BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Ketika
Rasulullah saw. masih hidup, para sahabat tidaklah menemui kesulitan yang
berarti jika menghadapi suatu persoalan yang membutuhkan penjelasan, karena
dapat bertanya langsung dan mendengarkan penjelasan Nabi tanpa harus melalui
perantara orang lain. Akan tetapi, di zaman ini, jarak waktu dengan Rasulullah
saw sangat jauh, dan persoalan semakin banyak seiring dengan perkembangan
peradaban manusia, yang sedianya membutuhkan landasan nash yang bersumber dari
Nabi saw.
Sebenarnya
tidaklah sulit untuk mendapatkan hadits-hadits Nabi saw. tentang berbagai
masalah saat ini, seiring semakin banyaknya penulisan hadits, misalnya
tersedianya kitab-kitab hadits seperti Sahih Bukhari, Sahih Muslim, kitab-kitab
Sunan, dan sebagainya. Namun, untuk
memahami hadis secara baik terkadang relatif
tidak mudah, khususnya jika kita menjumpai hadis-hadis yang tampak
saling bertantangan atau adanya hadis-hadis Nabi yang tidak cukup dipahami
secara tekstual. Diantara hadis hadis Nabi saw. ada
yang berlaku universal dan tidak dibatasi tempat dan waktu, ada juga yang
bersifat temporal dan lokal. Hal ini memerlukan pemahaman yang mendalam,
padangan dan wawasan yang luas hingga dapat mengetahui tujuan syariat dan
hakikat agama.
Oleh
karena itu, keberadaan metodelogi pemahaman dan pendekatan interprestasi hadis
mempunyai kedudukan yang sangat penting, mengingat makna yang terkandung dalam
hadis adakalanya bersifat lokal dan temporer sehingga umat Islam dituntut untuk
mampu memahami hadits secara tekstual, dan kontekstual. Hal ini diperlukan agar
tidak keliru dalam mengaplikasikan ajaran Islam yang terkandung didalamnya.
Untuk
menghindari terjadinya kekeliruan dalam memahami sebuah hadis, maka diperlukan
metodologi pemahaman hadist yang tepat. Oleh karena itu, penulis akan
memaparkan beberapa metode, pendekatan, dan teknik interpretasi dalam memahami
hadis.
B.
Rumusan Masalah
Dari paparan singkat di atas,
penulis mengangkat tiga rumusan masalah yaitu:
1.
Bagaimana metode memahami hadis?
2.
Apa-apa saja teknik dalam
memahami hadis?
3.
Pendekatan apa saja yang
digunakan dalam memahami hadis-hadis Nabi?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Metode
Memahami Hadis
1.
Metode Tahli>ly> (Analisis)
Metode tahli>ly>
tidak hanya dipakai dalam kajian hadis, akan tetapi juga dipakai dalam kajian
penafsiran al-Quran. Pada bidang penafsiran al-Quran, metode tahli>ly>
(mengurai) adalah metode menafsirkan ayat-ayat al-Quran dari berbagai seginya,
ayat demi ayat sebagaimana urutannya dalam mushaf al-Quran.[1]
Apabila dinisbatkan pada lapangan hadis, metode tahli>ly>
adalah salah satu metode yang digunakan dalam memahami hadis-hadis Nabi dengan
memperhatikan atau mengurai segala aspek yang berhubungan dengannya seperti sanad,
matan, siapa mukharrijnya (perawi), kualitas atau kedudukannya,
pengetian mufradatnya, pengertian frase dan kandungannya. Hal ini senada dengan
apa yang dipaparkan oleh Komaruddin Hidayat bahwa metode tahli>ly>
dengan jalan menguraikan hadis secara detail kata demi kata dengan seutuh
mungkin guna menjelaskan keseluruhan kandungan hadis dari berbagai seginya,
baik itu merinci sanad hadis, matan hadis dan kandungan hadis.[2]
Semua hal yang berkaitan dengan hadis tersebut diuraikan satu
persatu dengan sedetail-detailnya, mulai dari yang pertama secara berurutan
berlanjut hingga pada aspek yang terakhir. Pada aspek terakhir inilah kandungan
hadis dapat ditetapkan.
Metode Tahlili ini memiliki beberapa kelebihan dan kekurangan, yaitu
:
Kelebihan:
a.
Ruang lingkupnya luas sehingga memperkaya kita
dengan berbagai pengetahuan sehubungan dengan hadis tersebut. Oleh karena itu
metode ini sesuai dengan orang yang ingin mengetahui secara rinci tentang suatu
hadis.
b.
Metode tahli>li memuat berbagai macam ide dan pemahaman, karena
metode ini memberikan kesempatan pada seseorang untuk menjelaskan kandungan
suatu hadis yang bisa jadi berbeda dengan orang lain.
a. Menjadikan
petunjuk yang dikandung sebuah hadis
bersifat parsial, hal ini kemungkinan karena dalam metode ini tidak ada
keharusan untuk membandingkan satu hadis dengan ayat al-Qur’an atau dengan hadis-hadis
yang lain. Hingga bisa jadi makna yang diperoleh tidak lengkap.
b. Terkadang melahirkan penafsiran yang
subjektif, selain itu pendekatan dengan metode ini membuka pintu bagi berbagai
macam pemikiran, termasuk israiliyat.
2.
Metode Muqara>n (Komparatif)
Pada pengkajian al-Quran, metode muqara>n atau bisa juga
disebut dengan metode komparatif adalah metode
menafsirkan al-Quran dengan berupaya membandingkan satu ayat dengan ayat
yang lain atau dengan hadis Nabi SAW. yang kelihatannya bertentangan atau
bahkan dengan pendapat dua ulama menyangkut ayat-ayat tertentu.[4]
Sedangkan metode muqara>n dalam memahami hadis Nabi adalah metode yang digunakan ulama hadis sebagai tolak ukur dalam
membandingkan antara satu matan dengan matan yang lain baik dari segi lafal
maupun dari segi maknanya.
Penerapan
metode ini, paling tidak ada tiga aspek hadis yang bisa dibandingkan, yaitu: pertama,
hadis-hadis yang mempunyai sumber sanad yang sama, baik riwayat bi al-lafzh maupun riwayat bi al-ma’na. Kedua, hadis-hadis
yang mengandung makna yang sama, baik sejalan maupun bertolak belakang. Ketiga,
hadis-hadis yang mempunyai tema yang sama, seperti aqidah, ibadah dan yang
lainnya.[5]
Dengan melakukan perbandingan ini maka akan
didapatkan satu kesimpulan yang benar tentang apa sebetulnya makna yang
dikandung hadis tersebut.
Seperti halnya dengan metode tahlili, metode
Muqaran juga memiliki beberapa Kelebihan dan Kekurangan, yaitu :
Kelebihan :
a. Membuka
pintu untuk selalu bersikap toleran terhadap pendapat orang lain yang terkadang
jauh berbeda.
b. Pemahaman
dengan metode muqaran sangat berguna bagi mereka yang ingin mengetahui berbagai
pendapat tentang sebuah hadis.
c. Pensyarah
didorong untuk mengkaji berbagai hadis serta pendapat-pendapat para pensyarah
lainnya.
Kekurangan:
a. Metode
ini tidak relevan bagi pembaca tingkat pemula, karena pembahasan yang
dikemukakan terlalu luas sehingga sulit untuk menentukan pilihan.
b. Metode
ini tidak dapat diandalkan untuk menjawab permasalahan sosial yang berkembang
di tengah masyarakat, karena pensyarah lebih mengedepankan perbandingan
daripada pemecahan masalah.
c. Metode
ini terkesan lebih banyak menelusuri pemahaman yang pernah diberikan oleh ulama
daripada mengemukakan pendapat baru.[6]
3.
Metode Maudhu>’i> (Tematik)
Metode maudhu>’i>
dalam tafsir juga disebut dengan metode tauhi>dy> adalah metode
penafsiran al-Qur’an yang berbicara tentang satu topik dalam satu kesatuan yang
utuh.[7]
Dalam
bidang hadis metode maudhu>’i> adalah metode memahami hadis-hadis Nabi
saw. dengan cara menghimpun hadis-hadis
yang berbicara tetang satu topik bahasan yang sama. Metode ini dapat
juga dikatakan sebagai metode tematik. Misalnya tema tentang wudhu’. Karena
yang akan dipahami adalah masalah tentang wudhu’ maka disini dikumpulkanlah semua
hadis-hadis yang berbicara tentang wudhu’.
Secara
umum, langkah-langkah yang ditempuh dalam metode maudhu>’i adalah
sebagai berikut[8]:
a.
Menentukan sebuah tema yang akan
dibahas.
b.
Menghimpun hadis-hadis yang
terjalin dalam tema yang telah ditetukan.
c.
Menyusun kerangka pembahasan dan
mengklasifikasikan hadis-hadis yang telah terhimpun sesuai dengan spesifikasi
pembahasannya.
d.
Menganalisi hadis-hadis
tersebut, dengan mengembalikan kandungannya yang mutasyabih ke yang muhkam,
muthlaq dengan muqayyad, ‘a>m dan kha>s,
dengan menggunakan berbagai teknik dan pendekatan.
e.
Meskipun metode ini tidak
mengharuskan uraian tentang pengertian kosa kata, namun kesempurnaannya dapat
dicapai jika mufassir berusaha memahami kata-kata yang terkandung dalam hadis,
seperti yang dilakukan oleh metode tahli>ly>.
f.
Menarik kesimpulan makna yang
utuh dari hasil analisis terhadap hadis-hadis tersebut.
B. Tehnik
Memahami Hadis Nabi saw.
Adapun tehnik memahami hadis Rasulullah SAW.
sebagai berikut:
1. Interpretasi
Tekstual
Menurut M. Amin Abdullah sebagaimana yang
dikutip oleh Arifuddin Ahmad bahwa tipologi pemahaman hadis secara tekstual
adalah “tipologi pemahaman yang mempercayai hadis sebagai sumber kedua ajaran
Islam tanpa memperdulikan proses panjang sejarah terkumpulnya hadis dan proses
pembentukan ajaran ortodoksi”.[9]
Sementara Arifudin Ahmad menjelaskan
bahwa pemahaman hadis secara tekstual adalah pemahaman terhadap kandungan
petunjuk suatu hadis Nabi berdasarkan teks atau matan hadis tanpa
mempertimbangkan bentuk dan cakupan petunjuknya, kapan dan apa sebab
terjadinya, serta kepada siapa ditujukan, bahkan tidak mempertimbangkan
dalil-dalil lainnya, karena itu, setiap hadis Nabi yang dipahami secara
tekstual berarti petunjuk yang dikandung di dalamnya bersifat universal.”[10]
Sementara
menurut Syuhudi Ismail; “pemahaman dan penerapan hadis secara tekstual
dilakukan bila hadis yang bersangkutan, setelah dihubungkan dengan segi-segi
yang berkaitan dengannya, misalnya latar belakang terjadinya, tetap menurut
pemahaman sesuai dengan apa yang tertulis dengan teks hadis yang bersangkutan.”[11]
Secara sederhana dapat disimpulkan
bahwa tipe pemahaman hadis secara tekstual itu adalah tipe pemahaman yang hanya
memperhatikan pada apa yang tertulis saja atau hanya terfokus pada dzahir hadis
saja.
2. Interpretasi
Kontekstual
Memahami hadis secara kontekstual menurut
Arifuddin Ahmad adalah; ”pemahaman terhadap kandungan petunjuk suatu hadis Nabi
berdasarkan atau dengan mempertimbangkan konteksnya, meliputi bentuk dan cakupan
petunjuknya, kapasitas Nabi tatkala hadis itu terjadi, kapan dan apa sebab
hadis itu terjadi, serta kepada siapa ditujukan, bahkan mempertimbangkan
dalil-dalil lainnya”.[12]
Interpretasi kontekstual merupakan pemaknaan suatu
hadis yang tidak hanya bersandar pada makna hadits secara tekstual, tetapi
menjadikan segala yang berada diluar nash sebagai pertimbangan pemaknaan, atau
dengan kata lain pemahaman kontekstual dilakukan bila dibalik teks suatu hadis,
ada petunjuk yang kuat yang mengharuskan hadis yang bersanngkutan dapat
dipahami secara konteks.
3. Interpretasi Interkontekstual
Menurut Arifuddin Ahmad, bahwa yang dimaksud dengan
interpretasi interkontekstual adalah suatu teknik untuk memahami hadis Nabi
saw. dengan memperhatikan matan hadis-hadis lainnya, atau dengan ayat Al-Qur’an
yang terkait. Dengan kata lain, ketika kita menggunakan teknik interpretasi
interkontekstual, maka kita perlu memperhatikan teks dan konteksnya.[13]
Interpretasi
intertekstual merupakan suatu teknik untuk memahami hadis Nabi saw. dengan
memperhatikan matan hadis-hadis lainnya, atau dengan ayat al-Qur’an yang
terkait. Hal ini sehubungan dengan fungsi hadis sebagai bayan (penjelas) bagi
al-Qur’an dan kadang berupa penjelas atau penguat bagi hadis yang lain.
C.
Pendekatan
Untuk
memahami hadist secara baik dan benar, diperlukan adanya pendekatan yang tepat
dalam mengkaji maksud atau ajaran yang terkandung didalamnya.
Pendekatan-pendekatan tersebut diantaranya :
1. Pendekatan linguistik
Periwayatan hadist secara makna telah menyebabkan
penelitian matan dengan pendekatan semantik tidak mudah dilakukan. Kesulitan
itu terjadi karena matan hadist yang sampai ketangan pada sejumlah periwayat
yang berbeda generasi, dan tidak jarang juga berbeda latar belakan budaya dan
kecerdasan mereka. Perbedaan generasi dan budaya dapat menyebabkan timbulnya
perbedaan penggunaan dan pemahaman suatu kata ataupun istilah, sedangkan
perbedaan kecerdasan dapat menyebabkan pemahaman terhadap matan hadist yang diriwayatkan
tidak sejalan. [14]
Walaupun
penelitian matan hadits dengan pendekatan semantik tidak mudah dilakukan,
tetapi hal itu tidak berarti bahwa penelitian denagn pendekatan bahasa
(linguistik) tidak perlu dilakukan. Penggunaan pendekatan bahasa dalam penelitian
matan akan sangat membantu terhadap kegiatan penelitian yang berhubungan dengan
kandungan petunjuk dari matan hadist yang bersangkutan.
[15]
2. Pendekatan Historis
Yang
dimaksud dengan pendekatan historis adalah upaya memahami hadis dengan cara
mempertimbangkan kondisi historis empiris pada saat hadis itu disampaikan Nabi
saw. Dengan kata lain pendekatan historis adalah yang dilakukan dengan cara
mengaitkan antara ide atau gagsan yang terdapat dalam hadis dengan
detrminasi-determinasi sosial, sosio kultural yang mengitarinya.[16]
Pedekatan historis ini
menekankan pertanyaan mengapa Nabi bersabda demikian dan bagaimana kondisi
historis, sosio cultural masyarakat pada saat itu atau juga lebih terkait
dengan asabab al- wurud.
Pendekatan ini menekankan pada
pertanyaan mengapa Nabi saw. bersabda demikian? Dan bagaimana kondisi sosio
cultural masyarakat dan bahkan politik saat itu? Serta mengamati proses
terjadinya[17].
Pendekatan model ini sudah ada sejak
zaman ulama terdahulu, yaitu dengan munculnya ilmu asba>b al-wuru>d,
yang menuturkan sebab-sebab mengapa Nabi menuturkan sabdanya, dan masa-masa
Nabi menuturkannya. Secara ringkas, memahami hadis Nabi saw. dengan pendekatan
historis mencakup waktu, tempat, latar belakang, pelaku, dan objek hadis
tersebut.
3.
Pendekatan sosiologis dan
antropologis
Adapun pendekatan sosiologis adalah pendekatan yang
mengacu pada keadaan masyarakat ketika itu lengkap dengan struktur, lapisan dan
gejala sosial lainnya yang saling berkaitan. Pendekatan sosiologis dilakukan
dengan menyoroti dari sudut posisi manusia yang membawanya kepada sebuah
perilaku. Sementara pendekatan antropologis adalah pendekatan yang memperhatikan
bagaimana nilai-nilai yang sedang berkembang ketika suatu hadis muncul.[18]
Kontribusi pendekatan ini adalah ingin membuat uraian yang meyakinkan tentang
apa sesungguhnya yang terjadi dengan manusia dalam berbagai situasi hidup dalam
kaitan ruang dan waktu.
Dengan
ketiga pendekatan ini, diharap akan memperoleh pemahaman baru yang lebih
apresiasif terhadap perubahan masyarakat (social change) dan sebagai
solusi terhadap permasalahan-permasalahan sosial yang merupakan implikasi dari
perkembangan dan kemajuan zaman. Ketiga pendekatan tersebut oleh Said Agil
dinamakan sebagai asbabul wurud secara makro.[19]
Contohnya hadis
tentang larangan wanita bepergian sendirian yang artinya:
“tidaklah dibolehkan seorang perempuan
(bepergian jauh-jauh) kecuali ada mahram bersamanya.”
Jika
dilihat secara tekstual, hadis diatas mengandung larangan bagi seorang wanita
untuk melakukan perjalanan (sa>fir) sendirian, tanpa disertai mahramnya.
Asumsi
yang sangat mendasar di mana ketika Nabi saw.. bersabda pasti tidak terlepas
dari situasi kondisi yang melingkupi masyarakat pada waktu. Sangat mungkin
larangan itu dilatar belakangi oleh adanya kekhawatiran akan keselamatan
perempuan jika ia bepergian tanpa disertai suami atau mahramnya. Apalagi
mengingat saat itu ketika seseorang bepergian biasanya hanya menggunakan
kendaraan unta atau keledai. Disamping itu, sistim nilai yang berlaku ketika
itu perempuan dianggap tabu atau kurang etis jika bepergian jauh tanpa suami,
mahram dan minimal nama baiknya akan tercemar.[20]
Sekarang
kondisi masyarakat sudah berubah, jarak
tidak lagi menjadi masalah, ditambah dengan adanya sistim keamanan yang
menjamin keselamatan perempuan dalam bepergian. Dengan demikian di sini perlu
interpretasi baru mengenai konsep mahram. Menurut Said, mahram tidak lagi
dipahami sebagai person akan tetapi sebagai sistem keamanan yang menjamin
keselamatan bagi perempuan.[21]
Disini
dapat dilihat konsep “mahram” yang mengalami reinterpretasi, sehingga tidak
lagi harus dipahami sebagai person, tetapi juga sistem keamanan yang dapat
menjamin keselamatan bagi kaum wanita tersebut. Pemahaman semacam ini akan
lebih apresiatif terhadap perubahan dan perkembangan zaman.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
1. Tiga macam
metode dalam memahami hadis Nabi pertama metode tahli>ly> adalah
metode memahami hadis dengan cara mengurai segala yang berhubungan dengannya
seperti sanadnya, muatannya, mukharrinya, kualitasnya atau kedudukannya,
pengertian mufradatnya, pengertian frasenya dan kandungannya. Kedua metode muqarran yaitu metode komparatif
adalah metode memahami hadis dengan cara membandingkan satu hadis dengan hadis
lainnya atau dengan ayat al-Quran. Ketiga metode maudu>’i>
atau metode tematik adalah metode memahami hadis dengan cara menghimpun
hadis-hadis yang berbicara tentang satu topik bahasan yang sama.
2. Teknik
memahami hadis Nabi ada tiga pertama secara tekstual adalah tipe
pemahaman hadis yang hanya memperhatikan pada apa yang tertulis saja tanpa
memperdulikan bagaimana hadis tersebut terbentuk, apa latar belakang (asbab
al-Wurud) dan bagaimana bahasa yang digunakan di dalamnya. Kedua
teknik memahami hadis secara kontekstual adalah tipe pemahaman hadis
berdasarkan atau mempertimbangkan konteksnya. Meliputi bentuk dan Cakupan
petunjuknya, kapasitas Nabi tatkala hadis itu terjadi, kapan dan apa sebab
hadis itu terjadi serta kepada siapa ditujukan bahkan dengan mempertimbangkan
dalil-dalil lainnya.
Ketiga teknik memahami hadis secara interkontetual
adalah suatu teknik memahami hadis Nabi saw. dengan memperhatikan matan
hadis-hadis lainnya, atau dengan ayat al-Qur’an yang terkait.
3. Pendekatan
dalam memahami hadis terdiri dari (1) pendekatan kebahasaan (linguistik), (2)
pendekatan Historis, sosiologis dan antropologis.
DAFTAR
PUSTAKA
Ahmad, Arifuddin, Paradigma Baru Memahami
Hadis Nabi: Refleksi Pemikiran Pembaharuan Prof. Dr. Muhammad
Syuhudi Ismail, Cet. I: Jakarta: Renaisan, 2005.
Ali,
Nizar. Memahami Hadis Nabi (Metode dan Pendekatan). Yogyakarta:
Center for Educational Studies and Development (CESaD) YPI Al-Rahmah, 2001.
Bustamin M. Isa H. A. Salam, Metodologi
Kritik Hadis, cet. I; Jakarta: Raja Grafindo Persada. 2004.
H.Said Aqil Husin al-Munawwar, Asbabul
Wurud, Studi kritik Hadis Nabi , Pendekatan Sosio-Historis-Kontekstual,
cet. I, Yogyakarta: Pustaka pelajar, 2001.
Hidayat,
Kamaruddin, Memahami Bahasa Agama: Sebuah Kajian Hermeneutik,
cet. I; Jakarta: Paramadina, 2006.
Ismail,
M. Syuhudi, Kaedah Kesahihan Sanad Hadis, Kaedah Kritis dan
Tinjauan dengan Pendekatan Ilmu Sejarah, cet. I;Jakarta: Bulan Bintang,
1988.
Ismail,
M. Syuhudi, Hadis Nabi yang Tekstual dan Kontekstual: Telaah Maani
al-hadis tentang Ajaran Islam yang Universal, Temporal dan Lokal, cet. I; Jakarta: Bulan Bintang, 1994.
Salam, Bustamin M. Isa H. A., Metodologi
Kritik Hadis, Cet. I, Jakarta: PT Grafindo Persada, 2004.
Shihab,
M. Quraish, Wawasan al-Qur’an: Tafsir Tematik Atas Berbagai Persoalan
Ummat, cet. 2; Bandung: mizan, 1996.
Shihab. M. Quraish, Tafsir al-Qur’an al-Karim: Tafsir atas Surat-surat Pendek
Berdasarkan Urutan Turunnya Wahyu, cet. I; Jakarta:
Paramadina, 1996.
Shihab. M. Quraish, Membumikan al-Qur’an, cet.
13; Bandung: Mizan, 1996
[3]M.
Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an (Cet. 13; Baandung: Mizan, 1996),
h. 86
[6] Nizar
Ali. Memahami Hadis Nabi (Metode dan Pendekatan). (Yogyakarta: Center
for Educational Studies and Development (CESaD) YPI Al-Rahmah, 2001), h.51-52.
[7]Quraish
Shihab, Tafsir al-Quran al-Karim, op.cit, h. 5
[8]Lihat M.
Quraish Shihab, Wawasan al-Qir’an: Tafsir Tematik Atas Berbagai Persoalan
Ummat (Cet. 2; Bandung: mizan, 1996), h. xiv
[13] Ibid.,
h. 205
[14] M.
Syuhudi Ismail, Kaedah Kesahihan Sanad Hadis, Kaedah Kritis dan
Tinjauan dengan Pendekatan Ilmu Sejarah, (cet. I;Jakarta: Bulan Bintang,
1988), h. 26.
[15] Ibid.,
h. 26-27.
[20]Ibid
No comments:
Post a Comment