Thursday, November 30, 2017

Tingkatan Mufassirin



Tingkatan Para Mufassir

Pada bab ini akan dibahas mengenai tingkatan para Mufassir yang terbagi dalam beberapa periode, yaitu; periode Sahabat, Tabi’in, Tabi’it Tabi’in, dan Mutaakhkhirin. Pada setiap periode terdapat nama-nama mufassir dan karakteristik kitab tafsir yang dikarangnya. Berikut ini akan diuraikan tingkatan para Mufassir berdasarkan periodennya masing-masing.

1. Periode Sahabat.
Ahli tafsir dari kalangan sahabat sebenarnya sangat banyak, akan tetapi yang paling masyhur ada sepuluh orang, yaitu; Khalifah empat, Ibnu Mas’ud, Ibnu Abbas, Ubay bin Ka’ab, Zaid bin Tsabit, Abu Musa al-Asy’ary, dan Abdullah bin Zubair. Dari Khalifah empat yang paling banyak meriwayatkan tafsir adalah Ali bin Abi Thalib r.a. mengenai hal ini Mu’ammir meriwayatkan dari Wahab, dari Abdullah, dari Abu Tufail, ia berkata; “aku menyaksikan Ali mengatakan, “tanyailah aku, demi Allah, semua pertanyaan akan kujawab. Tanyailah aku tentang Al Qur’an, demi Allah, tidak ada satu ayatpun yang tidak aku ketahui, apakah ayat itu diturunkan di siang hari atau malam hari”. Tiga Khalifah lainnya yaitu Abu Bakar, Umar, dan Utsman radiyallahu ‘anhum sangat sedikit dalam meriwayatkan tafsir, hal itu karena mereka terlebih dahulu meninggal dari pada sayyidina Ali bin Abi Thalib.
Selain dari sayyidina Ali, yang banyak meriwayatkan tafsir dari kalangan Sahabat adalah Ibnu Mas’ud, dan riwayatnya jauh lebih banyak dari pada riwayat sayyidina Ali. Ibnu Jarir dan yang lainnya meriwayatkan perkataan Ibnu Mas’ud, “demi zat yang tidak ada Tuhan selain-Nya, tidak ada satu ayatpun dari Al Qur’an yang diturunkan kecuali aku mengetahui kepada siapa ayat itu diturunkan dan di mana diturunkan, jika aku mengetahui ada seseorang yang lebih tahu dariku maka aku akan mendatanginya”.
Dari sekian banyak ahli tafsir kalangan Sahabat, yang paling berhak mendapatkan gelar Mufassir adalah Sahabat Ibnu Abbas yang keilmuannya diakui oleh Rasulullah, bahkan beliau menjuluki Ibnu Abbas dengan julukan “penterjemah Al Qur’an”, beliau juga pernah mendo’akannya agar dianugrahi kepahaman terhadap ilmu agama dan diberi pengetahuan tentang takwil. Namun sangat disayangkan, riwayat Ibnu Abbas yang sangat banyak itu selanjutnya banyak yang ditambah dan diselewengkan ucapannya, bahkan sebagian orang meriwayatkan beberapa kebohongan yang dinisbatkan pada Ibnu Abbas, sehingga Imam Syafi’i pernah berkata; hampir tidak ada penjelasan Ibnu Abbas tentang tafsir yang asli kecuali seratus hadits.
Selain dari Mufassir yang telah disebutkan di atas, di kalangan Sahabat masih ada lagi Mufassir yang lain, hanya saja riwayat mereka ini tergolong sangat sedikit bila dibandingkan dngan sepuluh Mufassir yang disebutkan tadi. Mereka adalah; Abu Hurairah, Anas bin Malik, Abdullah bin Umar, Jabir bin Abdullah, dan sayyidah ‘Aisyah radiyallahu ‘anhum.

2. Periode Tabi’in.
Pendapat-pendapat para Sahabat mengenai tafsir diambil oleh sejumlah Sahabat lainnya yang hidup di berbagai daerah, sehingga pada masa Tabi’in muncul tingkatan-tingkatan Mufassir di daerah Mekkah, Madinah, dan Irak. Namun menurut Ibnu Taimiyyah, yang paling mengetahui tafsir pada periode Tabi’in adalah ahli Mekkah, karena mereka adalah murid-murid dari Ibnu Abbas seperti Mujahid, ‘Atha bin Abi Ribah, Ikrimah (seorang budak yang dimerdekakan Ibnu Abbas), Said bin Zubair, Thawus dan lain-lain. Demikian pula murid-murid Ibnu Mas’ud di Kufah seperti ‘Alqamah, Aswad bin Yazid, Ibrahim an-Nukha’i, sya’by dan lain-lain. Mufassir era Tabi’in di Madinah adalah Zaid bin Aslam yang kemudian diriwayatkan oleh putranya Abdurrahman bin Zaid dan Malik bin Anas. Sebagian dari Mufassir era Tabi’in yang lain adalah Hasan al-Bashri, ‘Atha bin Abi Muslim al-Khurasani, Muhammad bin Ka’ab al-Quwaidzi, Abu ‘Aliyah Rafi bin Mahsan ar-Riyahi, Dhohak bin Muzahim, ‘Atiyyyah bin Sa’ad al-‘Ufi, Qatadah bin Du’amah as-Sadusi, Rabi bin anas, dan As-Sady. Mereka ini adalah pemuka-pemuka Mufassir pada era Tabi’in yang hampir semua pendapat mereka diambil dari pendapat para sahabat.

3. Periode Tabi’it Tabi’in.
Pada periode ini terdapat beberapa Mufassir yang mengumpulkan pendapat para Sahabat dan Tabi’in tentang tafsir. Sebagian dari mereka adalah Sufyan bin ‘Uyainah, Waki’ bin Al-Jarrah, Syu’bah bin Hajjaj, Yazid bin Harun, Abdul Razak, Adam bin Abi Iyas, Ishak bin Abi Rahawiyah, ‘Abd bin Hamid, Ruh bin ‘Ubadah, Abi Bakar bin Abi Syaibah dan lain-lain.

4. periode Mutaakhkhirin.
Para mufassir setelah masa Tabi’it tabi’in diklasifikasikan dalam beberapa periode dan beberapa tingkatan yang akan dijelaskan secara berurutan sebagai berikut:
– setelah era Mufassir periode Tabi’it tabi’in, terdapat mufassir-Mufassir, sebagian dari mereka adalah Ali bin Abi Thalhah, Ibnu Jarir Ath-Thabari, Ibnu Abi Khatim, Ibnu Majah, Al-Hakim, Ibnu Mardawiyah, Abu Syaikh bin Hibban, Ibnu Mundzir dan lain-lain. Para Mufassir ini menyandarkan semua pendapatnya kepada para Sahabat, Tabi’in dan para pengikut mereka kecuali Ibnu Jarir yang dalam tafsirnya menambahkan tarjih (pengunggulan) dalam berbagai pendapat, beliau juga membahas i’rab dan istinbath sehingga tafsir Ibnu Jarir ini lebih unggul dari yang lain.
– Tingkatan selanjutnya adalah Mufassir yang mengarang kitab-kitab tafsir yang berisikan faidah-faidah dari tafsir terdahulu. Di antara tokoh-tokoh Mufassir tingkatan ini adalah Abi Ishak Az-Zujaj, Abi Ali al-Farisi, Abi Bakar an-Naqasyi, Abi Ja’far an-Nukhas, dan Abi Abbas al-Farisi.
– Setelah tingkatan di atas, selanjutnya muncul Mufassir-mufassir yang banyak menghilangkan sanad dan banyak memasukkan pendapat mereka sendiri, menjelaskan sesuatu yang diyakininya sehingga orang-orang setelah tingkatan ini menyangka bahwa pendapat mereka tersebut asli dari para Sahabat, Tabi’in dan para pengikutnya. Berkaitan dengan hal ini, Imam Suyuthi berkomentar, “aku melihat sepuluh pendapat yang berbeda mengenai tafsir ayat ghairil maghdhubi ‘alaihim wa ladh-dhaallin. Padahal menurut Nabi, Sahabat, dan Tabi’in, tafsirnya adalah kaum yahudi dan nashrani.
– Tingkatan berikutnya adalah para Mufassir yang mengembangkan berbagai disiplin ilmu. Mereka memenuhi kitab tafsirnya dengan bidang ilmu yang dikuasai seakan-akan Al Qur’an diturunkan khusus untuk membahas ilmu tersebut. Mufassir yang ahli terhadap masalah nahu dalam tafsirnya menjelaskan tentang i’rab secara panjang lebar dan mendetail, seperti kitab tafsirnya Ibnu Hayan yang berjudul “fil bahri wan-nahari”. Mufassir yang ahli di bidang sejarah memenuhi kitab tafsirnya dengan cerita-cerita zaman dahulu baik yang benar maupun yang palsu, contohnya tafsir Ats-Tsa’labi. Begitu pula dengan Mufassir yang ahli ilmu fiqh seperti kitab tafsir Al-Qurtubi. Imam Fakhruddin Ar-Razi dalam tafsirnya banyak menjelaskan tentang pendapat-pendapat ahli hikmah dan filsafat. Pada tingkatan ini bermunculan juga Mufassir-mufassir palsu yang menafsiri Al Qur’an seenaknya dan menyesatkan yang tujuan mereka adalah merusak ajaran-ajaran Islam.
– Tingkatan periode Mutaakhkhirin yang selanjutnya adalah pada saat tibanya masa kebangkitan umat Islam. Para Mufassir dalam tingkatan ini menjelaskan tafsirnya dengan ungkapan yang panjang, gaya bahasa yang indah. Mereka juga membicarakan aspek-aspek sosial dan pemikiran modern. Sebagian dari mereka adalah; Muhammad Abduh, Sayyid Muhammad Rasyid Ridha, Muhammad Mushthafa al-Maraghi, Sayyid Qutub, dan Muhammad ‘Izzah Daruzah.

No comments:

Makalah: Mahabbah, Makrifah

BAB I PENDAHULUAN   A.      Latar Belakang Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi membawa manusia larut dan terbuai dalam din...