Sunday, November 26, 2017

LEMBAGA-LEMBAGA PENDIDIKAN ISLAM



A.    Latar Belakang Masalah
Lembaga pendidikan merupakan hal yang sangat penting dalam mencapai keberhasilan proses pendidikan karena lembaga berfungsi sebagai mediator dalam mengatur jalannya pendidikan. Pada zaman sekarang ini tampaknya tidaklah disebut pendidikan jika tidak ada lembaganya.
Lembaga pendidikan dewasa ini juga sangat mutlak keberadaannya bagi kelancaran proses pendidikan. Apalagi lembaga pendidikan itu dikaitkan dengan konsep islam. Lembaga pendidikan islam merupakan suatu wadah dimana pendidikan dalam ruang lingkup keislaman melaksanakan tugasnya demi tercapainya cita-cita umat islam.
Keluarga, masjid, pondok pesantren, madrasah dan perguruan tinggi islam merupakan bentuk lembaga-lembaga pendidikan islam yang mutlak diperlukan di suatu negara secara umum atau disebuah kota secara khususnya, karena lembaga-lembaga itu ibarat mesin pencetak uang yang akan menghasilkan sesuatu yang sangat berharga, yang mana lembaga-lembaga pendidikan itu sendiri akan mencetak sumber daya manusia yang berkualitas dan mantap dalam aqidah keislaman. Oleh karena itu, dalam makalah ini penulis akan membahas masalah yang berkaitan dengan lembaga pendidikan islam tersebut, yaitu terkait konsep dan jenis-jenis lembagapendidikan Islam.
B.     Rumusan Masalah
Dari latar belakang diatas penulis dapat memberikan beberapa rumusan masalah, yaitu:
1.      Bagaimana Bentuk dan Jenis-jenis Lembaga Pendidikan Islam ?
2.      Bagaimana Manajemen dalam meningkatkan Mutu Lembaga Pendidikan Islam ?

C.    Tujuan
Adapun tujuan dalam penulisan karya ilmiah ini, yaitu:
1.      Untuk  Mengetahui Bentuk dan Jenis-jenis Lembaga Pendidikan Islam.
2.      Untuk Mengetahui Manajemen dalam Meningkatkanan Mutu Lembaga Pendidikan Islam.


BAB II
PEMBAHASAN
A.    Bentuk dan Jenis-jenis Lembaga Pendidikan Islam
Sebelum terlalu jauh membahas tentang Bentuk dan Jenis-jenis lembaga pendidikan islam, penulis akan membahas lebih dahulu yaitu pengertian lembaga pendidikan islam agat nantinya pembaca dapat menyatukan persepsi tentang lembaga itu sendiri.
Dalam bahasa inggris, lembaga disebut institute (dalam pengertian fisik), yaitu sarana atau organisasi untuk mencapai tujuan tertentu, dan lembaga dalam pengertian non-fisik atau abstrak disebut institution, yaitu suatu sistem norma untuk memenuhi kebutuhan. Lembaga dalam pengertian fisik disebut juga dengan bangunan, dan lembaga dalam pengertian nonfisik disebut dengan pranata.[1]
Badan/lembaga pendidikan, menurut Ahmad D Marimba dalam Bukhori Umar bahwa organisasi atau kelompok manusia yang karena satu dan lain hal memikul tanggung jawab pendidikan kepada peserta didik sesuai dengan badan tersebut.[2]
Lembaga pendidikan Islam ialah suatu bentuk organisasi yang diadakan untuk mengembangkan lembaga-lembaga Islam yang baik, yang permanen, maupun yang berubah-ubah dan mempunyai struktur tersendiri yang dapat mengikat individu yang berada dalam naungannya, sehingga lembaga ini mempunyai kekuatan hokum tersendiri.
Pendidikan Islam termasuk masalah sosial, sehingga dalam kelembagaannya tidak terlepas dari lembaga-lembaga sosial yang ada. Lembaga tersebut juga institusi atau pranata, sedangkan lembaga sosial adalah suatu bentuk organisasi yang tersusun relatif tepat atas pola-pola tingkah laku, peranan-peranan dan relasi-relasi yang yang terarah dalam mengikat individu yang mempunyai otoritas formal dan sangsi hukum, guna tercapainya kebutuhan-kebutuhan sosial dasar.
Adapun Bentuk-bentuk dan Jenis-jenis lembaga pendidikan islam yaitu diantaranya sebagai berikut:
1.      Lembaga Pendidikan Informal (Keluarga)
Lembaga Pendidikan Informal ialah lembaga pendidikan yang terjadi di lingkungan keluarga, dimana keluarga merupakan wadah pertama kali seorang anak memperoleh didikan dan bimbingan langsung oleh anggota keluarganya terutama orang tua. Anak akan lebih sering dan banyak menerima asupan pendidikan islam di lingkungan keluarga, sehingga pendidikan informal ini sangat diutamakan. Pendidikan di lingkungan keluarga ini pun tidak mengenal ruang dan waktu, bisa dilakukan kapan saja dan sampai kapanpun tanpa ada batasan usia. Dalam Islam, keluarga dikenal dengan istilah usrah, nasl, ‘ali, dan nasb. Keluarga dapat diperoleh melalui keturunan (anak, cucu), perkawinan (suami, istri), persusuan, dan pemerdekaan.[3] Pentingnya serta keutamaan keluarga sebagai lembaga pendidikan islam diisyaratkan dalam al-Quran Surat at-Tahrim [66] ayat 6:
$pkšr'¯»tƒ tûïÏ%©!$# (#qãZtB#uä (#þqè% öä3|¡àÿRr& öä3Î=÷dr&ur #Y$tR $ydߊqè%ur â¨$¨Z9$# äou$yfÏtø:$#ur $pköŽn=tæ îps3Í´¯»n=tB ÔâŸxÏî ׊#yÏ© žw tbqÝÁ÷ètƒ ©!$# !$tB öNèdttBr& tbqè=yèøÿtƒur $tB tbrâsD÷sムÇÏÈ  
Terjemahnya : Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.[4]
Sebagai pendidikan yang pertama dan utama, pendidikan keluarga dapat mencetak anak agar mempunyai kepribadian yang kemudian dapat dikembangkan dalam lembaga-lembaga berikutnya, sehingga wewenang lembaga-lembaga tersebut tidak diperkenankan mengubah apa yang telah dimilikinya, tetapi cukup dengan mengombinasikan antara pendidikan yang diperoleh dari keluarga dengan pendidikan lembaga tersebut, sehingga masjid, pondok pesantren dan sekolah merupakan tempat peralihan dari pendidikan keluarga.[5]
Agar dalam lingkungan keluarga pendidikan dapat teratur dengan baik maka yang perlu dilakukan orang tua sebagai pendidik adalah:
a)      Korektor, yaitu bagi perbuatan yang baik dan yang buruk agar anak memiliki kemampuan memilih yang terbaik bagi kehidupannya.
b)      Inspirator, yaitu yang memberikan ide-ide positif bagi pengembangan kreativitas anak.
c)      Informator, yaitu memberikan ragam informasi dan kemajuan ilmu pengetahuan kepada anak agar ilmu pengetahuan anak didik semakin luas dan mendalam.
d)     Organisator, yaitu memiliki kemampuan mengelola kegiatan pembelajaran anak yang baik sesuai al-Quran dan Hadis.
e)      Motivator, yaitu mendorong anak semakin aktif dan kreatif dalam belajar
f)       Inisiator, yaitu memiliki pencetus gagasan bagi pengembangan dan kemajuan pendidikan islam anak.
g)      fasilitator, yaitu menyediakan fasilitas pendidikan islam dan pembelajaran bagi kegiatan belajar anak.
h)      Pembimbing, yaitu membimbing dan membina anak ke arah kehidupan yang bermoral, rasional, dan berkepribadian luhur sesuai dengan nilai-nilai ajaran islam dan semua norma yang berlaku di masyarakat.

2.      Lembaga Pendidikan Non formal
Lembaga Pendidikan non formal ini didapat atau diperoleh dari lingkungan masyarakat. Apa yang terjadi di masyarakat merupakan pendidikan dan pembelajaran bagi setiap individu. Layanan pendidikan di lingkungan masyarakat ini dibutuhkan warganya sebagai tambahan, pengganti atau pelengkap dari pendidikan islam yang diperoleh di sekolah atau di rumah. Materi yang didapat bersifat praktis dan sesuai dengan tuntunan al-Quran dan al-Hadits. Pembelajaran ini diperoleh secara langsung atau praktik. Program yang dibuatpun sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Berbeda dengan pendidikan formal dan in formal, dimana pendidikan di masyarakat tidak mengenal jenjang usia dan waktu yang tak ditentukan.
Adapun jenis-jenis lembaga pendidikan islam yang non formal yaitu diantaranya sebagai berikut:
a.       Masjid
Secara harfiah, Masjid adalah “tempat untuk bersujud”. Namun, dalam arti terminologi, masjid diartikan sebagai tempat khusus untuk melakukan aktivitas ibadah dalam arti yang luas.[6] Dalam bahasa Indonesia, masjid diartikan rumah tempat shalat bagi orang Islam. Di dalam bahasa inggris, kata masjid merupakan terjemahan dari kata mosque.[7]
Pendidikan Islam tingkat pemula lebih baik dilakukan di masjid sebagai lembaga pengembangan pendidikan keluarga, sementara itu dibutuhkan sutau lingkaran (lembaga) dan ditumbuhkannya. Dewasa ini, fungsi masjid mulai menyempit, tidak sebagaimana pada zaman Nabi saw. Hal itu terjadi karena lembaga-lembaga sosial keagamaan semakin memadat, sehingga masjid terkesan sebagai tempat ibadah shalat saja. Pada mulanya, masjid merupakan sentral kebudayaan masyarakat Islam, pusat organisasi kemasyarakatan, pusat pendidikan, dan pusat pemukiman, serta sebagai tempat ibadah  dan I’tikaf.
Menurut Abuddin Nata, terdapat dua peran yang dilakukan di masjid. Pertama, peran masjid sebagai lembaga pendidikan informal dan nonformal. Peran masjid sebagai lembaga pendidikan informal dapat dilihat dari segi fungsinya sebagai tempat ibadah shalat lima waktu, berzikir dan berdo’a. Pada semua kegiatan ibadah tersebut terdapat nilai-nilai pendidikan mental spiritual yang amat dalam. Adapun peran masjid sebagai lembaga pendidikan nonformal dapat terlihat dari sejumlah kegiatan pendidikan dan pengajaran dalam bentuk halaqah (lingkaran studi) yang dipimpin oleh seorang ulama dengan materi utamanya tentang ilmu agama Islam dengan berbagai cabangnya. Kegiatan tersebut berlangsung mengalir sedemikian rupa, tanpa sebuah aturan formal yang tertulis dan mengikat secara kaku. Kedua, peran masjid sebagai lembaga pendidikan sosial kemasyarakatan dan kepemimpinan. Hal-hal yang berkaitan dengan kepentinagan masyarakat dapat dipelajari di masjid dengan cara melibatkan diri dalam berbagai kegiatan yang bersifat amaliah. Mereka yang banyak terlibat dan aktif dalam berbagai kegiatan di masjid akan memiliki bekal pengetahuan, keterampilan, dan kemandirian dalam melaksanakan tugas-tugas kemasyarakatan dan kepemimpinan.[8]
Masjid akan berfungsi dengan efektif jika diatur dengan baik yaitu melalui kerja sama antara pengurus masjid dengan masyarakat baik itu yang berkaitan dengan pendidikan maupun yang terkait dengan pendanaan.
3.      Lembaga Pendidikan formal
Lembaga Pendidikan Formal yaitu sebuah lembaga pendidikan yang memiliki aturan-aturan, teratur dan sistematis serta memiliki tingkat jenjang pendidikan yang dimulai dari tingkat SD sampai dengan Perguruan Tinggi. Pendidikan formal ini memiliki batas usia yang berlaku dari SD hingga SLTA. Wadah pendidikan ini ialah sekolah dan memiliki banyak perbedaan dengan pendidikan yang diperoleh di lingkungan keluarga. Dalam pendidikan formal ini proses belajarnya diatur, tingkatan kelas yang berbeda-beda, mengikuti aturan kurikulum, materi pelajaran bersifat intelektual, akademis dan berkesinambungan serta memiliki anggaran atau biaya pendidikan yang ditentukan sesuai dengan peraturan yang telah ditetapkan.
Adapun jenis-jenis lembaga pendidikan islam yang formal yaitu diantaranya sebagai berikut:
a.       Pondok Pesantren
Kehadiran kerajaan Bani Umaiyah menjadikan pesatnya ilmu pengetahuan, sehingga anak-anak masyarakat Islam tidak hanya belajar di masjid tetapi juga pada lembaga-lembaga yang ketiga, yaitu “kuttab” (pondok pesantren). Kuttab, dengan karateristik khasnya, merupakan wahana dan lembaga pendidikan Islam yang semula sebagai lembaga baca dan tulis dengan sistem halaqah (sistem wetonan). Pada tahap berikutnya kuttab mengalami perkembangan pesat karena didukung oleh dana dari iuran masyarakat serta adanya rencana-rencana yang harus dipatuhi oleh pendidik dan peserta didik.
Menurut para ahli pesantren baru dapat disebut pesantren bila memenuhi lima syarat, yaitu: (1) ada kiai, (2) ada pondok, (3) ada masjid, (4) ada santri, (5) ada pelajaran membaca kitab kuning.[9]
Adapun ciri dari pendidikan pondok pesantren menurut Bahri Ghazali yaitu:[10]
1)      Adanya hubungan yang akrab antara santri dengan kyai/ustaz.
2)      Tunduknya santri kepada kyai/ustaz.
3)      Hidup hemat dan sederhana benar-benar dilakukan dalam pondok pesantren.
4)      Pendidkan disiplin sangat ditekankan dalam kehidupan pondok pesantren.
5)      Jiwa tolong menolong dan persaudaraan sangat mewarnai pergaulan di pondok pesantren. Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam surah al-Maidah [05] ayat 2:
(#qçRur$yès?ur n?tã ÎhŽÉ9ø9$# 3uqø)­G9$#ur ( Ÿwur (#qçRur$yès? n?tã ÉOøOM}$# Èbºurôãèø9$#ur 4 (#qà)¨?$#ur ©!$# ( ¨bÎ) ©!$# ߃Ïx© É>$s)Ïèø9$# ÇËÈ
Terjemahnya: Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. dan bertakwalah kamu kepada Allah, Sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya.[11]
Seiring perkembangan dunia yang begitu cepat telah memunculkan respon dan spekulasi yang beragam tentang pengelolaan pesantren. Pada era globalisasi ini pondok pesantren harus berusaha meningkatkan mutu dan manajemen secara profesional. Dalam hal ini, eksistensi pondok pesantren daalam menyikapi perkembangan zaman, tentunya memiliki komitmen untuk tetap menyuguhkan pola pendidikan yang mampu melahirkan sumber daya manusia yang handal. Kekuatan otak (berfikir), hati (keimanan), dan tangan (keterampilan), merupakan modal utama untuk membentuk pribadi santeri yang mampu menyeimbangi perkembangan zaman.
Manajemen pondok pesantren yang perlu dikembangkan menurut M. Sobry Sutikno bahwa: Setidaknya ada tiga yang perlu dikembangkan dalam sistem pesantren dan sistem pendidikan secara umum yaitu:
1)      Sistem asrama. Untuk mencega akses-akses negatif asrama, maka sistem asrama masa depan harus mampu berfungsi sebagai forum dialog untuk mengembangkan ilmu dan kepribadian yang seimbang antara kepribadian individual dan kolektif.
2)      Metode pengajaaran. Untuk mencegah metode-metode di pesantren itu berjalan di tempat maka pendidik perlu mengembangkan metode dari model pertanyaan pendidik ke peserta didik perlu diubah dan ditingkatkan menjadi dialog pendidik dan peserta didik.
3)      Jenis kepemimpinan. Kepemimpinan karismatik (agama) perlu dilengkapi atau dikembangkan dengan kepemimpinan rasional (ilmu), agar lebih mampu menghadapi tantangan zaman.[12]
Pondok pesantren kini mengalami transformasi kultur, sistem dan nilai. Pondok pesantren yang dikenal dengan salafiyah (kuno) kini telah berubah menjadi khalafiyah (modern). Transformasi tersebut sebagai jawaban atas kritik-kritik yang diberikan pada pesantren dalam arus transformasi ini, sehingga dalam sistem dan kultur pesantren terjadi perubahan yang drastis, misalnya:
1)      Perubahan sistem pengajaran dari perseorangan atau serogan menjadi sistem klasikal yang kemudian kita kenal dengan istilah madrasah (sekolah).
2)      Pemberian pengetahuan umum disamping masih mempertahankan pengetahuan agama dan bahasa arab.
3)      Bertambahnya komponen pendidikan pondok pesantren, misalnya keterampilan sesuai dengan kemampuan dan kebutuhan masyarakat sekitar, kepramukaan untuk melatih kedisiplinan dan pendidikan agama, kesehatan dan olahraga, serta kesenian yang islami.
4)      Lulusan pondok pesantren diberikan syahadah (ijazah) sebagai tanda tamat dari pesantren tersebut dan ada sebagian syahadah tertentu yang nilainya sama dengan ijazah negeri.
b.      Madrasah
Madrasah adalah isim masdar dari kata darasa yang berarti sekolah atau tempat untuk belajar. Dalam perkembangan selanjutnya, madrasah sering dipahami sebagai lembaga pendidikan yang berbasis keagamaan. Adapun sekolah sering dipahami sebagai lembaga pendidikan yang berbasis pada ilmu pengetahuan pada umumnya. Madrasah sebagai lembaga pendidikan merupakan fenomena yang merata di seluruh negara, baik pada negara-negara Islam, maupun negara lainnya yang di dalamnya terdapat komunitas masyarakat Islam.[13]
Kehadiran madrasah sebagai lembaga pendidikan Islam setidaknya mempunyai empat latar belakang, yaitu:
1)      Sebagai manifestasi dan realisasi pembaharuan sistem pendidikan Islam.
2)      Usaha penyempurnaan terhadap sistem pesantren ke arah suatu sistem pendidikan yang lebih memungkinkan lulusannya untuk memperoleh kesempatan yang sama dengan sekolah umum, misalnya masalah kesamaan kesempatan kerja dan perolehan ijazah.
3)      Adanya sikap mental pada sementara golongan umat Islam, khususnya santri yang terpukau pada Barat sebagai sistem pendidikan mereka; dan
4)      Sebagai upaya untuk menjembatani antara sistem pendidikan tradisional yang dilakukan oleh pesantren dan sistem pendidikan modern dari hasil akulturasi.
Menurut Abuddin Nata, khususnya di Indonesia dinamika pertumbuhan dan perkembangan madrasah jauh lebih kompleks dibandingkan dengan dinamika pertumbuhan dan perkembangan madrasah di negara lain. Selain terdapat madrasah diniyah yang kurikulumnya terdiri dari mata pelajaran agama: al-Quran, al-Hadis, Fiqh/Ushul fiqh, Aqidah Akhlak, Sejarah Islam dan bahasa Arab juga terdapat madrasah sebagai sekolah umum yang berciri khas agama, mulai dari tingkat Ibtidaiyah hingga Aliyah. Madrasah Diniyah dimaksudkan untuk membangun sikap keberagamaan dan pemahaman terhadap materi agama yang kuat, dan hanya berlangsung hingga kelas empat. Adapun madrasah sebagai sekolah umum yang berciri khas agama dimaksudkan untuk membangun sikap keberagamaan (riligiusitas) bagi para pelajar yang nantinya akan menekuni bidang keahlian sesuai dengan pilihannya. Di antara madrasah tersebut sebagian besar rata-rata lebih dari 80% berstatus swasta, sedangkan sisanya berstatus madrasah negeri.[14]
Madrasah sebagai lembaga pendidikan merupakan wahana yang benar-benar memenuhi elemen-elemen institusi secara sempurna, yang tidak terjadi pada lembaga-lembaga pendidikan yang lain. Manajemen sistem madrasah ini juga memugkinkan adanya pengelompokan pelajaran-pelajaran tantang pengetahuan islam yang penyampaiannya dilakukan secara bertingkat-tingkat.
c.       Perguruan Tinggi Islam
Berbagai teroboan yang dilakukan oleh para tokoh islam untuk memperdayakan umat islam di indonesia dalam jalur pendidikan juga diwujudkan dengan mendirikan perguruan tinggi islam sebagai sebuah lembaga lanjutan.
Dari sisi tanggung jawab pengelolaan perguruan tinggi islam, menurut Mujamil Qohar dalam Sabry Sutikno bahwa: Perguruan Tinggi Agama Islam (PTAI) terpolarisasi menjadi dua, yaitu Perguruan Tinggi Islam Negeri (PTAIN) dan Perguruan Tinggi Agama Islam Swasta (PTAIS).[15]
Kelahiran Institit Agama Islam Negeri (IAIN) tidak lain karena usaha gigih ummat Islam, yang mayoritas di Indonesia ini, dalam usaha mengembangkan system pendidikan Islam yang lengkap, yang dimulai dari system pendidikan pesantren yang sederhana sampai ketingkat perguruantinggi.[16]
Perguruan Tinggi Islam Negeri dikelolah dan didanai hampis sepenuhnya oleh pemerintah/negara, sedangkan Perguruan Tinggi Agama Islam Swasta dikelolah dan didanai hampis sepenuhnya oleh masyarakat.
Dari segi ruang lingkup program studi yang ditawarkan Perguruan Tinggi Islam Negeri (PTAIN) terpolarisasi menjadi Sekolah  Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN), Institit Agama Islam Negeri (IAIN) dan Universitas  Islam Negeri (UIN), begitupun PTAIS terpolarisasi menjadi Sekolah  Tinggi, Institit, dan  Universitas dengan menggunakan nama islam maupun tokoh Muslim sebagai contohnya Universitas  Islam Makassar (UIM), Universitas  Muhammadiyah Makassar (Unismuh), Universitas  Muslim Indonesia (UMI) dan masi banyak lagi yang lain.
B.     Manajemen Peningkatkanan Mutu Lembaga Pendidikan Islam
Berbicara  masalah manajemen pendidikan islam, tidak terlepas dari lembaga pendidikan islam itu sendiri. Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam meningkatkan mutu lembaga pendidikan islam adalah:
  1. Pemerintah dan Masyarakat
Berangkat dari urgensi keberadaan lembaga pendidikan islam bagi keberhasilan pendidikan bangsa ini, maka sudah seharusnya pemerintah memberikan perhatian yang maksimal kepada seluruh lembaga pendidikan yang ada, tanpa membedakan latar belakang dan status mereka. Sudah merupakan kebutuhan dan keharusan bahwasanya lembaga pendidikan islam harus senantiasa ditingkatkan mutunya.
Meningkatkan mutu lembaga pendidikan demi tercapainya tujuan dan keberhasilan pendidikan nasional memang bukan hal yang mudah. Upaya ini harus benar-benar mendapatkan dukungan sepenuhnya dari berbagai pihak, agar dalam proses pelaksanaannya tidak tersendat-sendat dan keberhasilan dapat dicapai dengan mudah. Hal ini sesuai dalam al-Quran surah Ali Imran [03] ayat 159:
öNèdöÍr$x©ur Îû ͐öDF{$# ( #sŒÎ*sù |MøBztã ö@©.uqtGsù n?tã «!$# 4 ¨bÎ) ©!$# =Ïtä tû,Î#Ïj.uqtGßJø9$# ÇÊÎÒÈ
Terjemahnya:  Dan bermusyawaralah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, Maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya.[17]
Partisipasi dari seluruh elemen dalam hal ini ialah pemerintah, warga sekolah, orang tua siswa, tokoh agama dan seluruh tokoh masyarakat yang harus berperan aktif dalam meningkatkan mutu lembaga pendidikan melalui kerja sama yang solid. Partisipasi mereka sangat dibutuhkan dan menentukan, serta mendukung upaya peningkatan mutu lembaga pendidikan islam di negara ini.
Menurut Undang Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistim Pendidikan Nasional berubah pulalah pengaturan tentang peran serta masyarakat dalam dunia pendidikan. Pasal 54 Undang Undang Nomor 20 Tahun 2003 menyatakan bahwa:
a.       Peranserta masyarakat dalam pendidikan meliputi peran serta perseorangan, kelompok, keluarga, organisasi profesi pengusaha dan organisasi kemasyarakatan dalam penyelenggaraan dan pengendalian mutu pelayanan pendidikan.
b.      Masyarakat dapat berperanserta sebagai sumber pelaksana dan pengguna hasil pendidikan.[18]
Di sinilah peran-peran stake holders serta share holders sangat menentukan dalam sebuah lembaga pendidikan islam, manajemen memiliki tempat yang penting. Usaha untuk mewujudkan lembaga pendidikan yang representatif bagi masyarakat salah satunya didukung oleh manajemen lembaga pendidikan. Manajemen lembaga pendidikan yang sederhana tidak akan dapat mendukung upaya peningkatan mutu lembaga pendidikan. Dewasa ini, bukan rahasia lagi bila banyak sekolah miskin yang menerapkan manajemen ‘asal jalan’, kegiatan pendidikan tidak direncanakan dengan baik, bahkan terkadang sekolah dikelola oleh keluarga-keluarga dengan kepemimpinan yang otoriter.
  1. Kepala Lembaga Pendidikan Islam
Hampir setiap kajian manajemen termasuk manajemen pendidikan Islam tidak dapat menafikan pembahasan tentang kepemimpinan. Di dalam proses manajemen, kepemimpinan memegang posisi yang sangat penting sebagai kemampuan untuk mengarahkan dan meyakinkan bawahan atau staff agar secara ikhlas melakukan aktivitas kerjasama mencapai tujuan. Kepemimpinan menempati posisi strategis sebagai inti dari manajemen karena menjadi motor penggerak bagi berbagai sumber daya (manusia dan lainnya) yang tersedia dalam organisasi untuk mencapai tujuan
Menurut Terry bahwa keberadaan kepemimpinan dalam manajemen sebagai suatu yang alami dalam usaha mencapai tujuan organisasi. Beberapa dari anggota kelompok akan memimpin dan sebagian besar yang lain akan mengikuti. Kondisi ini didasarkan pada kenyataan, bahwa kebanyakan bawahan/staff menginginkan adanya orang lain yang menentukan, mengarahkan, memotivasi, membimbing dan mengawasi berbagai aktivitas yang perlu mereka kerjakan dan cara mengerjakannya.[19]
Oleh karena itu sukses dan tidaknya suatu lembaga pendidikan islam untik mencapai tujuan, sebagian besar ditentukan kualitas kepemimpinan seseorang yang diserahi tugas memimpin organisasi itu sendiri. Senada dengan hal tersebut Moedjiarto menyatakan, bahwa pemimpin dalam organisasi ibarat seorang empu pada bidang perkerisan. Empu yang baik tentu sangat memahami perbedaan antara keris yang bermutu tinggi dan keris yang bermutu rendah. Bahkan seorang empu juga mampu untuk membuat keris sakti bermutu tinggi dengan “luk” atau lekuk-lekuk yang berseni tinggi.[20]
Untuk mengatur lembaga pendidikan Islam, kepemimpinan juga memegang peranan yang sangat penting. Kepemimpinan ini dianggap sebagai pemicu perubahan dalam pengembangan mutu dan prestasi pendidikan Islam mulai dari lembaga informal, formal dan non formal.
Peter dan Austin dalam Edward Sallis mengatakan bahawa untuk mengembangkan lembaga pendidikan bermutu tinggi dibutuhkan nilai-nilai sebagai berikut:
  1. Visi dan simbol-simbol: Pemimpin pendidikan perlu mengkomunikasikan nilai-nilai institusi kepada para staf, pelajar, dan komunitas yang lebih luas.
  2. MBWA (Management by Walking About): Suatu penerapan gaya kepemimpinan yang lebih menekankan pada pelaksanaan/praktik. Gaya kepemimpinan ini sangat dibutuhkan bagi sebuah institusi.
  3. Fokus pada pelajar: Artinya institusi perlu memiliki fokus yang jelas terhadap pelanggan utamanya, yaitu peserta didik.
  4. Otonomi, eksperimentasi dan antisipasi terhadap kegagalan: Pemimpin pendidikan perlu melakukan inovasi diantara staf-stafnya dan bersiap-siap mengantisipasi kegagalan yang mengiringi inovasi tersebut.
  5. Menciptakan rasa kekeluargaan: Pemimpin perlu menciptkan rasa kekeluargaan di antara peserta didik, orangtua, masyarakat, guru, dan staf instansi.
  6. Ketulusan, kesabaran, semangat, intensitas, dan antusiasme: Sifat-sifat ini merupakan mutu personal yang esensial yang dibutuhkan pemimpin lembaga pendidikan.[21]
Dari nilai-nilai dasar kepemimpinan Islami yang telah diuraikan di atas perlu dijadikan rambu-rambu dalam pengambilan keputusan pendidikan yang ditetapkan dengan berdasarkan prinsip-prinsip kepemimpinan Islami. Hal ini akan mendapatkan hasil sesuai dengan surah as-Sajadah [32] ayat 24:
$oYù=yèy_ur öNåk÷]ÏB Zp£Jͬr& šcrßöku $tR͐öDr'Î/ $£Js9 (#rçŽy9|¹ ( (#qçR%Ÿ2ur $uZÏG»tƒ$t«Î/ tbqãZÏ%qムÇËÍÈ
Terjemahnya: Dan kami jadikan di antara mereka itu pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah kami ketika mereka sabar dan adalah mereka meyakini ayat-ayat kami.[22]
Kepemimpinan tersebut memerlukan berbagai keterampilan dan sifat sabar, serta komitmen terhadap prinsip-prinsip Islam yang terurai dalam al-Quran dan Hadits yang akan menjamin kepatuhan hakiki bawahan. Keberhasilan kepemimpin Islami dalam manajemen pendidikan Islam akan membawa pemberdayaan dan peningkatan mutu lembaga pendidikan Islam.







BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Lembaga pendidikan Islam adalah tempat berlangsungnya proses pendidikan Islam bersama dengan proses pembudayaan serta dapat mengikat individu yang berda dalam naungannya, sehingga lembaga ini menghasilkan manusi yang berguna bagi bangsa dan negara. Adapun jenis lembaga pendidikan islam, yaitu Keluarga, Masjid, Pondok Pesantren, Madrasah dan Perguruan Tinggi Islam.
Untuk  meningkatkan mutu lembaga pendidikan islam yang perlu diperhatikan adalah Partisipasi dari seluruh elemen dalam hal ini ialah pemerintah, pimpinan lembaga pendidikan islam, orangtua siswa, tokoh agama dan seluruh tokoh masyarakat yang harus berperan aktif dalam meningkatkan mutu lembaga pendidikan melalui kerja sama yang solid.
B.     Saran
Penulis yakin dalam pembuatan makalah ini masih banyak kekurangan dan kesalahan oleh karena itu kritik dan saran yang bersifat membangun sangat penulis harapkan. Semoga makalah ini bermanfaat bagi penulis khususnya berupa penambahan wawasan tentang lembaga pendidikan islam dan cara meningkatkan mutu lembaga pendidikan islam
Penulis hanya manusia biasa yang tidak terlepas dari kekurangan, maka dari itu penulis mohon maaf apabila ada kesalahan dalam penulisan maupun yang lain.
DAFTAR PUSTAKA

Edward Sallis. Total Quality Management in Education; Manajemen Mutu Pendidikan, Jogjakarta: Ircisod  2006
Ghazali, Bahri. Pesantren Berwawasan Lingkungan. Jakarta:  Prasasti 2003.
Hasbullah, Kapitaselekta Pendidikan Islam di Indonesia. Jakarta: PT Raja GrafindoPersada 2014
Moejiarto. Sekolah Unggul, Surabaya: Duta Graha Pustaka 2002.
Mujib, Abdul. Ilmu Pendidikan Islam, Cet ke II Jakarta:Kencana, 2008
Nata, Abuddin. Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: Kencana. 2010.
Ramayulis. Ilmu Pendidikan Islam, Cet ke.9. Jakarta: Kalam Mulia, 2011.
Sutikno, M. Sobry. Manejemen Pendidikan Langkah Praktis Mewujudkan Lembaga Pendidikan Yang Unggul. Lombok: Holistica 2012.
Tafsir, Ahmad. Ilmu Pendidikan Islam Dalam Perspektif Islam, Cet ke X Bandung: Rosda, 2010.
Terry. Prinsip-Prinsip Manajemen, Jakarta: Bumi Aksara 2003.
Tim Pustaka  Al-Kautsar, Mushaf Al-Qur’an Dan Terjemahnya, Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2009.
Umar, Bukhori. Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta: Amzah, 2010.
Undang-Undang Republik Indonesia No 20 Tahun 2003 Pasal 54 Tentang System Pendidikan Nasional, Cet V, Jakarta: Sinar Grafika Offset.


[1] Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Kalam Mulia, 2011), Cet ke.9, h. 277
[2] Bukhori Umar, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Amzah, 2010), h. 149

[3] Abdul Mujib dan Jusuf Mudzakkir, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta:Kencana, 2008), Cet ke 2, hlm. 226.
[4] Tim Pustaka  Al-Kautsar, Mushaf Al-Qur’an Dan Terjemahnya, Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2009. hlm. 560.
[5] Abdul Mujib dan Jusuf Mudzakkir, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta:Kencana, 2008), Cet ke 2, hlm. 227.
[6] Abdul Mujib dan Jusuf Mudzakkir, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta:Kencana, 2008), Cet ke 2, hlm. 231.
[7] Abuddin Nata, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Kencana, 2010). hlm. 102
[8] Abuddin Nata, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Kencana, 2010). hlm. 195
[9] Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan Islam Dalam Perspektif Islam, (Bandung: Rosda, 2010), Cet ke 10. hlm. 191.
[10] Bahri Ghazali, Pesantren Berwawasan Lingkungan. (Jakarta;  Prasasti 2003) hlm.17-18.
[11] Tim Pustaka  Al-Kautsar, Mushaf Al-Qur’an Dan Terjemahnya, Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2009, hlm. 106.
[12] M. Sobry Sutikno, Manejemen Pendidikan Langkah Praktis Mewujudkan Lembaga Pendidikan Yang Unggul. (Lombok: Holistica 2012) hlm. 186.
[13] Abuddin Nata, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Kencana, 2010). hlm. 199
[14] Abuddin Nata, Op. Cit., hlm. 201.
[15] M. Sobry Sutikno, Manejemen Pendidikan Langkah Praktis Mewujudkan Lembaga Pendidikan Yang Unggul. (Lombok: Holistica 2012) hlm. 186.
[16] Hasbullah, Kapitaselekta Pendidikan Islam di Indonesia. (Jakarta: PT Raja GrafindoPersada 2014)  hlm 102-103.
[17] Tim Pustaka  Al-Kautsar, Mushaf Al-Qur’an Dan Terjemahnya, Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2009, hlm. 71.
[18] Undang-Undang Republik Indonesia No 20 Tahun 2003 Pasal 54 Tentang System Pendidikan Nasional, Cet 5, (Jakarta: Sinar Grafika Offset)
[19] Terry. Prinsip-Prinsip Manajemen, (Jakarta: Bumi Aksara 2003) hlm 152.
[20] Moejiarto. Sekolah Unggul. (Surabaya: Duta Graha Pustaka 2002) hlm  79.
[21] Edward Sallis. Total Quality Management in Education; Manajemen Mutu Pendidikan (Jogjakarta: Ircisod  2006)  hlm. 170-171.

[22] Tim Pustaka  Al-Kautsar, Mushaf Al-Qur’an Dan Terjemahnya, Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2009, hlm. 417.

No comments:

Makalah: Mahabbah, Makrifah

BAB I PENDAHULUAN   A.      Latar Belakang Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi membawa manusia larut dan terbuai dalam din...