Sunday, November 26, 2017

Metode Memahami Hadits Nabi SAW



BAB I
PENDAHULUAN
A.     Latar Belakang
Ketika Rasulullah saw. masih hidup, para sahabat tidaklah menemui kesulitan yang berarti jika menghadapi suatu persoalan yang membutuhkan penjelasan, karena dapat bertanya langsung dan mendengarkan penjelasan Nabi tanpa harus melalui perantara orang lain. Akan tetapi, di zaman ini, jarak waktu dengan Rasulullah saw sangat jauh, dan persoalan semakin banyak seiring dengan perkembangan peradaban manusia, yang sedianya membutuhkan landasan nash yang bersumber dari Nabi saw.
Sebenarnya tidaklah sulit untuk mendapatkan hadits-hadits Nabi saw. tentang berbagai masalah saat ini, seiring semakin banyaknya penulisan hadits, misalnya tersedianya kitab-kitab hadits seperti Sahih Bukhari, Sahih Muslim, kitab-kitab Sunan, dan sebagainya. Namun, untuk memahami hadis secara baik terkadang relatif  tidak mudah, khususnya jika kita menjumpai hadis-hadis yang tampak saling bertantangan atau adanya hadis-hadis Nabi yang tidak cukup dipahami secara tekstual. Diantara hadis hadis Nabi saw. ada yang berlaku universal dan tidak dibatasi tempat dan waktu, ada juga yang bersifat temporal dan lokal. Hal ini memerlukan pemahaman yang mendalam, padangan dan wawasan yang luas hingga dapat mengetahui tujuan syariat dan hakikat agama.
Oleh karena itu, keberadaan metodelogi pemahaman dan pendekatan interprestasi hadis mempunyai kedudukan yang sangat penting, mengingat makna yang terkandung dalam hadis adakalanya bersifat lokal dan temporer sehingga umat Islam dituntut untuk mampu memahami hadits secara tekstual, dan kontekstual. Hal ini diperlukan agar tidak keliru dalam mengaplikasikan ajaran Islam yang terkandung didalamnya.
Untuk menghindari terjadinya kekeliruan dalam memahami sebuah hadis, maka diperlukan metodologi pemahaman hadist yang tepat. Oleh karena itu, penulis akan memaparkan beberapa metode, pendekatan, dan teknik interpretasi dalam memahami hadis.
B.     Rumusan Masalah
Dari paparan singkat di atas, penulis mengangkat tiga rumusan masalah yaitu:
1.      Bagaimana metode memahami hadis?
2.      Apa-apa saja teknik dalam memahami hadis?
3.      Pendekatan apa saja yang digunakan dalam memahami hadis-hadis Nabi?



BAB II
PEMBAHASAN
A.  Metode Memahami Hadis
1.         Metode Tahli>ly> (Analisis)
       Metode tahli>ly> tidak hanya dipakai dalam kajian hadis, akan tetapi juga dipakai dalam kajian penafsiran al-Quran. Pada bidang penafsiran al-Quran, metode tahli>ly> (mengurai) adalah metode menafsirkan ayat-ayat al-Quran dari berbagai seginya, ayat demi ayat sebagaimana urutannya dalam mushaf al-Quran.[1]
       Apabila dinisbatkan pada lapangan hadis, metode tahli>ly> adalah salah satu metode yang digunakan dalam memahami hadis-hadis Nabi dengan memperhatikan atau mengurai segala aspek yang berhubungan dengannya seperti sanad, matan, siapa mukharrijnya (perawi), kualitas atau kedudukannya, pengetian mufradatnya, pengertian frase dan kandungannya. Hal ini senada dengan apa yang dipaparkan oleh Komaruddin Hidayat bahwa metode tahli>ly> dengan jalan menguraikan hadis secara detail kata demi kata dengan seutuh mungkin guna menjelaskan keseluruhan kandungan hadis dari berbagai seginya, baik itu merinci sanad hadis, matan hadis dan kandungan hadis.[2]
       Semua hal yang berkaitan dengan hadis tersebut diuraikan satu persatu dengan sedetail-detailnya, mulai dari yang pertama secara berurutan berlanjut hingga pada aspek yang terakhir. Pada aspek terakhir inilah kandungan hadis dapat ditetapkan.
Metode Tahlili ini memiliki beberapa kelebihan dan kekurangan, yaitu :
Kelebihan:
a.    Ruang lingkupnya luas sehingga memperkaya kita dengan berbagai pengetahuan sehubungan dengan hadis tersebut. Oleh karena itu metode ini sesuai dengan orang yang ingin mengetahui secara rinci tentang suatu hadis.
b.    Metode tahli>li  memuat berbagai macam ide dan pemahaman, karena metode ini memberikan kesempatan pada seseorang untuk menjelaskan kandungan suatu hadis yang bisa jadi berbeda dengan orang lain.
Adapun kekurangan metode tahli>ly>, antara lain[3]:
a.    Menjadikan petunjuk yang  dikandung sebuah hadis bersifat parsial, hal ini kemungkinan karena dalam metode ini tidak ada keharusan untuk membandingkan satu hadis dengan ayat al-Qur’an atau dengan hadis-hadis yang lain. Hingga bisa jadi makna yang diperoleh tidak lengkap.
b.     Terkadang melahirkan penafsiran yang subjektif, selain itu pendekatan dengan metode ini membuka pintu bagi berbagai macam pemikiran, termasuk israiliyat.
2.    Metode Muqara>n (Komparatif)
   Pada pengkajian al-Quran, metode muqara>n atau bisa juga disebut dengan metode komparatif adalah metode  menafsirkan al-Quran dengan berupaya membandingkan satu ayat dengan ayat yang lain atau dengan hadis Nabi SAW. yang kelihatannya bertentangan atau bahkan dengan pendapat dua ulama menyangkut ayat-ayat tertentu.[4]
Sedangkan metode muqara>n  dalam memahami hadis Nabi adalah metode yang digunakan ulama hadis sebagai tolak ukur dalam membandingkan antara satu matan dengan matan yang lain baik dari segi lafal maupun dari segi maknanya.
Penerapan metode ini, paling tidak ada tiga aspek hadis yang bisa dibandingkan, yaitu: pertama, hadis-hadis yang mempunyai sumber sanad yang sama, baik riwayat bi al-lafzh  maupun riwayat bi al-ma’na. Kedua, hadis-hadis yang mengandung makna yang sama, baik sejalan maupun bertolak belakang. Ketiga, hadis-hadis yang mempunyai tema yang sama, seperti aqidah, ibadah dan yang lainnya.[5]
   Dengan melakukan perbandingan ini maka akan didapatkan satu kesimpulan yang benar tentang apa sebetulnya makna yang dikandung hadis tersebut.
Seperti halnya dengan metode tahlili, metode Muqaran juga memiliki beberapa Kelebihan dan Kekurangan, yaitu :
Kelebihan :
a.    Membuka pintu untuk selalu bersikap toleran terhadap pendapat orang lain yang terkadang jauh berbeda.
b.    Pemahaman dengan metode muqaran sangat berguna bagi mereka yang ingin mengetahui berbagai pendapat tentang sebuah hadis.
c.    Pensyarah didorong untuk mengkaji berbagai hadis serta pendapat­-pendapat para pensyarah lainnya.
Kekurangan:
a.    Metode ini tidak relevan bagi pembaca tingkat pemula, karena pembahasan yang dikemukakan terlalu luas sehingga sulit untuk menentukan pilihan.
b.    Metode ini tidak dapat diandalkan untuk menjawab permasalahan sosial yang berkembang di tengah masyarakat, karena pensyarah lebih mengedepankan perbandingan daripada pemecahan masalah.
c.    Metode ini terkesan lebih banyak menelusuri pemahaman yang pernah diberikan oleh ulama daripada mengemukakan pendapat baru.[6]
3.    Metode Maudhu>’i> (Tematik)
Metode maudhu>’i> dalam tafsir juga disebut dengan metode tauhi>dy> adalah metode penafsiran al-Qur’an yang berbicara tentang satu topik dalam satu kesatuan yang utuh.[7]
Dalam bidang hadis metode maudhu>’i> adalah metode memahami hadis-hadis Nabi saw. dengan cara menghimpun hadis-hadis  yang berbicara tetang satu topik bahasan yang sama. Metode ini dapat juga dikatakan sebagai metode tematik. Misalnya tema tentang wudhu’. Karena yang akan dipahami adalah masalah tentang wudhu’ maka disini dikumpulkanlah semua hadis-hadis yang berbicara tentang wudhu’.
Secara umum, langkah-langkah yang ditempuh dalam metode maudhu>’i adalah sebagai berikut[8]:
a.       Menentukan sebuah tema yang akan dibahas.
b.      Menghimpun hadis-hadis yang terjalin dalam tema yang telah ditetukan.
c.       Menyusun kerangka pembahasan dan mengklasifikasikan hadis-hadis yang telah terhimpun sesuai dengan spesifikasi pembahasannya.
d.      Menganalisi hadis-hadis tersebut, dengan mengembalikan kandungannya yang mutasyabih ke yang muhkam, muthlaq dengan muqayyad, ‘a>m dan kha>s, dengan menggunakan berbagai teknik dan pendekatan.
e.       Meskipun metode ini tidak mengharuskan uraian tentang pengertian kosa kata, namun kesempurnaannya dapat dicapai jika mufassir berusaha memahami kata-kata yang terkandung dalam hadis, seperti yang dilakukan oleh metode tahli>ly>.
f.       Menarik kesimpulan makna yang utuh dari hasil analisis terhadap hadis-hadis tersebut.
B.  Tehnik Memahami Hadis Nabi saw.
Adapun tehnik memahami hadis Rasulullah SAW. sebagai berikut:
1.    Interpretasi Tekstual
          Menurut M. Amin Abdullah sebagaimana yang dikutip oleh Arifuddin Ahmad bahwa tipologi pemahaman hadis secara tekstual adalah “tipologi pemahaman yang mempercayai hadis sebagai sumber kedua ajaran Islam tanpa memperdulikan proses panjang sejarah terkumpulnya hadis dan proses pembentukan ajaran ortodoksi”.[9]
          Sementara Arifudin Ahmad menjelaskan bahwa pemahaman hadis secara tekstual adalah pemahaman terhadap kandungan petunjuk suatu hadis Nabi berdasarkan teks atau matan hadis tanpa mempertimbangkan bentuk dan cakupan petunjuknya, kapan dan apa sebab terjadinya, serta kepada siapa ditujukan, bahkan tidak mempertimbangkan dalil-dalil lainnya, karena itu, setiap hadis Nabi yang dipahami secara tekstual berarti petunjuk yang dikandung di dalamnya bersifat universal.”[10]
Sementara menurut Syuhudi Ismail; “pemahaman dan penerapan hadis secara tekstual dilakukan bila hadis yang bersangkutan, setelah dihubungkan dengan segi-segi yang berkaitan dengannya, misalnya latar belakang terjadinya, tetap menurut pemahaman sesuai dengan apa yang tertulis dengan teks hadis yang bersangkutan.”[11]
          Secara sederhana dapat disimpulkan bahwa tipe pemahaman hadis secara tekstual itu adalah tipe pemahaman yang hanya memperhatikan pada apa yang tertulis saja atau hanya terfokus pada dzahir hadis saja.
2.    Interpretasi Kontekstual
          Memahami hadis secara kontekstual menurut Arifuddin Ahmad adalah; ”pemahaman terhadap kandungan petunjuk suatu hadis Nabi berdasarkan atau dengan mempertimbangkan konteksnya, meliputi bentuk dan cakupan petunjuknya, kapasitas Nabi tatkala hadis itu terjadi, kapan dan apa sebab hadis itu terjadi, serta kepada siapa ditujukan, bahkan mempertimbangkan dalil-dalil lainnya”.[12]
Interpretasi kontekstual merupakan pemaknaan suatu hadis yang tidak hanya bersandar pada makna hadits secara tekstual, tetapi menjadikan segala yang berada diluar nash sebagai pertimbangan pemaknaan, atau dengan kata lain pemahaman kontekstual dilakukan bila dibalik teks suatu hadis, ada petunjuk yang kuat yang mengharuskan hadis yang bersanngkutan dapat dipahami secara konteks.
3.    Interpretasi Interkontekstual
Menurut Arifuddin Ahmad, bahwa yang dimaksud dengan interpretasi interkontekstual adalah suatu teknik untuk memahami hadis Nabi saw. dengan memperhatikan matan hadis-hadis lainnya, atau dengan ayat Al-Qur’an yang terkait. Dengan kata lain, ketika kita menggunakan teknik interpretasi interkontekstual, maka kita perlu memperhatikan teks dan konteksnya.[13]
Interpretasi intertekstual merupakan suatu teknik untuk memahami hadis Nabi saw. dengan memperhatikan matan hadis-hadis lainnya, atau dengan ayat al-Qur’an yang terkait. Hal ini sehubungan dengan fungsi hadis sebagai bayan (penjelas) bagi al-Qur’an dan kadang berupa penjelas atau penguat bagi hadis yang lain.
C.    Pendekatan
Untuk memahami hadist secara baik dan benar, diperlukan adanya pendekatan yang tepat dalam mengkaji maksud atau ajaran yang terkandung didalamnya. Pendekatan-pendekatan tersebut diantaranya :
1.   Pendekatan linguistik
Periwayatan  hadist secara makna telah menyebabkan penelitian matan dengan pendekatan semantik tidak mudah dilakukan. Kesulitan itu terjadi karena matan hadist yang sampai ketangan pada sejumlah periwayat yang berbeda generasi, dan tidak jarang juga berbeda latar belakan budaya dan kecerdasan mereka. Perbedaan generasi dan budaya dapat menyebabkan timbulnya perbedaan penggunaan dan pemahaman suatu kata ataupun istilah, sedangkan perbedaan kecerdasan dapat menyebabkan pemahaman terhadap matan hadist yang diriwayatkan tidak sejalan. [14]       
Walaupun penelitian matan hadits dengan pendekatan semantik tidak mudah dilakukan, tetapi hal itu tidak berarti bahwa penelitian denagn pendekatan bahasa (linguistik) tidak perlu dilakukan. Penggunaan pendekatan bahasa dalam penelitian matan akan sangat membantu terhadap kegiatan penelitian yang berhubungan dengan kandungan petunjuk dari matan hadist yang bersangkutan. [15]
2. Pendekatan Historis
Yang dimaksud dengan pendekatan historis adalah upaya memahami hadis dengan cara mempertimbangkan kondisi historis empiris pada saat hadis itu disampaikan Nabi saw. Dengan kata lain pendekatan historis adalah yang dilakukan dengan cara mengaitkan antara ide atau gagsan yang terdapat dalam hadis dengan detrminasi-determinasi sosial, sosio kultural yang mengitarinya.[16]
Pedekatan historis ini menekankan pertanyaan mengapa Nabi bersabda demikian dan bagaimana kondisi historis, sosio cultural masyarakat pada saat itu atau juga lebih terkait dengan asabab al- wurud.
Pendekatan ini menekankan pada pertanyaan mengapa Nabi saw. bersabda demikian? Dan bagaimana kondisi sosio cultural masyarakat dan bahkan politik saat itu? Serta mengamati proses terjadinya[17].
Pendekatan model ini sudah ada sejak zaman ulama terdahulu, yaitu dengan munculnya ilmu asba>b al-wuru>d, yang menuturkan sebab-sebab mengapa Nabi menuturkan sabdanya, dan masa-masa Nabi menuturkannya. Secara ringkas, memahami hadis Nabi saw. dengan pendekatan historis mencakup waktu, tempat, latar belakang, pelaku, dan objek hadis tersebut.
3.      Pendekatan sosiologis dan antropologis
 Adapun pendekatan sosiologis adalah pendekatan yang mengacu pada keadaan masyarakat ketika itu lengkap dengan struktur, lapisan dan gejala sosial lainnya yang saling berkaitan. Pendekatan sosiologis dilakukan dengan menyoroti dari sudut posisi manusia yang membawanya kepada sebuah perilaku. Sementara pendekatan antropologis adalah pendekatan yang memperhatikan bagaimana nilai-nilai yang sedang berkembang ketika suatu hadis muncul.[18] Kontribusi pendekatan ini adalah ingin membuat uraian yang meyakinkan tentang apa sesungguhnya yang terjadi dengan manusia dalam berbagai situasi hidup dalam kaitan ruang dan waktu.
Dengan ketiga pendekatan ini, diharap akan memperoleh pemahaman baru yang lebih apresiasif terhadap perubahan masyarakat (social change) dan sebagai solusi terhadap permasalahan-permasalahan sosial yang merupakan implikasi dari perkembangan dan kemajuan zaman. Ketiga pendekatan tersebut oleh Said Agil dinamakan sebagai asbabul wurud secara makro.[19]
Contohnya hadis tentang larangan wanita bepergian sendirian yang artinya:
 “tidaklah dibolehkan seorang perempuan (bepergian jauh-jauh) kecuali ada    mahram bersamanya.”
Jika dilihat secara tekstual, hadis diatas mengandung larangan bagi seorang wanita untuk melakukan perjalanan (sa>fir) sendirian, tanpa disertai mahramnya.
Asumsi yang sangat mendasar di mana ketika Nabi saw.. bersabda pasti tidak terlepas dari situasi kondisi yang melingkupi masyarakat pada waktu. Sangat mungkin larangan itu dilatar belakangi oleh adanya kekhawatiran akan keselamatan perempuan jika ia bepergian tanpa disertai suami atau mahramnya. Apalagi mengingat saat itu ketika seseorang bepergian biasanya hanya menggunakan kendaraan unta atau keledai. Disamping itu, sistim nilai yang berlaku ketika itu perempuan dianggap tabu atau kurang etis jika bepergian jauh tanpa suami, mahram dan minimal nama baiknya akan tercemar.[20]
Sekarang kondisi masyarakat sudah berubah, jarak  tidak lagi menjadi masalah, ditambah dengan adanya sistim keamanan yang menjamin keselamatan perempuan dalam bepergian. Dengan demikian di sini perlu interpretasi baru mengenai konsep mahram. Menurut Said, mahram tidak lagi dipahami sebagai person akan tetapi sebagai sistem keamanan yang menjamin keselamatan bagi perempuan.[21]
Disini dapat dilihat konsep “mahram” yang mengalami reinterpretasi, sehingga tidak lagi harus dipahami sebagai person, tetapi juga sistem keamanan yang dapat menjamin keselamatan bagi kaum wanita tersebut. Pemahaman semacam ini akan lebih apresiatif terhadap perubahan dan perkembangan zaman.


BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
1.    Tiga macam metode dalam memahami hadis Nabi pertama metode tahli>ly> adalah metode memahami hadis dengan cara mengurai segala yang berhubungan dengannya seperti sanadnya, muatannya, mukharrinya, kualitasnya atau kedudukannya, pengertian mufradatnya, pengertian frasenya dan kandungannya. Kedua metode muqarran yaitu metode komparatif adalah metode memahami hadis dengan cara membandingkan satu hadis dengan hadis lainnya atau dengan ayat al-Quran. Ketiga metode maudu>’i> atau metode tematik adalah metode memahami hadis dengan cara menghimpun hadis-hadis yang berbicara tentang satu topik bahasan yang sama.
2.    Teknik memahami hadis Nabi ada tiga pertama secara tekstual adalah tipe pemahaman hadis yang hanya memperhatikan pada apa yang tertulis saja tanpa memperdulikan bagaimana hadis tersebut terbentuk, apa latar belakang (asbab al-Wurud) dan bagaimana bahasa yang digunakan di dalamnya. Kedua teknik memahami hadis secara kontekstual adalah tipe pemahaman hadis berdasarkan atau mempertimbangkan konteksnya. Meliputi bentuk dan Cakupan petunjuknya, kapasitas Nabi tatkala hadis itu terjadi, kapan dan apa sebab hadis itu terjadi serta kepada siapa ditujukan bahkan dengan mempertimbangkan dalil-dalil lainnya.


Ketiga teknik memahami hadis secara interkontetual adalah suatu teknik memahami hadis Nabi saw. dengan memperhatikan matan hadis-hadis lainnya, atau dengan ayat al-Qur’an yang terkait. 
3.    Pendekatan dalam memahami hadis terdiri dari (1) pendekatan kebahasaan (linguistik), (2) pendekatan Historis, sosiologis dan antropologis.




















DAFTAR PUSTAKA
Ahmad, Arifuddin, Paradigma Baru Memahami Hadis Nabi: Refleksi Pemikiran Pembaharuan Prof. Dr. Muhammad Syuhudi Ismail, Cet. I: Jakarta: Renaisan, 2005.
Ali,  Nizar. Memahami Hadis Nabi (Metode dan Pendekatan). Yogyakarta: Center for Educational Studies and Development (CESaD) YPI Al-Rahmah, 2001.
Bustamin M. Isa H. A. Salam, Metodologi Kritik Hadis, cet. I; Jakarta: Raja Grafindo Persada. 2004.
H.Said Aqil Husin al-Munawwar, Asbabul Wurud, Studi kritik Hadis Nabi , Pendekatan Sosio-Historis-Kontekstual, cet. I, Yogyakarta: Pustaka pelajar, 2001.
Hidayat, Kamaruddin, Memahami Bahasa Agama: Sebuah Kajian Hermeneutik, cet. I; Jakarta: Paramadina, 2006.
Ismail,  M. Syuhudi, Kaedah Kesahihan Sanad Hadis, Kaedah Kritis dan Tinjauan dengan Pendekatan Ilmu Sejarah, cet. I;Jakarta: Bulan Bintang, 1988.
Ismail,  M. Syuhudi, Hadis Nabi yang Tekstual dan Kontekstual: Telaah Maani al-hadis tentang Ajaran Islam yang Universal, Temporal dan Lokal,  cet. I; Jakarta: Bulan Bintang, 1994.
Salam, Bustamin M. Isa H. A., Metodologi Kritik Hadis, Cet. I, Jakarta: PT Grafindo Persada, 2004.
Shihab,  M. Quraish, Wawasan al-Qur’an: Tafsir Tematik Atas Berbagai Persoalan Ummat, cet. 2; Bandung: mizan, 1996.
Shihab. M. Quraish, Tafsir al-Qur’an al-Karim: Tafsir atas Surat-surat Pendek Berdasarkan Urutan Turunnya Wahyu, cet. I; Jakarta: Paramadina, 1996.
Shihab. M. Quraish, Membumikan al-Qur’an, cet. 13; Bandung: Mizan, 1996


                [1]M. Quraish Shihab, Tafsir al-Quran al-Karim: Tafsir atas Surat-surat Pendek Berdasarkan Urutan Turunnya Wahyu, (Cet. I; Jakarta: Paramadina, 1996), h. 190
                [2]Komaruddin Hidayat, Memahami Bahasa Agama: Sebuah Kajian Hermeneutik, (Cet. I; Jakarta: Paramadina, 2996),h. 190
[3]M. Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an (Cet. 13; Baandung: Mizan, 1996), h. 86
                [4]M. Quraish Shihab, Tafsir al-Quran al-Karim, Op.Cit., h. 5
                [5]Bustamin M. Isa H. A. Salam, Metodologi Kritik Hadis, (Cet. I; Jakarta: Raja Grafindo Persada. 2004) h. 65
[6] Nizar Ali. Memahami Hadis Nabi (Metode dan Pendekatan). (Yogyakarta: Center for Educational Studies and Development (CESaD) YPI Al-Rahmah, 2001), h.51-52.
[7]Quraish Shihab, Tafsir al-Quran al-Karim, op.cit, h. 5
[8]Lihat M. Quraish Shihab, Wawasan al-Qir’an: Tafsir Tematik Atas Berbagai Persoalan Ummat (Cet. 2; Bandung: mizan, 1996), h. xiv
                [9]Arifuddin Ahmad, Paradigma Baru Memahami Hadis Nabi: Refleksi Pemikiran Pembaharuan Prof. Dr. Muhammad Syuhudi Ismail, (Cet. I, Jakarta: Renaisan, 2005), h. 8
                [10]Ibid., h. 205
                [11]M. Syuhudi Ismail, Hadis Nabi yang Tekstual dan Kontekstual: Telaah Maani al-hadis tentang Ajaran Islam yang Universal, Temporal dan Lokal,  (Cet. I; Jakarta: Bulan Bintang, 1994), h. 6
                [12] Arifuddin Ahmad,  op.cit., h. 205
[13] Ibid., h. 205
[14] M. Syuhudi Ismail, Kaedah Kesahihan Sanad Hadis, Kaedah Kritis dan Tinjauan dengan Pendekatan Ilmu Sejarah, (cet. I;Jakarta: Bulan Bintang, 1988),  h. 26.
[15] Ibid., h. 26-27.
                [16]H.Said Aqil Husin al-Munawwar, Asbabul Wurud, Studi kritik Hadis Nabi , Pendekatan Sosio-Historis-Kontekstual, (Cet. I, Yogyakarta: Pustaka pelajar, 2001), h. 26
[17]Ibid.,h. 27
[18]Ibid.,
[19]Ibid., h. 28
[20]Ibid
[21]Ibid., h. 31

No comments:

Makalah: Mahabbah, Makrifah

BAB I PENDAHULUAN   A.      Latar Belakang Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi membawa manusia larut dan terbuai dalam din...