1.
Muhammad bin al-Hanafiyyah (wafat 181 H)
Namanya adalah
Muhammad Ibn al-Hanafiah, ia banyak menimba ilmu dari ‘Ali bin Abi
thalib.” Pada saat telah terjadi percekcokan antara Muhammad ibn al-Hanafiyyah
dan saudaranya al-Hasan ibn Ali, maka Ibn al-Hanafiah mengirim surat kepada
saudaranya itu, isinya, “Sesungguhnya Allah telah memberikan kelebihan kepadamu
atas diriku…Ibumu Fathimah binti Muhammad ibn Abdullah, sedangkan ibuku seorang
wanita dari Bani “Haniifah.” Kakekmu dari garis ibu adalah utusan Allah dan
makhluk pilihannya, sedangkan kakekku dari garis ibu adalah Ja’far ibn Qais.
Apabila suratku ini sampai kepadamu, kemarilah dan berdamailah denganku,
sehingga engkau memiliki keutamaan atas diriku dalam segala hal.”
Begitu surat itu
sampai ke tangan al-Hasan…ia segera ke rumahnya dan berdamai dengannya.
Siapakah Muhammad ibn al-Hanafiyyah, seorang adib (ahli adab/pujangga), seorang
yang pandai dan berakhlak lembut ini? Marilah, kita membuka lembaran hidupnya
dari awal.
Kisah ini bermula
sejak akhir kehidupan Rasulullah Shallallahu Alaihi Wassalam. Pada suatu hari,
Ali ibn Abi Thalib duduk bersama Nabi Shallallahu Alaihi Wassalam, maka ia
berkata, “Wahai Rasulullah…apa pendapatmu apabila aku dikaruniani seorang anak
setelah engkau meninggal, (bolehkah) aku menamainya dengan namamu dan
memberikan kun-yah (sapaan yang biasanya diungkapkan dengan ‘Abu fulan…’) dengan
kunyah-mu?.” “Ya” jawab beliau.
Kemudian hari-hari
pun berjalan terus. Dan Nabi yang mulia Shallallahu Alaihi Wassalam bertemu
dengan ar-Rafiiqul al-A’laa (berpulang ke sisi Allah)…dan setelah hitungan
beberapa bulan Fathimah yang suci, Ibunda al-Hasan dan al-Husain menyusul
beliau (wafat). Ali
lalu menikahi seorang wanita Bani Haniifah. Ia menikahi Khaulah binti Ja’far
ibn Qais al-Hanafiyyah, yang kemudian melahirkan seorang anak laki-laki
untuknya. Ali menamainya “Muhammad” dan memanggilnya dengan kun-yah “Abu
al-Qaasim” atas izin Rasulullah Shallallahu Alaihi Wassalam. Hanya saja
orang-orang terlanjur memanggilnya Muhammad ibn al-Hanafiyyah, untuk
membedakannya dengan kedua saudaranya al-Hasan dan al-Husain, dua putra
Fathimah az-Zahra. Kemudian iapun dikenal dalam sejarah dengan nama tersebut.
Muhammad ibn
al-Hanafiyyah lahir di akhir masa khilafah ash-Shiddiq (Abu Bakar) RA. Ia
tumbuh dan terdidik di bawah perawatan ayahnya, Ali bin Abi Thalib, ia lulus di
bawah didikannya. Ia belajar ibadah dan kezuhudan dari ayahnya…mewarisi
kekuatan dan keberaniannya…menerima kefasihan dan balaghoh darinya. Hingga ia
menjadi pahlawan perang di medan pertempuran…singa mimbar di perkumpulan
manusia…seorang ahli ibadah malam (Ruhbaanullail) apabila kegelapan telah menutup
tirainya ke atas alam dan saat mata-mata tertidur lelap.
Ayahnya telah
mengutusnya ke dalam pertempuran-pertempuran yang ia ikuti. Dan ia (Ali) telah
memikulkan di pudaknya beban-beban pertempuran yang tidak ia pikulkan kepada
kedua saudaranya yang lain; al-Hasan dan al-Husain. Ia pun tidak terkalahkan
dan tidak pernah melemah keteguhannya.
Pada suatu ketika
pernah dikatakan kepadanya, “Mengapakah ayahmu menjerumuskanmu ke dalam
kebinasaan dan membebankanmu apa yang kamu tidak mampu memikulnya dalam tempat-tempat
yang sempit tanpa kedua saudaramu al-Hasan dan al-Husain?” Ia menjawab, “Yang
demikian itu karena kedua saudaraku menempati kedudukan dua mata
ayahku…sedangkan aku menempati kedudukan dua tangannya…sehingga ia (Ali)
menjaga kedua matanya dengan kedua tangannya.”
Dalam perang
“Shiffin” yang berkecamuk antara Ali ibn Abi Thalib dan Muawiyah ibn Abi Sufyan
RA. Adalah Muhammad ibn al-Hanafiyyah membawa panji ayahnya. Dan di saat roda
peperangan berputar menggilas pasukan dari dua kelompok, terjadilah sebuah
kisah yang ia riwayatkan sendiri. Ia menuturkan, “Sungguh aku telah melihat
kami dalam perang “Shiffin”, kami bertemu dengan para sahabat Muawiyah, kami
saling membunuh hingga aku menyangka bahwa tidak akan tersisa seorang pun dari
kami dan juga dari mereka. Aku menganggap ini adalah perbuatan keji dan besar.
Tidaklah berselang
lama hingga aku mendengar seseorang yang berteriak di belakangku, “Wahai kaum
Muslimin…(takutlah kepada) Allah, (takutlah kepada Allah)…wahai kaum Muslimin…
Siapakah yang akan (melindungi) para wanita dan anak-anak?…
Siapakah yang akan menjaga agama dan kehormatan?…
Siapakah yang akan menjaga serangan Romawi dan ad-Dailami?*… Wahai kaum Muslimin…takutlah kepada Allah, takutlah kepada Allah dan sisakan kaum muslimin, wahai ma’syarol muslimin.”
Siapakah yang akan (melindungi) para wanita dan anak-anak?…
Siapakah yang akan menjaga agama dan kehormatan?…
Siapakah yang akan menjaga serangan Romawi dan ad-Dailami?*… Wahai kaum Muslimin…takutlah kepada Allah, takutlah kepada Allah dan sisakan kaum muslimin, wahai ma’syarol muslimin.”
Maka sejak hari itu,
aku berjanji kepada diriku untuk tidak mengangkat pedangku di wajah seorang
Muslim.
Kemudian Ali mati syahid di tangan pendosa yang dzalim (di tangan Abdurrahman ibn Miljam ).
Kemudian Ali mati syahid di tangan pendosa yang dzalim (di tangan Abdurrahman ibn Miljam ).
Kekuasaan pun
berpindah kepada Muawiyah ibn Abi Sufyan. Maka, Muhammad ibn al-Hanafiyyah
membaiatnya untuk selalu taat dan patuh dalam keadaan suka maupun benci karena
keinginannya hanya untuk menyatukan suara dan mengumpulkan kekuatan serta untuk
menggapai izzah bagi Islam dan Muslimin.
Muawiyah merasakan
ketulusan baiat ini dan kesuciannya. Ia merasa benar-benar tentram kepada
sahabatnya, hal mana menjadikannya mengundang Muhammad ibn al-Hanafiyyah untuk
mengunjunginya. Maka, ia pun mengunjunginya di Damaskus lebih dari sekali…dan
lebih dari satu sebab.
Di antaranya, bahwa
kaisar Romawi menulis surat kepada Muawiyah. Ia mengatakan, “Sesungguhnya
raja-raja di sini saling berkoresponden dengan raja-raja yang lain. Sebagian
mereka bersenang-senang dengan yang lainnya dengan hal-hal aneh yang mereka miliki…sebagin
mereka saling berlomba dengan sebagian yang lain dengan keajaiban-keajaiban
yang ada di kerajaan-kerajaan mereka. Maka, apakah kamu mengizinkan aku untuk
mengadakan (perlombaan) antara aku dan kamu seperti apa yang terjadi di antara
mereka?” Maka, Muawiyah mengiyakannya dan mengizinkannya.
Kaisar Romawi
mengirim dua orang pilih-tandingnya. Salah seorang darinya berbadan tinggi dan
besar sekali sehingga seakan-akan ia ibarat pohon besar yang menjulang tinggi
di hutan atau gedung tinggi nan kokoh. Adapun orang yang satu lagi adalah
seorang yang begitu kuat, keras dan kokoh seakan-akan ia ibarat binatang liar
yang buas. Sang kaisar menitipkan surat bersama keduanya, ia berkata dalam
suratnya, “Apakah di kerajaanmu ada yang menandingi kedua orang ini, tingginya
dan kuatnya?.”
Muawiyah lalu berkata kepada ‘Amr ibn al-‘Aash, “Adapun orang yang berbadan tinggi, aku telah menemukan orang yang sepertinya bahkan lebih darinya…ia Qais ibn Sa’d ibn ‘Ubadah. Adapun orang yang kuat, maka aku membutuhkan pendapatmu.”
‘Amr berkata, “Di sana ada dua orang untuk urusan ini, hanya saja keduanya jauh darimu. Mereka adalah Muhammad ibn al-Hanafiyyah dan Abdullah ibn az-Zubair.” “Sesungguhnya Muhammad ibn al-Hanafiyyah tidaklah jauh dari kita,” kata Muawiyyah. “Akan tetapi apakah engkau mengira ia akan ridla bersama kebesaran kemuliaannya dan ketinggian kedudukannya untuk mengalahkan kekuatan orang dari Romawi ini dengan ditonton manusia,?” tanya ‘Amr.
Muawiyah lalu berkata kepada ‘Amr ibn al-‘Aash, “Adapun orang yang berbadan tinggi, aku telah menemukan orang yang sepertinya bahkan lebih darinya…ia Qais ibn Sa’d ibn ‘Ubadah. Adapun orang yang kuat, maka aku membutuhkan pendapatmu.”
‘Amr berkata, “Di sana ada dua orang untuk urusan ini, hanya saja keduanya jauh darimu. Mereka adalah Muhammad ibn al-Hanafiyyah dan Abdullah ibn az-Zubair.” “Sesungguhnya Muhammad ibn al-Hanafiyyah tidaklah jauh dari kita,” kata Muawiyyah. “Akan tetapi apakah engkau mengira ia akan ridla bersama kebesaran kemuliaannya dan ketinggian kedudukannya untuk mengalahkan kekuatan orang dari Romawi ini dengan ditonton manusia,?” tanya ‘Amr.
Muawiyah berkata,
“Sesungguhnya ia akan melakukan hal itu dan lebih banyak dari itu, apabila ia
menemukan izzah bagi Islam padanya.” Kemudian Muawiyah memanggil keduanya, Qais
ibn Sa’d dan Muhammad ibn al-Hanafiyyah.
Ketika majelis telah
dimulai, Qais ibn Sa’d berdiri dan melepaskan sirwal-sirwal-nya (celana yang
lebar) lalu melemparkannya kepada al-‘Ilj** dari Romawi dan menyuruhnya untuk
memakainya. Ia pun memakainya…maka, sirwalnya menutupi sampai di atas kedua
dadanya sehingga orang-orang ketawa dibuatnya.
Adapun Muhammad ibn
al-Hanafiyyah, ia berkata kepada penterjemahnya, “Katakan kepada orang Romawi
ini…apabila ia mau, ia duduk dan aku berdiri, lalu ia memberikan tangannya
kepadaku. Entah aku yang akan mendirikannya atau dia yang mendudukkanku…Dan
bila ia mau, dia yang berdiri dan aku yang duduk…” Orang Romawi tadi memilih
duduk.
Maka Muhammad
memegang tangannya, dan (menariknya) berdiri…dan orang Romawi tersebut tidak
mampu (menariknya) duduk… Kesombongan pun merayap dalam dada orang Romawi, ia
memilih berdiri dan Muhammad duduk. Muhammad lalu memegang tangannya dan
menariknya dengan satu hentakan hampir-hampir melepaskan lengannya dari pundaknya…dan
mendudukkannya di tanah.
Kedua orang kafir
Romawi tersebut kembali kepada rajanya dalam keadaan kalah dan terhina. Hari-hari
berputar lagi…
Muawiyah dan putranya Yazid serta Marwan ibn al-Hakam telah berpindah ke rahmatullah…Kepemimpinan Bani Umayyah berpindah kepada Abdul Malik ibn Marwan, ia mengumumkan dirinya sebagai khalifah muslimin dan penduduk Syam membaiatnya. Sementara penduduk Hijaz dan Irak telah membaiat Abdullah ibn az-Zubair***.
Muawiyah dan putranya Yazid serta Marwan ibn al-Hakam telah berpindah ke rahmatullah…Kepemimpinan Bani Umayyah berpindah kepada Abdul Malik ibn Marwan, ia mengumumkan dirinya sebagai khalifah muslimin dan penduduk Syam membaiatnya. Sementara penduduk Hijaz dan Irak telah membaiat Abdullah ibn az-Zubair***.
Setiap dari keduanya
mulai menyeru orang yang belum membaiatnya untuk membaiatnya…dan mendakwakan
kepada manusia bahwa ia yang paling berhak dengan kekhalifahan daripada
sahabatnya. Barisan kaum muslimin pun terpecah lagi…
Di sinilah Abdullah ibn az-Zubair meminta kepada Muhammad ibn al-Hanafiyyah untuk membaiatnya sebagaimana penduduk Hijaz telah membaiatnya. Hanya saja Ibn al-Hanafiyyah memahami betul bahwa baiat akan menjadikan hak-hak yang banyak di lehernya bagi orang yang ia baiat. Di antaranya adalah menghunus pedang untuk menolongnya dan memerangi orang-orang yang menyelisihinya. Dan para penyelisihnya hanyalah orang-orang muslim yang telah berijtihad, lalu membaiat orang yang tidak ia bai’at. Tidaklah orang yang berakal sempurna lupa akan kejadian di hari “Shiffin.”
Di sinilah Abdullah ibn az-Zubair meminta kepada Muhammad ibn al-Hanafiyyah untuk membaiatnya sebagaimana penduduk Hijaz telah membaiatnya. Hanya saja Ibn al-Hanafiyyah memahami betul bahwa baiat akan menjadikan hak-hak yang banyak di lehernya bagi orang yang ia baiat. Di antaranya adalah menghunus pedang untuk menolongnya dan memerangi orang-orang yang menyelisihinya. Dan para penyelisihnya hanyalah orang-orang muslim yang telah berijtihad, lalu membaiat orang yang tidak ia bai’at. Tidaklah orang yang berakal sempurna lupa akan kejadian di hari “Shiffin.”
Tahun yang panjang
belum mampu menghapus suara yang menggelegar dari kedua pendengarannya, kuat
dan penuh kesedihan, dan suara itu memanggil dari belakangnya, “Wahai kaum
Muslimin…(takutlah kepada) Allah, (takutlah kepada) Allah…wahai kaum Muslimin… Siapakah
yang akan (melindungi) para wanita dan anak-anak?… Siapakah yang akan menjaga
agama dan kehormatan?… Siapakah yang akan menjaga serangan Romawi dan
ad-Dailami.”.. Ya, ia belum lupa sedikitpun dari itu semua. Maka, ia berkata
kepada Abdullah ibn az-Zubair, “Sesungguhnya engkau mengetahui dengan
sebenar-benarnya, bahwa dalam perkara ini aku tidak memiliki tujuan dan tidak
pula permintaan…hanyalah aku ini seseorang dari kaum muslimin. Apabila kalimat
(suara) mereka berkumpul kepadamu atau kepada Abdul Malik, maka aku akan
membaiat orang yang suara mereka berkumpul padanya. Adapun sekarang, aku tidak
membaiatmu…juga tidak membaiatnya.”
Mulailah Abdullah
mempergaulinya dan berlemah lembut kepadanya dalam satu kesempatan. Dan dalam
kesempatan yang lain ia berpaling darinya dan bersikap keras kepadanya. Hanya
saja, Muhammad ibn al-Hanafiyyah tidak berselang lama hingga banyak orang yang
bergabung dengannya ketika mereka mengikuti pendapatnya. Dan mereka menyerahkan
kepemimpinan mereka kepadanya, hingga jumlah mereka sampai tujuh ribu orang
dari orang-orang yang memilih untuk memisahkan diri dari fitnah. Dan mereka
enggan untuk menjadikan diri mereka kayu bakar bagi apinya yang menyala.
Setiap kali pengikut
Ibn al-Hanafiyyah bertambah jumlahnya, bertambahlah kemarahan Ibn az-Zubair
kepadanya dan ia terus mendesaknya untuk membaiatnya.Ketika Ibn az-Zubair telah
putus asa, ia memerintahkannya dan orang-orang yang bersamanya dari Bani Hasyim
dan yang lainnya untuk menetap di Syi’b (celah di antara dua bukit) mereka di
Mekkah, dan ia menempatkan mata-mata untuk mengawasi mereka.
Kemudian ia berkata kepada mereka, “Demi Allah, sungguh-sungguh kalian harus membaiatku atau benar-benar aku akan membakar kalian dengan api.
Kemudian ia berkata kepada mereka, “Demi Allah, sungguh-sungguh kalian harus membaiatku atau benar-benar aku akan membakar kalian dengan api.
Kemudian ia menahan
mereka di rumah-rumahnya dan mengumpulkan kayu bakar untuk mereka, lalu
mengelilingi rumah-rumah dengannya hingga sampai ujung tembok. Sehingga
seandainya ada satu kayu bakar menyala niscaya akan membakar semuanya.
Di saat itulah,
sekelompok dari para pengikut Ibn al-Hanafiyyah berdiri kepadanya dan berkata,
“Biarkan kami membunuh Ibn az-Zubair dan menenangkan manusia dari
(perbuatan)nya.” Ia berkata, “Apakah kita akan menyalakan api fitnah dengan
tangan-tangan kita yang karenanya kita telah menyepi (memisahkan diri)…dan kita
membunuh seorang sahabat Rasulullah Shallallahu Alaihi Wassalam dan anak-anak
dari sahabatnya?! Tidak, demi Allah kita tidak akan melakukan sedikitpun apa
yang manjadikan Allah dan Rasul-Nya murka.”
Berita tentang apa yang diderita oleh Muhammad ibn al-Hanafiyah dan para pengikutnya dari kekerasan Abdullah ibn az-Zubair sampai ke telinga Abdul Malik ibn Marwan.
Berita tentang apa yang diderita oleh Muhammad ibn al-Hanafiyah dan para pengikutnya dari kekerasan Abdullah ibn az-Zubair sampai ke telinga Abdul Malik ibn Marwan.
Ia melihat kesempatan
emas untuk menjadikan mereka condong kepadanya. Ia lantas mengirim surat
bersama seorang utusannya, yang seandainya ia menulisnya untuk salah seorang
anaknya tentunya ‘dialek’nya tidak akan sehalus itu dan redaksinya tidak
selembut itu. Dan di antara isi suratnya adalah, “Telah sampai berita kepadaku
bahwa Ibn az-Zubair telah mempersempit gerakmu dan orang-orang yang
bersamamu…ia memutus tali persaudaraanmu…dan merendahkan hakmu. Ini negeri Syam
terbuka di depanmu, siap menjemputmu dan orang-orang yang bersamamu dengan
penuh kelapangan dan keluasan…singgahlah di sana dimana engkau mau, niscaya
engkau akan menemukan penduduknya mengucapkan selamat kepadamu dan para
tetangga yang mencintaimu…dan engkau akan mendapatkan kami orang-orang yang
memahami hakmu…menghormati keutamaanmu…dan menyambung tali persaudaraanmu Insya
Allah.
Muhammad ibn
al-Hanafiyah dan orang-orang yang bersamanya berjalan menuju negeri
Syam…sesampainya di “Ublah”, mereka menetap di sana.
Penduduknya
menempatkan mereka di tempat yang paling mulia dan menjamu mereka dengan baik
sebaga tetangga.
Mereka mencitai Muhammad ibn al-Hanafiyah dan mengagungkannya, karena apa yang mereka lihat dari kedalaman (ketekunan) ibadahnya dan kejujuran zuhudnya. Ia mulai menyuruh mereka kepada yang ma’ruf dan mencegah mereka dari yang munkar. Ia mendirikan syi’ar-syi’ar di antara mereka dan mengadakan ishlah dalam perselisihan mereka. Ia tidak membiarkan seorang pun dari manusia mendzalimi orang lain.
Di saat berita itu sampai ke telinga Abdul Malik ibn Marwan, hal tersebut memberatkan hatinya. Ia kemudian bermusyawarah dengan orang-orang terdekatnya. Mereka berkata kepadanya, “Kami tidak berpendapat agar engkau memperbolehkannya tinggal di kerajaanmu. Sedangkan sirahnya sebagaimana yang engkau ketahui…entah ia membaiatmu…atau ia kembali ke tempatnya semula.” Maka, Abdul Malik menulis surat untuknya dan berkata, “Sesungguhnya engkau telah mendatangi negeriku dan engkau singgah di salah satu ujungnya. Dan ini peperangan yang terjadi antara diriku dan Abdullah ibn az-Zubair. Dan engkau adalah seseorang yang memiliki tempat dan nama di antara kaum Muslimin. Dan aku melihat agar engkau tidak tinggal di negeriku kecuali bila engkau membaiatku. Bila engkau membaiatku, aku akan memberimu seratus kapal yang datang kepadaku dari “al-Qalzom” kemarin, ambillah beserta apa yang ada padanya. Bersama itu engkau berhak atas satu juta dirham ditambah dengan jumlah yang kamu tentukan sendiri untuk dirimu, anak-anakmu, kerabatmu, budak-budakmu dan orang-orang yang bersamamu. Bila engkau menolaknya maka pergilah dariku ke tempat yang aku tidak memiliki kekuasaan atasnya.”
Mereka mencitai Muhammad ibn al-Hanafiyah dan mengagungkannya, karena apa yang mereka lihat dari kedalaman (ketekunan) ibadahnya dan kejujuran zuhudnya. Ia mulai menyuruh mereka kepada yang ma’ruf dan mencegah mereka dari yang munkar. Ia mendirikan syi’ar-syi’ar di antara mereka dan mengadakan ishlah dalam perselisihan mereka. Ia tidak membiarkan seorang pun dari manusia mendzalimi orang lain.
Di saat berita itu sampai ke telinga Abdul Malik ibn Marwan, hal tersebut memberatkan hatinya. Ia kemudian bermusyawarah dengan orang-orang terdekatnya. Mereka berkata kepadanya, “Kami tidak berpendapat agar engkau memperbolehkannya tinggal di kerajaanmu. Sedangkan sirahnya sebagaimana yang engkau ketahui…entah ia membaiatmu…atau ia kembali ke tempatnya semula.” Maka, Abdul Malik menulis surat untuknya dan berkata, “Sesungguhnya engkau telah mendatangi negeriku dan engkau singgah di salah satu ujungnya. Dan ini peperangan yang terjadi antara diriku dan Abdullah ibn az-Zubair. Dan engkau adalah seseorang yang memiliki tempat dan nama di antara kaum Muslimin. Dan aku melihat agar engkau tidak tinggal di negeriku kecuali bila engkau membaiatku. Bila engkau membaiatku, aku akan memberimu seratus kapal yang datang kepadaku dari “al-Qalzom” kemarin, ambillah beserta apa yang ada padanya. Bersama itu engkau berhak atas satu juta dirham ditambah dengan jumlah yang kamu tentukan sendiri untuk dirimu, anak-anakmu, kerabatmu, budak-budakmu dan orang-orang yang bersamamu. Bila engkau menolaknya maka pergilah dariku ke tempat yang aku tidak memiliki kekuasaan atasnya.”
Muhammad ibn
al-Hanafiyah kemudian menulis balasan, “Dari Muhammad ibn Ali, kepada Abdul
Malik ibn Marwan. Assalamu ‘alaika…Sesungguhnya aku memuji kepada Allah yang
tidak ada Ilah yang berhak disembah selain Dia, (aku berterima kasih) kepadamu.
Amma ba’du…Barangkali engkau menjadi ketakutan terhadapku. Dan aku mengira
engkau adalah orang yang paham terhadap hakikat sikapku dalam perkara ini. Aku
telah singgah di Mekkah, maka Abdullah ibn az-Zubair menginginkan aku untuk
membaiatnya, dan tatkala aku menolaknya ia pun berbuat jahat terhadap
pertentanganku. Kemudian engkau menulis surat kepadaku, memanggilku untuk
tinggal di negeri Syam, lalu aku singgah di sebuah tempat di ujung tanahmu di
karenakan harganya murah dan jauh dari markaz (pusat) pemerintahanmu. Kemudian
engkau menulis kepadaku apa yang telah engkau tuliskan. Dan kami Insya Allah
akan meninggalkanmu.”
Muhammad ibn
al-Hanafiyyah beserta orang-orangnya dan kelurganya meninggalkan negeri Syam,
dan setiap kali ia singgah di suatu tempat ia pun di usir darinya dan
diperintahkan agar pergi darinya. Dan seakan-akan kesusahan belum cukup
atasnya, hingga Allah berkehendak mengujinya dengan kesusahan lain yang lebih
besar pengaruhnya dan lebih berat tekanannya…
Yang demikian itu, bahwa sekelompok dari pengikutnya dari kalangan orang-orang yang hatinya sakit dan yang lainnya dari kalangan orang-orang lalai. Mereka mulai berkata, “Sesungguhnya Rasulullah Shallallahu Alaihi Wassalam telah menitipkan di hati Ali dan keluarganya banyak sekali rahasia-rahasia ilmu, qaidah-qaidah agama dan perbendaharaan syariat. Beliau telah mengkhususkan Ahlul Bait dengan apa yang orang lain tidak mengetahuinya.”
Yang demikian itu, bahwa sekelompok dari pengikutnya dari kalangan orang-orang yang hatinya sakit dan yang lainnya dari kalangan orang-orang lalai. Mereka mulai berkata, “Sesungguhnya Rasulullah Shallallahu Alaihi Wassalam telah menitipkan di hati Ali dan keluarganya banyak sekali rahasia-rahasia ilmu, qaidah-qaidah agama dan perbendaharaan syariat. Beliau telah mengkhususkan Ahlul Bait dengan apa yang orang lain tidak mengetahuinya.”
Orang yang ‘alim,
beramal dan mahir ini memahami betul apa yang diusung oleh ucapan ini dari
penyimpangan, serta bahaya-bahaya yang mungkin diseretnya atas Islam dan
Muslimin. Ia pun mengumpulkan manusia dan berdiri mengkhutbahi mereka…ia memuji
Allah AWJ dan menyanjungnya dan bershalawat atas Nabi-Nya Muhammad Shallallahu
Alaihi Wassalam…kemudian berkata, “Sebagian orang beranggapan bahwa kami
segenap Ahlul Bait mempunyai ilmu yang Rasulullah Shallallahu Alaihi Wassalam
mengkhususkan kami dengannya, dan tidak memberitahukan kepada siapapun selain
kami. Dan kami –demi Allah- tidaklah mewarisi dari Rasulullah melainkan apa yang
ada di antara dua lembaran ini, (dan ia menunjuk ke arah mushaf). Dan
sesungguhnya barangsiapa yang beranggapan bahwa kami mempunyai sesuatu yang
kami baca selain kitab Allah, sungguh ia telah berdusta.”
Adalah sebagian
pengikutnya mengucapkan salam kepadanya, mereka berkata, “Assalamu’alaika wahai
Mahdi.”
Ia menjawab, “Ya, aku adalah Mahdi (yang mendapat petunjuk) kepada kebaikan…dan kalian adalah para Mahdi kepada kebaikan Insya Allah…akan tetapi apabila salah seorang dari kalian mengucapkan salam kepadaku, maka hendaklah menyalamiku dengan namaku. Hendaklah ia berkata, “Assalamu’alaika ya Muhammad.”
Ia menjawab, “Ya, aku adalah Mahdi (yang mendapat petunjuk) kepada kebaikan…dan kalian adalah para Mahdi kepada kebaikan Insya Allah…akan tetapi apabila salah seorang dari kalian mengucapkan salam kepadaku, maka hendaklah menyalamiku dengan namaku. Hendaklah ia berkata, “Assalamu’alaika ya Muhammad.”
Tidak berlangsung
lama kebingungan Muhammad ibn al-Hanafiyyah tentang tempat yang akan ia
tinggali beserta orang-orang yang bersamanya…Allah telah berkehendak agar
al-Hajjaj ibn Yusuf ats-Tsaqofi menumpas Abdullah ibn az-Zubair…dan agar
manusia seluruhnya membaiat Abdul Malik ibn Marwan. Maka, tidaklah yang ia
lakukan kecuali menulis surat kepada Abdul Malik, ia berkata, “Kepada Abdul
Malik ibn Marwan, Amirul Mukminin, dari Muhammad ibn Ali. Amma
ba’du…Sesungguhnya setelah aku melihat perkara ini kembali kepadamu, dan
manusia membaiatmu. Maka, aku seperti orang dari mereka. Aku membaiatmu untuk
walimu di Hijaz. Aku mengirimkan baiatku ini secara tertulis. Wassalamu’alaika.”
Ketika Abdul Malik
membacakan surat tersebut kepada para sahabatnya, mereka berkata, “Seandainya
ia ingin memecah tongkat ketaatan (baca: keluar dari ketaatan) dan membikin
perpecahan dalam perkara ini, niscaya ia mampu melakukannya, dan niscaya engkau
tidak memiliki jalan atasnya…Maka tulislah kepadanya dengan perjanjian dan
keamanan serta perjanjian Allah dan Rasul-Nya agar ia tidak diusir dan diusik,
ia dan para sahabatnya.”
Abdul Malik kemudian
menulis hal tersebut kepadanya. Hanya saja Muhammad ibn al-Hanafiyyah tidak
hidup lama setelah itu. Allah telah memilihnya untuk berada di sisi-Nya dalam
keadaan ridla dan diridlai.
Semoga
Allah memberikan cahaya kepada Muhammad ibn al-Hanafiyah di kuburnya, dan
semoga Allah mengindahkan ruhnya di surga…ia termasuk orang yang tidak
menginginkan kerusakan di bumi tidak pula ketinggian di antara manusia
No comments:
Post a Comment