Makalah
Biografi Thomas Hobbes dan Pemikirannya
PENDAHULUAN
Thomas
Hobbes dari Malmesbury (lahir di Malmesbury, Wiltshire, Inggris, 5 April 1588 –
meninggal di Derbyshire, Inggris, 4 Desember 1679 pada umur 91 tahun) adalah
seorang filsuf Inggris yang beraliran empirisme.[1][2][3] Pandangannya yang
terkenal adalah konsep manusia dari sudut pandang empirisme-materialisme, serta
pandangan tentang hubungan manusia dengan sistem negara.[1][2]
Hobbes
memiliki pengaruh terhadap seluruh bidang kajian moral di Inggris serta
filsafat politik, khususnya melalui bukunya yang amat terkenal
"Leviathan".[4] Hobbes tidak hanya terkenal di Inggris tetapi juga di
Eropa Daratan.[4] Selain dikenal sebagai filsuf, Hobbes juga terkenal sebagai
ahli matematika dan sarjana klasik.[4] Ia pernah menjadi guru matematika
Charles II serta menerbitkan terjemahan Illiad dan Odyssey karya Homeros.[4]
PEMBAHASAN
Biografi
Thomas Hobbes dan Pemikirannya
A.
Riwayat hidup
- Masa awal kehidupan dan pendidikan
Thomas
Hobbes (1588-1679) dilahirkan di Malmesbury, sebuah kota kecil yang berjarak 25
kilometer dari London.[1] Ia dilahirkan pada tanggal 15 April 1588.[5] Ketika
Hobbes dilahirkan, armada Spanyol sedang menyerbu Inggris.[6] Ayah Hobbes
adalah seorang pendeta di Westport, bagian dari Malmesbury.[7] Ayahnya
bermasalah dengan pihak gereja sehingga melarikan diri dari kota tersebut dan
meninggalkan Hobbes untuk diasuh oleh pamannya.[7]
Pada
tahun 1603-1608, Hobbes belajar di Magdalen Hall, Oxford pada usia 14 tahun.[1]
Menurut kesaksian pribadi Hobbes, ia tidak menyukai pelajaran fisika dan logika
Aristoteles.[5] Ia lebih suka membaca mengenai eksplorasi terhadap penemuan
tanah-tanah baru serta mempelajari peta-peta bumi dan bintang-bintang.[5]
Karena itulah, astronomi adalah bidang sains yang mendapat perhatian dari
Hobbes, dan terus digeluti oleh Hobbes.[5] Kemudian pada masa kemudian, Hobbes
juga menyesali karena ia tidak mempelajari matematika saat menempuh pendidikan
di Oxford.[5]
B.
Pekerjaan di Inggris
Setelah
menempuh pendidikan, Hobbes mendapat pekerjaan sebagai pengajar keluarga
bangsawan, yakni keluarga Cavendish.[5] Murid Hobbes adalah William Cavendish
yang merupakan pewaris keluarga tersebut.[5] Selain sebagai guru, Hobbes juga
berperan sebagai sekretaris, teman, dan bendahara dari William Cavendish.[5]
Pada
tahun 1614-1615, Hobbes dan William melakukan perjalanan ke Perancis dan
Italia, di mana keduanya mempelajari bahasa Italia.[5] Sepulangnya ke Inggris
pada tahun 1616, Cavendish berhubungan dengan Francis Bacon dan Hobbes sempat
melakukan beberapa pekerjaan sekretariat untuk Bacon.[5] Bersama dengan
William, Hobbes berkenalan dengan dunia politik, baik dalam pemikiran maupun
praktik.[5] William pada tahun 1614 dan 1621 merupakan anggota parlemen
sehingga Hobbes dipastikan turut serta dalam sidang-sidang parlemen.[5]
William
Cavendish meninggal pada tahun 1628, dan saat itu Hobbes telah menyelesaikan
terjemahan dari Thucydides.[5] Karya Hobbes tersebut merupakan karya ilmiah
yang berharga sebab merupakan karya pertama yang merupakan terjemahan bahasa
Inggris langsung dari bahasa Yunani.[5] Selain itu, di dalamnya terdapat peta
dari dunia Yunani kuno yang dikumpulkan dari banyak sumber dan digambar oleh
Hobbes sendiri.[5] Di dalam karya tersebut, Hobbes memperlihatkan sikapnya yang
pro terhadap monarki Inggris dan tidak begitu menyukai sistem demokrasi.[5] Di
dalam oto-biografinya, Hobbes mengatakan bahwa Thucydides adalah sejarawan
favoritnya sebab "ia memperlihatkan betapa tidak kompetennya sistem
demokrasi".[5]
Setelah
kematian William, Hobbes berhenti dari pekerjaannya di keluarga Cavendish
selama dua tahun.[5] Pada waktu tersebut. ia bekerja lagi sebagai guru dari
anak bangsawan.[5] Pada tahun 1629 hingga 1630, Hobbes dan muridnya melakukan
perjalanan ke Perancis dan Swiss.[5] Di Jenewa, selama bulan April hingga Juni
tahun 1630, Hobbes mulai membaca buku Eukleides yang berjudul
"Elemen-Elemen" dan tertarik atas metode deduktif Eukleides.[5]
Setelah
kembali ke Inggris, pada tahun 1631, Hobbes kembali bekerja pada keluarga
Cavendish untuk menjadi guru dari anak William.[5] Pada waktu inilah, Hobbes
menghabiskan waktu untuk mempelajari matematika dan bidang-bidang sains
lainnya.[5]
Periode
1630-an adalah tahun-tahun yang penting di dalam perkembangan intelektual Hobbes.[5]
Di periode inilah perhatian Hobbes terhadap sains, khususnya optik, mulai
berkembang.[5] Selain itu, pemikiran filsafat politik Hobbes juga mulai
berkembang, sebagaimana terlihat dari buku "Elemen-Elemen Hukum" yang
dikeluarkannya pada akhir dekade 1630-an.[5]
Pada
tahun 1634, Hobbes dan muridnya kembali melakukan perjalanan ke Eropa Daratan,
yakni Perancis dan Italia.[5] Perjalanan tersebut memberi pengaruh besar
terhadap perkembangan intelektual Hobbes sebab ia berkenalan dengan ilmuwan dan
matematikawan dari Perancis.[5] Di dalam oto-biografinya, Hobbes mengatakan
bahwa ia telah mempelajari prinsip-prinsip dari ilmu alam di Perancis.[5]
Setelah
Hobbes kembali ke Inggris pada bulan Oktober 1636, ia banyak menggunakan
waktunya untuk karya-karya filsafat.[5] Hal tersebut dikarenakan muridnya sudah
mulai dewasa sehingga Hobbes memiliki banyak waktu luang.[5] Salah satu karya
sains-filsafat Hobbes yang paling awal adalah sebuah manuskrip tentang optik
yang berjudul "Latin Optical MS".[5] Karya tersebut telah selesai
dikerjakan pada tahun 1640.[5] Hobbes juga menulis manuskrip lain tentang
metafisika dan epistemologi.[5]
Pekerjaan
Hobbes dalam bidang sains dan metafisika terhenti pada akhir dekade 1630-an
karena situasi politik.[5] Pada tahun 1637, kekuasaan absolut Raja Charles I
mulai dipersoalkan.[5] Hobbes memperlihatkan dukungan kepada raja dengan
mendedikasikan buku "Elemen-Elemen Hukum" untuk menjawab persoalan
kekuasaan absolut.[5] Kedua karya Hobbes yang berikutnya, "De Cive"
dan "Leviathan", mengembangkan lebih lanjut pemikiran dalam buku
tersebut, meskipun esensi ketiganya sama.[5]
Pada
tahun 1640, Hobbes mulai mempertimbangkan untuk tinggal di Paris dengan alasan
keselamatan dirinya dan untuk lebih merangsang pemikirannya.[5] Akan tetapi,
apa yang menjadi alasan langsung dari kepergian Hobbes dari Inggris menuju
Perancis adalah debat yang terjadi di parlemen pada tanggal 7 November 1640.[5]
Di sana, para anti-monarki mulai menyuarakan penentangan terhadap orang-orang
yang pro-monarki dan mendukung kekuasaan absolut.[5] Karena Hobbes kuatir akan
dipanggil untuk mempertanggungjawabkan "Elemen-Elemen Hukum",
akhirnya ia pergi ke Paris.[5]
C. Di Paris
Di
Paris, Hobbes dengan cepat menyatu dengan situasi intelektual di sana karena
dibantu oleh rekannya Mersenne.[5] Pada tahun 1642, Mersenne juga membatu
penerbitan karya Hobbes "De Cive".[5] Melalui buku tersebut, Hobbes
mengukuhkan diri sebagai penulis dalam bidang politik yang memiliki reputasi di
seluruh Eropa.[5] Tidak lama kemudian, Mersenne juga membantu penerbitan
beberapa contoh karya Hobbes dalam bidang fisika dan optik di dalam dua volume
buku kompilasi pada tahun 1644.[5] Judul dari kedua karya Hobbes tersebut
adalah "Cogitata physico-mathematica" dan "Universae".[5] Melalui
Mersenne juga, Hobbes dapat berkenalan pada awal tahun 1640-an dengan para
filsuf dan ilmuwan Perancis.[5]
Selama
periode 1640-an, Hobbes lebih banyak memberikan perhatian kepada fisika,
metafisika, dan teologi ketimbang filsafat politik.[5] Pada tahun 1642-1643,
Hobbes menulis karya yang melawan pandangan seorang filsuf Aristotelian Katolik
yang bernama Thomas White[5] Kemudian pada tahun 1645, Hobbes berpolemik dengan
seorang teolog Gereja Anglikan yang juga bernama John Bramhall mengenai hakikat
kehendak bebas.[5] Polemik yang terjadi cukup panjang dan memakan waktu yang
cukup lama.[5]
Pada
tahun 1646, Hobbes diminta untuk menjadi pengajar matematika bagi Pangeran
Charles II, anak dari Raja Charles I.[5] Pekerjaan tersebut membawa Hobbes
berhubungan lebih intensif dengan para politisi, pejabat istana, dan
pejabat-pejabat gerejawi, yang semuanya merupakan pihak-pihak yang
pro-monarki.[5] Situasi tersebut membuat Hobbes kembali memasuki bidang
politik.[5] Karya Hobbes yang berjudul "Leviathan" diterbitkan di
Inggris dengan bantuan seorang temannya, pada bulan April 1651.[5]
Pada
tahun 1648, Hobbes mulai merencanakan untuk kembali ke Inggris.[5] Beberapa
lama kemudian, situasi politik Inggris telah berubah karena pada tahun 1649
Raja Charles I dieksekusi.[5] Di Perancis, situasi Hobbes juga berubah sebab
Mersenne telah meninggal dunia, dan Gassendi, seorang sahabat lain Hobbes,
pindah ke Perancis selatan.[5] Buku "Leviathan" yang ditulis oleh
Hobbes dapat dilihat sebagai pergeseran pandangan politiknya ke arah yang lebih
netral, sebab di situ ia tidak dengan terang-terangan mengaku diri pro-monarki,
melainkan berbicara soal kekuasaan saja.[5] Sebaliknya, pandangan Hobbes soal
agama di dalam buku "Leviathan" membuat Hobbes memiliki masalah
dengan orang-orang di sekitar Charles II, khususnya kaum agamawan.[5] Hobbes
terancam untuk dibawa ke pengadilan, dan beberapa waktu kemudian para pejabat
gerejawi Perancis memutuskan untuk membawa Hobbes ke pengadilan.[5] Karena itu,
Hobbes melarikan diri dari Perancis pada pertengahan bulan Desember 1651,
menuju ke Inggris.[5]
D. Kembali ke London
Sepulangnya
ke Inggris, Hobbes menetap di London dan kembali ke pekerjaannya dahulu, yakni
menjadi pengajar di keluarga bangsawan.[5] Nama buruk yang akan diterima Hobbes
karena "Leviathan" tidak dengan segera muncul.[5] Kebanyakan pembaca
awal dari buku tersebut cukup terkejut dengan isinya tentang agama, namun tidak
segera menyuarakannya.[5]
Selain
kaum agamawan, grup lain yang merasa terganggu dengan buku
"Leviathan" adalah kaum akademisi dari universitas-universitas.[5]
Hal itu menyebabkan Hobbes mendapat kritik dari kalangan akademisi.[5] Salah
satu akademisi yang mengkritik Hobbes adalah John Wallis.[5] Mereka terlibat di
dalam polemik dalam bidang matematika selama hampir dua puluh tahun.[5]
Pada
era 1660-an, Hobbes mendapat tekanan dari pihak agamawan karena pandangannya
tentang agama.[5] Pada awal tahun 1660-an ada rumor yang mengatakan beberapa
Uskup Gereja Anglikan akan menetapkan pandangan Hobbes sebagai sesat.[5] Selain
itu, pada tahun 1666, komite Dewan Rakyat (House of Commons) didesak untuk
menginvestigasi buku "Leviathan".[5]
Hobbes
merespons tekanan yang muncul dengan menerbitkan tulisan-tulisan pada akhir
dekade 1660-an yang secara terbuka mempertahankan dirinya dari segala kritik
mengenai keimanan Hobbes.[5] Beberapa tulisan tersebut, termasuk biografi
singkat Hobbes, adalah "Mempertimbangkan Ulang Tuan Hobbes",
penambahan apendiks kepada terjemahan bahasa Latin dari "Leviathan"
yang mempertahankan karya tersebut dari tuduhan sesat pada tahun 1668, sebuah
oto-biografi dalam bahasa Latin pada tahun 1679, dan sebuah karya tentang
polemik sejarah gereja dalam bahasa Latin berjudul "Historia
ecclesiastica" pada tahun 1688.[5]
E.
Akhir Hidup
Pelbagai
publikasi yang dilakukan Hobbes (dengan ditambah karya-karya lain tentang
matematika dan terjemahan Iliad dan Odyssey karya Homeros dalam bahasa Inggris)
membuktikan produktivitas Hobbes pada usia yang semakin lanjut.[5] Hobbes
berusia 63 tahun ketika "Leviathan" diterbitkan, dan ia terus menulis
hingga umur 91 tahun ketika ia meninggal.[5] Hobbes hidup bersama keluarga
Cavendish yang memberinya perlindungan dam keamanan.[5] Kemudian saat Charles
II, mantan muridnya, mendapatkan kekuasaan di Inggris, Hobbes mendapat
pengampunan karena ia lari ke Inggris dan berpihak ke kubu anti-monarki.[5]
Kendati
Hobbes memiliki pengikut setia di Inggris, namun ia lebih dihormati dan
memiliki pengaruh di Perancis.[5] Ia dianggap sebagai salah satu filsuf
terbesar yang pernah ada, dan buku "Leviathan" menjadi terkenal di
sana.[5]
Hobbes
meninggal pada tanggal 4 Desember 1679.[5] Ia mengidap sakit serius sejak bulan
Oktober dan seminggu sebelum meninggal ia terkena stroke.[5] Hobbes dimakamkan
di Hault Hukcnall, dekat Hardwick Hall.[5] Di atas batu nisannya, terdapat
perkataan yang ditulis oleh Hobbes sendiri: "Dia dalah seorang ahli, dan
karena reputasinya dalam banyak ilmu, ia dikenal luas baik di dalam negeri
maupun luar negeri." [5]
Pemikiran
Thomas Hobbes
A.
Empirisme
Inti
pemikiran Hobbes berakar pada empirisme (berasal dari bahasa Yunani empeiria
yang berarti 'berpengalaman dalam, berkenalan dengan').[8] Empirisme menyatakan
bahwa pengalaman adalah asal dari segala pengetahuan.[6] Menurut Hobbes,
filsafat adalah suatu ilmu pengetahuan tentang efek-efek atau akibat-akibat
berupa fakta yang dapat diamati.[2] Segala yang ada ditentukan oleh sebab
tertentu, yang mengikuti hukum ilmu pasti dan ilmu alam.[2] Yang nyata adalah
yang dapat diamati oleh indera manusia, dan sama sekali tidak tergantung pada
rasio manusia (bertentangan dengan rasionalisme).[2] Dengan menyatakan yang
benar hanyalah yang inderawi, Hobbes mendapatkan jaminan atas kebenaran.[6]
B.
Materialisme
Hobbes
adalah seorang materialis. Ia meyakini bahwa manusia (termasuk pikirannya, dan
bahkan Tuhan) terdiri dari materi.[9] Meskipun tidak pernah disebutkan secara
eksplisit dalam karya-karyanya, Hobbes telah menyerang lawannya yang meyakini
hal-hal imaterial.[9]
C. Tentang kemandirian filsafat
Hobbes
dikenal sebagai salah seorang perintis kemandirian filsafat.[10] Hobbes
berpendapat bahwa selama ini, filsafat banyak disusupi gagasan religius.[10]
Hobbes menegaskan bahwa obyek filsafat adalah obyek-obyek lahiriah yang
bergerak beserta ciri-cirinya.[10] Menurutnya, substansi yang tak dapat
berubah, seperti Allah, dan substansi yang tak dapat diraba secara empiris,
seperti roh, malaikat, dan sebagainya, bukanlah obyek dari filsafat.[10] Hobbes
menyatakan bahwa filsafat harus membatasi diri pada masalah kontrol atas
alam.[10]
Berdasarkan
pemikiran tersebut, Hobbes menyatakan hanya ada empat bidang di dalam filsafat,
yakni:
- Geometri, yang merupakan refleksi atas benda-benda dalam ruang.[10]
- Fisika, yang merupakan refleksi timbal-balik benda-benda dan gerak mereka.[10]
- Etika, yang dalam pengertian Hobbes dekat dengan psikologi.[10] Maksudnya, refleksi atas hasrat dan perasaan manusia serta gerak-gerak mentalnya.[10]
- Politik, yang adalah refleksi atas institusi-institusi sosial.[10]
Hobbes
menyatakan bahwa keempat bidang tersebut saling berhubungan satu sama lain.[10]
Karena itulah, Hobbes berpandangan bahwa masyarakat dan manusia dapat dilihat
melalui gerak dan materi dalam fisika.[10]
D.
Tentang pengenalan
Sebagai
penganut empirisme, Hobbes menganggap bahwa pengetahuan berasal dari pengalaman
semata-mata.[6] Tidak seperti kaum rasionalis, pengenalan dengan akal hanyalah
mempunyai fungsi mekanis.[6] Pengenalan dengan akal dimulai dengan kata-kata
yang menunjuk pada tanda-tanda tertentu yang sebenarnya sesuai dengan kebiasaan
saja.[6] Pengertian-pengertian umum hanyalah nama belaka, yaitu sebagai nama
bagi gambaran-gambaran ingatan tersebut, bukan nama benda pada dirinya
sendiri.[6] Pengamatan indrawi terjadi karena gerak benda-benda di luar manusia
yang menyebabkan adanya rangsangan terhadap indra manusia.[6] Rangsangan
tersebut diteruskan ke otak, dan dari otak ke jantung.[6] Di dalam jantung
timbullah reaksi tertentu yang merespons pengamatan tersebut.[6]
E.
Manusia
Pandangan
Hobbes tentang manusia dimulai dengan pertanyaan: apa yang menggerakkan
manusia? (what makes him tick?).[3] Di sini, Hobbes membandingkan manusia
dengan sebuah jam tangan yang bergerak secara teratur karena ada
onderdil-onderdil di dalamnya.[3] Hobbes memandang manusia secara mekanis
belaka.[1] Manusia adalah setumpuk material yang bekerja dan bergerak menurut
hukum-hukum ilmu alam.[1] Untuk itu, ia menyingkirkan segala macam anggapan
moral-metafisik tentang manusia.[1] Misalnya saja, pandangan bahwa manusia
memiliki kodrat sosial, kebebasan, keabadian jiwa, dan sebagainya.[1] Jiwa dan
akal budi hanya dianggap sebagai bagian dari proses mekanis di dalam tubuh.[2]
Setelah
mengetahui seluruh kaitan antara onderdil-onderdil dari sebuah jam tangan, maka
kita dapat mengetahui prinsip kerja yang menyebabkan jam tangan itu
bergerak.[1] Kesimpulan akhir Hobbes mengenai faktor penggerak manusia adalah
psikis manusia, yakni nafsu.[3] Nafsu yang paling kuat dari manusia adalah
nafsu untuk mempertahankan diri, atau dengan kata lain, ketakutan akan
kehilangan nyawa.[3][1] Dari dasar pemikiran itulah Hobbes kemudian merumuskan
pandangannya tentang negara yang amat terkenal.[3][1]
F.
Negara
Pemikiran
Hobbes mengenai negara terdapat di dalam karya besarnya yang berjudul
"Leviathan".[3] Leviathan adalah nama binatang di dalam mitologi
Timur Tengah yang amat buas.[3] Di dalam filsafat Hobbes, Leviathan merupakan
simbol suatu sistem negara.[3] Seperti Leviathan, negara haruslah berkuasa
mutlak dan ditakuti oleh semua rakyatnya, karena hanya dengan cara inilah
manusia-manusia dapat mengalami ketertiban dan kebahagiaan.[3]
Di
dalam pandangannya tentang manusia, Hobbes berpendapat bahwa seluruh perilaku
manusia ditentukan oleh kebutuhan mempertahankan diri atau takut akan
kehilangan nyawa.[1] Dengan mengetahui hal tersebut, Hobbes merasa mampu
menjawab pertanyaan bagaimana manusia harus bersikap baik, yaitu kuasailah rasa
takut mati mereka.[1] Bila manusia diancam dan dibuat takut, ia akan dapat
mengendalikan emosi dan nafsunya sehingga kehidupan sosial dapat terjamin.[1]
Karena itu, negara haruslah menekan rasa takut mati dari warga negaranya,
supaya setiap orang berbuat baik.[1]
G.
Terbentuknya negara
Menurut
Hobbes, manusia tidaklah bersifat sosial.[1] Manusia hanya memiliki satu
kecenderungan dalam dirinya, yaitu keinginan mempertahankan diri.[1] Karena
kecenderungan ini, manusia bersikap memusuhi dan mencurigai setiap manusia
lain: homo homini lupus! (manusia adalah serigala bagi sesamanya).[1] Keadaan
ini mendorong terjadinya "perang semua melawan semua" (bellum omnium
contra omnes).[1] Inilah "keadaan alamiah" saat belum terbentuknya
negara.[1] Akan tetapi, jika terus-menerus terjadi perang semua melawan semua,
tentu saja eksistensi manusia juga terancam.[1] Untuk itu, manusia-manusia
mengadakan sebuah perjanjian bersama untuk mendirikan negara, yang mengharuskan
mereka untuk hidup dalam perdamaian dan ketertiban.[1]
H.
Status negara
Negara
berkuasa secara mutlak dan berhak menentukan nasib rakyatnya demi menjaga
ketertiban dan perdamaian.[1] Status mutlak dimiliki negara sebab negara
bukanlah rekan perjanjian, melainkan hasil dari perjanjian antar-warga
negara.[1] Artinya, di dalam perjanjian membentuk negara, setiap warga negara
telah menyerahkan semua hak mereka kepada negara.[1] Akan tetapi, negara sama
sekali tidak punya kewajiban apapun atas warganya, termasuk kewajiban untuk
bertanggung jawab pada rakyat.[1]
Negara
berada di atas seluruh warga negara dan berkuasa secara mutlak.[1] Kemudian
negara juga berhak menuntut ketaatan mutlak warga negara kepada hukum-hukum yang
ada, serta menyediakan hukuman bagi yang melanggar, termasuk hukuman mati.[1]
Dengan demikian, warga negara akan menekan hawa nafsu dan insting untuk
berperilaku destruktif.[1] Selanjutnya, warga negara akan memilih untuk patuh
kepada hukum karena memiliki rasa takut dihukum mati.[1] Hilangnya kebebasan
warga negara terhadap negara adalah harga yang harus dibayar jika semua orang
ingin hidup dalam ketenteraman, keteraturan, dan kedamaian.[1]
I.
Pembatasan kekuasaan negara
Jikalau
kekuasaan negara begitu mutlak dan tidak dapat dituntut oleh warga negara,
bukankah potensi penyalahgunaan kekuasaan oleh negara menjadi amat besar?[1]
Untuk mencegah terjadinya hal tersebut, Hobbes menyatakan dua hal.[1]
Pertama,
perlu ada kesadaran dari pihak yang berkuasa mengenai konsep keadilan, sebab
kelak perbuatannya harus dipertanggungjawabkan di hadapan Allah dalam
pengadilan terakhir.[1]
Kedua,
jika negara mengancam kelangsungan hidup warga negara, maka setiap warga negara
yang memiliki rasa takut terhadap kematian akan berbalik menghancurkan negara,
sebelum negara menghancurkan mereka.[1] Pada situasi tersebut, masyarakat akan
kembali ke "keadaan alamiah" untuk selanjutnya membentuk negara yang
lebih baik, dan seterusnya. [1]
Pengaruh
Thomas Hobbes
Tulisan-tulisan
Hobbes, khususnya "Leviathan", sangat memengaruhi seluruh filsafat
politik dan filsafat moral di Inggris pada masa-masa selanjutnya.[4] Di Eropa
Daratan, Hobbes juga membawa pengaruh kuat.[4] Salah satu filsuf besar yang
dipengaruhi Hobbes adalah Baruch Spinoza.[4] Spinoza dipengaruhi Hobbes di
dalam pandangan-pandangan politik dan juga bagaimana berhubungan dengan
Alkitab.[4]
Hobbes
juga merupakan salah seorang filsuf, jika bukan yang pertama, yang amat
berpengaruh dalam perdebatan antara kehendak bebas dan determinisme.[4] Selain
itu, ia juga merupakan salah satu filsuf bahasa yang paling penting karena ia
berpandangan bahwa bahasa bukan hanya digunakan untuk menjelaskan dunia, tetapi
juga untuk menunjukkan perilaku-perilaku dan juga untuk mengikat janji dan
kontrak.[4]
Kemudian
Hobbes juga berpengaruh di dalam studi kontraktarianisme.[11] Kontraktarianisme
merupakan bagian dari teori-teori moral dan politik yang menggunakan ide teori
kontrak sosial.[11][11] Hobbes merupakan salah satu filsuf kontrak sosial
tradisional yang menggunakan ide kontrak sosial untuk menegaskan peran
negara.[11] Di sini, Hobbes merupakan pionir dari salah satu dari dua argumen
moral tentang kontrak sosial yang ada.[11] Satu jenis argumen moral tentang
kontrak sosial lainnya diberikan oleh Immanuel Kant.[11]
Selain
itu, Hobbes juga merupakan filsuf modern pertama di dalam bidang
sensasionalisme.[12] Sensasionalisme adalah pandangan yang menganggap semua
keadaan mental, secara khusus kognitif manusia, beraal dari komposisi atau
asosiasi-asosiasi dari sensasi atau perasaan belaka.[12]
Footnote
____________________
____________________
- Simon Petrus L. Tjahjadi. 2004. Petualangan Intelektual. Yogyakarta: Kanisius. Hal. 227-236.
- Harun Hadiwijono. 1983. Sari Sejarah Filsafat Barat 2. Yogyakarta: Kanisius. Hal. 32-35.
- Franz Magnis-Suseno. 1992. Filsafat Sebagai Ilmu Kritis. Yogyakarta: Kanisius. Hal. 71-72.
- Bernard Gert. 1999. "Hobbes, Thomas". In The Cambridge Dictionary of Philosophy. Robert Audi, ed. 386-390. London: Cambridge University Press.
- Noel Malcolm. 2006. "A Summary Biography of Hobbes". In The Cambridge Companion to Hobbes. Tom Sorell, ed. 13-44. London: Cambridge University Press.
- Juhaya S. Praja. 2005. Aliran-Aliran Filsafat dan Etika. Jakarta: Kencana. Hal. 105-110.
- R.S. Peters. 1972. "Hobbes, Thomas". In The Encyclopedia of Philosophy Volume III. Paul Edwards, ed. 30-46. New York: Macmillan Publishing.
- Lorens Bagus. 2000. Kamus Filsafat. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Hal. 197.
- "Thomas Hobbes" (dalam bahasa English) Stanford Encyclopedia of Philosophy
- F. Budi Hardiman. 2007. Filsafat Modern: Dari Machiavelli sampai Nietzsche. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Hal. 65-73.
- (Inggris)J.Ham. 1999. "Contractarianism". In The Cambridge Dictionary of Philosophy. Robert Audi, ed. 182-184. London: Cambridge University Press.
- (Inggris)Kenneth P. Winkler. 1999. "Sensationalism". In The Cambridge Dictionary of Philosophy. Robert Audi, ed. 833. London: Cambridge University Press.
No comments:
Post a Comment