TEORI-TEORI
PSIKOLOGI YANG RELEVAN DENGAN PENDIDIKAN
A. Teori Koneksionisme
Pada mulanya, pendidikan dan pengajaran di Amerika Serikat di dominasi
oleh pengaruh Thorndike (1874–1949). Teori belajar Thorndike ”connectionism”
karena belajar merupakan proses pembentukan koneksi antara stimulus dan respon.
Berdasarkan eksperimen yang ia lakukan pada tahun 1890-an. Eksperimen Thondike
ini menggunakan hewan–hewan terutama kucing untuk mengetahui fenomena belajar.[1]
Dalam teori Thorndike orang yang bisa menguasai hubungan stimulus dan
respon sebanyak banyaknya maka dapat dikatakan orang ini merupakan orang yang
berhasil dalam belajar. Adapun cara untuk membentuk hubungan stimulus dan
respon dilakukan dengan ulangan-ulangan makanya teori ini biasa dikenal dengan
istilah triad and error.
Dalam triad and error ini, berlaku bagi semua organisme dan apabila
organisme ini dihadapkan dengan keadaaan atau situasi yang baru maka secara
otomatis organisme ini memberikan respon atau tindakan-tindakan yang bersifa
coba–coba atau bisa juga berdasarkan naluri karena pada dasarnya disetiap
stimulus itu pasti ditemukan respon.[2]
Jadi Belajar menurut Thorndike adalah proses interaksi antara stimulus dan
respon. Stimulus yaitu apa saja yang dapat meransang terjadinya kegiatan
belajar seperti pikiran, perasaan atau hal-hal lain yang dapat ditangkap
melalui alat indera. Sedangkan respon yaitu interaksi yang dimunculkan peserta
didik ketika belajar, yang juga dapat berupa pikiran, perasaan atau
gerakan/tindakan.
Dalam sebuah percobaan Thorndike menggunakan seekor kucing yang lapar
ditempatkan dalam sangkar berbentuk sangkar berjeruji yang dilengkapi dengan
peralatan, seperti pengungkit gerendel pintu dan tali yang menghubungkan
pengungkit dengan gerendel tersebut peralatan ini ditata sedemikian rupa
sehingga memungkinkan kucing tersebut memperoleh makanan yang tersedia dalam
sangkar tadi.
Keadaan dalam sangkar yang disebut puzzle box (peti teka teki ) itu
merupakan situasi stimulus yang merangsang kucing untuk bereaksi melepaskan
diri dan memperoleh makanan yang ada dimuka pintu. Mula-mula kucing tersebut
mengeong, mencakar dan melompat dan berlari larian namum gagal membuka pintu
untuk memperoleh makanan yang ada didepannya. Akhirnya entah bagaiman secara
kebetulan kucing tersebut berhasil menekan pengungkit dan terbukalah sangkar
tersebut. Eksperiman puzzle box ini kemudian dikenal dengan nama Instrumental
Conditioning. Akhirnya tingkah laku yang dipelajari berfungsi sebagai
instrumental (penolong) untuk mencapai hasil atau ganjaran yang dikehendaki.
Berdasarkan eksperimen di atas Throndike menyimpulkan bahwa belajar adalah
hubungan antara stimulus dan respons. Itulah sebabnya teori koneksionisme juga
disebut “S-R Psycology of Learning”. Istilah ini menunjuk pada panjangnya waktu
atau banyaknya jumlah kekeliruan dalam mencapai suatu tujuan.
Apabila kita perhatikan dengan seksama, dalam eksperimen thordike tadi akan
kita dapati dua hal pokok yang mendorong timbulnya fenomena belajar. Pertama,
keadaan kucing yang lapar. Seandainya kucing itu kenyang, sudah tentu tak akan
berusaha keras untuk keluar. Bahkan, barangkali ia akan tidur saja dalam puzzle
box yang mengurungnya. Dengan kata lain, kucing itu tidak akan menampakkan
gejala belajar untuk keluar. Sehubungan dengan hal ini, hampir dapat dipastikan
bahwa motivasi merupakan hal yang sangat vital dalam belajar.
Kedua, tersedianya makanan di muka pintu puzzle box. Makanan ini merupakan
efeks positif yang memuaskan yang dicapai oleh respons dan kemudian menjadi
dasar timbulnya hukum belajar yang disebut law of effect. Artinya, jika sebuah
respon menghasilkan efek yang memuaskan hubungan antara stimulus dengan respon
akan semakin kuat. Sebaliknya semakin tidak memuaskan efek yang dicapai
respons, semakin lemah pula hubungan stimulus dan respons tersebut[3]
Dari penelitiannya, Thorndike menemukan hukum-hukum:
1.
”law
of readiness (hukum kesiapsiagaan/kesediaan)”: pada prinsipnya hanya
merupakan asumsi bahwa kepuasan organisme itu berasal dari pendayagunaan conduction
unit (satuan perantara), unit-unit ini menimbulkan kecenderungan yang
mendorong organisme untuk berbuat sesuatu. Jelas hukum ini semata-mata bersikap
spekulatif dan hanya bersifat historis.
2.
”law
of exercise (hukum latihan)”: artinya perilaku (perubahan hasil belajar)
sering dilatih atau di gunakan maka eksistensi perilaku tersebut akan
semakin kuat (law of use), begitupun sebaliknya.
3.
”law
of effect (hukum kesan)”: bila mana trerjadi hubungan antara stimulus dan
respon dan di barengi dengan ”state of affair” yang memuaskan maka hubungan itu
menjadi lebih kuat dan begitu pula sebaliknya. [4]
4.
”Multiple
Response (Hukum Reaksi bervariasi)” untuk memperoleh respon yang tepat
didalam memecahkan masalah, dudahului respon trial and error sebagai
bentuk macam-macam respon. [5]
Teori belajar hasil eksperimen Thorndike di atas secara prinsial bersifat behavioristik
artinya lebih menekankan timbulnya perilaku jasmani yang nyata dan dapat di
ukur.jika kita renungkan dan bandingkan dengan teori juga temuan riset
psikologi kognitif, karakteristik belajar dalm teori behavioristik yang telanjur
diyakini sebagian besar ahli pendidikan itu.
Aplikasi teori Thorndike dalam pembelajaran dapat dilihat dalam situasi
pembelajaran berikut ini:
1.
Sebelum
guru memulai mengajar, maka anak-anak disipakan mentalnya terlebih dahulu,
misalya disuruh duduk rapi, tenang dan sebagainya. Guru juga menyiapkan bahan
belajar yang menarik rangsangan yang sesuai dan teknik pendekatan praktika. Dan
guru harus mengetahui tahap-tahap murid dengan berinteraksi dengan menanyakan
hal-hal umum.
2.
Guru
mengadakan ulangan yang teratur, bahkan dengan ulangan yang ketat dengan sistem
drill.
3.
Guru
memeberikan bimbingan, pemberian hadiah reward dan pujian.
Seelok-eloknya, guru perlu memeberikan ganjaran atau hadiah kepada peserta
didik yang menguasai materi. [6]
Jadi apabila seorang guru telah melakun apa yang
dikatakan di atas maka dapat kita
melihat pembelajaran yang bersifat behavioristik.
B.Teori Classical Conditioning
Pada 1904, Ivan P. Pavlov memenangkan hadiah nobel dibidang psikologi dan
kedokteran atas karyanya mengenai pencernaan. Dalam penelitianya ia menjalankan
operasi yang cukup rumit, membuka lambung seekor anjing melalui dinding
perutnya. Ia mengamati bahwa munculnya kelenjar (sekresi) dalam perut
pertama-tama dipicu bukan karena adanya makanan yang memasuki perut melainkan
karena anjing tersebut mengunyah atau melihat makanan, dan disini ia mencatat
bagaimana sekresi antisipatoris ini menunjukkan aspek paling menarik dari
proses pencernaan.
Adapun Pelaksanaan Prosedur eksperimen Pavlop adalah:
1. Anjing yang telah dioperasi kelenjar ludahnya (untuk
keperluan pengukuran sekresi ludah), dibiarkan kelaparan. Kemudian bel
dibunyikan dan 30 detik setelah bel berbunyi makanan (daging) diberikan
2.
Percobaan
tersebut diulang berkali-kali dengan jarak waktu 15 menit.
3.
Setelah 32 kali
percobaan, ternyata bunyi bel saja telah menyebabkan kelaurnya air liur anjing
dan bertambah deras bila makanan diberikan. Menurut Pavlov, daging berfungsi
sebai reinforcement penguat.
4.
Berdasarkan
eksperimen tersebut, bell merupakan conditional stimulus daging merupakan unconditional
stimulus dan air liur karena bunyi bell disebut conditioning respon.
Hasil eksperimen Pavlov tersebut memunculkan teori yang disebut dengan
teori classical conditioning (pengkondisioan klasik). Artinya stimulus yang
dikondisikan dapat digunakan untuk menggatikan stimulus-stimulus alami untuk
menghasilkan respon-respon yang diinginkan dan dikondisikan. Dengan demikian,
dalam proses belajar dengan tigkah laku sebagai ukuran keberhasilannya dapat
dilakukan melalui pengaturan dan manipulasi lingkungan (conditioning Process).[7]
Aplikasi teori Pavlov dalam pembelajaran dapat dilihat dalam situasi
pembelajaran berikut ini:
1. Membuat kegiatan belajar seperti membaca menjadi lebih
menyenangkan bagi siswa dengan cara membuat ruang membaca yang enak, nyaman,
dan menarik.
2.
Mendorong dan
mengaktifkan siswa yang pemalu, tetapi pandai dengan cara memintanya membantu
siswa lain yang tertinggal materi mengenai cara memahami materi pelajaran atau
trik dan cara mempelajari materi-materi tertentu.
3.
Membuat
tahap-tahap rencana jangka pendek untuk mencapai tujuan jangka panjang,
misalnya melalui kegiatan tes atau ulangan harian, mingguan, dan sebagainya
agar siswa menguasai pelajaran dengan baik.
4.
Apabila ada
siswa yang merasa takut atau minder berbicara di depan kelas, dapat dibantu
melalui aktivitas-aktivitas sederhana mulai dari membaca laporan di dalam
sebuah kelompok sambil duduk kemudian berdiri, serta kemudian berpindah
kelompok yang lebih besar sampai berani membacakan laporan didepan kelas.[8]
Jika guru melaksanakan hal di atas maka tidak melihat lagi
kesulitan-kesulitan yang terjadi pada siswanya dan boleh dikatakan guru
tersebut tlah berhasil mengatasi kesulitan pada siswanya.
C. Teori Operant Conditioning
Burrhus Frederic Skinner (lahir tahun 1904) berkebangsaan amerika, ia
meraih gelar Master Tahun 1930 dan Ph.D tahun 1940 dari universitas Harvard. Ia
mengajar di Universitas Minnesota tahun 1936 dan melanjutkan karir di Indiana
sebagai pimpinan Departemen Psikologi dan 1948 kembali lagi ke Harvard.
Operant Conditioning adalah sejumlah perilaku respon yang membawa efek yang
sama terhadap lingkungan yang dekat (Reber, 1988). Tidak seperti dalam respondent
conditioning (yang responsnya didatangkan oleh stimulus tertentu), respons
dalam operant conditioning terjadi tanpa didahului oleh stimulus, melainkan
oleh efek yang ditimbulkan oleh reinforcer. Reinforce sesungguhnya adalah stimulus
yang meningkatkan kemungkinan timbulnya sejumlah respons tertentu, namun tidak
sengaja diadakan sebagai pasangan stimulus lainya seperti dalam classical
respondent conditioning.
Dalam salah satu eksperimennya[9],
Skinner menggunakan seekor tikus yang ditempatkan dalam sebuah peti yang
kemudian terkenal dengan nama “Skinner Box” peti sangkar ini terdiri atas dua
macam komponen pokok, yakni: manipulandem dan alat pemberi reinforcement yang
antara lain berupa wadah makanan. Manipulandem adalah komponen yang dapat
dimanipulasi dan gerakanya berhubungan dengan reinforcement. Komponen ini
terdiri atas tombol, batang jeruji, dan pengungkit (Reber, 1988).
Dalam eksperimen tadi mula-mula tikus itu mengeksplorasi peti sangkar
dengan cara lari kesana kemari, mencium benda-benda yang ada disekitarnya,
mencakar dinding, dan sebgainya. Aksi-aksi seperti itni disebut “emitted
behavior” (tingkah laku yang terpancar), yakni tingkah laku yang terpancar dari
organisme tanpa memperdulikan stimulus tertentu. Kemudian pada giliranya,
secara kebetulan salah satu emitted behavior tersebut ( seperti cakaran kaki
depan atau sentuhan moncong) dapat menekan pengungkit. Tekanan pengungkit ini
mengakibatkan munculnya butir-butir makanan kedalam wadahnya.
Butir-butir makanan yang muncul itu merupakan reinforcer bagi penekanan
pengungkit. Penekanan pengungkit inilah disebut tingkah laku operant yang akan
terus meningkat apabila diiringi dengan reinforcement, yakni penguatan berupa
butir-butir makanan yang muncul pada wadah makanan.
Jelas sekali bahwa eksperiman skinner di atas mirip sekali dengan trial and
error rearning yang ditemukan oleh Thorndike. Dalam hal ini, fenomena tingkah
laku belajar menurut Thorndike selalu melibatkan satisfaction/penguatan. Dengan
demikian, baik belajar dalam teori S-R Bond maupun dalam teori operant
conditioning langsung atau tidak, keduanya mengakui arti penting law of effect.
Selanjutnya, proses dalam belajar dalam teori operant conditioning juga
tunduk pada kedua hukum operan yang berbeda, yakni: law of operant conditioning
dan law of operant extinction. menurut law of operant conditioning, jika
timbulnya tingkah laku oparant diiringi dengan stimulus penguat, maka kekuatan
tingkah laku tersebut akan meningkat. Sebaliknya, menurut law of operant
extinction, jika timbulnya tingkah laku operant yang telah diperkuat melalui
proses conditioning itu tidak diiringi dengan stimulus penguat, maka kekuatan
tingkah laku tersebut akan menurun atau bahkan musnah (Hintzman, 1987).
Hukum-hukum ini pada dasarnya sama saja dengan hukum-hukum yang melekat dalam
proses belajar menurut teori pembiasan yang klasik.
Teori-teori belajar hasil eksperimen Thorndike, Skinner, dan Pavlov diatas
secara principal bersifat behavioristik dalam arti lebih menekankan timbulnya
perilaku jasmaniah yang nyata dan dapat diukur. Teori-teori itu juga bersifat
Otomatis-mekanis dalam menghubungkan stimulus dan respons, sehingga terkesan
seperti kinerja mesin atau robot. Jika kita renungkan dan bandingkan dengan
teori juga temuan riset psikologi kognitif, karakteristik belajar yang terdapat
dalam teori-teori behavioristik yang terlanjur diyakini sebagian besar ahli
pendidikan kita itu, sesungguhnya mengandung banyak kelemahan.
Diantara kelemahan-kelemahan teori-teori tersebut adalah sebagai berikut,
yakni:
1. Proses belajar itu dapat diamati secara langsung,
padahal belajar adalah proses kegiatan mental yang tidak dapat disaksikan dari
luar kecuali sebagian gejalanya.
2.
Proses belajar
itu bersifat otomatis-mekanis, sehingga terkesan seperti gerakan mesin dan
robot, padahal setiap siswa memiliki self-direction (kemampuan mengarahkan
diri) dan self-control (pengendalian diri) yang bersifat kognitif, dan
karenanya ia bisa menolak merespons jika ia tidak menghendaki, misalnya karena
lelah atau berlawanan dengan kata hati.
3.
Proses belajar
manusia yang dianalogikan dengan perilaku hewan itu sangat sulit diterima,
mengingat mencoloknya perbedaan karakter fisik dan psikis antara manusia dengna
hewan.[10]
D. Teori Belajar Sosial
(bandura)
Albert Bandura Lahir 4 Desember 1925 di Kanada. Latar belakang pendidikannya
adalah pada bidang psikologi. Eksperimen bandura yang sangat familiar adalah
eksperimen Bobo Doll. Hal ini disebabkan eksperimen ini menggunakan boneka dan
anak kecil. Prosesnya adalah anak kecil diletakkan disebuah ruang yang terpisah
dengan sekat kaca yang tembus pandang one way screen, diruangan sebelahnya,
boneka dan seorang dewasa yang telah dikondisikan ditempatkan sehingga si anak
dapat melihat aktifitas orang dewasa dengan bonekanya. Orang dewasa tersebut
kemudian melakukan tindakan-tindakan yang bervariasi dengan bonekanya,
memainkannya, memperlakukannya secara kasar (dipukul, ditendang, dan sebagainya)
sesuai dengan scenario yang telah dibuat dalam jangka waktu tertentu.
Beberap saat kemudian, setelah diberi waktu jeda giliran si anak ditaruh di
ruangan yang sama persis dengan ruangan yang tadi ditempati orang dewasa dengan
bonekanya. Beberapa saat diamati pada awalnya anak tersebut tidak memunculkan
perilaku yang aneh dan hanya bermain dengan bonekanya secara wajar. Namun
demikian, setelah beberapa saat bermain dengan bonekanya, mulai tampak dan
muncul perilaku-perilaku kasar serta agresif seperti dilakukan orang dewasa
dalam memperlakukan bonekanya. Perilaku perilaku tersebut sama persis dengan
yang dilakukan orang dewasa terhadap bonekanya. Proses peniruan-peniruan inilah
yang kemudian disebut oleh Bandura sebagai proses modeling.
Hasil eksperimennya memunculkan teori yang dikenal sebagai teori belajar
social (social Learning). Teori belajar social dari Albert Bandura menunjukkan
pentingnya proses mengamati dan meniru perilaku dalam proses belajar, membentuk
sikap siswa, serta mempengaruhi reaksi orang lain dalam proses belajar. Artinya
proses belajar pada individu akan lebih banyak terjadi melalui proses
modeling., dari pengamatan satu ke pengamatan lainnya yang membentuk sebuah
perilaku baru yang akan digunakan sebagai pedoman dan patokan dalam bertindak. [11]
Belajar model didefinisikan Bandura sebagai proses menirukan tingkah laku
orang lain yang dilihat, dilakukan secara sadar atau tidak. Sinonim dengan
belajar model ini adalah imitasi, identifikasi dan belajar melalui observasi.
Belajar model merupakan bentuk belajar yang kompleks. Menurut “Teori Sosial
Mengenai Belajar” (Social learning theory), maka suatu tingkah laku dapat
dipelajari dengan hanya “melihat” saja. [12]
Teori belajar Bandura lebih mengajukan peranan faktor–faktor kognitif
daripada analisis tingkah laku. Asumsi terpentingnya adalah bahwa belajar
observasional terjadi ketika tingkah laku observer (anak) berubah sebagai hasil
dari pandangannya terhadap tingkah laku seorang model (seperti orangtua, guru,
saudara, teman, pahlawan, dan bintang film). Hal sangat penting dari modelling
adalah mencontoh tingkah laku yang diobservasi atau mengabstraksinya dalam
bentuk yang umum. Bandura meyakini bahwa belajar melalui observasi (observational
learning) atau modelling itu melibatkan empat proses yaitu sebagai berikut:
1. Attentional, yaitu proses
dimana observer atau anak menaruh perhatian terhadap tingkah laku atau
penampilan model (orang yang diimitasi).
2.
Retention, yaitu proses yang merujuk pada upaya anak untuk memasukkan
informasi tentang model, seperti karakteristik penampilan fisiknya, mental, dan
tingkah lakunya ke dalam memori.
3.
Production, yaitu proses mengontrol tentang bagaimana anak dapat
mereproduksi respons atau tingkah laku model. Kemampuan mereproduksi ini bisa
berbentuk keterampilan fisik atau kemampuan mengidentifikasi tingkah laku
model.
4.
Motivational, yaitu proses pemilihan tingkah laku model yang diimitasi oleh
anak. Dalam proses ini terdapat faktor penting yang mempengaruhinya, yaitu
“reinforcement” (penguatan) atau “punishment” (hukuman), apakah terhadap model
atau langsung pada anak.
Mengenai pertanyaan orang mana yang dapat dipilih sebagai model, tidak
dapat ditentukan secara jelas. Untuk dapat menjadi model, kasih sayang dan
kehangatan bukan merupakan unsur–unsur yang menentukan. Juga tidak harus ada
interaksi langsung dengan modelnya. Yang penting ialah bahwa tindakan–tindakan
model tersebut harus dapat berhasil dan bahwa antara model dan anak harus ada
sesuatu persamaan tertentu.
Pada teori belajar Bandura inipun dikemukakan tentang konsep Self
Regulation. Yaitu suatu pemahaman bahwa individu memiliki kemampuan mandiri
untuk melatih beberapa pengaruh dari perilakunya dengan menyusun lingkungannya,
menciptakan dorongan kognitif dan memproduksi konsekuensi atas aksi–aksi mereka
sendiri.
Selain itu pada teori belajar Bandura juga disinggung mengenai konsep Self
Efficacy (perasaan mampu), yaitu keyakinan akan kemampuan untuk dapat mengatasi
situasi–situasi yang sulit dan menciptakan hasil–hasil yang diinginkan. Orang
dengan self efficacy nya tinggi akan memiliki daya tahan yang lebih tangguh
dalam menghadapi tantangan dan masalah–masalah untuk mencapai hasil yang
diharapkannya. Sedangkan orang dengan self efficacy yang rendah mudah menjadi
putus asa bila menghadapi tantangan atau masalah sewaktu berusaha mencapai
hasil yang diinginkan. [13]
Menurut Bandura terdapat 4 sumber terbentuknya dan peningkatan self
efficacy ini, yaitu sebagai berikut:
1. Performance accomplishment, yaitu dengan menimbulkan prestasi–prestasi yang berhasil dalam situasi
nyata, bukan dalam suatu penggambaran simbolik tentang situasi tersebut. Dengan
memberi individu kesempatan untuk mengalami keberhasilan secara berulang–ulang,
maka harapan–harapan kemampuan yang kuat akan berkembang, khususnya jika
individu dapat mengatribusikan keberhasilan itu pada usaha–usahanya sendiri,
bukan karena campur tangan pihak luar.
2.
Vicarious
experiences, yaitu pengalaman–pengalaman melalui orang lain yang
tersimpan dalam pikiran. Seperti mengamati seorang model yang berhasil
melakukan suatu kegiatan yang ditakuti.
3.
Verbal
persuasion, yaitu pengaruh secara verbal (kata–kata) dari orang
lain. Seperti: usulan, nasihat, peringatan, persuasi terhadap diri sendiri,
menjelaskan hal yang tidak menyenangkan pada hal–hal yang masuk akal (berfikir
positif)
4.
Emotional
arousal, yaitu pengontrolan emosi untuk menghilangkan
emosi–emosi yang negatif. Seperti: relaksasi, membayangkan hal–hal yang tidak
menyenangkan sebelum benar–benar terjadi, kemudian melatih cara–cara
mengatasinya.[14]
Aplikasi Teori belajar Social Learning meliputi:
1.
Latihan penguasaan
Mengajari teman menguasai tingkah laku yang sebelumnya
tidak bisa dilakukannya. Cara ini dilakukan melalui treatment konseling melalui
cara-cara mendalam.
2.
Modeling terbuka
Subjek dapat melihat model secara nyata, biasanya
diikuti dengan klien berpartisipasi dalam kegiatan model, dibantu oleh modelnya
mengikuti tingkah laku yang diinginkan, sampai akhirnya mampu melakukan
sendiri.
3.
Modeling simbolik
Subjek melihat model melalui media. Kepuasaan
vicarious dapat mendorong pengamat untuk mencobanya.[15]
Dari uraian diatas tentang teori belajar yang dikembankang oleh Albert
bandura maka pembelajaran diangap lebih kompleks karena menekankan bahwa
lingkungan dan perilaku seseorang dihubungkan melalui system kognitif orang
tersebut. Bukan semata-mata reflex yang timbul akan tetapi dihubungkan dnegan
reaksi yang timbul akibat dari kgonitif seseorang dan lingkungannya.
Selain itu kelemahan dari teori ini jika seseorang memfokuskan peniruan
kepada seseorang maka dia akan mampu meniru semua tingkah laku yang dilakukan
oleh model yang menjadi panutannya baik
itu yang sifatnya negative maupun positif.
E. Teori Kognitif (Jean Peaget dan Lev
Vigostky)
Kognitif adalah salah satu ranah dalam taksonomi pendidikan. Secara umum
kognitif diartikan sebagai potensi intelektual yang terdiri dari tahapan:
pengetahuan (knowledge), pemahaman (comprehention), penerapan (aplication),
analisa (analysis), sintesa (sinthesis), evaluasi (evaluation). Kognitif
berarti persoalan yang menyangkut kemampuan untuk mengembangkan kemampuan
rasional (akal). Teori kognitif lebih menekankan bagaimana proses atau upaya
untuk mengoptimalkan kemampuan aspek rasional yang dimiliki oleh orang lain.
Oleh sebab itu kognitif berbeda dengan teori behavioristik, yang lebih
menekankan pada aspek kemampuan perilaku yang diwujudkan dengan cara kemampuan
merespons terhadap stimulus yang datang kepada dirinya.
Dalam kehidupan sehari-hari kita sering mendengar kata kognitif. Dari aspek
tenaga pendidik misalnya. Seorang dosen diharuskan memiliki kompetensi bidang
kognitif. Artinya dosen tersebut harus memiliki kemampuan intelektual, seperti
penguasaan materi perkuliahan, pengetahuan mengenai cara mengajar, pengetahuan
cara menilai mahasiswa dan sebagainya.
Jean Piaget (1896-1980), pakar psikologi dari Swiss, mengatakan bahwa anak
dapat membangun secara aktif dunia kognitif mereka sendiri. Dalam pandangan
Piaget, terdapat dua proses yang mendasari perkembangan dunia individu, yaitu
pengorganisasian dan penyesuaian (adaptasi). Kecenderungan organisasi dapat
dilukiskan sebagai kecenderungan bawaan setiap organisme untuk mengintegasi
proses-proses sendiri menjadi sistem-sistem yang koheren. Adaptasi dapat
dilukiskan sebagai kecenderungan bawaan setiap organisme untuk memyesuaikan
diri dengan lingkungan dan keadaan sosial.
Menurut Piaget, perkembangan kognitif mempunyai empat aspek, yaitu 1)
kematangan, sebagai hasil perkembangan susunan syaraf; 2) pengalaman, yaitu
hubungan timbal balik antara orgnisme dengan dunianya; 3) interaksi sosial,
yaitu pengaruh-pengaruh yang diperoleh dalam hubungannya dengan lingkungan
sosial, dan 4) ekuilibrasi, yaitu adanya kemampuan atau sistem mengatur dalam
diri organisme agar dia selalu mempau mempertahankan keseimbangan dan
penyesuaian diri terhadap lingkungannya.
a. Kematangan
Kematangan sistem syaraf menjadi penting karena memungkinkan anak
memperoleh manfaat secara maksimum dari pengalaman fisik. Kematangan membuka
kemungkinan untuk perkembangan sedangkan kalau kurang hal itu akan membatasi
secara luas prestasi secara kognitif. Perkembangan berlangsung dengan kecepatan
yang berlainan tergantung pada sifat kontak dengan lingkungan dan kegiatan belajar
sendiri.
b. Pengalaman
Interaksi antara individu dan dunia luar merupakan sumber pengetahuan baru,
tetapi kontak dengan dunia fisik itu tidak cukup untuk mengembangkan
pengetahuan kecuali jika intelegensi individu dapat memanfaatkan pengalaman tersebut.
c. Interaksi Sosial
Lingkungan sosial termasuk peran bahasa dan pendidikan, pengalaman fisik
dapat memacu atau menghambat perkembangan struktur kognitif
d. Ekuilibrasi
Proses pengaturan diri dan pengoreksi diri (ekuilibrasi), mengatur interaksi
spesifik dari individu dengan lingkungan maupun pengalaman fisik, pengalaman
sosial dan perkembangan jasmani yang menyebabkan perkembangan kognitif berjalan
secara terpadu dan tersusun baik.
Piaget membagi perkembangan kognitif anak ke dalam 4 periode utama yang
berkorelasi dengan dan semakin canggih seiring pertambahan usia:
1. Periode sensorimotor (usia 0–2 tahun)
Bagi anak yang berada pada tahap ini, pengalaman diperoleh melalui fisik
(gerakan anggota tubuh) dan sensori (koordinasi alat indra). Pada mulanya
pengalaman itu bersatu dengan dirinya, ini berarti bahwa suatu objek itu ada
bila ada pada penglihatannya. Perkembangan selanjutnya ia mulai berusaha untuk
mencari objek yang asalnya terlihat kemudian menghiang dari pandangannya, asal perpindahanya
terlihat. Akhir dari tahap ini ia mulai mencari objek yang hilang bila benda
tersebut tidak terlihat perpindahannya. Objek mulai terpisah dari dirinya dan
bersamaan dengan itu konsep objek dalam struktur kognitifnya pun mulai
dikatakan matang. Ia mulai mampu untuk melambungkan objek fisik ke dalam
symbol-simbol, misalnya mulai bisa berbicara meniru suara kendaraan, suara
binatang, dll.
2. Periode praoperasional
(usia 2–7 tahun)
Tahap ini adalah tahap persiapan untuk pengorganisasian operasi konkrit.
Pada tahap ini pemikiran anak lebih banyak berdasarkan pada pengalaman konkrit
daripada pemikiran logis, sehingga jika ia melihat objek-objek yang
kelihatannya berbeda, maka ia mengatakanya berbeda pula. Pada tahap ini anak
masih berada pada tahap pra operasional belum memahami konsep kekekalan
(conservation), yaitu kekekalan panjang, kekekalan materi, luas, dll. Selain
dari itu, cirri-ciri anak pada tahap ini belum memahami dan belum dapat
memikirkan dua aspek atau lebih secara bersamaan.
3. Periode operasional konkrit (usia 7–11
tahun)
pada umumnya anak-anak pada tahap ini telah memahami operasi logis dengan
bantuan benda benda konkrit. Kemampuan ini terwujud dalam memahami konsep
kekekalan, kemampuan untuk mengklasifikasikan dan serasi, mampu memandang suatu
objek dari sudut pandang yang berbeda secara objektif. Anak pada tahap ini
sudah cukup matang untuk menggunakan pemikiran logika, tetapi hanya objek fisik
yang ada saat ini (karena itu disebut tahap operasional konkrit). Namun, tanpa
objek fisik di hadapan mereka, anak-anak pada tahap ini masih mengalami
kesulitan besar dalam menyelesaikan tugas-tugas logika.
4. Periode operasional formal
(usia 11 tahun sampai dewasa)
Anak pada tahap ini sudah mampu melakukan penalaran dengan menggunakan
hal-hal yang abstrak dan menggunakan logika. Penggunaan benda-benda konkret
tidak diperlukan lagi. Anak mampu bernalar tanpa harus berhadapan dengan dengan
objek atau peristiwa berlangsung. Penalaran terjadi dalam struktur kognitifnya
telah mampu hanya dengan menggunakan simbol-simbol, ide-ide, astraksi dan
generalisasi. Ia telah memiliki kemampuan-kemampuan untuk melakukan
operasi-operasi yang menyatakan hubungan di antara hubungan-hubungan, memahami
konsep promosi.[16]
Seperti Piaget, Vygotsky menekankan bahwa anak-anak secara aktif menyusun
pengetahuan mereka. Akan tetapi menurut Vygotsky, fungsi-fungsi mental memiliki
koneksi-koneksi sosial. Vygotsky berpendapat bahwa anak-anak mengembangkan
konsep-konsep lebih sistematis, logis, dan rasional sebagai akibat dari
percakapan dengan seorang penolong yang ahli.
1. Konsep Zona Perkembangan
Proksimal (ZPD)
Zona Perkembangan Proksimal adalah istilah Vygotsky untuk rangkaian tugas
yang terlalu sulit dikuasai anak seorang diri tetapi dapat diipelajari dengan
bantuan dan bimbingan orang dewasa atau anak-anak yang terlatih. Menurut teori
Vygotsky, Zona Perkembangan Proksimal merupakan celah antara actual development
dan potensial development, dimana antara apakah seorang anak dapat melakukan
sesuatu tanpa bantuan orang dewasa dan apakah seorang anak dapat melakukan
sesuatu dengan arahan orang dewasa atau kerjasama dengan teman sebaya. Batas
bawah dari ZPD adalah tingkat keahlian yang dimiliki anak yang bekerja secara
mandiri. Batas atas adalah tingkat tanggung jawab tambahan yang dapat diterima
oleh anak dengan bantuan seorang instruktur. Maksud dari ZPD adalah
menitikberatkan ZPD pada interaksi sosial akan dapat memudahkan perkembangan
anak.
2. Konsep Scaffolding
Scaffolding ialah perubahan tingkat dukungan. Scaffolding adalah istilah
terkait perkembangan kognitif yang digunakan Vygotsky untuk mendeskripsikan
perubahan dukungan selama sesi pembelajaran, dimana orang yang lebih terampil
mengubah bimbingan sesuai tingkat kemampuan anak.Dialog adalah alat yang
penting dalam ZPD. Vygotsky memandang anak-anak kaya konsep tetapi tidak
sistematis, acak, dan spontan. Dalam dialog, konsep-konsep tersebut dapat
dipertemukan dengan bimbingan yang sistematis, logis dan rasional.
3. Bahasa dan Pemikiran
Menurut Vygotsky, anak menggunakan pembicaraan bukan saja untuk komunikasi
sosial, tetapi juga untuk membantu mereka menyelesaikan tugas. Lebih jauh
Vygotsky yakin bahwa anak pada usia dini menggunakan bahasa unuk merencanakan,
membimbing, dan memonitor perilaku mereka. Vygotsky mengatakan bahwa bahasa dan
pikiran pada awalnya berkembang terpisah dan kemudian menyatu. Anak harus
menggunakan bahasa untuk berkomunikasi dengan orang lain sebelum mereka dapat
memfokuskan ke dalam pikiran-pikiran mereka sendiri. Anak juga harus
berkomunikasi secara eksternal dan menggunakan bahasa untuk jangka waktu yang
lama sebelum mereka membuat transisi dari kemampuan bicara ekternal menjadi
internal.
DAFTAR PUSTAKA
Calvis S. Hall, &Lindzey, Gardner. Teori-teori Sifat dan Behavioristik.
Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 1993
M. Dalyono, Psikologi pendidikan. Jakarta: Rineka Cipta,
2009
Muhammad Irham dan Novan Ardi Wiyani, Psikologi pendidikan Teori
Dan Aplikasi Dalam Proses Pembelajaran. Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2013
Rahman, Ulfiani Nuansa Baru Psikologi Belajar. Makassar:Alauddin
University Press, 2013
Sarwono, Sarlito Wirawan,berkenalan dengan Aliran-Aliran dan
Tokoh-Tokoh Psikologi. Jakarta: Bulan Bntang, 1978
Sugihantoro, dkk, Psikologi pendidikan. Yogyakarta: UNY Press,
2007
Syah, Muhibbin,
Psikologi Pendidikan Dengan Pendekatan Baru. Bandung: Remaja.
[1]Muhibbin Syah, Psikologi
Pendidikan Dengan Pendekatan Baru (Cet.14;Bandung: Remaja Rosdakarya,
2010), h. 105
[2]Ulfiani Rahman,
Nuansa Baru Psikologi Belajar (Cet.I;Makassar:Alauddin University Press.
2013), h.23
[3]Muhibbin Syah, Psikologi
Pendidikan Dengan Pendekatan Baru , h. 106
[4]Dalyono, M. Psikologi
pendidikan (Rineka Cipta:jakarta)
2009. h. 38
[5]Muhammad Irham
dan Novan Ardi Wiyani, Psikologi pendidikan Teori Dan Aplikasi Dalam Proses
Pembelajaran (Cet.I;Ar-Ruzz Media: Jogjakarta, 2013), h.152
[6]Ulfiani Rahman, Nuansa Baru
Psikologi Belajar, h. 69
[7]Muhammad Irham
dan Novan Ardi Wiyani, Psikologi pendidikan Teori Dan Aplikasi Dalam Proses
Pembelajaran, h.153-154
[8]Muhammad Irham
dan Novan Ardi Wiyani, Psikologi pendidikan Teori Dan Aplikasi Dalam Proses
Pembelajaran, 154
[9]Muhibbin Syah, Psikologi
Pendidikan Dengan Pendekatan Baru , h. 106-107
[10]Muhibbin Syah, Psikologi
Pendidikan Dengan Pendekatan Baru , h.108
[11]Sugihantoro,
dkk, Psikologi pendidikan. (Yogyakarta: UNY Press, 2007), h. 101
[12]Hill, Winfred
F., Theories of Learning, terjemah: M. Khozim, h. 79
[13]Ulfiani Rahman,
Nuansa Baru Psikologi Belajar, h. 84-85
[14]Hall, Calvis S.
& Gardner Lindzey. Teori-teori Sifat dan Behavioristik (Yogyakarta.:
Penerbit Kanisius, 1993) h.45
[15]Ulfiani Rahman,
Nuansa Baru Psikologi Belajar, h. 88-90
[16]Sarlito Wirawan
Sarwono, berkenalan dengan Aliran-Aliran dan Tokoh-Tokoh Psikologi
(Cet.I; Bulan Bntang: Jakarta, 1978), h. 125
No comments:
Post a Comment