BAB I
PENDAHULUAN
2. 1. Latar Belakang Masalah
Salah satu
pegangan mendasar tentang politik, kenegaraan dan kekuasaan adalah buku The
Prince selama 400 tahun. Buku ini ditulis oleh seorang bangsawan Florentine
yaitu Niccolo Machiavelli. Munculnya karya Machiavelli ini bukannya menjadi
pedoman/panduan bagi pemerintah demokratis dan efisien, melainkan menjadi
blue print dari gagasan paraa diktator sehingga karyanya ini selalu dicari
setiap orang yang tertarik pada politik dan kekuasaan. Tulisan ini adalah hasil
pemikiran dari Machiavelli mengenai studi klasik tetntang kekuasaan yaitu
bagaimana dalam memperolehnya, memperluas dan menggunakannya dengan hasil yang
maksimal oleh karena itu nilai utama yang ditekankan oleh Machiavelli adalah
kebutuhan akan stabilitas dalam wilayah seorang penguasa. Teori-teori yang
terdapat dalam The Prince sering dipuja sebagai metode-metode cerdik
yang dapat digunakan oleh penguasa yang sedang mencari kekuasaan untuk
memperoleh tahta, atau oleh seorang penguasa untuk mengukuhkan kekuasaannya.
Menurut Machiavelli bahwa:
“kebaikan moral yang terbesar adalah
sebuah Negara, yang bijak (vitous) dan stabil, dan tindakan-tindakan
untuk melindungi negara, betapapun kejamnya, dapat dibenarkan. Yang sangat
penting bahwa ia melakukan segala sesuatu yang perlu untuk dipertahankan
kekuasaannya; namun demikian, Machiavelli sangat menganjurkan bahwa terutama
sekali, Sang Pengauasa tidak boleh dibenci”. Machiavelli (Trijali, 2008:
x-xi)
Dalam makalah ini akan dijelaskan mengenai pemikiran
Machiavelli dari karyanya The Prince yang mendefinisikan metode-metode
pemerintahan yang efektif dalam beberapa bentuk kePenguasaan [misalnya, jabatan
yang baru diperoleh vs keturunan] metode-metode didalamnya digambarkan
mencangkup pengajaran tentang perang dan kekejaman dan juga memberikan nasihat
tentang bagaimana soerang penguasa dapat memperoleh dan mempertahankan
kekuasaan serta bagaimana Negara itu harus diperintah dan diperintahkan.
2. 2. Rumusan Masalah
Mengacu pada uraian latar belakang di atas maka permasalahan
yang dapat dirumuskan dalam makalah ini adalah “Bagaimana hasil pemikiran
Machiavelli tentang politik dan kekuasaan?”. Agar dalam menguraikan
permasalahan menjadi lebih terarah maka kami membatasi permasalahan dalam
bentuk pertanyaan, yaitu:
1. Bagaimana Sejarah pemikiran
Machiavelli itu lahir?
2. Mengapa Teori-teori yang terdapat
dalam The Prince sering dipuja sebagai metode-metode cerdik yang dapat
digunakan oleh penguasa yang sedang mencari kekuasaan untuk memperoleh tahta,
atau oleh seorang penguasa untuk mengukuhkan kekuasaannya?
3. Bagaimana definisi dari
metode-metode pemerintahan yang efektif dalam beberapa bentuk kePenguasaan menurut
Machiavelli?
4. Apa nasihat yang diberikan oleh
Machiavelli untuk soerang penguasa agar dapat memperoleh dan mempertahankan
kekuasaan serta bagaimana Negara itu harus diperintah dan diperintahkan?
2. 3. Tujuan Penulisan
Berdasarkan rumusan masalah yang
dikemukakan sebelumnya maka jawaban dari permasalahan dalam makalah ini ialah
untuk mengetahui hasil pemikiran Machiavelli tentang politik dan kekuasaan.
Adapun tujuan penulisan makalah ini dapat dirinci sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui sejarah pemikiran
Machiavelli tentang politik dan kekuasaan.
2. Untuk mengetahui pemikiran
Machiavelli tentang politik dan kekuasaan.
3. Untuk mengetahui pengaruh dari
pemikiran Machiavelli terhadap penguasa dan negara dalam politik dan
kekuasaannya.
1.3 METODE PENULISAN MAKALAH
Metode yang digunakan dalam
penyusunan makalah ini adalah dengan menggunakan metode tinjauan pustaka baik
dari buku sumber yang menurut kami terdapat kesesuaian dengan pembahasan dalam
makalah ini maupun sumber internet yang mendukung dengan cara berupa heuristic
dan kritik dan selanjutnya yaitu (1) penapsiran dan pengelompokan fakta-fakta
dalam berbagai hubungan mereka yang dalam bahasa Jerman disebut Auffasung dan
(2) formulasi dan presentasi hasil-hasilnya yang dalam bahasa Jerman disebut Darstellung
dan (3) menentukan dari kritik dokumen-dokumen kepada penulisan teks yang
sesungguhnya”. Carrard (Syamsudin, 2007: 155)
1.4 SISTEMATIKA PENULISAN
Adapun
sistematika dalam penyusunan makalah ini adalah:
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah
1.2. Rumusan Masalah
1.3. Tujuan Penulisan Makalah
1.4. Metode Penulisan Makalah
1.5. Sistematika Penulisan Makalah
BAB 2 PEMBAHASAN
2.1. Sejarah Pemikiran Machiavelli
tentang Politik dan Kekuasaan. 2.2. Teori Politik Kekuasaan Niccolo
Machiavelli.
2.3. Metode-Metode Pemerintahan yang
Efektif dalam Beberapa bentuk Kepenguasaan.
2.4. Nasihat
Machiavelli dalam Politik dan Kekuasaan.
BAB III PENUTUP
3.1. Kesimpulan
3.2. Saran
DAFTAR PUSTAKA
BAB 2
PEMIKIRAN MACHIAVELLI TENTANG POLITIK dan KEKUASAAN
2.1. Sejarah Pemikiran Machiavelli tentang Politik dan
Kekuasaan.
Saat itu keluarga Medici telah
menetapkan depotisme yangt relative lunak yang memberi mereka substansi
kekuasaan, namun sementara itu mengizinkan bentuk-bentuk republikan yang lebih
tua tetap ada. Tak satu pun dari keluarga Machiavelli yang mendukung Medici.
Ayahnya adalah ahli hukum (lawyer) dan ayahnya maupun Machiavelli
menganggap diri mereka sebagai republikan. Ia menenemukan ide-idenya di Roma
dan membaca karya tokoh-tokoh Yunani dalam terjemahan latin.
Machiavelli tumbuh dibawah hukum anggota dinasti
Medici yang mendapat gelar Lorenzo the Magnificent dari masyarakat
Florentine, dan zaman Lorenzo sering dilukiskan sebagai zaman Agustus dari
Renaissance Italia. Lorenzo sendiri adalah humanis terhormat, penyair dan
menjadi panutan (patron) seniman maupun kalangan terpelajar.
Pada saat itu Machiavelli adalah
sebagai ahli teori dan figur utama dalam realitas teori politik, ia sangat
disegani di Eropa pada masa renaissance. Dua buku yang terkenalnya adalah Discorsi
sopra la prima deca di tito livio (Diskursus tentang Livio) dan II
Principe (Sang Pangeran), awalnya ditulis sebagai harapan untuk memperbaiki
kondisi pemerintahan di Italia Utara, kemudian menjadi buku umum dalam
berpolitik dimasa itu, karena karya Machiavelli sendiri lebih berakar dalam
pada zamannya karena ia bukan contoh pertama penulis atau pakar teori, melaikan
partisipan aktif dalam kehidupan politik yang tak stabil dan kacau di tempat
asalnya Florence.
Ketika itu terjadi “pergolakan terus-menerus dengan kota-kota lebih kecil,
sebagaimana Florence melawan Pisa, yang sering mengakibatkan perang terbuka”.
Machiavelli (Trijaji, 2008: 175)
II Principe, atau Sang
Penguasa menguraikan tindakan yang bisa atau perlu dilakukan seseorang untuk
mendapatkan atau mempertahankan kekuasaan. Nama Machiavelli, kemudian
disosiasikan dengan hal yang buruk yaitu, “untuk menghalalkan cara untuk
mencapai tujuan” Trijaji (2008: 175). Orang yang melakukan tindakan ini disebut
Makiavelis.
2.2. Teori Politik Kekuasaan Niccolo
Machiavelli.
Sebagaimana telah dicatat
sebelumnnya, teori politik kekuasaan Niccolo Machiavelli dapat dilihat sebagai
penanda transisi dari dunia kuno ke modern yang sangat kontroversi. Melalui
karyanya yang berjudul The Prince tahun 1513 ia sering dituduh gurunya
kejahatan karena nasehat-nasehatnya yang amoral.
Isi dari teori Machaivelli (
Skinner,1985:4) sebagai berikut.
- Untuk melakukannya, seorang penguasa yang bijak hendaknya mengikuti jalur yang dikedepankan berdasarkan kebutuhan, kejayaan, dan kebaikan Negara. Hanya memadukan machismo semangat keprajuritan, dan pertimbangan politik, seorang penguasa barulah dapat memenuhi kewajiban kepada Negara mencapai keabadian sejarah.
- Penguasa bijak hendaknya memiliki hal-hal sebagai berikut
1) Sebuah
kemampuan untuk menjadi baik sekaligus buruk, baik dicintai maupun di benci
2) Watak-watak,
seperti ketegasaan, kekejaman,kemandirian, disiplin, dan control diri.
3) Sebuah
reputasi menyangkut kemurahan hati,pengampunan, dapat dipercaya dan tulus.
- Seorang pangeran harus berani untuk melakukan apapun yang diperlukan, betapa pun tampak tercela karena rakyat pada akhirnya hanya peduli dengan hasilnya, yaitu kebaikan Negara.
2.3. Metode-Metode Pemerintahan yang
Efektif dalam Beberapa bentuk Kepenguasaan
Untuk mencapai sukses, seorang
penguasa harus dikelilingi dengan menteri-menteri yang mampu dan setia,
Machiavelli memperingatkan penguasa agar menjauhkan diri dari penjilat dan
minta pendapat apa yang layak dilakukan. seorang penguasa yang cermat tidak
harus memegang kepercayaannya jika pekerjaan itu berlawanan dengan
kepentingannya.
“...Dia menambahkan, "Karena tidak ada dasar resmi yang
menyalahkan seorang Penguasa yang minta maaf karena dia tidak memenuhi
janjinya," karena "... manusia itu begitu sederhana dan mudah
mematuhi kebutuhan-kebutuhan yang diperlukannya saat itu, dan bahwa seorang
yang menipu selalu akan menemukan orang yang mengijinkan dirinya ditipu." http://media.isnet.org/iptek/index/Machiavelli.html.
Sebagai hasil wajar dari pandangan
itu, Machiavelli menasihatkan sang penguasa supaya senantiasa waspada terhadap
janji-janji orang lain.
The Prince (Sang Pangeran) sering
dijuluki orang "buku petunjuk untuk para diktator." Karier
Machiavelli dan berbagai tulisannya menunjukkan bahwa secara umum dia cenderung
kepada bentuk pemerintahan republik ketimbang pemerintahan diktator. Machiavelli
berpendapat bahwa nilai-nilai yang tinggi, atau yang dianggap tinggi, adalah
berhubungan dengan kehidupan dunia, dan ini dipersempit pula hingga
kemasyhuran, kemegahan, dan kekuasan belaka. Machiavelli menolak adanya hukum
alam, yang seperti telah diketahui adalah hukum yang berlaku untuk manusia
sejagat dan sesuai dengan sifat hukum, mengikat serta menguasai manusia.
Machiavelli menolak ini dengan mengemukakan bahwa kepatuhan pada hukum
tersebut, malah juga pada hukum apapun pada umumnya bergantung pada soal-soal
apakah kepatuhan ini sesuai dengan nilai-nilai kemegahan, kekuasaan, dan
kemsyhuran yang baginya merupakan nilai-nilai tinggi. Bahkan menurut
pendapatnya inilah kebajikan. Machiavelli mengatakan bahwa untuk suksesnya
seseorang, kalau memang diperlukan, maka gejala seperti penipuan dibenarkan.
Misalnya, ia mengakui bahwa agama mendidik manusia menjadi patuh, dan oleh
sebab kepatuhan ini perlu untuk suksesnya seorang yang berkuasa, maka perlulah
agama tadi. Jadi agama itu diperlukan sebagai alat kepatuhan, bukan karena
nilai-nilai yang dikandung agama itu.
“Menurut Deliar Noer, kita jangan tergesa-gesa mengecap
Machiavelli seperti digambarkan diatas. Memang Machiavelli mengemukakan hal-hal
tersebut, tetapi ini dalam pengertian tertentu, yaitu mengenai keamiran atau
kepangeranan, yaitu bentuk negara yang telah korup, yang tidak akan mungkin
lagi kecuali dengan kemauan, ketabahan dan ketekunan serta kelihaian seorang
pemimpin”. http://mahardhikazifana.com/religion-philosophy-agama-filsafat/gagasan-gagasan-politik-machiavelli.html
Jadi dapat kami simpulkan bahwa
penipuan itu dilakukan terhadap musuh yang dianggap dari negara atau penguasa tersebut
yang dianggap mengganggu kekuasaan.
Gagasan
kekuasaan machiavelli patut dikaji setidaknya karena dua alasan, yaitu :
1. Gagasannya
telah menjadi sumber inspirasi yang tak pernah kering bagi banyak penguasa
sejak awal gagasan itu dipopulerkan sampai abad XX.
Banyak negarawan dan penguasa dunia
yang secara sembunyi atau terus terang mengakui telah menjadikan buku
Machiavelli itu sebagai hand book (buku pegangan) mereka dalam memperoleh dan
mempertahankan kekuasaannya. Misalnya Hitler dan Mussolini. Gagasan yang sama
telah menjadi basis intelektual bagi pelaksanaan diplomasi kaum realis
(realisme). Realisme sebagai suatu aliran penting dalam kajian diplomasi
internasional, banyak mendasarkan asumsinya pada pemikiran kekuasaan
Machiavelli.
2. Dari pespektif
sejarah pemikiran politik, gagasannya itu merupakan pemutusan hubungan total
masa kini dengan masa lalu, suatu ciri penting Abad Renaisans. Berbeda dengan
para pemikir abad Pertengahan seperti Santo Agustinus dan Thomas Aquinas yang
mengaitkan kekuasaan dan negara dengan agama dan Tuhan maupun moralitas,
Machiavelli justru berpendapat bahwa kekuasaan hendaknya dipisahkan dari semua
itu. Tidak ada kaitan atau relevansi antara kekuasaan dengan teologi Kristen,
kecuali sejauh agaman atau moral itu memiliki nilai utilitarianisme bagi
kekuasaan dan negara.
Tidak seperti pemikir Abad Pertengahan,
Machiavelli melihat kekuasaan sebagai tujuan itu sendiri. Ia menyangkal asumsi
bahwa kekuasaan adalah alat atau instrumen belaka untuk mempertahankan
nilai-nilai moralitas, etika atau agama. Bagi Machiavelli segala kebajikan,
agama, moralitas justru harus dijadikan alat untuk memperoleh dan memperbesar
kekuasaan. Bukan sebaliknya. Jadi kekuasaan haruslah diperoleh, digunakan, dan
dipertahankan semata-mata demi kekuasaan itu sendiri. Dengan pandangannya itu,
Machiavelli menolak tegas doktrin Aquinas tentang gambaran penguasa yang baik.
Aquinas dalam karyanya The Government of Princes berpendapat bahwa
penguasa yang baik harus menghindari godaan kejayaan dan kekayaan-kekayaan
duniawi agar memperoleh ganjaran syurgawi kelak. Bagi Machiavelli justru
terbalik, penguasa yang baik harus berusaha mengejar kekayaan dan kejayaan
karena keduanya merupakan nasib mujur yang dimiliki seorang penguasa.
Bagi Machiavelli kekuasaan adalah raison
d’etre negara (state). Negara juga merupakan simbolisasi tertinggi
kekuasaan politik yang sifatnya mencakup semua (all embracing) dan
mutlak. Bertolak dari pandangan-pandangan Machiavelli di atas beberapa sarjana
berpendapat bahwa Machiavelli memiliki obsesi terhadap negara kekuasaan (maachstaat)
dimana yang kedaulatan tertinggi terletak pada kekuasaan penguasa dan bukan
rakyat dan prinsip-prinsip hukum.
Dalam kaitannya dengan kekuasaan
seorang penguasa, Machiavelli membahas perebutan kekuasaan (kerajaan). Bila
seorang penguasa berhasil merebut suatu kerajaan maka ada cara memerintah dan
mempertahankan negara yang baru saja direbut itu.
1.
Memusnahkannya sama sekali dengan membumihanguskan negara dan membunuh seluruh
keluarga penguasa lama. Tidak boleh ada yang tersisa dari keluarga penguasa
lama sebab hal itu akan menimbulkan benih-benih ancaman terhadap penguasa baru
suatu saat kelak.
2. Dengan
melakukan kolobisasi, mendirikan pemukiman-pemukiman baru dan menempatkan
sejumlah besar pasukan infantri di wilayah koloni serta menjalin hubungan baik
dengan negara-negara tetangga terdekat. Cara kolonisasi pernah dilakukan bangsa
Romawi.
Dari kedua cara itu menurut Machiavelli
cara pertama adalah cara yang paling efektif meski bertentangan dengan aturan
moralitas.
Dalam The Prince, Machiavelli
juga menguraikan bahwa mereka yang menjadi penguasa lewat cara-cara keji,
kejam, dan jahat tidaklah dapat disebut memperoleh kekuasaan berdasarkan
kebajikan (virtue) dan nasib baik (fortune). Cara itu seperti dipraktekkan
Agathocles yang membunuh secara biadab senator Syarcuse demi menduduki tahta
kekuasaan, memang bisa menjadikan mereka penguasa negara. Tetapi kata
Machiavelli penguasa itu tidak akan dihormati dan dipuja sebagai pahlawan.
Apalagi setelah berkuasa ia menjadikan kekerasan, kekejaman dan perbuatan keji
lainnya sebagai bagian dari kehidupan politik sehari-hari. Machiavelli
menyimpulkan bahwa cara-cara itu hanya akan menjadikan sang penguasa berkuasa
tetapi tidak menjadikannya terhormat, pahlawan atau orang besar.
Machiavelli menyarankan kalaupun
seorang penguasa boleh melakukan kekejaman dan menggunakan “cara binatang”
hendaknya dilakukan tidak terlalu sering. Setelah melakukan tindakan itu, ia
harus bisa mencari simpati dan dukungan rakyatnya dan selalu berjuang demi
kebahagiaan mereka. Dia juga harus berusaha agar selalu membuat rakyat
tergantung kepadanya. Kearifan dan kasih sayang terhadap rakyat, kata
Machiavelli , akan bisa meredam kemungkinan timbulnya pembangkangan. Penguasa
yang dicintai rakyatnya tidak perlu takut terhadap pembangkangan sosial. Inilah
menurut Machiavelli usaha yang paling penting yang harus dilakukan seorang
penguasa.
Dalam sejarah agama kuno, menurut
machiavelli, hanya nabi-nabi bersenjata (the armed prophets) dan
memiliki kekuatan militer yang berhasil memperjuangkan misi kenabiannya.
Sedangkan para nabi yang tidak bersenjata, betapa baik dan sakralnya misi yang
mereka bawa, akan mengalami kekalahan karena tidak memiliki kekuatan militer .
Atas dasar asumsi itu machiavelli menilai keberadaan angkatan perang yang kuat
sebagai suatu keharusan yang dimilki negara. Machiavelli menyadari benar akan
pentingnya angkatan bersenjata bagi seorang penguasa negara. Angkatan
bersenjata, menurut Machiavelli merupakan basis penting seorang penguasa
negara. Ia merupakan manifestasi nyata kekuasaan negara. Penguasa yang tidak
memiliki tentara sendiri akan mudah goyah dan diruntuhkan kekuasaannya. Menurut
Machiavelli sungguh berbahaya menggunakan tentara sewaan. Kalau seorang
penguasa mengandalkan tentara sewaan, ketenangan dan keamanan negara tidak bisa
dijamin. Negara mudah goyah. Machiavelli menyebutkan alasan-alasan mengapa
demikian. Tentara sewaan katanya tidak bisa disatukan, haus akan kekuasaan,
tidak berdisiplin, tidak setia kepada penguasa (yang menyewa mereka), tidak
memiliki rasa takut kepada Tuhan, tidak memiliki tanggung jawab, tidak setia
terhadap sesama rekan mereka, dan menghindarkan diri dari peperangan.
Kehancuran Italia pad masa hidup
Machiavelli adalah karena negaranya mengandalkan tentara sewaan itu selama
bertahun-tahun dan tidak memiliki tentara sendiri. Pengalaman sejarah
membuktikan hanya para penguasa dan negara republik yang memiliki tentara kuat
berhasil baik, dan penggunaan tentara bayaran hanya mendatangkan kekalahan.
Sejarah Romawi dan Sparta menunjukkan kebenaran pendapat itu. Kedua negara itu
mampu bertahan karena memiliki tentara sendiri, sedangkan negara Chartago
dikalahkan karena tidak memiliki tentara sendiri dan mengandalkan tentara
bayaran.
Gagasan Machiavelli ini, menurut hemat
saya merupakan refleksi pengalaman pribadinya menyaksikan ‘pengkhianatan’
pemimpin tentara bayaran Vitelli terhadap negaranya.
Begitu pentingnya militer bagi suatu
negara dan usaha mempertahankan kekuasaan, maka penguasa harus menjadikan
keahlian kemiliteran sebagai barang miliknya yang paling berharga. Ia juga
harus senantiasa belajar ilmu perang dan bertempur. Oleh karena itu seorang
penguasa tidak boleh lengah untuk selalu memikirkan dan melatih dirinya dalam
latihan perang dan kemiliteran (exercise of war). Intensitasnya
melakukan latihan perang di masa damai harus lebih besar daripada di masa
perang. Saat-saat damai hendaknya dijadikan persiapan untuk menghadapi perang.
Tidak ada perdamaian tanpa persiapan matang untuk perang.
Dalam latihan perang, penguasa dan
tentaranya harus selalu disiplin dan terbiasa hidup dengan cara keras. Dengan
demikian tubuhnya akan terbiasa dengan penderitaan. Untuk memenangkan
peperengan mereka harus mengetahui ilmu tntang alam, tanah, dan sungai-sungai.
Maka dalam latihan perang tercakup pelajaran mengenai strategi bagaimana bisa
tetap hidup (how to survive), mendaki gunung dan lembah, menyusuri
sungai-sungai dan rawa-rawa. Semua pengetahuan ini menurut Machiavelli penting
setidaknya untuk dua hal.
1. Tentara dan
penguasa mengetahui persis keadaan negaranya.
2. Mengerti
cara bagaimana mempertahankannya dari serangan musuh.
Dengan memiliki pengetahuan dan
pengalaman menjelajahi bukit, gunung dan menyusuri sungai maupun rawa-rawa pada
suatu bagian tertentu di negaranya, maka ia akan memahami kawasan-kawasan lain
yang memiliki karakteristik serupa dengan kawasan yang dipelajari dan
ditelusurinya itu. Dengan mengetahui satu wilayah, ia akan mudah memahami
wilayah-wilayah di negara lainnya. Dengan memiliki pengetahuan itu juga tentara
dan penguasa akan mudah menemukan musuh-musuhnya dan merebut markas-markas
tentara yang dikuasai musuh-musuh mereka.
Untuk memahami segala seluk beluk
mengenai perang dan tentara, Machiavelli juga menyarankan kepada penguasa agar
selalu belajar dari pengalaman penguasa atau kaisar-kaisar lain di masa lalu.
Misalnya mempelajari bagaimana cara bertempur yang baik, mempertahankan diri
dari serangan musuh, melakukan serangan balasan yang efektif dan cara-cara
bagaimana mereka memenangkan suatu peperangan dan sebagainya. Seorang penguasa
tidak perlu malu-malu untuk mencontoh keberhasilan-keberhasilan mereka. Menurut
Machiavelli, cara belajar demikianlah yang dilakukan Alexander Agung yang
mencontoh Achilles, Caesar dan Scipio Syrus. Inilah sumbangan penting pemikiran
Machiavelli bagi perkembangan teori-teori perang dan kemiliteran.
The Prince juga
menguraikan tentang perlunya penguasa mempelajari sifat-sifat terpuji dan yang
tak terpuji. Dia harus berani melakukan tindakan tidak terpuji – kejam, bengis,
khianat, kikir – asalkan itu baik bagi negara dan kekuasaannya. Untuk mencapai
tujuan, cara apapun bisa digunakan (the ends justify the means). Oleh karena
itu penguasa tidak perlu takut untuk tidak dicintai,asalkan ia tidak dibenci rakyat.
Dengan kata lain, penguasa harus
pandai-pandai menggunakan cara-cara manusia dan cara binatang bila saat-saat
tertentu dibutuhkan. Asumsi ini muncul di benak Machiavelli karena menurutnya
manusia memiliki dua sifat yang bertentangan, yaitu sifat manusia – tulus,
penyayang, baik, pemurah, tetapi juga memiliki sifat-sifat binatang atau sifat
tak terpuji, jahat, kikir, bengis, dan kejam. Kedua sifat manusia yang
paradoksal ini membawa implikasi terhadap cara menangani persoalan politik.
Cara penanganan persoalan politik dengan ‘cara manusia’, misalnya lewat
prosedur hukum dan pengadilan, tidak efektif tanpa disertai ‘cra binatang’.
Tetapi bisa terjadi sebaliknya, cara binatang juga tidak efektif tanpa
menggunakan cara manusia. Kedua cara itu ibarat two sides of the same coin
(dua sisi pada satu koin yang sama).
Machiavelli berpendapat bahwa penguasa
negara bisa menggunakan cara binatang, terutama ketika menghadapi lawan-lawan
politiknya. Dalam The Prince dikemukakan bahwa seorang penguasa bisa
menjadi singa (lion) di satu saat, dan menjadi rubah (fox) di
saat lainnya. Menghadapi musuhnya yang ganas bagai seekor serigala, penguasa
hendaknya bisa berperangai seperti singa, karena dengan cara itulah ia bisa
mengalahkan lawannya. Tetapi penguasa harus bersikap seperti rubah bila lawan
yang dihadapinya adalah perangkap-perangkap musuh. Bukan singa yang mampu
mengendus perangkap-perangkap itu, melainkan rubah. Rubah amat peka dengan
perangkap yang akan menjerat dirinya.
Bertitik tolak dari premis itu,
Machiavelli berpendapat bahwa seorang penguasa ideal adalah Archilles yang
belajar jadi penguasa dari Chiron. Chiron adalah mahluk berkepala manusia
berbadan dan berkaki kuda dalam mitologi Yunani kuno. Artinya, seorang penguasa
harus memiliki watak manusia dan watak kebinatangan pada saat yang sama.
Machiavelli menulis bahwa dengan belajar dari mahluk seperti Chiron, penguasa
diharapkan bisa mengetahui bagaimana menggunakan sifat manusia dan sifat
binatang. Menggunakan salah satu cara berkuasa tanpa cara lainnya tidak akan
berhasil.
2.4. Tentang
Machiavelli dan Nasihat Machiavelli dalam Politik dan Kekuasaan.

Machiavelli lahir tanggal 3 Mei 1469
di Florence, Italia, keturunan keluarga kuno Tuscan. Ayahnya adalah seorang
dokter dibidang hukum. Beliau menikah dengan Marietta Corsini tahun 1501, dan punya
lima anak selain itu juga Machiavelli belajar pada beberapa guru.
Niccolo Machiavelli, termasyhur karena nasihatnya yang
blak-blakan bahwa:
“Seorang penguasa yang ingin tetap berkuasa dan memperkuat
kekuasaannya haruslah menggunakan tipu muslihat, licik dan dusta, digabung
dengan penggunaan kekejaman penggunaan kekuatan” http://media.isnet.org/iptek/index/Machiavelli.html.
The Prince dapat dianggap nasihat praktek terpenting buat
seorang kepada negara. Pikiran dasar buku ini adalah, untuk suatu keberhasilan,
seorang Penguasa harus mengabaikan pertimbangan moral sepenuhnya dan mengandalkan
segala, sesuatunya atas kekuatan dan kelicikan. Machiavelli menekankan di atas
segala-galanya yang terpenting adalah suatu negara mesti dipersenjatai dengan
baik. Dia berpendapat, hanya dengan tentara yang diwajibkan dari warga negara
itu sendiri yang bisa dipercaya; negara yang bergantung pada tentara bayaran
atau tentara dari negeri lain adalah lemah dan berbahaya.
Machiavelli menasihatkan sang Pangeran agar dapat dukungan
penduduk, karena kalau tidak, dia tidak punya sumber menghadapi kesulitan.
Tentu, Machiavelli maklum bahwa kadangkala seorang penguasa baru, untuk
memperkokoh kekuasaannya, harus berbuat sesuatu untuk mengamankan kekuasaannya,
terpaksa berbuat yang tidak menyenangkan warganya. Dia usul, meski begitu untuk
merebut sesuatu negara, si penakluk mesti mengatur langkah kekejaman sekaligus
sehingga tidak perlu mereka alami tiap hari kelonggaran harus diberikan sedikit
demi sedikit sehingga mereka bisa merasa senang.
Untuk mencapai sukses, seorang Pangeran harus dikelilingi
dengan menteri-menteri yang mampu dan setia Machiavelli memperingatkan Pangeran
agar menjauhkan diri dari penjilat dan minta pendapat apa yang layak dilakukan.
Menurut Asvi Warman Adam bahwa “Sejarah mengajarkan kepada kita apa yang tidak
dapat kita lihat, untuk memperkenalkan kita kepada penglihatan yang kabur sejak
kita lahir”. Wineburg (2006: vii) Namun menurut kami tujuan dari sejarah
mengajarkan kita sebuah cara menentukan pilihan untuk memptertimbangkan
berbagai pendapat untuk membawakan berbagai kisah dan meragukan sendiri bila
perlu kisah-kisah yang kita bawakan.
BAB 3
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
Karya Machiavelli sendiri berakar
dalam pada jalannya karena ia bukan contoh pertama penulis melaikan partisipan
aktif dalam kehidupan politik yang tak setabil yang kacau di tempat asalnya
Florence. Sebenarnya Machiavelli bertujuan mendedikasikan The Frince untuk
salah satu anggota Medici dengan harapan mereka mengajaknya kembali mengurusi
kepentingan Publik (Public Service) ia menulis surat tentang maksud itu
kepada Lorenzo baru, namun tetap diragukan surat itu sebelum kematian Lorenzo
pada 1519. Yang pasti The Prince beredar dalam bentuk naskah dan di jiplak.
Machiavelli meninggal pada 21 Juli 1527 dan belum diterbitkan dan lima tahun
kemudian setelah kematian Machiavelli pada 1532 buku tersebut diterbitkan.
Nasehat-nasehatnya bahwa:
“Seorang penguasa yang ingin tetap
berkuasa dan memperkuat kekuasaannya haruslah menggunakan tipu muslihat, licik
dan dusta, digabung dengan penggunaan kekejaman penggunaan kekuatan”.
3.2. Saran
Peristiwa
Vitelli. Vitelli adalah nama seorang pemimpin tentara bayaran (condottire). Ia
disewa pemerintah Florence untuk merebut Pisa, tetapi karena orang-orang Pisa
memberikan bayaran lebih besar dari pemerintah Florence, mereka menghentikan
serangan terhadap Pisa. Ini merupakan peristiwa memalukan bagi rakyat dan
negara Italia. Bagi Machiavelli sendiri peristiwa ini memberikan pelajaran
berharga bahwa suatu negara seperti Italia harus memiliki tentara sendiri.
Tentara bayaran itu sehebat apapun tidak bisa dipecaya karena mudah berkhianat.
Maka menurut Machiavelli, Italia harus membentuk angkatan perang sendiri yang
tangguh, loyal dan mampu berjuang mati-matian demi negara Italia. Hanya dengan
memiliki angkatan perang yang tangguh, Italia disegani oleh negara-negara
lawannya
dan janji orang lain.
DAFTAR PUSTAKA
Machiavelli, Niccolo. (2008). THE
PRINCE Sang Penguasa diterjemahkan Natalia Trijaji. Surabaya: Selasar
Surabaya Publishing.
Sjamsuddin, helius. (2007). Metodologi
Sejarah. Yogyakarta: Ombak
Supardan, Dadang. (2008).
Pengantar Ilmu Sosial Sebuah Kajian Pendekatan Struktural. Jakarta: Bumi
Aksara.
Syam, Firdaus. (2007). PEMIKIRAN
POLITIK BARAT Sejarah, Filsafat, Ideologi, dan Pengaruhnya Terhadap Dunia Ke-3.
Jakarta: Bumi Aksara.
Wineburg, Sam. Berfikir Historis
Memetakan Masa Depan, Mengajarkan Masa Lalu diterjemahkan Marsi Maris.
Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Sumber Internet:
Michael H. Hart. (1978). Seratus
Tokoh yang Berpengaruh dalam Sejarah, Terjemahan H. Mahbub Djunaidi, 1982.
[Online]. Tersedia: http://media.isnet.org/iptek/100/index/Machiavelli.html [30 Maret 2009]
Zifana, Mahardhika. (2008) Gagasan-Gagasan
Politik Machiavelli. [Online]. Tersedia: http://mahardhikazifana.com/religion-philosophy-agama-filsafat/gagasan-gagasan-politik-machiavelli.html
[30 Maret 2009]
No comments:
Post a Comment