Monday, November 27, 2017

Karl Marx or machiavelli

Saran saya, seperti saya katakan di atas, terbagi dua. Pertama, dalam jangka pendek kita memerlukan sebuah teori tindakan yang mampu menerangkan peran aktor dalam konteksnya sambil menyadari bahwa distribusi sumber daya politik tidak merata. Untuk itu, kita bisa belajar banyak dari jalan yang dirintis hampir 500 tahun lalu oleh filsuf politik Niccolo Machiavelli dan diteruskan pada zaman kita oleh empat ilmuwan politik Amerika: Richard E. Neustadt, James MacGregor Burns, John W. Kingdon, serta Richard J. Samuels.

Kedua, dalam jangka panjang, kita perlu mengembangkan dan menyebarluaskan berbagai macam sumber daya politik demi terciptanya pola distribusi yang lebih merata. Tugas belakangan ini akan dibicarakan dalam bagian terakhir makalah ini. Niccolo Machiavelli lahir pada tahun 1469 dan dibesarkan di desa San Casciano, dekat Firenze (Florence), salah satu di antara sekian banyak negara kecil di Italia zaman itu. Ayahnya bertani dan tidak kaya, namun Niccolo cilik sempat belajar bahasa Latin. Dia mencerna banyak buku-buku sejarah dan filsafat Romawi dan Yunani, yang kemudian mengilhami pendekatannya sendiri. Selaku pejabat dan diplomat, karirnya menjulang sampai 1512 ketika patronnya, Gonfalonier Piero Soderini, kepala pemerintahan Republik Firenze, dipecat.

Machiavelli dicurigai ikut berkomplotan terhadap keluarga Medici, yang menggulingkan dan menggantikan Soderini. Dia disiksa dan dipenjarakan, lalu diasingkan ke desa asalnya. Di San Casciano, antara 1512-1520, dalam keadaan melarat Machiavelli menulis semua bukunya yang kemudian tersohor, termasuk The Prince. Semenjak terbit sampai sekarang, The Prince terkenal sebagai buku panduan jahat bagi orang yang ingin berkuasa atau mempertahankan kekuasaannya. Dan memang Machiavelli bersikap sinis terhadap human nature, sifat dasar manusia. “Penguasa bijaksana bisa dan boleh mengingkari janjinya … karena manusia pada umumnya jahat dan tak tepercaya.”

Sikap itu membenarkan perbuatan keji dan sadis oleh sang penguasa, termasuk membunuh lawan politiknya. “Tujuan menghalalkan cara” merupakan ungkapan Machiavelli yang mungkin paling terkenal dan terkutuk. Namun, The Prince mustahil menjadi buku klasik yang mampu bertahan selama hampir setengah milenium kalau pesannya hanya itu: anjuran untuk bertindak jahat, yang mudah dikecam pada zamannya sendiri, apalagi pada masa Pencerahan dan seterusnya. Menurut saya, ada tiga sumbangan positif The Prince yang bergema sampai sekarang.

Pertama, Machiavelli mengilhami pemikir berikut, termasuk ilmuwan politik abad ke-20 dan ke-21, untuk memisahkan yang aktual dari yang ideal, yang nyata dari yang diharapkan, das Sein dari das Sollen. Machiavelli sendiri dengan sengaja melawan tradisi lama buku-buku panduan yang disebut mirrors for princes, cermin buat raja-raja, yang berisi nasihat muluk belaka. Guru-guru saya pada pertengahan abad ke-20 memuji Machiavelli selaku perintis. Dia membenarkan hasrat mereka mengembangkan ilmu politik yang betul-betul empiris dan scientific, mengikuti metode ilmiah yang diprakarsai ilmu pengetahuan alam seperti fisika sejak akhir abad ke-17, zaman Isaac Newton. Sebagai sains, ilmu politik yang kita kenal pada awal abad ke-21 berhutang besar kepada angkatan guru-guru saya dan ketegasan Machiavelli yang menggalakkan mereka.

Kedua, Machiavelli mengingatkan kita, tentu tanpa sengaja, bahwa tensi antara moralitas pribadi dan moralitas politik tak terhindarkan. Rumusan Machiavelli sendiri—tujuan menghalalkan cara—kemudian ditampik sebagian besar filsuf politik sampai kini. Malah julukan “Machiavellis” dipakai umum untuk mencela perilaku lihai yang mementingkan tujuan pribadi seseorang sambil mengorbankan kepentingan orang lain atau masyarakat umum.

Namun, kita juga menyadari bahwa Machiavelli tak seluruhnya salah. Moralitas bagi kaum politisi, termasuk di negara demokratis modern, berbeda dengan moralitas pribadi seseorang. Pembunuhan tentu tidak dibenarkan, setidaknya terhadap lawan dalam negeri, tetapi pendustaan atau klaim yang dilebih-lebihkan merupakan taktik politik biasa yang terjadi di mana-mana. Di Amerika, pembohongan sering dipakai untuk menempa kompromi antara pihak-pihak bertentangan.

Kebijakan don’t ask don’t tell, “jangan tanya jangan bilang”, melindungi sebagian besar prajurit gay dan lesbian tentara Amerika selama hampir 20 tahun. Hak mereka untuk hidup terbuka baru diakui Presiden Obama tahun 2011. Apakah suatu pernyataan dianggap moral secara politik atau tidak bergantung kepada banyak hal dan tidak mudah ditentukan. Banyak politisi di Amerika memberi kesan pura-pura beragama sebab takut ditolak pemilih kalau mengakui ketidakpeduliannya terhadap agama. Bagi sebagian orang, yang mementingkan hal lain dalam politik, kebohongan itu sah saja. Namun, bagi sejumlah orang, khususnya yang imannya kuat, kebohongan tentang agama tak mungkin diterima. Di situlah tensi yang kita rasakan dalam semua negara modern tentang batas antara moralitas pribadi dan moralitas politik.

Ketiga, dan yang terpenting, Machiavelli menawarkan kerangka baru, terdiri atas konsep-konsep virtu dan fortuna, yang masih dimanfaatkan ilmuwan politik selaku fondasi untuk menelusuri peran aktor politik dalam konteks sosialnya. Virtu berarti ketrampilan atau kejantanan, berasal dari kata vir, laki-laki, dalam bahasa Latin. Maknanya lain sekali dari virtue dalam bahasa Inggris, yang berarti kebaikan hati atau moralitas baik. Dalam bahasa makalah ini, virtu dianggap kumpulan sumber daya yang dimiliki seseorang atau bisa diciptakan, dimobilisasi, dan dimanfaatkan untuk mencapai tujuannya selaku aktor politik.

Contoh-contoh virtu atau sumber daya politik yang disebut Machiavelli amat bervariasi. Antara lain: kepintaran dan keberanian strategis dan taktis, ketelitian, ketegasan, reputasi pemurah hati dan pemaaf, dukungan masyarakat sendiri, dukungan penguasa negara tetangga, kemampuan memilih pembantu dan kemampuan membaca tanda zaman. Juga, tentu saja: kelihaian dan kesediaan berdusta dan menggunakan kekerasan secara kejam dan berdarah-dingin. Namun, terlepas dari rinciannya, perhatian Machiavelli pada sifat-sifat sang aktor yang berpikir dan bergerak merupakan sumbangan utamanya kepada pengetahuan kita mengenai dunia politik.

Fortuna berarti kans atau keberuntungan, tetapi dalam pengertian kondisi-kondisi alamiah dan sosial serta kejadiankejadian yang dihadapi penguasa atau calon penguasa tanpa implikasi keharusan atau nasib. Berikut dua penjelasan terkenal dari Machiavelli sendiri: (1) “Fortuna ternyata menentukan separuh dari tindakan kita, tetapi separuh yang tersisa, atau hampir separuh yang tersisa, dibiarkan pada kita, supaya kemauan bebas kita akan berlaku.” (2) “Lebih baik bertindak cepat dan tidak sadar ketimbang hati-hati, sebab Fortuna ibarat seorang perempuan dan kalau anda mau menguasainya, anda harus memukulnya berulang-ulang.”

Pada zaman kita, pendekatan Machiavelli kepada studi kekuasaan, khususnya peran sang penguasa, diteruskan oleh ilmuwan politik Richard E. Neustadt dan James MacGregor Burns. Tentu setelah menolak sikap kedaluwarsanya terhadap kekerasan dan perempuan! Edisi pertama Presidential Power, buku Neustadt yang paling berpengaruh, terbit tahun 1960, beberapa bulan sebelum John F. Kennedy dilantik sebagai Presiden Amerika Serikat (AS). Presiden Kennedy pernah difoto sambil menenteng buku itu di beranda Gedung Putih, dan penjualannya langsung melejit!

Beberapa tahun kemudian, setelah Kennedy wafat, Neustadt ikut mendirikan dan menjadi direktur pertama Harvard Kennedy School (HKS), lembaga pendidikan tinggi kebijakan umum paling cemerlang di Amerika. Sejak 1966, puluhan ribu pejabat dan perwira muda dan setengah baya dari seantero dunia, termasuk Indonesia, menimba ilmu di HKS.

Dalam Presidential Power, Neustadt melanjutkan fokus empiris Machiavelli kepada peran penguasa dalam bentuk presiden-presiden AS zaman modern (istilah Neustadt, untuk menunjukkan pentingnya waktu dan tempat bagi analisis politik). Bagi Neustadt, kekuatan untuk meyakinkan (the power to persuade) merupakan sumber daya politik utama yang dimiliki atau bisa diciptakan seorang presiden. Keberhasilan program dan kebijakannya sangat bergantung pada kesediaan dan kesanggupannya meyakinkan tiga jenis orang: anggota pemerintahannya sendiri; masyarakat Washington (khususnya anggota-anggota cabang pemerintahan lain, termasuk Kongres dan Mahkamah Agung); dan masyarakat pemilih pada umumnya (termasuk pers dan lembaga-lembaga opini publik yang melaporkan dan ikut membentuk pendapat masyarakat pemilih).

Persisnya: “Esensi tugas persuasif presiden adalah meyakinkan orang-orang itu bahwa yang diinginkan Gedung Putih dari mereka adalah sama dengan apa yang seharusnya mereka perbuat demi kepentingan mereka sendiri dan demi kekuasaan mereka.”

Berdasarkan penelitiannya tentang tiga presiden—Franklin Roosevelt, Harry Truman, dan Dwight Eisenhower—Neustadt menyimpulkan bahwa ada lima faktor yang menentukan keberhasilan atau kegagalan suatu kebijakan atau program presiden. Presiden sendiri harus terlibat sepenuhnya dalam proses pengambilan keputusannya. Kata-kata presiden harus unambiguous, tidak samar-samar. Pesan presiden harus disiarkan seluas-luasnya. Alat dan sumber daya yang tersedia untuk pelaksanaannya harus mencukupi. Dan penerima pesan presiden harus mengakui kekuasaan dan keabsahannya sebagai pembuat kebijakan atau program bersangkutan. Sebuah daftar faktor yang sederhana dan seakan-akan kasat mata. Namun, melalui tangan ahli Neustadt, pemaparannya memperdalam pengertian kita tentang makna dan penyebab prestasi presidensial di Amerika. Pujian dan kritik terhadap Presiden Obama masih banyak dipengaruhi rumusan Neustadt.

Di Indonesia pasti kita bisa belajar banyak kalau lima faktor itu diterapkan secara sistematis kepada kebijakan dan program presiden-presiden RI baik sebelum maupun setelah demokratisasi. Buku James MacGregor Burns yang paling berpengaruh, Leadership, diterbitkan hampir dua dasawarsa setelah buku Neustadt. Zaman sudah berubah drastis, khususnya di Amerika, tempat semakin banyak warganegara dimobilisasi untuk melawan berbagai kemapanan yang memalukan.

Perjuangan minoritas Amerika-Afrika untuk hak sepadan dengan kaum putih sudah banyak berhasil, tetapi tokoh kharismatisnya, Martin Luther King, telah tewas terbunuh di Memphis, Tennessee. Pada waktu yang sama protes dan oposisi jutaan orang dipicu perang Amerika yang kebablasan di Vietnam. Presiden Lyndon Johnson mengaku gagal memimpin bangsa. Dalam pemilihan presiden berikut, dia digantikan oleh Richard Nixon, yang kemudian merasa terpaksa menerima penyatuan kembali negara Vietnam di bawah kepemimpinan komunis.

Leadership merupakan respon Burns terhadap perubahan dan tuntutan itu. Pandangan hidupnya lebih kiri dari Neustadt, walaupun dalam konstelasi partisan Amerika mereka berdua berada di lingkungan Partai Demokrat. Artinya, mereka menerima prinsip positif peran negara, berbeda dengan Partai Republik yang menjunjung prinsip peran pasar di atas negara. Namun, Burns lebih menekankan keharusan konflik sebagai pendorong perubahan sosial. Lagi pula, pendekatannya lebih psikologis dan moralis ketimbang ilmu politik empiris murni.

Burns memperkenalkan dua unsur baru: konsep followership, kepengikutan, selaku saudara kembar Siam tak terpisahkan dari konsep leadership, kepemimpinan; serta pemisahan kepemimpinan dalam dua tipe baru, transactional (bertransaksi atau bertukaran) dan transforming (mengubah bentuk). Kepemimpinan transactional yang lebih umum dijelaskan sebagai tertukarnya sumber daya politik dalam bentuk barang dan jasa, termasuk suara dalam pemilu, antara pemimpin dan pengikut. Dua belah pihak memperoleh sesuatu yang berharga dan masyarakat juga diuntungkan. Namun, tidak ada tujuan lebih tinggi yang mengikatkan pemimpin dan pengikut dalam suatu pengejaran tujuan luhur bersama-sama dan terusmenerus. Tipe kepemimpinan tinggi itu disebut transforming. Ilustrasinya diambil dari berbagai negara, termasuk Amerika, Inggris Raya, Perancis, Rusia, dan Tiongkok.

Sumbangan Burns kepada pengembangan teori tindakan cukup berkesan dan menjanjikan. Konsep followership yang dipelajari selaku interaksi timbal-balik dengan kepemimpinan bisa membantu kita untuk mengerti pasang-surut gerakan-gerakan sosial yang sering punya dampak politik. Di Amerika, Martin Luther King berhasil menjembatani desakan keras orang Amerika-Afrika untuk memperoleh hak-hak konstitusional mereka dengan resistensi orang putih yang juga cukup keras. Kuncinya: strategi kepemimpinan King yang mementingkan ahimsa, perjuangan tanpa kekerasan, dari bawah serta tuntutannya kepada pemerintah agar cita-cita Pernyataan Kemerdekaan Amerika terkabul bagi semua warganegara.

Di Indonesia, konsep followership Burns bisa dipakai untuk menelusuri segala macam gerakan, dari zaman Pergerakan sampai zaman kita, tempat banyak kelompok sosial berjuang untuk mencapai tujuannya. Satu contoh: kemampuan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) untuk survive, sintas, dan bertumbuh pada zaman Orde Baru bisa dipelajari sebagai kasus leadership dan followership berbarengan dan saling mengisi. Kasus-kasus Front Pembela Islam (FPI) dan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) juga menarik dipelajari dalam kerangka ini.

Distingsi antara kepemimpinan transactional dan transforming kini populer sekali di Amerika sebagai alat jurnalis dan sejarawan mengukur keberhasilan presiden-presiden kami. Hal itu wajar saja. Banyak yang dituntut dari presidenpresiden AS dan kita memerlukan konsep analitis yang tepat untuk mengukur jenis dan tingkat prestasi mereka.

Salah satu presiden favorit saya, Bill Clinton, pernah mengeluh bahwa dia mustahil dianggap transforming leader di mata sejarawan, sebab pada masa kekuasaannya tak ada tantangan besar! Clinton memang perlu dilihat selaku transactional leader, namun sumbangan positifnya cukup baik di dalam maupun di luar negeri.

Jumlah presiden di Indonesia sudah cukup banyak untuk dibandingkan tingkat prestasi mereka. Sekilas saja, menurut pendapat saya, Sukarno adalah presiden transforming sampai tahun 1949, tetapi setelah itu beliau sama sekali gagal baik sebagai transforming maupun transactional leader. Soeharto berhasil mentransformasikan ekonomi Indonesia, tetapi ongkos represifnya tinggi. Menurut ukuran Burns, Soeharto bukan seorang pemimpin sejati. Di bawah kepemimpinan B. J. Habibie, politik Indonesia tertransformasi dari kediktatoran ke demokrasi, tetapi perilaku Habibie sendiri lebih bersifat transactional ketimbang transforming. Abdurrahman Wahid, Megawati Soekarnoputri, dan Susilo Bambang Yudhoyono adalah presiden transactional. Sumbangan mereka, seperti Bill Clinton, perlu diukur dalam kerangka itu.

Setiap kali membaca kembali buku Burns, sambil kagum saya teringat pada dua keberatan saya terhadap pendekatannya. Pertama, kompas moralnya keliru. Seperti banyak intelektual kiri pada zamannya, Burns terlalu bersedia memaafkan perilaku kejam atas nama higher purpose yang dikejarnya. Satu contoh: pada pertengahan tahun 1970-an, riwayat Mao Zedong selaku pembunuh massal, mungkin yang terbesar pada abad ke-20, sudah banyak terungkap. Namun, Burns masih mencap Mao pemimpin transforming yang berhasil “meningkatkan kesadaran dan mentransformasikan nilai-nilai pada skala yang sangat besar, memobilisasikan harapan-harapan tinggi rakyat Tionghoa.”

Tentu bukan hanya pengamat kiri yang melihat zamannya sendiri dengan sebelah mata. Saya juga belum pernah menulis secara berimbang tentang kepemimpinan Soeharto yang boleh jadi bertanggungjawab sekaligus atas pembantaian massal 1965-1966 dan pembangunan ekonomi yang terjadi setelah itu.

Kedua, dan lebih pokok, Burns menuntut terlalu banyak waktu dan tenaga baik jasmani maupun rohani dari kita sebagai warganegara biasa negara-negara besar dan modern. Anjurannya lekas sekali melelahkan! Pendekatan Burns mirip teori-teori normatif demokrasi partisipatoris (participatory democracy), tempat anggota masyarakat diajak berpartisipasi langsung dalam keputusan publik, dan deliberative democracy, tempat anggota masyarakat diajak bermusyawarah sampai mufakat tercapai. Ide-ide seperti itu mungkin bisa dipraktikkan di polis, negara-kota Yunani kuno, atau di tingkat desa/ kelurahan di Indonesia masa kini.

Namun, di mana-mana kesediaan manusia untuk melibatkan diri, langsung, dan sepenuh hati dalam kegiatan politik bersifat sangat terbatas. Pendek kata, sebuah teori normatif atau moral yang mengharuskan partisipasi tinggi dan terus-menerus mustahil terwujud dalam dunia nyata.

Pendekatan John W. Kingdon berbeda sekali dengan Neustadt dan Burns yang terbatas pada penguasa utama seperti presiden dan keputusannya yang paling penting. Aktor lain dan keputusan politik sehari-hari terluput dari sorotan mereka. Neustadt dan Burns juga sering diremehkan sebagai kurang ilmiah. Konsep-konsep mereka konon terlalu tinggi, besar, kabur dan buram; sulit dijadikan variabel operasional yang bisa diuji dalam bentuk hipotesa empiris, seperti pada ilmu pengetahuan alam yang menjadi suri teladan ilmu politik.

Dari judul buku Kingdon saja, Agendas, Alternatives, and Public Policies, sudah jelas bahwa yang dilacaknya problem-solving, pemecahan masalah, di tingkat praktis. Selain itu, bahwa fokus utamanya outcome, hasil atau akibat, dalam bentuk kebijakan atau undang-undang dan bukan aktor. Sang aktor baru muncul kemudian selaku calon penyebab sebuah akibat. Metode Kingdon juga lebih ilmiah. Dia membandingkan secara sistematis 23 kasus decision-making, pembuatan keputusan di sektor-sektor kesehatan dan pengangkutan, sebagian besar pada masa jabatan Presiden Jimmy Carter (1977-1981). Hampir 250 aktor dan pengamat diwawancarai serta ribuan dokumen pemerintah, tulisan jurnalis dan akademis dikumpulkan.

Terus terang, reaksi pertama saya beberapa tahun lalu kepada buku Kingdon: cinta selayang pandang. Potensi manfaatnya bagi teori tindakan dan pengertian kita mengenai demokrasi bermutu hampir tak terhitung besarnya. Mungkin paling besar ketimbang penulis lain yang saya bicarakan dalam makalah ini kecuali Machiavelli, sang kakek pendiri pendekatan individualis.

Lima penemuan utama perlu dikemukakan secara singkat:

• Aktor yang paling menentukan dalam proses pemecahan masalah adalah politisi terpilih dan aktor umum lainnya, bukan aktor tak kentara di belakang layar seperti diklaim teori oligarki.

• Policy entrepreneurs, wiraswastawan kebijakan, sering memainkan peran penting dalam proses perubahan kebijakan. Mereka bisa berasal dari mana-mana, tetapi sebagian besar adalah policy insiders, orang dalam yang sudah lama memainkan peran di dunia pembuatan kebijakan.

• Wiraswastawan kebijakan berenang di laut (metafor Kingdon) yang terdiri atas tiga aliran terpisah dan independen: problem recognition, penemuan masalah; generation of policy proposals, penciptaan usul-usul kebijakan; serta political events, kejadian-kejadian politik. Singkatnya: masalah, kebijakan, dan politik.

• Tiga aliran ini bertemu melalui decision windows, jendelajendela keputusan, yang buka dan tutup terus-menerus dan merupakan satu-satunya kesempatan bagi pemecahan masalah. Tugas utama wiraswastawan kebijakan adalah mengetahui kapan jendela terbuka dan bertindak atas dasar pengetahuan itu.

• Uncertainty, ketidakpastian, dan unpredictability, ketakteramalan, merupakan ciri-ciri khas kerangka Kingdon, yang menitikberatkan peran aliran yang mengalir dengan langgam dan aturannya sendiri.

Menurut saya, penggambaran tiga aliran yang mengalir bebas dalam laut kebijakan merupakan perincian brilian salah satu konsep dasar Machiavelli, yaitu fortuna. Konsep dasar lainnya, virtu, diterjemahkan Kingdon selaku pengetahuan wiraswastawan kebijakan dan ketrampilan serta kemauannya untuk bertindak. Teori tindakannya dilengkapi dengan konsep jendela keputusan yang menghubungkan sang aktor yang memiliki virtu, dengan fortuna, dalam bentuk tiga aliran tadi.

Kerangka Kingdon diciptakan lebih seperempat abad lalu, tetapi masih ditemukan di mana-mana sebagai buku teks di mata kuliah kebijakan umum. Selaku orang awam yang ingin menilai rekor kebijakan Presiden Obama, saya merasa banyak dibantu Kingdon. Obama berhasil meloloskan undang-undang asuransi kesehatannya, sebab jendela keputusan dibuka setelah dia menjabat dan Partai Demokratnya menguasai Kongres. Problem-nya mencolok mata: jutaan warganegara, sebagian besar pemilih Demokrat, yang tidak mampu memperoleh asuransi.

Lagi pula, substansi kebijakannya, yang membesarkan peran perusahaan swasta, tepat untuk meyakinkan anggota Kongres yang alergi terhadap peran negara. Sayangnya, jendela kebijakan itu tertutup rapat awal 2011 ketika Partai Republik menguasai kembali mayoritas kursi di Dewan Perwakilan. Setelah itu perhatian Obama tergeser ke luar negeri, tempat tindakannya lebih bebas dari campur tangan Kongres.

Alangkah baiknya apabila Agendas, Alternatives, and Public Policies diterjemahkan dalam bahasa Indonesia, agar lebih mudah dipakai ilmuwan politik untuk meneliti pemecahan masalah oleh pemerintah atau DPR. Misalnya, undang-undang pembentukan KPK, Desember 2002, merupakan kasus yang menarik untuk ditelusuri. Kasus itu pasti bermanfaat untuk menambah pengetahuan kita tentang penyebab dan akibat kebijakan penting di Indonesia.

Secara komparatif, Schuette (akan diterbitkan 2012) menganggap KPK sebagai contoh komisi anti-korupsi di dunia sedang berkembang yang relatif berhasil. Dia tidak mengacu kepada buku Kingdon, tetapi kita bisa membicarakan argumennya dalam kerangka itu. Schuette merunut pembentukan KPK kepada proses uji-coba berbagai proposal kebijakan dalam negeri selama setengah abad. Aktornya, termasuk donor dan konsultan asing, semua kentara. Reformasi membuka jendela kebijakan, tetapi prosesnya lama.

Sebelum pemilu 1999, sejumlah anggota DPR zaman Orde Baru memperjuangkannya demi kredibilitas politik mereka, tetapi gagal mengundangkannya. Setelah pemilu sampai akhir 2002, peran utama dimainkan oleh DPR, khususnya para anggota steering committee, panitia pengarah, tetapi “tuntutan lokal yang kuat dipasangkan dengan persetujuan bersyarat dari donor” (Schuette, Ck. 8).

Dari sudut pandang Kingdon, pembentukan undang-undang KPK jelas merupakan contoh pemecahan masalah penting. Dalam kasus ini, tiga alirannya—masalah, kebijakan, dan politik—mengalir terpisah dan baru dipertemukan Desember 2002. Prosesnya sarat dengan uncertainty dan unpredictability. Sejumlah wiraswastawan kebijakan di DPR memainkan peran penting dalam penentuan hasil akhirnya. Jendela keputusan yang dibuka menjelang pemilu 1999 setelah puluhan tahun tertutup memainkan peran penting. Kesimpulan saya: kasus ini wajar dianggap salah satu batu awal dalam bangunan teori kebijakan umum di Indonesia.

Richard Samuels, panutan terakhir saya, juga ingin menjelaskan penyebab dan akibat kebijakan penting. Samuels adalah ahli Jepang ternama dan profesor ilmu politik di Massachusetts Institute of Technology. Berbeda dari Kingdon, yang membatasi diri kepada Amerika dan kurun waktu satu masa jabatan presiden, kanvas lebar Samuels mencakup sejarah Italia dan Jepang selaku late modernizers, negara-negara yang terlambat menjadi modern.

Bukunya, Machiavelli’s Children: Leaders and their Legacies in Italy and Japan, baru terbit pada 2003 dan belum sempat menjadi klasik. Namun, teori tindakan kita diperkaya oleh pendekatan dan analisisnya. Bagi Samuels, keberhasilan dan ciri-ciri khas modernisasi di Italia dan Jepang disebabkan oleh pilihan-pilihan kebijakan, yang diambil 24 pemimpin, 11 di Italia dan 13 di Jepang. Pilihan-pilihan itu bersifat intentional, bermaksud tertentu, dan consequential, berdampak. Para pemimpin yang ditelusuri terlibat dalam sembilan kasus pengambilan keputusan penting yang disajikan berpasangan sebagai studi komparatif.

Kasus pertama adalah pembangunan negara (state-building) pada abad ke-19, yang berciri liberal di Italia dan nasionalisotoriter di Jepang. Proses itu dipimpin Count Camillo Benso di Cavour di Italia dan Ito Hirobumi bersama Yamagata Aritomo di Jepang. Menurut Samuels, “… pilihan-pilihan ketiga orang inilah yang memberi substansi kepada lembaga-lembaga Italia dan Jepang modern.”

Delapan kasus lainnya, dikemukakan secara kronologis, mencakup pembangunan ekonomi, matinya liberalisme, lahirnya korporatisme, aliansi luar negeri setelah Perang Dunia Kedua, penanganan korupsi, matinya komunisme di Uni Soviet dan Eropa Timur, serta perimbangan kekuasaan antara pusat dan daerah. Samuels percaya betul pada kemauan bebas para aktornya. Dalam setiap kasus dia berusaha keras membuktikan bahwa sang pemimpin merumuskan tujuan, strategi, dan taktiknya sendiri sambil mempertimbangkan berbagai alternatif. Secara moral dan dalam mata sejarah, aktor-aktor ini bertanggung jawab atas pilihan mereka.

Namun hal itu tidak berarti bahwa Samuels terjerumus dalam versi dangkal teori aktor besar dalam sejarah, yang menentukan pilihan tanpa kendala. Dia mengutip sambil memuji sejarawan terkemuka Carr (1961): seorang aktor besar “pada saat yang sama adalah wakil dan pencipta kekuatankekuatan sosial yang mengubah bentuk dunia dan pemikiran manusia.”

Kekuatan-kekuatan sosial tersebut diambil dari antropologi (budaya), sosiologi (struktur sosial), psikologi (persepsi dan kognisi), dan ilmu politik (lembaga-lembaga pemerintahan dan politik). Kekuatan itu diperlakukan sekaligus sebagai kendala yang menghambat dan sumber daya yang memungkinkan tindakan politik. Mengutip Samuels sekali lagi: “kepemimpinan adalah tempat cukup terkendala itu, di mana imajinasi, sumber daya, dan kesempatan bertemu.”

Selain retorika melayang, ada tiga sumbangan praktis dari pendekatan Samuels. Pertama, dia menegaskan tiga mekanisme mobilisasi, yang digunakan aktor politik untuk mencapai tujuannya: buying, membeli; bullying, menggertak; dan inspiring, mengilhami. Dalam bahasa Machiavelli, tiga alat mobilisasi itu merupakan perincian virtu. Setiap alat dikaitkan Samuels dengan berbagai sumber daya politik yang sering ditemukan di dunia kita: untuk buying adalah uang, barang, jasa dan posisi; untuk bullying adalah kekerasan, baik kasar maupun halus, yang dilakukan negara melalui polisi atau tentara, serta yang dilakukan masyarakat; untuk inspiring adalah ideologi, kebijakan simbolis, dan sumber daya lain yang bersangkut-paut dengan perasaan (affect), keabsahan (legitimacy), atau budaya.

Kerangka tiga alat Samuels bisa diterapkan di mana-mana untuk menjelaskan keberhasilan dan kegagalan kepemimpinan. Barack Obama memenangi pemilihan presidensial 2008 sebagai pemimpin inspiring. Namun, setelah itu dia sulit memanfaatkan keabsahan pribadinya untuk mencapai tujuan-tujuan kebijakannya. Untungnya, berkat buying dukungan beberapa kelompok kepentingan, dia berhasil meloloskan undangundang asuransi kesehatannya. Namun kebijakannya terhadap ancaman teror hampir sama dengan pemerintahan Presiden George W. Bush yang mengandalkan bullying belaka.

Di Indonesia, daya tahan Orde Baru selama 33 tahun bisa dijelaskan sebagai akibat mobilisasi semua alat itu dalam kombinasi yang berubah terus, bergantung keadaan dan keperluan Soeharto, sang aktor utama (Liddle 2007). Pada awalnya, alat utamanya tentu bullying. Tentara digunakan untuk menghancurkan PKI dan mengontrol kekuatan-kekuatan politik lain.

Kemenangan Golkar pada pemilu 1971, yang saya saksikan langsung di desa, juga dijamin kekuatan tentara. Setelah itu, buying menjadi lebih penting, dalam pengertian sempit, yakni korupsi, tetapi juga pengertian luas, yakni pembangunan ekonomi yang memakmurkan mayoritas rakyat Indonesia. Dari awal sampai akhir alat-alat inspiring juga dimanfaatkan, misalnya dalam bentuk anti-komunisme, anti-Islamisme, dan tentu saja Pancasila, ideologi serba guna sepanjang masa.

Tekanan Samuels pada peran legacy, warisan, selaku kendala utama bagi pemimpin yang datang berikutnya, juga bermanfaat. Pengaruh ciri-kiri khas kasus pertama, state-building—liberalisme di Italia dan nasionalisme otoriter di Jepang—disusuri sampai kasus mutakhir. Begitu juga dengan kasus-kasus lain. Pada akhirnya kita mendapat gambaran kompleks dan canggih tentang setiap keputusan penting.

Di Indonesia juga, siapa yang menulis mengenai zaman Reformasi harus mempertimbangkan dengan saksama dampak keputusan penting yang diambil pemerintahan sebelumnya, mungkin sampai zaman pra-penjajahan. Tentu sambil mengingat bahwa warisan merupakan kendala belaka, bukan penentu atau penyebab.

Akhirulkata, konsep constraint-stretching, pelonggaran kendala, mungkin merupakan sumbangan Samuels yang paling berguna untuk mengukur prestasi atau virtu para pemimpin masa kini. Di Jepang dan Italia, sukses hampir selalu dikaitkan Samuels dengan kesanggupan sang pemimpin melonggarkan kendala-kendala yang dihadapinya. Dalam proses itu, keberhasilan banyak bergantung kepada visi dan daya imajinasinya. Pujian tertinggi diberikan Samuels hanya kepada pemimpin yang bertindak secara orisinil, berani, dan tak terduga-duga oleh teman, lawan, dan dunia luar. Sukses saja tidak cukup. Sang pemimpin harus membuat sesuatu yang sulit dibayangkan dilakukan orang lain di tempat dan waktu itu.

Kasus favorit saya di Machiavelli’s Children membicarakan Perdana MenteriAlcide De Gasperi dan Perdana MenteriYoshida Shigeru, masing-masing pemimpin negara yang dikalahkan dalam Perang Dunia Kedua. Kedua-duanya berhasil meninggalkan status awal negerinya selaku negara yang diduduki musuh lalu mengangkatnya menjadi sekutu AS yang berpengaruh selama Perang Dingin. Yoshida dan De Gasperi “menemukan kemungkinan-kemungkinan yang tidak dilihat orang lain,” sambil menciptakan lembaga-lembaga demokrasi baru yang sah. Alhasil, keamanan nasional serta akses kepada pasar ekonomi global terjamin bagi Italia dan Jepang selama setengah abad.

Apakah konsep pelonggaran kendala bisa diterapkan di Indonesia? Selaku pengamat lama, saya melihat banyak contoh. Pada akhir 1980-an, kelompok Islam modernis dirangkul Presiden Soeharto setelah dikucilkan sejak awal Orde Baru. Kebijakan baru itu mengejutkan banyak orang, termasuk kelompok yang dirangkul dan orang-orang yang masih takut pada ancaman politik kaum modernis. Setelah Soeharto lengser, keputusannya berdampak besar, sebab semua golongan penting sudah punya tempat di meja runding nasional.

Pada tahun 1998, taruhan Presiden Habibie besar sekali, termasuk pemilu demokratis, desentralisasi kekuasaan, serta pembebasan Timor Leste. Semua kebijakan itu merupakan pilihan Habibie sendiri. Seandainya Try Sutrisno (wakil presiden sampai bulan Maret 1998) menggantikan Soeharto, pilihannya pasti lain. Setelah pemilu 1999, harapan pribadi Habibie untuk dipilih sebagai presiden kandas, tetapi negara demokratis ditegakkan. Seperti tokoh-tokoh Samuels di Italia dan Jepang, Habibie melonggarkan kendala dan mengubah sejarah bangsanya. Setelah itu, sejauh pengamatan saya, belum ada presiden yang berusaha apalagi berhasil melonggarkan kendala yang dihadapinya baik demi tujuan pribadinya maupun kepentingan bangsa.


6. Sumber Daya dan Kemampuan

Sekarang kita—baik orang Amerika maupun orang Indonesia—tahu bahwa kita bisa bertindak. Kita tidak perlu dirundung rasa putus asa, seakan-akan nasib kita dipegang erat di genggaman tangan elit oligarkis yang membelenggu dan menafikan demokrasi kita. Machiavelli, Neustadt, Burns, Kingdon, dan Samuels telah membekali kita dengan alat-alat yang bisa diterapkan untuk berbuat banyak. Hal itu tidak berarti bahwa kita bisa bernafas lega. Ketidaksetaraan dalam distribusi sumber daya politik masih merupakan ciri umum dua negeri kita, sesuai ramalan Dahl buat semua demokrasi modern yang menganut ekonomi kapitalisme pasar.

Dilihat dari segi Indeks Gini, ukuran standar buat ketidaksetaraan ekonomi, kesenjangan kaya-miskin lebih lebar di Amerika ketimbang Indonesia. Isu kesenjangan memang sedang hangat di Amerika, tempat pendapatan satu persen orang terkaya bertumbuh pesat, 275% setelah tahun 1979, jauh melebihi peningkatan pendapatan kelas menengah, 40% pada kurun waktu yang sama. Di Indonesia, tanpa angka statistik yang jelas pun, kita semua menyadari bahwa kesenjangan pendapatan dan kekayaan tetap merupakan tantangan berat, mungkin terberat, bagi perbaikan mutu demokrasi.

Kebijakan-kebijakan apa yang sebaiknya diambil untuk menambah jumlah sumber daya politik dan meratakan penyebarannya? Usul saya: manfaatkan pendekatan capabilities, kemampuan, yang sedang dikembangkan sejumlah ekonom, terutama pemenang hadiah Nobel Amartya Sen (1999; 2009), dan filsuf, terutama Martha Nussbaum (2011). Pendekatan mereka sudah mulai berpengaruh di lembaga-lembaga kaliber dunia, termasuk World Bank dan UNDP (United Nations Development Programme). Dampaknya juga kelihatan di laporan komisi pemerintah Prancis, Commission on the Measurement of Economic Performance and Social Progress [“Komisi Pengukuran Kinerja Ekonomi dan Kemajuan Sosial”], yang disingkatkan Komisi Sarkozy (Stiglitz dll 2009).

Sejak 2004 sejumlah peneliti pendekatan kemampuan bergabung di HDCA (Human Development and Capability Association [“Asosiasi Pembangunan dan Kemampuan Manusia”]). Konferensi tahunan 2012 HDCA akan diadakan di Jakarta dengan tema “Revisiting Development: Do We Assess It Rightly? Websitenya: www.capabilityapproach.com. Rumusan pendekatan kemampuan paling terkenal dikemukakan Sen dalam bukunya Development as Freedom (1999). Dia mendaftar lima jenis hak dan kesempatan yang ikut memperbaiki, langsungatautidaklangsung,kebebasan secara keseluruhan yang dimiliki orang-orang supaya mereka bisa hidup sebagaimana mereka ingin hidup.10 Dalam buku terbarunya, The Idea of Justice (2009), Sen mendefinisikan masyarakat adil selaku masyarakat tempat hak dan kesempatan itu dibagi serata mungkin.

Lima jenis hak dan kesempatan tersebut terdiri atas:

• political freedoms, kebebasan politik, hak-hak untuk menentukan siapa yang berkuasa, termasuk hak memilih, kebebasan organisasi dan pers, hak untuk mengkritik kebijakan pemerintah, serta hak-hak politik dan sipil lainnya;

• economic facilities, fasilitas ekonomi, termasuk kesempatan menggunakan sumber daya ekonomi demi keperluan konsumsi, produksi, dan pertukaran;

• social opportunities, kesempatan-kesempatan sosial, termasuk kesempatan memperoleh pendidikan dan perawatan kesehatan yang layak;

• transparency guarantees, jaminan transparansi atau keterbukaan pemerintah, agar korupsi dan penyelewengan finansial pemerintah dicegah;

• protective security, jaminan perlindungan terhadap keamanan pribadi, termasuk jaringan keselamatan sosial buat penganggur dan korban bencana alam.

Kiranya cukup jelas bahwa konsep kemampuan Sen tidak banyak berbeda dengan konsep sumber daya politik yang diutarakan Dahl seperti disebut di awal makalah ini. Lagi pula, tujuannya sama: demi masyarakat adil/demokratis, jumlah kemampuan/sumber daya perlu diperbanyak dan dibagikan serata mungkin. Alangkah baiknya kalau kerangka Sen diterima para politisi sebagai dasar kebijakan ekonomi di mana-mana, termasuk di Indonesia dan Amerika.

Sayangnya, pandangan Sen hanya mewakili aliran minoritas ilmuwan ekonomi pembangunan masa kini. Lagi pula, aliran itu perlu ditaruh dalam konteks perdebatan lama semenjak bangsa-bangsa Asia dan Afrika mencapai kemerdekaannya sesudah Perang Dunia Kedua. Selama itu pihak mayoritas, sebutlah para ekonom murni, selalu membatasi analisis mereka kepada variabel-variabel ekonomi saja. Klaim mereka: selaku science, ilmu ekonomi hanya mungkin maju kalau jumlah variabelnya dibatasi seketat mungkin. Buat kelompok ini, ukuran utama pembangunan ekonomi adalah laju pertumbuhan GDP/GNP (Gross Domestic/National Product, [Produk Domestik/Nasional Bruto]).

Pihak minoritas yang juga mengaku ekonom merasa perlu memasukkan variabel lain seperti struktur sosial, budaya, persepsi psikologis, atau politik dalam model-model mereka. Di dunia nyata banyak variabel, bukan hanya variabel ekonomi, berdampak pada outcome, hasil kebijakan, ekonomi. Salah satu ciptaan kelompok ini: ukuran HDI (Human Development Index, [Indeks Pembangunan Manusia]) yang menggabungkan unsur-unsur GDP, harapan hidup, melek huruf, dan tingkat pendidikan. Demi penggambaran realistis, mereka bersedia bergumul dengan variabel yang sulit diukur. Oleh pihak mayoritas, pihak minoritas diledek selaku political economists, ekonom politik, yang berarti kurang setia kepada ilmunya sendiri.

Kapan perdebatan ini selesai dan siapa pemenangnya? Terus terang saya tidak tahu apakah kita sebaiknya bersikap optimistis atau pesimistis. Selaku pemikir, Amartya Sen dan teman-temannya cemerlang, tetapi masih kurang berpengaruh di dunia praktis setelah puluhan tahun ketimbang lawan-lawan mereka. Mungkin yang diperlukan di Indonesia dan di forum-forum global, selain kegiatan intelektual, adalah penggalangan kekuatan politik. Kelompok-kelompok masyarakat yang berkepentingan atau yang sepaham dengan pendekatan kemampuan perlu berorganisasi dan bertindak. James MacGregor Burns pasti benar ketika dia bertutur bahwa real, intended change, perubahan sejati dan tertuju, tak mungkin tanpa tuntutan, persaingan, dan perbenturan.


7. Kesimpulan

Tantangan terbesar terhadap demokrasi bermutu pada masyarakat modern terdiri atas pembagian sumber daya politik yang tidak merata. Setidaknya kalau demokrasi dimaknai sebagai kesetaraan politik antara semua warganegara, definisi Robert Dahl, salah satu pencipta tersohor teori demokrasi abad ke-20. Sayangnya, cita-cita itu sulit diwujudkan di ekonomi-ekonomi kapitalis pasar, baik yang maju seperti Amerika maupun yang sedang berkembang seperti Indonesia. Masalahnya: secara ironis, kapitalisme pasar sekaligus merupakan dasar ekonomi mutlak buat negara demokratis modern sambil menggerogoti terus dasar politik negara tersebut.

Serangan paling terkenal terhadap kapitalisme selama ini diluncurkan pada pertengahan abad ke-19 oleh teoretisi sosial Karl Marx yang mengutamakan perbenturan kelas selaku kekuatan dinamis dalam sejarah. Namun, Marx dan pengikutnya sampai abad ke-21 tidak banyak membantu kita memahami apa yang harus kita buat untuk memperbaiki demokrasi. Contoh di Indonesia: tulisan-tulisan Richard Robison dan Vedi Hadiz. Selain yakin berlebihan terhadap peran perbenturan kelas, mereka menyepelekan mandirinya lembaga-lembaga demokrasi yang dijuluki demokrasi borjuis, demokrasi yang hanya melayani kepentingan kelas kapitalis.

Niccolo Machiavelli, filsuf politik Italia abad ke-16, lebih tepat selaku pemandu global abad ke-21 ketimbang Marx. Pendekatan Machiavelli terfokus pada peran individu sebagai aktor mandiri yang memiliki, menciptakan, dan memanfaatkan sumber daya politik. Ia menawarkan kerangka berharga, terdiri atas konsep-konsep virtu dan fortuna, yang bisa dimanfaatkan untuk menciptakan teori tindakan baru pada zaman kita. Virtu, ketrampilan atau kejantanan, berarti luas semua sumber daya yang berguna bagi aktor politik untuk mencapai tujuannya. Fortuna berarti kans atau keberuntungan, tetapi dalam pengertian kondisi-kondisi alamiah dan sosial serta kejadian-kejadian yang dihadapi sang aktor, tanpa implikasi keharusan atau nasib. Kita juga diingatkan Machiavelli bahwa ada tensi, mungkin tak terhindarkan sepanjang masa, antara moralitas pribadi dan moralitas politik.

Teori tindakan Machiavelli diterapkan secara persuasive oleh sejumlah ilmuwan politik di Amerika pada paruh kedua abad ke-20 dan dasawarsa pertama abad ke-21. Richard Neustadt mengamati dari dekat tiga presiden Amerika: Franklin Roosevelt, Harry Truman, dan Dwight Eisenhower. Bagi Neustadt, sumber daya politik terpenting seorang presiden yang mau berprestasi adalah the power to persuade, kekuatan untuk meyakinkan orang lain tentang kebijakan-kebijakannya.

Neustadt menawarkan lima ukuran keberhasilan presidensial: keterlibatan pribadi sepenuh hati; pernyataan posisi yang tidak samar-samar; pesan yang disiarkan seluas-luasnya; persiapan pelaksanaan yang matang; serta pengakuan keabsahan presiden oleh kelompok-kelompok masyarakat yang terlibat atau berkepentingan.

James MacGregor Burns, intelektual dan aktivis kiri ternama, menulis tatkala Amerika sedang bergejolak akibat protes gerakan hak sipil minoritas Amerika-Afrika dan perlawanan luas terhadap perang Amerika di Vietnam. Dalam bukunya yang terbaik, Leadership, ia menciptakan konsep-konsep followership, kepengikutan, dan transforming leadership, kepemimpinan yang mengubah masyarakat secara mendasar. Perubahan yang mendasar bergantung pada pengejaran moralitas tinggi antara pemimpin dan pengikut secara intensif, bersama dan terus-menerus. Burns bersitegas bahwa kepemimpinan tak terpisahkan dari moralitas, lalu memuji Mao Zedong selaku transforming leader.

Ilmuwan favorit saya selaku penerus tradisi pemikiran Machiavelli adalah John Kingdon, profesor ilmu politik kawakan di UniversitasMichigan. Kingdon menerjemahkan konsep-konsep pokok Machiavelli dalam bahasa studi kebijakan umum dan ilmu politik empiris, perhatian utama saya sendiri sejak masa mahasiswa. Kita diajak membayangkan proses pembuatan kebijakan umum yang terdiri atas tiga aliran penemuan masalah, penciptaan usul-usul kebijakan, dan kejadian-kejadian politik. Tiga aliran itu dipertemukan oleh wiraswastawan kebijakan yang peka terhadap terbuka dan tertutupnya jendela keputusan. Alangkah baiknya kalau buku Kingdon diterjemahkan dalam bahasa Indonesia dan dipakai ilmuwan politik Indonesia untuk memperbaiki pengertian kita semua tentang hal-hal yang menghambat peningkatan mutu demokrasi.

Tokoh terakhir saya, Richard Samuels, pakar Jepang di Massachusetts Institute of Technology, menawarkan kerangka baru yang berbobot sambil menelusuri proses modernisasi abad ke-19 dan ke-20 di Jepang dan Italia. Tiga unsur utamanya: alat-alat mobilisasi yang diberi label membeli, menggertak, dan mengilhami; peran warisan dalam proses pengambilan keputusan; serta pelonggaran kendala yang konon dilakukan semua pemimpin yang berhasil mengubah sejarah. Selaku negara-negara terlambat dalam proses modernisasi, boleh jadi Jepang dan Italia bermanfaat sebagai model buat Indonesia.

Akhirulkata, kita diingatkan Dahl bahwa penambahan dan pemerataan sumber daya politik demi tercapainya demokrasi bermutu merupakan masalah tersendiri. Baik di Indonesia maupun di Amerika, jurang pemisah tetap menganga antara yang mampu dan yang kurang mampu berpolitik. Penelitian yang paling menjanjikan tentang masalah ini, atas nama pendekatan kemampuan, sedang dilakukan oleh sejumlah kecil ekonom dan filsuf dibimbing Amartya Sen dan Martha Nussbaum. Namun, kegiatan intelektual saja tak cukup. Selain itu, pemerataan sejati memerlukan tindakan politik yang dilakukan oleh orang-orang yang mengidamkan demokrasi bermutu.

No comments:

Makalah: Mahabbah, Makrifah

BAB I PENDAHULUAN   A.      Latar Belakang Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi membawa manusia larut dan terbuai dalam din...