1.
Imam
ath-Thahawi (239-321 H)
1)
Nama
dan Nasabnya
Beliau adalah Imam
Abu Ja’far Ahmad bin Muhammad bin Salamah bin Abdil Malik al-Azdy al-Mishri
ath-Thahawi. Al-Azdy
adalah qabilah terbesar Arab, suku yang paling masyhur, dan paling banyak furu’
(cabang suku) nya. Juga merupakan bagian dari qabilah Qahthaniyah, dinasabkan
kepada al-Azdi bin al-Ghauts bin Malik bin Zaid bin Kahlan.
Beliau adalah
Qahthani dari sisi bapaknya dan adnani dari sisi ibunya karena ibunya seorang
Muzainah, yakni saudara al-Imam al-Muzanni shahabat imam Syari’i. Al-Azdy
adalah qabilah terbesar Arab, suku yang paling masyhur, dan paling banyak furu’
(cabang suku) nya. Juga merupakan bagian dari qabilah Qahthaniyah, dinasabkan
kepada al-Azdi bin al-Ghauts bin Malik bin Zaid bin Kahlan. Beliau
adalah Qahthani dari sisi bapaknya dan adnani dari sisi ibunya karena ibunya
seorang Muzainah, yakni saudara al-Imam al-Muzanni shahabat imam Syari’i. Dan
termasuk seorang Hajri, saudara sepupu dari al-Azdi, yakni Hajr bin Jaziilah
bin Lakhm, yang disebut Hajr al-Azdi, supaya berbeda dengan Hajr Ru’ain. Dan
ath-Thahawi dinasabkan pada Thaha sebuat desa di Sha’id Mesir.
2)
Lahirnya
dan Zamannya
Mengenai kelahiran
Imam Thahawi tahun 239 H, maka seperti yang diriwayatkan Ibnu Yunus muridnya
yang kemudian diikuti oleh sebagian besar orang yang menulis riwayat hidupnya
dan inilah yang besar. Memang ada yang menyatakan beliau lahir tahun 238 H, dan
bahkan ada yang menyatakan tahaun 229 H. Ini tentu saja suatu tahrif
(kekeliruan) penulisan, yang kemudian dikutip beberapa orang tanpa merujuk
kembali kepada kitab lainnya.
Disepakati para ulama
bahwa beliau wafat tahun 321 H, kecuali Ibn an-Nadim yang menyatakan beliau
wafat tahun 322 H.
Imam athThahawi
adalah sezaman dengan para imam ahli Huffazh para pengarang/penyusun enam buku
induk hadits (al-Kutub as-Sittah), dan bersama-sama dengan mereka dalam riwayat
hadits. Umur
beliau ketika imam Bukhari wafat adalah 17 tahun, ketika imam Muslim wafat ia
berumur 22 tahun, ketika imam Abu Dawud wafat ia berumur 36 tahun, ketika imam
Tirmidzi wafat berumur 40 tahun dan ketika Nasa’i wafat ia berumur 64 tahun,
dan ketika imam Ibnu Majah wafat ia berumur 34 tahun.
3)
Asal
Muasalnya
Adalah beliau rahimahullah
bermula dari rumah yang berlingkungan ilmiah dan unggul. Bapaknya, Muhammad bin
Salaamah adalah seorang cendekiawan ilmu dan bashar dalam syi’ir dan
periwayatannya. Sedangkan ibunya termasuk dalam Ash-haab asy-Syafi’i yang aktif
dalam majlisnya. Kemudian pamannya adalah imam al-Muzanni, salah seorang yang
paling faqih dari Ash-haab asy-Syafi’i yang banyak menyebarkan ilmunya.
Sebagian besar
menduga bahwa dasar kecendekiawanannya adalah di rumah, yang kemudian lebih
didukung dengan adanya halaqah ilmu yang didirikan di masjid Amr bin al-‘Ash.
Menghafal al-Qur’an dari Syeikhnya, Abu Zakaria Yahya bin Muhammad bin ‘Amrus,
yang diberi predikat: “Tidak ada yang keluar darinya kecuali telah hafal
al-Qur’an.” Kemudian bertafaquh (belajar mendalami agama-red.,) pada pamannya
–al-Muzanni, dan sami’a (mendengar) darinya kitab Mukhtasharnya yang bersandar
pada ilmu Syafi’i dan makna-makna perkataannya. Dan beliau adalah orang pertama
yang belajar tentang itu. Ia juga menukil dari pamannya itu hadits-hadits, dan
mendengar darinya periwayatan-periwayatannya dari Syafi’i tahun 252 H. Beliau
juga mengalami masa kebesaran pamannya, al-Muzanni. Pernah bertamu dengan Yunas
bin Abdul A’la (264 H), Bahra bin Nashrin (267 H), Isa bin Matsrud (261 H) dan
lain-lainnya. Semuanya adalah shahabat Ibn Uyainah dari kalangan ahlu Thabaqat.
4)
Pindah
Madzhab dari Syafi’i ke Hanafi
Ketika umurnya
mencapai 20 tahun, ia meninggalkan madzhab yang telah ia geluti sebelumnya
yakni madzhab Syafi’i ke madzhab Hanafi dalam bertafaqquh, disebabkan beberapa
faktor:
1. Karena beliau menyaksikan bahwa
pamannya banyak menelaah kitab-kitab Abi Hanifah.
2. Tulisan-tulisan ilmiah yang ada, yang
banyak disimak para tokoh madzhab Syafi’i dan madzhab Hanafi.
3. Tashnifat (karangan-karangan) yang
banyak dikarang oleh kedua madzhab itu yang berisi perdebatan antara kedua
madzhab itu dalam beberapa masalah. Seperti karangan al-Muzanni dengan kitabnya
al-Mukhtashar yang berisi bantahan-bantahan terhadap Abi Hanifah dalam beberapa
masalah.
4. Banyaknya halaqah ilmu yang ada di
masjid Amr bin al-‘Ash tetangganya mengkondisikan beliau untuk memanfaatkannya
dimana di sana banyak munasyaqah (diskusi) dan adu dalil dan hujjah dari para
pesertanya.
5. Banyak syeikh yang mengambil pendapat
dari madzhab Abi Hanifah, baik dari Mesir maupun Syam dalam rangka menunaikan
tugasnya sebagai qadli, seperti al-Qadli Bakar bin Qutaibah dan Ibnu Abi Imran
serta Abi Khazim.
Akan tetapi perlu
diketahui bahwa perpindahan madzhabnya itu tidaklah bertujuan untuk
mengasingkan diri dan mengingkari madzhab yang ia tinggalkan, karena hal ini
banyak terjadi di kalangan ahli ilmu ketika itu yang berpindah dari satu
madzhab ke madzhab lainnya tanpa meningkari madzhab sebelumnya.
Bahkan pengikut
Syafi’i yang paling terkenal sebelumnya adalah seorang yang bermadzhab Maliki,
dan diantara mereka ada yang menjadi syeikhnya (gurunya) ath-Thahawi. Tidak ada
tujuan untuk menyeru pada ‘ashabiyah (fanatisme-red.,) atau taklid, tetapi yang
dicari adalah dalil, kemantapan, dan hujjah yang lebih mendekati kebenaran.
5)
Syuyukh
(Para Guru) Beliau
1.
Al-Imam
al-‘Allaamah, Faqihul Millah, ‘Alamuz Zuhad, Isma’il bin Yahya bin Isma’il bin
‘Amr bin Muslim al-Muzanni al-Mishri. Salah satu sahabat Syafi’i yang mendukung
madzhabnya, wafat tahun 264 H. Karangannya antara lain al-Mukhtashar, al-Jami’
al-Kabir, al-Jami’ ash-Shaghir, al-Mantsur, al-Masa-il al-Mu’tabarah, Targhib
fil ‘Ilmi, dan lain-lainnya. Ia adalah orang pertama yang dinukilkan haditnya
oleh ath-Thahawi, dan kepadanya belajar di bawah madzhab Syafi’i, menyimak dari
beliau juga kitab Mukhtasharnya serta kumpulan hadits-hadits Syafi’i.
2.
Al-Imam
al-‘Allaamah, syaikhul Hanafiyah, Abu Ja’far Ahmad bin Abi Imran Musa bin Isa
al-Baghdadi al-Faqih al-Muhaddits al-Hafizh, wafat tahun 280 H. Beliau disebut
sebagai lautan ilmu, disifatkan sangat cerdas dan kuat hafalannya, banyak
meriwayatkan hadits dengan hafalannya. Dan beliau adalah seorang yang paling
berpengaruh atas ath-Thahawi dalam madzhab Abi Hanifah. Adalah ath-Thahawi
sangat membanggakan gurunya ini dan banyak meriwayatkan hadits-hadits dari
beliau.
3.
Al-Faqih
al-‘Allamah Qadli al-Qudlat Abu Khazim Abdul Hamid bin Abdil Aziz as-Sakuuni
al-Bishri kemudian al Baghdadi al-Hanafi. Menjabat Qadli di Syam, Kufah dan
Karkh, Baghdad. Dan dipuji selama menjalankan jabatannya. Ath-Thahawi belajar
kepada beliau ketika menjadi tamu di Syam tahun 268 H. Beliau menguasai madzhab
Ahlul Iraq hingga melampaui guru-gurunya. Seorang yang tsiqah, patuh pada dien,
dan wara’. Seorang yang ‘alim, paling piawai dalam beramal dan menulis,
cendekia disertai watak pemberani, sangat dewasa dan cerdik, pandai membuat
permisalah untuk memudahkan akal. Wafat tahun 292 H.
4.
Al-Qadli
al Kabir, al-‘allaamah al-Muhaddits Abu Bakrah Bakkar bin Qutaibah al-Bishri,
Qadli al-Qudlat di Mesir, wafat tahun 270 H. Seorang yang ‘alim, faqih,
muhaddtis, mempunyai kedudukan yang terhormat, dan agung, bila dalam kebenaran
tidak takut celaan orang yang mencela, zuhud, shaleh dan istiqamah. Imam
Thahawi bertemu dengan beliau ketika ia masih seorang pemuda, menyimak dari
beliau, banyak pengaruhnya atas dirinya. Banyak mengambil riwayat dari beliau,
dan banyak menimpa dari beliau ilmu Hadits serta tidak pernah absen dari
majlisnya ketika mendiktekan hadits.
5.
Al-Qadli
al-‘Allaamah al-Muhaddtis ats Tsabit, Qadli al Qudlat, Abu Ubaid Ali bin al
Husain bin Harb Isa al Baghdadi, salah seorang shahabat Syafi’i, wafat tahun
319 H. Sangat piawai dalam Ulumul Qur’an dan hadits, sangat pendai dalam
masalah ikhtilaf dan ma’ani serta qiyas fashih, berakal, lemah lembut, suka
menyatakan kebenaran.
6.
Al-Imam
al-Hafizh ats-Tsabit, Abu Abdurrahman Ahmad bin Syu’aib bin Ali bin Sinan bin
Bahr al-Khurrasani an Nasa’i, wafat tahun 303 H. Berkata Dzahabi: “Beliau
adalah orang yang paling piawai dalam hadits dan ‘ilal. Dan rijalnya dari
Muslim dan dari Abi Dawud dan dari Abi Isa (at-Turmudzi-red.,). Dan beliau
adalah tetangga dengan Imam Bukhari dan Abu Zur’ah di masa tuanya.
7.
Al-Imam
Hafizh, syaikhul Islam, Abu Musa Yunus bin Abdul A’la Shadari al-Mishri, wafat
tahun 264 H. Belajar pada Syafi’i, membaca al-Qur’an pada Warsy, shahabat
Nafi’, menyimak hadits dari Syafi’i, Sufyan bin Uyainah, dan Abdullah bin Wahab
dan mengumpulkannya. Termasuk orang yang termasyhur dalam keadilannya dan
ulama’ di zamannya di Mesir, ditsiqahkan oleh Nasa’i.
8.
Al-Imam
al-Muhaddits al-Faqih al-Kabir, Abu Muhammad ar Rabi’ bin Sulaiman al-Muradiy
al-Mishri. Seorang shahabat Syafi’i dan mewarisi ilmunya. Wafat tahun 270 H.
Banyak hadits yang diriwayatkan dari beliau, panjang umurnya, masyhur namanya,
banyak menimba ilmu darinya para ashabul hadits, syaikh yang sangat disukai,
menghabiskan umurnya dalam ilmu dan menyebarkannya, akan tetapi beliau
tergolong seorang hufazh (ahli menghafal, maka dikatakan oleh Nasa’i: Laa ba’sa
bihi).
9.
Syaikhul
Imam ash-Shadiq, Muhaddits Syam, Abu Zur’ah Abdurrahman bin amr bin Abdullah
bin Shafwan bin Amr an-Nashri ad-Dimasyqi. Wafat tahun 281 H. Seorang yang
tsiqah, shaduq. Mempunyai karangan mengenai Tarikh Dimasyq.
10. Al-Imam al-Hafizh al-Mutqin, Abu Ishaq
Ibrahim bin Abi Dawud Sulaiman bin Dawud al-Azdi al-Kufi asli, lahirnya di
Syria, dan rumahnya di al-Barlusi. Wafat tahun 270 H. Disifatkan oleh Ibnu
Yunas bahwa beliau salah seorang hufazh al-Mujawwidin, tsiqah dan tsabit.
11. Al-Hafidz Abu Bakr Ahmad bin Abdullah
bin al-Barqi. Wafat tahun 270 H. Menyimak dari Amr bin Abi Salmah dan
thabaqatnya, mempunyai karangan tentang mengenal shahabat dan termasuk seorang
hufazh yang mutqin.
12. Al-Hafizh al-Hujjah, Abu Ishaq Ibrahim
bin Marzuq al-Bishri, menjadi tamu di Mesir. Wafat tahun 270 H. Berkata Nasa’i,
“Periwayat yang diterima haditsnya (Shalih)”. Berkata Ibnu Yunas: “Tsiqah,
tsabit”.
13. Al-Imam al-Hujjah, Abu Ishaq Ibrahim
bin Munqidz bin Isa al-Khaulani Maulahum al-Mishri al-‘Ushfuri, wafat tahun 269
H. Berkata Abu Sa’id bin Yunas: “Beliau tsiqah ridla”.
14. Al-Imam al-Muhaddits ats-Tsiqah, Abu
Abdullah Bahr bin Nashr bin Sabiq al-Khaulani maulahum al-Mishri, wafat tahun
267 H. Ditsiqahkan Abi Hatim dan Yunus bin Abdul A’la, dan Ibnu Khuzaimah.
15. Al-Hafizh ats-Tsabit, Abu Ali al-Husain
bin Ma’arik al-Baghdadi, suami saudara perempuan al Hafidz Ahmad bin Shalih,
menjadi tamu di Mesir. Wafat tahun 261 H. Berkata Ibnu Yunus: “ Tsiqah,
tsabit”.
16. Ar-Rabi’ bin Sulaiman al-Azdi maulahum,
al-Mishri al-Jiizi al-A’raj. Wafat tahun 256 H. Berkata ibnu Yunus: “Tsiqah”.
17. Abu Ja’far Abdul Ghani bin Rifa’ah bin
Abdul Malik al-Lakhmi al-Mishri. Wafat tahun 255 H. Meriwayatkan dari beliau
Abu Dawud, Ibrahim bin Matawaih al-Ashbahani dan Abu Bakar bin Abi Dawud.
18. Al-Imam al-Hafizh ash-Shaduq Abul Hasan
Ali bin Abdul Aziz al-Baghawi. Syaikh al-Haram al-Makki, mushannif kitab Al
Musnah. Wafat tahun 280 H. Berkata Daruquthni: “Tsiqah, terpercaya”
19. Al-Imam al-Faqih al-Muhaddits Abu Musa
Isa bin Ibrahim bin Matsrad al-Ghafiqi maulahum, al-Mishri. Seorang sandaran
yang tsiqah. Wafat tahun 261 H. Berkata Nasa’i: “Laa ba’sa”. Dan berkata
Maslamah bin Qasim: “Tsiqah”.
20. Al-Imam al-Muhaddits ats-Tsiqah,
syaikhul Haram, Abu Ja’far Muhammad bin Isma’il bin Salim al Qurasyi al-‘Abbasi
maulaal Mahdi Al Baghdadi menjadikan tamu di Makkah. Wafat tahun 276 H. Berkata
Ibnu Abi Hatim: “Shaduq”.
21. Al-Imam syaikhul Islam, Abu Abdullah
Muhammad bin Abdullah bin Abdul hakim bin A’yah bin Laits al-Mishri al-Faqih.
Cendekiawan negeri Mesir di zamannya bersama al-Muzanni. Wafat tahun 268 H.
Berkata Ibnu Khuzaimah: “Aku belum pernah melihat orang yang lebih pandai dari
kalangan fuqaha’ tentang perkataan para shahabat dan tabi’in dari Muhammad bin
Abdullah bin Abdul Hakim, dan merupakan orang yang paling alim di kolong bumi
dengan madzhab Maliki.” Berkata Abi Hatim: “Ibnu Abdul hakim tsiqah, shaduq,
seorang fuqaha Mesir dari madzhab Maliki”.
22. Al-Imam al-Hafizh al-Mujawwid Abu Bakar
Muhammad bin ali bin Dawud bin Abdullah al-Baghdadi, menjadi tamu di Mesir.
Dikenal dengan sebutan Ibnu Ukhti Ghazaal. Berkata Yunus: “Seorang penghafal hadits
dan memahaminya. Seorang yang tsiqah, hasan haditsnya”. Wafat tahun 264 H.
23. Al-Imam al-‘Allaamah al-Hafizh,
syaikhul Baghdad, Abu Bakar Abdullah bin sulaiman bin al-Asy’ats as-Sajistaani,
wafat tahun 316 H. Mengarang as-Summah, al-Mashaahif, Syari’ah al-Muqaari’,
Nasikh wal Mansukh, al-Ba’ts dan lainnya. Seorang yang faqih, alim dan hafizh.
24. Al-Imam al-Muhaddits al-Adl, Abul Hasan
Ali bin Ahmad bin Sulaiman bin Rabi’ah bin ash-Shaiqah ‘Allaan al-Mishri. Wafat
tahun 317 H. Seorang yang tsiqah, banyak meriwayatkan hadits, salah seorang
yang terkenal adil.
25. Al-Iman al-Hafizh al-Baari’, Abu
Bisyrin Muhammad bin Ahmad bin Hammad bin Sa’id bin Muslim al-Anshari
ad-Duulabi. Wafat tahun 310 H. Beliau adalah pengarang kitab al-Kunniy wal
Asma’. Berkata Daruquthni: “banyak digunjingkan, tidak jelas perkaranya kecuali
beliau adalah seorang yang baik”.
26. Al-Iman al-Kabir al-Hafizh ats-Tsiqah,
Abu Zakaria Yahya bin Zakaria bin Yahya an-Naisaburi al-A’raj. Wafat tahun 307
H. Berkata Ibnu Yunus: “Seorang hafizh, terhormat dan mulia”.
27. Al-‘Allaamah al-Hafizh al-Akhbaari, Abu
Zakaria Yahya bin Utsman bin Shalih bin Shafwan as-Sahmi al-Mishri. Wafat tahun
282 H. Berkata Ibnu Yunus: “Seorang alim dengan ahbar Mesir, dan tentang
meninggalkan ulama, penghafal hadits, dan meriwayatkan hadits yang tidak
ditemukan di orang lain”.
28. Al-Imam ats-Tsiqah al-Musannid, Abu
Yazid Yusuf bin Yazid bin Kamil bin Hakim al-Umawi maulahum al-Qurathisi. Wafat
tahun 287 H. Seorang yang alim, banyak meriwayatkan hadits, pemberani, panjang
umur dan pernah melihat Syafi’i.
29. Al-Imam al-Hafizh al-Mujawwid
ar-Rahhal, Abu Umayyah Muhammad bin Ibrahim bin Muslim al-Baghdadi, kemudian
ath-Thurasusi, menjadi tamu di ThuTharsusi dan menjadi muhadditsnya di sana,
pengarang Al Musnad dan mempunyai beberapa mushannifat. Wafat tahun 273 H.
30. Al-Imam al-‘Allaamah al-Mutqin,
al-Qadli al-Kabir, Abu Ja’far Ahmad bin Ishaq bin Buhlul bin hasan an-Tanwikhi
al-Anbari, al-Faqih al-Hanafi. Wafat tahun 318 H.
31. Al-Imam al-Hafizh al-Mujawwid, Abu
Ha’far Ahmad bin Sinan bin Asad bin Hibban al-Wasithi al-Qaththan. Wafat tahun
258 H. Berkata Abi Hatim: “Beliau seorang imam di zamannya, seorang yang tsiqah
shaduq”.
32. Al-Imam al-Hafizh ats-Tsabit Syaikhul
Waqti Abu Bakar Ja’far bin Muhammad bin al-Hasan bin al-Mustafaadl al-Firyaabi
al-Qadli. Wafat tahun 301 H. Berkata Khuthaib al-Baghdadi: “Tsiqah, hujjah,
gudang ilmu”.
33. Rauh bin Farj Abu Zinba’ bin Farj bin
Abdirrahman al-Qaththan maulanan Zubair bin al-‘Awwam. Wafat tahun 282 H.
Seorang alim, faqih di madzhab Maliki, seorang yang paling tsiqah di zamannya
dan meninggikannya dengan ilmu, mempunyai riwayat dalam qira’ah dari, Ashim
Yahya bin Sulaiman al-Ju’fi. Adalah imam Thahawi mengambil qira’ah dari huruf
demi huruf, dari Yahya bin Sulaiman al-Ju’ri, dari Abi Bakar bin ‘Iyasy, dari
‘Ashim bin Bahdalah Abi an-Nujud, seperti yang ia nyatakan dalam kitabnya ini
juz I hal 227 dan 263.
34. Mahmud bin Hasan an-Nahwi Abu Abdullah.
Wafat tahun 272 H. Berkata Ibnu Yunus dalam Tarikh Mishri: “Seorang ahli nahwu,
ahli tajwid, meriwayatkan dari Abul Malik bin Hisyam dari Abi Zaid dari Abi Amr
bin al-‘Ala.
35. Al-Walid bin Muhammad at-Tamimi
an-Nahwi, yang termasyhur dengan sebutan Wullaad. Wafat tahun 263 H. Seorang
ahli nahwu, ahli tajwid, tsiqah, berasal dari Bashrah.
6)
Sifat-Sifatnya
Adalah ath-Thahawi rahimahullah
seorang hafizh (penjaga dan penghafal) kitab Allah, yang mengerti
hukum-hukumnya dan maknanya, dan terhadap atsar dari shahabat dan tabi’in
terhadap tafsir ayat-ayatnya, asbabun nuzulnya.
Mempunyai wawasan
yang menakjubkan dengan ilmu qira’ah. Penghafal hadits, luas jangkauan
pengenalannya terhadap thuruq (jalan-jalan) hadits, matan, illah dan ahwalnya,
rijal-rijalnya, banyak menelaah madzhab para shahabat dan tabi’in serta para
imam yang mepat yang diikuti dan para imam mujtahid yang lain.
Seperti Ibrahim
an-Nakha’i, Utsman al-Batti, Auza’i, ats-Tsauri, Laits bin Sa’d, Ibnu
Syubrumah, Ibnu Abi Laila dan al-Hasan bin Hay. Sangat piawai dalam ilmu Syurut
dan Watsaiq. Seorang yang sangat jeli dalam membahas suatu masalah. Tidak
bertaklid pada seorangpun, tidak dalam masalah ushul (pokok), dan tidak dalam
masalah furu’. Beliau berputar bersama kebenaran yang berdasar pada ijtihadnya.
Mengikuti manhaj salaf dalam aqidah. Dan atas manhaj ini pula beliau mengarang
kitab aqidah yang masyhur (yakni Aqidah ath-Thahawiyah, pen.). Sangat
memperhatikan apa yang beliau dengan dalam majelis ilmu, dan kemudian diulangi
kembali setelah selesai majlis, mengklasifikasikan secara rinci riwayat-riwayat
yang ia terima dan menyusunnya dalam mushannafnya.
Sifat inilah yang
mengantarkannya untuk menyusun mushannafat yang banyak menurut babnya. Dan
beliau adalah seorang yang lapang dada, baik akhlaqnya, baik dalam pergaulan,
bertindak tanduk sopan, memberi nasehat para pemimpin, dengan penuh tawadlu’,
dekat dengan para qadli dan ahli ilmu, menghadiri halaqah ilmu dan menukil
riwayat dari sana. Orang-orang yang berbeda pendapat dan sependapat dengan
beliau mengakui kewara’annya dan kezuhudannya, lemah lembut terhadap keluarga,
jauh dari rasa ragu-ragu. Ketsiqahan ulama pada beliau mencapai puncaknya
ketika Abu Ubaid bin Harbawaih – salah seorang shahabat Syafi’i mengakui
keadilannya dan menerima syafa’atnya.
7)
Ath-Thahawi
Seorang Imam Mujtahid
Ath-Thahawi telah
belajar madzhab Syafi’i kepada pamannya al-Muzanni, kemudian mempelajari
madzhab Hanafi, dan tidak berta’ashub pada salah seorang imam pun. Akan tetapi
memilih perkataan yang ia anggap paling benar berdasarkan kekuatan dalilnya.
Dan jika salah seorang imam menyamai pendapatnya maka disebabkan kesamaan yang
berdasarkan dalil dan hujjah, tidak karena taklid.
Keadaannya seperti
keadaan para ulama semasanya, yang tidak ridla dengan taklid. Tidak kepada ahli
hapal hadits dan tidak pula kepada para ulama fiqih. Berkata Ibnu Zaulaq: “Aku
mendengar Abu hasan Ali bin Abi Ja’far ath-Thahawi berkata: Aku mendengar
bapakku berkata dan disebutkan keutamaan Abi Ubaid bin harbawaih dan fiqihnya
lalu berkata: Ketika itu ia mengingatkan aku dalam satu masalah. Maka aku jawab
masalah itu. Tetapi beliau berkata kepadamu: Bagaimana ini, kenapa memakai
perkataan Abu Hanifah? Maka aku katakan kepadamu: Wahai Qadli, apakah setiap
perkataan yang diucapkan Abu Hanifah aku katakan juga? Beliau berkata: Aku
tidak mengira engkau kecuali seorang muqallid (suka mengikuti saja). Aku jawab:
Apakah ada orang yang bertaklid kecuali orang yang berta’ashub (fanatik buta)?
Beliau menambahi: Atau orang yang bodoh? Berkata: Maka menjadilah kalimat ini
masyhur di Mesir hingga semacam menjadi pameo yang dihafal manusia. Dan
tidak ada yang menghalanginya untuk berijtihad karena beliau telah menguasai
ilmu perangkatnya. Beliau adalah seorang hafidz. Luas telaahnya, dalam
pemahamannya, luas cakrawala tsaqafahnya, ahli dalam mengenali hadits dan
periwayatannya, piawai dalam mencari illat hadits serta mahir dalam ilmu fiqih
dan bahasa Arab.
Berkata Imam
al-Laknawi dalam al-Fawaid al-Bahiyah hal. 31; Bahwa Imam Thahawi mempunyai
derajat yang tinggi dan urutan yang mulia. Banyak menyelisihi shahibul madzhab
(pendiri madzhab) dalam masalah ushul maupun masalah furu’. Barang siapa yang
menelaah kitab Syarh Ma’anil Atsar dan karangan-karangannya yangn lain maka
akan mendapati bahwa beliau banyak menyelisihi pendapat yang dipilih para
pemimpin madzhabnya jika yang mendasari pendapatnya itu sangat kuat. Yang benar
beliau adalah salah seorang mujtahid, akan tetapi manusia tidak bertaklid
kepada beliau. Tidak dalam furu’ maupun dalam ushul, karena mereka mensifatinya
dengan mujtahid. Akan tetapi yang mereka contoh dari beliau adalah caranya
berijtihad. Atau paling tidak beliau adalah seorang mujtahid dalam madzhab yang
mampu untuk mengeluarkan hukum-hukum dari kaidah-kaidah yang dinyatakan sang
imam madzhab, dan tidak pernah derajat beliau rendah dari martabat itu
selamanya. Dan
berkata Maulana Abdul Aziz al-Muhaddits ad-Dahlawi dalam kitab Bustan
al-Muhadditsin: “Dalam mukhtashar Thahawi menunjukkan bahwa beliau adalah
seorang mujtahid. Dan bukan seorang muqallid (pengekor) terhadap madzhab Hanafi
dengan pengekoran total. Karena beliau sering memilih pendapat yang berbeda
dengan madzhab Abu Hanafi ketika hal itu berdasarkan dalil-dalil yang kuat.
8)
Murid-Murid
Beliau
Tidak sedikit
kalangan ahli ilmu yang berguru pada beliau. Diantara mereka para hufadz yang
termasyhur. Mereka menyimak dari beliau, mendapat manfaat dari ilmu beliau. Diantaranya
adalah sebagai berikut:
1.
Al-Hafizh
Abul Farj Ahmad bin al-Qasim bin Ubaidillah bin Mahdi al-Baghdadi. Atau yang
terkenal dengan nama Ibnu Khasyab. Wafat 364 H.
2.
Al-Imam
al-Faqih al-Qadli Abu Bakar Ahmad bin Muhammad bin Manshur al-Anshari ad-Damaghaani.
3.
Ismail
bin Ahmad bin Muhammad bin Abdul Aziz, atau yang terkenal dengan nama Abu Sa’id
al-Jurjani al-Khallaal al-Warraaq. Wafat tahun 364 H
4.
Al-Muhaddits
al-Hafizh al-Jawwal al-Mushannif Abu Abdullah al-Husain bin Ahmad bin Muhammad
bin Abdirrahman bin Asad bin Sammakh bin Syammaakhi al-Hirawi ash-Shaffar,
pengarang al-Mustakhraj Ala Shahih Muslim. Wafat tahun 371 H.
5.
Al-Muhaddits
al-Imam Abu Ali al-Husain bin Ibrahim bin Jabir bin Abi Azzamzaam ad-Dimasyqi
al-Faraidli asy-Syahid. Wafat tahun 368 H.
6.
Al-Imam
al-Hafizh ats-Tsiqah ar-Rahaal al-Jawwal Muhadditsul Islam Alim al-Mua’ammarin
Abul Qasim Sulaiman bin Ahmad bin Ayub bin Muthair a-Lakhmi As Syammi At
Thabrani, pengarang tiga mu’jam; al-Kabir, al-Ausath, As Shaghir. Wafat tahun
360 H.
7.
Al-Imam
al-Hafizh An Naqid al-Jawal Abu Ahmad Abdullah bin ‘Addi bin Abdullah bin
Muhammad bin al-Mubarak bin al-Qaththaan al-Jurjaani, pengarang kitab al-Kamil.
Wafat tahun 365 H.
8.
Al-Imam
al-Hafizh al-Mutqin Abu Sa’id Abdurrahman bin Ahmad bin Yunus bin Abdil A’la ash-Shadafi
al-Mishri, pengarang kitab Tarikh Ulama’ Mishra. Wafat tahun 347 H.
9.
Al-Imam
al-Hafizh Ats Tsiqah al-Jawwal Abu Bakar Muhammad bin Ja’far bin al-Husain
al-Baghdadi al-Warraaq. Wafat tahun 370 H.
10. Asy-Syaikh al-‘Alim al-Hafizh Abu
Sulaiman Muhammad bin al-Qadli Abdullah bin ahmad bin Rabi’ah bin Zabrin
ar-Raba’i. Wafat tahun 379 H.
11. Asy-Syaikh al-Hafizh al-Mujawwid
Muhaddis Iraq Abul Husein Muhammad bin al-Mudzaffar bin Musa bin Isa bin
Muhammad al-Baghdadi. Wafat tahun 379 H.
12. Al-Muhaddits ar-Rahhal Abul Qasim
Maslamah bin al-Qasim bin Ibrahim al-Andalusi al-Qurthubi. Wafat tahun 353 H.
13. MuhadditsAshbahaan al-Imam ar-Rahhal
al-Hafizh ash-Shaduq Abu Bakar Muhammad bin Ibrahim bin Ali bin ‘Ashim bin
Zaadzan al-Ashbahan, yang termasyhur dengan sebutan Ibnul Muqri’ al-Mu’jam.
Wafat tahun 381 H.
14. Ali bin Ahmad bin Muhammad bin Salamah
Abul Hasan ath-Thahawi, anak imam Thahawi. Wafat tahun 381 H.
15. Abu Utsman Ahmad bin Ibrahim bin Hammad
bin Zaid al-Azdi. Wafat tahun 329 H.
16. Dan lain-lain rahimahullah ajma’in.
1)
Kitab-Kitab
Karangan Beliau
Imam ath-Thahawi
adalah termasuk diantara sekian orang yang mempunyai banyak kitab karangan dan
mahir dalam menyusun tashnifaat. Dikarenakan beberapa faktor yang dianugerahkan
Allah kepadanya. Yakni cepat hafal, mempunyai wawasan pengetahuan yang luas,
dan mempunyai kesiapan yang cukup, beliau telah menyusun berbagai macam dan
jenis kitab, baik dalam bidang aqidah, tafsir, hadits, fiqih, dan tarikh.
Sebagian ahli tarikh menyatakan lebih dari tiga puluh kitab.
Di antaranya sebagai
berikut:
1.
Syarh
Ma’ani al-Atsar.
2.
Ikhtilaaf
al-Fiqhiyah.
3.
Mukhatashar
athThahawi.
4.
Sunan
asy-Syafi’i.
5.
Al-Aqidah
ath-Thahawiyah.
6.
Naqdlu
kitab al-Mudallisin li Faqih Baghdad al-Husain bin Ali bin Yazid al-Karabisi.
7.
Taswiyatu
baina Hadtsana wa Akhabarana.
8.
Asy-Syurut
ash-Shaqhir.
9.
Asy-Syurut
al-Ausath.
10.
Asy-Syurut
al-Kabir.
11.
At-Tarikh
al-Kabir.
12.
Ahkamul
Qur’an
13.
Nawadirul
Fiqhiyah.
14.
An-Nawadir
Wal Hikayaat.
15.
Juz-un
fi hukmi ardli Makkah.
16.
Juz-un
fi qismi al-fay`i wal Ghanaa-`im
17.
Ar-Raddu
‘ala Isa bin Abbaan fi Kitaabihi alladzi sammaahu Khatha’u al-Kutub.
18.
Al-Raddu
‘ala Abi Ubaid fiima Akhtha a fiihi fi Kitaabi an-Nasab.
19.
Ikhtilaaf
ar-Riwayaat ‘ala Madzhab al-Kuufiyiin.
20.
Syarh
al-Jami’ al-Kabir lil imam Muhammad bin al-Hasan asy-Syaibani.
21.
Kitab
al-Mahadlir wa as-Sijillaat.
22.
Akhbar
Abi Hanifah wa ash-haabuhu.
23.
Kitab
Aal-Washaya wal Faraidl.
24.
Dan
lain-lain.
No comments:
Post a Comment