Secara etimologis Rasionalismeberasal
dari kata bahasa Inggris rationalism. Kata ini berakar dari kata bahasa
Latin ratio yang berarti “akal”. A.R. Lacey7 menambahkan bahwa
berdasarkan akar katanya Rasionalisme adalah sebuah pandangan yang berpegangan
bahwa akal merupakan sumber bagi pengetahuan dan pembenaran. Sementara itu,
secara terminologis aliran ini dipandang sebagai aliran yang berpegang pada
prinsip bahwa akal harus diberi peranan utama dalam penjelasan. Ia menekankan
akal budi (rasio) sebagai sumber utama pengetahuan, mendahului atau unggul
atas, dan bebas (terlepas) dari pengamatan inderawi.
René Descartes atau Cartesius dilahirkan di La Haye, sebuah
kota kecil di Touraine, Perancis tahun 1596. Ia mendapatkan pendidikan di
sekolah Jesuit di La Flèche. Selama di sekolah ini, karena kondisi kesehatannya
yang kurang baik, ia diizinkan untuk tetap berada di tempat tidur dan ini pada
akhirnya menjadi sebuah kebiasaan selama hidupnya. Di sekolah Jesuit, Descartes
mendapatkan pelajaran-pelajaran tentang filsafat, fisika dan matematika. Selama
di sekolah ini pula ia ikut merayakan ditemukannya berbagai bulan yang ada pada
planet Jupiter tahun 1611.Setelah meninggalkan La Flèche, Descartes melanjutkan
pendidikannya ke sekolah hukum di Poitiers. Selanjutnya ia berpergian di
beberapa negera Eropa selama satu dekade, termasuk tiga tahun di Paris,
di mana ia menemukan Mersenne, yang kemudian menjadi mentornya. Pada tahun
1629, dalam pencariannya akan ketenangan dan kesunyaian, ia menetap di Belanda.
Belanda dianggap sebagai tempat yang paling tepat karena iklim kebebasannya
yang terbaik di Eropa. Descartes menetap di Belanda sampai dengan 1649. Pada
rentang waktu tahun-tahun inilah ia menulis banyak karya ilmiah. Pada Oktober
1649 pula ia pindah ke Stochkholm, Swedia, namun pada Februari tahun berikutnya
yakni 1650, ia wafat karena penyakit pneumonia.
Sebagai seorang filosof, Descartes telah menghasilkan
beberapa karya filsafat yakni: Discours de la méthode pour bien conduire sa
raison et chercher les vérités dansles sciences (Discourse on
Method), 1637; Meditationes de Prima Philosophia (Meditations
on the First Philosoph), 1641; Principia Philosopiae (Principles
of Philosophy), 1644;23 dan Les Passiones de L’ame (1650).
Sebab
Timbulnya Pemikiran Rasionalis Descartes
Descartes merupakan orang pertama yang memiliki kapasitas
filosofis yang sangat dipengaruhi oleh fisika baru dan astronomi. Ia banyak
menguasai filsafat Scholastic, namun ia tidak menerima dasar-dasar filfasat
Scholastic yang dibangun oleh para pendahulunya. Ia berupaya keras untuk
mengkonstruksi bangunan baru filsafat. Hal ini merupakan terobosan baru
semenjak zaman Aristoteles dan hal ini merupakan sebuah neo-self-confidence yang
dihasilkan dari kemajuan ilmu pengetahuan.[3]Dia
berhasrat untuk menemukan “sebuah ilmu yang samasekali baru pada masyarakat
yang akan memecahkan semua pertanyaan tentang kuantitas secara umum, apakah
bersifat kontinim atau terputus.”
Visi Descartes telah menumbuhkan keyakinan yang kuat pada
dirinya tentang kepastian pengetahuan ilmiah, dan tugas dalam kehidupannya
adalah membedakan kebenaran dan kesalahan dalam semua bidang pelajaran. Karena
menurutnya “semua ilmu merupakan pengetahuan yang pasti dan jelas.[4]Pada dasarnya,
visi dan filsafat Descartes banyak dipengaruhi oleh ilmu alam dan matematika
yang berasas pada kepatian dan kejelasan perbedaan antara yang benar dan salah.
Sehingga dia menerima suatu kebenaran sebagai suatu hal yang pasti dan jelas
atau disebut Descartes sebagai kebenaran yang Clear and Distinct.
Dalam usahanya untuk mencapai kebenaran dasar tersebut
Descartes menggunakan metode “Deduksi”, yaitu dia mededuksikan prinsip-prinsip
kebenaran yang diperolehnya kepada prinsip-prinsip yang sudah ada sebelumnya
yang berasal dari definisi dasar yang jelas. Sebagaimana yang ditulis oleh
Robert C. Solomon dan Kathleen M. Higgins dalam buku sejarah filsafat,
“kunci
bagi deduksi keseluruhan Descartes akan berupa aksioma tertentu yang akan
berfungsi sebagai sebuah premis dan berada diluar keraguan. Dan aksioma ini
merupakan klaimnya yang terkenal Cogito ergo sum “Aku berpikir maka aku ada”[5].
Tentang
Subtansi
Descartes berargumentasi dengan wujudnya ragu atas diri,
Sementara manusia sebelum mencapai terminal ragu, terlebih dahulu dia harus
temukan dirinya. Dan Descartes sendiri yang berkata "Aku ragu" dari
sini akan menjadi terang bahwa Descartes tidak menemukan "ragu
mutlak" akan tetapi "ragu bersyarat". Sebelum dia menemukan
"keraguan", terlebih dahulu dia jumpai dirinya sendiri. Maksudnya
adalah Descartes sebelum dia memberikan hukum dan berkata "ergo
sum" dia telah menetapkan dirinya pada kata "to". Dan
tak tercapai lagi gilirannya ketika dia mengejar "ergo sum".
Karena keraguan tidak mungkin dapat terwujud tanpa adanya seorang peragu yang
meragukan sesuatu. Dan di sinilah peran seorang peragu. Dirinya yang ia temukan
sebelum segala sesuatu. Dimana dalam kasus Descartes, "Aku" adalah
sedemikian jelas dan presentifnya[6]. Jadi keraguan yang timbul dari cogito
bukanlah keraguan skeptik yang tidak mungkin untuk diperoleh kebenaran
darinya. Tapi, keraguan yang timbul disini adalah keraguan yang bersyarat yaitu
membutuhkan suatu usaha untuk mencapai kebenaran.
Dari
prinsip dasar Cogito tersebut, yang dikenalkan dengan istilah subtansi, ada
tiga ide bawaan yang diajarkan oleh Descartes, yaitu[7]:
a.
Pemikiran. Saya memahami diri saya sebagai
makhluk yang berpikir (cogito), maka harus diterima juga bahwa pemikiran
merupakan hakekat saya. Karena berpikir memiliki kemampuan untuk memeriksa
secara detail dan terus-menerus meragukan sesuatu sampai pada kebenaran tanpa
keraguan.
b. Tuhan sebagai wujud yang sama sekali sempurna. Karena saya mempunyai ide sempurna
(Cogito), mesti ada sesuatu penyebab sempurna untuk ide itu, karena
suatu akibat tidak bisa melebihi penyebabnya. Jadi konsepsi itu tidak berasal
dari diri sendiri dan harus berasal dari Tuhan. Jadi Tuhan itu ada. Dan Tuhan
dipikirikan sebagai subtansi yang tidak membutuhkan atau mensyaratkan apa-apa,
agar “ada” sendiri.[8]
c.
Keluasaan. Saya mengerti materi sebagai
keluasaan atau ekstensi. karena adanya kegiatan berpikir dan Tuhan menjamin
adanya kegiatan tersebut, maka apa yang dipikir, yaitu materi, pastilah ada
juga secara riil.
Pikiran
itu sesungguhnya adalah kesadaran, ia tidak mengambil tempat karena ia tidak
dapat dibagi menjadi bagian yang lebih kecil. Tapi dunia luar adalah materi
yang cenderung melakukan perluasan dan mengambil ruang, karennya dapat dibagi
menjadi bagian-bagian yang lebih kecil dan lebih kecil lagi.[9]
Tentang
Jiwa dan Materi
Descartes secara garis besar membagi dua dunia yang paralel
tapi independen, yakni dunia jiwa dan dunia materi, yang masing-masing dapat
dipelajari tanpa mengacu pada lainnya. Bahwa jiwa tidak menggerakkan tubuh
secara implisit dan tubuh tidak menggerakkan jiwa.[10]Dan seorang pribadi adalah penyambung
bagi dua substansi yang berbeda tersebut. Dan pembedaan tersebut memberikan
suatu bidang khusus pada ilmu, yang berkenaan pada dunia fisik dan agama.[11]Jadi tubuh dan
jiwa seperti sebuah koin yang satu menghadap keatas maka yang satu menghadap
kebawah. Dan hal inilah yang menunjukkan sifat dualisme dalam pemikiran
Descartes.
Ciri-Ciri
Filsafat Descartes
Inti metode Descartes adalah keraguan yang mendasar. Dia
meragukan segala sesuatu yang dapat diragukan-semua pengetahuan tradisional,
kesan indrawinya, dan bahkan juga kenyataan bahwa dia mempunyai tubuh
sekalipun-hingga dia mencapai satu hal yang tidak dapat diragukan, keberadaan
dirinya sebagai pemikir. Oleh karena itu, dia sampai pada pertanyaan yang
terkenal Cogito ergo sum.[12]Sehingga dalam berhubungan dengan
realita, Descartes mencoba untuk meragukan segala apa yang diterima oleh
inderanya dan dia berusaha untuk menguak realitas dengan menggunakan akalnya.
Karena menurutnya hanya pengetahuan yang diperoleh melalui akal yang
dapat disebut sebagai pengetahuan yang ilmiah. Dan kebenaran yang diperoleh
melalui indera mempunyai tingikat kesalahan yang lebih tinggi.
Meskipun
demikian dia tidak mengingkari pengetahuan yang diperoleh melalui pengalaman.
Hanya saja pengalaman dipandang sebagai sejenis perangsang bagi pikiran.
Karenanya, aliran ini yakin bahwa kebenaran dan kesesatan terletak di dalam
ide, dan bukannya di dalam barang sesuatu. Jika kebenaran bermakna sebagai
mempunyai ide yang sesuai dengan atau yang menunjuk kepada kenyataan, maka
kebenaran hanya dapat ada di dalam pikiran kita dan hanya dapat diperoleh
dengan akal saja.[13]
Kemudian
Descartes menolak untuk bergantung pada pendapat umum yang berkembang dalam
masyarakat dalam melandaskan pemikirannya. Karena itu ia menolak seluruh hal
kecuali kepastian dari pendapatnya sendiri. Sebagaimana yang diungkapkannya
dalam buku Filsafat untuk umum karya Bambang Q. Anees dan Radea Juli A.
Hambali,
“Andaikata
Kita membaca setiap karangan Plato dan Aristoteles, namun tanpa kepastian
sendiri, kita tidak maju satu langkah pun dalam filsfat.......Pengertian
historis kita lalu ditambah, namun bukan pemahaman kita.[14]
Dalam membangun filsafatnya Descartes membuat
pertanyaan-pertanyaan sebagai patokan dalam menentukan kebenaran dan keluar
dari keraguan yang ada. Adapun persoalan-persoalan yang dilontarkan oleh
Descartes untuk membangun filsafat baru antara lain[15]:
a.
Apakah kita bisa menggapai suatu
pengetahuan yang benar?
c.
Bagaimana meraih
pengetahuan-pengetahuan selanjutnya?
d.
Apa tolok ukur kebenaran
pengetahuan?
Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, Descartes
menawarka metode-metode untuk menjawabnya. Yang mana metode-metode tersebut
harus dipegang untuk sampai pada pengetahuan yang benar[16]:
a.
Seorang filosuf harus hanya menerima
suatu pengetahuan yang terang dan jelas.
b. Mengurai suatu masalah menjadi bagian-bagian kecil sesuai
dengan apa yang ingin kita cari. Atau jika masalah itu masih berupa pernyataan:
maka pernyataan tersebut harus diurai menjadi pernyataan-pernyataan yang
sederhana. Metode yang kedua ini disebut sebagai pola analisis.
c.
Jika kita menemukan suatu gagasan
sederhana yang kita anggap Clear and Distinct, kita harus merangkainya
untuk menemukan kemungkinan luas dari gagasan tersebut. Metode yang
ketiga ini disebut dengan pola kerja sintesa atau perangkaian.
d.
Pada metode yang keempat dilakukan
pemeriksaan kembali terhadap pengetahuan yang telah diperoleh, agar dapat
dibuktikan secara pasti bahwa pengetahuan tersebut adalah pengetahuan yang Clear
and Distinct yang benar-benar tak memuat satu keraguan pun. Metode yang
keempat ini disebut dengan verifikasi.
Jadi dengan keempat metode tersebut Descartes mengungkap
kebenaran dan membangun filsafatnya untuk keluar dari keraguan bersyarat yang
diperoleh dari pengalaman inderawinya.
Kritik
Terhadap Rasionalisme Descartes
a.
Dualisme pemikiran Descartes
mengenai tubuh dan jiwa.
c.
Kecenderungannya pada akal telah
melemahkan filsafatnya. Hal ini dikarenakan akal manusia itu terbatas.
d.
Filsafatnya banyak dipengaruhi
fisika dan matematika.
e.
Inkonsistensi Descartes dalam
filsafatnya. Ia menyatakan kebenaran hanya diperoleh melalui akal tapi pada
kenyataannya ia masih tergantung pada keputusan Tuhan.
No comments:
Post a Comment