Wednesday, November 22, 2017

Aksiologi Sunnah / Hadits



BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Ulu>m al-Hadi>s adalah salah satu bidang ilmu yang penting di dalam Islam, yang sangat diperlukan dalam mengenal dan memahami hadis-hadis Nabi Muhammad SAW. Hadis merupakan sumber ajaran islam dan hukum Islam yang kedua, setelah dan berdampingan dengan Al-qur’an.[1]
Pada masa Rasulullah Saw. masih hidup, para sahabat tidaklah menemui kesulitan yang berarti dalam menafsirkan ayat-ayat yang belum dimengerti secara persis kandungannya atau jika ada suatu persoalan yang membutuhkan penjelasan Nabi, karena dapat bertanya langsung dan mendengarkan penjelasan Nabi tanpa harus melalui perantara orang lain. Akan tetapi, dizaman ini, jarak waktu dengan Rasulullah saw sangat jauh, dan persoalan semakin banyak seiring dengan perkembangan peradaban manusia. Yang sedianya membutuhkan landasan nash yang bersumber dari Nabi Saw.
Sebenarnya tidak sulit untuk mendapatkan hadis-hadis Nabi saw tentang berbagai masalah saat ini, seiring semakin banyaknya penulis-penulis yang memuat hadis-hadis tentang sesuatu yang dibahas, misalnya tersedianya kitab-kitab hadis seperti Sahih Bukhari, Sahih Muslim, dan sebagainya.
Namun, apakah riwayat-riwayat yang dikaitkan oleh hadis-hadis tersebut benar-benar berasal dari Rasulullah Saw? Masalah seperti ini wajar saja muncul mengingat dalam sejarah periwayatan hadis melalui masa yang sangat panjang dan bahkan pernah terjadi kasus pemalsuan hadis Nabi yang dilakukan oleh orang-orang yang mempunyai tujuan tertentu. [2]
Hadis Nabi saw. sebagaimana penjelasan Al-Qur’an adalah merupakan sumber kedua setelah Al-Qur’an. Petunjuk ini memberi isyarat bahwa keharusan setiap umat Islam dalam memahami ajaran Islam secara benar, maka tidak saja merujuk pada Al-Qur’an tetapi juga hadis.[3]
Al-Qur’an sama dengan hadis, masing-masing ada yang qath’i dalālah dan ada yang zhanni dalālah, hanya saja al-Qur’an pada umumnya bersifat global sedangkan hadis bersifat terperinci, salah satu  fungsi hadis nabi terhadap al-Qur’an adalah bayan al-tafsir.  Pada sisi lain, al-Qur’an berbeda dengan hadis Nabi. Misalnya dari segi periwayatan, al-Qur’an seluruhnya bersifat qath’i al-wurud  sedangkan untuk hadis Nabi, pada umumnya bersifat  zhanni al-wurud  hadis Nabi dalam sejarahnya telah terjadi periwayatan, sehingga memunculkan problem menyangkut teks hadis sedangkan al-Qur’an telah dijamin keaslian teksnya.[4]

Posisi hadis sangat demikian urgen dalam memahami ajaran Islam ini, dan ilmu yang mempelajari tentang hadis juga dikenal dengan ‘ilmu mus}t{alah}ul h}adi>s\ yakni ilmu yang membahas tentang keadaan sanad dan matan dari segi diterima atau tidaknya.
Sebelum terlalu jauh membahas tentang perkembangan hadis dan ilmunya, yang perlu diketahui adalah meninjau kembali tentang hadis dan sunnah yang menjadi sumber hukum umat muslim dari tinjauan aksiologinya

B.     Rumusan Masalah
Sebagaimana paparan yang disampaikan di atas bahwa rumusan permasalahan pada makalah ini adalah:
1.       Bagaimana tinjauan hadis dan sunnah dari aspek aksiologi?
2.       Bagaimana Fungsi dan kedudukan Hadis terhadap Al-Qur’an?
3.       Bagaimana Fungsi dan Kedudukan Hadis Terhadap Hukum Islam



BAB II
PEMBAHASAN
A.    Hadis Secara Etimologi
1.      Defenisi Hadis dan sunnah
Kata hadis berasal dari bahasa Arab, الحديث. Akar kata dari حدث, jamaknya al-ahadis| (yang baru) antonim dari kata alqadi>m (yang lama), dan al-huds|an lawan dari kata al-qudmah (yang mendahului).[5]
Menurut Prof. Dr. H. M. Syuhudi Ismail dalam bukunya Kaedah Keshahihan Sanad Hadis, beliau menjelaskan bahwa kata hadis ditinjau dari segi etimologi memiliki banyak arti, diantaranya: (1) al-jadid yang artinya yang baru lawan dari al-qadi>m, yang lama; dan (2) al-khabar yang bermakna kabar atau berita.[6]
M. M. Aza>mi> mendefenisikan hadis dari segi etimologi berarti komunikasi, kisah, percakapan, religius atau sekular, historis atau kontemporer.[7]
Menurut ibn al-Subki>, defenisi hadis yang sering disamakan dengan istilah al-Sunnah adalah segala perkataan dan perbuatan Nabi Muhammad saw. Ibn al-Subky tidak memasukkan takrir Nabi sebagai bagian dari rumusan defenisi hadis karena takrir telah tercakup dalam af’a>l (perbuatan).
Adapun pengertian yang lain, Hadis adalah segala sesuatu yang disandarkan kepada nabi yang memiliki rangkaian sanad, yang disampaikan sahabat hingga mukharrij.
Secara terminologis, hadis ternyata memiliki rumusan yang cukup banyak. Ada yang cakupannya sempit, dan ada yang cakupannya luas. Meskipun definisi-definisi tersebut pada dasarnya menunjukkan makna yang sama, yaitu sesuatu yang disandarkan kepada Nabi saw., baik yang berupa perkataan, perbuatan, ketetapan[8], juga sifat-sifat fisik dan akhlak beliau.[9] Dalam cakupan yang lebih luas, termasuk sifat-sifat Nabi saw. yang dilukiskan oleh para sahabatnya, seperti silsilah, nama-nama dan tahun kelahiran, ataupun himmah, rencana yang belum terlaksana juga termasuk dalam unsur-unsur sebuah hadis.[10] Jika berdasar pada pengertian ini, maka hadis ada yang berupa qauli>, fi‘li>, taqri>ri>, was}fi>, ta>rikhi>, serta hammi>.[11]
Adapun sunnah Secara etimologis, term sunnah berarti ‘tata cara’. Menurut Syammar, kelompok kabilah-kabilah Arab Yaman, term sunnah pada mulanya berarti ‘membuat jalan’, yaitu jalan yang dibuat oleh orang-orang dahulu kemudian dilalui oleh orang-orang yang datang sesudah mereka.[12] Sementara dalam Mukhta>r al-S{iha>h, al-Razi menuturkan bahwa sunnah secara kebahasaan berarti tata cara dan perilaku hidup’ (al-t}ari>qah wa al-si>rah).[13]
   Dari makna terminologinya, sunnah dianggap sinonim dengan hadis yang dimaknai dengan segala sabda, perbuatan, dan taqrir, dan hal ihwal yang disandarkan kepada Nabi Muhammad saw.[14] dengan demikian hakikat keduanya sama.[15].

B.     Tinjauan Aksiologi
1.      Otoritas Nabi sebagai Utusan
Hadis dipandang oleh mayoritas umat Islam sebagai ‘kitab suci’ kedua setelah al-Qur’an. Pada kenyataannya, hampir semuah mazhab dalam Islam[16] sepakat akan pentingnya peranan hadis sebagai salah satu sumber ajaran Islam. Otoritas Nabi saw. dalam hal ini (selain al-Qur’an) tidak terbantahkan karena mendapatkan legitimasi elalui wahyu, sehingga secara faktual, Nabi saw. adalah manifestasi al-Qur’an yang pragmatis.[17]
Al-Qur’an pada dasarnya dengan jelas telah menerangkan tugas dan tanggungjawab Nabi saw., yaitu menyampaikan dan menjelaskan kandungan makna al-Qur’an[18], serta mengadakan hukum syariah secara independen[19], sehingga tak dapat dibantah adanya prerogatifisasi Nabi dan otoritas independennya di luar al-Qur’an. Demikian pula keterangan al-Qur’an akan tugas Nabi saw. untuk memberikan teladan[20], sehingga Rasul wajib untuk ditaati[21].
2.      Tinjauan Aksiologi
Diskursus tentang eksistensi Hadis secara aksiologis sebagai landasan agama, dengan kedudukan menempati posisi kedua setelah Al-Quran karena (1) al-Quran bersifat  qathi sementara sunnah bersifat zaniiyah, sehingga sunnah berfungsi sebagai penjelas (bayan) bagi Al-Quran, sementara kedudukan penjelas (al-bayan) .
Hadis sebagai mubayyin bagi al-Quran. Dalam hal ada tiga bentuk, yaitu (a) penjelasan terperinci atas petunjuk Al-Quran yang bersifat global mujmal, seperti hadis yang merinci teknis pelaksaan sholat yang diperintahkan dalam Al-Quran (b) mengkhususkan petunjuk yang bersifat umum ‘aam dari Al-Quran. Seperti hadis larangan menikahi seorang wanita dengan bibinya. sebagai pengkhususan dan pembatasan atas Surat an-Nisa’ ayat 24. Dan yang ketiga (c) hadis sebagai muqayyid (membatasi dengan persyaratan) sesuatu yang bersifat mutlak dalam Al-Quran, seperti hadis yang menerangkan tentang bagian tangan yang dipotong dalam hukuman bagi pencuri adalah telapak sampai pergelangan tangan sebagai taqyid  kata ‘yad’dalam Al-Quran 5:38.
Selaras dengan keluasan wacana al-Quran, komprehensitas ruang lingkup pembahasan hadis juga mencakup semua aspek dan dimensi kehidupan manusia. Tema-tema hadis mencakup persoalan aqidah (teologi), hukum (yuridis), akhlak (moralitas dan etika), sejarah (historis), dll. Demikian pula mencakup persoalan-persoalan manusia dalam kehidupan individu (privat), keluarga, masyarakat dan bernegara. Dengan demikian, hadis berperan penting dan luas sebagai landasan wacana agama dalam segala dimensi dan aspeknya.
Mengingat strategisnya kegunaan atau tujuan hadis tersebut, Imam Al-Nawawi menegaskan:“Di antara bidang keilmuan yang paling penting adalah ilmu yang berkenaan dengan ilmu hadis terapan yaitu pengetahuan tentang matan hadis dari aspek.
Hal ini didasari kenyataan bahwa syari’at Islam dilandaskan atas al-Qur’an dan sunah-sunah yang diriwayatkan. Di atas sunahlah dibangun mayoritas hukum-hukum fikih, karena sebagian besar ayat-ayat yang mengatur masalah furu’, masih bersifat mujmaal (global) sementara penjelasannya terdapat dalam sunah yang menetapkan perincian hukumnya secara tegas muhkamat
Di samping itu, dari aspek implementasi aksiologis, para ulama sepakat bahwa syarat bagi seorang yang bertugas sebagai qaadi (hakim pengadilan) maupun mufti (ulama pemberi fatwa) haruslah memiliki kompetensi keilmuan tentang hadis-hadis hukum. Kenyataan ini, menegaskan bahwa studi hadis adalah ilmu yang paling mulia, dan cabang kebaikan yang paling utama, dan bentuk qurbah (bernilai pendekatan diri) kepada Allah karena ilmu tersebut menghimpun segala aspek penjelasan terkait seorang makhluk Allah SWT yang paling mulia—yaitu Nabi Muhammad SAW.
3.      Kedudukan dan Fungsi Hadis Terhadap al-Qur’an
Fungsi Hadits terhadap Al Qur’an adalah berfungsi untuk memperkokoh isi kandungan al-Qur’an, untuk memberikan rincian dan tafsiran global (mujmal), memberikan persyaratan/batasan (taqyid) ayat-ayat al-Qur’an yang bersifat mutlak, dan mengkhususkan (takhsis) terhadap ayat-ayat al-Qur’an yang masih bersifat umum.
Dalam diskursus Islam, terdapat berbagai permasalahan yang tidak cukup dijelaskan hanya dengan mengacu kepada al-Qur’an saja, tetapi juga harus mengacu kepada hadis Nabi saw. Hal ini dikarenakan al-Qur’an mengandung makna yang sangat dalam namun dijelaskan dengan global. Disinilah hadis mempunyai fungsi li al-bayān, sebagaiman firman Allah dalam surah al-Nahl: 44:
وَأَنْزَلْنَا إِلَيْكَ الذِّكْرَ لِتُبَيِّنَ لِلنَّاسِ مَا نُزِّلَ إِلَيْهِمْ وَلَعَلَّهُمْ يَتَفَكَّرُونَ
Penjelasan itu kemudian oleh para ulama diperinci ke berbagai bentuk penjelasan. Secara garis besar ada 4 makna fungsi penejelasan hadis terhadap al-Qur’an, sebagai berikut:[22]
a.      Bayān Taqrīr
Hadis memperkuat penjelasan al-Qur’an (ta’kīd). Artinya hadis menjelaskan apa yang sudah dijelaskan oleh al-Qur’an. Misalnya, hadis “….بني الإسلام على خمس” yang memperkuat keterangan perintah shalat, zakat, puasa, dalam al-Qur’an surah al-Baqarah: 83 dan 183, dan perintah haji pada surah Āli ‘Imrān: 97.
b.      Bayān Tafsīr
Hadis dalam fungsi ini terbagi pada beberapa bagian, yaitu:
·         Tafsīl Mujmal
Hadis dalam fungsi ini di antaranya ialah hadis yang menjelaskan segala sesuatu yang hubungannya dengan ibadah dan hukum-hukumnya, dari segi pratiknya, syarat, waktu, dan tata caranya, seperti masalah shalat di mana dalam al-Qur’an tidak disebutkan secara rinci tentang bilangan raka’at, waktu, rukun, syarat, dan sebagainya. Tetapi semua itu dijelaskan oleh sunnah.[23]
·         Takhshīsh al-‘Ām
Hadis dalam kategori ini ialah seperti hadis yang mengkhususkan makna Zhalim dalam firman Allah swt. (QS. al-An’am: 82). Bahwa yang dimaksud zhalim pada ayat tersebut adalah menyekutukan Tuhan. Peristiwanya ialah sewaktu ayat tersebut turun, sebagian shahabat mengira bahwa yang dimaksud zhalim pada ayat tersebut ialah zhalim dalam arti umum, sehingga dia berucap, “siapakah di antara kita yang tidak zhalim?, kemudian Nabi saw. menjawab, “bukan itu yang dimaksud, tetapi yang dimaksud zhalim pada ayat itu ialah menyekutukan Tuhan (syirik)”.[24]
·         Taqyīd al-Muthlaq
Hadis membatasi kemutlakan ayat al-Qur’an. Misalnya firman Allah tentang potong tangan bagi pencuri dalam surah al-Māidah: 38, dianggap mutlak tanpa ada penjelasan batas tangan yang harus dipotong, apakah sikut, pundak, atau pergelangan tangan. Kemudian pembatasan itu baru dijelaskan hadis ketika ada seorang pencuri diputuskan hukumannya dengan dipotong tangan sampai pergelangan tangan. [25]
c.       Bayān Naskhī
Hadis menghapus hukum yang diterangkan dalam al-Qur’an. [26] Misalnya kewajiban wasiat yang dijelaskan dalam surah al-Baqarah: 180, yang dinasakh dengan hadis:
إن الله قد أعطى كل ذي حق حقه ولا وصية لوارث.
d.      Bayān Tasyrī‘i
Hadis juga terkadang menciptakan hukum syariat yang belum dijelaskan oleh al-Qur’an. Para ulama berbeda pendapat tentang fungsi ini. Mayoritas berpendapat bahwa sunnah berdiri sendiri sebagai dalil hukum dan lainnya berpendapat bahwa sunnah menetapkan dalil yang tersirat secara implisit dalam teks al-Qur’an. Misalnya, keharaman jual beli dengan berbagai cabangnya menerangkan yang tersirat dalam surah al-Baqarah: 275 dan al-Nisā’: 29. Demikian juga keharaman makan daging keledai ternak, keharaman setiap binatang yang berbelalai, dan keharaman menikahi seorang wanita bersama bibinya. [27]
Kenyataan-kenyataan di atas menunjukkan betapa penting dan strategisnya posisi hadis dalam pondasi ajaran Islam. Sehingga, tidak berlebihan jika sebagian ulama bertutur bahwa al-Qur’an lebih membutuhkan hadis daripada sebaliknya.[28]

4.      Kedudukan Hadits Terhadap Hukum Islam
Al-Qur’an dan Hadis merupakan dua sumber hukum syariat islam yang tetap, yang orang islam tidak mungkin memahami syariat islam secara mendalam dan lengkap dengan tanpa kembali kepada kedua sumber islam tersebut.
Banyak ayat Al-Qur’an dan Hadis yang memberikan pengertian bahwa hadis itu merupakan sumber hukum islam selain al-qur’an yang wajib diikuti, baik dalam perintah maupun larangannya. Uraian di bawah ini merupakan paparan tantang kedudukan hadis sebagai sumber hukum islam dengan melihat beberapa dalil
Dalam salah satu pesan Rasulullah saw, berkenaan dengan keharusan menjadikan hadis sebagai pedoman utamanya. Beliau bersabda:
تركت فيكم أمرين لن تضلوا ما تمسكتم بهما كتاب الله وسنة نبيه (رواه مالك)
Artinya : Aku tinggalkan dua pusaka untukmu sekalian, yang kalian tidak akan akan tersesat selagi kamu berpegang teguh pada keduanya, yang berupa kitab Allah dan Sunnah Rasul-Nya. (HR. Malik)
Hadis di atas menunjukkan kepada kita bahwa berpegang teguh kepada hadis atau menjadikan hadis sebagai pegangan dan pedoman hidup adalah wajib, sebagaimana berpegang teguh pada Al-Qur’an.
Disisi lain, umat Islam telah sepakat menjadikan hadis sebagai salah satu dasar hukum beramal; karena sesuai dengan yang dikehendaki Allah. Kesepakatan umat muslimin dalam mempercayai, menerima dan mengamalkan segala ketentuan yang terkandung di dalam hadis ternyata sejak Rasulullah masih hidup. Banyak peristiwa menunjukkan adanya kesepakatan menggunakan hadis sebagai sumber hukum islam, sebagai berikut:
Ketika Abu Bakar di baiat menjadi khalifah, ia pernah berkata, “Saya tidak meninggalkan sedikitpun sesuatu yang diamalkan/dilaksanakan oleh Rasulullah, sesungguhnya saya takut tersesat bila meninggalkan perintahnya.”
Saat Umar berada di depan Hajar Aswad ia berkata, “Saya tahu bahwa engkau adalah batu. Seandainya saya tidak melihat Rasulullah menciummu, saya tidak akan menciummu.”




BAB III
PENUTUP
A.     Kesimpulan
Ditinjau dari segi aksiologis hadits merupakan sumber hukum kedua setelah al-Qur’an.Al-Qur’an dan Hadis memiki kaitan yang sangat erat sehingga untuk memahaminya dan mengamalkannya tidak bisa dipisahkan atau berjalan sendiri-sendiri. Di antara fungsi hadis yaitu sebagai bayan al-taqrir, bayan al-tafsir, bayan al-nasakh, dan bayan al-tasyri’.

A.    Implikasi
Adapun implikasi dari penulisan makalah ini agar kiranya pembaca dapat memahami materi yang telah dibahas pada makalah ini sehingga dapat menjadi khazanah pengetahuan. Penulis juga menyadari bahwa penulisan makalah ini masih jauh dari kesempurnaan, sehingga penulis sangat mengharapkan kritik dan saran dari pembaca demi kesempurnaan penulisan selanjutnya.




Daftar Pustaka
‘Itr, Nu>r al-Di>n. Manhaj al-Naqd fi> ‘Ulu>m al-H{adi>s\. Beirut: Da>r al-Fikr, 1997.
Ahmad, Arifuddin. Paradiqma Baru Memahami Hadis Nabi Refleksi Pembaruan Pemikiran Prof. Dr. Muhammad Syuhudi Ismail. Cet. I Jakarta: Renaisan, 2005.
Amin, Muhammadiyah. Menembus Lailatul Qadr: Perdebatan interpretasi hadis tekstual dan kontekstual. Cet. I; Makassar: Melania Press, 2004.
Ash Shiddieqy, Hasbi. et al, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis. Cet.I; Semarang: Pustaka Rizki Putra, 1997.
Azami, M. M. Hadis Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya, terj. Ali Mustafa Ya‘qub, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1994.
_______. Studies in Hadis Methodology and Literature, Terj. Meth Kieraha Jakarta: Lentera, 2003.
_______. Dirāsāt fī  al-Hadīs al-Nabawī wa Tārikh Tadwīnih Beirut: al-Maktab al-Islāmī, 1992.
al-Damini, Maqayis Naqd Mutun  al-Sunnah, Riyadh: Jami’ah Ibn Sa’ud, 1984.
Darmalaksana, Wahyuddin. Hadis di Mata Orientalis: Telaah atas Pandangan Ignaz Goldziher dan Joseph Schacht. Bandung: Benang Merah Press, 2004.
al-Fayyumi>, Ahmad ibn Muhammad. al-Mishbah al-Munir fi> Ghari>b al-Syarh al-Kabi>r li al-Rafi’i>. Juz I Beirut: Da>r al-Kutub al-Ilmi>yah, 1978.
al-Hasani, Muhammad bin 'Alawi al-Maliki. al-Manhal al-Latif fi ‘Usul al-Hadis al-Syarif, 1999.
Husain, ‘Abd Mun’im Muhammad. al-Qa>mus al-Fa>risiyah, al-Qa>hirah: Da>r  al-Kita>b al-Mis}riy dan Beirut: Da>r al-Kitab al-Lubnan, 1982.
Ibn Fa>ris, Abu> al-Husai>n Ahmad Mu’jam Maqa>yi<s al-Lugah. Bai>ru>t: Ittih}a>d al-Kita>b al-‘Arab, 1423 H/2002 M.
Ibn Manz{ur, Muhammad ibn Mukrim al-Afriqi> al-Mishri. Lisa>n al-Arab. Juz II, Cet. I; Beirut: Da>r al-Shadr, t.th.
Ibn Shalah, Ulum al-Hadis, (Madinah al-Munawwarah: al-Maktabah al-Ilmiyyah, 1972.
Isma>il, M. Syuhudi. Kaedah Keshahihan Sanad Hadis. Cet. II; Jakarta: PT Bulan Bintang, 1995
_______. Hadis Nabi menurut Pembela, Pengingkar, dan Pemalsunya. Jakarta: Gema Insani Press.
Jumantoro, Totok. Kamus Ilmu Hadis. Cet. II; Jakarta: PT Bumi Aksara, 2002.
Khalla>f, ‘Abd al-Wahha>b. Ilm Us}u>l al-Fiqh. Cet. XII; Kuwait: Da>r al-Qalam, 1978.
al-Khat}i>b, Muh}ammad ‘Ajja>j. al-Sunnah Qabl al-Tadwi>n. Beirut: Da>r al-Fikr, 1989.
Khon, Abdul Majid. Ulumul Hadis. Cet. I; Jakarta: Amzah, 2008.
al-Maliki, Muhammad Alawi. Ilmu Ushul Hadis, terj. Adnan Qahar, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, cet.3, 2012.
Munjid fi> al-Lugah wa al-A’la>m Beirut: Da>r al-Masyriq, 1984.
Must}afa, Ibrahim, et.all. Al-Mu’jam al – wasit}, t.th,  h. 992.
M. Syuhudi Ismail, Metode Penelitian Hadis Nabi (Cet. I; Jakarta: Bulan Bintang, 1992), h. 13.

al-Qardāwiy, Yūsuf. al-Qur’an dan al-Sunnah, terj. Bahruddin Fanani (Jakarta: Rabbani Press, 1997.
al-Qasimi, Muhammmad Jamaluddin. Qawa’id al-Tahdis min Funun Mustalaha al-Hadis (Bairut : Dar al-Kutub al-Islami), h.  61.
al-Qatta>n, Manna>‘. Maba>h}is\ fi| Ulu>m al-H{adi>s\. Cet. VIII; Maktabah Wahbah, 1412 H/1992 M.
al-Ra>zi, Muhammad ibn Abu> Bakr ibn ‘Abd al-Qa>dir. Mukhta>r al-S{ih{ah. Bai>ru>t: Maktabah Lubna>n Na>s}iru>n, 1415 H/1995 M.
Rowad, Muhammad Ali. Ulum al-Qur’an wa al-Hadis . Oman : Dar al-Basyiah, 1984.
al-S{a>lih, S}ubhi. ‘Ulu>m al-H{adi>s\ wa Mus}t}alah}uhu>. Beirut: Da>r al-‘Ilm al-Mala>yi>n, 1977.
al-Salim, 'Umar Abd al-Mun'im. Taifsir al 'Ulum al-Hadis. Kairo :Maktabah ibn Taimiyah, 1997.
al-Siba>‘iy Must}afa>. al-Sunnah wa Maka>natuha> fi> Tasyri>‘ al-Isla>miy. Beirut: al-Maktabah al-Islamiy 1405 H/1985 M.
Solahudin , Agus dan Agus Suyadi. Ulumul Hadis Cet. I; Bandung:  CV Pustka Setia, 2009.
al-Syāfi‘ī. al-Umm. Jilid VII, Beirut: Dār al-Fikr, [t.th].
Syah, Ismail Muh}ammad. Filsafat Hukum Islam. Cet. II; Jakarta: Bumi Aksara, 1998.
al-Tahha>n, Mah}mu>d. Taisi>r Must}alah} al-H{adi>s\. Riyad, Maktabah al-Ma‘a>rif, 1407 H/1987 M.
Ya‘qub,  Ali Mustafa. Kritik Hadis. Jakarta: Pustaka Firdaus, 2008.
Zuhri, “Hadis dalam Pemikiran Mohamed Arkoun”, Jurnal Studi Ilmu-ilmu al-Qur’an dan Hadis. Yogyakarta: Penerbit Jurusan Tafsir Hadis UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2005, Vol. 6, No. 1, Januari 2005.


[1]Nawir Yuslem, Ulumul Hadits (Jakarta : PT. Mutiara Sumber Widya), h. 1.
[2] M. Syuhudi Ismail, Metode Penelitian Hadis Nabi (Cet. I; Jakarta: Bulan Bintang, 1992), h. 13.
[3]Muhammadiyah Amin, Menembus Lailatul Qadr: Perdebatan interpretasi hadis tekstual dan kontekstual  (Cet. I; Makassar: Melania Press, 2004), h. 1
[4]Arifuddin Ahmad, Paradiqma Baru Memahami Hadis Nabi Refleksi Pembaruan Pemikiran Prof. Dr. Muhammad Syuhudi Ismail Cet. I (Jakarta: Renaisan, 2005), h. 1-2
[5]Muhammad ibn Mukrim ibn Manz{ur al-Afriqi> al-Mishri>, Lisa>n al-Arab, Juz II (Cet. I; Beirut: Da>r al-Shadr, t. th.), h. 131.
[6]Syuhudi Isma>il, Kaedah Keshahihan Sanad Hadis, (Cet. II; Jakarta: PT Bulan Bintang, 1995), h. 26. Lihat juga Ahmad ibn Muhammad al-Fayyumi>, al-Mishbah al-Munir fi> Ghari>b al-Syarh al-Kabi>r li al-Rafi’i>, Juz I (Beirut: Da>r al-Kutub al-Ilmi>yah, 1978), h. 150-151.
[7]Agus Solahudin dan Agus Suyadi, Ulumul Hadis, (Cet. I; Bandung:  CV Pustka Setia, 2009), h. 13; Lihat juga  M. M. Azami, Studies in Hadis Methodology and Literature, Terj. Meth Kieraha (Jakarta: Lentera, 2003), h. 21-23.
[8]Mah}mu>d al-T{ah}h}a>n, Tafsi>r Mus}t}alah} al-H{adi>s\ (Beirut: Da>r al-Qur’a>n al-Kari>m, 1979), h. 14.
[9]Nu>r al-Di>n ‘Itr, Manhaj al-Naqd fi> ‘Ulu>m al-H{adi>s\ (Beirut: Da>r al-Fikr, 1997), h. 26.
[10]Wahyuddin Darmalaksana, Hadis di Mata Orientalis: Telaah atas Pandangan Ignaz Goldziher dan Joseph Schacht (Bandung: Benang Merah Press, 2004), h. 19.
[11] Abdul Majid Khon, Ulumul Hadis (Jakarta: AMZAH, 2009), h. 4.
[12]Ibn Manz}u>r, Lisa>n al-‘Arab, Juz. XIII (Beirut: Da>r S}a>dir, [t.th.]), h. 226.
[13]Ali Mustafa Ya‘qub, Kritik Hadis. Jakarta: Pustaka Firdaus, 2008.., h. 32.
[14]Mus}t}afa> al-Siba‘i>>, Al-Sunnah wa Maka>natuha> fi al-Tasyri>‘ al-Isla>mi> ([t.t.]: Da>r al-Qaumiyah, 1966), h. 53.
[15]S}ubhi al-S{a>lih, ‘Ulu>m al-H{adi>s\ wa Mus}t}alah}uhu>. Beirut: Da>r al-‘Ilm al-Mala>yi>n, 1977.., h. 6.
[16] Muhammad Musthāfa Azami, Dirāsāt fī  al-Hadīs al-Nabawī wa Tārikh Tadwīnih (Beirut: al-Maktab al-Islāmī, 1992). h. 46-50.
[17]Aktualisasi prinsip-prinsip dasar al-Qur’an yang bersifat teoritik dioperasionalisasikan oleh Nabi saw. melalui peneladanan. Lihat: Yūsuf al-Qardāwiy, al-Qur’an dan al-Sunnah, terj. Bahruddin Fanani (Jakarta: Rabbani Press, 1997),  h. 61.
[18]Lihat: QS. al-Nah}l: 44; dan QS. al-Māidah: 67.
[19]Lihat: QS. al-A‘rāf: 157.
[20]Lihat: QS. al-Ahzāb: 21.
[21]Lihat: QS. al-Nisā’: 80; QS. Al-Hasyr: 7.
[22]Abd Majid Khon, Ulumul Hadis (Cet. I; Jakarta: Amzah, 2008), h. 16-20.
[23] Muhammad Alawi al- Maliki, Ilmu Ushul Hadis, terj. Adnan Qahar, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, cet.3, 2012), h. 10.
[24] Muhammad Alawi al- Maliki, Ilmu Ushul Hadis, terj. Adnan Qahar, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, cet.3, 2012), h. 9-10.
[25] Muhammad Alawi al- Maliki, Ilmu Ushul Hadis, h. 9-10.
[26] Muhammad Alawi al- Maliki, Ilmu Ushul Hadis, h. 9-10.
[27] Muhammad Alawi al- Maliki, Ilmu Ushul Hadis, h. 9-10.
[28]Perbedaan keduanya hanya pada tingkat otentitasnya, tidak pada substansinya. Karenanya, hadis juga disebut wahyu gair matluw. Lihat: Al-Syāfi‘ī, al-Umm, Jilid VII (Beirut: Dār al-Fikr, [t.th]), h. 271.

No comments:

Makalah: Mahabbah, Makrifah

BAB I PENDAHULUAN   A.      Latar Belakang Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi membawa manusia larut dan terbuai dalam din...