Sunday, November 26, 2017

Teori Psikologi Yang Relevan Dengan Pendidikan



TEORI-TEORI PSIKOLOGI YANG RELEVAN DENGAN PENDIDIKAN
A. Teori Koneksionisme
 Pada mulanya, pendidikan dan pengajaran di Amerika Serikat di dominasi oleh pengaruh Thorndike (1874–1949). Teori belajar Thorndike ”connectionism” karena belajar merupakan proses pembentukan koneksi antara stimulus dan respon. Berdasarkan eksperimen yang ia lakukan pada tahun 1890-an. Eksperimen Thondike ini menggunakan hewan–hewan terutama kucing untuk mengetahui fenomena belajar.[1]
Dalam teori Thorndike orang yang bisa menguasai hubungan stimulus dan respon sebanyak banyaknya maka dapat dikatakan orang ini merupakan orang yang berhasil dalam belajar. Adapun cara untuk membentuk hubungan stimulus dan respon dilakukan dengan ulangan-ulangan makanya teori ini biasa dikenal dengan istilah triad and error.
Dalam triad and error ini, berlaku bagi semua organisme dan apabila organisme ini dihadapkan dengan keadaaan atau situasi yang baru maka secara otomatis organisme ini memberikan respon atau tindakan-tindakan yang bersifa coba–coba atau bisa juga berdasarkan naluri karena pada dasarnya disetiap stimulus itu pasti ditemukan respon.[2]
Jadi Belajar menurut Thorndike adalah proses interaksi antara stimulus dan respon. Stimulus yaitu apa saja yang dapat meransang terjadinya kegiatan belajar seperti pikiran, perasaan atau hal-hal lain yang dapat ditangkap melalui alat indera. Sedangkan respon yaitu interaksi yang dimunculkan peserta didik ketika belajar, yang juga dapat berupa pikiran, perasaan atau gerakan/tindakan.
Dalam sebuah percobaan Thorndike menggunakan seekor kucing yang lapar ditempatkan dalam sangkar berbentuk sangkar berjeruji yang dilengkapi dengan peralatan, seperti pengungkit gerendel pintu dan tali yang menghubungkan pengungkit dengan gerendel tersebut peralatan ini ditata sedemikian rupa sehingga memungkinkan kucing tersebut memperoleh makanan yang tersedia dalam sangkar tadi.
Keadaan dalam sangkar yang disebut puzzle box (peti teka teki ) itu merupakan situasi stimulus yang merangsang kucing untuk bereaksi melepaskan diri dan memperoleh makanan yang ada dimuka pintu. Mula-mula kucing tersebut mengeong, mencakar dan melompat dan berlari larian namum gagal membuka pintu untuk memperoleh makanan yang ada didepannya. Akhirnya entah bagaiman secara kebetulan kucing tersebut berhasil menekan pengungkit dan terbukalah sangkar tersebut. Eksperiman puzzle box ini kemudian dikenal dengan nama Instrumental Conditioning. Akhirnya tingkah laku yang dipelajari berfungsi sebagai instrumental (penolong) untuk mencapai hasil atau ganjaran yang dikehendaki. Berdasarkan eksperimen di atas Throndike menyimpulkan bahwa belajar adalah hubungan antara stimulus dan respons. Itulah sebabnya teori koneksionisme juga disebut “S-R Psycology of Learning”. Istilah ini menunjuk pada panjangnya waktu atau banyaknya jumlah kekeliruan dalam mencapai suatu  tujuan.
Apabila kita perhatikan dengan seksama, dalam eksperimen thordike tadi akan kita dapati dua hal pokok yang mendorong timbulnya fenomena belajar. Pertama, keadaan kucing yang lapar. Seandainya kucing itu kenyang, sudah tentu tak akan berusaha keras untuk keluar. Bahkan, barangkali ia akan tidur saja dalam puzzle box yang mengurungnya. Dengan kata lain, kucing itu tidak akan menampakkan gejala belajar untuk keluar. Sehubungan dengan hal ini, hampir dapat dipastikan bahwa motivasi merupakan hal yang sangat vital dalam belajar.
Kedua, tersedianya makanan di muka pintu puzzle box. Makanan ini merupakan efeks positif yang memuaskan yang dicapai oleh respons dan kemudian menjadi dasar timbulnya hukum belajar yang disebut law of effect. Artinya, jika sebuah respon menghasilkan efek yang memuaskan hubungan antara stimulus dengan respon akan semakin kuat. Sebaliknya semakin tidak memuaskan efek yang dicapai respons, semakin lemah pula hubungan stimulus dan respons tersebut[3]
Dari penelitiannya, Thorndike menemukan hukum-hukum:
1.         law of readiness (hukum kesiapsiagaan/kesediaan)”: pada prinsipnya hanya merupakan asumsi bahwa kepuasan organisme itu berasal dari pendayagunaan conduction unit (satuan perantara), unit-unit ini menimbulkan kecenderungan yang mendorong organisme untuk berbuat sesuatu. Jelas hukum ini semata-mata bersikap spekulatif dan hanya bersifat historis.
2.         law of exercise (hukum latihan)”: artinya perilaku (perubahan hasil belajar) sering dilatih atau  di gunakan maka eksistensi perilaku tersebut akan semakin kuat (law of use), begitupun sebaliknya.
3.         law of effect (hukum kesan)”: bila mana trerjadi hubungan antara stimulus dan respon dan di barengi dengan ”state of affair” yang memuaskan maka hubungan itu menjadi lebih kuat dan begitu pula sebaliknya. [4]
4.         Multiple Response (Hukum Reaksi bervariasi)” untuk memperoleh respon yang tepat didalam memecahkan masalah, dudahului respon trial and error sebagai bentuk macam-macam respon. [5]
Teori belajar hasil eksperimen Thorndike di atas  secara prinsial bersifat behavioristik artinya lebih menekankan timbulnya perilaku jasmani yang nyata dan dapat di ukur.jika kita renungkan dan bandingkan dengan teori juga temuan riset psikologi kognitif, karakteristik belajar dalm teori behavioristik yang telanjur diyakini sebagian besar ahli pendidikan itu.
Aplikasi teori Thorndike dalam pembelajaran dapat dilihat dalam situasi pembelajaran berikut ini:
1.    Sebelum guru memulai mengajar, maka anak-anak disipakan mentalnya terlebih dahulu, misalya disuruh duduk rapi, tenang dan sebagainya. Guru juga menyiapkan bahan belajar yang menarik rangsangan yang sesuai dan teknik pendekatan praktika. Dan guru harus mengetahui tahap-tahap murid dengan berinteraksi dengan menanyakan hal-hal umum.
2.    Guru mengadakan ulangan yang teratur, bahkan dengan ulangan yang ketat dengan sistem drill.
3.    Guru memeberikan bimbingan, pemberian hadiah reward dan pujian. Seelok-eloknya, guru perlu memeberikan ganjaran atau hadiah kepada peserta didik yang menguasai materi. [6]
Jadi apabila seorang guru telah melakun apa yang dikatakan di atas maka  dapat kita melihat pembelajaran yang bersifat behavioristik.

B.Teori Classical Conditioning
Pada 1904, Ivan P. Pavlov memenangkan hadiah nobel dibidang psikologi dan kedokteran atas karyanya mengenai pencernaan. Dalam penelitianya ia menjalankan operasi yang cukup rumit, membuka lambung seekor anjing melalui dinding  perutnya. Ia mengamati bahwa munculnya kelenjar (sekresi) dalam perut pertama-tama dipicu bukan karena adanya makanan yang memasuki perut melainkan karena anjing tersebut mengunyah atau melihat makanan, dan disini ia mencatat bagaimana sekresi antisipatoris ini menunjukkan aspek paling menarik dari proses pencernaan.
Adapun Pelaksanaan Prosedur eksperimen Pavlop adalah:
1.    Anjing yang telah dioperasi kelenjar ludahnya (untuk keperluan pengukuran sekresi ludah), dibiarkan kelaparan. Kemudian bel dibunyikan dan 30 detik setelah bel berbunyi makanan (daging) diberikan
2.    Percobaan tersebut diulang berkali-kali dengan jarak waktu 15 menit.
3.    Setelah 32 kali percobaan, ternyata bunyi bel saja telah menyebabkan kelaurnya air liur anjing dan bertambah deras bila makanan diberikan. Menurut Pavlov, daging berfungsi sebai reinforcement penguat.
4.    Berdasarkan eksperimen tersebut, bell merupakan conditional stimulus daging merupakan unconditional stimulus dan air liur karena bunyi bell disebut conditioning respon.
Hasil eksperimen Pavlov tersebut memunculkan teori yang disebut dengan teori classical conditioning (pengkondisioan klasik). Artinya stimulus yang dikondisikan dapat digunakan untuk menggatikan stimulus-stimulus alami untuk menghasilkan respon-respon yang diinginkan dan dikondisikan. Dengan demikian, dalam proses belajar dengan tigkah laku sebagai ukuran keberhasilannya dapat dilakukan melalui pengaturan dan manipulasi lingkungan (conditioning Process).[7]
Aplikasi teori Pavlov dalam pembelajaran dapat dilihat dalam situasi pembelajaran berikut ini:
1.    Membuat kegiatan belajar seperti membaca menjadi lebih menyenangkan bagi siswa dengan cara membuat ruang membaca yang enak, nyaman, dan menarik.
2.    Mendorong dan mengaktifkan siswa yang pemalu, tetapi pandai dengan cara memintanya membantu siswa lain yang tertinggal materi mengenai cara memahami materi pelajaran atau trik dan cara mempelajari materi-materi tertentu.
3.    Membuat tahap-tahap rencana jangka pendek untuk mencapai tujuan jangka panjang, misalnya melalui kegiatan tes atau ulangan harian, mingguan, dan sebagainya agar siswa menguasai pelajaran dengan baik.
4.    Apabila ada siswa yang merasa takut atau minder berbicara di depan kelas, dapat dibantu melalui aktivitas-aktivitas sederhana mulai dari membaca laporan di dalam sebuah kelompok sambil duduk kemudian berdiri, serta kemudian berpindah kelompok yang lebih besar sampai berani membacakan laporan didepan kelas.[8]
Jika guru melaksanakan hal di atas maka tidak melihat lagi kesulitan-kesulitan yang terjadi pada siswanya dan boleh dikatakan guru tersebut tlah berhasil mengatasi kesulitan pada siswanya.

C.  Teori Operant Conditioning
Burrhus Frederic Skinner (lahir tahun 1904) berkebangsaan amerika, ia meraih gelar Master Tahun 1930 dan Ph.D tahun 1940 dari universitas Harvard. Ia mengajar di Universitas Minnesota tahun 1936 dan melanjutkan karir di Indiana sebagai pimpinan Departemen Psikologi dan 1948 kembali lagi ke Harvard.
Operant Conditioning adalah sejumlah perilaku respon yang membawa efek yang sama terhadap lingkungan yang dekat (Reber, 1988). Tidak seperti dalam respondent conditioning (yang responsnya didatangkan oleh stimulus tertentu), respons dalam operant conditioning terjadi tanpa didahului oleh stimulus, melainkan oleh efek yang ditimbulkan oleh reinforcer. Reinforce sesungguhnya adalah stimulus yang meningkatkan kemungkinan timbulnya sejumlah respons tertentu, namun tidak sengaja diadakan sebagai pasangan stimulus lainya seperti dalam classical respondent conditioning.
Dalam salah satu eksperimennya[9], Skinner menggunakan seekor tikus yang ditempatkan dalam sebuah peti yang kemudian terkenal dengan nama “Skinner Box” peti sangkar ini terdiri atas dua macam komponen pokok, yakni: manipulandem dan alat pemberi reinforcement yang antara lain berupa wadah makanan. Manipulandem adalah komponen yang dapat dimanipulasi dan gerakanya berhubungan dengan reinforcement. Komponen ini terdiri atas tombol, batang jeruji, dan pengungkit (Reber, 1988).
Dalam eksperimen tadi mula-mula tikus itu mengeksplorasi peti sangkar dengan cara lari kesana kemari, mencium benda-benda yang ada disekitarnya, mencakar dinding, dan sebgainya. Aksi-aksi seperti itni disebut “emitted behavior” (tingkah laku yang terpancar), yakni tingkah laku yang terpancar dari organisme tanpa memperdulikan stimulus tertentu. Kemudian pada giliranya, secara kebetulan salah satu emitted behavior tersebut ( seperti cakaran kaki depan atau sentuhan moncong) dapat menekan pengungkit. Tekanan pengungkit ini mengakibatkan munculnya butir-butir makanan kedalam wadahnya.
Butir-butir makanan yang muncul itu merupakan reinforcer bagi penekanan pengungkit. Penekanan pengungkit inilah disebut tingkah laku operant yang akan terus meningkat apabila diiringi dengan reinforcement, yakni penguatan berupa butir-butir makanan yang muncul pada wadah makanan.
Jelas sekali bahwa eksperiman skinner di atas mirip sekali dengan trial and error rearning yang ditemukan oleh Thorndike. Dalam hal ini, fenomena tingkah laku belajar menurut Thorndike selalu melibatkan satisfaction/penguatan. Dengan demikian, baik belajar dalam teori S-R Bond maupun dalam teori operant conditioning langsung atau tidak, keduanya mengakui arti penting law of effect.
Selanjutnya, proses dalam belajar dalam teori operant conditioning juga tunduk pada kedua hukum operan yang berbeda, yakni: law of operant conditioning dan law of operant extinction. menurut law of operant conditioning, jika timbulnya tingkah laku oparant diiringi dengan stimulus penguat, maka kekuatan tingkah laku tersebut akan meningkat. Sebaliknya, menurut law of operant extinction, jika timbulnya tingkah laku operant yang telah diperkuat melalui proses conditioning itu tidak diiringi dengan stimulus penguat, maka kekuatan tingkah laku tersebut akan menurun atau bahkan musnah (Hintzman, 1987). Hukum-hukum ini pada dasarnya sama saja dengan hukum-hukum yang melekat dalam proses belajar menurut teori pembiasan yang klasik.
Teori-teori belajar hasil eksperimen Thorndike, Skinner, dan Pavlov diatas secara principal bersifat behavioristik dalam arti lebih menekankan timbulnya perilaku jasmaniah yang nyata dan dapat diukur. Teori-teori itu juga bersifat Otomatis-mekanis dalam menghubungkan stimulus dan respons, sehingga terkesan seperti kinerja mesin atau robot. Jika kita renungkan dan bandingkan dengan teori juga temuan riset psikologi kognitif, karakteristik belajar yang terdapat dalam teori-teori behavioristik yang terlanjur diyakini sebagian besar ahli pendidikan kita itu, sesungguhnya mengandung banyak kelemahan.
Diantara kelemahan-kelemahan teori-teori tersebut adalah sebagai berikut, yakni:
1.      Proses belajar itu dapat diamati secara langsung, padahal belajar adalah proses kegiatan mental yang tidak dapat disaksikan dari luar kecuali sebagian gejalanya.
2.      Proses belajar itu bersifat otomatis-mekanis, sehingga terkesan seperti gerakan mesin dan robot, padahal setiap siswa memiliki self-direction (kemampuan mengarahkan diri) dan self-control (pengendalian diri) yang bersifat kognitif, dan karenanya ia bisa menolak merespons jika ia tidak menghendaki, misalnya karena lelah atau berlawanan dengan kata hati.
3.      Proses belajar manusia yang dianalogikan dengan perilaku hewan itu sangat sulit diterima, mengingat mencoloknya perbedaan karakter fisik dan psikis antara manusia dengna hewan.[10]

D. Teori Belajar Sosial (bandura)
Albert Bandura Lahir 4 Desember 1925 di Kanada. Latar belakang pendidikannya adalah pada bidang psikologi. Eksperimen bandura yang sangat familiar adalah eksperimen Bobo Doll. Hal ini disebabkan eksperimen ini menggunakan boneka dan anak kecil. Prosesnya adalah anak kecil diletakkan disebuah ruang yang terpisah dengan sekat kaca yang tembus pandang one way screen, diruangan sebelahnya, boneka dan seorang dewasa yang telah dikondisikan ditempatkan sehingga si anak dapat melihat aktifitas orang dewasa dengan bonekanya. Orang dewasa tersebut kemudian melakukan tindakan-tindakan yang bervariasi dengan bonekanya, memainkannya, memperlakukannya secara kasar (dipukul, ditendang, dan sebagainya) sesuai dengan scenario yang telah dibuat dalam jangka waktu tertentu.
Beberap saat kemudian, setelah diberi waktu jeda giliran si anak ditaruh di ruangan yang sama persis dengan ruangan yang tadi ditempati orang dewasa dengan bonekanya. Beberapa saat diamati pada awalnya anak tersebut tidak memunculkan perilaku yang aneh dan hanya bermain dengan bonekanya secara wajar. Namun demikian, setelah beberapa saat bermain dengan bonekanya, mulai tampak dan muncul perilaku-perilaku kasar serta agresif seperti dilakukan orang dewasa dalam memperlakukan bonekanya. Perilaku perilaku tersebut sama persis dengan yang dilakukan orang dewasa terhadap bonekanya. Proses peniruan-peniruan inilah yang kemudian disebut oleh Bandura sebagai proses modeling.
Hasil eksperimennya memunculkan teori yang dikenal sebagai teori belajar social (social Learning). Teori belajar social dari Albert Bandura menunjukkan pentingnya proses mengamati dan meniru perilaku dalam proses belajar, membentuk sikap siswa, serta mempengaruhi reaksi orang lain dalam proses belajar. Artinya proses belajar pada individu akan lebih banyak terjadi melalui proses modeling., dari pengamatan satu ke pengamatan lainnya yang membentuk sebuah perilaku baru yang akan digunakan sebagai pedoman dan patokan dalam bertindak. [11]
Belajar model didefinisikan Bandura sebagai proses menirukan tingkah laku orang lain yang dilihat, dilakukan secara sadar atau tidak. Sinonim dengan belajar model ini adalah imitasi, identifikasi dan belajar melalui observasi. Belajar model merupakan bentuk belajar yang kompleks. Menurut “Teori Sosial Mengenai Belajar” (Social learning theory), maka suatu tingkah laku dapat dipelajari dengan hanya “melihat” saja. [12]
Teori belajar Bandura lebih mengajukan peranan faktor–faktor kognitif daripada analisis tingkah laku. Asumsi terpentingnya adalah bahwa belajar observasional terjadi ketika tingkah laku observer (anak) berubah sebagai hasil dari pandangannya terhadap tingkah laku seorang model (seperti orangtua, guru, saudara, teman, pahlawan, dan bintang film). Hal sangat penting dari modelling adalah mencontoh tingkah laku yang diobservasi atau mengabstraksinya dalam bentuk yang umum. Bandura meyakini bahwa belajar melalui observasi (observational learning) atau modelling itu melibatkan empat proses yaitu sebagai berikut:
1.    Attentional, yaitu proses dimana observer atau anak menaruh perhatian terhadap tingkah laku atau penampilan model (orang yang diimitasi).
2.    Retention, yaitu proses yang merujuk pada upaya anak untuk memasukkan informasi tentang model, seperti karakteristik penampilan fisiknya, mental, dan tingkah lakunya ke dalam memori.
3.    Production, yaitu proses mengontrol tentang bagaimana anak dapat mereproduksi respons atau tingkah laku model. Kemampuan mereproduksi ini bisa berbentuk keterampilan fisik atau kemampuan mengidentifikasi tingkah laku model.
4.    Motivational, yaitu proses pemilihan tingkah laku model yang diimitasi oleh anak. Dalam proses ini terdapat faktor penting yang mempengaruhinya, yaitu “reinforcement” (penguatan) atau “punishment” (hukuman), apakah terhadap model atau langsung pada anak.
Mengenai pertanyaan orang mana yang dapat dipilih sebagai model, tidak dapat ditentukan secara jelas. Untuk dapat menjadi model, kasih sayang dan kehangatan bukan merupakan unsur–unsur yang menentukan. Juga tidak harus ada interaksi langsung dengan modelnya. Yang penting ialah bahwa tindakan–tindakan model tersebut harus dapat berhasil dan bahwa antara model dan anak harus ada sesuatu persamaan tertentu.
Pada teori belajar Bandura inipun dikemukakan tentang konsep Self Regulation. Yaitu suatu pemahaman bahwa individu memiliki kemampuan mandiri untuk melatih beberapa pengaruh dari perilakunya dengan menyusun lingkungannya, menciptakan dorongan kognitif dan memproduksi konsekuensi atas aksi–aksi mereka sendiri.
Selain itu pada teori belajar Bandura juga disinggung mengenai konsep Self Efficacy (perasaan mampu), yaitu keyakinan akan kemampuan untuk dapat mengatasi situasi–situasi yang sulit dan menciptakan hasil–hasil yang diinginkan. Orang dengan self efficacy nya tinggi akan memiliki daya tahan yang lebih tangguh dalam menghadapi tantangan dan masalah–masalah untuk mencapai hasil yang diharapkannya. Sedangkan orang dengan self efficacy yang rendah mudah menjadi putus asa bila menghadapi tantangan atau masalah sewaktu berusaha mencapai hasil yang diinginkan. [13]
Menurut Bandura terdapat 4 sumber terbentuknya dan peningkatan self efficacy ini, yaitu sebagai berikut:
1.    Performance accomplishment, yaitu dengan menimbulkan prestasi–prestasi yang berhasil dalam situasi nyata, bukan dalam suatu penggambaran simbolik tentang situasi tersebut. Dengan memberi individu kesempatan untuk mengalami keberhasilan secara berulang–ulang, maka harapan–harapan kemampuan yang kuat akan berkembang, khususnya jika individu dapat mengatribusikan keberhasilan itu pada usaha–usahanya sendiri, bukan karena campur tangan pihak luar.
2.    Vicarious experiences, yaitu pengalaman–pengalaman melalui orang lain yang tersimpan dalam pikiran. Seperti mengamati seorang model yang berhasil melakukan suatu kegiatan yang ditakuti.
3.    Verbal persuasion, yaitu pengaruh secara verbal (kata–kata) dari orang lain. Seperti: usulan, nasihat, peringatan, persuasi terhadap diri sendiri, menjelaskan hal yang tidak menyenangkan pada hal–hal yang masuk akal (berfikir positif)
4.    Emotional arousal, yaitu pengontrolan emosi untuk menghilangkan emosi–emosi yang negatif. Seperti: relaksasi, membayangkan hal–hal yang tidak menyenangkan sebelum benar–benar terjadi, kemudian melatih cara–cara mengatasinya.[14]
Aplikasi Teori belajar Social Learning meliputi:
1.         Latihan penguasaan
Mengajari teman menguasai tingkah laku yang sebelumnya tidak bisa dilakukannya. Cara ini dilakukan melalui treatment konseling melalui cara-cara mendalam.
2.         Modeling terbuka
Subjek dapat melihat model secara nyata, biasanya diikuti dengan klien berpartisipasi dalam kegiatan model, dibantu oleh modelnya mengikuti tingkah laku yang diinginkan, sampai akhirnya mampu melakukan sendiri.
3.         Modeling simbolik
Subjek melihat model melalui media. Kepuasaan vicarious dapat mendorong pengamat untuk mencobanya.[15]
Dari uraian diatas tentang teori belajar yang dikembankang oleh Albert bandura maka pembelajaran diangap lebih kompleks karena menekankan bahwa lingkungan dan perilaku seseorang dihubungkan melalui system kognitif orang tersebut. Bukan semata-mata reflex yang timbul akan tetapi dihubungkan dnegan reaksi yang timbul akibat dari kgonitif seseorang dan lingkungannya.
Selain itu kelemahan dari teori ini jika seseorang memfokuskan peniruan kepada seseorang maka dia akan mampu meniru semua tingkah laku yang dilakukan oleh model yang  menjadi panutannya baik itu yang sifatnya negative maupun positif.


E. Teori Kognitif (Jean Peaget dan Lev Vigostky)
Kognitif adalah salah satu ranah dalam taksonomi pendidikan. Secara umum kognitif diartikan sebagai potensi intelektual yang terdiri dari tahapan: pengetahuan (knowledge), pemahaman (comprehention), penerapan (aplication), analisa (analysis), sintesa (sinthesis), evaluasi (evaluation). Kognitif berarti persoalan yang menyangkut kemampuan untuk mengembangkan kemampuan rasional (akal). Teori kognitif lebih menekankan bagaimana proses atau upaya untuk mengoptimalkan kemampuan aspek rasional yang dimiliki oleh orang lain. Oleh sebab itu kognitif berbeda dengan teori behavioristik, yang lebih menekankan pada aspek kemampuan perilaku yang diwujudkan dengan cara kemampuan merespons terhadap stimulus yang datang kepada dirinya.
Dalam kehidupan sehari-hari kita sering mendengar kata kognitif. Dari aspek tenaga pendidik misalnya. Seorang dosen diharuskan memiliki kompetensi bidang kognitif. Artinya dosen tersebut harus memiliki kemampuan intelektual, seperti penguasaan materi perkuliahan, pengetahuan mengenai cara mengajar, pengetahuan cara menilai mahasiswa dan sebagainya.
Jean Piaget (1896-1980), pakar psikologi dari Swiss, mengatakan bahwa anak dapat membangun secara aktif dunia kognitif mereka sendiri. Dalam pandangan Piaget, terdapat dua proses yang mendasari perkembangan dunia individu, yaitu pengorganisasian dan penyesuaian (adaptasi). Kecenderungan organisasi dapat dilukiskan sebagai kecenderungan bawaan setiap organisme untuk mengintegasi proses-proses sendiri menjadi sistem-sistem yang koheren. Adaptasi dapat dilukiskan sebagai kecenderungan bawaan setiap organisme untuk memyesuaikan diri dengan lingkungan dan keadaan sosial.
Menurut Piaget, perkembangan kognitif mempunyai empat aspek, yaitu 1) kematangan, sebagai hasil perkembangan susunan syaraf; 2) pengalaman, yaitu hubungan timbal balik antara orgnisme dengan dunianya; 3) interaksi sosial, yaitu pengaruh-pengaruh yang diperoleh dalam hubungannya dengan lingkungan sosial, dan 4) ekuilibrasi, yaitu adanya kemampuan atau sistem mengatur dalam diri organisme agar dia selalu mempau mempertahankan keseimbangan dan penyesuaian diri terhadap lingkungannya.
a.      Kematangan
Kematangan sistem syaraf menjadi penting karena memungkinkan anak memperoleh manfaat secara maksimum dari pengalaman fisik. Kematangan membuka kemungkinan untuk perkembangan sedangkan kalau kurang hal itu akan membatasi secara luas prestasi secara kognitif. Perkembangan berlangsung dengan kecepatan yang berlainan tergantung pada sifat kontak dengan lingkungan dan kegiatan belajar sendiri.
b.      Pengalaman
Interaksi antara individu dan dunia luar merupakan sumber pengetahuan baru, tetapi kontak dengan dunia fisik itu tidak cukup untuk mengembangkan pengetahuan kecuali jika intelegensi individu dapat memanfaatkan pengalaman tersebut.
c.       Interaksi Sosial
Lingkungan sosial termasuk peran bahasa dan pendidikan, pengalaman fisik dapat memacu atau menghambat perkembangan struktur kognitif
d.      Ekuilibrasi
Proses pengaturan diri dan pengoreksi diri (ekuilibrasi), mengatur interaksi spesifik dari individu dengan lingkungan maupun pengalaman fisik, pengalaman sosial dan perkembangan jasmani yang menyebabkan perkembangan kognitif berjalan secara terpadu dan tersusun baik.
Piaget membagi perkembangan kognitif anak ke dalam 4 periode utama yang berkorelasi dengan dan semakin canggih seiring pertambahan usia:
1.         Periode sensorimotor (usia 0–2 tahun)
Bagi anak yang berada pada tahap ini, pengalaman diperoleh melalui fisik (gerakan anggota tubuh) dan sensori (koordinasi alat indra). Pada mulanya pengalaman itu bersatu dengan dirinya, ini berarti bahwa suatu objek itu ada bila ada pada penglihatannya. Perkembangan selanjutnya ia mulai berusaha untuk mencari objek yang asalnya terlihat kemudian menghiang dari pandangannya, asal perpindahanya terlihat. Akhir dari tahap ini ia mulai mencari objek yang hilang bila benda tersebut tidak terlihat perpindahannya. Objek mulai terpisah dari dirinya dan bersamaan dengan itu konsep objek dalam struktur kognitifnya pun mulai dikatakan matang. Ia mulai mampu untuk melambungkan objek fisik ke dalam symbol-simbol, misalnya mulai bisa berbicara meniru suara kendaraan, suara binatang, dll.
2.         Periode praoperasional (usia 2–7 tahun)
Tahap ini adalah tahap persiapan untuk pengorganisasian operasi konkrit. Pada tahap ini pemikiran anak lebih banyak berdasarkan pada pengalaman konkrit daripada pemikiran logis, sehingga jika ia melihat objek-objek yang kelihatannya berbeda, maka ia mengatakanya berbeda pula. Pada tahap ini anak masih berada pada tahap pra operasional belum memahami konsep kekekalan (conservation), yaitu kekekalan panjang, kekekalan materi, luas, dll. Selain dari itu, cirri-ciri anak pada tahap ini belum memahami dan belum dapat memikirkan dua aspek atau lebih secara bersamaan.
3.         Periode operasional konkrit (usia 7–11 tahun)
pada umumnya anak-anak pada tahap ini telah memahami operasi logis dengan bantuan benda benda konkrit. Kemampuan ini terwujud dalam memahami konsep kekekalan, kemampuan untuk mengklasifikasikan dan serasi, mampu memandang suatu objek dari sudut pandang yang berbeda secara objektif. Anak pada tahap ini sudah cukup matang untuk menggunakan pemikiran logika, tetapi hanya objek fisik yang ada saat ini (karena itu disebut tahap operasional konkrit). Namun, tanpa objek fisik di hadapan mereka, anak-anak pada tahap ini masih mengalami kesulitan besar dalam menyelesaikan tugas-tugas logika.
4.         Periode operasional formal (usia 11 tahun sampai dewasa)
Anak pada tahap ini sudah mampu melakukan penalaran dengan menggunakan hal-hal yang abstrak dan menggunakan logika. Penggunaan benda-benda konkret tidak diperlukan lagi. Anak mampu bernalar tanpa harus berhadapan dengan dengan objek atau peristiwa berlangsung. Penalaran terjadi dalam struktur kognitifnya telah mampu hanya dengan menggunakan simbol-simbol, ide-ide, astraksi dan generalisasi. Ia telah memiliki kemampuan-kemampuan untuk melakukan operasi-operasi yang menyatakan hubungan di antara hubungan-hubungan, memahami konsep promosi.[16]
Seperti Piaget, Vygotsky menekankan bahwa anak-anak secara aktif menyusun pengetahuan mereka. Akan tetapi menurut Vygotsky, fungsi-fungsi mental memiliki koneksi-koneksi sosial. Vygotsky berpendapat bahwa anak-anak mengembangkan konsep-konsep lebih sistematis, logis, dan rasional sebagai akibat dari percakapan dengan seorang penolong yang ahli.
1.      Konsep Zona Perkembangan Proksimal (ZPD)
Zona Perkembangan Proksimal adalah istilah Vygotsky untuk rangkaian tugas yang terlalu sulit dikuasai anak seorang diri tetapi dapat diipelajari dengan bantuan dan bimbingan orang dewasa atau anak-anak yang terlatih. Menurut teori Vygotsky, Zona Perkembangan Proksimal merupakan celah antara actual development dan potensial development, dimana antara apakah seorang anak dapat melakukan sesuatu tanpa bantuan orang dewasa dan apakah seorang anak dapat melakukan sesuatu dengan arahan orang dewasa atau kerjasama dengan teman sebaya. Batas bawah dari ZPD adalah tingkat keahlian yang dimiliki anak yang bekerja secara mandiri. Batas atas adalah tingkat tanggung jawab tambahan yang dapat diterima oleh anak dengan bantuan seorang instruktur. Maksud dari ZPD adalah menitikberatkan ZPD pada interaksi sosial akan dapat memudahkan perkembangan anak.
2.      Konsep Scaffolding
Scaffolding ialah perubahan tingkat dukungan. Scaffolding adalah istilah terkait perkembangan kognitif yang digunakan Vygotsky untuk mendeskripsikan perubahan dukungan selama sesi pembelajaran, dimana orang yang lebih terampil mengubah bimbingan sesuai tingkat kemampuan anak.Dialog adalah alat yang penting dalam ZPD. Vygotsky memandang anak-anak kaya konsep tetapi tidak sistematis, acak, dan spontan. Dalam dialog, konsep-konsep tersebut dapat dipertemukan dengan bimbingan yang sistematis, logis dan rasional.
3.      Bahasa dan Pemikiran
Menurut Vygotsky, anak menggunakan pembicaraan bukan saja untuk komunikasi sosial, tetapi juga untuk membantu mereka menyelesaikan tugas. Lebih jauh Vygotsky yakin bahwa anak pada usia dini menggunakan bahasa unuk merencanakan, membimbing, dan memonitor perilaku mereka. Vygotsky mengatakan bahwa bahasa dan pikiran pada awalnya berkembang terpisah dan kemudian menyatu. Anak harus menggunakan bahasa untuk berkomunikasi dengan orang lain sebelum mereka dapat memfokuskan ke dalam pikiran-pikiran mereka sendiri. Anak juga harus berkomunikasi secara eksternal dan menggunakan bahasa untuk jangka waktu yang lama sebelum mereka membuat transisi dari kemampuan bicara ekternal menjadi internal.



DAFTAR PUSTAKA
Calvis S. Hall, &Lindzey, Gardner. Teori-teori Sifat dan Behavioristik. Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 1993
M. Dalyono, Psikologi pendidikan. Jakarta: Rineka Cipta, 2009 
Muhammad Irham dan Novan Ardi Wiyani, Psikologi pendidikan Teori Dan Aplikasi Dalam Proses Pembelajaran. Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2013
Rahman, Ulfiani Nuansa Baru Psikologi Belajar. Makassar:Alauddin University Press, 2013
Sarwono, Sarlito Wirawan,berkenalan dengan Aliran-Aliran dan Tokoh-Tokoh Psikologi. Jakarta: Bulan Bntang, 1978
Sugihantoro, dkk, Psikologi pendidikan. Yogyakarta: UNY Press, 2007
Syah, Muhibbin, Psikologi Pendidikan Dengan Pendekatan Baru. Bandung: Remaja.


[1]Muhibbin Syah, Psikologi Pendidikan Dengan Pendekatan Baru (Cet.14;Bandung: Remaja Rosdakarya, 2010), h. 105
[2]Ulfiani Rahman, Nuansa Baru Psikologi Belajar (Cet.I;Makassar:Alauddin University Press. 2013), h.23
[3]Muhibbin Syah, Psikologi Pendidikan Dengan Pendekatan Baru , h. 106
[4]Dalyono, M. Psikologi pendidikan  (Rineka Cipta:jakarta) 2009.  h. 38
[5]Muhammad Irham dan Novan Ardi Wiyani, Psikologi pendidikan Teori Dan Aplikasi Dalam Proses Pembelajaran (Cet.I;Ar-Ruzz Media: Jogjakarta, 2013), h.152
[6]Ulfiani Rahman, Nuansa Baru Psikologi Belajar, h. 69
[7]Muhammad Irham dan Novan Ardi Wiyani, Psikologi pendidikan Teori Dan Aplikasi Dalam Proses Pembelajaran,  h.153-154
[8]Muhammad Irham dan Novan Ardi Wiyani, Psikologi pendidikan Teori Dan Aplikasi Dalam Proses Pembelajaran,  154
[9]Muhibbin Syah, Psikologi Pendidikan Dengan Pendekatan Baru , h. 106-107
[10]Muhibbin Syah, Psikologi Pendidikan Dengan Pendekatan Baru , h.108
[11]Sugihantoro, dkk, Psikologi pendidikan. (Yogyakarta: UNY Press, 2007), h. 101
[12]Hill, Winfred F., Theories of Learning, terjemah: M. Khozim, h. 79
[13]Ulfiani Rahman, Nuansa Baru Psikologi Belajar, h. 84-85
[14]Hall, Calvis S. & Gardner Lindzey. Teori-teori Sifat dan Behavioristik (Yogyakarta.: Penerbit Kanisius, 1993)  h.45
[15]Ulfiani Rahman, Nuansa Baru Psikologi Belajar, h. 88-90
[16]Sarlito Wirawan Sarwono, berkenalan dengan Aliran-Aliran dan Tokoh-Tokoh Psikologi (Cet.I; Bulan Bntang: Jakarta, 1978), h. 125

No comments:

Makalah: Mahabbah, Makrifah

BAB I PENDAHULUAN   A.      Latar Belakang Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi membawa manusia larut dan terbuai dalam din...