1.
Al Hasan Al Bashri (30-110 H)
Suatu hari ummahatul
mu’minin, Ummu Salamah, menerima khabar bahwa mantan “maula” (pembantu
wanita)-nya telah melahirkan seorang putera mungil yang sehat. Bukan main
gembiranya hati Ummu Salamah mendengar berita tersebut. Diutusnya seseorang
untuk mengundang bekas pembantunya itu untuk menghabiskan masa nifas di
rumahnya.
Ibu muda yang baru
melahirkan tersebut bernama Khairoh, orang yang amat disayangi oleh Ummu
Salamah. Rasa cinta ummahatul mu’minin kepada bekas maulanya itu, membuat ia
begitu rindu untuk segera melihat puteranya. Ketika Khairoh dan puteranya tiba,
Ummu Salamah memandang bayi yang masih merah itu dengan penuh sukacita dan cinta.
Sungguh bayi mungil itu sangat menawan. “Sudahkah kau beri nama bayi ini, ya
Khairoh?” tanya Ummu Salamah. “Belum ya ibunda. Kami serahkan kepada ibunda
untuk menamainya” jawab Khairoh. Mendengar jawaban ini, ummahatul mu’minin
berseri-seri, seraya berujar “Dengan berkah Allah, kita beri nama Al-Hasan.”
Maka do’apun mengalir pada si kecil, begitu selesai acara pemberian nama.
Al-Hasan bin Yasar –
atau yang kelak lebih dikenal sebagai Hasan Al-Basri, ulama generasi salaf
terkemuka – hidup di bawah asuhan dan didikan salah seorang isteri Rasulullah
Shallallahu Alaihi Wassalam: Hind binti Suhail yang lebih terkenal sebagai Ummu
Salamah. Beliau adalah seorang puteri Arab yang paling sempurna akhlaqnya dan
paling kuat pendiriannya, ia juga dikenal – sebelum Islam – sebagai penulis
yang produktif. Para ahli sejarah mencatat beliau sebagai yang paling luas
ilmunya di antara para isteri Rasulullah Shallallahu Alaihi Wassalam.
Waktu terus berjalan.
Seiring dengan semakin akrabnya hubungan antara Al-Hasan dengan keluarga Nabi
Shallallahu Alaihi Wassalam, semakin terbentang luas kesempatan baginya untuk
ber”uswah” (berteladan) pada keluarga Rasulullah Shallallahu Alaihi Wassalam.
Pemuda cilik ini mereguk ilmu dari rumah-rumah ummahatul mu’minin serta
mendapat kesempatan menimba ilmu bersama sahabat yang berada di masjid Nabawiy.
Ditempa oleh
orang-orang sholeh, dalam waktu singkat Al-Hasan mampu meriwayatkan hadist dari
Utsman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, Abu Musa Al-Asy’ari, Abdullah bin Umar,
Abdullah bin Abbas, Anas bin Malik dan sahabat-sahabat Rasulullah lainnya.
Al-Hasan sangat
mengagumi Ali bin Abi Thalib, karena keluasan ilmunya serta kezuhudannya.
Penguasan ilmu sastra Ali bin Abi Thalib yang demikian tinggi, kata-katanya
yang penuh nasihat dan hikmah, membuat Al-Hasan begitu terpesona.
Pada usia 14 tahun,
Al-Hasan pindah bersama orang tuanya ke kota Basrah, Iraq, dan menetap di sana.
Dari sinilah Al-Hasan mulai dikenal dengan sebutan Hasan Al-Basri. Basrah kala
itu terkenal sebagai kota ilmu dalam Daulah Islamiyyah.
Masjid-masjid yang
luas dan cantik dipenuhi halaqah-halaqah ilmu. Para sahabat dan tabi’in banyak
yang sering singgah ke kota ini. Di Basrah, Hasan Al-Basri lebih banyak tinggal
di masjid, mengikuti halaqah-nya Ibnu Abbas. Dari beliau, Hasan Al-Basri banyak
belajar ilmu tafsir, hadist dan qiro’at. Sedangkan ilmu fiqih, bahasa dan
sastra dipelajarinya dari sahabat-sahabat yang lain. Ketekunannya mengejar dan
menggali ilmu menjadikan Hasan Al-Basri sangat ‘alim dalam berbagai ilmu. Ia
terkenal sebagai seorang faqih yang terpercaya.
Keluasan dan
kedalaman ilmunya membuat Hasan Al-Basri banyak didatangi orang yang ingin
belajar langsung kepadanya. Nasihat Hasan Al-Basri mampu menggugah hati
seseorang, bahkan membuat para pendengarnya mencucurkan air mata. Nama Hasan
Al-Basri makin harum dan terkenal, menyebar ke seluruh negeri dan sampai pula
ke telinga penguasa.
Ketika Al-Hajaj
ats-Tsaqofi memegang kekuasan gubernur Iraq, ia terkenal akan kediktatorannya.
Perlakuannya terhadap rakyat terkadang sangat melampaui batas. Nyaris tak ada
seorang pun penduduk Basrah yang berani mengajukan kritik atasnya atau
menentangnya. Hasan Al-Basri adalah salah satu di antara sedikit penduduk
Basrah yang berani mengutarakan kritik pada Al-Hajaj. Bahkan di depan Al-Hajaj sendiri,
Hasan Al-Basri pernah mengutarakan kritiknya yang amat pedas.
Saat itu tengah
diadakan peresmian istana Al-Hajaj di tepian kota Basrah. Istana itu dibangun
dari hasil keringat rakyat, dan kini rakyat diundang untuk menyaksikan
peresmiannya. Saat itu tampillah Hasan Al-Basri menyuarakan kritiknya terhadap
Al-Hajaj: “Kita telah melihat apa-apa yang telah dibangun oleh Al-Hajaj. Kita
juga telah mengetahui bahwa Fir’aun membangun istana yang lebih indah dan lebih
megah dari istana ini. Tetapi Allah menghancurkan istana itu … karena
kedurhakaan dan kesombongannya …”.
Kritik itu
berlangsung cukup lama. Beberapa orang mulai cemas dan berbisik kepada Hasan
Al-Basri, “Ya Abu Sa’id, cukupkanlah kritikmu, cukuplah!” Namun beliau
menjawab, “Sungguh Allah telah mengambil janji dari orang-orang yang berilmu,
supaya menerangkan kebenaran kepada manusia dan tidak menyembunyikannya.”
Begitu mendengar
kritik tajam tersebut, Al-Hajaj menghardik para ajudannya, “Celakalah kalian!
Mengapa kalian biarkan budak dari Basrah itu mencaci maki dan bicara seenaknya?
Dan tak seorangpun dari kalian mencegahnya? Tangkap dia, hadapkan kepadaku!” .
Semua mata tertuju
kepada sang Imam dengan hati bergetar. Hasan Al-Basri berdiri tegak dan tenang
menghadapi Al-Hajaj bersama puluhan polisi dan algojonya.
Sungguh luar biasa
ketenangan beliau. Dengan keagungan seorang mu’min, izzah seorang muslim dan
ketenangan seorang da’i, beliau hadapi sang tiran.
Melihat ketenangan
Hasan Al-Basri, seketika kecongkakan Al-Hajaj sirna. Kesombongan dan kebengisannya
hilang. Ia langsung menyambut Hasan Al-Basri dan berkata lembut, “Kemarilah ya
Abu Sa’id …” Al-Hasan mendekatinya dan duduk berdampingan. Semua mata memandang
dengan kagum.
Mulailah Al-Hajaj
menanyakan berbagai masalah agama kepada sang Imam, dan dijawab oleh Hasan
Al-Basri dengan bahasa yang lembut dan mempesona. Semua pertanyaannya dijawab
dengan tuntas. Hasan Al-Basri dipersilakan untuk pulang. Usai pertemuan itu,
seorang pengawal Al-Hajaj bertanya, “Wahai Abu Sa’id, sungguh aku melihat anda
mengucapkan sesuatu ketika hendak berhadapan dengan Al-Hajaj. Apakah
sesungguhnya kalimat yang anda baca itu?” Hasan Al-Basri menjawab, “Saat itu
kubaca: Ya Wali dan PelindungKu dalam kesusahan. Jadikanlah hukuman Hajaj sejuk
dan keselamatan buatku, sebagaimana Engkau telah jadikan api sejuk dan
menyelamatkan Ibrahim.”
Nasihatnya yang
terkenal diucapkannya ketika beliau diundang oleh penguasa Iraq, Ibnu Hubairoh,
yang diangkat oleh Yazid bin Abdul Malik. Ibnu Hubairoh adalah seorang yang
jujur dan sholeh, namun hatinya selalu gundah menghadapi perintah-perintah
Yazid yang bertentangan dengan nuraninya. Ia berkata, “Allah telah memberi
kekuasan kepada Yazid atas hambanya dan mewajibkan kita untuk mentaatinya. Ia
sekarang menugaskan saya untuk memerintah Iraq dan Parsi, namun kadang-kadang
perintahnya bertentangan dengan kebenaran. Ya, Abu Sa’id apa pendapatmu?
Nasihatilah aku …”
Berkata Hasan
Al-Basri, “Wahai Ibnu Hurairoh, takutlah kepada Allah ketika engkau mentaati
Yazid dan jangan takut kepada Yazid ketika engkau mentaati Allah. Ketahuilah,
Allah membelamu dari Yazid, dan Yazid tidak mampu membelamu dari siksa Allah.
Wahai Ibnu Hubairoh, jika engkau mentaati Allah, Allah akan memeliharamu dari
siksaan Yazid di dunia, akan tetapi jika engkau mentaati Yazid, ia tidak akan
memeliharamu dari siksa Allah di dunia dan akhirat. Ketahuilah, tidak ada
ketaatan kepada makhluk dalam ma’siat kepada Allah, siapapun orangnya.”
Berderai air mata Ibnu Hubairoh mendengar nasihat Hasan Al-Basri yang sangat
dalam itu.
Pada
malam Jum’at, di awal Rajab tahun 110H, Hasan Al-Basri memenuhi panggilan
Robb-nya. Ia wafat dalam usia 80 tahun. Penduduk Basrah bersedih, hampir
seluruhnya mengantarkan jenazah Hasan Al-Basri ke pemakaman. Hari itu di Basrah
tidak diselenggarakan sholat Ashar berjamaah, karena kota itu kosong tak
berpenghuni.
No comments:
Post a Comment