IBRAHIM
BAPAK TAUHID UMAT MANUSIA
oleh
Ja'far Subhani
MENGAPA ADA PEMUJAAN KEPADA MAKHLUK
Faktor-faktor yang
menimbulkan penyembahan manusia kepada ciptaan
adalah ketidaktahuannya dan tuntutan alami yang mutlak
dalam dirinya yang
pada umumnya mempercayai adanya
suatu penyebab bagi setiap fenomena. Di satu sisi, manusia, yang dikuasai oleh
kodrat alami, merasa harus mencari perlindungan di suatu tempat, pada suatu
pewenang kuat yang mampu menciptakan sistem
yang unik ini. Namun,
di sisi lain, ketika ia bermaksud menempuh jalan ini
tanpa tuntunan para nabi
-pemandu Ilahi dan telah
ditunjuk untuk menjamin kesempurnaan perjalanan rohani manusia- ia
mencari perlindungan pada makhluk-makhluk
tak-bernyawa, hewan, ataupun
sesama manusia sebelum ia
dapat mencapai tujuannya
yang sesungguhnya, yakni Tuhan
Yang Esa, dan mendapatkan
jejak-jejak-Nya dengan mengamati tanda-tanda penciptaan dan mencari perlindungan pada-Nya. Oleh karena
itu, ia membayangkan bahwa inilah
obyek yang dicari-carinya. Melihat ini,
para ilmuwan mengakui, setelah
mengkaji kitab-kitab Ilahi dan cara bagaimana dakwah disampaikan kepada manusia
oleh para nabi serta argumentasi mereka, bahwa
tujuan para nabi
bukanlah untuk meyakinkan manusia tentang
adanya pencipta alam
semesta. Sesungguhnya, peran mereka
yang mendasar ialah membebaskan manusia dan cengkeraman
syirik (politeisme) dan penyembahan berhala.
Dengan kata lain,
mereka datang untuk mengatakan kepada manusia, "Hai manusia!
Allah yang kita
semua percaya akan keberadaan-Nya
adalah ini, bukan itu. Ia esa, bukan
berbilang. Jangan memberikan status Allah kepada makhluk. Terimalah Allah
sebagai Yang Esa. Jangan menerima mitra atau sekutu apa pun bagi-Nya."
Kalimat "tiada Tuhan selain
Allah," membuktikan apa yang
kami katakan di
atas. Inilah titik mula dakwah Nabi
Muhammad. Maksud kalimat
ini ialah, tak
ada sesuatu yang patut
disembah selain Allah,
dan ini berarti bahwa adanya
Pencipta telah merupakan
fakta yang diakui, sehingga
manusia dapat diajak
untuk menerima
kemaha-esaan-Nya. Kalimat ini
menunjukkan bahwa di mata manusia zaman itu, bagian pertama –adanya
Tuhan yang menguasai alam semesta-
bukanlah hal yang perlu
dipertengkarkan. Disamping itu,
kajian terhadap kisah-kisah Qur'ani dan
percakapan para nabi
dengan umat zamannya memperjelas masalah ini.
[Catatan kaki: Tetapi,
bagaimana konsepsi mereka tentang berhala?
Apakah mereka memandangnya
patut disembah dan hanya
untuk menjadi perantara, ataukah
mereka berpikir bahwa berhala-berhala itu pun mempunyai kekuasaan seperti
Allah? Masalah ini berada di luar bahasan kita sekarang,
walaupun pandangan pertama itu kuat dan terbukti.]
TEMPAT KELAHIRAN NABI IBRAHIM
Jawara
Tauhid ini dilahirkan
di lingkungan gelap penyembahan berhala dan penyembahan
manusia. Manusia menundukkan kerendahan hati kepada berhala yang dibuat
dengan tangannya sendiri, atau kepada
bintang-bintang. Dalam situasi ini,
hal yang mengangkat
kedudukan Ibrahim dan menyukseskan usahanya adalah kesabaran dan ketabahannya.
Tempat
kelahiran pembawa panji
tauhid ini adalah Babilon. Para sejarawan telah
menyatakan negeri itu sebagai
salah satu dari tujuh keajaiban
dunia. Mereka telah mencatat banyak
riwayat tentang keagungan
dan kehebatan peradaban wilayah
itu. Sejarawan Yunani kenamaan, Herodotus (483-425
SM), menulis, "Babilon dibangun di
sebuah lapangan persegi-panjang setiap sisinya 480 km (120 league), sehingga
kelilingnya 1.920 km. Pernyataan ini,
betapapun dibesar-besarkan,
mengungkapkan realitas yang
tak terbantah-apabila dibaca
bersama tulisan-tulisan lainnya.
Namun,
dari pemandangannya yang
menarik dan istana-istananya
yang tinggi, tak ada lagi yang dapat dilihat
sekarang selain tumpukan
lempung, di antara sungai Tigris
dan Efrat, yang
diliputi kebungkaman maut. Kebungkaman
itu kadang-kadang dipecahkan oleh para orientalis
yang melakukan penggalian
untuk
mendapatkan informasi tentang peradaban Babilonia.
Nabi
Ibrahim, pelopor tauhid,
dilahirkan di masa pemerintahan Namrud
putra Kan'an. Walaupun
Namrud menyembah berhala, ia
juga mengaku sebagai
tuhan (dewa). Dengan memanfaatkan kejahilan rakyat yang mudah percaya,
ia memaksakan kepercayaannya kepada mereka.
Mungkin
nampak agak ganjil
bahwa seorang penyembah berhala mengaku
pula sebagai dewa.
Namun, Al-Qur'an memberikan kepada
kita suatu contoh
lain tentang kepercayaan ini.
Ketika Musa mengguncang
kekuasaan Fir'aun dengan logikanya
yang kuat dan
menguak kebohongannya dalam suatu
pertemuan umum, para pendukung Fir'aun
berkata kepadanya, "Apakah
kamu
membiarkan Musa dan kaumnya membuat kerusakan di negeri ini
(Mesir) dan meninggalkan kamu serta tuhan-tuhanmu?" (QS, Surah
al-A'raf, 7:127). Telah
termasyhur bahwa Fir'aun mengaku
sebagai tuhan dan biasa menyerukan, "Aku adalah
tuhanmu yang tertinggi." Namun
ayat ini menunjukkan bahwa ia juga
seorang penyembah berhala.
Dukungan
terbesar yang diperoleh
Namrud datang dari para astrolog dan
penenung yang dipandang
sebagai orang-orang pintar di
zaman itu. Ketundukan mereka ini membuka
jalan bagi Namrud
untuk memanfaatkan kaum tertindas dan
kalangan bodoh. Selain
itu, sebagian famili Ibrahim, misalnya Azar yang membuat berhala dan
juga memahami
astrologi, termasuk pengikut Namrud. Ini saja
sudah merupakan halangan
besar bagi Ibrahim, karena di
samping harus berjuang melawan
kepercayaan umum itu, ia juga harus
menghadapi perlawanan kaum kerabatnya sendiri.
Namrud telah menerjunkan diri ke dalam
laut kepercayaan takhayul. Ia telah membentangkan permadani untuk pesta dan
minum-minum ketika para
astrolog membunyikan lonceng
bahaya pertama seraya mengatakan, "Pemerintahan Anda akan
runtuh melalui seorang putra negeri ini." Ketakutan
laten Namrud bangkit. Ia bertanya, "Apakah ia telah lahir
atau belum?" Para astrolog itu menjawab bahwa ia belum
lahir. Ia kemudian memerintahkan supaya
diadakan pemisahan antara
perempuan dan laki-laki-di malam yang, menurut ramalan para
astrolog, kehamilan musuh mautnya
itu akan terjadi. Walaupun demikian, para algojonya membunuh
anak-anak laki-laki. Para
bidan diperintahkan untuk melaporkan
rincian tentang anak-anak yang
baru lahir ke suatu kantor khusus.
Pada malam itu juga terjadi
kehamilan Ibrahim. Ibunya hamil
dan, seperti ibu
Musa putra 'Imran,
ia merahasiakan kehamilan itu.
Setelah melahirkan, ia menyelamatkan diri ke suatu gua yang terletak di dekat kota
itu, untuk melindungi nyawa anaknya tersayang.
Ia meninggalkan anaknya di
suatu sudut gua,
dan mengunjunginya di waktu siang
atau malam, tergantung situasi. Dengan
berlalunya waktu, Namrud merasa aman. Ia percaya bahwa musuh tahta dan
pemerintahannya telah dibunuh.
Ibrahim
menjalani tiga belas tahun
kehidupannya dalam sebuah gua dengan lorong
masuk yang sempit,
sebelum ibunya membawanya keluar.
Ketika muncul di
tengah masyarakat, para pendukung Namrud merasa bahwa ia orang
asing. Terhadap hal
itu, ibunya berkata, "Ini anak saya. Ia lahir
sebelum ramalan para astrolog."
(Tafsir al-Burhan, I, h. 535).
Ketika
keluar dari gua, Ibrahim memperkuat keyakinan batinnya
dalam tauhid dengan mengamati bumi dan langit, bintang-bintang yang
bersinar, dan pohon-pohonan yang hijau. Ia menyaksikan masyarakat yang
aneh. Dilihatnya sekelompok orang
yang memperlakukan sinar
bintang dengan sangat tolol. Ia
juga melihat beberapa
orang dengan tingkat kecerdasan
yang bahkan lebih rendah. Mereka
membuat berhala dengan tangan sendiri,
kemudian menyembahnya. Yang terburuk dari semuanya ialah bahwa
seorang manusia, dengan mengambil keuntungan secara tak
semestinya dari kejahilan dan kebodohan rakyat, mengaku sebagai tuhan
mereka dan menyatakan
diri sebagai pemberi hidup
kepada semua makhluk dan penakdir semua peristiwa. Nabi Ibrahim merasa
harus mempersiapkan diri
untuk memerangi tiga kelompok yang berbeda ini.
IBRAHIM BERJUANG MELAWAN PENYEMBAHAN BERHALA
Kegelapan
penyembahan berhala telah meliputi seluruh Babilon, tempat lahir
Nabi Ibrahim, Banyak tuhan dunia
dan langit telah
merenggut hak menalar dan
berpikir dari berbagai lapisan masyarakat. Sebagiannya memandang tuhan-tuhan
itu memiliki kekuasaan sendiri, sedang yang lainnya memperlakukan mereka sebagai
perantara untuk memperoleh nikmat
dari Tuhan Yang Mahakuasa.
RAHASIA POLITEISME
Orang Arab sebelum datangnya Islam percaya
bahwa setiap makhluk dan setiap gejala tentulah
mempunyai penyebab
tersendiri, dan bahwa
Tuhan Yang Esa
tidak mampu menciptakan semuanya.
Pada masa itu, ilmu pengetahuan memang belum
menemukan hubungan antara
makhluk dan fenomena alami serta
berbagai kejadian. Sebagai akibatnya, orang-orang
itu mengkhayalkan bahwa semua
mahluk dan berbagai
fenomena alami berdiri sendiri-sendiri dan
tidak ada kaitan satu sama lain.
Karena itu, mereka
menganggap bahwa untuk
setiap fenomena seperti hujan
dan salju, gempa
bumi dan kematian, paceklik
dan kesukaran, perdamaian
dan ketentraman, kekejaman dan
pertumpahan darah, dan sebagainya, ada
tuhannya masing-masing. Mereka
tak menyadari bahwa seluruh
alam semesta adalah
suatu kesatuan, di mana
bagiannya saling terkait
dan masing-masingnya mempunyai efek timbal balik.
Pikiran
bersahaja manusia masa
itu belum mengetahui rahasia penyembahan kepada Allah Yang
Esa dan tidak menyadari bahwa
Allah yang menguasai
alam semesta adalah Tuhan Yang
Mahakuasa dan Mahatahu, Pencipta yang bebas
dari segala kelemahan
dan cacat. Kekuasaan, kesempurnaan, pengetahuan,
dan kebijaksanaanNya tiada berbatas. Ia
di atas segala sesuatu yang
dianggapkan kepada-Nya. Tak ada kesempurnaan yang tidak Ia miliki.
Tak ada kemungkinan yang tak dapat diciptakan-Nya. Ia
adalah Allah Yang Esa yang mampu
menciptakan segala makhluk dan
fenomena tanpa bantuan dan dukungan siapa pun. Ia dapat menciptakan
makhluk lain dengan cara yang sama
sebagaimana Ia menciptakan makhluk-makhluk yang ada
sekarang.
Karena itu, secara nalar, adanya
perantaraan dari suatu wewenang
yang dapat mengurangi
kemandirian kehendak Allah
yang tidak bersekutu, tidak
dapat diterima. Kepercayaan bahwa alam semesta mempunyai dua pencipta,
yang satu merupakan sumber kebaikan dan
cahaya sedang yang satu
lagi merupakan sumber
kejahatan dan kegelapan, juga tak
dapat diterima. Kepercayaan bahwa ada
perantaraan oleh seseorang,
seperti Maryam dan 'Isa, dalam
hal penciptaan alam semesta,
atau bahwa pengaturan tatanan
dunia fisik telah dikuasakan pada
seorang manusia, merupakan
manifestasi syirik dan kelebih-lebihan. Penganut
tauhid, dengan rasa hormat
yang sewajarnya kepada
para nabi dan
orang suci, memelihara keyakinan
pada Pencipta Alam Semesta, dan
tidak menyekutukan-Nya dengan yang lain.
Metode yang digunakan para nabi untuk memberi pelajaran
dan tuntutan kepada
manusia ialah metode logika dan
penalaran, karena mereka
berurusan dengan pikiran manusia. Mereka berhasrat mendirikan pemerintahan yang
didasarkan pada keimanan, pengetahuan, dan
keadilan, dan pemerintahan semacam
itu tak dapat
didirikan melalui kekerasan, peperangan, dan pertumpahan
darah. Oleh karena itu,
kita harus membedakan
pemerintahan para nabi dengan
pemerintahan Fir'aun dan
Namrud. Tujuan dari kelompok
yang kedua ini
ialah amannya kekuasaan dan pemerintahan mereka dengan
segala cara yang mungkin,
sekalipun negara akan
runtuh setelah mereka mati.
Sebaliknya, orang-orang suci
bermaksud mendirikan
pemerintahan yang membawa
maslahat pada individu maupun
masyarakat, baik penguasa itu kuat atau lemah
pada suatu waktu
tertentu, sementara ia hidup maupun sesudah ia mati. Tujuan semacam
itu tentu saja tak dapat dicapai dengan kekerasan dan
tekanan.
Ibrahim
pertama-tama berjuang melawan kepercayaan kaum kerabatnya
yang menyembah berhala,
di mana Azar merupakan pentolannya.
Sebelum mencapai keberhasilan
penuh dalam bidang ini, ia sudah harus berjuang
pada bidang operasi lainnya. Taraf pemikiran kelompok yang kedua
ini agak lebih tinggi dan lebih jelas
dari yang pertama. Berlawanan
dengan agama para famili Ibrahim, mereka ini telah membuang
makhluk-makhluk duniawi yang hina dan
tak berharga, lalu memuja bintang di langit. Ketika melawan pemujaan
bintang, Ibrahim menyatakan dengan kata-kata sederhana
sejumlah kebenaran filosofis dan ilmiah yang belum dipahami oleh manusia
di zaman itu, bahkan
sekarang pun argumennya
menimbulkan kekaguman para sarjana yang sangat mengenal seni logika dan
perdebatan. Di atas semua ini, Al-Qur'an juga telah mengutip
argumen-argumen Ibrahim, dan
kami mendapat kehormatan untuk
mengutipnya dengan penjelasan singkat.
Untuk dapat menuntun masyarakatnya, suatu
malam Ibrahim menatap ke langit di
saat terbenamnya matahari
dan terus terjaga hingga
ia terbenam lagi
di hari berikutnya. Selama
24 jam ini
ia berdebat dan berdiskusi dengan
tiga kelompok, dan
menyalahkan
kepercayaan mereka dengan argumen-argumennya yang kuat.
Kegelapan malam mendekat
dan menyembunyikan segala tanda
kehidupan. Bintang Venus yang cemerlang muncul dari suatu sudut
cakrawala. Untuk merebut
hati para pemuja Venus,
Ibrahim menyesuaikan diri dengan mereka dan mengikuti garis pikiran
mereka seraya mengatakan, "Itu adalah
pemeliharaku." Namun, ketika
bintang itu tenggelam dan menghilang di suatu
sudut, ia berkata, "Saya tak dapat menerima tuhan yang
tenggelam." Dengan penalarannya yang alami, ia menolak
kepercayaan para pemuja Venus dan
membuktikan kebatilannya.
Pada tahap berikutnya,
matanya tertuju pada bundaran bulan yang bercahaya terang dengan
keindahannya yang memukau. Dengan
maksud merebut hati
pemuja bulan, secara lahiriah ia
bersikap seakan bulan
itu tuhan, tapi kemudian
ia merontokkan kepercayaan itu dengan logikanya yang kuat.
Demikianlah, ketika Yang Mahakuasa membenamkan
bulan itu di balik cakrawala, dan cahaya
serta keindahannya lenyap dari muka bumi,
maka tanpa menyinggung perasaan
para pemuja bulan itu, Ibrahim berkata, "Apabila
Tuhanku yang sesungguhnya
tidak membimbing aku, tentulah aku tersesat, karena tuhan ini terbenam
seperti bintang dan tunduk pada suatu
tatanan dan sistem yang pasti yang dibentuk oleh sesuatu yang
lain."
Kegelapan malam berakhir
dan matahari pun
muncul, membuka cakrawala, dan
menyebarkan sinar keemasannya ke muka
bumi. Para pemuja
matahari memalingkan wajah mereka kepada
tuhannya. Untuk menaati
aturan perdebatan, Ibrahim juga
bersikap seolah mengakui ketuhanan matahari.
Namun, terbenamnya matahari mengukuhkan bahwa ia tunduk
pada suatu sistem
alam semesta yang umum,
dan Ibrahim secara
terbuka menolaknya sebagai yang
patut disembah.(lihat QS,al-An'am, 6:75-79)
Tak
diragukan bahwa saat
tinggal di gua,
melalui anugerah Ilahi yang
luar biasa, Ibrahim
mendapatkan dari sumber yang gaib pengetahuan batin tentang tauhid, yang
merupakan kekhususan para nabi.
Namun, setelah memperhatikan dan mengkaji benda-benda langit, ia juga
memberikan bentuk argumentasi pada
pengetahuan itu. Dengan demikian,
di samping menunjukkan
jalan yang benar kepada
manusia dan memberikan
kepada mereka
sarana
bimbingan, Ibrahim telah
meninggalkan pengetahuan yang
tak ternilai untuk
digunakan oleh orang-orang yang
mencan kebenaran dan realitas.
PENJELASAN LOGIKA IBRAHIM
Ibrahim
sangat menyadari bahwa
Allah menguasai alam semesta, tetapi
pertanyaannya adalah: Apakah
sumber kekuatan itu terdiri dari
benda-benda langit ini, atau suatu
Wujud Yang Mahakuasa,
yang lebih tinggi daripadanya? Setelah
mengkaji kondisi-kondisi benda yang
berubah-ubah ini, Ibrahim
mendapatkan bahwa
wujud-wujud yang cerah dan bersinar itu
sendiri tunduk pada ketetapan -terbit, terbenam, dan lenyap-
menurut sistem tertentu dan
berotasi pada suatu jalan yang tak berubah-ubah. Ini membuktikan bahwa mereka
tunduk pada kehendak dari
sesuatu yang lain; suatu kekuatan
yang lebih besar dan
lebih kuat mengontrol
mereka dan membuat mereka
berotasi pada orbit
yang telah ditentukan.
Marilah kita bahas masalah
ini lebih lanjut.
Alam semesta sepenuhnya memiliki
"peluang-peluang" dan
"kebutuhan-kebutuhan." Berbagai
makhluk dan fenomena alami tak
pernah lepas dari
Yang Mahakuasa. Mereka membutuhkan Tuhan Yang Mahatahu
dalam setiap detik, siang
dan malam - Tuhan yang tidak pernah lalai akan
kebutuhan mereka. Benda-benda langit
itu hadir dan diperlukan pada
suatu saat dan
tak hadir serta tak berguna pada saat
lainnya. Wujud seperti
itu tidak mempunyai kemampuan
yang diperlukan untuk menjadi tuhan dan
wujud lainnya, untuk
memenuhi kebutuhan dan keperluan mereka
Teori
ini dapat diperluas
dalam bentuk berbagai pernyataan teoritis
dan filosofis. Misalnya,
kita mungkin mengatakan: Benda-benda langit ini bergerak dan
berputar pada sumbunya
masing-masing. Apabila
gerakannya itu tanpa
pilihan dan atas
paksaan semata-mata, tentulah ada tangan yang lebih kuat
yang mengendalikannya.
Apabila gerakannya sesuai
dengan kehendaknya sendiri, haruslah dilihat
apakah tujuan dari gerakan
itu. Apabila mereka
bergerak untuk mencapai
kesempurnaan, seperti benih yang bangkit
dari bumi untuk tumbuh menjadi pohon dan berbuah, maka itu
berarti mereka memerlukan suatu wujud yang
independen, kuasa, dan bijaksana
yang akan menyingkirkan kekurangan-kekurangan mereka
dan menganugerahkan kepada mereka
sifat kesempurnaan. Apabila
gerakan dan rotasi mereka menuju kepada
kelemahan dan kekurangan,
dan halnya seperti orang yang melewati usia puncaknya dan
memasuki sisi usia
yang salah, maka
itu berarti gerakannya cenderung kepada kemunduran dan kehancuran,
dan dengan demikian tidak sesuai dengan posisi
sebagai tuhan yang akan menguasai dunia dan segala isinya.
METODE DISKUSI DAN DEBAT PARA NABI
Sejarah
para nabi menunjukkan
bahwa mereka memulai program reformasi
dengan mengundang para
anggota keluarga mereka kepada
jalan yang benar,
kemudian mereka memperluas dakwah itu
kepada orang lain.
Ini pulalah yang dilakukan
Nabi Muhammad segera setelah
beliau ditunjuk sebagai
nabi. Pertama-tama beliau mengajak kaumnya
sendiri kepada Islam, dan meletakkan fundasi dakwahnya pada reformasi
mereka, sesuai dengan
perintah Allah, "Dan
berilah peringatan kepada kerabat-kerabatmu yang terdekat." (QS,
asy-Syu'ara', 26:2l3)
Ibrahim
juga mengambil metode
yang sama. Mula-mula beliau berusaha
mereformasi kaum kerabatnya.
Azar menduduki posisi yang
sangat tinggi di
kalangan familinya, karena, selain
terpelajar dan seorang seniman, ia
juga ahli astrologi.
Di istana Namrud, kata-katanya
sangat berpengaruh, dan kesimpulan - kesimpulan astrologinya diterima
semua penghuni istana.
Ibrahim sadar bahwa apabila ia herhasil meraih Azar ke pihaknya maka ia akan merebut benteng
terkuat dari para penyembah berhala. Oleh karena itu,
ia menasihatinya dengan cara
sebaik mungkin supaya
tidak mcnyembah benda-benda mati.
Tetapi, karena beberapa alasan, Azar
tidak menerima ajakan
dan nasihat Ibrahim.
Namun,
sejauh berhubungan dengan kita, hal
terpenting dalam episode ini
ialah metode dakwah dan bentuk percakapan Ibrahim dengan Azar. Lewat
kajian mendalam dan cermat terhadap ayat-ayat
Al-Qur'an yang merekam percakapan
ini, metode argumen dan dakwah yang ditempuh para nabi itu
menjadi amat sangat
jelas. Marilah kita lihat bagaimana Ibrahim
mengajak Azar kepada
jalan yang benar:
"Ingatlah ketika Ibrahim berkata kepada ayahnya, 'Wahai
ayahku, mengapa kamu
menyembah sesuatu yang
tidak mendengar; tidak melihat,
dan tidak menolong
kamu sedikitpun. Wahai
ayahku, sesungguhnya telah
datang kepadaku sebagian ilmu
pengetahuan yang tidak datang kepadamu,
maka ikutilah aku,
niscaya aku akan menunjukkan kepadamu
jalan yang lurus. Wahai ayahku,
janganlah kamu menyembah syaitan. Sesungguhnya
syaitan itu durhaka kepada
Tuhan Yang Maha
Pemurah. Wahai ayahku,
sesungguhnya aku khawatir
bahwa kamu akan ditimpa
azab dan Tuhan
Yang Maha Pemurah, sehingga
jadilah kamu kawan syaitan.'" (QS, Maryam, 19:42-45)
Sebagai jawaban
atas ajakan Ibrahim,
Azar berkata, "Beranikah engkau
menyangkal tuhan-tuhanku, hai Ibrahim? Bertobatlah dari ketololan
itu! Kalau tidak, engkau
akan dirajam sampai mati. Keluarlah segera dari rumahku!"
Ibrahim yang murah hati menerima kata-kata kasar
Azar ini dengan ketenangan
sempurna seraya menjawab, "Salam atasmu.
Aku akan memohon
kepada Tuhanku untuk mengampunimu."
Adakah jawaban yang
lebih pantas dan ucapan yang lebih patut daripada kata-kata Ibrahim ini?
APAKAH AZAR AYAH IBRAHIM?
Ayat-ayat yang dikutip di atas, maupun ayat (15) surah at-Taubah dan (14) surah al-Mumtahanah, seakan memberi
kesan hubungan Azar dengan Ibrahim sebagai
ayah dan anak. Namun,
perlu diinformasikan di sini
bahwa dari perspektif Syi'ah, penyembah berhala Azar sebagai ayah Ibrahim
tidaklah sesuai dengan
konsensus para ulama mereka yang percaya bahwa nenek moyang
Nabi Muhammad
maupun semua nabi lainnya adalah orang-orang takwa yang
beriman tauhid. Ulama
besar Syi'ah, Syekh
Mufid, memandang anggapan ini sebagai salah satu pendapat yang disepakati
seluruh ulama Syi'ah
dan sejumlah besar ulama
Sunni (lihat Awa'il al-Malaqat, hal. 12). Oleh karena itu,
timbul pertanyaan: Apakah
sesungguhnya maksud
ayat-ayat yang nampak jelas itu,
dan bagaimana masalah ini harus dipecahkan?
Banyak mufasir Al-Qur'an menegaskan bahwa walaupun kata
ab dalam
bahasa Arab biasanya
digunakan dalam arti
"ayah," kadang-kadang kata
itu juga digunakan
dalam leksikon Arab dan
terminologi Al-Qur'an dalam arti "paman." Dalam ayat
berikut, misalnya, kata ab berarti
"paman"
"Adakah
kamu hadir ketika
Ya'qub kedatangan [tanda-tanda] maut,
ketika ia berkata
kepada anak-anaknya, 'Apa yang
kamu sembah sepeninggalku?'
Mereka menjawab, 'Kami akan menyembah Tuhanmu dan Tuhan ab-Smu, [yakni]
Ibrahim, Isma'il, dan Ishaq,
[yaitu] Tuhan Yang Maha Esa,
dan kami hanya
tunduk patuh kepada-Nya." (QS,
al-Baqarah, 2:133)
Tiada keraguan bahwa Isma'il adalah paman Ya'qub, bukan
ayahnya, karena Ya'qub adalah putra Ishaq yang
saudara Isma'il. Walaupun demikian,
putra-putra Ya'qub memanggilnya
"ayah Ya'qub" yakni ab Ya'qub. Karena kata ini mengandung
dua makna, maka
pada ayat-ayat yang berhubungan dengan diajaknya Azar ke jalan yang
benar oleh Ibrahim, boleh jadi yang dimaksud dengannya adalah
"paman." Dan boleh
jadi pula Ibrahim
memanggilnya "ayah,"
karena ia telah bertindak sebagai wali baginya dalam waktu yang
panjang, dan Ibrahim
memandangnya sebagai ayahnya.
AZAR DALAM AL-QUR'AN
Dengan maksud untuk
mendapatkan keputusan Al-Qur'an
tentang hubungan Ibrahim dengan Azar, kami merasa perlu mengundang perhatian
pembaca pada keterangan dua ayat:
1. Sebagai akibat usaha keras Nabi, Arabia disinari cahaya
Islam. Kebanyakan rakyat memeluk agama ini dengan sepenuh hati, dan menyadari
bahwa syirik dan pemujaan berhala akan berakhir di neraka. Walaupun mereka
bahagia karena telah memasuki agama yang benar, mereka merasa sedih mengingat
nenek moyang mereka yang penyembah berhala. Mendengar ayat-ayat yang
menggambarkan nasib kaum musyrik di Hari Pengadilan, terasa berat bagi mereka.
Untuk menjauhkan siksaan mental ini, mereka memohon kepada Nabi untuk berdoa
kepada Allah bagi keampunan nenek moyang mereka yang telah mati sebagai orang
kafir, sama sebagaimana Ibrahim berdoa bagi Azar. Namun, ayat berikut
diwahyukan sebagai jawaban atas permohonan mereka:
"Tiadalah sepatutnya bagi Nabi dan orang-orang
beriman memintakan ampun kepada Allah bagi orang musyrik, walaupun orang
musyrik itu adalah kaum kerabatnya, sesudah jelas bagi mereka bahwasanya
orang-orang musyrik itu adalah penghuni neraka jahanam. Permintaan ampun dari
Ibrahim kepada Allah untuk ayahnya, tidak lain hanyalah karena suatu janji yang
telah diikrarkannya kepada ayahnya itu. Tatkala jelas bagi Ibrahim bahwa
ayahnya itu adalah musuh Allah, Ibrahim pun berlepas diri darinya. Sesungguhnya
Ibrahim adalah seorang yang sangat lembut hatinya bagi penyantun." (QS,
at-Taubah, 9:113-114)
Akan nampak lebih masuk akal apabila percakapan Ibrahim dengan Azar, dan janjinya kepada Azar
untuk mendoakan bagi keampunannya, yang berakhir dengan putusnya hubungan serta
perpisahan mereka, terjadi ketika Ibrahim masih muda, yakni ketika ia masih
tinggal di Babilon dan belum berniat ke Palestina, Mesir, dan Hijaz. Setelah
mengkaji ayat ini, dapat disimpulkan bahwa Azar bersikeras pada kekafiran dan
penyembahan berhalanya, dan Ibrahim, yang masih muda, memutuskan hubungannya
dengan Azar dan tak pernah memikirkannya lagi sesudah itu.
2. Di bagian terakhir masa hidupnya, yakni ketika ia telah
lanjut usia, setelah melaksanakan sebagian besar tugasnya (yakni pembangunan
Ka'bah) dan membawa istri dan anaknya ke gurun kering Mekah, ia berdoa dari
lubuk hatinya bagi sejumlah orang, termasuk kedua orang
tuanya, dan memohon agar doanya dikabulkan Allah. Pada waktu
itu beliau berdoa, "Ya Tuhan kami, beri ampunlah aku dan kedua ibu bapaku
dan sekalian orang mukmin pada hari terjadinya hisab (hari kiamat)." (QS,
Ibrahim 14:41)
Ayat ini menunjukkan dengan jelas bahwa doa itu diucapkan
setelah selesainya pembangunan Ka'bah, ketika Ibrahim sudah berada di usia
tuanya. Apabila sang ayah dalam ayat ini, yang kepadanya telah ia persembahkan
cinta dan bakti dan yang didoakannya, adalah Azar itu,
maka ini akan berarti bahwa Ibrahim tidak berlepas diri
darinya sepanjang hidupnya, dan terkadang beliau juga berdoa untuknya. Padahal,
ayat pertama, yang diwahyukan sebagai jawaban atas permohonan para keturunan
musyrikin itu, menjelaskan bahwa setelah suatu waktu, ketika ia masih muda,
Ibrahim telah memutuskan segala hubungan dengan Azar dan menjauh darinya –
berlepas diri berarti tidak lagi saling berbicara, tidak peduli, dan tidak
saling mendoakan keselamatan.
Ketika dua ayat ini dibaca bersama-sama, terlihat jelas
bahwa orang yang dibenci Ibrahim di usia
mudanya, yang dengannya ia memutuskan segala hubungan kepentingan dan
cinta, bukanlah orang
yang diingatnya hingga
usia tuanya, yang untuk keampunan
dan keselamatannya ia berdoa (lihat Majma' al-Bayan, III, hal.
319; al-Mizan, VII, 170).
IBRAHIM, SI PENGHANCUR BERHALA
Saat perayaan mendekat, penduduk Babilon berangkat
ke hutan untuk melepaskan lelah, memulihkan tenaga mereka, dan
melaksanakan upacara perayaan itu.
Kota menjadi sepi. Perbuatan
Ibrahim, celaan dan kecamannya, telah mencemaskan mereka. Karena itu,
mereka mendesak Ibrahim untuk pergi bersama mereka dan ikut serta dalam upacara
perayaan. Namun, usul
dan desakan mereka
datang
Bertepatan dengan sakitnya Ibrahim. Karena itu, sebagai
jawabannya, Ibrahim mengatakan
sedang sakit dan
tak akan menyertai upacara perayaan itu.
Sesungguhnya,
itulah hari gembira
bagi sang tokoh tauhid, sebagaimana bagi para
musyrik itu. Bagi
kaum musyrik, itu adalah
pesta perayaan yang sangat tua.
Mereka pergi ke kaki gunung di lapangan-lapangan hijau untuk
melaksanakan upacara perayaan dan menghidupkan adat kebiasaan
nenek moyang mereka.
Bagi si jawara tauhid, hari itu pun merupakan hari raya besar
pertama yang telah lama
dirindukannya, untuk menghancurkan manifestasi kekafiran
dan kemusyrikan, ketika
kota sedang bersih dan lawan-lawannya.
Ketika "keloter" terakhir penduduk meninggalkan
kota, Ibrahim merasa bahwa saat
itulah kesempatannya. Dengan hati penuh keyakinan dan
iman kepada Allah,
beliau memasuki rumah berhala.
Di dalamnya beliau menemukan penggalan-penggalan kayu berpahat,
berhala-berhala yang tak bernyawa. Ia
ingat akan banyaknya makanan yang biasa dibawa oleh para
penyembah berhala ke kuil mereka sebagai
sajian untuk beroleh
rahmat. Beliau lalu mengambil sepiring
roti yang ada
di situ. Sambil mengunjukkannya kepada
berhala-berhala itu, beliau berkata mengejek, "Mengapa
tidak kamu makan
segala macam makanan ini?"
Tentulah tuhan buatan kaum musyrik itu tak mampu bergerak sedikit
pun, apalagi memakan sesuatu. Keheningan membisu menguasai
kuil berhala yang
luas itu, yang hanya
terpecah oleh pukulan-pukulan keras Ibrahim
pada tangan, kaki,
dan tubuh berhala-berhala itu. Ia
menghancurkan semua berhala itu,
hingga menjadi tumpukan puing kayu dan logam yang berhamburan di tengah
kuil itu. Tetapi, ia membiarkan berhala yang paling besar,
lalu meletakkan kapak di bahunya. Ini dilakukannya dengan sengaja. Ia
tahu bahwa ketika kembali dari hutan, kaum musyrik akan memahami
kedudukan sesungguhnya dan akan memandang situasi yang nampak itu sebagai sengaja dibuat-buat,
karena tak akan mungkin mereka
percaya bahwa penghancuran berhala-berhala lain itu
telah dilakukan oleh berhala besar yang sama sekali tak berdaya untuk
bergerak atau melakukan sesuatu.
Pada saat itu,
beliau pun akan menggunakan
situasi itu untuk dakwah. Mereka
sendiri akan mengaku bahwa
berhala itu sama
sekali tidak mempunyai
kekuatan. Maka bagaimana
mungkin ia akan menjadi penguasa dunia?
Matahari bergerak turun
di cakrawala. Orang
mulai pulang
berkelompok-kelompok ke kota.
Waktu untuk melaksanakan upacara
pemujaan berhala pun tiba, dan sekelompok penyembah berhala
memasuki kuil. Pemandangan yang
tak terduga, yang
dengan jelas menunjukkan nistanya dan
rendahnya tuhan-tuhan mereka, menghentakkan mereka
semua. Hening seperti
maut meliputi kuil itu. Setiap orang gelisah. Tetapi, salah seorang
di antara mereka memecahkan kesunyian dengan berkata,
"Siapa yang telah melakukan kejahatan
ini?" Kutukan terhadap berhala
oleh Ibrahim di waktu lalu, dan kecamannya yang terang-terangan terhadap
pemujaan berhala, meyakinkan mereka
bahwa hanya dialah yang
mungkin melakukan
semua itu. Sidang
pengadilan pun diadakan di
bawah pengawasan Namrud,
dan si remaja Ibrahim serta ibunya dibawa ke pengadilan.
Si ibu dituduh
menyembunyikan kelahiran anaknya
dan tidak melaporkannya ke kantor khusus pemerintahan untuk dibunuh. Ia
memberikan jawaban atas tuduhan itu,
"Saya menyimpulkan
bahwa sebagai akibat keputusan terakhir pemerintah waktu
itu -yakni pembunuhan
anak-anak- manusia di negara
ini sedang dimusnahkan. Saya tidak memberitahukan kepada kantor
pemerintah tentang putra saya,
karena saya hendak melihat
bagaimana ia maju di masa depan. Apabila ia membuktikan diri sebagai
orang yang telah diramalkan
para pendeta peramal itu, akan ada alasan bagi saya untuk melaporkannya
kepada polisi agar mereka
tidak lagi menumpahkan
darah anak-anak lain. Dan apabila ia ternyata bukan
orang itu, maka
saya telah menyelamatkan
seorang muda di negara ini dari
pembunuhan." Argumen ibu itu sangat memuaskan para hakim.
Sekarang Ibrahim
diperiksa. "Keadaan menunjukkan bahwa berhala besar telah melakukan
semua pukulan itu.
Dan apabila berhala itu
dapat berkata, sebaiknya
Anda tanyakan
kepadanya." Jawaban bernada
ejekan dan penghinaan ini
dimaksudkan untuk mencapai sasaran lain. Ibrahim yakin
bahwa orang-orang itu
akan berkata, "Ibrahim! Engkau tahu sepenuhnya bahwa berhala-berhala
itu tak dapat berbicara.
Mereka pun tidak
mempunyai kehendak atau akal."
Dalam hal itu, Ibrahim
dapat meminta perhatian sidang pengadilan
tentang satu hal yang
mendasar. Kebetulan, apa yang terjadi sama dengan yang diharapkannya. Sehubungan
dengan pernyataan orang-orang itu
yang membuktikan kelemahan, kehinaan,
dan tidak berdayanya
berhala-berhala itu, Ibrahim berkata, "Apabila mereka memang demikian, mengapa
kamu menyembah dan berdoa kepada
mereka untuk mengabulkan permohonan kamu?"
Kejahilan, keras kepala, dan peniruan membuta menguasai hati
dan pikiran para hakim. Terhadap
jawaban Ibrahim yang tak
terbantah itu, mereka tidak beroleh
pilihan lain kecuali memberikan keputusan
yang sesuai dengan keinginan pemerintah
masa itu. Ibrahim harus dibakar
hidup-hidup.
Setumpukan besar
kayu bakar dinyalakan,
dan jawara tauhid itu
dilemparkan ke dalam
api yang berkobar. Namun, Allah Yang Mahkuasa mengulurkan tangan kasih
dan rahmat-Nya kepada Ibrahim
dan menjadikanNya kebal. Allah mengubah neraka buatan manusia
itu menjadi taman hijau yang sejuk.
PELAJARAN DARI RIWAYAT IBRAHIM
Walaupun
orang Yahudi mengaku sebagai
pelopor kafilah penganut tauhid, riwayat ini tak masyhur
di kalangan mereka dan
tidak beroleh tempat dalam Taurat yang ada sekarang. Di antara
kitab-kitab Ilahi, hanya Al-Qur'an
yang telah meriwayatkannya. Oleh
karena itu, kami sebutkan di bawah ini beberapa pokok
yang mengandung pelajaran bagi
manusia, suatu hal yang memang merupakan tujuan
pokok Al-Qur'an ketika
meriwayatkan sejarah berbagai
nabi.
1. Riwayat ini merupakan bukti yang jelas tentang keberanian
dan keperkasaan yang luar biasa dari kekasih Allah (Ibrahim) ini. Tekadnya
untuk menghancurkan manifestasi dan sarana kemusyrikan tak dapat disembunyikan
dari rakyat Namrud. Dengan celaan dan kecamannya, beliau telah menyatakan
perlawanan dan kebenciannya yang luar biasa terhadap penyembahan berhala secara
sangat nyata. Beliau mengatakan secara terbuka dan jelas, "Apabila kamu
tidak berhenti dari praktek yang memalukan itu, aku akan membuat keputusan
tentang mereka." Dan pada hari kepergian orang-orang ke hutan, beliau
berkata secara terang-terangan, "Demi Tuhan, sesungguhnya aku akan
melakukan tipu daya terhadap berhala-berhalamu sesudah kamu pergi
meninggalkannya." (QS, al-Anbiya', 21:57)
'Allamah Majlisi mengutip dari Imam Ja'far ash-Shadiq,
"Gerakan dan perjuangan satu orang melawan ribuan orang musyrik merupakan
bukti nyata akan keberanian dan kesabaran Ibrahim, yang tidak mengkhawatirkan
jiwanya dalam mengangkat asma Allah dan memperkuat dasar penyembahan kepada
Tuhan yang Esa."(lihat Bihar al-Anwar, V, hal. 130).
2. Sepintas nampak seakan penghancuran berhala oleh Ibrahim
merupakan pemberontakan bersenjata dan permusuhan, tetapi dari percakapannya
dengan para hakim, terbukti bahwa gerakan ini sebenarnya mempunyai aspek
dakwah. Karena, beliau memandang bahwa sebagai sarana terakhir untuk
membangunkan kebijaksanaan dan kesadaran hati nurani manusia, beliau harus
menghancurkan berhala-berhala itu, kecuali berhala yang besar, dan meletakkan
kapak di bahunya, supaya mereka dapat mengadakan penyelidikan lebih jauh
tentang sebab-sebab insiden itu. Dan, sebagai ternyata pada akhirnya, mereka
hanya akan menganggap pandangan itu sebagai ejekan, dan sama sekali tak akan
percaya kalau penghancuran itu dilakukan oleh berhala besar itu. Dengan
demikian, beliau dapat menggunakan hal itu untuk mendakwahkan pendapatnya
dengan mengatakan, "Menurut pengakuan kalian sendiri, berhala besar itu
tidak mempunyai kekuasaan sedikit pun, lalu mengapa kalian menyembahnya?" Ini
menunjukkan bahwa sejak awal mula, para nabi hanya menggunakan logika dan
argumen sebagai senjata mereka yang ampuh, dan itu senantiasa membawa hasil.
Kalau tidak, maka apa artinya penghancuran berhala ketimbang bahaya bagi nyawa
Ibrahim? Tindakan ini tentulah mengandung makna besar bagi misinya, dari
sisi pandang alasan penalaran, sehingga beliau sedia
mengorbankan nyawanya untuk itu.
3. Ibrahim sadar bahwa sebagai akibat tindakannya, hidupnya
akan berakhir. Karenanya, menurut anggapan umum, ia mestinya akan terguncang,
menyembunyikan diri, atau sekurang-kurangnya berjanji akan berhenti membuat
"lelucon." Tetapi, ia sepenuhnya menguasai semangat dan emosinya.
Misalnya, ketika memasuki kuil berhala, ia
mendekati setiap berhala dan menawarkan mereka makan, secara
olok-olok. Setelah ternyata sia-sia, beliau menjadikan isi kuil berhala itu
onggokan penggalan kayu, dan menganggap semua itu sebagai sesuatu yang
benar-benar biasa saja, seakan-akan hal itu tidak akan
disusul oleh kematiannya sendiri. Ketika muncul di pengadilan,
beliau menjawab pertanyaan mereka, "Sesungguhnya seseorang telah
melakukannya. Pemimpinnya ialah yang ini. Karena itu, tanyakanlah kepadanya
jika ia dapat berbicara." Lelucon demikian di hadapan pengadilan hanya
dapat muncul dari seseorang yang siap sedia menghadapi segala kesudahan tanpa
rasa takut atau ngeri dalam hatinya.
Bahkan, yang lebih menakjubkan lagi ialah sikap Ibrahim pada
saat ia ditempatkan pada pelontar, dan mengetahui dengan pasti bahwa ia segera
akan berada di tengah api -yang kayu bakarnya tadinya dikumpulkan orang Babilon
untuk melaksanakan upacara suci keagamaan, dan yang nyalanya membubung dengan
dahsyat sehingga bahkan burung rajawali tak berani terbang di atasnya. Pada
saat itu, Malaikat Jibril turun dan langit seraya menyatakan kesediaannya untuk
memberikan segala pertolongan kepada Ibrahim. Jibril berkata, "Apa
keinginanmu?" Ibrahim menjawab, "Aku mempunyai hasrat. Tetapi aku tak
dapat memberitahukannya kecuali kepada Tuhanku." (lihat Al-'Uyun, hal.
136; al-Amali, oleh Shaduq, hal. 274; Bihar al-Anwar, hal. 35). Jawaban ini
jelas menunjukkan keluhuran dan kebesaran rohani Ibrahim.
Namrud menanti dengan cemas dan gelisah karena dendam kesumatnya kepada Ibrahim. Ia begitu
ingin melihat bagaimana api menelannya. Pelontar disiapkan. Dengan satu
sentakan, tubuh Ibrahim, si jawara tauhid Ilahi, terlempar ke api. Namun,
kehendak Tuhan Ibrahim mengubah neraka buatan itu menjadi taman dengan cara
yang amat mengejutkan mereka, sehingga Namrud tanpa sengaja berpaling kepada Azar
dan berkata, "Tuhan Ibrahim mencintainya." (Tafsir al-Burhan, III,
hal. 64).
Walaupun adanya kejadian itu, Ibrahim tak dapat mendakwahkan
agamanya dengan kebebasan penuh. Akhirnya, pemerintah waktu itu memutuskan,
setelah bermusyawarah, untuk membuang Ibrahim. Ini membuka suatu bab baru dalam
kehidupan Ibrahim dan menjadi awal perjalanannya ke Suriah, Palestina, Mesir,
dan Hijaz.
BAB BARU DALAM KEHIDUPAN IBRAHIM
Pengadilan di
Babilonia memutuskan membuang
Ibrahim dari negeri itu.
Beliau pun meninggalkan
tempat kelahirannya, lalu pergi
ke Mesir dan
Palestina. Amaliqa, yang menguasai
wilayah-wilayah itu,
menyambutnya dengan hangat dan
memberikan kepadanya banyak hadiah,
satu di antaranya adalah seorang budak perempuan bernama Hajar.
Istri Ibrahim, Sarah, belum melahirkan anak hingga saat itu.
Oleh karena itu,
ia menyarankan Ibrahim supaya kawin
dengan Hajar, dengan
harapan kiranya beliau diberkati seorang
putra, yang akan
menjadi sumber kebahagiaan dan
kesenangan mereka. Perkawinan dilangsungkan, dan
Hajar kemudian melahirkan
seorangputra yang diberi
nama Ismai'l. Itu
terjadi jauh sebelum Sarah
hamil dan melahirkan seorang putra yang diberi nama Ishaq. (Lihat
Sa'd as-Su'ud, hal. 41-42;Bihar
al-Anwar, hal. 118).
Setelah
beberapa waktu, sebagaimana
diperintahkan Allah, Ibrahim membawa Isma'il dan
ibunya, Hajar ke selatan (Mekah), dan menempatkan mereka di
suatu lembah yang tak dikenal. Lembah ini tak berpenghuni, dan hanya
kafilah dari Sunah
ke Yaman dan
sebaliknya yang memasang tenda di
sana. Bila tidak ada kafilah, tempat ini
benar-benar sepi dan hanya merupakan hamparan pasir membakar sebagaimana
bagian-bagian tanah Arab lainnya.
Tinggal di tempat yang
mengerikan itu sungguh
sulit bagi seorang perempuan
yang telah melewatkan hari-harinya di
negeri Amaliqa. Terik
gurun yang membakar dan anginnya
yang amat sangat panas memberikan bayangan kematian di
hadapan mata. Ibrahim
sendiri sangat prihatin atas
kenyataan ini. Sementara memegang kendali hewan tunggangannya dengan maksud
mengucapkan selamat tinggal kepada istri dan anaknya, air matanya
mengalir, dan ia
berkata kepada Hajar,
"Wahai.Hajar! Semua ini dilakukan
menurut perintah Yang Mahakuasa, dan perintah-Nya tak dapat
dilawan. Bersandarlah pada rahmat Allah, dan yakinlah bahwa Ia tak
akan menistakan kamu." Kemudian
Ibrahim berdoa kepada
Allah dengan penuh khusyuk,
"Ya Tuhanku, jadikanlah
negeri ini negeri yang aman
sentosa, dan berikanlah
rezeki dan buah-buahan kepada
penduduknya yang beriman
kepada Allah dan Hari Kemudian." (QS, al-Baqarah, 2:126).
Ketika
sedang menuruni bukit,
Ibrahim menengok ke belakang
dan berdoa kepada
Allah untuk mencurahkan
rahmat-Nya kepada mereka.
Walaupun perjalanan tersebut tampak sangat
sulit dan susah, di
kemudian hari terbukti
bahwa hal itu mengandung makna yang amat penting. Di
antaranya adalah pembangunan Ka'bah yang
memberikan dasar yang agung
bagi para penganut
tauhid untuk mengibarkan
panji penyembahan kepada Allah
Yang Esa di
Arabia, dan merupakan fundasi
gerakan keagamaan yang besar,
yang akan mendapat bentuk
di kemudian hari, yaitu gerakan besar yang beroperasi di negeri ini
melalui pengunci segala nabi.
BAGAIMANA TERJADINYA SUMBER AIR ZAM-ZAM
Ibrahim
mengambil kendali hewan
tunggangannya. Dengan air mata, ia
memohon diri kepada tanah Mekah,
Hajar, dan putranya. Tetapi, tak berapa lama kemudian, makanan dan minuman
yang dapat diperoleh si anak
dan ibunya habis, dan air susu Hajar pun kering. Kondisi
putranya mulai merosot. Air mata mengucur dari ibu yang terasing itu dan
membasahi pangkuannya. Dalam
keadaan amat bingung, ia bangkit
berdiri lalu pergi ke bukit Shafa. Dari
sana ia melihat suatu bayangan dekat bukit Marwah. Ia pun lari ke
sana. Namun, pemandangan
palsu itu sangat mengecewakannya.
Tangisan dan keresahan putranya tercinta menyebabkan ia lari lebih keras
ke sana ke mari.
Demikianlah, ia berlari tujuh
kali antara bukit Shafa dan Marwah
untuk mencari air,
tetapi pada akhirnya ia
kehilangan semua harapan,
lalu kembali kepada putranya. Si anak tentulah telah hampir sampai pada
nafasnya yang terakhir.
Kemampuannya meratap atau
menangis sudah tiada. Namun,
justru pada saat
itu doa Ibrahim terkabul. Ibu
yang letih lesu itu melihat bahwa air jernih telah mulai
keluar dari bawah kaki Isma'il. Sang ibu,
yang sedang menatap putranya dan
mengira ia akan mati beberapa saat lagi, merasa sangat gembira melihat air
itu. Ibu dan anak itu minum sampai puas, dan kabut putus asa vang
telah merentangkan bayangannya
pada kehidupan mereka pun
terusir oleh angin
rahmat Ilahi.(lihat Tafsir al-Qummi, hal. 52; Bihar al-Anwar,II, hal. 100). Munculnya sumber air ini, yang dinamakan Zamzam, sejak
hari itu, membuat burung-burung air terbang di atasnya, membentangkan sayapnya
yang lebar sebagai
penaung kepala ibu dan
anak yang telah
menderita itu. Orang-orang dari
suku Jarham, yang tinggal jauh
dari lembah ini, melihat burung-burung yang
beterbangan ke sana ke mari itu. Mereka lalu menyimpulkan bahwa
telah ada air di sekitarnya. Mereka mengutus dua orang untuk mengetahui keadaan itu. Setelah lama
berkeliling, kedua orang itu sampai ke
pusat rahmat Ilahi
itu. Ketika mendekat, mereka
melihat seorang wanita dan seorang anak sedang duduk di tepi
suatu genangan air.
Mereka segera kembali dan
melaporkan hal itu
kepada para pemimpin sukunya. Para anggota suku itu segera memasang
kemah mereka di sekitar sumber air yang
diberkati itu, dan Hajar pun
terlepas dari kesulitan
dan pahitnya kesepian yang
dideritanya. Isma'il tumbuh sampai dewasa sebagai pemuda yang ramah. Ia
pun mengadakan ikatan perkawinan dengan wanita suku Jarham. Dengan demikian,
ia beroleh dukungan dan
menjadi anggota masyarakat mereka. Oleh
karena itu, dari
sisi ibu, keturunan Isma'il
berfamili dengan suku Jarham.
MEREKA BERTEMU KEMBALI
Setelah meninggalkan putranya yang tercinta
di tanah Mekah atas perintah Allah Yang Mahakuasa,
kadang-kadang Ibrahim berpikir untuk
pergi melihat putranya.
Pada salah satu
perjalanannya, ia sampai
di Mekah dan mendapatkan bahwa putranya tidak ada di
rumah. Waktu itu, Isma'il
telah tumbuh menjadi lelaki dewasa dan telah kawin dengan
seorang gadis suku Jarham. Ibrahim bertanya kepada
istri Ismai'l, "Di
mana suamimu?"
Perempuan itu menjawab,
"Ia telah keluar
untuk berburu!" Kemudian Ibrahim bertanya kepadanya apakah ia
mempunyai makanan. Ia menjawab tak ada.
Ibrahim sangat sedih melihat kekasaran istri putranya. Ia
lalu berkata kepada menantunya itu, "Bila Isma'il
pulang, sampaikan kepadanya salam saya,
dan katakan pula kepadanya untuk mengganti ambang pintu
rumahnya." Kemudian Ibrahim pergi.
Ketika
kembali, Isma'il mencium
bau ayahnya. Dari keterangan istrinya,
ia menyadari bahwa
orang yang telah mengunjungi rumahnya adalah memang
ayahnya. Ia juga mengerti
bahwa pesan yang ditinggalkan ayahnya berati bahwa
beliau (Ibrahim) menghendakinya menceraikan istrinya
sekarang dan menggantikannya dengan yang lain, karena
beliau memandang istrinya yang sekarang
tidak pantas menjadi
kawan hidupnya.(lihat
Bihar al-Anwar,
hal. 112, sebagaimana
dikutip dari Qishash al-Anbiya'))
Mungkin
dapat dipertanyakan mengapa
setelah melakukan perjalanan sejauh itu, Ibrahim tidak
menunggu sampai putranya pulang dari berburu, tapi langsung pergi lagi
tanpa melihatnya. Para
sejarawan menerangkan bahwa Ibrahim pulang
dengan tergesa-gesa karena
telah berjanji kepada Sarah bahwa
beliau tak akan
tinggal lama di sana.
Setelah perjalanan ini,
ia juga diperintahkan Allah Yang
Mahakuasa untuk melaksanakan suatu perjalanan lagi ke Mekah,
untuk mendirikan Ka'bah guna menarik hati orang yang beriman tauhid
Al-Qur'an menyatakan bahwa menjelang
hari-hari terakhir Ibrahim, Mekah telah
tumbuh menjadi sebuah
kota, karena, setelah menyelesaikan
tugasnya, ia berdoa kepada Allah, "Ya Tuhanku,
jadikanlah negeri ini negeri yang aman, dan jauhkanlah aku beserta anak
cucuku dari menyembah berhala." (QS
Ibrahim, 14:35). Dan ketika tiba
di gurun Mekah, ia berdoa, "Ya Tuhanku, jadikanlah negeri ini
negeri yang aman sentosa." (QS al-Baqarah, 2:126).
--------------------------------
oleh Ja'far Subhani, hal. 50 - 69
Judul buku: AR-RISALAH
Sejarah Kehidupan Rasulullah SAW
No comments:
Post a Comment