A. Latar Belakang Masalah
Lembaga pendidikan merupakan hal yang sangat penting dalam mencapai
keberhasilan proses pendidikan karena lembaga berfungsi sebagai mediator dalam
mengatur jalannya pendidikan. Pada zaman sekarang ini tampaknya tidaklah
disebut pendidikan jika tidak ada lembaganya.
Lembaga pendidikan dewasa ini juga sangat mutlak keberadaannya bagi
kelancaran proses pendidikan. Apalagi lembaga pendidikan itu dikaitkan dengan
konsep islam. Lembaga pendidikan islam merupakan suatu wadah dimana pendidikan
dalam ruang lingkup keislaman melaksanakan tugasnya demi tercapainya cita-cita
umat islam.
Keluarga, masjid, pondok pesantren, madrasah dan perguruan tinggi islam merupakan
bentuk lembaga-lembaga pendidikan islam yang mutlak diperlukan di suatu negara
secara umum atau disebuah kota secara khususnya, karena lembaga-lembaga itu
ibarat mesin pencetak uang yang akan menghasilkan sesuatu yang sangat berharga,
yang mana lembaga-lembaga pendidikan itu sendiri akan mencetak sumber daya
manusia yang berkualitas dan mantap dalam aqidah keislaman. Oleh karena itu,
dalam makalah ini penulis akan membahas masalah yang berkaitan dengan lembaga
pendidikan islam tersebut, yaitu terkait konsep dan jenis-jenis lembagapendidikan Islam.
B. Rumusan Masalah
Dari latar belakang diatas penulis dapat memberikan beberapa rumusan
masalah, yaitu:
1. Bagaimana
Bentuk dan Jenis-jenis Lembaga Pendidikan Islam ?
2.
Bagaimana Manajemen dalam
meningkatkan Mutu Lembaga Pendidikan Islam ?
C. Tujuan
Adapun tujuan dalam penulisan karya ilmiah ini, yaitu:
1. Untuk Mengetahui Bentuk dan Jenis-jenis Lembaga
Pendidikan Islam.
2.
Untuk Mengetahui Manajemen dalam
Meningkatkanan Mutu Lembaga Pendidikan Islam.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Bentuk dan
Jenis-jenis Lembaga Pendidikan Islam
Sebelum terlalu jauh membahas
tentang Bentuk dan Jenis-jenis lembaga pendidikan islam, penulis akan membahas
lebih dahulu yaitu pengertian lembaga pendidikan islam agat nantinya pembaca
dapat menyatukan persepsi tentang lembaga itu sendiri.
Dalam bahasa inggris, lembaga
disebut institute (dalam pengertian fisik), yaitu sarana atau organisasi
untuk mencapai tujuan tertentu, dan lembaga dalam pengertian non-fisik atau
abstrak disebut institution, yaitu suatu sistem norma untuk memenuhi
kebutuhan. Lembaga dalam pengertian fisik disebut juga dengan bangunan, dan
lembaga dalam pengertian nonfisik disebut dengan pranata.[1]
Badan/lembaga
pendidikan, menurut Ahmad D Marimba
dalam Bukhori Umar bahwa organisasi atau
kelompok manusia yang karena satu dan lain hal memikul tanggung jawab
pendidikan kepada peserta didik sesuai dengan badan tersebut.[2]
Lembaga
pendidikan Islam ialah suatu bentuk organisasi yang diadakan untuk
mengembangkan lembaga-lembaga Islam yang baik, yang permanen, maupun yang
berubah-ubah dan mempunyai struktur tersendiri yang dapat mengikat individu
yang berada dalam naungannya, sehingga lembaga ini
mempunyai kekuatan hokum tersendiri.
Pendidikan Islam termasuk masalah
sosial, sehingga dalam kelembagaannya tidak terlepas dari lembaga-lembaga
sosial yang ada. Lembaga tersebut juga institusi atau pranata, sedangkan
lembaga sosial adalah suatu bentuk organisasi yang tersusun relatif tepat atas
pola-pola tingkah laku, peranan-peranan dan relasi-relasi yang yang terarah
dalam mengikat individu yang mempunyai otoritas formal dan sangsi hukum, guna
tercapainya kebutuhan-kebutuhan sosial dasar.
Adapun Bentuk-bentuk dan Jenis-jenis
lembaga pendidikan islam yaitu diantaranya sebagai berikut:
1. Lembaga Pendidikan Informal (Keluarga)
Lembaga Pendidikan Informal ialah lembaga pendidikan
yang terjadi di lingkungan keluarga, dimana keluarga merupakan wadah pertama
kali seorang anak memperoleh didikan dan bimbingan langsung oleh anggota
keluarganya terutama orang tua. Anak akan lebih sering dan banyak menerima
asupan pendidikan islam di lingkungan keluarga, sehingga pendidikan informal
ini sangat diutamakan. Pendidikan di lingkungan keluarga ini pun tidak mengenal
ruang dan waktu, bisa dilakukan kapan saja dan
sampai kapanpun tanpa ada batasan usia. Dalam Islam, keluarga dikenal
dengan istilah usrah, nasl, ‘ali, dan
nasb. Keluarga dapat diperoleh melalui keturunan (anak, cucu), perkawinan
(suami, istri), persusuan, dan pemerdekaan.[3]
Pentingnya serta keutamaan keluarga sebagai lembaga pendidikan islam
diisyaratkan dalam al-Quran Surat at-Tahrim
[66] ayat 6:
$pkš‰r'¯»tƒ tûïÏ%©!$# (#qãZtB#uä (#þqè% öä3|¡àÿRr& öä3‹Î=÷dr&ur #Y‘$tR $ydߊqè%ur â¨$¨Z9$# äou‘$yfÏtø:$#ur $pköŽn=tæ îps3Í´¯»n=tB ÔâŸxÏî ׊#y‰Ï© žw tbqÝÁ÷ètƒ ©!$# !$tB öNèdttBr& tbqè=yèøÿtƒur $tB tbrâsD÷sムÇÏÈ
Terjemahnya : Hai orang-orang yang beriman, peliharalah
dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan
batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai
Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan
apa yang diperintahkan.[4]
Sebagai
pendidikan yang pertama dan utama, pendidikan keluarga dapat mencetak anak agar
mempunyai kepribadian yang kemudian dapat dikembangkan dalam lembaga-lembaga
berikutnya, sehingga wewenang lembaga-lembaga tersebut tidak diperkenankan
mengubah apa yang telah dimilikinya, tetapi cukup dengan mengombinasikan antara
pendidikan yang diperoleh dari keluarga dengan pendidikan lembaga tersebut,
sehingga masjid, pondok pesantren dan sekolah merupakan tempat peralihan dari
pendidikan keluarga.[5]
Agar dalam
lingkungan keluarga pendidikan dapat teratur dengan baik maka yang perlu
dilakukan orang tua sebagai pendidik adalah:
a)
Korektor, yaitu bagi perbuatan yang baik
dan yang buruk agar anak memiliki kemampuan memilih yang terbaik bagi
kehidupannya.
b)
Inspirator, yaitu yang memberikan
ide-ide positif bagi pengembangan kreativitas anak.
c)
Informator, yaitu memberikan ragam
informasi dan kemajuan ilmu pengetahuan kepada anak agar ilmu pengetahuan anak didik
semakin luas dan mendalam.
d)
Organisator, yaitu memiliki kemampuan
mengelola kegiatan pembelajaran anak yang baik sesuai al-Quran dan Hadis.
e)
Motivator, yaitu mendorong anak
semakin aktif dan kreatif dalam belajar
f)
Inisiator, yaitu memiliki pencetus
gagasan bagi pengembangan dan kemajuan pendidikan islam anak.
g)
fasilitator, yaitu menyediakan
fasilitas pendidikan islam dan pembelajaran bagi kegiatan belajar anak.
h)
Pembimbing, yaitu membimbing dan
membina anak ke arah kehidupan yang bermoral, rasional, dan berkepribadian
luhur sesuai dengan nilai-nilai ajaran islam dan semua norma yang berlaku di
masyarakat.
2. Lembaga Pendidikan Non formal
Lembaga Pendidikan non
formal ini didapat atau diperoleh dari lingkungan masyarakat. Apa yang terjadi
di masyarakat merupakan pendidikan dan pembelajaran bagi setiap individu.
Layanan pendidikan di lingkungan masyarakat ini dibutuhkan warganya sebagai
tambahan, pengganti atau pelengkap dari pendidikan islam yang diperoleh di
sekolah atau di rumah. Materi yang didapat bersifat praktis dan sesuai dengan
tuntunan al-Quran dan al-Hadits. Pembelajaran ini diperoleh secara langsung
atau praktik. Program yang dibuatpun sesuai dengan kebutuhan masyarakat.
Berbeda dengan pendidikan formal dan in formal, dimana pendidikan di masyarakat
tidak mengenal jenjang usia dan waktu yang tak ditentukan.
Adapun
jenis-jenis lembaga pendidikan islam yang non formal yaitu diantaranya sebagai
berikut:
a.
Masjid
Secara
harfiah, Masjid adalah “tempat untuk bersujud”. Namun, dalam arti terminologi,
masjid diartikan sebagai tempat khusus untuk melakukan aktivitas ibadah dalam
arti yang luas.[6] Dalam
bahasa Indonesia, masjid diartikan rumah tempat shalat bagi orang Islam. Di
dalam bahasa inggris, kata masjid merupakan terjemahan dari kata mosque.[7]
Pendidikan Islam tingkat pemula
lebih baik dilakukan di masjid sebagai lembaga pengembangan pendidikan
keluarga, sementara itu dibutuhkan sutau lingkaran (lembaga) dan
ditumbuhkannya. Dewasa ini, fungsi masjid mulai menyempit, tidak sebagaimana
pada zaman Nabi saw. Hal itu terjadi karena lembaga-lembaga sosial keagamaan
semakin memadat, sehingga masjid terkesan sebagai tempat ibadah shalat saja.
Pada mulanya, masjid merupakan sentral kebudayaan masyarakat Islam, pusat
organisasi kemasyarakatan, pusat pendidikan, dan pusat pemukiman, serta sebagai
tempat ibadah dan I’tikaf.
Menurut Abuddin
Nata, terdapat dua peran yang dilakukan di masjid. Pertama,
peran masjid sebagai lembaga pendidikan informal dan nonformal. Peran masjid
sebagai lembaga pendidikan informal dapat dilihat dari segi fungsinya sebagai
tempat ibadah shalat lima waktu, berzikir dan berdo’a. Pada semua kegiatan
ibadah tersebut terdapat nilai-nilai pendidikan mental spiritual yang amat
dalam. Adapun peran masjid sebagai lembaga pendidikan nonformal dapat terlihat
dari sejumlah kegiatan pendidikan dan pengajaran dalam bentuk halaqah
(lingkaran studi) yang dipimpin oleh seorang ulama dengan materi utamanya
tentang ilmu agama Islam dengan berbagai cabangnya. Kegiatan tersebut berlangsung
mengalir sedemikian rupa, tanpa sebuah aturan formal yang tertulis dan mengikat
secara kaku. Kedua, peran masjid sebagai lembaga pendidikan sosial
kemasyarakatan dan kepemimpinan. Hal-hal yang berkaitan dengan kepentinagan
masyarakat dapat dipelajari di masjid dengan cara melibatkan diri dalam
berbagai kegiatan yang bersifat amaliah. Mereka yang banyak terlibat dan aktif
dalam berbagai kegiatan di masjid akan memiliki bekal pengetahuan,
keterampilan, dan kemandirian dalam melaksanakan tugas-tugas kemasyarakatan dan
kepemimpinan.[8]
Masjid akan berfungsi dengan efektif jika diatur
dengan baik yaitu melalui kerja sama antara pengurus masjid dengan masyarakat
baik itu yang berkaitan dengan pendidikan maupun yang terkait dengan pendanaan.
3.
Lembaga
Pendidikan formal
Lembaga
Pendidikan Formal yaitu sebuah lembaga pendidikan yang memiliki aturan-aturan,
teratur dan sistematis serta memiliki tingkat jenjang pendidikan yang dimulai
dari tingkat SD sampai dengan Perguruan Tinggi. Pendidikan formal ini memiliki
batas usia yang berlaku dari SD hingga SLTA. Wadah pendidikan ini ialah sekolah
dan memiliki banyak perbedaan dengan pendidikan yang diperoleh di lingkungan
keluarga. Dalam pendidikan formal ini proses belajarnya diatur, tingkatan kelas
yang berbeda-beda, mengikuti aturan kurikulum, materi pelajaran bersifat
intelektual, akademis dan berkesinambungan serta memiliki anggaran atau biaya
pendidikan yang ditentukan sesuai dengan peraturan yang telah ditetapkan.
Adapun
jenis-jenis lembaga pendidikan islam yang formal yaitu diantaranya sebagai
berikut:
a.
Pondok
Pesantren
Kehadiran kerajaan Bani Umaiyah
menjadikan pesatnya ilmu pengetahuan, sehingga anak-anak masyarakat Islam tidak
hanya belajar di masjid tetapi juga pada lembaga-lembaga yang ketiga, yaitu “kuttab”
(pondok pesantren). Kuttab, dengan
karateristik khasnya, merupakan wahana dan lembaga pendidikan Islam yang semula
sebagai lembaga baca dan tulis dengan sistem halaqah (sistem wetonan). Pada
tahap berikutnya kuttab mengalami perkembangan pesat karena didukung oleh dana
dari iuran masyarakat serta adanya rencana-rencana yang harus dipatuhi oleh
pendidik dan peserta didik.
Menurut para ahli pesantren baru
dapat disebut pesantren bila memenuhi lima syarat, yaitu: (1) ada kiai, (2) ada
pondok, (3) ada masjid, (4) ada santri, (5) ada pelajaran membaca kitab kuning.[9]
Adapun ciri dari pendidikan pondok
pesantren menurut Bahri Ghazali yaitu:[10]
1)
Adanya hubungan yang akrab antara
santri dengan kyai/ustaz.
2)
Tunduknya santri kepada kyai/ustaz.
3)
Hidup hemat dan sederhana benar-benar
dilakukan dalam pondok pesantren.
4)
Pendidkan disiplin sangat ditekankan
dalam kehidupan pondok pesantren.
5)
Jiwa tolong menolong dan
persaudaraan sangat mewarnai pergaulan di pondok pesantren. Hal ini sesuai
dengan firman Allah dalam surah al-Maidah [05] ayat 2:
(#qçRur$yès?ur
’n?tã
ÎhŽÉ9ø9$#
3“uqø)G9$#ur
(
Ÿwur
(#qçRur$yès?
’n?tã
ÉOøOM}$#
Èbºurô‰ãèø9$#ur
4
(#qà)¨?$#ur
©!$#
(
¨bÎ)
©!$#
߉ƒÏ‰x©
É>$s)Ïèø9$#
ÇËÈ
Terjemahnya:
Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan
tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. dan bertakwalah kamu kepada
Allah, Sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya.[11]
Seiring perkembangan dunia yang
begitu cepat telah memunculkan respon dan spekulasi yang beragam tentang
pengelolaan pesantren. Pada era globalisasi ini pondok pesantren harus berusaha
meningkatkan mutu dan manajemen secara profesional. Dalam hal ini, eksistensi
pondok pesantren daalam menyikapi perkembangan zaman, tentunya memiliki
komitmen untuk tetap menyuguhkan pola pendidikan yang mampu melahirkan sumber
daya manusia yang handal. Kekuatan otak (berfikir), hati (keimanan), dan tangan
(keterampilan), merupakan modal utama untuk membentuk pribadi santeri yang
mampu menyeimbangi perkembangan zaman.
Manajemen pondok pesantren yang perlu
dikembangkan menurut M. Sobry Sutikno bahwa: Setidaknya ada tiga yang perlu
dikembangkan dalam sistem pesantren dan sistem pendidikan secara umum yaitu:
1)
Sistem asrama. Untuk mencega
akses-akses negatif asrama, maka sistem asrama masa depan harus mampu berfungsi
sebagai forum dialog untuk mengembangkan ilmu dan kepribadian yang seimbang
antara kepribadian individual dan kolektif.
2)
Metode pengajaaran. Untuk mencegah
metode-metode di pesantren itu berjalan di tempat maka pendidik perlu
mengembangkan metode dari model pertanyaan pendidik ke peserta didik perlu
diubah dan ditingkatkan menjadi dialog pendidik dan peserta didik.
3)
Jenis kepemimpinan. Kepemimpinan
karismatik (agama) perlu dilengkapi atau dikembangkan dengan kepemimpinan
rasional (ilmu), agar lebih mampu menghadapi tantangan zaman.[12]
Pondok pesantren kini mengalami transformasi kultur, sistem dan nilai.
Pondok pesantren yang dikenal dengan salafiyah (kuno) kini telah berubah
menjadi khalafiyah (modern). Transformasi tersebut sebagai jawaban atas kritik-kritik
yang diberikan pada pesantren dalam arus transformasi ini, sehingga dalam
sistem dan kultur pesantren terjadi perubahan yang drastis, misalnya:
1)
Perubahan sistem pengajaran dari
perseorangan atau serogan menjadi sistem klasikal yang kemudian kita kenal
dengan istilah madrasah (sekolah).
2)
Pemberian pengetahuan umum disamping
masih mempertahankan pengetahuan agama dan bahasa arab.
3)
Bertambahnya komponen pendidikan
pondok pesantren, misalnya keterampilan sesuai dengan kemampuan dan kebutuhan
masyarakat sekitar, kepramukaan untuk melatih kedisiplinan dan pendidikan
agama, kesehatan dan olahraga, serta kesenian yang islami.
4) Lulusan
pondok pesantren diberikan syahadah (ijazah) sebagai tanda tamat dari pesantren
tersebut dan ada sebagian syahadah tertentu yang nilainya sama dengan ijazah
negeri.
b.
Madrasah
Madrasah adalah isim masdar dari
kata darasa yang berarti sekolah atau tempat untuk belajar. Dalam
perkembangan selanjutnya, madrasah sering dipahami sebagai lembaga pendidikan
yang berbasis keagamaan. Adapun sekolah sering dipahami sebagai lembaga
pendidikan yang berbasis pada ilmu pengetahuan pada umumnya. Madrasah sebagai
lembaga pendidikan merupakan fenomena yang merata di seluruh negara, baik pada
negara-negara Islam, maupun negara lainnya yang di dalamnya terdapat komunitas
masyarakat Islam.[13]
Kehadiran madrasah sebagai lembaga
pendidikan Islam setidaknya mempunyai empat latar belakang, yaitu:
1)
Sebagai manifestasi dan realisasi
pembaharuan sistem pendidikan Islam.
2)
Usaha penyempurnaan terhadap sistem
pesantren ke arah suatu sistem pendidikan yang lebih memungkinkan lulusannya
untuk memperoleh kesempatan yang sama dengan sekolah umum, misalnya masalah
kesamaan kesempatan kerja dan perolehan ijazah.
3)
Adanya sikap mental pada sementara
golongan umat Islam, khususnya santri yang terpukau pada Barat sebagai sistem
pendidikan mereka; dan
4) Sebagai upaya
untuk menjembatani antara sistem pendidikan tradisional yang dilakukan oleh
pesantren dan sistem pendidikan modern dari hasil akulturasi.
Menurut Abuddin Nata, khususnya di Indonesia dinamika pertumbuhan dan
perkembangan madrasah jauh lebih kompleks dibandingkan dengan dinamika
pertumbuhan dan perkembangan madrasah di negara lain. Selain terdapat madrasah
diniyah yang kurikulumnya terdiri dari mata pelajaran agama: al-Quran,
al-Hadis, Fiqh/Ushul fiqh, Aqidah Akhlak, Sejarah Islam dan bahasa Arab juga
terdapat madrasah sebagai sekolah umum yang berciri khas agama, mulai dari
tingkat Ibtidaiyah hingga Aliyah. Madrasah Diniyah dimaksudkan untuk membangun
sikap keberagamaan dan pemahaman terhadap materi agama yang kuat, dan hanya
berlangsung hingga kelas empat. Adapun madrasah sebagai sekolah umum yang
berciri khas agama dimaksudkan untuk membangun sikap keberagamaan
(riligiusitas) bagi para pelajar yang nantinya akan menekuni bidang keahlian
sesuai dengan pilihannya. Di antara madrasah tersebut sebagian besar rata-rata
lebih dari 80% berstatus swasta, sedangkan sisanya berstatus madrasah negeri.[14]
Madrasah sebagai lembaga pendidikan merupakan wahana
yang benar-benar memenuhi elemen-elemen
institusi secara sempurna, yang tidak terjadi pada lembaga-lembaga pendidikan
yang lain. Manajemen sistem madrasah ini juga memugkinkan adanya pengelompokan
pelajaran-pelajaran tantang pengetahuan islam yang penyampaiannya dilakukan
secara bertingkat-tingkat.
c.
Perguruan Tinggi Islam
Berbagai teroboan yang dilakukan
oleh para tokoh islam untuk memperdayakan umat islam di indonesia dalam jalur
pendidikan juga diwujudkan dengan mendirikan perguruan tinggi islam sebagai
sebuah lembaga lanjutan.
Dari sisi tanggung jawab pengelolaan
perguruan tinggi islam, menurut Mujamil Qohar dalam Sabry Sutikno bahwa:
Perguruan Tinggi Agama Islam (PTAI) terpolarisasi menjadi dua, yaitu Perguruan
Tinggi Islam Negeri (PTAIN) dan Perguruan Tinggi Agama Islam Swasta (PTAIS).[15]
Kelahiran Institit Agama Islam Negeri (IAIN) tidak lain karena usaha gigih ummat Islam, yang mayoritas di Indonesia ini, dalam usaha mengembangkan
system pendidikan Islam yang lengkap, yang dimulai dari system pendidikan pesantren yang sederhana sampai ketingkat perguruantinggi.[16]
Perguruan Tinggi Islam Negeri
dikelolah dan didanai hampis sepenuhnya oleh pemerintah/negara, sedangkan
Perguruan Tinggi Agama Islam Swasta dikelolah dan didanai hampis sepenuhnya
oleh masyarakat.
Dari segi ruang lingkup program studi yang ditawarkan
Perguruan Tinggi Islam Negeri (PTAIN) terpolarisasi menjadi Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN), Institit Agama Islam Negeri (IAIN) dan Universitas Islam Negeri (UIN), begitupun
PTAIS terpolarisasi menjadi Sekolah
Tinggi, Institit, dan Universitas dengan menggunakan nama islam
maupun tokoh Muslim sebagai contohnya Universitas Islam Makassar
(UIM), Universitas Muhammadiyah Makassar (Unismuh),
Universitas Muslim
Indonesia (UMI) dan masi banyak lagi yang lain.
B. Manajemen Peningkatkanan
Mutu Lembaga Pendidikan Islam
Berbicara masalah manajemen pendidikan islam, tidak
terlepas dari lembaga pendidikan islam itu sendiri. Hal-hal yang perlu
diperhatikan dalam meningkatkan mutu lembaga pendidikan islam adalah:
- Pemerintah dan Masyarakat
Berangkat dari urgensi keberadaan lembaga pendidikan islam bagi
keberhasilan pendidikan bangsa ini, maka sudah seharusnya pemerintah memberikan
perhatian yang maksimal kepada seluruh lembaga pendidikan yang ada, tanpa
membedakan latar belakang dan status mereka. Sudah merupakan kebutuhan dan
keharusan bahwasanya lembaga pendidikan islam harus senantiasa ditingkatkan
mutunya.
Meningkatkan mutu lembaga pendidikan demi tercapainya tujuan dan
keberhasilan pendidikan nasional memang bukan hal yang mudah. Upaya ini harus
benar-benar mendapatkan dukungan sepenuhnya dari berbagai pihak, agar dalam
proses pelaksanaannya tidak tersendat-sendat dan keberhasilan dapat dicapai
dengan mudah. Hal ini sesuai dalam al-Quran surah Ali
Imran [03] ayat 159:
öNèdö‘Ír$x©ur ’Îû ÍöDF{$# ( #sŒÎ*sù |MøBz•tã ö@©.uqtGsù ’n?tã «!$# 4 ¨bÎ) ©!$# =Ïtä† tû,Î#Ïj.uqtGßJø9$# ÇÊÎÒÈ
Terjemahnya: Dan bermusyawaralah dengan mereka dalam
urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, Maka bertawakkallah
kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal
kepada-Nya.[17]
Partisipasi dari seluruh elemen dalam hal ini ialah pemerintah, warga
sekolah, orang tua siswa, tokoh agama dan seluruh tokoh masyarakat yang harus
berperan aktif dalam meningkatkan mutu lembaga pendidikan melalui kerja sama
yang solid. Partisipasi mereka sangat dibutuhkan dan menentukan, serta
mendukung upaya peningkatan mutu lembaga pendidikan islam di negara ini.
Menurut Undang Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistim Pendidikan
Nasional berubah pulalah pengaturan tentang peran serta
masyarakat dalam dunia
pendidikan. Pasal 54 Undang Undang Nomor 20 Tahun 2003 menyatakan
bahwa:
a.
Peranserta masyarakat dalam
pendidikan meliputi peran serta perseorangan, kelompok, keluarga, organisasi
profesi pengusaha dan organisasi kemasyarakatan dalam penyelenggaraan dan
pengendalian mutu pelayanan pendidikan.
b. Masyarakat
dapat berperanserta sebagai sumber pelaksana dan pengguna hasil pendidikan.[18]
Di sinilah peran-peran stake holders serta share holders sangat
menentukan dalam sebuah lembaga pendidikan islam, manajemen memiliki tempat
yang penting. Usaha untuk mewujudkan lembaga pendidikan yang representatif bagi
masyarakat salah satunya didukung oleh manajemen lembaga pendidikan. Manajemen
lembaga pendidikan yang sederhana tidak akan dapat mendukung upaya peningkatan
mutu lembaga pendidikan. Dewasa ini, bukan rahasia lagi bila banyak sekolah
miskin yang menerapkan manajemen ‘asal jalan’, kegiatan pendidikan tidak
direncanakan dengan baik, bahkan terkadang sekolah dikelola oleh
keluarga-keluarga dengan kepemimpinan yang otoriter.
- Kepala Lembaga Pendidikan Islam
Hampir setiap kajian manajemen termasuk
manajemen pendidikan Islam tidak dapat menafikan pembahasan tentang
kepemimpinan. Di dalam proses manajemen, kepemimpinan memegang posisi yang
sangat penting sebagai kemampuan untuk mengarahkan dan meyakinkan bawahan atau
staff agar secara ikhlas melakukan aktivitas kerjasama mencapai tujuan. Kepemimpinan
menempati posisi strategis sebagai inti dari manajemen karena menjadi motor
penggerak bagi berbagai sumber daya (manusia dan lainnya) yang tersedia dalam
organisasi untuk mencapai tujuan
Menurut Terry bahwa keberadaan
kepemimpinan dalam manajemen sebagai suatu yang alami dalam usaha mencapai
tujuan organisasi. Beberapa dari anggota kelompok akan memimpin dan sebagian
besar yang lain akan mengikuti. Kondisi ini didasarkan pada kenyataan, bahwa
kebanyakan bawahan/staff menginginkan adanya orang lain yang menentukan,
mengarahkan, memotivasi, membimbing dan mengawasi berbagai aktivitas yang perlu
mereka kerjakan dan cara mengerjakannya.[19]
Oleh karena itu sukses dan tidaknya
suatu lembaga pendidikan islam untik mencapai tujuan, sebagian besar ditentukan
kualitas kepemimpinan seseorang yang diserahi tugas memimpin organisasi itu
sendiri. Senada dengan hal tersebut Moedjiarto menyatakan, bahwa pemimpin dalam
organisasi ibarat seorang empu pada bidang perkerisan. Empu yang baik tentu
sangat memahami perbedaan antara keris yang bermutu tinggi dan keris yang
bermutu rendah. Bahkan seorang empu juga mampu untuk membuat keris sakti
bermutu tinggi dengan “luk” atau lekuk-lekuk yang berseni tinggi.[20]
Untuk mengatur lembaga pendidikan
Islam, kepemimpinan juga memegang peranan yang sangat penting. Kepemimpinan ini
dianggap sebagai pemicu perubahan dalam pengembangan mutu dan prestasi pendidikan
Islam mulai dari lembaga informal, formal dan non formal.
Peter dan Austin dalam Edward Sallis
mengatakan bahawa untuk mengembangkan lembaga pendidikan bermutu tinggi
dibutuhkan nilai-nilai sebagai berikut:
- Visi dan simbol-simbol: Pemimpin pendidikan perlu mengkomunikasikan nilai-nilai institusi kepada para staf, pelajar, dan komunitas yang lebih luas.
- MBWA (Management by Walking About): Suatu penerapan gaya kepemimpinan yang lebih menekankan pada pelaksanaan/praktik. Gaya kepemimpinan ini sangat dibutuhkan bagi sebuah institusi.
- Fokus pada pelajar: Artinya institusi perlu memiliki fokus yang jelas terhadap pelanggan utamanya, yaitu peserta didik.
- Otonomi, eksperimentasi dan antisipasi terhadap kegagalan: Pemimpin pendidikan perlu melakukan inovasi diantara staf-stafnya dan bersiap-siap mengantisipasi kegagalan yang mengiringi inovasi tersebut.
- Menciptakan rasa kekeluargaan: Pemimpin perlu menciptkan rasa kekeluargaan di antara peserta didik, orangtua, masyarakat, guru, dan staf instansi.
- Ketulusan, kesabaran, semangat, intensitas, dan antusiasme: Sifat-sifat ini merupakan mutu personal yang esensial yang dibutuhkan pemimpin lembaga pendidikan.[21]
Dari nilai-nilai dasar kepemimpinan Islami yang telah
diuraikan di atas perlu dijadikan rambu-rambu dalam pengambilan keputusan
pendidikan yang ditetapkan dengan berdasarkan prinsip-prinsip kepemimpinan
Islami. Hal ini akan mendapatkan hasil sesuai dengan surah as-Sajadah [32] ayat 24:
$oYù=yèy_ur öNåk÷]ÏB Zp£Jͬr& šcr߉öku‰ $tRÍöDr'Î/ $£Js9 (#rçŽy9|¹ ( (#qçR%Ÿ2ur $uZÏG»tƒ$t«Î/ tbqãZÏ%qムÇËÍÈ
Terjemahnya:
Dan kami jadikan di antara mereka itu pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk
dengan perintah kami ketika mereka sabar dan adalah mereka meyakini ayat-ayat
kami.[22]
Kepemimpinan tersebut memerlukan
berbagai keterampilan dan sifat sabar, serta komitmen terhadap prinsip-prinsip
Islam yang terurai dalam al-Quran dan Hadits yang akan menjamin kepatuhan
hakiki bawahan. Keberhasilan kepemimpin Islami dalam manajemen pendidikan Islam
akan membawa pemberdayaan dan peningkatan mutu lembaga pendidikan Islam.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Lembaga pendidikan Islam adalah tempat berlangsungnya proses pendidikan
Islam bersama dengan proses pembudayaan serta dapat mengikat individu yang
berda dalam naungannya, sehingga lembaga ini menghasilkan manusi yang berguna
bagi bangsa dan negara. Adapun jenis lembaga pendidikan islam, yaitu Keluarga,
Masjid, Pondok Pesantren, Madrasah dan Perguruan Tinggi Islam.
Untuk meningkatkan mutu lembaga pendidikan islam yang
perlu diperhatikan adalah Partisipasi dari seluruh elemen dalam hal ini ialah
pemerintah, pimpinan lembaga pendidikan islam, orangtua siswa, tokoh agama dan
seluruh tokoh masyarakat yang harus berperan aktif dalam meningkatkan mutu
lembaga pendidikan melalui kerja sama yang solid.
B. Saran
Penulis yakin dalam pembuatan makalah ini masih banyak kekurangan dan
kesalahan oleh karena itu kritik dan saran yang bersifat membangun sangat
penulis harapkan. Semoga makalah ini bermanfaat bagi penulis khususnya berupa
penambahan wawasan tentang lembaga pendidikan islam dan cara meningkatkan mutu
lembaga pendidikan islam
Penulis hanya manusia biasa yang tidak terlepas dari kekurangan, maka dari
itu penulis mohon maaf apabila ada kesalahan dalam penulisan maupun yang lain.
DAFTAR PUSTAKA
Edward
Sallis. Total Quality Management in
Education; Manajemen Mutu Pendidikan, Jogjakarta: Ircisod 2006
Ghazali, Bahri.
Pesantren Berwawasan Lingkungan. Jakarta: Prasasti 2003.
Hasbullah,
Kapitaselekta
Pendidikan Islam di Indonesia. Jakarta: PT Raja GrafindoPersada
2014
Moejiarto. Sekolah Unggul, Surabaya: Duta
Graha Pustaka 2002.
Mujib, Abdul. Ilmu Pendidikan Islam, Cet ke
II Jakarta:Kencana, 2008
Nata,
Abuddin. Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: Kencana. 2010.
Ramayulis.
Ilmu Pendidikan Islam, Cet ke.9. Jakarta: Kalam Mulia, 2011.
Sutikno, M.
Sobry. Manejemen Pendidikan Langkah
Praktis Mewujudkan Lembaga Pendidikan Yang Unggul. Lombok: Holistica 2012.
Tafsir,
Ahmad. Ilmu Pendidikan Islam Dalam Perspektif Islam, Cet ke X Bandung:
Rosda, 2010.
Terry. Prinsip-Prinsip Manajemen,
Jakarta: Bumi Aksara 2003.
Tim Pustaka
Al-Kautsar, Mushaf Al-Qur’an Dan
Terjemahnya, Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2009.
Umar,
Bukhori. Ilmu Pendidikan Islam,
Jakarta: Amzah, 2010.
Undang-Undang Republik Indonesia No 20 Tahun 2003
Pasal 54 Tentang System Pendidikan
Nasional, Cet V, Jakarta: Sinar Grafika Offset.
[1] Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Kalam
Mulia, 2011), Cet ke.9, h. 277
[2]
Bukhori Umar, Ilmu Pendidikan Islam,
(Jakarta: Amzah, 2010), h. 149
[3] Abdul Mujib dan Jusuf Mudzakkir,
Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta:Kencana, 2008), Cet ke 2, hlm. 226.
[4]
Tim Pustaka
Al-Kautsar, Mushaf Al-Qur’an Dan
Terjemahnya, Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2009.
hlm. 560.
[5] Abdul Mujib dan Jusuf Mudzakkir, Ilmu Pendidikan
Islam, (Jakarta:Kencana, 2008), Cet ke 2, hlm. 227.
[6] Abdul Mujib dan Jusuf Mudzakkir, Ilmu Pendidikan
Islam, (Jakarta:Kencana, 2008), Cet ke 2, hlm. 231.
[7] Abuddin Nata, Ilmu Pendidikan
Islam, (Jakarta: Kencana, 2010). hlm. 102
[8] Abuddin Nata, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta:
Kencana, 2010). hlm. 195
[9] Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan
Islam Dalam Perspektif Islam, (Bandung: Rosda, 2010), Cet ke 10. hlm. 191.
[11]
Tim Pustaka
Al-Kautsar, Mushaf Al-Qur’an Dan
Terjemahnya, Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2009, hlm. 106.
[12] M. Sobry Sutikno, Manejemen
Pendidikan Langkah Praktis Mewujudkan Lembaga Pendidikan Yang Unggul. (Lombok:
Holistica 2012) hlm. 186.
[13] Abuddin Nata, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta:
Kencana, 2010). hlm. 199
[14] Abuddin Nata, Op. Cit., hlm. 201.
[15] M. Sobry Sutikno, Manejemen
Pendidikan Langkah Praktis Mewujudkan Lembaga Pendidikan Yang Unggul. (Lombok:
Holistica 2012) hlm. 186.
[16] Hasbullah, Kapitaselekta Pendidikan Islam di Indonesia.
(Jakarta:
PT Raja GrafindoPersada
2014) hlm 102-103.
[17]
Tim Pustaka
Al-Kautsar, Mushaf Al-Qur’an Dan
Terjemahnya, Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2009, hlm. 71.
[18] Undang-Undang
Republik Indonesia No 20 Tahun 2003 Pasal 54 Tentang System Pendidikan Nasional, Cet 5, (Jakarta: Sinar Grafika
Offset)
[19] Terry. Prinsip-Prinsip Manajemen,
(Jakarta: Bumi Aksara 2003) hlm 152.
[20] Moejiarto. Sekolah Unggul.
(Surabaya: Duta Graha Pustaka 2002) hlm
79.
[21] Edward Sallis. Total Quality Management in Education; Manajemen Mutu Pendidikan
(Jogjakarta: Ircisod 2006) hlm. 170-171.
[22]
Tim Pustaka
Al-Kautsar, Mushaf Al-Qur’an Dan
Terjemahnya, Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2009, hlm. 417.
No comments:
Post a Comment