1.
Imam
al-Nasa’i (215-303 H)
Nama lengkap Imam
al-Nasa’i adalah Abu Abd al-Rahman Ahmad bin Ali bin Syuaib bin Ali bin Sinan
bin Bahr al-khurasani al-Qadi. Lahir di daerah Nasa’ pada tahun 215 H.
Ada juga sementara
ulama yang mengatakan bahwa beliau lahir pada tahun 214 H. Beliau dinisbahkan
kepada daerah Nasa’ (al-Nasa’i), daerah yang menjadi saksi bisu kelahiran
seorang ahli hadis kaliber dunia. Beliau berhasil menyusun sebuah kitab
monumental dalam kajian hadis, yakni al-Mujtaba’ yang di kemudian hari
kondang dengan sebutan Sunan al-Nasa’i.
1)
Pengembaraan
Intelektual
Pada awalnya, beliau
tumbuh dan berkembang di daerah Nasa’. Beliau berhasil menghafal al-Qur’an di
Madrasah yang ada di desa kelahirannya. Beliau juga banyak menyerap berbagai
disiplin ilmu keagamaan dari para ulama di daerahnya. Saat remaja, seiring
dengan peningkatan kapasitas intelektualnya, beliaupun mulai gemar melakukan
lawatan ilmiah ke berbagai penjuru dunia. Apalagi kalau bukan untuk guna
memburu ilmu-ilmu keagamaan, terutama disiplin hadis dan ilmu Hadis.
Belum genap usia 15
tahun, beliau sudah melakukan mengembar ke berbagai wilayah Islam, seperti
Mesir, Hijaz, Iraq, Syam, Khurasan, dan lain sebagainya. Sebenarnya, lawatan
intelektual yang demikian, bahkan dilakukan pada usia dini, bukan merupakan hal
yang aneh dikalangan para Imam Hadis. Semua imam hadis, terutama enam imam
hadis, yang biografinya banyak kita ketahui, sudah gemar melakukan perlawatan
ilmiah ke berbagai wilayah Islam semenjak usia dini. Dan itu merupakan ciri
khas ulama-ulama hadis, termasuk Imam al-Nasa’i.
Kemampuan intelektual
Imam al-Nasa’i menjadi kian matang dan berisi dalam masa pengembaraannya. Namun
demikian, awal proses pembelajarannya di daerah Nasa’ tidak bisa dikesampingkan
begitu saja, karena justru di daerah inilah, beliau mengalami proses
pembentukan intelektual, sementara masa pengembaraannya dinilai sebagai proses
pematangan dan perluasan pengetahuan.
2)
Guru
dan Murid
Seperti para
pendahulunya: Imam al-Bukhari, Imam Muslim, Imam Abu Dawud, dan Imam
al-Tirmidzi, Imam al-Nasa’i juga tercatat mempunyai banyak pengajar dan murid.
Para guru beliau yang
nama harumnya tercatat oleh pena sejarah antara lain; Qutaibah bin Sa’id, Ishaq
bin Ibrahim, Ishaq bin Rahawaih, al-Harits bin Miskin, Ali bin Kasyram, Imam
Abu Dawud (penyusun Sunan Abi Dawud), serta Imam Abu Isa al-Tirmidzi (penyusun
al-Jami’/Sunan al-Tirmidzi).
Sementara murid-murid
yang setia mendengarkan fatwa-fatwa dan ceramah-ceramah beliau, antara lain;
Abu al-Qasim al-Thabarani (pengarang tiga buku kitab Mu’jam), Abu Ja’far
al-Thahawi, al-Hasan bin al-Khadir al-Suyuti, Muhammad bin Muawiyah bin
al-Ahmar al-Andalusi, Abu Nashr al-Dalaby, dan Abu Bakr bin Ahmad al-Sunni.
Nama yang disebut terakhir, disamping sebagai murid juga tercatat sebagai
“penyambung lidah” Imam al-Nasa’i dalam meriwayatkan kitab Sunan al-Nasa’i.
Sudah mafhum
dikalangan peminat kajian hadis dan ilmu hadis, para imam hadis merupakan sosok
yang memiliki ketekunan dan keuletan yang patut diteladani. Dalam masa
ketekunannya inilah, para imam hadis kerap kali menghasilkan karya tulis yang
tak terhingga nilainya.
Tidak ketinggalan
pula Imam al-Nasa’i. Karangan-karangan beliau yang sampai kepada kita dan telah
diabadikan oleh pena sejarah antara lain; al-Sunan al-Kubra, al-Sunan
al-Sughra (kitab ini merupakan bentuk perampingan dari kitab al-Sunan
al-Kubra), al-Khashais, Fadhail al-Shahabah, dan al-Manasik. Menurut sebuah
keterangan yang diberikan oleh Imam Ibn al-Atsir al-Jazairi dalam kitabnya Jami
al-Ushul, kitab ini disusun berdasarkan pandangan-pandangan fiqh mazhab
Syafi’i.
3)
Kitab
al-Mujtaba
Sekarang, karangan
Imam al-Nasa’i paling monumental adalah Sunan al-Nasa’i. Sebenarnya,
bila ditelusuri secara seksama, terlihat bahwa penamaan karya monumental beliau
sehingga menjadi Sunan al-Nasa’i sebagaimana yang kita kenal sekarang,
melalui proses panjang, dari al-Sunan al-Kubra, al-Sunan al-Sughra,
al-Mujtaba, dan terakhir terkenal dengan sebutan Sunan al-Nasa’i.
Untuk pertama kali,
sebelum disebut dengan Sunan al-Nasa’i, kitab ini dikenal dengan al-Sunan
al-Kubra. Setelah tuntas menulis kitab ini, beliau kemudian menghadiahkan
kitab ini kepada Amir Ramlah (Walikota Ramlah) sebagai tanda penghormatan. Amir
kemudian bertanya kepada al-Nasa’i, “Apakah kitab ini seluruhnya berisi hadis
shahih?” Beliau menjawab dengan kejujuran, “Ada yang shahih, hasan, dan adapula
yang hampir serupa dengannya”.
Kemudian Amir berkata
kembali, “Kalau demikian halnya, maka pisahkanlah hadis yang shahih-shahih
saja”. Atas permintaan Amir ini, beliau kemudian menyeleksi dengan ketat semua
hadis yang telah tertuang dalam kitab al-Sunan al-Kubra. Dan akhirnya
beliau berhasil melakukan perampingan terhadap al-Sunan al-Kubra,
sehingga menjadi al-Sunan al-Sughra. Dari segi penamaan saja, sudah bisa
dinilai bahwa kitab yang kedua merupakan bentuk perampingan dari kitab yang
pertama.
Imam al-Nasa’i sangat
teliti dalam menyeleksi hadis-hadis yang termuat dalam kitab pertama. Oleh
karenanya, banyak ulama berkomentar “Kedudukan kitab al-Sunan al-Sughra
dibawah derajat Shahih al-Bukhari dan Shahih Muslim. Di dua kitab
terakhir, sedikit sekali hadis dhaif yang terdapat di dalamnya”. Nah, karena
hadis-hadis yang termuat di dalam kitab kedua (al-Sunan al-Sughra)
merupakan hadis-hadis pilihan yang telah diseleksi dengan super ketat, maka
kitab ini juga dinamakan al-Mujtaba. Pengertian al-Mujtaba
bersinonim dengan al-Maukhtar (yang terpilih), karena memang kitab ini
berisi hadis-hadis pilihan, hadis-hadis hasil seleksi dari kitab al-Sunan
al-Kubra.
Di samping al-Mujtaba,
dalam salah satu riwayat, kitab ini juga dinamakan dengan al-Mujtana.
Pada masanya, kitab ini terkenal dengan sebutan al-Mujtaba, sehingga
nama al-Sunan al-Sughra seperti tenggelam ditelan keharuman nama al-Mujtaba.
Dari al-Mujtaba inilah kemudian kitab ini kondang dengan sebutan Sunan
al-Nasa’i, sebagaimana kita kenal sekarang. Dan nampaknya untuk
selanjutnya, kitab ini tidak akan mengalami perubahan nama seperti yang terjadi
sebelumnya.
4)
Kritik
Ibn al-Jauzy
Kita perlu menilai
jawaban Imam al-Nasa’i terhadap pertanyaan Amir Ramlah secara kritis, dimana
beliau mengatakan dengan sejujurnya bahwa hadis-hadis yang tertuang dalam
kitabnya tidak semuanya shahih, tapi adapula yang hasan, dan ada pula yang menyerupainya.
Beliau tidak mengatakan bahwa didalamnya terdapat hadis dhaif (lemah)
atau maudhu (palsu). Ini artinya beliau tidak pernah memasukkan sebuah
hadispun yang dinilai sebagai hadis dhaif atau maudhu’, minimal
menurut pandangan beliau.
Apabila setelah
hadis-hadis yang ada di dalam kitab pertama diseleksi dengan teliti, sesuai
permintaan Amir Ramlah supaya beliau hanya menuliskan hadis yang berkualitas
shahih semata. Dari sini bisa diambil kesimpulan, apabila hadis hasan saja
tidak dimasukkan kedalam kitabnya, hadis yang berkualitas dhaif dan maudhu’
tentu lebih tidak berhak untuk disandingkan dengan hadis-hadis shahih.
Namun demikian, Ibn
al-Jauzy pengarang kitab al Maudhuat (hadis-hadis palsu), mengatakan
bahwa hadis-hadis yang ada di dalam kitab al-Sunan al-Sughra tidak
semuanya berkualitas shahih, namun ada yang maudhu’ (palsu). Ibn
al-Jauzy menemukan sepuluh hadis maudhu’ di dalamnya, sehingga
memunculkan kritik tajam terhadap kredibilitas al-Sunan al-Sughra.
Seperti yang telah disinggung dimuka, hadis itu semua shahih menurut Imam
al-Nasa’i. Adapun orang belakangan menilai hadis tersebut ada yang maudhu’,
itu merupakan pandangan subyektivitas penilai. Dan masing-masing orang
mempunyai kaidah-kaidah mandiri dalam menilai kualitas sebuah hadis. Demikian
pula kaidah yang ditawarkan Imam al-Nasa’i dalam menilai keshahihan sebuah
hadis, nampaknya berbeda dengan kaidah yang diterapkan oleh Ibn al-Jauzy.
Sehingga dari sini akan memunculkan pandangan yang berbeda, dan itu sesuatu
yang wajar terjadi. Sudut pandang yang berbeda akan menimbulkan kesimpulan yang
berbeda pula.
Kritikan pedas Ibn
al-Jauzy terhadap keautentikan karya monumental Imam al-Nasa’i ini, nampaknya
mendapatkan bantahan yang cukup keras pula dari pakar hadis abad ke-9, yakni
Imam Jalal al-Din al-Suyuti, dalam Sunan al-Nasa’i, memang terdapat
hadis yang shahih, hasan, dan dhaif. Hanya saja jumlahnya relatif
sedikit. Imam al-Suyuti tidak sampai menghasilkan kesimpulan bahwa ada hadis maudhu’
yang termuat dalam Sunan al-Nasa’i, sebagaimana kesimpulan yang
dimunculkan oleh Imam Ibn al-Jauzy. Adapun pendapat ulama yang mengatakan
bahwah hadis yang ada di dalam kitab Sunan al-Nasa’i semuanya
berkualitas shahih, ini merupakan pandangan yang menurut Muhammad Abu
Syahbah_tidak didukung oleh penelitian mendalam dan jeli. Kecuali maksud
pernyataan itu bahwa mayoritas (sebagian besar) isi kitab Sunan al-Nasa’i
berkualitas shahih.
5)
Komentar
Ulama
Imam al-Nasa’i
merupakan figur yang cermat dan teliti dalam meneliti dan menyeleksi para
periwayat hadis. Beliau juga telah menetapkan syarat-syarat tertentu dalam
proses penyeleksian hadis-hadis yang diterimanya. Abu Ali al-Naisapuri pernah
mengatakan, “Orang yang meriwayatkan hadis kepada kami adalah seorang imam
hadis yang telah diakui oleh para ulama, ia bernama Abu Abd al Rahman
al-Nasa’i.”
Lebih jauh lagi Imam
al-Naisapuri mengatakan, “Syarat-syarat yang ditetapkan al-Nasa’i dalam menilai
para periwayat hadis lebih ketat dan keras ketimbang syarat-syarat yang
digunakan Muslim bin al-Hajjaj.” Ini merupakan komentar subyektif Imam
al-Naisapuri terhadap pribadi al-Nasa’i yang berbeda dengan komentar ulama pada
umumnya.
Ulama pada umumnya
lebih mengunggulkan keketatan penilaian Imam Muslim bin al-Hajjaj ketimbang
al-Nasa’i. Bahkan komentar mayoritas ulama ini pulalah yang memposisikan Imam
Muslim sebagai pakar hadis nomer dua, sesudah al-Bukhari.
Namun demikian, bukan
berarti mayoritas ulama merendahkan kredibilitas Imam al-Nasa’i. Imam al-Nasa’i
tidak hanya ahli dalam bidang hadis dan ilmu hadis, namun juga mumpuni dalam
bidang figh. Al-Daruquthni pernah mengatakan, beliau adalah salah seorang
Syaikh di Mesir yang paling ahli dalam bidang figh pada masanya dan paling
mengetahui tentang Hadis dan para rawi. Al-Hakim Abu Abdullah berkata,
“Pendapat-pendapat Abu Abd al-Rahman mengenai fiqh yang diambil dari hadis
terlampau banyak untuk dapat kita kemukakan seluruhnya. Siapa yang menelaah dan
mengkaji kitab Sunan al-Nasa’i, ia akan terpesona dengan keindahan dan
kebagusan kata-katanya.”
Tidak ditemukan
riwayat yang jelas tentang afiliansi pandangan fiqh beliau, kecuali komentar
singkat Imam Madzhab Syafi’i. Pandangan Ibn al-Atsir ini dapat dimengerti dan
difahami, karena memang Imam al-Nasa’i lama bermukim di Mesir, bahkan merasa
cocok tinggal di sana. Beliau baru berhijrah dari Mesir ke Damsyik setahun
menjelang kewafatannya.
Karena Imam al-Nasa’i
cukup lama tinggal di Mesir, sementara Imam al-Syafi’i juga lama menyebarkan
pandangan-pandangan fiqhnya di Mesir (setelah kepindahannya dari Bagdad), maka
walaupun antara keduanya tidak pernah bertemu, karena al-Nasa’i baru lahir
sebelas tahun setelah kewafatan Imam al-Syafi’i, tidak menutup kemungkinan
banyak pandangan-pandangan fiqh Madzhab Syafi’i yang beliau serap melalui
murid-murid Imam al-Syafi’i yang tinggal di Mesir. Pandangan fiqh Imam
al-Syafi’i lebih tersebar di Mesir ketimbang di Baghdad. Hal ini lebih membuka
peluang bagi Imam al-Nasa’i untuk bersinggungan dengan pandangan fiqh Syafi’i.
Dan ini akan menguatkan dugaan Ibn al-Atsir tentang afiliasi mazhab fiqh al-Nasa’i.
Pandangan Syafi’i di
Mesir ini kemudian dikenal dengan qaul jadid (pandangan baru). Dan ini
seandainya dugaan Ibn al-Atsir benar, mengindikasikan bahwa pandangan fiqh
Syafi’i dan al-Nasa’i lebih didominasi pandangan baru (Qaul Jadid, Mesir) ketimbang
pandangan klasik (Qaul Qadim, Baghdad).
Namun demikian, tidak
menutup kemungkinan bahwa Imam al-Nasa’i merupakan sosok yang berpandangan
netral, tidak memihak salah satu pandangan mazhab fiqh manapun, termasuk
pandangan Imam al-Syafi’i. Hal ini seringkali terjadi pada imam-imam hadis
sebelum al-Nasa’i, yang hanya berafiliasi pada mazhab hadis. Dan independensi
pandangan ini merupakan ciri khas imam-imam hadis. Oleh karena itu, untuk
mengklaim pandangan Imam al-Nasa’i telah terkontaminasi oleh pandangan orang
lain, kita perlu menelusuri sumber sejarah yang konkrit, bukannya hanya
berdasarkan dugaan.
6)
Tutup
Usia
Setahun menjelang
kemangkatannya, beliau pindah dari Mesir ke Damsyik. Dan tampaknya tidak ada
konsensus ulama tentang tempat meninggal beliau. Al-Daruqutni mengatakan,
beliau di Makkah dan dikebumikan diantara Shafa dan Marwah. Pendapat yang
senada dikemukakan oleh Abdullah bin Mandah dari Hamzah al-’Uqbi al-Mishri.
Sementara ulama yang lain, seperti Imam al-Dzahabi, menolak pendapat
tersebut. Ia mengatakan, Imam al-Nasa’i meninggal di Ramlah, suatu daerah di
Palestina. Pendapat ini didukung oleh Ibn Yunus, Abu Ja’far al-Thahawi (murid
al-Nasa’i) dan Abu Bakar al-Naqatah. Menurut pandangan terakhir ini, Imam
al-Nasa’i meninggal pada tahun 303 H dan dikebumikan di Bait al-Maqdis,
Palestina. Inna lillah wa Inna Ilai Rajiun. Semoga jerih payahnya dalam
mengemban wasiat Rasullullah guna menyebarluaskan hadis mendapatkan balasan
yang setimpal di sisi Allah. Amiiin.
No comments:
Post a Comment