BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
‘Ulu>m
al-Hadi>s adalah salah satu
bidang ilmu yang penting di dalam Islam, yang sangat diperlukan dalam mengenal
dan memahami hadis-hadis Nabi Muhammad SAW. Hadis merupakan sumber ajaran islam
dan hukum Islam yang kedua, setelah dan berdampingan dengan Al-qur’an.[1]
Pada masa Rasulullah Saw. masih
hidup, para sahabat tidaklah menemui kesulitan yang berarti dalam menafsirkan
ayat-ayat yang belum dimengerti secara persis kandungannya atau jika ada suatu
persoalan yang membutuhkan penjelasan Nabi, karena dapat bertanya langsung dan
mendengarkan penjelasan Nabi tanpa harus melalui perantara orang lain. Akan
tetapi, dizaman ini, jarak waktu dengan Rasulullah saw sangat jauh, dan
persoalan semakin banyak seiring dengan perkembangan peradaban manusia. Yang
sedianya membutuhkan landasan nash yang bersumber dari Nabi Saw.
Sebenarnya tidak sulit untuk
mendapatkan hadis-hadis Nabi saw tentang berbagai masalah saat ini, seiring
semakin banyaknya penulis-penulis yang memuat hadis-hadis tentang sesuatu yang
dibahas, misalnya tersedianya kitab-kitab hadis seperti Sahih Bukhari, Sahih
Muslim, dan sebagainya.
Namun, apakah riwayat-riwayat yang
dikaitkan oleh hadis-hadis tersebut benar-benar berasal dari Rasulullah Saw?
Masalah seperti ini wajar saja muncul mengingat dalam sejarah periwayatan hadis
melalui masa yang sangat panjang dan bahkan pernah terjadi kasus pemalsuan
hadis Nabi yang dilakukan oleh orang-orang yang mempunyai tujuan tertentu. [2]
Hadis
Nabi saw. sebagaimana penjelasan Al-Qur’an adalah merupakan sumber kedua
setelah Al-Qur’an. Petunjuk ini memberi isyarat bahwa keharusan setiap umat
Islam dalam memahami ajaran Islam secara benar, maka tidak saja merujuk pada
Al-Qur’an tetapi juga hadis.[3]
Al-Qur’an sama dengan hadis,
masing-masing ada yang qath’i dalālah dan ada yang zhanni dalālah, hanya saja al-Qur’an
pada umumnya bersifat global sedangkan hadis bersifat terperinci, salah
satu fungsi hadis nabi terhadap
al-Qur’an adalah bayan al-tafsir.
Pada sisi lain, al-Qur’an berbeda dengan hadis Nabi. Misalnya dari segi
periwayatan, al-Qur’an seluruhnya bersifat qath’i
al-wurud sedangkan untuk hadis Nabi, pada umumnya bersifat zhanni
al-wurud hadis Nabi dalam sejarahnya telah terjadi periwayatan, sehingga
memunculkan problem menyangkut teks hadis sedangkan al-Qur’an telah
dijamin keaslian teksnya.[4]
Posisi hadis sangat demikian urgen dalam memahami
ajaran Islam ini, dan ilmu yang mempelajari tentang hadis juga dikenal dengan ‘ilmu
mus}t{alah}ul h}adi>s\ yakni ilmu
yang membahas tentang keadaan sanad dan matan dari segi diterima atau tidaknya.
Sebelum terlalu jauh membahas
tentang perkembangan hadis dan ilmunya, yang perlu diketahui adalah meninjau
kembali tentang hadis dan sunnah yang menjadi sumber hukum umat muslim dari
tinjauan aksiologinya
B.
Rumusan Masalah
Sebagaimana paparan yang disampaikan
di atas bahwa rumusan permasalahan pada makalah ini adalah:
1.
Bagaimana tinjauan
hadis dan sunnah dari aspek aksiologi?
2.
Bagaimana
Fungsi dan kedudukan Hadis terhadap Al-Qur’an?
3. Bagaimana Fungsi dan Kedudukan Hadis Terhadap
Hukum Islam
BAB II
PEMBAHASAN
A. Hadis Secara Etimologi
1.
Defenisi Hadis dan sunnah
Kata hadis
berasal dari bahasa Arab, الحديث. Akar kata dari حدث, jamaknya al-ahadis| (yang
baru) antonim dari kata alqadi>m (yang lama), dan al-huds|an lawan
dari kata al-qudmah (yang mendahului).[5]
Menurut Prof.
Dr. H. M. Syuhudi Ismail dalam bukunya Kaedah Keshahihan Sanad Hadis, beliau
menjelaskan bahwa kata hadis ditinjau dari segi etimologi memiliki banyak arti,
diantaranya: (1) al-jadid yang artinya yang baru lawan dari al-qadi>m, yang
lama; dan (2) al-khabar yang bermakna kabar atau berita.[6]
M. M.
Aza>mi> mendefenisikan hadis dari segi etimologi berarti komunikasi,
kisah, percakapan, religius atau sekular, historis atau kontemporer.[7]
Menurut ibn
al-Subki>, defenisi hadis yang sering disamakan dengan istilah al-Sunnah
adalah segala perkataan dan perbuatan Nabi Muhammad saw. Ibn al-Subky tidak
memasukkan takrir Nabi sebagai bagian dari rumusan defenisi hadis karena takrir
telah tercakup dalam af’a>l (perbuatan).
Adapun pengertian yang lain, Hadis
adalah segala sesuatu yang disandarkan kepada nabi yang memiliki rangkaian sanad,
yang disampaikan sahabat hingga mukharrij.
Secara terminologis, hadis ternyata
memiliki rumusan yang cukup banyak. Ada yang cakupannya sempit, dan ada yang
cakupannya luas. Meskipun definisi-definisi tersebut pada dasarnya menunjukkan
makna yang sama, yaitu sesuatu yang disandarkan kepada Nabi saw., baik yang
berupa perkataan, perbuatan, ketetapan[8], juga
sifat-sifat fisik dan akhlak beliau.[9] Dalam
cakupan yang lebih luas, termasuk sifat-sifat Nabi saw. yang dilukiskan oleh
para sahabatnya, seperti silsilah, nama-nama dan tahun kelahiran, ataupun himmah, rencana yang belum terlaksana
juga termasuk dalam unsur-unsur sebuah hadis.[10] Jika
berdasar pada pengertian ini, maka hadis ada yang berupa qauli>, fi‘li>, taqri>ri>, was}fi>, ta>rikhi>, serta
hammi>.[11]
Adapun
sunnah Secara etimologis, term sunnah berarti ‘tata cara’.
Menurut Syammar, kelompok kabilah-kabilah Arab Yaman, term sunnah pada mulanya berarti
‘membuat jalan’, yaitu jalan yang dibuat oleh orang-orang dahulu kemudian
dilalui oleh orang-orang yang datang sesudah mereka.[12]
Sementara dalam Mukhta>r al-S{iha>h, al-Razi menuturkan bahwa
sunnah secara kebahasaan berarti tata cara dan perilaku hidup’ (al-t}ari>qah
wa al-si>rah).[13]
Dari makna terminologinya, sunnah
dianggap sinonim dengan hadis yang dimaknai dengan segala sabda, perbuatan, dan
taqrir, dan hal ihwal yang disandarkan kepada Nabi Muhammad saw.[14]
dengan demikian hakikat keduanya sama.[15].
B. Tinjauan Aksiologi
1. Otoritas Nabi sebagai Utusan
Hadis dipandang oleh mayoritas umat Islam sebagai ‘kitab
suci’ kedua setelah al-Qur’an. Pada kenyataannya, hampir semuah mazhab dalam Islam[16]
sepakat akan pentingnya peranan hadis sebagai salah satu sumber ajaran Islam.
Otoritas Nabi saw. dalam hal ini (selain al-Qur’an) tidak terbantahkan karena
mendapatkan legitimasi elalui wahyu, sehingga secara faktual, Nabi saw. adalah
manifestasi al-Qur’an yang pragmatis.[17]
Al-Qur’an pada dasarnya dengan jelas telah menerangkan
tugas dan tanggungjawab Nabi saw., yaitu menyampaikan dan menjelaskan kandungan
makna al-Qur’an[18],
serta mengadakan hukum syariah secara independen[19],
sehingga tak dapat dibantah adanya prerogatifisasi Nabi dan otoritas
independennya di luar al-Qur’an. Demikian pula keterangan al-Qur’an akan tugas
Nabi saw. untuk memberikan teladan[20],
sehingga Rasul wajib untuk ditaati[21].
2.
Tinjauan
Aksiologi
Diskursus
tentang eksistensi Hadis secara aksiologis sebagai landasan agama, dengan kedudukan
menempati posisi kedua setelah Al-Quran karena (1) al-Quran bersifat
qathi sementara sunnah bersifat zaniiyah, sehingga sunnah berfungsi
sebagai penjelas (bayan) bagi Al-Quran, sementara kedudukan penjelas (al-bayan)
.
Hadis
sebagai mubayyin bagi al-Quran. Dalam hal ada tiga bentuk, yaitu (a)
penjelasan terperinci atas petunjuk Al-Quran yang bersifat global mujmal, seperti
hadis yang merinci teknis pelaksaan sholat yang diperintahkan dalam Al-Quran
(b) mengkhususkan petunjuk yang bersifat umum ‘aam dari Al-Quran.
Seperti hadis larangan menikahi seorang wanita dengan bibinya. sebagai
pengkhususan dan pembatasan atas Surat an-Nisa’ ayat 24. Dan yang ketiga (c)
hadis sebagai muqayyid (membatasi dengan persyaratan) sesuatu
yang bersifat mutlak dalam Al-Quran, seperti hadis yang menerangkan tentang
bagian tangan yang dipotong dalam hukuman bagi pencuri adalah telapak sampai
pergelangan tangan sebagai taqyid kata
‘yad’dalam Al-Quran 5:38.
Selaras
dengan keluasan wacana al-Quran, komprehensitas ruang lingkup pembahasan hadis
juga mencakup semua aspek dan dimensi kehidupan manusia. Tema-tema hadis
mencakup persoalan aqidah (teologi), hukum (yuridis), akhlak (moralitas dan
etika), sejarah (historis), dll. Demikian pula mencakup persoalan-persoalan
manusia dalam kehidupan individu (privat), keluarga, masyarakat dan bernegara.
Dengan demikian, hadis berperan penting dan luas sebagai landasan wacana agama
dalam segala dimensi dan aspeknya.
Mengingat
strategisnya kegunaan atau tujuan hadis tersebut, Imam Al-Nawawi menegaskan:“Di
antara bidang keilmuan yang paling penting adalah ilmu yang berkenaan dengan
ilmu hadis terapan yaitu pengetahuan tentang matan hadis dari aspek.
Hal
ini didasari kenyataan bahwa syari’at Islam dilandaskan atas al-Qur’an dan
sunah-sunah yang diriwayatkan. Di atas sunahlah dibangun mayoritas hukum-hukum
fikih, karena sebagian besar ayat-ayat yang mengatur masalah furu’, masih
bersifat mujmaal (global) sementara penjelasannya terdapat dalam
sunah yang menetapkan perincian hukumnya secara tegas muhkamat
Di
samping itu, dari aspek implementasi aksiologis, para ulama sepakat bahwa
syarat bagi seorang yang bertugas sebagai qaadi (hakim pengadilan) maupun
mufti (ulama pemberi fatwa) haruslah memiliki kompetensi keilmuan tentang
hadis-hadis hukum. Kenyataan ini, menegaskan bahwa studi hadis adalah ilmu yang
paling mulia, dan cabang kebaikan yang paling utama, dan bentuk qurbah (bernilai
pendekatan diri) kepada Allah karena ilmu tersebut menghimpun segala aspek
penjelasan terkait seorang makhluk Allah SWT yang paling mulia—yaitu Nabi
Muhammad SAW.
3.
Kedudukan dan Fungsi Hadis Terhadap al-Qur’an
Fungsi Hadits terhadap Al Qur’an adalah berfungsi untuk memperkokoh isi kandungan
al-Qur’an, untuk memberikan rincian dan tafsiran global (mujmal), memberikan
persyaratan/batasan (taqyid) ayat-ayat al-Qur’an yang bersifat mutlak, dan
mengkhususkan (takhsis) terhadap ayat-ayat al-Qur’an yang masih bersifat umum.
Dalam diskursus Islam,
terdapat berbagai permasalahan yang tidak cukup dijelaskan hanya dengan mengacu
kepada al-Qur’an saja, tetapi juga harus mengacu kepada hadis Nabi saw. Hal ini
dikarenakan al-Qur’an mengandung makna yang sangat dalam namun dijelaskan
dengan global. Disinilah hadis mempunyai fungsi li al-bayān, sebagaiman firman Allah dalam surah al-Nahl:
44:
وَأَنْزَلْنَا إِلَيْكَ الذِّكْرَ لِتُبَيِّنَ لِلنَّاسِ
مَا نُزِّلَ إِلَيْهِمْ وَلَعَلَّهُمْ يَتَفَكَّرُونَ
Penjelasan itu kemudian oleh para ulama diperinci ke
berbagai bentuk penjelasan. Secara garis besar ada 4 makna fungsi penejelasan
hadis terhadap al-Qur’an, sebagai berikut:[22]
a.
Bayān Taqrīr
Hadis memperkuat penjelasan al-Qur’an (ta’kīd).
Artinya hadis menjelaskan apa yang sudah dijelaskan oleh al-Qur’an. Misalnya,
hadis “….بني الإسلام على
خمس” yang memperkuat keterangan perintah
shalat, zakat, puasa, dalam al-Qur’an surah al-Baqarah: 83 dan 183, dan
perintah haji pada surah Āli ‘Imrān: 97.
b.
Bayān Tafsīr
Hadis dalam fungsi ini terbagi pada beberapa bagian,
yaitu:
·
Tafsīl Mujmal
Hadis dalam fungsi ini di antaranya ialah hadis yang
menjelaskan segala sesuatu yang hubungannya dengan ibadah dan hukum-hukumnya,
dari segi pratiknya, syarat, waktu, dan tata caranya, seperti masalah shalat di
mana dalam al-Qur’an tidak disebutkan secara rinci tentang bilangan raka’at,
waktu, rukun, syarat, dan sebagainya. Tetapi semua itu dijelaskan oleh sunnah.[23]
·
Takhshīsh al-‘Ām
Hadis dalam kategori ini ialah seperti hadis yang
mengkhususkan makna Zhalim dalam firman Allah swt. (QS. al-An’am: 82). Bahwa
yang dimaksud zhalim pada ayat tersebut adalah menyekutukan Tuhan. Peristiwanya
ialah sewaktu ayat tersebut turun, sebagian shahabat mengira bahwa yang
dimaksud zhalim pada ayat tersebut ialah zhalim dalam arti umum, sehingga dia
berucap, “siapakah di antara kita yang tidak zhalim?, kemudian Nabi saw.
menjawab, “bukan itu yang dimaksud, tetapi yang dimaksud zhalim pada ayat itu
ialah menyekutukan Tuhan (syirik)”.[24]
·
Taqyīd al-Muthlaq
Hadis membatasi kemutlakan ayat al-Qur’an. Misalnya
firman Allah tentang potong tangan bagi pencuri dalam surah al-Māidah:
38, dianggap mutlak tanpa ada penjelasan batas tangan yang harus dipotong,
apakah sikut, pundak, atau pergelangan tangan. Kemudian pembatasan itu baru
dijelaskan hadis ketika ada seorang pencuri diputuskan hukumannya dengan
dipotong tangan sampai pergelangan tangan. [25]
c.
Bayān Naskhī
Hadis menghapus hukum yang diterangkan dalam al-Qur’an. [26]
Misalnya kewajiban wasiat yang dijelaskan dalam surah al-Baqarah: 180, yang dinasakh dengan hadis:
إن الله قد أعطى كل ذي حق حقه ولا وصية
لوارث.
d.
Bayān Tasyrī‘i
Hadis juga terkadang menciptakan hukum syariat yang belum
dijelaskan oleh al-Qur’an. Para ulama berbeda pendapat tentang fungsi ini.
Mayoritas berpendapat bahwa sunnah berdiri sendiri sebagai dalil hukum dan
lainnya berpendapat bahwa sunnah menetapkan dalil yang tersirat secara implisit
dalam teks al-Qur’an. Misalnya, keharaman jual beli dengan berbagai cabangnya
menerangkan yang tersirat dalam surah al-Baqarah: 275 dan al-Nisā’:
29. Demikian juga keharaman makan daging keledai ternak, keharaman setiap
binatang yang berbelalai, dan keharaman menikahi seorang wanita bersama
bibinya. [27]
Kenyataan-kenyataan di
atas menunjukkan betapa penting dan strategisnya posisi hadis dalam pondasi
ajaran Islam. Sehingga, tidak berlebihan jika sebagian ulama bertutur bahwa
al-Qur’an lebih membutuhkan hadis daripada sebaliknya.[28]
4.
Kedudukan
Hadits Terhadap Hukum Islam
Al-Qur’an dan Hadis merupakan dua sumber hukum
syariat islam yang tetap, yang orang islam tidak mungkin memahami syariat islam
secara mendalam dan lengkap dengan tanpa kembali kepada kedua sumber islam
tersebut.
Banyak ayat Al-Qur’an dan Hadis yang memberikan
pengertian bahwa hadis itu merupakan sumber hukum islam selain al-qur’an yang
wajib diikuti, baik dalam perintah maupun larangannya. Uraian di bawah ini
merupakan paparan tantang kedudukan hadis sebagai sumber hukum islam dengan
melihat beberapa dalil
Dalam salah satu pesan Rasulullah saw,
berkenaan dengan keharusan menjadikan hadis sebagai pedoman utamanya. Beliau
bersabda:
تركت فيكم أمرين
لن تضلوا ما تمسكتم بهما كتاب الله وسنة نبيه (رواه مالك)
Artinya : Aku tinggalkan dua pusaka untukmu
sekalian, yang kalian tidak akan akan tersesat selagi kamu berpegang teguh pada
keduanya, yang berupa kitab Allah dan Sunnah Rasul-Nya. (HR. Malik)
Hadis di atas menunjukkan kepada kita bahwa
berpegang teguh kepada hadis atau menjadikan hadis sebagai pegangan dan pedoman
hidup adalah wajib, sebagaimana berpegang teguh pada Al-Qur’an.
Disisi lain, umat Islam telah sepakat
menjadikan hadis sebagai salah satu dasar hukum beramal; karena sesuai dengan
yang dikehendaki Allah. Kesepakatan umat muslimin dalam mempercayai, menerima
dan mengamalkan segala ketentuan yang terkandung di dalam hadis ternyata sejak
Rasulullah masih hidup. Banyak peristiwa menunjukkan adanya kesepakatan
menggunakan hadis sebagai sumber hukum islam, sebagai berikut:
Ketika Abu
Bakar di baiat menjadi khalifah, ia pernah berkata, “Saya tidak meninggalkan
sedikitpun sesuatu yang diamalkan/dilaksanakan oleh Rasulullah, sesungguhnya
saya takut tersesat bila meninggalkan perintahnya.”
Saat Umar
berada di depan Hajar Aswad ia berkata, “Saya tahu bahwa engkau adalah batu.
Seandainya saya tidak melihat Rasulullah menciummu, saya tidak akan menciummu.”
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Ditinjau dari segi aksiologis hadits merupakan sumber hukum kedua
setelah al-Qur’an.Al-Qur’an dan Hadis memiki kaitan yang sangat erat sehingga
untuk memahaminya dan mengamalkannya tidak bisa dipisahkan atau berjalan
sendiri-sendiri. Di antara fungsi hadis yaitu
sebagai bayan al-taqrir, bayan al-tafsir, bayan al-nasakh, dan bayan
al-tasyri’.
A.
Implikasi
Adapun implikasi dari penulisan makalah ini
agar kiranya pembaca dapat memahami materi yang telah dibahas pada makalah ini
sehingga dapat menjadi khazanah pengetahuan. Penulis juga menyadari bahwa
penulisan makalah ini masih jauh dari kesempurnaan, sehingga penulis sangat
mengharapkan kritik dan saran dari pembaca demi kesempurnaan penulisan
selanjutnya.
Daftar Pustaka
‘Itr, Nu>r al-Di>n. Manhaj al-Naqd fi>
‘Ulu>m al-H{adi>s\. Beirut: Da>r al-Fikr, 1997.
Ahmad,
Arifuddin. Paradiqma Baru Memahami Hadis Nabi Refleksi Pembaruan Pemikiran
Prof. Dr. Muhammad Syuhudi Ismail. Cet. I Jakarta: Renaisan, 2005.
Amin, Muhammadiyah. Menembus Lailatul Qadr:
Perdebatan interpretasi hadis tekstual dan kontekstual. Cet. I; Makassar:
Melania Press, 2004.
Ash
Shiddieqy, Hasbi. et al, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis. Cet.I;
Semarang: Pustaka Rizki Putra, 1997.
Azami,
M. M. Hadis Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya, terj. Ali Mustafa Ya‘qub, Jakarta:
Pustaka Firdaus, 1994.
_______. Studies in Hadis Methodology and Literature, Terj. Meth Kieraha Jakarta:
Lentera, 2003.
_______. Dirāsāt fī al-Hadīs al-Nabawī wa Tārikh Tadwīnih Beirut: al-Maktab al-Islāmī, 1992.
al-Damini, Maqayis
Naqd Mutun al-Sunnah, Riyadh: Jami’ah Ibn Sa’ud, 1984.
Darmalaksana, Wahyuddin. Hadis di Mata
Orientalis: Telaah atas Pandangan Ignaz Goldziher dan Joseph Schacht. Bandung:
Benang Merah Press, 2004.
al-Fayyumi>, Ahmad ibn Muhammad. al-Mishbah al-Munir fi> Ghari>b al-Syarh
al-Kabi>r li al-Rafi’i>. Juz I Beirut: Da>r al-Kutub al-Ilmi>yah,
1978.
al-Hasani,
Muhammad bin 'Alawi al-Maliki. al-Manhal al-Latif fi ‘Usul al-Hadis
al-Syarif, 1999.
Husain,
‘Abd Mun’im Muhammad. al-Qa>mus al-Fa>risiyah, al-Qa>hirah:
Da>r al-Kita>b al-Mis}riy dan
Beirut: Da>r al-Kitab al-Lubnan, 1982.
Ibn
Fa>ris, Abu> al-Husai>n Ahmad Mu’jam Maqa>yi<s al-Lugah. Bai>ru>t:
Ittih}a>d al-Kita>b al-‘Arab, 1423 H/2002 M.
Ibn
Manz{ur,
Muhammad ibn Mukrim al-Afriqi> al-Mishri. Lisa>n al-Arab. Juz II, Cet. I; Beirut: Da>r al-Shadr, t.th.
Ibn Shalah, Ulum al-Hadis, (Madinah al-Munawwarah: al-Maktabah
al-Ilmiyyah, 1972.
Isma>il, M. Syuhudi. Kaedah Keshahihan Sanad Hadis. Cet. II; Jakarta: PT Bulan
Bintang, 1995
_______.
Hadis Nabi menurut Pembela, Pengingkar, dan Pemalsunya. Jakarta: Gema
Insani Press.
Jumantoro, Totok. Kamus Ilmu Hadis. Cet. II; Jakarta: PT Bumi Aksara, 2002.
Khalla>f, ‘Abd al-Wahha>b. Ilm
Us}u>l al-Fiqh. Cet. XII; Kuwait: Da>r al-Qalam, 1978.
al-Khat}i>b, Muh}ammad ‘Ajja>j. al-Sunnah
Qabl al-Tadwi>n. Beirut: Da>r al-Fikr, 1989.
Khon, Abdul Majid. Ulumul Hadis. Cet. I; Jakarta: Amzah, 2008.
al-Maliki,
Muhammad Alawi. Ilmu Ushul Hadis, terj. Adnan Qahar, Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, cet.3, 2012.
Munjid fi> al-Lugah wa al-A’la>m Beirut:
Da>r al-Masyriq, 1984.
Must}afa, Ibrahim, et.all. Al-Mu’jam
al – wasit}, t.th, h.
992.
M. Syuhudi Ismail, Metode Penelitian Hadis Nabi
(Cet. I; Jakarta: Bulan Bintang, 1992), h. 13.
al-Qardāwiy, Yūsuf. al-Qur’an dan al-Sunnah, terj.
Bahruddin Fanani (Jakarta: Rabbani Press, 1997.
al-Qasimi,
Muhammmad Jamaluddin. Qawa’id al-Tahdis min Funun Mustalaha al-Hadis
(Bairut : Dar al-Kutub al-Islami), h.
61.
al-Qatta>n,
Manna>‘. Maba>h}is\ fi| Ulu>m al-H{adi>s\. Cet. VIII;
Maktabah Wahbah, 1412 H/1992 M.
al-Ra>zi,
Muhammad ibn Abu> Bakr ibn ‘Abd al-Qa>dir. Mukhta>r al-S{ih{ah.
Bai>ru>t: Maktabah Lubna>n Na>s}iru>n, 1415 H/1995 M.
Rowad,
Muhammad Ali. Ulum al-Qur’an wa al-Hadis . Oman : Dar al-Basyiah, 1984.
al-S{a>lih, S}ubhi. ‘Ulu>m al-H{adi>s\ wa
Mus}t}alah}uhu>. Beirut: Da>r al-‘Ilm al-Mala>yi>n, 1977.
al-Salim,
'Umar Abd al-Mun'im. Taifsir al 'Ulum al-Hadis. Kairo :Maktabah ibn
Taimiyah, 1997.
al-Siba>‘iy Must}afa>. al-Sunnah
wa Maka>natuha> fi> Tasyri>‘ al-Isla>miy. Beirut:
al-Maktabah al-Islamiy 1405 H/1985 M.
Solahudin , Agus
dan Agus Suyadi. Ulumul Hadis Cet. I; Bandung:
CV Pustka Setia, 2009.
al-Syāfi‘ī. al-Umm. Jilid VII, Beirut: Dār al-Fikr, [t.th].
Syah, Ismail Muh}ammad. Filsafat
Hukum Islam. Cet. II; Jakarta: Bumi Aksara, 1998.
al-Tahha>n, Mah}mu>d. Taisi>r
Must}alah} al-H{adi>s\. Riyad, Maktabah al-Ma‘a>rif, 1407 H/1987 M.
Ya‘qub, Ali
Mustafa. Kritik Hadis. Jakarta: Pustaka Firdaus, 2008.
Zuhri,
“Hadis dalam Pemikiran Mohamed Arkoun”, Jurnal Studi Ilmu-ilmu al-Qur’an dan
Hadis. Yogyakarta: Penerbit Jurusan Tafsir Hadis UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta,
2005, Vol. 6, No. 1, Januari 2005.
[1]Nawir Yuslem, Ulumul Hadits (Jakarta : PT. Mutiara Sumber Widya), h. 1.
[2] M. Syuhudi Ismail, Metode Penelitian Hadis Nabi (Cet. I;
Jakarta: Bulan Bintang, 1992), h. 13.
[3]Muhammadiyah Amin, Menembus Lailatul Qadr: Perdebatan interpretasi
hadis tekstual dan kontekstual (Cet.
I; Makassar: Melania Press, 2004), h. 1
[4]Arifuddin Ahmad, Paradiqma
Baru Memahami Hadis Nabi Refleksi Pembaruan Pemikiran Prof. Dr. Muhammad
Syuhudi Ismail Cet. I (Jakarta: Renaisan, 2005), h. 1-2
[5]Muhammad ibn Mukrim ibn Manz{ur al-Afriqi>
al-Mishri>, Lisa>n al-Arab, Juz II (Cet. I; Beirut: Da>r
al-Shadr, t. th.), h. 131.
[6]Syuhudi Isma>il, Kaedah Keshahihan Sanad Hadis, (Cet.
II; Jakarta: PT Bulan Bintang, 1995), h. 26. Lihat juga Ahmad ibn Muhammad
al-Fayyumi>, al-Mishbah al-Munir fi> Ghari>b al-Syarh al-Kabi>r
li al-Rafi’i>, Juz I (Beirut: Da>r al-Kutub al-Ilmi>yah, 1978), h.
150-151.
[7]Agus Solahudin dan Agus Suyadi, Ulumul Hadis, (Cet.
I; Bandung: CV Pustka Setia, 2009), h.
13; Lihat juga M. M. Azami, Studies
in Hadis Methodology and Literature, Terj. Meth Kieraha (Jakarta: Lentera,
2003), h. 21-23.
[8]Mah}mu>d al-T{ah}h}a>n, Tafsi>r Mus}t}alah}
al-H{adi>s\ (Beirut: Da>r al-Qur’a>n al-Kari>m, 1979), h. 14.
[9]Nu>r al-Di>n ‘Itr, Manhaj al-Naqd fi> ‘Ulu>m
al-H{adi>s\ (Beirut: Da>r al-Fikr, 1997), h. 26.
[10]Wahyuddin Darmalaksana, Hadis di Mata Orientalis: Telaah atas
Pandangan Ignaz Goldziher dan Joseph Schacht (Bandung: Benang Merah Press,
2004), h. 19.
[11] Abdul Majid Khon, Ulumul Hadis (Jakarta: AMZAH, 2009), h. 4.
[12]Ibn Manz}u>r, Lisa>n
al-‘Arab, Juz. XIII (Beirut: Da>r S}a>dir, [t.th.]), h. 226.
[14]Mus}t}afa>
al-Siba‘i>>, Al-Sunnah wa Maka>natuha> fi al-Tasyri>‘
al-Isla>mi> ([t.t.]: Da>r al-Qaumiyah, 1966), h. 53.
[15]S}ubhi al-S{a>lih, ‘Ulu>m
al-H{adi>s\ wa Mus}t}alah}uhu>. Beirut: Da>r al-‘Ilm
al-Mala>yi>n, 1977.., h. 6.
[16] Muhammad Musthāfa
Azami, Dirāsāt fī al-Hadīs al-Nabawī
wa Tārikh Tadwīnih (Beirut: al-Maktab
al-Islāmī,
1992). h. 46-50.
[17]Aktualisasi
prinsip-prinsip dasar al-Qur’an yang bersifat teoritik dioperasionalisasikan
oleh Nabi saw. melalui peneladanan. Lihat: Yūsuf al-Qardāwiy,
al-Qur’an dan al-Sunnah, terj. Bahruddin Fanani (Jakarta: Rabbani Press,
1997), h. 61.
[23] Muhammad Alawi al-
Maliki, Ilmu Ushul Hadis, terj. Adnan Qahar, (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, cet.3, 2012), h. 10.
[24] Muhammad Alawi al-
Maliki, Ilmu Ushul Hadis, terj. Adnan Qahar, (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, cet.3, 2012), h. 9-10.
[25] Muhammad Alawi al-
Maliki, Ilmu Ushul Hadis, h. 9-10.
[26] Muhammad Alawi al-
Maliki, Ilmu Ushul Hadis, h. 9-10.
[27] Muhammad Alawi al-
Maliki, Ilmu Ushul Hadis, h. 9-10.
[28]Perbedaan keduanya
hanya pada tingkat otentitasnya, tidak pada substansinya. Karenanya, hadis juga
disebut wahyu gair matluw. Lihat: Al-Syāfi‘ī,
al-Umm, Jilid VII (Beirut: Dār al-Fikr, [t.th]),
h. 271.
No comments:
Post a Comment