1.
Al
Khathib Al Baghdadi (wafat 463 H)
Nama sebenarnya
adalah Abu Bakar Muhammad Ahmad bin Ali bin Tsabit, terkenal dengan nama “Al
Khathib Al Baghdadi”. Ia yang menulis kitab terkenal Kitab Tarikh Baghdad. Ia
lahir pada tahun 392 H di Iraq , Ayahnya bernama Khatib Darzanjan menyuruh
anaknya memperdalam ilmu hadits sejak kecil (tahun 403H). Ia mengembara ke
bebagai wilayah untuk memperdalam ilmu hadits. Ia
menyimak hadits dari sejumlah besar kalangan muhadditsin yang tsiqah dari
berbagai wilayah seperti Baghdad, Bashrah, Naisabur, Ashbahan, Dainur, Hamadan,
Kufah, Haramain, Damaskus, al Quds dan lain lainnya. Ia juga merantau ke Syam
(Syiria) pada tahun 451 H dan menetap disana selama 11 tahun.
Banyak ulama yang meriwayatkan
hadits darinya termasuk gurunya sendiri Ahmad al Bargani (Baghdad), Ibnu Makula
berkata,” Al Khatib adalah tokoh terkenal terakhir yang kami akui
kepintarannya, hapalannya, ke dhabith annya tentang hadits hadits Rasulullah
Shallallahu alaihi wassalam, juga kelihaiannya dalam mengetahui illat illat dan
sanad sanadnya, serta mengetahui akan shahih, gharib, ahad, mungkar atau
matruknya sebuah hadits”. Ia
melanjutkan ,” Tidak ada orang Baghdad setelah Daraquthni yang sekaliber al
Khatib”.
Sebelum wafatnya ia
menyedekahkan seluruh harta nya senilai 200 Dinar kepada para Ulama dan Kaum
Faqir, bahkan ia berwasiat agar menyedekahkan kitab kitabnya kepada kaum
muslimin. Ia
wafat pada tahun 463 H.
2.
Ibnu
Qudamah Al Maqdisi
Beliau adalah seorang
imam, ahli fiqih dan zuhud, Asy Syaikh Muwaffaquddin Abu Muhammad Abdullah
Bin Ahmad Bin Muhammad Ibnu Qudamah al-Hanbali al-Almaqdisi. Beliau
berhijrah ke lereng bukit Ash-Shaliya, Damaskus, dan dibubuhkanlah namanya
ad-Damsyiqi ash-Shalihi, nisbah kepada kedua daerah itu. Dilahirkan pada bulan
Sya’ban 541 H di desa Jamma’il, salah satu daerah bawahan Nabulsi, dekat Baitil
Maqdis, Tanah Suci di Palestina.
Saat itu tentara
salib menguasai Baitil Maqdis dan daerah sekitarnya. Karenanya, ayahnya, Abul
Abbas Ahmad Bin Muahammad Ibnu Qudamah, tulang punggung keluarga dari pohon
nasab yang baik ini hajrah bersama keluarganya ke Damaskus dengan kedua
anaknya, Abu Umar dam Muwaffaquddin, juga saudara sepupu mereka, Abdul Ghani
al-Maqdisi, sekitar tahun 551 H (Al-Hafidz Dhiya’uddin mempunyai sebuah kitab
tentang sebab hijrahnya pendududk Baitul Maqdis ke Damaskus.
Di Damaskus mereka
singgah di Masjid Abu Salih, di luar gerbang timur. Setelah dua tahun di sana,
mereka pindahke kaki gunung Qaisun di Shalihia, Damaskus. Di masa-masa itu
Muwaffaquddin menghafal Al Quran dan menimba ilmu-ilmu dasar kepada ayahnya,
Abul’Abbas, seorang ulama yang memiliki kedudukan mulia srta seorang yang
zuhud.Kemudian ia berguru kepada para ulama Damskus lainnya. Ia hafal Mukhtasar
Al Khiraqi (fiqih madzab Imam Ahmad Bin Hambal) dan kitab-kitab lainnnya. Ia
memiliki kemajuan pesat dalam menkaji ilmu. Menginjak umur 20 tahun, ia pergi
ke Bghdad ditemani saudara sepupunya, Abdul Ghani al-Maqdisi (anak saudara
laki-laki ibunya) dan keduanya umurnya sama.
Muwaffaquddin semula
menetap sebentar di kediaman Syekh Abdul Qadir Al-Jailani,di Baghdad. Saat itu
Shaikh berumur 90 tahun. Ia mengaji kepada beliau Mukhtasar Al-Khiraqi denagan
penuh ketelitian dan pemahaman yang dalam, karena ia talah hafal kitab itu
sejak di Damaskus. Kemudian wafatlah Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani
rahimahullah. Selanjutnya
ia tidak pisah dengan Syaikh Nashih al-Islam Abul Fath Ibn Manni untuk mengaji
kepada belia madzab Ahmad dan perbandingan madzab. Ia menetap di Baghdad selama
4 tahun. Di kota itu juga ia mengaji hadis dengan sanadnya secara langsung
mendengar dari Imam Hibatullah Ibn Ad-Daqqaq dan lainnya. Setelah itu ia pulang
ke Damaskus dan menetap sebentar di keluarganya. Lalu kembali ke Baghdad tahun
576 H.
Di Baghdad dalam
kunjungannya yang kedua, ia lanjutkan mengajihadis selama satu tahun, mendengar
langsung dengan sanadnya dari Abdul Fath Ibn Al-Manni. Setelah itu ia kembali
ke Damaskus.
Pada tahun 574 H ia
menunaikan ibadah haji,seusai ia pulang ke Damaskus. Di sana ia mulai menyusun
kitabnya Al-Mughni Syarh Mukhtasar Al-Khiraqi (fiqih madzab Imam Ahmad Bin
Hambal). Kitab ini tergolong kitab kajian terbesar dalam masalah fiqih secarar
umum, dan khususnya di madzab Imam Ahmad Bin Hanbal. Sampai-sampai Imam
‘Izzudin Ibn Abdus Salam As-Syafi’i, yang digelari Sulthanul ‘Ulama mengatakan
tentang kitab ini: “Saya merasa kurang puas dalam berfatwa sebelum saya
menyanding kitab al-Mughni”.
Banyak para santri
yang menimba ilmu hadis kepada beliau, fiqih, dan ilmu-ilmu lainnya. Dan banyak
pula yang menjadi ulama fiqih setelah mengaji kepada beliau. Diantaranya,
kpeonakannya sendiri, seorang qadhi terkemuka, Syaikh Syamsuddin Abdur Rahman
Bin Abu Umar dan ulama-ulama lainnya seangkatannya.
Di samping itu beliau
masih terus menulis karya-karya ilmiah di berbagai disiplin ilmu, lebih-lebih
di bidang fiqih yang dikuasainya denagn matang. Beliau banyak menulis kitab di
bidang fiqih ini,ynag kitab-kitab karyanya membuktikan kamapanannya yang
sempurna di bidang itu. Sampai-sampai ia menjadi buah bibir orang banyak dari
segala penjuru yang membicarakan keutamaan keilmuan dan munaqib (sisi-sisi
keagungannya).
Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyah berkata: ”Setelah Al-Auza’i, tidak ada orang yang masuk ke negri
Syam yang lebih mapan di bidang fiqih melebihi Al-Muwaffaq”.
Ibnu Ash-Shalah
berkata: ”Saya tidak pernah melihat orang alim seperti Al-Muwaffaq”.
Cucu Ibn Al-Jauzi
barkata: ”Orang yang melihat Al-Muwaffaq seakan-akan ia melihat salah
seorang sahabat nabi. Seakan-akan cahaya memancar dari wajahnya.”
Imam Al-Muwaffaqiq
adalh seorang imam di berbagai disiplin ilmu syar’i. Di zaman beliau, setelah
saudaranya(Abu Umar), tiada orang yang lebih zuhud, lebih wara’ dan lebih mapan
ilmunya melebihi beliau.
Beliau mengikuti
jejek As-Salaf dalam masalah aqidah, kezuhudan, dan kewara’an. Beliau sangat
pemalu, sangat menjauh dari gemerlapnya dunia dan dari pengejarnya. Beliau
sosok yang pemaaf, tidak kaku dan sangat rendah hati, cinta kepada orang yang
kesusahan, mulia akhlaknya, banyak berkorban untuk orang lain, tekun beribadah,
kaya keutamaan, berotak cerdas, sangat jeli dalam ilmunya, sangat tenang,
sedikit bicara, dan banyak kerja. Orang merasa tentram dan damai dengan sekedar
memandang wajahnya walau sebelum beliau berbicara. Kebaikan dan kemuliaan sifat
beliau tidak terhitung. Al-Hafidzh Dhiya’uddin al-Maqdisi, demikian juga
al-Hafidzh Adz-Dzahabi, menulis sebuah kitab tentang biogrfi Imam Ibnu Qudamah
ini.
Kemasyhuran Imam Ibnu
Qudamah tidak terbatas pada masalah keilmuan dan ketaqwaan, akan tetapi beliau
juga seorang mujahod yang terjun di medan jihad fisabilillah bersama pahlawan
besar Shalahuddin al-Ayyubi
yang berhasil menyatukan kekuatan militer umat Islam pada tahun 583 H untuk
menumpas tentara salib dan membersihkan tanah suci Quds dari najis mereka. Para
penulis biografi Imam Ibnu Qudamah menyebutkan bahwa belia dan saudara
kandungnya, Abu Umar, beserta murid-murid beliau dan beberapa orang keluarganya
turut berjihad di bawah panji-panij para mujahidin yang dimenangkan oleh Alloh
ini. Beliau berdua dan murid-muridnya mempunyai satu kemah yang senantiasa
berpindah-pindah kemanapun para mujahidin berpindah dan mengambil posisi.
Imam Ibnu Qudamah
wafat pada hari Sabtu,tepat di hari Idul Fithri tahun 629 H. Beliau dimakamkan
di kaki gunung Qasiun di Shalihiya, di sebuah lereng di atas Jami’ Al-Hanabilah
(masjid besar para pengikut madzab Imam Ahmad Bin Hanbal).
No comments:
Post a Comment