1.
Imam
At-Tirmidzi (209-279 H)
Nama lengkapnya
adalah Imam al-Hafidz Abu ‘Isa Muhammad bin ‘Isa bin Saurah bin Musa bin
ad-Dahhak As-Sulami at-Tirmidzi, salah seorang ahli hadits kenamaan, dan
pengarang berbagai kitab yang masyur lahir pada 279 H di kota Tirmiz.
1)
Perkembangan
dan Perjalanannya
Kakek Abu ‘Isa
at-Tirmidzi berkebangsaan Mirwaz, kemudian pindah ke Tirmiz dan menetap di
sana. Di kota inilah cucunya bernama Abu ‘Isa dilahirkan. Semenjak kecilnya Abu
‘Isa sudah gemar mempelajari ilmu dan mencari hadits. Untuk keperluan inilah ia
mengembara ke berbagai negeri: Hijaz, Irak, Khurasan dan lain-lain.
Dalam perlawatannya
itu ia banyak mengunjungi ulama-ulama besar dan guru-guru hadits untuk
mendengar hadits yang kem dihafal dan dicatatnya dengan baik di perjalanan atau
ketika tiba di suatu tempat. Ia tidak pernah menyia-nyiakan kesempatan tanpa
menggunakannya dengan seorang guru di perjalanan menuju Makkah. Kisah ini akan
diuraikan lebih lanjut.
Setelah menjalani
perjalanan panjang untuk belajar, mencatat, berdiskusi dan tukar pikiran serta
mengarang, ia pada akhir kehidupannya mendapat musibah kebutaan, dan beberapa
tahun lamanya ia hidup sebagai tuna netra; dalam keadaan seperti inilah
akhirnya at-Tirmidzi meninggal dunia. Ia wafat di Tirmiz pada malam Senin 13
Rajab tahun 279 H dalam usia 70 tahun.
2)
Guru-gurunya
Ia belajar dan meriwayatkan
hadits dari ulama-ulama kenamaan. Di
antaranya adalah Imam Bukhari, kepadanya ia mempelajari hadits dan fiqh. Juga
ia belajar kepada Imam Muslim dan Abu Dawud. Bahkan Tirmidzi belajar pula hadits
dari sebagian guru mereka.
Guru lainnya ialah Qutaibah
bin Saudi Arabia’id, Ishaq bin Musa, Mahmud bin Gailan. Said bin ‘Abdur Rahman,
Muhammad bin Basysyar, ‘Ali bin Hajar, Ahmad bin Muni’, Muhammad bin al-Musanna
dan lain-lain.
3)
Murid-muridnya
Hadits-hadits dan
ilmu-ilmunya dipelajari dan diriwayatkan oleh banyak ulama. Di antaranya ialah
Makhul ibnul-Fadl, Muhammad binMahmud ‘Anbar, Hammad bin Syakir, ‘Ai-bd bin
Muhammad an-Nasfiyyun, al-Haisam bin Kulaib asy-Syasyi, Ahmad bin Yusuf
an-Nasafi, Abul-‘Abbas Muhammad bin Mahbud al-Mahbubi, yang meriwayatkan kitab
Al-Jami’ daripadanya, dan lain-lain.
4)
Kekuatan
Hafalannya
Abu ‘Isa aat-Tirmidzi
diakui oleh para ulama keahliannya dalam hadits, kesalehan dan ketakwaannya. Ia
terkenal pula sebagai seorang yang dapat dipercaya, amanah dan sangat teliti.
Salah satu bukti kekuatan dan cepat
hafalannya ialah kisah berikut yang dikemukakan oleh al-Hafiz Ibnu Hajar dalam
Tahzib at-Tahzib-nya, dari Ahmad bin ‘Abdullah bin Abu Dawud, yang berkata: “Saya
mendengar Abu ‘Isa at-Tirmidzi berkata: Pada suatu waktu dalam perjalanan
menuju Makkah, dan ketika itu saya telah menuslis dua jilid berisi
hadits-hadits yang berasal dari seorang guru. Guru tersebut berpapasan dengan
kami. Lalu saya bertanya-tanya mengenai dia, mereka menjawab bahwa dialah orang
yang kumaksudkan itu. Kemudian saya menemuinya. Saya mengira bahwa “dua jilid
kitab” itu ada padaku. Ternyata yang kubawa bukanlah dua jilid tersebut,
melainkan dua jilid lain yang mirip dengannya. Ketika saya telah bertemu dengan
dia, saya memohon kepadanya untuk mendengar hadits, dan ia mengabulkan
permohonan itu. Kemudian ia membacakan hadits yang dihafalnya. Di sela-sela
pembacaan itu ia mencuri pandang dan melihat bahwa kertas yang kupegang masih
putih bersih tanpa ada tulisan sesuatu apa pun. Demi melihat kenyataan ini, ia
berkata: ‘Tidakkah engkau malu kepadaku?’ lalu aku bercerita dan menjelaskan
kepadanya bahwa apa yang ia bacakan itu telah kuhafal semuanya. ‘Coba bacakan!’
suruhnya. Lalu aku pun membacakan seluruhnya secara beruntun. Ia bertanya lagi:
‘Apakah telah engkau hafalkan sebelum datang kepadaku?’ ‘Tidak,’ jawabku.
Kemudian saya meminta lagi agar dia meriwayatkan hadits yang lain. Ia pun
kemudian membacakan empat puluh buah hadits yang tergolong hadits-hadits yang
sulit atau garib, lalu berkata: ‘Coba ulangi apa yang kubacakan tadi,’ Lalu aku
membacakannya dari pertama sampai selesai; dan ia berkomentar: ‘Aku belum
pernah melihat orang seperti engkau.”
5)
Pandangan
Para Kritikus Hadits Terhadapnya
Para ulama besar
telah memuji dan menyanjungnya, dan mengakui akan kemuliaan dan keilmuannya.
Al-Hafiz Abu Hatim Muhammad ibn Hibban, kritikus hadits, menggolangkan
Tirmidzi ke dalam kelompok “Siqat” atau orang-orang yang dapat dipercayai dan
kokoh hafalannya, dan berkata: “Tirmidzi adalah salah seorang ulama yang
mengumpulkan hadits, menyusun kitab, menghafal hadits dan bermuzakarah
(berdiskusi) dengan para ulama.”Abu Ya’la al-Khalili dalam kitabnya ‘Ulumul
Hadits menerangkan; Muhammad bin ‘Isa at-Tirmidzi adalah seorang penghafal dan
ahli hadits yang baik yang telah diakui oleh para ulama. Ia memiliki
kitab Sunan dan kitab Al-Jarh wat-Ta’dil. Hadits-haditsnya diriwayatkan oleh
Abu Mahbub dan banyak ulama lain. Ia terkenal sebagai seorang yang dapat
dipercaya, seorang ulama dan imam yang menjadi ikutan dan yang berilmu luas.
Kitabnya Al-Jami’us Sahih sebagai bukti atas keagungan derajatnya, keluasan
hafalannya, banyak bacaannya dan pengetahuannya tentang hadits yang sangat
mendalam.
6)
Fiqh
Tirmidzi dan Ijtihadnya
Imam Tirmidzi, di
samping dikenal sebagai ahli dan penghafal hadits yang mengetahui
kelemahan-kelemahan dan perawi-perawinya, ia juga dikenal sebagai ahli fiqh
yang mewakili wawasan dan pandangan luas.
Barang siapa
mempelajari kitab Jami’nya ia akan mendapatkan ketinggian ilmu dan kedalaman
penguasaannya terhadap berbagai mazhab fikih. Kajian-kajiannya mengenai
persoalan fiqh mencerminkan dirinya sebagai ulama yang sangat berpengalaman dan
mengerti betul duduk permasalahan yang sebenarnya.
Salah satu contoh
ialah penjelasannya terhadap sebuah hadits mengenai penangguhan membayar
piutang yang dilakukan si berutang yang sudah mampu, sebagai berikut: “Muhammad
bin Basysyar bin Mahdi menceritakan kepada kami Sufyan menceritakan kepada
kami, dari Abi az-Zunad, dari al-A’rai dari Abu Hurairah, dari Nabi Shallallahu
‘alaihi wassalam, bersabda: ‘Penangguhan membayar utang yang dilakukan oleh si
berutang) yang mampu adalah suatu kezaliman. Apabila seseorang di antara kamu
dipindahkan utangnya kepada orang lain yang mampu membayar, hendaklah
pemindahan utang itu diterimanya.” Imam Tirmidzi memberikan penjelasan sebagai
berikut: Sebagian ahli ilmu berkata: ” apabila seseorang dipindahkan piutangnya
kepada orang lain yang mampu membayar dan ia menerima pemindahan itu, maka
bebaslah orang yang memindahkan (muhil) itu, dan bagi orang yang dipindahkan
piutangnya (muhtal) tidak dibolehkan menuntut kepada muhil.”
Diktum ini adalah
pendapat Syafi’i, Ahmad dan Ishaq. Sebagian ahli ilmu yang lain berkata:
“Apabila harta seseorang (muhtal) menjadi rugi disebabkan kepailitan muhal
‘alaih, maka baginya dibolehkan menuntut bayar kepada orang pertama (muhil).”
Mereka memakai alas an dengan perkataan Usma dan lainnya, yang menegaskan:
“Tidak ada kerugian atas harta benda seorang Muslim.” Menurut Ishak, maka
perkataan “Tidak ada kerugian atas harta benda seorang Muslim” ini adalah
“Apabila seseorang dipindahkan piutangnya kepada orang lain yang dikiranya
mampu, namun ternyata orang lain itu tidak mampu, maka tidak ada kerugian atas
harta benda orang Muslim (yang dipindahkan utangnya) itu.”
Itulah salah satu
contoh yang menunjukkan kepada kita, bahwa betapa cemerlangnya pemikiran fiqh
Tirmidzi dalam memahami nas-nas hadits, serta betapa luas dan orisinal
pandangannya itu.
7)
Karya-karyanya
Imam Tirmidzi banyak
menulis kitab-kitab. Di antaranya: 1. Kitab Al-Jami’, terkenal dengan sebutan
Sunan at-Tirmidzi. 2. Kitab Al-‘Ilal. 3. Kitab At-Tarikh. 4. Kitab Asy-Syama’il
an-Nabawiyyah. 5. Kitab Az-Zuhd. 6. Kitab Al-Asma’ wal-kuna. Di antara
kitab-kitab tersebut yang paling besar dan terkenal serta beredar luas adalah
Al-Jami’.
8)
Sekilas
tentang Al-Jami’
Kitab ini adalah
salah satu kitab karya Imam Tirmidzi terbesar dan paling banyak manfaatnya. Ia
tergolonga salah satu “Kutubus Sittah” (Enam Kitab Pokok Bidang Hadits) dan
ensiklopedia hadits terkenal. Al-Jami’ ini terkenal dengan nama Jami’ Tirmidzi,
dinisbatkan kepada penulisnya, yang juga terkenal dengan nama Sunan Tirmidzi.
Namun nama pertamalah yang popular. Sebagian ulama tidak berkeberatan
menyandangkan gelar as-Sahih kepadanya, sehingga mereka menamakannya dengan
Sahih Tirmidzi. Sebenarnya pemberian nama ini tidak tepat dan terlalu gegabah.
Setelah selesai
menyususn kitab ini, Tirmidzi memperlihatkan kitabnya kepada para ulama dan
mereka senang dan menerimanya dengan baik. Ia menerangkan: “Setelah selesai menyusun
kitab ini, aku perlihatkan kitab tersebut kepada ulama-ulama Hijaz, Irak dan
Khurasan, dan mereka semuanya meridhainya, seolah-olah di rumah tersebut ada
Nabi yang selalu berbicara.”
Imam Tirmidzi di
dalam Al-Jami’-nya tidak hanya meriwayatkan hadits sahih semata, tetapi juga
meriwayatkan hadits-hadits hasan, da’if, garib dan mu’allal dengan menerangkan
kelemahannya.
Dalam pada itu, ia
tidak meriwayatkan dalam kitabnya itu, kecuali hadits-hadits yang diamalkan
atau dijadikan pegangan oleh ahli fiqh. Metode demikian ini merupakan cara atau
syarat yang longgar. Oleh karenanya, ia meriwayatkan semua hadits yang memiliki
nilai demikian, baik jalan periwayatannya itu sahih ataupun tidak sahih. Hanya
saja ia selalu memberikan penjelasan yang sesuai dengan keadaan setiap hadits.
Diriwayatkan, bahwa
ia pernah berkata: “Semua hadits yang terdapat dalam kitab ini adalah dapat
diamalkan.” Oleh karena itu, sebagian besar ahli ilmu menggunakannya (sebagai
pegangan), kecuali dua buah hadits, yaitu: Pertama, yang artinya: “Sesungguhnya
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam menjamak shalat Zuhur dengan Asar, dan
Maghrib dengan Isya, tanpa adanya sebab “takut” dan “dalam perjalanan.” “Jika
ia peminum khamar, minum lagi pada yang keempat kalinya, maka bunuhlah dia.”
Hadits ini adalah mansukh dan ijma ulama menunjukan demikian. Sedangkan
mengenai shalat jamak dalam hadits di atas, para ulama berbeda pendapat atau
tidak sepakat untuk meninggalkannya. Sebagian besar ulama berpendapat boleh
(jawaz) hukumnya melakukan salat jamak di rumah selama tidak dijadikan
kebiasaan. Pendapat ini adalah pendapat Ibnu Sirin dan Asyab serta sebagian
besar ahli fiqh dan ahli hadits juga Ibnu Munzir.
Hadits-hadits
da’if dan munkar yang terdapat dalam kitab ini, pada umumnya hanya menyangkut
fada’il al-a’mal (anjuran melakukan perbuatan-perbuatan kebajikan). Hal itu
dapat dimengerti karena persyaratan-persyaratan bagi (meriwayatkan dan
mengamalkan) hadits semacam ini lebih longgar dibandingkan dengan persyaratan
bagi hadits-hadits tentang halal dan haram
No comments:
Post a Comment