BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Al-Qur’an
merupakan sumber rujukan utama yang menempati posisi sentral bagi seluruh
disiplin ilmu ke Islaman. Kitab suci ini, di samping menjadi al-huda
(petunjuk), juga sebagai al-bayyinah (penjelas) serta menjadi al-furqan
(pemisah antara yang benar dan yang salah) yang menurut sementara ulama, diturunkan
dalam kurun waktu kurang lebih dua puluh dua tahun, dua bulan dan dua puluh dua
hari.[1]
Salah satu
yang sangat dibanggakan umat islam dari dahulu hingga sekarang ini adalah
keontitikan Al-Qur’an yang merupakan warisan Islam terpenting dan paling
berharga. Meskipun Mushab yang kita kenal sekarang ini berdasarkan Rasm Utsman
Bin Affan (Al-Mushaf ‘ala Al-Rasm
Al-Utsman) akan tetapi sebenarnya ia tidak begitu saja muncul sebagai
sebuah karya besar yang hampa dari proses panjang yang telah dilalu pada
masa-masa sebelumnya.[2]
Proses ini
dimulai pada masa Rasulullah Saw, setiap kali menerima wahyu Al-Qur’an,
Rasulullah langsung mengingat, menghafalnya dan memberitahukan serta
membacakannya kepada para sahabat, agar mereka mengingat dan menghafalnya pula.[3]
Ada beberapa
faktor yang terlebih dahulu harus dikemukakan dalam rangka pembahasan pada
makalah ini, yang merupakan faktor-faktor pendukung bagi pembuktian otentitas
Al-Qur’an.
1.
Masyarakat Arab yang hidup pada masa
turunnya Al-Qur’an adalah masyarakat yang tidak mengenal baca tulis.
2.
Masyararakat Arab, khususnya pada
masa turunnya Al-Qur’an dikenal sebagai masyarakat sederhana dan bersahaja.
3.
Masyarakat Arab sangat gandrung lagi
membanggakan kesusastraan; mereka bahkan melakukan perlombaan-perlombaan dalam
bidang ini pada waktu-waktu tertentu.
4.
Al-Qur’an mencapai tingkat tertinggi
dari segi keindahan bahasanya dan sangat mengagumkan bukan saja bagi orang
mukmin, tetapi juga orang kafir.
5.
Al-Qur’an demikian pula Rasulullah
saw, menganjurkan kepada kaum muslim untuk memperbanyak membaca dan mempelajari
Al-Qur’an dan anjuran tersebut mendapat sambutan hangat.
6.
Ayat-ayat Al-qur’an turun berdialog
dengan mereka, mengomentari keadaan dan peristiwa-peristiwa yang mereka alami,
samping itu, ayat-ayat Al-qur’an turun sedikit demi sedikit.
7.
Dalam Al-Qur’an, demikian pula
hadis-hadis Nabi, ditemukan petunjuk-petunjuknya yang mendorong para sahabatnya
untuk selalu bersifat teliti dan hati-hati dalam menyampaikan berita, lebih-lebih
kalau berita tersebut merupakan Firman-firman Allah atau Sabda Rasulullah Saw.[4]
Dari hal
tersebut di atas, maka menarik untuk dikaji, khususnya aspek sejarah dari
proses pengumpulan al-Qur’an pada masa Rasulullah saw sampai pada masa sahabat,
dan juga usaha lanjutan pemeliharaan al-Qur’an pasca Khulafa’al-Rasyidun.
B.
Rumusan
Masalah
Berdasarkan pada latar belakang di atas, maka adapun yang menjadi rumusan
masalah pada makalah ini adalah sebagai berikut :
1.
Apa pengertian jam’u Qur’an wal
kitabah ?
2.
Bagaimana pengumpulan al-Qur’an pada
masa Nabi Muhammad saw?
3.
Bagaimana pengumpulan al-Qur’an pada
masa Khulafa’ al-Rasyidun?
4.
Bagaimana usaha lanjutan
pemeliharaan al-Qur’an pasca Khulafa’ al-Rasyidun.
C.
Tujuan
Penulisan
Berdasarkan pada rumusan masalah di atas, maka adapun tujuan penulisan yang
diharapkan penulis dapat dicapai, adalah sebagai berikut:
1.
Untuk mengetahui pengertian Jam’u
Qur’an wal Kitabah !
2.
Untuk mengetahui pengumpulan
Al-qur’an pada masa Nabi Muhammad saw !
3.
Untuk mengetahui pengumpulan Al-Qur’an
pada masa Khulafaur rasyidin !
4.
Untuk mengetahui usaha lanjutan
pemeliharaan Al-Qur’an pasca Kuhlafau Rasyidin !
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Jam’u Qur’an Wal Kitabah
Kata Al-Jam’u berasal dari kata ”Jama’a – Yajma’u – Jam’an” yang berarti
pengumpulan atau penghimpunan. Adapun makna Al-Qur’an menurut bahasa, kata
Qur’an adalah bentuk masdar (kata benda verbal) dari qara’a yang berarti
membaca, baik membaca dengan melihat tulisan ataupun secara menghafal. Jadi
Jam’ul Qur’an berarti upaya mengumpulkan Al-Qur’an yang berserakan untuk
diteliti dan diselidiki.
Menurut
Mardan, yang dimaksud dengan ’pengumpulan’ (pengkodifikasian) Al-Qur’an di
kalangan ulama adalah salah satu dari dua pengertian berikut :
1.
Jam’ul Qur’an dalam arti hifzuhu
(menghafalnya dalam hati). Inilah makna yang dimaksudkan dalam firman Allah
kepada Nabi :
لا تُحَرِّكْ بِهِ لِسانَكَ لِتَعْجَلَ بِه. إِنَّ عَلَيْنا جَمْعَهُ وَ قُرْآنَهُ. فَإِذا
قَرَأْناهُ فَاتَّبِعْ قُرْآنَهُ . ثُمَّ إِنَّ
عَلَيْنا بَيانَهُ ِ
Artinya : Janganlah kamu gerakkan lidahmu karena
tergesa-gesa ingin (membaca) Al-Qur’an. Karena mengumpulkan dan membacanya
adalah tanggungan Kami. Apabila Kami telah selesai membacakannya, maka ikutilah
bacaannya itu. Kemudian, penjelasannya adalah (juga) tanggungan Kami. (QS.
Al-Qiyamah:16-19).[5]
Nabi senantiasa menggerak-gerakkan kedua bibir dan lidahnya
untuk membaca Al-Qur’an, ketika diturunkan kepadanya sebelum Jibril selesai
membacakanya, karena ingin menghafalnya.
2.
Jam’ul Qur’an dalam arti kitabatuhu
kullihi (penulisan Al-Qur’an semuanya). Ini dimaksudkan adalah baik dengan
memisah-misahkan ayat-ayat dan surah-surahnya, atau menertibkan ayat-ayat
semata, baik setiap surah ditulis dalam suatu lembaran secara terpisah, ataupun
menertibkan ayat-ayat dan surah-surahnya dalam lembaran-lembaran yang
terkumpul, yang menghimpun semua surah, yang sebagiannya ditulis sesudah bagian
yang lain.[6]
Sebagian
besar literatur yang membahas tentang ilmu-ilmu Al-Qur’an menejaskan bahwa
Jam’ul Qur’an meliputi proses penyampaian, pencatatan, pengumpulan catatan, dan
kodifikasi hingga menjadi mushaf Al-Qur’an.
B.
Pengumpulan Al-Qur’an Pada Masa Nabi Muhammad Saw
Pengumpulan Al-Qur’an pada masa Nabi muhammad Saw
ada dua macam, yaitu :
1.
Pengumpulan dalam arti menghafalnya
Rasulullah Saw, amat menyukai wahyu, ia senantiasa
menunggu penurunan wahyu dengan rasa rindu, lalu menghafal dan memahaminya
persis dijanjilan Allah : “Sesungguhnya
atas tanggungan Kami-lah Mengumpulkannya di dadamu dan membuatmu pandai
membacanya”. (QS. Al-Waqiah :75).[7]
Oleh karena itu, Nabi Muhammad saw adalah hafiz
(penghafal) Al-qur’an pertama dan merupakan contoh yang paling baik bagi para
sahabat dalam agama dan sumber risalah. Al-qur’an diturunkan selama 22 tahun
lebih. Proses turunnya terkadang hanya turun 1 ayat dan terkadang sampai 10
ayat. Setiap kali sebuah ayat turun Nabi saw menghafalnya bersama para
sahabatnya, yang konon bangsa Arab secara kodrati memang mempunyai daya hafal
yang kuat. Hal ini karna umumnya mereka buta huruf, sehingga dalam penulisan
berita-berita, syair-syair, dan silsilah mereka dilakukan dengan catatan di
hati mereka.
Di samping antusiasme para sahabat untuk mempelajari
dan menghafal Al-Qur’an, Rasulullah pun mendukung mereka ke arah itu dan
memilih orang tertentu yang akan mengajarkan Al-Qur’an kepada umat Islam.
Dari keterangan di atas, jelas bahwa para penghafal
Al-Qur’an pada masa Rasulullah Saw, amat banyak penghafal Al-Qur’an, dan mereka
berpegang pada hafalan dalam penukilan pada masa itu termasuk ciri khas umat ini.
Ibn Al-Jazari guru para Qurra’ pada masanya
menyebutkan : “Penukilan Al-Qur’an dengan berpegang pada hafalan,
bukannya pada Mushaf-mushaf dan kitab-kitab, merupakan satu keistimewaan yang
diberikan oleh Allah kepada umat ini.[8]
2.
Pengumpulan Al-Qur’an dalam arti
penulisannya
Para penulis Al-Qur’an sebagai sekertaris Nabi saw,
adalah Ali, Muawiah, Ubai Bin Ka’ab, dan Zaid bin Tsabit. Di samping itu
sebagian sahabatpun menuliskan Al-Qur’an yang turun ketika itu atas kemauan
mereka sendiri tanpa diperintah oleh Nabi saw, mereka menuliskannya pada
pelepah kurma, lempengan batu, daun lontar, kulit atau daun kayu, pelana,
potongan tulang belulang binatang. Zaid bin Sabit berkata ; “Kami menyusun
Al-qur’an dihadapan Rasulullah saw, pada kulit binatang”. Ini menunjukkan
betapa besar kesuliatan yang dihadapi para sahabat dalam menuliskan Al-Qur’an.
Alat-alat tulis tidak cukup tersedia bagi mereka. Dengan demikian
penulis-penulis Al-Qur’an ini semakin bertambah kemampuan daya hafalan mereka.
Tulisan-tulisan pada masa Nabi saw tidak terkumpul
dalam satu mushaf, yang ada pada seorang belum tentu dimiliki pada orang lain.
Para ulama telah menyampaikan bahwa segolongan dari mereka, di antaranya : Ali
bin Abi Talib, Mu’az bin Jabal, Ubai bin Qa’ab, Zain bin Sabit, dan Abdullah
bin Mas’ud telah menghafal seluruh isi Al-Qur’an pada masa Rasulullah Saw.
Mereka menyebutkan pula bahwa Zain bin Sabit adalah orang yang terakhir
membacakan Al-qur’an di hadapan rasulullah Saw.[9]
Rasulullah Saw, telah berpulang ke Rahmatullah pada
saat Al-Qur’an telah dihafal dan ditulis dalam mushaf dengan susunan seperti
disebutkan di atar, ayat-ayat dan surah-surah dipisah-pisahkan, atau
diterbitkan ayat-ayatnya saja. Dan setiap surah berada dalam lembaran secara
terpisah dan dalam tujuh huruf, tetap Al-Qur’an belum dikumpulkan dalam satu
mushaf yang menyeluruh (lengkap). Bila wahyu turun, segera dihafal oleh para
Qurra’ dan ditulis oleh para penulis tetapi pada saat itu belum masih
senantiasa menanti turunnya wahyu dari waktu ke waktu. Di samping itu,
terkadang pula terdapat ayat yang me-nasikh sesuatu yang turun sebelumnya.[10]
Diantara faktor-faktor yang mendorong penulisan
Al-Qur’an pada masa Nabi adalah :
a.
Mem-back up hapalan yang telah dilakukan
oleh nabi dan para sahabatnya.
b.
Mempresentasikan
wahyu dengan cara yang paling sempurna, karena bertolak dari hapalan para
sahabat saja tidak cukup karena terkadang mereka lupa atau sebagian dari mereka
sudah wafat. Adapun tulisan akan tetap terpelihara walaupun pada masa Nabi,
Al-Qur’an tidak ditulis di tempat tertentu.[11]
Susunan atau tertib penulisan Al-Qur’an itu tidak
menurut tertib nuzulnya, tetapi setiap ayat yang turun dituliskan ditempat
penulisan sesuai dengan petunjuk Nabi Saw. Menurut Al-Zarkasyi, Al-Qur’an tidak
dituliskan dalam satu mushaf pada zaman Nabi Saw, agar ia tidak berubah pada
setiap waktu. Oleh karena itu penulisannya kemudian dilakukan kemudian susudah
Al-Qur’an selesai semua turun, yaitu dengan wafatnya Rasulullah Saw.[12]
C.
Pengumpulan Al-Qur’an Pada Masa Khlafa’ Al-Rasyidun
1.
Pengumpulan Al-Qur’an Pada Masa Abu
Bakar
Al-Qur’an
seluruhnya rampung ditulis pada masa Rasulullah masih hidup, hanya saja
ayat-ayat dan surah-surahnya masih terpisah. Orang pertama yang menghimun
Al-Qur’an sesuai kehendak Rasulullah adalah Abu Bakar As-Siddiq. Abdullah
Al-Muhasabi mengatakan dalam buku Fahmus-sunan:
penulisan Al-Qur’an, karena Rasulullah sendiri telah memerintahkan
penulisannya. Tapi ketika itu masih tercecer pada berbagai lembaran kulit dan
daun, tulang belulang, atau pada pelepah kurma. Kemudian Abu Bakar As-Siddiq
memerintahkan pengumpulan menjadi sebuah naskah. Juga naskah Al-Qur’an yang
tertulis lembaran-lembaran kulit yang terdapat di dalam rumah Rasulullah saat
itu masih dalam keadaan terpisah-pisah, kemudian dikumpul dikumpul oleh seorang
sahabat, lalu diikatnya dengan tali agar tidak ada yang hilang.[13]
Rasulullah
saw berpulang kerahmatullah setelah beliau menyampaikan risalah dan
menyampaikan amanat serta memberi petunjuk kepada umatnya untuk menjalankan
agama yang lurus. Setelah beliau wafat, kekhalifahan dipegang oleh Abu Bakar
al-Siddiq r.a. Pada masa pemerintahannya, ia banyak menghadapi masalah di
antaranya memerangi orang-orang yang murtad, serta memerangi pengikut
Musailamah al-Kazzab yang mengaku sebagai nabi.
Ketika
terjadi perang Yamamah, banyak kalangan sahabat penghafal al-Qur’an dan ahli
bacanya yang gugur. Jumlahnya lebih 70 orang huffadz ternama. Melihat banyaknya
penghafal al-Qur’an yang gugur, Umar merasa prihatin lalu beliau menemui Abu
Bakar dan berkata: “Telah banyak di antara para huffadz dan qurra’ yang gugur
dalam medan pertempuran, aku khawatir akan gugur pula yang lainnya, sehingga
hilang apa yang tersimpan dalam dada mereka dan lenyaplah ayat-ayat al-Qur’an
itu. Menurut pendapatku, baiklah kiranya jika engkau memerintahkan agar
al-Qur’an dikumpulkan. Pada awalnya Abu Bakar ragu, karena hal tersebut tidak
pernah dilakukan oleh Nabi. Namun setelah dijelaskan oleh Umar tentang nilai
positifnya, ia kemudian menerima usul tersebut.
Zaid bin Tsabit adalah orang yang ditunjuk Abu Bakar untuk mengumpulkan al-Qur’an dalam satu mushaf. Adapun alasan penunjukan Zaid oleh karena beliau berusia muda, berintelegensi tinggi dan pekerjaannya di masa Nabi sebagai penulis wahyu.
Zaid bin Tsabit adalah orang yang ditunjuk Abu Bakar untuk mengumpulkan al-Qur’an dalam satu mushaf. Adapun alasan penunjukan Zaid oleh karena beliau berusia muda, berintelegensi tinggi dan pekerjaannya di masa Nabi sebagai penulis wahyu.
Meskipun
pada awalnya Zaid bin Tsabit juga ragu namun pada akhirnya ia bersedia
melaksanakan hal tersebut. Atas kesediaan Zaid bin Tsabit, dibuatlah sebuah
panitia yang diketuainya, sedang anggotanya adalah Ubay bin Ka’ab, Ali bin Abi
Thalib dan Utsman bin Affan.
Dalam
menjalankan tugasnya, berbagai metode dilakukan untuk mengumpulkan al-Qur’an.
Diantaranya mengumpulkan tulisan-tulisan al-Qur’an dari para sahabat,
mencocokkan dengan hafalan para sahabat, ataupun menghadirkan dua orang saksi
yang menyaksikan bahwa pembawa al-Qur’an itu telah mendengarnya dari lisan
Rasulullah saw. .
Zaid bin
Sabit mengumpulkan Al-Qur’an dari pelepah kurma, kepingan-kepingan batu, dan
dari hafalan para penghafal, sampai akhirnya dia mendapatkan akhir surah
at-Taubah ayat 128 berada pada Abu Khuzaimah al-Ansari, yang tidak di dapatkan
pada orang lain, yang berbunyi :
لَقَدْ جاءَكُمْ
رَسُولٌ مِنْ أَنْفُسِكُمْ عَزيزٌ عَلَيْهِ ما عَنِتُّمْ حَريصٌ عَلَيْكُمْ
بِالْمُؤْمِنينَ رَؤُوفٌ رَحيمٌ
Artinya : “Sesungguhnya telah datang
kepadamu seorang Rasul dari kaummu sendiri berat terasa olehnya penderitaanmu, sangat
menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, dan amat belas kasihan lagi
penyayang terhadap orang-orang mukmin” (QS.
At-Taubah:128).[14]
Setelah
selesai dikumpulkan, ia di tangan Abu Bakar. Setelah ia wafat, mushaf itu
berpindah kepada Umar hingga wafatnya, kemudian ke tangan Hafsah, putri Umar.
Sesudahnya, Utsman memintanya dari Hafsah. Dengan demikian, Abu Bakar adalah
orang pertama yang mengumpulkan Al-Qur’an dalam satu mushaf. Dengan cara
seperti inilah Zaid mengumpulkan ayat-ayat dan surah-surah Al-Qur’an dan
mengumpulkannya yang sebelumnya terpisah-pisah.
Masa
pengumpulan Al-Qur’an ini terlihat sangat singkat. Sebagaimana diketahui, Abu
Bakar hanya memerintah kekhalifaan Islam ketika itu selama kurang lebih dua
tahun mulai Rabi’ul Awwal 11 H sampai Jumadil Tsani 13 H.. Sementara Zaid
melalui tugasnya setelah peperangan Yamamah (bulan ketiga tahun 12 H). Hal ini
berarti bahwa waktu yang tersisa bagi Zaid hanya 15 bulan.
Al-Zarqani mengemukakan bahwa mushaf yang disusun pada masa Abu Bakar hanyalah penulisan urutan-urutan ayat-ayatnya saja tanpa mengurut surah-surahnya.
Al-Zarqani mengemukakan bahwa mushaf yang disusun pada masa Abu Bakar hanyalah penulisan urutan-urutan ayat-ayatnya saja tanpa mengurut surah-surahnya.
Demikianlah
pengumpulan Al-Qur’an pada masa kekhalifahan Abu Bakar, yang dilakukan dengan
berbagai metode dalam rangka menjaga validitas dan keutuhan Al-Qur’an. Para
ulama’ berpendapat bahwa penamaan Al-Qur’an dengan “mushaf” baru muncul sejak
saat itu, yakni pada saat Abu Bakar mengumpulkan Al-Qur’an. Ali bin Abi Thalib
berkata, orang yang paling besar pahalanya dalam hal mushaf ialah Abu Bakar.
Semoga Allah melimpahkan rahmat-Nya kepadanya. Dialah yang pertama mengumpulkan
Kitab Allah. Pengumpulan ini dinamakan “Pengumpulan Kedua”.[15]
2.
Pengumpulan Al-Qur’an Pada Masa
Utsman bin Affan
Ketika Utsman bin Affan memegang kekhalifahan, dan para sahabat berpencar keberbagai
daerah dan masing-masing membawa bacaan yang didengarnya dari Rasulullah saw.
serta di antara mereka ada yang memiliki bacaan yang tidak dimiliki oleh
lainnya, orang-orang berbeda pendapat dalam bacaan. Setiap pembaca (qari’)
mengunggulkan bacaannya dan menyalahkan bacaan qari’ lainnya sehingga
permasalahan tersebut menjadi besar, perselisihanpun semakin memuncak.
Sebagaimana yang digambarkan dalam sejarah, bahwa sekembalinya Huzaifah bin
al-Yaman dari peperangan menaklukkan daerah Armenia dan Azerbaijan, ia
mengutarakan kekhawatiran kepada khalifah Usman bin Affan tentang perbedaan
bacaan al-Qur’an di kalangan kaum muslimin. Mihsan menggambarkan bahwa penduduk
Syam memakai bacaan Ubay bin Ka’ab, penduduk Kuffah memakai bacaan Abdullah bin
Mas’ud dan penduduk lainnya memakai bacaan Abu Musa Al-Asy’ari. Cara-cara
pembacaan al-Qur’an yang mereka bawakan berbeda-beda sejalan dengan perbedaan
huruf yang dengan al-Qur’an diturunkan. Apabila mereka berkumpul pada suatu
pertemuan, atau di suatu medan pertempuran, sebagian mereka merasa heran akan
adanya perbedaan qira’at itu.
Atas kejadian tersebut, Utsman kemudian bermusyawarah dengan para sahabat
mengenai apa yang harus dilakukan. Dalam musyawarah tersebut Utsman dan para
sahabat bersepakat untuk menyalin kembali Mushaf al-Qur’an yang ada pada tangan
Hafsah untuk dijadikan rujukan apabila terjadi perselisihan tentang cara
membaca al-Qur’an. Untuk melaksanakan tugas tersebut, Usman menunjuk satu tim
yang terdiri dari Zaid bin Tsabit, Abdullah bin Zubair, Sa’id bin Ash dan Abdul
Rahman bin Haris bin Hasyim.
Setelah kumpulan tulisan itu sampai ketangan Utsman, ia kemudian menugaskan
Zaid bin Tsabit, Abdullah bin Zubair, Sa’id bin al-Ash dan Abdul Rahman bin
al-Harits bin Hisyam untuk menyalin shuhuf-shuhuf tersebut kedalam beberapa
mushaf. Proses penyalinan lembaran tersebut ke dalam mushaf disertai dengan
perintah Utsman bahwa apabila terdapat perbedaan atas beberapa tulisan dalam
lembaran tersebut, maka tulislah dalam bahasa Quraisy dengan alasan bahwa al-Qur’an
diturunkan dengan lisan (bahasa) Quraisy.
Ladjnah yang dibentuk oleh Usman itu menyelesaikan usahanya pada tahun 25 Hijriyah, atau pada tahun 30 Hijriyah setelah delapan tahun tampuk pemerintahan dipegang oleh Usman ibn Affan. Menurut dugaan, besar sekali kemungkinan, bahwa pekerjaan tersebut diselesaikan antara 25 H dan 30 H itu.
Mushaf yang disusun pada masa khalifah Usman bin Affan ini lebih lengkap jika dibandingkan dengan mushaf pada masa khalifah Abu Bakar. Al-Zarqani menjelaskan bahwa mushaf Usmani telah dilengkapi penulisannya selain tertib urutan ayat, juga sudah ada urutan-urutan surah.
Ladjnah yang dibentuk oleh Usman itu menyelesaikan usahanya pada tahun 25 Hijriyah, atau pada tahun 30 Hijriyah setelah delapan tahun tampuk pemerintahan dipegang oleh Usman ibn Affan. Menurut dugaan, besar sekali kemungkinan, bahwa pekerjaan tersebut diselesaikan antara 25 H dan 30 H itu.
Mushaf yang disusun pada masa khalifah Usman bin Affan ini lebih lengkap jika dibandingkan dengan mushaf pada masa khalifah Abu Bakar. Al-Zarqani menjelaskan bahwa mushaf Usmani telah dilengkapi penulisannya selain tertib urutan ayat, juga sudah ada urutan-urutan surah.
Al-Zarkasyi menjelaskan hasil kerja tersebut berwujud empat mushaf al-Qur’an.
Tiga diantaranya di kirim ke Syam, Kuffah dan Basrah dan satu mushaf ditinggalkan
di Madinah untuk pegangan khalifah yang kemudian dikenal dengan al-Mushaf
al-Imam. Agar persoalan silang pendapat mengenai bacaan dapat diselesaikan
dengan tuntas, maka Utsman memerintahkan semua mushaf yang berbeda dengan hasil
kerja panitia yang empat itu dibakar. Umat pun menerima perintah itu dengan
patuh, sedang qira’at dengan enam huruf lainnya ditinggalkan. Keputusan ini
tidak salah, karena qira’at dengan tujuh huruf itu tidak wajib.
Dalam pada itu, latar belakang dibukukannya pada periode itu, karena Utsman bin Affan melihat banyak perbedaan cara-cara membaca Al-Qur’an. Sebagian bacaan itu bercampur dengan kesalahan, tetapi masing-masing mempertahankan dan berpegang pada bacaannya, serta menentang setiap orang yang menyalahi bacannya dan bahkan mereka saling mengkafirkan. Para sahabat amat memprihatinkan kenyataan ini karena takut kalau-kalau perbedaan itu akan menimbulkan penyimpangan dan perubahan.
Dalam pada itu, latar belakang dibukukannya pada periode itu, karena Utsman bin Affan melihat banyak perbedaan cara-cara membaca Al-Qur’an. Sebagian bacaan itu bercampur dengan kesalahan, tetapi masing-masing mempertahankan dan berpegang pada bacaannya, serta menentang setiap orang yang menyalahi bacannya dan bahkan mereka saling mengkafirkan. Para sahabat amat memprihatinkan kenyataan ini karena takut kalau-kalau perbedaan itu akan menimbulkan penyimpangan dan perubahan.
Dengan usahanya itu, Usman telah berhasil menghindarkan timbulnya fitnah
dengan mengikis sumber perselisihan serta menjaga Al-Qur’an dari perubahan dan
penyimpangan sepanjang zaman.[16]
3. Perbedaan Antara Pengumpulan Abu
Bakar dengan Utsman
Motif Abu bakar adalah ke khawatiran beliau akan hilangnya Al-Qur’an karena
banyaknya Huffazh yang gugur dalam peperangan. Sedang motif utsman untuk
mengumpulkan al-Qur’an adalah karena yang disaksikan sendiri di daerah-daerah
dan mereka saling menyalahkan satu sama lainnya.
Pengumpulan Al-Qur’an oleh Abu Bakar ialah memindahkan semua tulisan
Al-Qur’an yang semula bertebaran pada kulit-kulit binatang, tulang-belulang,
dan pelepah kurma, kemudian dikumpulkan dalam satu mushaf. Sedang pengumpulan
yang dilakukan oleh Utsman adalah menyalinnya dalam satu bahasa (Bahasa
Quraisy). Dalam usaha Utsman telah berhasil menghindarkan timbulnya fitnah dan
mengikis sumber perselisihan serta menjaga Al-Qur’an dari penambahan dan
penyimpangan sepanjang zaman, serta mencetaknya menjadi satu Mushaf yang baku,
yang dikenal dengan nama “Mushaf Utsmani”.
D.
Usaha
Lanjutan Pemeliharaan Al-Qur’an Pasca Kuhlafau Rasyidin
Upaya penyempurnaan Al-qur’an itu tidak berlangsung sekaligus, tetapi
bertahap dan dilakukan oleh generasi sampai abad III H (atau akhir abad IX M).
Ketika proses penyempurnaan naskah Al-Qur’an (Mushfa Usmani) selesai dilakukan.
Tercatat pula tiga nama yang disebut-sebyt sebagai orang yang pertama kali
meletakkan tanda titik pada mushaf Usmani. Ketiga orang itu adalah: Abu Al-Aswad Ad-Du’ali Yahya Bin Yamar,
Nashr Bin ‘Ashlm Al-laits. Dan adapun orang yang disebut-sebut pertama kali
meletakkan Hamzah, Tasydid, Al-raum,
dan Al-Isyman adalah Al-Khalil Bin Ahmad Farahidi Al-Azdi.[17]
Setelah periode Khalifah Utsman, pemeliharaan Al-Qur’an di kalangan umat
Islam semakin diperketat dengan teliti dan hati-hati. Naskah-naskah Al-Qur’an yang
dikirim ke Negara-negara Islam pada masa pemerintahannya, disalin kembali oleh
umat Islam dengan penuh kehati-hatian dengan tulisan yang lebih indah dan rapi
sesuai dengan perkembagan khat Arab.
Abdul Aziz bin Marwan, seorang Gubernur Mesir setelah menulis mushaf
Al-Qur’an, ia menyuruh umat Islam memeriksanya seraya berkata, “siapa yang
dapat menunjukkan barang sesuatu kesalahan dalam tulisan ini, akan diberikan
kepadanya seekor kuda dan 30 dinar.” Di antara yang memeriksa itu ada seorang
qari’ yang dapat menunjukkan suatu kesalahan, yaitu kata “naj’ah”, padahal yang
sebenarnya “na’jah”,
إِنَّ هذا أَخي لَهُ تِسْعٌ وَ تِسْعُونَ
نَعْجَةً وَ لِيَ نَعْجَةٌ واحِدَةٌ فَقالَ أَكْفِلْنيها وَ عَزَّني فِي الْخِط
Artinya : “Sesungguhnya
saudaraku ini mempunyai sembilan puluh sembilan ekor kambing betina dan aku
mempunyai seekor saja. Lalu dia berkata, ‘Serahkanlah kambingmu itu kepadaku’,
dan dia mengalahkan aku dalam perdebatan”. (QS. As-Shad:23)[18]
Dengan adaya huruf cetak yang memahami huruf Arab, maka dapat pulalah
Al-Qur’an dicetak untuk pertama kalinya pada tahun 1694 M., di Kota Hanburg
Jerman. Setelah Guthenberg (1397-1468 M) berhasil menciptakan mesin cetak
dengan menggunkan huruf bergerak pada pertengahan abad ke-15 M. Dengan demikian
umat muslim bisa menikmati teknologi cetak dalam penulisan teks Al-Qur’an pada
abad ke-17 M.
Sehubungan dengan penelitian mushaf-mushaf di Indonesia, Pemerintah
Indonesia telah membentuk suatu panitia yang bernama Lajnah Pentashhih Mushaf Al-Qur’an
yang bertugas memeriksa dan mentashhih naskah-naskah Al-Qur’an yang akan
dicetak atau yang telah dicetak. Bahkan Indonesia memiliki mushaf Al-Qur’an
Pusaka yang berukuran 1 x 2 meter, yang ditulis dengan tulisan tangan oleh para
ahli khat di Indonesia, di mana penulisannya di mulai dari tahun 1958-1960.
Sekilas fakta ini sudah cukup menjadi bukti bahwa Indonesia sebagai negara
terbesar berpenduduk muslim di dunia juga memiliki perhatian dan kepedulian
yang cukup besar terhadap eksistensi Al-Qur’an sebagai Kitab Suci dan Sumber
Hukum, dan sekaligus memiliki semangat untuk menjaga dan memelihara kemurnian
dan keontentikan Al-Qur’an.[19]
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Berdasarkan pemaparan diatas, penulis dapat menarik kesimpulan sebagai
berikut:
1. Jam’ul Qur’an
adalah proses penyampaian, pencatatan, pengumpulan catatan dan kodifikasi
hingga menjadi mushaf Al-Qur’an.
2. Bahwa
pengumpulan Al-Qur’an terjadi pada tiga masa, di mana masing-masing
dilatarbelakangi oleh peristiwa yang berbeda, terkhusus latar belakang
pengumpulan Al-Qur’an dimasa Rasulullah saw. adalah untuk menjaga kesempurnaan
Al-Qur’an selama proses diturunkannya.
3. Di masa
kekhalifahan Abu Bakar di latar belakangi oleh peristiwa perang Yamamah di mana
para sahabat huffadz banyak yang syahid dalam peperangan tersebut. Dan terakhir
pada masa kekhalifan Utsman, pada masa ini terjadi perselisihan terhadap
perbedaan bacaan di kalangan umat yang berujung pada saling menyalahkan bahkan
muncul pertikaian dan pengkafiran. Olehnya itu Utsman kemudian berinisiatif
untuk mengumpulkan Al-Qur’an menjadi satu mushaf yang menjadi pegangan bersama
oleh semua umat Islam pada masa itu.
Setelah periode Khalifah Utsman, pemeliharaan
Al-Qur’an di kalangan umat Islam semakin diperketat dengan sangat teliti dan
hati-hati. Untuk pertama kalinya Al-Qur’an dicetak pada tahun 1694 M., di Kota
Hanburg Jerman. Pemerintah Indonesia sendiri juga memiliki perhatian dan
kepedulian yang serius dalam hal pemeliharaan mushaf Al-Qur’an.
[1] M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur,an, (Jakarta: Penerbit
mizam, 1997) h. 23
[2] Said Agil Husin Al Munawar, Al-Qur’an Membangun Tradisi Kesalehan Hakiki,
(Jakarta: Ciputat Press, 2003), h.14
[3] Ibid. h.14
[4] M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur,an, (Jakarta: Penerbit
mizam, 1997) h. 23
[5] Lihat Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Termemahan.
[6] Manna Khalil Al-Qattan, Studi Ilmu-ilmu Al-Qur’an, (Bogor:
Litera AntarNusa, 1992), h.181
[7]
Lihat Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Termemahan.
[8] Mardan, Al-Qur’an
Sebagai Pengantar, (Tanggerang:
Sejahtera kita, 2010), h. 60
[9] Ibid, h. 61
[10]
Ibid, h.61
[11] Rosihon Anwar, Ulum Al-Qur’an (Bandung: CV. Pustaka
Setia, 2007), h. 39
[12] Mardan, Al-Qur’an Sebagai Pengantar (Tanggerang: Sejahtera kita, 2010) h. 61
[13] Subhi As-Shalih, Membahas Ilmu-ilmu Al-Qur’an, (Jakarta:
Pustaka Firdaus,1993), h.84
[14] Lihat Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Termemahan.
[15] Ibid, h. 63
[16]
https://mrbthoan.wordpress.com
jam’u-Al-qur’an Wa-kitabatuhu, diakses pada tanggal 2 April
2017.
[17] Muhammad Nur Abdul, Pengantar Ulumul Qur’an (Makassar:
Alauddin Universty Press, 2014). H.27
[18] Lihat Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Termemahan.
[19]Muhammad
Hadi Ma’rifat, Sejarah Al-Qur’an, (Jakarta: Al-Huda, 2007), h.45
No comments:
Post a Comment