Mohamad
Zaki Hussein Anggota
Partai Rakyat Pekerja (PRP)
SEBUAH pemikiran muncul karena
dikondisikan oleh kenyataan sosial di zamannya. Secara umum, kemunculan
Marxisme dikondisikan oleh munculnya cara produksi kapitalis, pertentangan
kelas, dan berbagai macam diskursus yang menyertainya di Eropa. Marx
(1818-1883) dan Engels (1820-1895) hidup tidak lama setelah dua momen historis
penting yang menandakan kemenangan kapitalisme atas feodalisme di Eropa, yaitu
Revolusi Industri di Inggris yang muncul pada 1780-an[1] dan Revolusi Perancis 1789. Karena perkembangan kapitalisme
di tiap daerah di Eropa tidaklah merata, bisa dikatakan bahwa mereka hidup di
masa ‘transisi’ sekaligus masa awal kapitalisme.
Tulisan ini hendak menguraikan
secara singkat kenyataan yang menjadi konteks sosial-historis dari pemikiran
Marx dan Engels. Tulisan ini akan dibagi menjadi tiga bagian. Pertama, kita
akan membahas situasi umum di Eropa berupa kemunculan kapitalisme dan
kebangkitan pemikiran modern. Lalu, kita akan membahas situasi spesifik di
Jerman dan filsafat idealisme Jerman. Baru kemudian kita akan membahas proyek
sosialisme dan gerakan proletariat di masa Marx dan Engels.
Kemunculan
Kapitalisme dan Kebangkitan Pemikiran Modern
Kapan persisnya kapitalisme yang
penuh itu muncul masih dalam perdebatan. Ada posisi yang menyatakan bahwa
keterputusan kapitalisme dari feodalisme memang terjadi dengan Revolusi
Industri pada abad ke-18. Etienne Balibar, misalnya, menyatakan bahwa periode
1500-1750 adalah periode ‘transisi menuju kapitalisme,’ sementara periode
setelah 1750 adalah periode kapitalisme yang penuh. Kemudian ada posisi lain
yang menyatakan bahwa keterputusan itu bukan terjadi pada masa Revolusi Industri,
melainkan pada masa ekspansi Eropa dan penciptaan pasar dunia pada abad ke-16.
Paul Sweezy, misalnya, menyatakan bahwa bagi Marx, periode manufaktur
(1500-1750) dan periode industri modern bukanlah dua sistem sosial yang
berbeda, melainkan hanya dua fase dari satu sistem yang sama, yakni
kapitalisme. Lalu, ada juga yang mengatakan bahwa titik putus itu terjadi pada
masa antara abad ke-16 dengan masa yang ditandai oleh Revolusi Industri dan
Revolusi Perancis, yaitu pada pertengahan abad ke-17.[2]
Di sini, kita tidak akan mencoba
memutuskan posisi mana yang benar dalam perdebatan di atas. Cukup bagi kita
untuk mengetahui bahwa sebelum Revolusi Industri, sudah ada konsolidasi pasar
dunia, yang kalaupun tidak bisa dikatakan sebagai tanda dari kemunculan
kapitalisme, tetapi tetap merupakan faktor penting yang mendorong kemunculan
kapitalisme. Zona-zona perdagangan yang luas sudah mulai terbentuk pada abad
ke-11 sampai 13 di Eropa. Beberapa kota di Italia menjadi pusat perdagangan
yang sangat kuat sampai abad ke-16. Lalu, sekitar tahun 1600, posisi ini mulai
beralih ke Antwerp di Belgia dan kemudian ke Amsterdam di Belanda.[3] Pada masa ini muncul gerakan Renaissance
(‘kelahiran-kembali’) yang mematahkan kekakuan budaya Abad Pertengahan. Muncul
seniman dan pemikir-pemikir seperti Michelangelo, Machiavelli dan Erasmus.
Sains modern juga sudah mulai terlihat dengan munculnya teori Copernicus pada
1543.[4] Pada masa ini, terjadi pula gerakan Reformasi Protestan
yang menolak otoritas Paus dengan tokohnya, Luther dan Calvin.
Pada masa Renaissance,
perdagangan berpusat di kota-kota, bukan negara. Baru kemudian, muncul ‘pasar
nasional’ di Eropa dan kebijakan negara yang berusaha melindungi pasar
nasional. Pada periode ini, berkembang diskursus ekonomi di seputar pertukaran
dan sirkulasi sebagai pencipta kekayaan. Diskursus ekonomi ini biasa disebut
dengan merkantilisme. Sebagian pemikirnya memang memiliki profesi sebagai
pedagang. Di antaranya adalah Thomas Mun (1571-1641), seorang pedagang sukses
yang menjadi Direktur Maskapai Hindia Timur pada 1615.[5] Pada masa ini, aktivitas ekonomi yang menonjol adalah
perdagangan, industri belum berkembang penuh. Sejarawan Eric Hobsbawm
menunjukkan bahkan pada masa ekspansi industri di abad ke-18, industri yang
dominan belum berupa pabrik-pabrik, tetapi masih berupa unit kerja yang para
pekerjanya bekerja di rumah mereka sendiri dengan bahan baku dan alat-alat
produksi yang dimiliki sendiri atau disewa dari para pedagang.[6] Produksi di rumah-rumah atau bengkel-bengkel kecil ini
diorganisir ke dalam gilda-gilda.
Pada 1780-an, mulai muncul Revolusi
Industri di Inggris. Revolusi Industri terjadi di Inggris, karena berbeda
dengan negara Eropa lainnya, Inggris sudah memiliki prasyarat-prasyarat sosial
dan material yang diperlukan bagi terciptanya sebuah masyarakat industri. Di
Inggris, keuntungan pribadi dan perkembangan ekonomi sudah menjadi obyek dari
kebijakan pemerintah. Sektor agrarianya sudah dikelola untuk pasar dan siap
menopang industrialisasi. Manufakturnya sudah tersebar di daerah-daerah
pedesaan non-feodal. Kemudian, sudah ada sejumlah besar infrastruktur yang
diperlukan bagi kelancaran kemajuan ekonomi, seperti fasilitas pelabuhan, jalan
dan rel kereta api yang baik. Yang diperlukan hanyalah pemicunya, yakni sebuah
industri yang memberikan keuntungan besar dan monopoli atas pasar produk
industri tersebut. Industri itu adalah industri kapas, dan Inggris sudah sejak
lama menguasai pasar kolonial dan semi-kolonial.[7] Sejak Revolusi Industri, kapitalisme industri berkembang
dengan pesat dan meluas ke berbagai negeri di Eropa.
Kalau di Inggris ada Revolusi
Industri, di Prancis terjadi Revolusi Prancis. Masa itu memang merupakan masa
revolusi demokratik di dunia Barat. Muncul perjuangan kemerdekaan di Amerika
Serikat (1776-83), Irlandia (1782-4), Belgia dan Liege (1787-90) serta
Belanda (1783-7). Namun, di antara berbagai revolusi demokratik itu, Revolusi
Prancis memang merupakan revolusi demokratik yang paling radikal dan dramatis
di masa itu. Ada beberapa kontradiksi yang menyebabkan munculnya Revolusi
Prancis. Pertama-tama, terdapat kontradiksi antara kaum borjuis yang
menginginkan pembaharuan dengan Negara Monarki Absolut yang menghambatnya.
Kemudian, ada para bangsawan yang merasakan kesulitan ekonomi akibat inflasi.
Mereka mencari pendapatan tambahan dengan merebut pos-pos penting di
pemerintahan, sehingga bersaing dengan kelas menengah yang juga ingin mengambil
pos-pos tersebut. Turunnya pendapatan para bangsawan juga membuat mereka
berusaha mempertinggi pemerasan atas petani. Negara Perancis waktu itu juga
sedang mengalami krisis keuangan, tetapi para bangsawan tidak mau membantu
keuangan negara tanpa perluasan privilese mereka yang saat itu dipersempit oleh
Negara.[8]
Revolusi Perancis pun pecah pada
1789. Dibentuklah Majelis Konstituante dan kaum borjuis berusaha melakukan
pembaharuan melalui institusi ini. Pada masa ini, raja masih ada dan Perancis
menjalankan sistem ‘monarki konstitusional.’ Pihak kerajaan dan para bangsawan
yang sudah setengah-tersingkir tidak menerima hal ini dan ingin mengambilalih
kembali kekuasaan mereka. Para bangsawan, yang sebagian sudah bermigrasi ke
negara Eropa lainnya, merasa bahwa hanya intervensi asing yang bisa memenangkan
kembali kekuasaan mereka. Sementara, negara-negara monarki di sekitar Prancis
juga khawatir dengan pengaruh Revolusi Prancis di negeri mereka. Akhirnya, pada
April 1792, pecah perang antara Prancis dengan beberapa negara monarki di
Eropa, seperti Austria. Prancis kalah dan muncul tuduhan di dalam negeri bahwa
kekalahan Prancis disebabkan oleh sabotase dan pengkhianatan pihak kerajaan.
Pada Agustus-September di tahun yang sama, kekuasaan monarki digulingkan di
Prancis. Sementara invasi asing berhasil ditahan dengan duel artileri di Valmy.[9]
Kaum liberal atau Girondin yang
berkuasa saat itu di Prancis, bersikap keras terhadap kerajaan-kerajaan asing,
tetapi moderat di dalam negeri. Mereka berperang kembali dengan sebagian besar
kerajaan di Eropa pada 1793. Prancis dikepung oleh Jerman yang menyerang dari
utara dan timur, serta Inggris yang menyerbu dari selatan dan barat. Di dalam
negeri, terjadi pemberontakan di 60 dari 80 departemen (semacam provinsi) yang
ada. Pemerintahan Girondin pun jatuh digantikan oleh pemerintahan sayap-kiri
Jacobin. Untuk bisa menyelesaikan krisis di Perancis, kaum Jacobin menerapkan
wajib militer massal untuk rakyat dan mengeksekusi mati siapapun yang dianggap
sebagai musuh revolusi. Dalam 14 bulan, 17 ribu pejabat dieksekusi. Tetapi,
dengan cara ini, kaum Jacobin bukan hanya berhasil mempertahankan Prancis dari
invasi koalisi kerajaan-kerajaan Eropa, tetapi juga berhasil melakukan pukulan
balik, seperti pendudukan Belgia. Pada Juli 1794, pemerintahan Jacobin jatuh.
Tokoh-tokohnya, seperti Robespierre dan Saint-Just, pun dieksekusi mati.
Setelah itu, muncul pemerintahan kaum Direktorat yang berusaha menstabilkan
situasi. Pada 1799, pemerintahan kaum Direktorat jatuh dan digantikan oleh
Napoleon, yang menandakan akhir dari Revolusi Perancis.[10]
Seiring dengan pergolakan ekonomi
dan politik di atas, terjadi pula ‘revolusi’ di ranah ide. Muncul pengetahuan
modern. Dalam fisika dan astronomi, kita menyaksikan munculnya Kepler, Galileo
dan Newton. Juga terjadi penemuan instrumen-instrumen ilmu alam seperti teleskop
yang ditemukan oleh Lippershey pada 1608―yang pembuatannya lalu ditiru Galileo
untuk mengamati planet-planet. Lalu, Galileo juga menemukan termometer,
sementara muridnya, Torricelli, menemukan barometer. Ilmu pengetahuan di bidang
lain juga berkembang. Di bidang biologi, ada Harvey (1578-1657) yang menemukan
sirkulasi darah dan Leeuwenhoek (1632-1723) yang menemukan spermatozoa.[11] Muncul pula filsuf dan pemikir sosial-politik seperti
Desacrtes, Spinoza, Leibniz, Hume, Kant, Hegel, Rousseau, Montesquieu, dan yang
lainnya. Zaman ini biasa disebut dengan zaman Pencerahan atau Aufklärung.
Khusus terkait dengan Marx dan
Engels, setidaknya ada tiga macam pemikiran modern yang mempengaruhi mereka
dengan kuat. Yang pertama adalah materialisme modern yang
berkembang di Inggris dan Perancis. Perkembangan filsafat materialisme ini,
terutama materialisme Prancis, pernah dibahas secara singkat oleh Marx dalam The
Holy Family.[12] Rhineland-Westphalia, tempat kelahiran Marx, memang pernah
dianeksasi oleh Prancis dan ide-ide Revolusi Prancis berpengaruh kuat di sana.
Yang kedua adalah historiografi-sosiologis Perancis, dari mana Marx dan
Engels memperoleh konsep kelas sosial dan perjuangan kelas.
Konsep kelas dan perjuangan kelas sudah digunakan oleh para pemikir Perancis,
seperti Francois Auguste Mignet.[13] Yang ketiga adalah pemikiran ekonomi-politik
Inggris, khususnya Adam Smith dan David Ricardo, yang menemukan kerja
sebagai basis dari nilai. Marx dan Engels tidak hanya menyerap ide-ide ini.
Mereka juga melakukan kritik dan pelampauan atasnya untuk menghasilkan gagasan
yang lebih maju. Misalnya, dengan melakukan kritik terhadap diskursus
ekonomi-politik di masanya dan analisa atas realitas kapitalisme, Marx
menemukan teori penghisapan nilai surplus yang merupakan bentuk dari
eksploitasi dalam kapitalisme.
‘Keterbelakangan’
Jerman dan Filsafat Idealisme Jerman
Pada waktu Revolusi Perancis, Jerman
belum menjadi satu negara utuh.[14] Jerman adalah sebuah istilah untuk menamakan sebuah wilayah
yang di dalamnya terdapat negara-negara yang memiliki bahasa sama dan dulunya
pernah menjadi bagian dari Kekaisaran Romawi. Secara ekonomi, Jerman juga
relatif terbelakang dibandingkan Prancis dan Inggris. Jerman masih merupakan
negara agraris dengan tiga perempat dari 23 juta penduduknya hidup dari tanah.
Kendati relatif terbelakang, Jerman sampai 1848 sedang mengalami transisi yang
pesat dari feodalisme menuju kapitalisme dengan ‘paksaan dari negara.’ Struktur
tanah feodal yang ada dihancurkan oleh negara dengan beberapa kebijakannya,
seperti penghapusan pelarangan jual-beli tanah yang dikeluarkan pada Oktober
1807 oleh Baron vom Stein, Menteri Dalam Negeri Frederick William III.
Hasil dari transformasi ini adalah
terkonsentrasinya tanah di bawah tuan-tuan tanah besar. Selama 1815-1848,
wilayah tanah yang berada di bawah kepemilikan berskala kecil dan menengah
berkurang sebesar 40 persen, sementara sekitar satu juta hektar tanah beralih
ke tangan para tuan tanah besar. Para tuan tanah besar inipun kemudian
mengeksploitasi tanah mereka secara kapitalistik, sementara para mantan
petani-hamba (serf) bekerja sebagai buruh harian di tanah-tanah luas
tersebut atau pergi ke kota dan menjadi proletariat perkotaan. Perkembangan
ekonomi di Jerman tidak merata di semua wilayah. Daerah Rhineland-Westphalia,
yang pernah diduduki Prancis selama 1795-1815, adalah daerah yang sangat maju
perkembangan industrinya. Di situ berkembang simpati terhadap Prancis beserta
pemikiran-pemikirannya. Tidak heran jika para penduduknya berkeberatan dengan
keputusan Kongres Vienna pada 1815 untuk mengembalikan Rhineland ke Prussia.
Industri di Jerman baru berkembang
pesat setelah kedelapan belas negara di Jerman membentuk sebuah koalisi yang
bernama Zollverein (Persatuan Adat) pada 1834. Hasil pertambangan yang
meningkat sebesar 50% selama 1800-1830, meningkat lagi dua kali lipat pada
1830-1842. Produksi barang-barang konsumsi meningkat delapan kali lebih banyak
pada 1830-1840 dibandingkan dengan pada 1800-1810. Rel kereta api pertama
dibuat pada 1835, dan pada 1847 sudah ada 2.500 kilometer rel kereta api.
Produksi besi meningkat dari 134.000 ton pada 1834 menjadi 170.000 ton pada
1841. Jumlah mesin uap meningkat tiga kali lipat selama 1837-1848. Meski
industri berkembang cukup pesat, sempat terjadi pengangguran yang cukup tinggi
di daerah pedesaan. Sebagian dari para penganggur ini pindah ke kota-kota dan
sebagian lagi bermigrasi ke negara-negara lain di Eropa dan Amerika. Ada
750.000 orang yang bermigrasi selama 30 tahun sebelum 1848.
Transformasi struktural ini
menghasilkan berbagai lapisan sosial dalam masyarakat. Yang pertama
adalah tuan-tuan tanah besar yang mengeksploitasi tanah mereka secara
kapitalistik, tetapi tetap memiliki beberapa privilese feodal mereka. Sekalipun
mereka tidak lagi mengontrol pengelolaan kota-kota, tetapi mereka masih
memegang jabatan-jabatan publik yang tertinggi dan tentara. Kedua, kelas
menengah yang bertransformasi dari pedagang berskala besar menjadi industrialis
atau pengusaha. Ketiga, kaum artisan―mereka yang bekerja di rumah atau
bengkel-bengkel pra-industrial bersama beberapa asistennya―yang posisinya
paling terancam oleh perkembangan ekonomi di Jerman. Keempat, buruh
industrial yang tumbuh dengan cepat, sebanyak tujuh kali lipat selama
1800-1848. Meski berkembang pesat, jumlah buruh pada saat itu sebenarnya masih
kecil. Pada pertengahan 1840-an, jumlah buruh industrial masih berada di bawah
jumlah artisan.
Seiring dengan situasi sosial yang
’transisional’ seperti itu, muncul bermacam pemikiran yang dikategorisasi
McLellan sebagai konservatisme, Katolikisme politis, liberalisme, radikalisme
dan sosialisme. Namun, berbagai aliran pemikiran ini tidak secara strict
berkorespondensi dengan kepentingan kelas tertentu. Misalnya, ada pemikiran
politik konservatif yang relatif mencerminkan kepentingan para bangsawan,
seperti pemikiran Gerlach bersaudara, Stahl, Hengstenberg dan Leo. Mereka
bersikap anti terhadap rasionalisme dan memuja Kekaisaran Abad Pertengahan
serta Persekutuan Suci.[15] Tetapi, ada juga kaum konservatif yang memiliki kepedulian
sosial, seperti Victor Aimé Huber dan Lorenz von Stein, yang mempromosikan
‘monarki sosial’ dan meminta raja untuk membantu kelas-kelas yang tidak
berpunya dalam berhadapan dengan kelas-kelas berpunya. Contoh lainnya, dalam
pemikiran liberal, ada yang mempromosikan kebebasan individu dan ’monarki
parlementer,’ tetapi ada juga yang dekat dengan konservatisme dan mempromosikan
kedaulatan negara.
Pemikiran Jerman mendapat pengaruh
kuat dari gagasan-gagasan Revolusi Prancis yang sangat mempercayai nalar untuk
menjelaskan dan memperbaiki dunia. Di ranah filsafat, pemikiran ini berusaha
diberikan fondasinya oleh Immanuel Kant. Sekalipun Kant menganggap bahwa nalar
manusia terbatas hanya untuk ’dunia fenomena’ dan terdapat ’sesuatu di dalam
dirinya’ (das ding an sich) yang tidak bisa ditembus nalar, tetapi nalar
bebas untuk menelusuri dunia fenomena. Diskursus tentang pengetahuan manusia
ini diteruskan oleh para filsuf idealis Jerman, yang menekankan keutamaan
pikiran atau ruh untuk menjelaskan kenyataan. Mereka menganggap bahwa prinsip
regulatif dari dunia ada secara imanen di dalam dunia. Mereka juga menganggap
gagasan tentang perkembangan, perubahan, dan kontradiksi sebagai gagasan yang
mendasar untuk memahami dunia. Adalah Hegel yang kemudian berusaha menyatukan
tema-tema ini ke dalam satu sistem pemikiran yang komprehensif.
Hegel berangkat dari gagasan bahwa
pusat eksistensi manusia ada dalam nalar, yang dengannya manusia membangun
kenyataan. Ia membahas perkembangan dialektis dari nalar manusia sampai ke
pengetahuan absolut. Tiap tahap dari pekembangan ini menyimpan sekaligus
menghapuskan elemen-elemen dari tahap sebelumnya. Hegel menyebut proses
ini sebagai Aufhebung, yang merupakan salah satu aspek penting dari
dialektika. Kalau di nalar manusia, perkembangan ini berujung pada pengetahuan
absolut, di wilayah sosial, perkembangan ini yang melewati tahap keluarga dan
masyarakat sipil, berujung pada negara. Negara adalah organisasi sosial
tertinggi, yang mampu mensintesakan hak-hak partikular dan nalar universal. Dan
karena Hegel menganggap tidak ada filsuf yang bisa berdiri di luar zamannya
serta menolak teorisasi atas ideal-ideal yang abstrak, ia menganggap negara itu
adalah negara Prussia di zamannya.
Setelah Hegel meninggal,
pemikirannya mendominasi universitas-universitas di Jerman. Namun, muncul
perbedaan pendapat di antara para Hegelian yang berujung pada perpecahan antara
mazhab Hegelian Kanan dan Kiri. Mazhab Hegelian Kanan berpegang pada slogan ‘yang
riil itu rasional,’ sehingga mereka menganggap semua yang ada sebagai rasional.
Sementara, mazhab Hegelian Kiri berpegang pada slogan ‘yang rasional itu riil,’
sehingga semua yang ada perlu dievaluasi oleh nalar. Pada awalnya, Marx dan
Engels termasuk dalam kelompok Hegelian Kiri. Tetapi, ia kemudian juga
berpolemik dengan para Hegelian Kiri, seperti Bruno Bauer dan Max Stirner. Marx
dan Engels mengambil dialektika dari Hegel, tetapi membuang idealismenya, dan
menyandingkan dialektika dengan materialisme. Upaya Marx dan Engels untuk
melampaui filsafat idealisme Jerman inilah―yang juga dibantu oleh pemikiran
lain, seperti materialisme Perancis dan Feuerbach―yang menghasilkan metode materialisme
historis dan materialisme dialektis.
Proyek
Sosialisme dan Gerakan Kelas Proletariat
Kemunculan sosialisme modern
dikondisikan oleh pertentangan kelas buruh-kapitalis dan anarki dalam produksi.[16] Embrio dari pertentangan kelas buruh-kapitalis ini
sebenarnya sudah ada sebelum kelas proletariat modern berkembang penuh. Dan
pertentangan ini kadang muncul ke permukaan, seperti gerakan kaum Leveller dan
Digger yang muncul pada Revolusi Inggris di tahun 1640-1688 dan mengutuk
eksploitasi yang terus berlanjut atas kaum miskin, sekalipun terjadi perluasan
hak politik.[17] Seiring dengan perkembangan kelas pekerja, pada abad ke-18
dan 19, muncul diskursus sosialisme yang berusaha merumuskan gagasan tentang
masyarakat masa depan, seperti yang diartikulasikan oleh Morelly, Mably,
Charles Fourier, Robert Owen dan Saint-Simon. Namun, diskursus ’sosialisme
utopis’ ini memiliki keterbatasannya, karena tidak dibasiskan pada analisis
yang tajam atas kenyataan kapitalisme, dan melihat sosialisme lebih sebagai
manifestasi Nalar. Marx dan Engels terpengaruh oleh gagasan ini, tetapi mereka
berusaha melampauinya. Hasilnya adalah sosialisme ilmiah.
Untuk bisa melihat di mana
keterbatasan mereka, mari kita bahas dua pemikiran ’sosialisme utopis’ yang
cukup maju pada masa itu, yakni Robert Owen yang berasal dari Wales dan
Saint-Simon yang berasal dari Prancis.[18] Pemikiran Owen dikondisikan oleh Revolusi Industri di
Inggris yang membuatnya bisa melihat potensi emansipatif dari peningkatan
produktivitas akibat perkembangan kekuatan-kekuatan produktif. Owen juga
merupakan seorang pengusaha, sehingga ia memiliki pengetahuan praktis yang
memadai tentang industri. Ia menjadi managing partner dari sebuah pabrik
kapas di New Lanark, Sktolandia, pada 1800-1829. Selama periode ini, ia
berhasil merubah situasi di daerah yang berpenduduk 2.500 orang itu. Jam kerja
yang saat itu masih 13-14 jam, dikuranginya menjadi 10,5 jam. Kemudian, di saat
krisis kapas membuat pabriknya berhenti beroperasi selama 4 bulan,
buruh-buruhnya tetap menerima upah penuh. Ia juga membangun sekolah balita di
New Lanark. Dan ini semua tidak berpengaruh pada keuntungan pabriknya.
Pabriknya tetap memperoleh untung besar.
Sekalipun sukses, ia tetap tidak
puas. Ia melihat bahwa para buruhnya tetap menjadi budak yang berada di bawah
belas kasihannya. Ia juga merefleksikan kenyataan bahwa 2.500 penduduk di New
Lanark mampu memproduksi kekayaan yang sama banyaknya dengan kekayaan yang
diproduksi oleh 600.000 orang satu setengah abad sebelumnya. Masalahnya,
sebagian besar kekayaan ini jatuh ke tangan si pemilik pabrik. Apa yang
kemudian berusaha dilakukan Owen adalah merekonstruksi sebuah masyarakat di
mana kekayaan yang berlimpah ini bisa menjadi milik publik, untuk kemaslahatan
umum. Pada tahun 1823, Owen mengusulkan pembentukan koloni-koloni Komunis untuk
menyelesaikan penderitaan yang dialami masyarakat Irlandia. Ia membuat sebuah
rancangan praktis yang sangat rinci, dengan perkiraan ongkos pendirian
koloni-koloni itu, pengeluaran tahunannya dan pendapatan yang mungkin didapat.
Ia juga mulai menyerang kepemilikan pribadi dan melakukan eksperimen-eksperimen
pendirian koloni Komunis, seperti yang dilakukannya di Amerika.
Namun, upayanya mengalami kegagalan
dan ia kehilangan posisi sosial yang ia miliki. Kalau sebelumnya, ia adalah
orang yang terpandang di masyarakat dan pendapat-pendapatnya menjadi rujukan
para negarawan serta bangsawan, maka setelah menjadi ’komunis,’ ia dikucilkan
oleh mereka. Ia juga jatuh miskin, karena mengorbankan nyaris seluruh
kekayaannya untuk melakukan eksperimen koloni komunis yang gagal di Amerika. Ia
pun beralih ke kelas pekerja. Di sana, ia disambut dengan suka cita. Ia menjadi
ketua Serikat Buruh Inggris dan Irlandia yang Terkonsolidasi Secara Nasional
dan Besar melalui kongres yang diikuti serikat-serikat buruh dan
komunitas-komunitas koperasi pada Oktober 1833 di London. Ia menggagas agar
serikat ini mengambilalih manajemen produksi dan mengorganisirnya dalam bentuk
koperasi. Ia juga menggagas Bazar Pertukaran Kerja yang Setara untuk
pertukaran produk kerja, dengan alat tukarnya berupa labor-notes yang
satu unitnya adalah satu jam kerja. Dengan cara ini, Owen berharap transformasi
masyarakat bisa dijalankan dengan cara damai. Tetapi, ia keliru. Para pengusaha
dan negara menentang keras Owen dan serikatnya. Pada Agustus 1834, serikat yang
dipimpin Owen ini pun terlikuidasi.[19]
Apa yang tidak berhasil dipahami
Owen adalah kenyataan adanya perjuangan kelas. Berbeda dengan Owen, Saint-Simon
yang merupakan anak kandung Revolusi Prancis, berhasil menangkap adanya
perjuangan kelas dalam masyarakat. Namun, karena kelas proletariat di Prancis
pada saat itu belum berkembang penuh, ia melihat pertentangan kelas yang
terjadi adalah antara ’pekerja’ dengan ’pemalas’ (idlers). Namun, yang
ia sebut ’pekerja’ bukan hanya buruh, tetapi juga pengusaha, pedagang dan
bankir, sementara ’pemalas’ adalah kaum feodal yang memiliki privilese, tetapi
tidak terlibat dalam produksi dan distribusi. Saint-Simon juga trauma dengan
pengalaman pemerintahan Jacobin yang melakukan ‘teror,’ sehingga ia menganggap
bahwa kelas-kelas yang tidak berpunya—yang direpresentasikan oleh pemerintahan
Jacobin—tidak punya kapasitas memimpin. Ia lalu merumuskan sebuah ekonomi
sosialis yang dipimpin oleh sains dan industri, yang personifikasinya adalah
ilmuwan dan borjuasi. Ia berharap borjuasi bisa mentransformasikan diri mereka
menjadi semacam pejabat publik yang baik atau wali amanat masyarakat.
Di samping diskursus sosialisme
utopis yang menekankan aktivitas penyadaran, ada pula kalangan sosialis yang
berusaha menggabungkan wacana sosialis dengan aksi pekerja secara langsung,
seperti Wilhelm Weitling dan Auguste Blanqui. Mereka terpengaruh oleh tradisi
perjuangan politik revolusioner yang ada pada saat itu, terutama yang berasal dari
Revolusi Perancis. Blanqui sendiri adalah pemimpin Komunitas Musim (Société
des Saisons) yang didirikan oleh Philippe Buonarotti, bekas anggota
Konspirasi Kaum yang Setara (Conspiration des Egaux). Konspirasi Kaum
yang Setara, yang dulu dipimpin oleh Gracchus Babeuf, pernah melakukan kudeta
untuk mengambilalih kekuasaan di Prancis pada 1797. Namun, mereka gagal dan
Babeuf pun dieksekusi mati. Kalangan ini memiliki tradisi perjuangan politik
revolusioner yang kuat, tetapi berwatak konspiratif dan mengutamakan teknik
kudeta, bukan gerakan massa. Karena aktivitas politiknya yang seperti itu,
organisasi mereka pun bersifat klandestin dan berdisiplin besi, sehingga tidak
banyak orang yang tahan ikut dengan mereka. Watak gerakan mereka ini
dipengaruhi oleh basis sosialnya yang terdiri dari kaum artisan atau pekerja
pra-industri, yang memang tidak begitu memiliki pengalaman gerakan massa.[20]
Berbeda dengan Saint-Simon dan Owen,
Marx dan Engels berhasil menangkap kenyataan perjuangan kelas
proletariat-kapitalis. Dan berbeda dengan kaum ’sosialis konspiratif,’ Marx
menyadari pentingnya perjuangan politik revolusioner yang berbasis massa
proletariat. Pada abad ke-19, karakter massif dan politis dari perlawanan kelas
pekerja mulai terlihat.[21] Pada akhir 1830-an, terbentuk partai massa buruh pertama di
Inggris, yaitu partai Chartist, yang menuntut adanya pemilihan umum universal.
Pendiriannya ditandai dengan aksi 150.000 buruh di Glasgow, Skotlandia.
Sekalipun gerakan buruh mulai memperlihatkan karakter politiknya, tetapi
karakter politiknya tidak stabil dan mudah terjatuh lagi ke dalam
ketergantungan politik dengan kelas borjuasi. Sebelum membentuk partai
Chartist, misalnya, gerakan buruh di Inggris mendukung perjuangan kaum borjuis
kecil untuk pemilihan universal dan mendukung Partai Whig yang liberal untuk
Rancangan Undang-Undang Reformasi. Saat mereka menyadari keterbatasan kaum
liberal, mereka pun membentuk partai Chartist. Tapi, pada 1850-an, mereka
bergantung lagi kepada Partai Liberal.
Selain itu, secara umum, gerakan
buruh di masa itu lebih terfokus pada tuntutan sosial-ekonomi yang bersifat
jangka pendek dan menengah, tetapi ’gagap’ ketika berusaha merumuskan proyek
transformasi masyarakat. Kalaupun mereka berupaya merumuskannya, hasil
perumusan mereka biasanya bersifat samar-samar dan tidak memadai. Marx dan
Engels berusaha melampaui keterbatasan ini dengan mengintrodusir proyek politik
sosialisme ilmiah ke dalam gerakan proletariat. Dan karena realisasi
proyek politik ini mensyaratkan pengambilalihan kekuasaan politik oleh
kelas proletariat, Marx dan Engels juga berupaya menggabungkan tradisi
perjuangan politik revolusioner dengan gerakan massa proletariat.
Penutup
Di atas tadi, sudah diuraikan secara
singkat berbagai kenyataan sosial yang mengondisikan kemunculan pemikiran Marx
dan Engels. Bisa dikatakan bahwa apa yang dilakukan Marx dan Engels adalah menegasi
berbagai hal yang dianggap keliru seraya mengafirmasi hal-hal yang
dianggap valid dari diskursus dan tradisi perjuangan yang ada di masanya,
ditambah dengan analisa terhadap kenyataan, untuk menghasilkan diskursus dan
model perjuangan yang lebih maju. Berikut adalah beberapa upaya yang dilakukan
Marx dan Engels beserta capaiannya:
(1) Marx dan Engels
mengambil materialisme modern dan dialektika Hegel seraya membuang aspek
mekanik dari materialisme dan aspek idealistik dari dialektika Hegel. Hasilnya
adalah metode materialisme historis dan materialisme dialektis.
(2) Marx dan Engels mengambil teori
nilai kerja yang ditemukan oleh para ekonom politik Inggris, tapi membuang
kekeliruan yang ada di dalamnya, seperti kegagalan para ekonom politik untuk
membedakan nilai yang dikandung tenaga kerja dengan nilai yang
diciptakan oleh kerja dan terkandung dalam komoditi, seraya melakukan
analisa atas kenyataan kapitalisme. Hasilnya adalah konsep penghisapan nilai
surplus yang merupakan bentuk eksploitasi dalam masyarakat
kapitalis.
(3) Marx dan Engels
mengambil konsep kelas sosial dan pertentangan kelas dari
historiografi-sosiologis Perancis dan membasiskannya pada aktivitas produksi
dan reproduksi masyarakat. Hasilnya adalah konsep kelas sosial dan perjuangan
kelas Marxis.
(4) Marx dan Engels
mengambil diskursus sosialisme yang ada pada masanya, membuang sifat utopisnya
seraya membasiskannya pada kenyataan sosial-material kapitalisme. Hasilnya
adalah sosialisme ilmiah.
(5) Marx mengambil
tradisi perjuangan politik revolusioner yang dibawa oleh kaum ’sosialis
konspiratif’ terutama dari Revolusi Perancis, menolak karakter konspiratifnya,
menggabungkannya dengan gerakan massa proletariat, di mana kecenderungan gerakan
massa proletariat untuk membatasi diri pada reform juga dilampaui dengan
mengintrodusir sosialisme ilmiah ke dalam gerakan ini. Hasilnya adalah model perjuangan
politik revolusioner berbasis massa proletariat dengan senjata intelektual
sosialisme ilmiah.
Capaian-capaian di atas tentu baru
sebagian kecil saja dari pemikiran Marx dan Engels. Masih banyak aspek lain
dari pemikiran Marx dan Engels yang tidak dibahas dalam tulisan ini, seperti
teori negara, teori krisis, dan sebagainya. Kemudian, penting juga untuk
dicatat bahwa Marxisme tidak berhenti di pemikiran Marx dan Engels. Marxisme
terus mengalami perkembangan seiring dengan kenyataan kapitalisme yang juga
berkembang. Ada banyak sekali pemikir Marxis pasca-Marx dan Engels. Tulisan ini
hanya merupakan tulisan pengantar yang bertujuan memperkenalkan pemikiran Marx
dan Engels dengan penekanan pada konteks sosial-historis yang mengondisikannya.
Harapannya, tulisan ini bisa menarik minat pembaca untuk mengetahui lebih jauh
pemikiran Marx dan Engels serta juga Marxisme. Bagi mereka yang berkepentingan
untuk menghancurkan kapitalisme dan merealisasikan emansipasi manusia, Marxisme
menyediakan senjata intelektual yang sangat tajam dan kaya.***
Penulis beredar di Twitterland
dengan id @mzakih
[1] Ada juga sejarawan yang menyatakan bahwa Revolusi Industri
terjadi pada 1760-an, tapi menurut Hobsbawm, semua indeks statistik yang
relevan menunjukkan peningkatan tajam pada 1780-an. Lihat Eric Hobsbawm, The
Age of Revolution, 1789-1898 (New York: Vintage Books, 1996), hlm. 28.
[2] Lihat Immanuel Wallerstein, The Modern World-System II:
Mercantilism and the Consolidation of the European World-Economy, 1600-1750
(New York: Academic Press, 1980), hlm. 5-6.
[3] Lihat Fernand Braudel, Civilization and Capitalism
15th-18th Century: The Perspective of the World, diterjemahkan oleh Siân
Reynolds (London: William Collins Sons & Co Ltd, 1948), hlm. 92 dan 98.
[4] Bertrand Russell, History of Western Philosophy: and its
connection with Political and Social Circumstances from the Earliest Times to
the Present Day (London: George Allen dan Unwin Ltd, 1946), hlm. 512
[5] Gianni Vaggi dan Peter Groenewegen, A Concise History of
Economic Thought: From Mercantilism to Monetarism (New York: Palgrave
Macmillan, 2003), hlm. 15.
[6] Eric Hobsbawm, op. cit., hlm. 36-37.
[7] Lihat ibid., hlm. 29-35.
[8] Ibid., hlm. 54-58.
[9] Ibid., hlm. 64-66.
[10] Ibid., hlm. hlm. 66-72.
[11] Bertrand Russell, op. cit., hlm. 557.
[12] Lihat K. Marx dan F. Engels, The Holy Family or Critique
of Critical Critique, diterjemahkan oleh R. Dixon (Moscow: Foreign Language
Publishing House, 1956), hlm. 167-179.
[13] Lihat Ernest Mandel, The Place of Marxism in History
(New Jersey: Humanities Press International, 1994), hlm. 18-26.
[14] Pembahasan tentang situasi Jerman ini sebagian besar
didasarkan pada Bab I dari buku David McLellan, Marx Before Marxism
(London: Macmillan, 1970), hlm. 1-23.
[15] Persekutuan Suci adalah persekutuan yang dibuat oleh
kekaisaran Austria, Prussia dan Rusia pada 1815.
[16] Lihat Frederick Engels, “Socialism: Utopian and
Scientific,” dalam Karl Marx dan Frederick Engels, Collected Works,
Jilid 24 (New York: International Publishers, 1989), hlm. 285.
[17] Lihat Ernest Mandel, op. cit., hlm. 39.
[18] Pembahasan tentang Robert Owen dan Saint-Simon ini banyak
mengambil dari Frederick Engels, op. cit., hlm. 290-296.
[19] Lihat catatan kaki nomor 360 dan 361 dalam ibid.,
hlm. 634.
[20] Lihat Ernest Mandel, op. cit., hlm. 47-53.
[21] Pembahasan tentang gerakan buruh pada zaman
Marx dan Engels ini banyak mengambil dari ibid., hlm. 55-62
No comments:
Post a Comment