetak untuk pertama kalinya pada tahun 1694 M., di Kota Hanburg Jerman. Setelah Guthenberg (1397-1468 M) berhasil menciptakan mesin cetak dengan menggunkan huruf bergerak pada pertengahan abad ke-15 M. Dengan demikian umat muslim bisa menikmati teknologi cetak dalam penulisan teks Al-Qur’an pada abad ke-17 M.
Sehubungan dengan penelitian mushaf-mushaf di Indonesia, Pemerintah Indonesia telah membentuk suatu panitia yang bernama Lajnah Pentashhih Mushaf Al-Qur’an yang bertugas memeriksa dan mentashhih naskah-naskah Al-Qur’an yang akan dicetak atau yang telah dicetak. Bahkan Indonesia memiliki mushaf Al-Qur’an Pusaka yang berukuran 1 x 2 meter, yang ditulis dengan tulisan tangan oleh para ahli khat di Indonesia, di mana penulisannya di mulai dari tahun 1958-1960.
Sekilas fakta ini sudah cukup menjadi bukti bahwa Indonesia sebagai negara terbesar berpenduduk muslim di dunia juga memiliki perhatian dan kepedulian yang cukup besar terhadap eksistensi Al-Qur’an sebagai Kitab Suci dan Sumber Hukum, dan sekaligus memiliki semangat untuk menjaga dan memelihara kemurnian dan keontentikan Al-Qur’an.[19]












BAB III
PENUTUP

A.       Kesimpulan
Berdasarkan pemaparan diatas, penulis dapat menarik kesimpulan sebagai berikut:
1.      Jam’ul Qur’an adalah proses penyampaian, pencatatan, pengumpulan catatan dan kodifikasi hingga menjadi mushaf Al-Qur’an.
2.      Bahwa pengumpulan Al-Qur’an terjadi pada tiga masa, di mana masing-masing dilatarbelakangi oleh peristiwa yang berbeda, terkhusus latar belakang pengumpulan Al-Qur’an dimasa Rasulullah saw. adalah untuk menjaga kesempurnaan Al-Qur’an selama proses diturunkannya.
3.      Di masa kekhalifahan Abu Bakar di latar belakangi oleh peristiwa perang Yamamah di mana para sahabat huffadz banyak yang syahid dalam peperangan tersebut. Dan terakhir pada masa kekhalifan Utsman, pada masa ini terjadi perselisihan terhadap perbedaan bacaan di kalangan umat yang berujung pada saling menyalahkan bahkan muncul pertikaian dan pengkafiran. Olehnya itu Utsman kemudian berinisiatif untuk mengumpulkan Al-Qur’an menjadi satu mushaf yang menjadi pegangan bersama oleh semua umat Islam pada masa itu.
Setelah periode Khalifah Utsman, pemeliharaan Al-Qur’an di kalangan umat Islam semakin diperketat dengan sangat teliti dan hati-hati. Untuk pertama kalinya Al-Qur’an dicetak pada tahun 1694 M., di Kota Hanburg Jerman. Pemerintah Indonesia sendiri juga memiliki perhatian dan kepedulian yang serius dalam hal pemeliharaan mushaf Al-Qur’an.



[1] M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur,an, (Jakarta: Penerbit mizam, 1997) h. 23
[2] Said Agil Husin Al Munawar, Al-Qur’an Membangun Tradisi Kesalehan Hakiki, (Jakarta: Ciputat Press, 2003), h.14
[3] Ibid. h.14
[4] M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur,an, (Jakarta: Penerbit mizam, 1997) h. 23

[5] Lihat Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Termemahan.

[6] Manna Khalil Al-Qattan, Studi Ilmu-ilmu Al-Qur’an, (Bogor: Litera AntarNusa, 1992), h.181
[7] Lihat Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Termemahan.

[8] Mardan,  Al-Qur’an Sebagai Pengantar,  (Tanggerang: Sejahtera kita, 2010),  h. 60
[9] Ibid, h. 61

[10] Ibid, h.61
[11] Rosihon Anwar, Ulum Al-Qur’an (Bandung: CV. Pustaka Setia, 2007), h. 39
[12] Mardan, Al-Qur’an Sebagai Pengantar (Tanggerang: Sejahtera kita, 2010)  h. 61

[13] Subhi As-Shalih, Membahas Ilmu-ilmu Al-Qur’an, (Jakarta: Pustaka Firdaus,1993), h.84

[14] Lihat Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Termemahan.
[15] Ibid, h. 63

[16] https://mrbthoan.wordpress.com jam’u-Al-qur’an Wa-kitabatuhu, diakses pada tanggal 2 April 2017.

[17] Muhammad Nur Abdul, Pengantar Ulumul Qur’an (Makassar: Alauddin Universty Press, 2014). H.27
[18] Lihat Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Termemahan.
[19]Muhammad Hadi Ma’rifat, Sejarah Al-Qur’an, (Jakarta: Al-Huda, 2007), h.45

No comments:

Makalah: Mahabbah, Makrifah

BAB I PENDAHULUAN   A.      Latar Belakang Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi membawa manusia larut dan terbuai dalam din...