1.
Imam
Bukhari (194-256H)
Negeri Bukhara
sebagai negeri muara sungai Jihun yang terletak di sebelah utara Afghanistan
dan sebelah selatan Ukraina adalah negeri yang banyak melahirkan imam-imam
Ahlul hadits dan Ahlul fiqh.
Negeri itu menyimpan
kenangan sejarah perjuangan para imam-imam Muslimin dalam berbagai bidang
ilmu-ilmu Al-Qur’an dan Al-Hadits. Dapat
disebutkan di sini, para Imam Ahlul Hadits yang lahir dan dibesarkan di negeri
Bukhara antara lain adalah: Al-Imam
Abdullah bin Muhammad Abu Ja’far Al-Musnadi Al-Bukhari yang meninggal dunia di
negeri tersebut pada hari Kamis bulan Dzulqa’dah tahun 220 H. dan kemudian juga
lahir di Bukhara, Abu Abdillah Muhammad bin Ismail bin Ibrahim Al-Bukhari yang
lahir pada tahun 194 Hijriyah dan wafat pada tahun 256 H di sebuah desa bernama
Khortanak menuju arah Samarkan. Juga
lahir dan dibesarkan di negeri ini Al-Imam Abi Naser Ahmad bin Muhammad bin
Al-Husain Al-Kalabadzi Al-Bukhari yang lahir tahun 323 H dan meninggal tahun
398 H. dan masih banyak lagi deretan para imam-imam besar Ahli hadits yang
menghiasi indahnya sekarah negeri Bukhara. Tetapi
di masa kini kaum Muslimin di dunia, apabila disebut Imam Bukhari, maka yang
dipahami hanyalah Imam Ahlul Hadits dari negeri Bukhara yang bernama Muhammad
bin Ismail bin Ibrahim bin Bardizbah Al-Bukhari. Karena karya beliau yang amat
masyhur di kalangan kaum Muslimin di dunia ialah: Al-Jami’us Shahih Al-Musnad
min Haditsi Rasulillah wa Sunanihi wa Ayyamihi yang kemudian terkenal dengan
nama kitab Shahih Al-Bukhari. Kata “Bukhari” itu sendiri maknanya ialah: Orang
dari negeri Bukhara. Jadi kalau dikatakan “Imam Bukhari” maknanya ialah seorang
tokoh dari negeri Bukhara.
1)
Al-Bukhari
Di Masa Kecil
Nasab kelengkapan
dari tokoh yang sedang kita bincangkan ini adalah sebagai berikut: Muhammad bin
Ismail bin Ibrahim bin Al-Mughirah bin Bardizbah. Kakek (Zoroaster) sebagai
agama asli orang-orang Persia yang menyembah api. Sang kakek tersebut meninggal
dalam keadaan masih beragama Majusi. Putra dari Bardizbah yang bernama
Al-Mughirah kemudian masuk Islam di bawah bimbingan gubernur negeri Bukhara
Yaman Al-Ju’fi sehingga Al-Mughirah dengan segenap anak cucunya dinisbatkan
kepada kabilah Al-Ju’fi. Dan ternyata cucu dari Al-Mughirah ini di kemudian
hari mengukir sejarah yang agung, yaitu sebagai seorang Imam Ahlul Hadits.
Al-Imam Al-Bukhari
lahir pada hari Jum’at tanggal 13 Syawal 194 H di negeri Bukhara di tengah
keluarganya yang cinta ilmu sunnah Nabi Muhammad shallallahu `alaihi wa sallam.
Karena ayah beliau bernama Ismail bin Ibrahim bin Al-Mughirah adalah seorang
ulama Ahli hadits yang meriwayatkan hadits-hadits Nabi dari Imam Malik bin
Anas, Hammad bin Zaid, dan sempat pula berpegang tangan dengan Abdullah bin
Mubarak. Riwayat-riwayat Ismail bin Ibrahim tentang hadits Nabi tersebar di
kalangan orang-orang Iraq.
Ayah Al-Bukhari
meninggal dunia ketika beliau masih kecil. Di saat menjelang wafatnya, Ismail
bin Ibrahim sempat membesarkan hati anaknya yang masih kecil sembari menyatakan
kepadanya: “Aku tidak mendapati pada hartaku satu dirham pun dari harta yang
haram atau satu dirham pun dari harta yang syubhat.” Tentu anak yang
ditumbuhkan dari harta yang bersih dari perkara haram atau syubhat akan lebih
baik dan mudah dididik kepada yang baik. Sehingga sejak wafatnya sang ayah,
Al-Bukhari hidup sebagai anak yatim dalam dekapan kasih sayang ibunya.
Muhammad bin Ismail
mendapat perhatian penuh dari ibunya. Sejak usianya yang masih muda dia telah
hafal Al-Qur’an dan tentunya belajar membaca dan menulis. Kemudian pada usia
sepuluh tahun, Muhammad kecil mulai bersemangat mendatangi majelis-majelis ilmu
hadits yang tersebar di berbagai tempat di negeri Bukhara. Pada usia sebelas
tahun, dia sudah mampu menegur seorang guru ilmu hadits yang salah dalam
menyampaikan urut-urutan periwayatan hadits (yang disebut sanad).
Usia kanak-kanak
beliau dihabiskan dalam kegiatan menghafal ilmu dan memahaminya sehingga ketika
menginjak usia remaja –enam belas tahun–, beliau telah hafal kitab-kitab karya
imam-imam Ahli hadits dari kalangan tabi’it tabi’in (generasi ketiga umat
Islam), seperti karya Abdullah bin Al-Mubarak, Waqi’ bin Al-Jarrah, dan
memahami betul kitab-kitab tersebut.
Usia kanak-kanak
Muhammad bin Ismail telah berlalu dengan agenda belajar yang amat padat.
Kesibukannya di masa kanak-kanak dalam menghafal dan memahami ilmu,
mengantarkannya kepada masa remaja yang cemerlang dan menakjubkan. Kini ia
menjadi remaja yang amat diperhitungkan orang di majelis manapun dia hadir.
Karena dalam usia belasan tahun seperti ini dia telah hafal di luar kepala
tujupuluh ribu hadits lengkap dengan sanadnya di samping tentunya Al-Qur’an
tiga puluh juz.
2)
Melanglang
Buana Menuntut Ilmu
Di awal usianya yang
ke delapan belas, Al-Bukhari diajak ibunya bersama kakaknya bernama Ahmad bin
Ismail berangkat ke Makkah untuk menunaikan ibadah haji. Perjalanan jauh antara
negeri Bukhara dengan Mekkah menunggang unta, keledai dan kuda adalah
pengalaman baru baginya. Sehingga dia terbiasa dengan berbagai kesengsaraan
perjalanan jauh mengarungi padang pasir, gunung-gunung dan lembahnya yang penuh
keganasan alam. Dalam kondisi yang demikian, dia merasa semakin dekat kepada
Allah dan dia benar-benar menikmati perjalanan yang memakan waktu
berbulan-bulan itu.
Sesampainya di
Makkah, Al-Bukhari mendapati kota Makkah penuh dengan ulama Ahli Hadits yang
membuka halaqah-halaqah ilmu.
Tentu yang demikian
ini semakin menggembirakan beliau. Oleh karena itu, setelah selsai pelaksanaan
ibadah haji, beliau tetap tinggal di Makkah sementara kakak kandungnya kembali
ke Bukhara bersama ibunya.
Beliau bolak-balik
antara Makkah dan Madinah, kemudian akhirnya mulai menulis biografi para tokoh.
Sehingga lahirlah untuk pertama kalinya karya beliau dalam bidang ilmu hadits
yang berjudul Kitabut Tarikh. Ketika kitab karya beliau ini mulai tersebar ke
seluruh penjuru dunia Islam, ramailah pembicaraan orang tentang tokoh ilmu hadits
tersebut dan semua orang amat mengaguminya. Sampai-sampai seorang Imam Ahli
Hadits di masa itu yang bernama Ishaq bin Rahuyah membawa Kitabut Tarikh karya
Al-Bukhari ini ke hadapan gubernur negeri Khurasan yang bernama Abdullah bin
Thahir Al-Khuza’i, sembari mengatakan: “Wahai tuan gubernur, maukah aku
tunjukkan kepadamu atraksi sihir?” Kemudian ditunjukkan kepadanya kitab ini.
Maka gubernur pun
membaca kitab tersebut dan beliau sangat kagum dengannya. Sehingga tuan
gubernur pun mengatakan: “Aku tidak mengerti bagaimana dia bisa mengarang kitab
ini.” Al-Imam Al-Bukhari pun akhirnya menjadi amat terkenal di berbagai negeri
Islam. Ketika Al-Imam Al-Bukhari berkeliling ke berbagai negeri tersebut,
beliau mendapati betapa para ulama Ahlul Hadits di setiap negeri tersebut
sangat menghormatinya. Beliau berkeliling ke berbagai negeri pusat-pusat ilmu
hadits seperti Mesir, Syam, Baghdad (Iraq), Bashrah, Kufah dan lain-lainnya.
Di saat berkeliling
ke berbagai negeri itu, beliau suatu hari duduk di majlisnya Ishaq bin Rahuyah.
Di sana ada satu saran dari hadirin untuk kiranya ada upaya mengumpulkan
hadits-hadits Nabi dalam satu kitab. Dengan usul ini mulailah Al-Imam
Al-Bukhari menulis kitab shahihnya dan kitab tersebut baru selesai dalam tempo
enam belas tahun sesudah itu. Beliau menuliskan dalam kitab ini hadits-hadits
yang diyakini shahih oleh beliau setelah menyaring dan meneliti enam ratus ribu
hadits.
Beliau pilih
daripadanya tujuh ribu dua ratus tujupuluh lima hadits shahih dan seluruhnya
dikumpulkan dalam satu kitab dengan judul Al-Jami’us Shahih Al-Musnad min
Haditsi Rasulillah wa Sunani wa Ayyamihi yang kemudian terkenal dengan nama
kitab Shahih Al-Bukhari. Kitab ini pun mendapat pujian dan sanjungan dari
berbagai pihak di seantero negeri-negeri Islam. Sehingga ketokohan beliau dalam
ilmu hadits semakin diakui kalangan luas dunia Islam. Para imam-imam Ahli
Hadits sangat memuliakannya, seperti Imam Ahmad bin Hanbal, Ali bin Al-Madini,
Yahya bin Ma`in dan lain-lainnya.
3)
Imam
Al-Bukhari Disanjung Di Mana-Mana
Karya-karya beliau
dalam bidang hadits terus mengalir dan beredar di dunia Islam. Kepiawaian
beliau dalam menyampaikan keterangan tentang berbagai kepelikan di seputar ilmu
hadits di berbagai majelis-majelis ilmu bersinar cemerlang sehingga beliau
dipuji dan diakui keilmuannya oleh para gurunya dan para ulama yang setara
ilmunya dengan beliau, lebih-lebih lagi oleh para muridnya. Beliau menimba ilmu
dari seribu lebih ulama dan semua mereka selalu mempunyai kesan yang baik,
bahkan kagum terhadap beliau.
Al-Imam Al-Hafidh
Abil Hajjaj Yusuf bin Al-Mizzi meriwayatkan dalam kitabnya yang berjudul
Tahdzibul Kamal fi Asma’ir Rijal beberapa riwayat pujian para ulama Ahli hadits
dan sanjungan mereka terhadap Muhammad bin Ismail Al-Bukhari. Di antara
beberapa riwayat itu antara lain ialah pernyataan Al-Imam Mahmud bin An-Nadhir
Abu Sahl Asy-Syafi’i yang menyatakan: “Aku masuk ke berbagai negeri yaitu
Basrah, Syam, Hijaz dan Kufah. Aku melihat di berbagai negeri tersebut bahwa
para ulamanya bila menyebutkan Muhammad bin Ismail Al-Bukhari selalu mereka
lebih mengutamakannya daripada diri-diri mereka.”
Karena itu
majelis-majelis ilmu Al-Imam Al-Bukhari selalu dijejali ribuan para penuntut
ilmu. Dan bila beliau memasuki suatu negeri, puluhan ribu bahkan ratusan ribu
kaum Muslimin menyambutnya di perbatasan kota karena beberapa hari sebelum
kedatangan beliau, telah tersebar berita akan datangnya Imam Ahlul Hadits,
sehingga kaum Muslimin pun berjejal-jejal berdiri di pinggir jalan yang akan
dilewati beliau hanya untuk sekedar melihat wajah beliau atau kalau bernasib
baik, kiranya dapat bersalaman dengan beliau.
Al-Imam Muhammad bin
Abi Hatim meriwayatkan bahwa Hasyid bin Ismail dan seorang lagi (tidak
disebutkan namanya), keduanya menceritakan: “Para ulama Ahli Hadits di Bashrah
di jaman Al-Bukhari masih hidup merasa lebih rendah pengetahuannya dalam hadits
dibanding Al-Imam Al-Bukhari. Padahal beliau ini masih muda belia. Sehingga
pernah ketika beliau berjalan di kota Bashrah, beliau dikerumuni para penuntut
ilmu. Akhirnya beliau dipaksa duduk di pinggir jalan dan dikerumuni ribuan
orang yang menanyakan kepada beliau berbagai masalah agama. Padahal wajah
beliau masih belum tumbuh rambut pada dagunya dan juga belum tumbuh kumis.”
4)
Datanglah
Badai Menghempas
Muhammad bin Ismail
Al-Bukhari dielu-elukan dan disanjung orang di mana-mana. Pujian penuh
ketakjuban datang dari segala penjuru negeri, dan beliau dijadikan rujukan para
ulama di masa muda belia. Di saat penuh kesibukan ibadah dan ilmu yang
menghiasi detik-detik kehidupan Al-Bukhari, pada sebagian orang muncul iri
dengki terhadap berbagai kemuliaan yang Allah limpahkan kepadanya.
Badai itu bermula
dari kedatangan beliau pada suatu hari di negeri Naisabur dalam rangka menimba
ilmu dari para imam-imam Ahli Hadits di sana. Kedatangan beliau ke negeri
tersebut bukanlah untuk pertama kalinya. Beliau sebelumnya sudah berkali-kali
berkunjung ke sana karena Nasaibur termasuk salah satu pusat markas ilmu
sunnah. Lagi pula di sana terdapat guru beliau, seorang Ahli Hadits yang
bernama Muhammad bin Yahya Adz-Dzuhli. Pada suatu hari tersebarlah berita
gembira di Naisabur bahwa Muhammad bin Ismail Al-Bukhari akan datang ke negeri
tersebut untuk tinggal padanya beberapa lama.
Bahkan Al-Imam
Muhammad bin Yahya Adz-Dzuhli mengumumkan secara khusus di majelis ilmunya
dengan menyatakan: “Barangsiapa ingin menyambut Muhammad bin Ismail besok,
silakan menyambutnya karena aku akan menyambutnya.” Maka masyarakat luas pun
bergerak mengadakan persiapan untuk menyambut kedatangan Imam besar Ahli Hadits
di kota mereka.
Di hari kedatangan
Imam Al-Bukhari itu, ribuan penduduk Naisabur bergerombol di pinggir kota untuk
menyambutnya. Di antara yang berkerumun menunggu kedatangan beliau itu ialah
Al-Imam Muhammad bin Yahya Adz-Dzuhli bersama para ulama lainnya.
Diriwayatkan oleh
Muhammad bin Ya’qub Al-Akhram bahwa ketika Al-Bukhari sampai di pintu kota
Naisabur, yang menyambutnya sebanyak empat ribu orang berkuda, di samping yang
menunggang keledai dan himar serta ribuan pula yang berjalan kaki.”
Imam Muslim bin Al-Hajjaj
menceritakan: “Ketika Muhammad bin Ismail datang ke Naisabur, semua pejabat
pemerintah dan semua ulama menyambutnya di batas negeri.” Ketika
Al-Imam Muhammad bin Ismail Al-Bukhari sampai di Naisabur, para penduduk
menyambutnya dengan penyambutan yang demikian besar dan agung. Beribu-ribu
orang berkerumun di tempat tinggal beliau setiap harinya untuk menanyakan
kepada beliau berbagai masalah agama dan khususnya berbagai kepelikan tentang
hadits. Akibatnya berbagai majelis ilmu para ulama yang lainnya menjadi sepi
pengunjung. Dari sebab ini mungkin timbul ketidakenakan di hati sebagian ulama
itu terhadap Al-Bukhari.
Di hari ketiga
kunjungan beliau ke Naisabur, terjadilah peristiwa yang amat disesalkan itu.
Diceritakan oleh Ahmad bin Adi peristiwa itu terjadi sebagai berikut: Telah
menceritakan kepadaku sekelompok ulama bahwa ketika Muhammad bin Ismail sampai
ke negeri Naisabur dan orang-orang pun berkumpul mengerumuninya, maka timbullah
kedengkian padanya dari sebagian ulama yang ada pada waktu itu. Sehingga
mulailah diberitakan kepada para ulama Ahli hadits bahwa Muhammad bin Ismail
berpendapat bahwa lafadh beliau ketika membaca Al-Qur’an adalah makhluk.
Pada suatu majelis
ilmu, ada seseorang berdiri dan bertanya kepada beliau: “Wahai Abu Abdillah
(yakni Al-Bukhari), apa pendapatmu tentang orang yang menyatakan bahwa lafadhku
ketika membaca Al-Qur’an adalah makhluk? Apakah memang demikian atau lafadh
orang yang membaca Al-Qur’an itu bukan makhluk?” Mendengar pertanyaan itu,
beliau berpaling karena tidak mau menjawabnya. Akan tetapi si penanya
mengulang-ulang terus pertanyaannya hingga sampai ketiga kalinya seraya memohon
dengan sangat agar beliau menjawabnya. Al-Bukhari pun akhirnya menjawab dengan
mengatakan: “Al-Qur’an kalamullah (perkataan Allah) dan bukan makhluk.
Sedangkan perbuatan hamba Allah adalah makhluk, dan menguji orang dalam masalah
ini adalah perbuatan bid’ah.”
Dengan jawaban beliau
ini, si penanya membikin ricuh di majelis dan mengatakan tentang Al-Bukhari:
“Dia telah menyatakan bahwa lafadhku ketika membaca Al-Qur’an adalah makhluk.”
Akibatnya orang-orang di majelis itu menjadi ricuh dan mereka pun segera
membubarkan diri dari majelis itu dan meninggalkan beliau sendirian. Sejak itu
Al-Bukhari duduk di tempat tinggalnya dan orang-orang pun tidak lagi mau datang
kepada beliau.”
Al-Khatib Al-Baghdadi
meriwayatkan dari Ahmad bin Muhammad bin Ghalib dengan sanadnya dari Muhammad
bin Khasynam menceritakan: “Setelah orang meninggalkan Al-Bukhari, orang-orang
yang meninggalkan beliau itu sempat datang kepada beliau dan mengatakan:
“Engkau mencabut pernyataanmu agar kami kembali belajar di majelismu.” Beliau
menjawab: “saya tidak akan mencabut pernyataan saya kecuali bila mereka yang
meninggalkanku menunjukkan hujjah (argumentasi) yang lebih kuat dari hujjahku.”
Kata Muhammad bin
Khasynam: “Sungguh aku amat kagum dengan tegarnya dan kokohnya Al-Bukhari dalam
berpegang dengan pendirian.”
Kaum Muslimin di
Naisabur gempar dengan kejadian ini dan akhirnya arus fitnah melibatkan pula
Al-Imam Muhammad bin Yahya Adz-Dzuhli sehingga beliau menyatakan di majelis
ilmu beliau yang kini telah ramai kembali setelah orang meninggalkan majelis
Al-Bukhari: “Ketahuilah, sesungguhnya siapa saja yang masih mendatangi majelis
Al-Bukhari, dilarang datang ke majelis kita ini. Karena orang-orang di Baghdad
telah memberitakan melalui surat kepada kami bahwa orang ini (yakni Al-Bukhari)
mengatakan bahwa lafadhku ketika membaca Al-Qur’an adalah makhluk. Kata mereka
yang ada di Baghdad bahwa Al-Bukhari telah dinasehati untuk jangan berkata
demikian, tetapi dia terus mengatakan demikian. Oleh karena itu, jangan ada
yang mendekatinya dan barangsiapa mendekatinya maka janganlah mendekati kami.”
Tentu saja dengan
telah terlibatnya Imam Adz-Dzuhli, fitnah semakin meluas. Hal ini terjadi
karena Adz-Dzuhli adalah imam yang sangat berpengaruh di seluruh wilayah
Khurasan yang beribukota di Naisabur itu. Bahkan lebih lanjut Al-Imam
Adz-Dzuhli menegaskan: “Al-Qur’an adalah kalamullah (yakni firman Allah) dan
bukan makhluk dari segala sisinya dan dari segala keadaan. Maka barangsiapa
yang berpegang dengan prinsip ini, sungguh dia tidak ada keperluan lagi untuk
berbicara tentang lafadhnya ketika membaca Al-Qur’an atau omongan yang serupa
ini tentang Al-Qur’an.
Barangsiapa yang
menyatakan bahwa Al-Qur’an itu makhluk, maka sungguh dia telah kafir dan keluar
dari iman, dan harus dipisahkan dari istrinya serta dituntut untuk taubat dari
ucapan yang demikian. Bila dia mau taubat maka diterima taubatnya. Tetapi bila
tidak mau taubat, harus dipenggal lehernya dan hartanya menjadi rampasan
Muslimin serta tidak boleh dikubur di pekuburan kaum Muslimin. Dan barangsiapa
yang bersikap abstain dengan tidak menyatakan Al-Qur’an sebagai makhluk dan
tidak pula menyatakan Al-Qur’an bukan makhluk, maka sungguh dia telah
menyerupai orang-orang kafir. Barangsiapa yang menyatakan “lafadhku ketika
membaca Al-Qur’an adalah makhluk”, maka sungguh dia adalah Ahli Bid’ah (yakni
orang yang sesat). Tidak boleh duduk bercengkrama dengannya dan tidak boleh
diajak bicara. Oleh karena itu, barangsiapa setelah penjelasan ini masih saja
mendatangi tempatnya Al-Bukhari, maka curigailah ia karena tidaklah ada orang
yang tetap duduk di majelisnya kecuali dia semadzhab dengannya dalam
kesesatannya.”
Dengan pernyataan
Adz-Dzuhli seperti ini, berdirilah dari majelis itu Imam Muslim bin Hajjaj dan
Ahmad bin Salamah. Bahkan Imam Muslim mengirimkan kembali kepada Adz-Dzuhli
seluruh catatan riwayat hadits yang didapatkannya dari Imam Adz-Dzuhli,
sehingga dalam Shahih Muslim tidak ada riwayat Adz-Dzuhli dari berbagai sanad
yang ada padanya. Sikap
Imam Muslim bin Hajjaj dan Ahmad bin Salamah yang seperti itu menyebabkan
Adz-Dzuhli semakin marah sehingga beliau pun menyatakan: “Orang ini (yakni
Al-Bukhari) tidak boleh bertempat tinggal di negeri ini bersama aku.”
Kemarahan Adz-Dzuhli
seperti ini sangat menggusarkan Ahmad bin Salamah, salah seorang pembela
Al-Bukhari. Dia segera mendatangi Al-Bukhari seraya mengatakan: “Wahai Abu
Abdillah (yakni Al-Bukhari), orang ini (yakni Adz-Dzuhli) sangat berpengaruh di
Khurasan, khususnya di kota ini (yakni kota Naisabur). Dia telah terlalu jauh
dalam berbicara tentang perkara ini sehingga tak seorang pun dari kami bisa
menasehatinya dalam perkara ini. Maka bagaimana pendapatmu?”
Al-Imam Al-Bukhari
amat paham kegusaran muridnya ini sehingga dengan penuh kasih sayang beliau
memegang jenggot Ahmad bin Salamah dan membaca surat Ghafir 44 yang artinya:
“Dan aku serahkan urusanku kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Melihat
hamba-hamba-Nya.” Kemudian beliau menunduk sambil berkata: “YA Allah, sungguh
Engkau tahu bahwa aku tinggal di Naisabur tidaklah bertujuan jahat dan tidak
pula bertujuan dengan kejelekan. Engkau juga mengetahui ya Allah, bahwa aku
tidak mempunyai ambisi untuk memimpin. Hanyasaja karena aku terpaksa pulang ke
negeriku karena para penentangku telah menguasai keadaan. Dan sungguh orang ini
(yakni Adz-Dzuhli) membidikku semata-mata karena hasad (dengki) terhadap apa
yang Allah telah berikan kepadaku daripada ilmu.” Wajah beliau sendu menyimpan
kekecewaan yang mendalam. Dan dia menatap Ahmad bin Salamah dengan mantap
sambil berkata: “wahai Ahmad, aku akan meninggalkan Naisabur besok agar kalian
terlepas dari berbagai problem akibat omongannya (yakni omongan Adz-Dzuhli)
karena sebab keberadaanku.” Segera setelah itu Al-Bukhari berkemas-kemas untuk
mempersiapkan keberangkatannya besok kembali ke negeri Bukhara.
Rencana Al-Bukhari
untuk pulang ke negeri Bukhara sempat diberitakan oleh Ahmad bin Salamah kepada
segenap kaum Muslimin di Naisabur, tetapi mereka tidak ada yang berselera untuk
melepasnya di batas kota. Sehingga Al-Imam Al-Bukhari dilepas kepulangannya
oleh Ahmad bin Salamah saja dan beliau berjalan sendirian menempuh jalan darat
yang jauh menuju negerinya yaitu Bukhara. “Selamat tinggal Naisabur, rasanya
tidak mungkin lagi aku berjumpa denganmu.”
5)
Badai
Di Negeri Bukhara
Di negeri Bukhara
telah tersebar berita bahwa Imam Muhammad bin Ismail Al-Bukhari sedang menuju
Bukhara. Penduduk Bukhara melakukan berbagai persiapan untuk menyambutnya di
pintu kota. Bahkan diceritakan oleh Ahmad bin Mansur Asy-Syirazi bahwa dia
mendengar dari berbagai orang yang menyaksikan peristiwa penyambutan Al-Bukhari
di negeri Bukhara, dikatakan bahwa masyarakat membangun gapura penyambutan di
tempat yang berjarak satu farsakh (kurang lebih 5 km) sebelum masuk kota
Bukhara. Dan ketika Al-Imam Muhammad bin Ismail Al-Bukhari telah sampai di
gapura “selamat datang” tersebut, beliau mendapati hampir seluruh penduduk
negeri Bukhara menyambutnya dengan penuh suka cita, sampai-sampai disebutkan
bahwa penduduk melemparkan kepingan emas dan perak di jalan yang akan diinjak
oleh telapak kaki Al-Bukhari. Mereka berdiri di kedua sisi jalan masuk kota
Bukhara sambil berebut memberikan buah anggur yang istimewa kepada sang Imam
Ahlul Hadits yang amat mereka cintai itu.
Tetapi suka cita
penduduk negeri Bukhara ini tidak berlangsung lama. Beberapa hari setelah itu
para ahli fikih mulai resah dengan beberapa perubahan pada cara beribadah
orang-orang Bukhara. Yang berlaku di negeri tersebut adalah madzhab Hanafi,
sedangkan Al-Bukhari mengajarkan hadits sesuai dengan pengertian Ahli Hadits
yang tidak terikat dengan madzhab tertentu sehingga yang nampak pada masyarakat
ialah sikap-sikap yang diajarkan oleh Ahli Hadits, dan bukan pengamalan madzhab
Hanafi. Orang dalam beriqamat untuk shalat jamaah tidak lagi menggenapkan
bacaan qamat seperti adzan, tetapi membaca qamat dengan satu-satu sebagaimana
yang ada dalam hadits-hadits shahih. Ketika bertakbir dalam shalat semula tidak
mengangkat tangan sebagaimana madzhab Hanafi, sekarang mereka bertakbir dengan
mengangkat tangan.
Dengan berbagai
perubahan ini keresahan para ulama fiqih tambah menjadi-jadi sehingga tokoh
ulama fiqih di negeri tersebut yang bernama Huraits bin Abi Wuraiqa’ menyatakan
tentang Al-Imam Al-Bukhari: “Orang ini pengacau. Dia akan merusakkan kehidupan
keagamaan di kota ini. Muhammad bin yahya telah mengusir dia dari Naisabur,
padahal dia imam Ahli Hadits.”
Maka Huraits dan
kawan-kawannya mulai berusaha untuk mempengaruhi gubernur Bukhara agar mengusir
Al-Imam Muhammad bin Ismail Al-Bukhari ini. Gubernur negeri ini yang bernama
Khalid bin Ahmad As-Sadusi Adz-Dzuhli.
Gubernur Khalid
pernah meminta Al-Bukhari untuk datang ke istananya guna mengajarkan kitab
At-Tarikh dan Shahih Al-Bukhari bagi anak-anaknya. Tetapi Al-Imam Al-Bukhari
menolak permintaan gubernur tersebut dengan mengatakan: “Aku tidak akan
menghinakan ilmu ini dan aku tidak akan membawa ilmu ini dari pintu ke pintu.
Oleh karena itu bila anda memerlukan ilmu ini, maka hendaknya anda datang saja
ke masjidku, atau ke rumahku. Bila sikapku yang demikian ini tidak
menyenangkanmu, engkau adalah penguasa. Silakan engkau melarang aku untuk
membuka majelis ilmu ini agar aku punya alasan di sisi Allah di hari kiamat
bahwa aku tidaklah menyembunyikan ilmu (tetapi dilarang oleh penguasa untuk
menyampaikannya).” Tentu gubernur Khalid dengan jawaban ini sangat kecewa. Maka
berkumpullah padanya penghasutan Huraits bin Abil Wuraqa’ dan kawan-kawan serta
kekecewaan pribadi gubernur ini. Huraits dan gubernur Khalid akhirnya sepakat
untuk membikin rencana mengusir Muhammad bin Ismail dari Bukhara. Lebih-lebih
lagi telah datang surat dari Al-Imam Muhammad bin Yahya Adz-Dzuhli dari
Naisabur kepada gubernur Khalid bin Ahmad As-Sadusi Adz-Dzuhli di Bukhara yang
memberitakan bahwa Al-Bukhari telah menampakkan sikap menyelisihi sunnah Nabi
shallallahu `alaihi wa sallam. Dengan demikian matanglah rencana pengusiran
Al-Imam Muhammad bin Ismail Al-Bukhari dari negeri Bukhara.
Upaya pengusiran itu
bermula dengan dibacakannya surat Muhammad bin yahya Adz-Dzuhli di hadapan
segenap penduduk Bukhara tentang tuduhan beliau kepada Al-Imam Muhammad bin
Ismail Al-Bukhari bahwa beliau telah berbuat bid’ah dengan mengatakan bahwa
“lafadhku ketika membaca Al-Qur’an adalah makhluk”. Tetapi dengan pembacaan
surat, penduduk Bukhara pada umumnya tidak mau peduli dengan tuduhan tersebut
dan terus memuliakan Al-Imam Al-Bukhari. Namun gubernur Khalid akhirnya
mengusirnya dengan paksa sehingga Al-Imam Al-Bukhari sangat kecewa dengan
perlakuan ini. Dan sebelum keluar dari negeri Bukhara, beliau sempat mendoakan
celaka atas orang-orang yang terlibat langsung dengan pengusirannya. Ibrahim
bin Ma’qil An-Nasafi menceritakan: “Aku melihat Muhammad bin Ismail pada hari
beliau diusir dari negeri Bukhara, aku mendekat kepadanya dan aku bertanya
kepadanya: “Wahai Abu Abdillah, apa perasaanmu dengan pengusiran ini?” Beliau
menjawab: “Aku tidak peduli selama agamaku selamat.”
Al-Bukhari
meninggalkan Bukhara dengan penuh kekecewaan dan dilepas penduduk Bukhara
dengan penuh kepiluan. Beliau berjalan menuju desa Bikanda kemudian berjalan
lagi ke desa Khartanka, yang keduanya adalah desa-desa negeri Samarkan. Di desa
terakhir inilah beliau jatuh sakit dan dirawat di rumah salah seorang
kerabatnya penduduk desa tersebut.
Dalam suasana hati
yang terluka, tubuhnya yang kurus kering di usia ke enampuluh dua tahun, beliau
berdoa mengadukan segala kepedihannya kepada Allah Ta`ala: “Ya Allah, bumi
serasa sempit bagiku. Tolonglah ya Allah, Engkau panggil aku keharibaan-Mu.”
Dan sesaat setelah itu ia pun menghembuskan nafas terakhir dan selamat tinggal
dunia yang penuh onak dan duri.
6)
Pembelaan
Al-Bukhari
Al-Imam Abu Abdillah
Muhammad bin Ismail Al-Bukhari mengakhiri hidupnya di desa Khartanka, Samarkan
pada malam Sabtu di malam hari Raya Fitri (Iedul Fitri) 1 Syawsal 256 H.
sebelum menghembuskan nafas yang terakhir, beliau sempat berwasiat agar
mayatnya nanti dikafani dengan tiga lapis kain kafan tanpa imamah (ikat kepala)
dan tanpa baju. Dan beliau berwasiat agar kain kafannya berwarna putih. Semua
wasiat beliau itu dilaksanakan dengan baik oleh kerabat beliau yang merawat
jenasahnya. Beliau dikuburkan di desa itu di hari Iedul Fitri 1 Syawal 256 H
setelah shalat Dhuhur. Dan seketika selesai pemakamannya, tersebarlah bau harum
dari kuburnya dan terus semerbak bau harum itu sampai berhari-hari.
Gubernur Bukhara
Khalid bin Ahmad Adz-Dzuhli menuai hasil dari kedhalimannya dengan datangnya
keputusan pencopotan terhadap jabatannya dari Khalifah Al-Muktamad karena
tuduhan ikut terlibat pemberontakan Ya’qub bin Al-Laits terhadap Khilafah
Ath-Thahir. Khalid bin Ahmad akhirnya dipenjarakan di Baghdad sampai mati di
penjara pada tahun 269 H. Sedangkan Huraits bin Abil Waraqa’ ditimpa kehancuran
pada anak-anaknya yang berbuat tidak senonoh. Para penentang Imam Bukhari
menyatakan penyesalannya dan kesedihannya dengan wafatnya beliau dan sebagian
mereka sempat mendatangi kuburnya.
Mulailah setelah itu
orang berani menyebarkan pembelaan Al-Imam Al-Bukhari dari segala tuduhan
miring terhadap dirinya. Tetapi berbagai pembelaan itu selama ini tenggelam
dalam hiruk pikuk fitnah tuduhan keji terhadap diri beliau. Dan Allah Maha Adil
terhadap hamba-hamba-Nya.
Muhammad bin Nasir
Al-Marwazi mempersaksikan bahwa Al-Imam Abu Abdillah Muhammad bin Ismail
Al-Bukhari menyatakan: “Barangsiapa yang mengatakan bahwa aku telah berpendapat
bahwa lafadhku ketika membaca Al-Qur’an adalah makhluk, maka sungguh dia adalah
pendusta, karena sesungguhnya aku tidak pernah mengatakan demikian.”
Abu Amr Ahmad bin
Nasir An-Naisaburi Al-Khaffaf mempersaksikan bahwa Al-Imam Al-Bukhari telah
mengatakan kepadanya: “Wahai Abu Amir, hafal baik-baik apa yang aku ucapkan:
Siapa yang menyangka bahwa aku berpendapat bahwa lafadhku tentang Al-Qur’an
adalah makhluk, baik dia dari penduduk Naisabur, Qaumis, Ar-Roy, Hamadzan,
Hulwan, Baghdad, Kuffah, Basrah, Makkah, atau Madinah, maka ketahuilah bahwa
yang menyangka aku demikian itu adalah pendusta. Karena sesungguhnya aku
tidaklah mengatakan demikian. Hanya saja aku mengatakan: Segenap perbuatan
hamba Allah itu adalah makhluk.”
Yahya bin Said
mengatakan: “Abu Abdillah Al-Bukhari telah berkata: Gerak-gerik hamba Allah,
suara mereka, tingkah laku mereka, segala tulisan mereka adalah makhluk. Adapun
Al-Qur’an yang dibaca dengan suara huruf-huruf tertentu, yang ditulis di
lembaran-lembaran penulisan Al-Qur’an, yang dihafal di hati para penghafalnya,
maka semua itu adlaah kalamullah (perkataan Allah) dan bukan makhluk.”
Ghunjar membawakan
riwayat dengan sanadnya sampai ke Al-Firabri, dia mengatakan bahwa Al-Bukhari
telah mengatakan: “Al-Qur’an kalamullah dan bukan makhluk. Barangsiapa yang
mengatakan bahwa Al-Qur’an itu makhluk maka sungguh dia telah kafir.” Bahkan
Al-Imam Al-Bukhari menulis kitab khusus dalam masalah ini dengan judul Khalqu
Af`alil Ibad yang padanya beliau menjelaskan pendirian beliau dalam masalah ini
dengan gamblang dan jelas serta lengkap dan ilmiah.
Fitnah itu memang
kejam, lebih kejam dari pembunuhan. Dia tidak akan memilih antara orang jahil
atau orang alim dari kalangan ulama. Dan ulama pun bisa salah dalam memberikan
penilaian, karena yang ma’shum (terjaga dari kesalahan) hanyalah Rasulullah
shallallahu `alaihi wa sallam. Orang-orang yang menyakini bahwa ulama itu
ma’shum hanyalah para ahli bid’ah dari kalangan Rafidlah (Syiah) atau
orang-orang sufi. Demikian pula orang-orang yang mencerca ulama karena
kesalahannya semata tanpa mempertimbangkan apakah kesalahan itu karena
kesalahan ijtihad ataukah kesalahan prinsip yang tak termaafkan, yang demikian
ini adalah sikap sufaha’ (orang-orang dungu) semacm sururiyyun (pengikut
Muhammad bin Surur) atau haddadiyyun (pengikut Mahmud Al-Haddad). Ahlus Sunnah
wal Jamaah tidak menganggap para ulama itu ma’shum dan tidak pula melecehkan ulama
ketika mendapati kesalahan mereka. Dengan prinsip inilah kita tetap memuliakan
Al-Imam Muhammad bin Ismail Al-Bukhari. Dan juga kita memuliakan Al-Imam
Muhammad bin Yahya Adz-Dzuhli. Kita mendoakan rahmat Allah bagi para imam-imam
tersebut. Dan kita memahami segala perselisihan di kalangan mereka dengan ilmu
Al-Qur’an dan As-Sunnah untuk mengerti mana yang benar untuk kita ikuti dan
mana yang salah untuk kita tinggalkan.
Ahlus Sunnah wal
Jamaah itu berkata dan berbuat dengan bersandarkan kepada ilmu. Adalah bukan
akhlak Ahlus Sunnah wal Jamaah bila segerombolan orang berbuat hura-hura dan
kemudian menvonis seseorang atau sekelompok orang. Tertapi ketika ditanyai, apa
dasar kamu berbuat demikian? Jawabannya: Kami masih menunggu fatwa dari ulama!
Kita katakan kepada
mereka ini: “Apalagi yang kalian tunggu dari ulama setelah kalian berbuat,
menvonis dan menilai? Apakah kalian berbuat dulu baru mencari pembenaran
terhadap perbuatan kalian dengan fatwa ulama? Kalau begitu yang kalian tunggu
adalah fatwa pembenaran dari ulama terhadap perbuatan kalian. tentu yang
demikian ini bukanlah akhlak Ahlus Sunnah wal Jamaah.
Gubernur
Bukhara Khalid bin Ahmad As-Sadusi dan mufti negeri Bukhara Huraits bin Abil
Waraqa’ telah menyimpan ketidaksenangan kepada Al-Imam Muhammad bin Ismail
Al-Bukhari dan berencana untuk mengusirnya dari negeri Bukhara. Ketika sedang
mencari-cari alasan pembenaran terhadap perbuatannya tiba-tiba datang surat
dari Al-Imam Muhammad bin yahya Adz-Dzuhli dari Naisabur yang memperingatkan
sang gubernur dari bahaya bid’ah yang dibawa oleh Al-Imam Al-Bukhari. Surat ini
seperti kata pepatah: pucuk dicita ulam tiba. Tanpa selidik dan tanpa teliti,
segera surat ini dibacakan di hadapan penduduk Bukhara dan setelah itu
datanglah keputusan pengusiran Al-Bukhari dari negeri kelahirannya, sehingga
yang diharapkan, kesan orang bahwa pengusiran itu karena semata-mata alasan
agama dan bukan alasan yang lainnya. Tetapi Allah Maha Tahu dan Dia membongkar
segala kejahatan dibalik alasan-alasan yang memakai atribut agama itu. Sehingga
yang tertulis dalam sejarah Islam sampai hari ini adalah kesan buruk terhadap
perbuatan Khalid bin Ahmad As-Sadusi dan Huraits bin Abil Waraqa’. Dan bukan
kesan buruk yang dibikin-bikin oleh para pencoleng fatwa ulama itu. Camkanlah!
Pengkhianatan dan kedustaan itu berulang-ulang terus dari masa ke masa. Hanya
saja pemainnya yang berganti-ganti. Tetapi semua itu akan menjadi sejarah bagi
anak cucu di belakang hari sebagaimana sejarah pengkhianatan dan kedustaan
terhadap Al-Imam Al-Bukhari yang sekarang menjadi pergunjingan bagi generasi
ini.
No comments:
Post a Comment