Monisme
Monisme (monism) berasal dari kata Yunani yaitu monos (sendiri, tunggal) secara istilah monisme adalah suatu paham
yang berpendapat bahwa unsur pokok dari segala sesuatu adalah unsur yang
bersifat tunggal/ Esa. Unsur dasariah ini bisa berupa materi, pikiran, Allah,
energi dll. Bagi kaum materialis unsur itu adalah materi, sedang bagi kaum
idealis unsur itu roh atau ide.[1][21] Orang yang
mula-mula menggunakan terminologi monisme adalah Christian Wolff (1679-1754). Dalam aliran ini tidak dibedakan
antara pikiran dan zat. Mereka hanya berbeda dalam gejala disebabkan proses
yang berlainan namun mempunyai subtansi yang sama. Ibarat zat dan energi dalam
teori relativitas Enstein, energi hanya merupakan bentuk lain dari zat.[2][22] Atau dengan
kata lain bahwa aliran monisme menyatakan bahwa hanya ada satu kenyataan yang
fundamental.[3][23]
Adapun para filsuf yang menjadi
tokoh dalam aliran ini antara lain: Thales (625-545 SM), yang menyatakan bahwa
kenyataan yang terdalam adalah satu subtansi yaitu air.[4][24]
Pendapat ini yang disimpulkan oleh Aristoteles (384-322 SM) , yang mengatakan
bahwa semuanya itu air. Air yang cair itu merupakan pangkal, pokok dan dasar (principle) segala-galanya. Semua barang
terjadi dari air dan semuanya kembali kepada air pula.[5][25]
Bahkan bumi yang menjadi tempat tinggal manusia di dunia, sebagaian besar
terdiri dari air yang terbentang luas di lautan dan di sungai-sungai. Bahkan
dalam diri manusiapun, menurut dr Sagiran, unsur penyusunnya sebagian besar
berasal dari air.[6][26] Tidak heran
jika Thales, berkonklusi bahwa segala sesuatu adalah air, karena memang semua
mahluk hidup membutuhkan air dan jika tidak ada air maka tidak ada kehidupan.
Sementara itu Anaximandros (610-547 SM) menyatakan bahwa prinsip dasar alam
haruslah dari jenis yang tak terhitung dan tak terbatas yang disebutnya sebagai
apeiron yaitu suatu zat yang tak
terhingga dan tak terbatas dan tidak dapat dirupakan dan tidak ada persamaannya
dengan suatu apapun. Berbeda dengan gurunya Thales, Anaximandros, menyatakan bahwa
dasar alam memang satu akan tetapi prinsip dasar tersebut bukanlah dari jenis
benda alam seperti air. Karena menurutnya segala yang tampak (benda) terasa
dibatasi oleh lawannya seperti panas dibatasi oleh yang dingin.[7][27] Aperion yang dimaksud Anaximandros, oleh
orang Islam disebutnya sebagai Allah. Jadi bisa dikatakan bahwa pendapat
Anaximandros yang mengatakan bahwa terbentuknya alam dari jenis yang tak
terbatas dan tak terhitung, dibentuk oleh Tuhan Yang Maha Esa. Hal ini pula
yang dikatakan Ahmad Syadali dan Mudzakir (1997) bahwa yang dimaksud aperion adalah Tuhan.[8][28] Anaximenes
(585-494 SM), menyatakan bahwa barang yang asal itu mestilah satu yang ada dan
tampak (yang dapat diindera). Barang yang asal itu yaitu udara. Udara itu
adalah yang satu dan tidak terhingga. Karena udara menjadi sebab segala yang
hidup. Jika tidak ada udara maka tidak ada yang hidup. Pikiran kearah itu
barang kali dipengaruhi oleh gurunya Anaximandros, yang pernah menyatakan bahwa
jiwa itu serupa dengan udara. Sebagai kesimpulan ajaranya dikatakan bahwa
sebagaimana jiwa kita yang tidak lain dari udara, menyatukan tubuh kita.
Demikian udara mengikat dunia ini menjadi satu.[9][29] Sedang filsuf
moderen yang menganut aliran ini adalah B.
Spinoza yang berpendapat bahwa hanya ada satu substansi yaitu Tuhan. Dalam
hal ini Tuhan diidentikan dengan alam (naturans
naturata).[10][30]
Dualisme
Dualisme (dualism) berasal dari kata Latin yaitu duo (dua). Dualisme adalah ajaran yang menyatakan realitas itu
terdiri dari dua substansi yang berlainan dan bertolak belakang. Masing-masing
substansi bersifat unik dan tidak dapat direduksi, misalnya substansi adi
kodrati dengan kodrati, Tuhan dengan alam semesta, roh dengan materi, jiwa
dengan badan dll.[11][31] Ada pula yang
mengatakan bahwa dualisme adalah ajaran yang menggabungkan antara idealisme dan
materialisme, dengan mengatakan bahwa alam wujud ini terdiri dari dua hakikat
sebagai sumber yaitu hakikat materi dan ruhani.[12][32]
Dapat dikatakan pula bahwa dualisme adalah paham yang memiliki ajaran bahwa
segala sesuatu yang ada, bersumber dari dua hakikat atau substansi yang berdiri
sendiri-sendiri. Orang yang pertama kali menggunakan konsep dualisme adalah Thomas Hyde (1700), yang mengungkapkan
bahwa antara zat dan kesadaran (pikiran) yang berbeda secara subtantif.[13][33] Jadi adanya
segala sesuatu terdiri dari dua hal yaitu zat dan pikiran. Yang termasuk dalam
aliran ini adalah Plato (427-347 SM)[14][34],
yang mengatakan bahwa dunia lahir adalah dunia pengalaman yang selalu
berubah-ubah dan berwarna-warni. Semua itu adalah bayangan dari dunia idea.
Sebagai bayangan, hakikatnya hanya tiruan dari yang asli yaitu idea. Karenanya
maka dunia ini berubah-ubah dan bermacam-macam sebab hanyalah merupakan tiruan
yang tidak sempurna dari idea yang sifatnya bagi dunia pengalaman.
Barang-barang yang ada di dunia ini semua ada contohnya yang ideal di dunia
idea sana (dunia idea).[15][35] Lebih lanjut
Plato mengakui adanya dua substansi yang masing-masing mandiri dan tidak saling
bergantung yakni dunia yang dapat diindera dan dunia yang dapat dimengerti,
dunia tipe kedua adalah dunia idea yang bersifat kekal dan hanya ada satu.
Sedang dunia tipe pertama adalah dunia nyata yang selalu berubah dan tak
sempurna.[16][36] Apa yang
dikatakan Plato dapat dimengerti seperti yang dibahasakan oleh Surajiyo (2005),
bahwa dia membedakan antara dunia indera (dunia bayang-bayang) dan dunia ide
(dunia yang terbuka bagi rasio manusia). Rene Descartes (1596-1650 M) seorang
filsuf Prancis, mengatakan bahwa pembeda antara dua substansi yaitu substansi
pikiran dan substansi luasan (badan). Jiwa dan badan merupakan dua sebstansi
terpisah meskipun didalam diri manusia mereka berhubungan sangat erat.[17][37] Dapat
dimengerti bahwa dia membedakan antara substansi pikiran dan substansi keluasan
(badan). Maka menurutnya yang bersifat nyata adalah pikiran. Sebab dengan
berpikirlah maka sesuatu lantas ada, cogito
ergo sum! (saya berpikir maka saya ada).[18][38]
Leibniz (1646-1716) yang membedakan antara dunia yang sesungguhnya dan dunia
yang mungkin. Immanuel Kant (1724-1804) yang membedakan antara dunia gejala
(fenomena) dan dunia hakiki (noumena).[19][39]
Pluralisme
Pluralisme (Pluralism)
berasal dari kata Pluralis (jamak).
Aliran ini menyatakan bahwa realitas tidak terdiri dari satu substansi atau dua
substansi tetapi banyak substansi yang bersifat independen satu sama lain.
Sebagai konsekuensinya alam semesta pada dasarnya tidak memiliki kesatuan,
kontinuitas, harmonis dan tatanan yang koheren, rasional, fundamental.
Didalamnya hanya terdapat pelbagi jenis tingkatan dan dimensi yang tidak dapat
diredusir. Pandangan demikian mencangkup puluhan teori, beberapa diantaranya
teori para filosuf yunani kuno yang menganggap kenyataan terdiri dari udara,
tanah, api dan air.[20][40] Dari pemahaman
diatas dapat dikemukakan bahwa aliran ini tidak mengakui adanya satu substansi
atau dua substansi melainkan banyak substansi,[21][41]
karena menurutnya manusia tidak hanya terdiri dari jasmani dan rohani tetapi
juga tersusun dari api, tanah dan udara yang merupakan unsur substansial dari
segala wujud.[22][42] Para filsuf
yang termasuk dalam aliran ini antara lain: Empedakles (490-430 SM), yang
menyatakan hakikat kenyataan terdiri dari empat unsur, yaitu api, udara, air
dan tanah. Anaxogoras (500-428 SM), yang menyatakan hakikat kenyataan terdiri
dari unsur-unsur yang tidak terhitung banyaknya, sebab jumlah sifat benda dan
semuanya dikuasai oleh suatu tenaga yang dinamakan nous[23][43] yaitu suatu zat yang paling
halus yang memiliki sifat pandai bergerak dan mengatur.[24][44]
[1][21]
Save M. Dagun, Kamus Besar Ilmu
Pengetahuan, Jakarta: Lembaga Pengkajian Kebudayaan Nusantara (LPKN), 1997,
hal. 681.
[2][22]
Jujun S Suriasumantri, Filsafat Ilmu;
Sebuah Pengantar Populer, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1988, hal. 66
[3][23]
Surajiyo, Filsafat Ilmu Suatu Pengantar,
Jakarta: PT Bumi Aksara, 2005, hal. 118.
[4][24] Ibid.
[5][25]
Ahmad Syadali dan Mudzakir, Filsafat Umum,
Bandung: PT Pustaka Setia, 1997, hal. 40.
[6][26]
Disampaikan dalam kulaiah Sains dalam Perspektif Al-Qur,an di FAI UMY, 2009.
[7][27]
Ahmad Syadali dan Mudzakir, Filsafat Umum,
Bandung: PT Pustaka Setia, 1997, hal. 40.
[8][28] Idib., hal.44.
[9][29] Ibid., 45.
[10][30]
Surajiyo, Filsafat Ilmu Suatu Pengantar,
Jakarta: PT Bumi Aksara, 2005, hal. 119.
[11][31]
Save M. Dagun, Kamus Besar Ilmu Pengetahuan,
Jakarta: Lembaga Pengkajian Kebudayaan Nusantara (LPKN), 1997, hal. 189.
[12][32] M.
Zainuddin, Filsafat Ilmu Perspektif
Pemikiran Islam, Malang: Bayu Media, 2003, hal. 31.
[13][33]
Jujun S Suriasumantri, 1988, hal. 66.
[14][34]
Dalam Surajiyo, 2005. Ditulis Plato (428-348 SM), perbedaan ini terjadi karena
salah pengetikan atau memang terjadi kaarena perbedaan sumber yang digunakan.
Lihat hal. 121.
[15][35]
Ahmad Syadali dan Mudzakir, Filsafat Umum,
Bandung: PT Pustaka Setia, 1997, hal. 70.
[16][36]
Save M. Dagun, Kamus Besar Ilmu
Pengetahuan, Jakarta: Lembaga Pengkajian Kebudayaan Nusantara (LPKN), 1997,
hal. 189.
[17][37] Ibid.
[18][38]
Jujun S.Suriasumantri, 1988, 66.
[19][39]
Surajiyo, 2005, hal. 121.
[20][40]
Save M. Dagun, Kamus Besar Ilmu
Pengetahuan, Jakarta: Lembaga Pengkajian Kebudayaan Nusantara (LPKN), 1997,
hal. 861.
[21][41]
Jujun S. Suriasumantri, 1988, hal. 121.
[22][42] M.
Zainuddin, 2003, hal. 31.
[23][43] Nous berasal dari bahasa Yunani yang
berarti pikiran atau intelek. Menurut Anaxagoras yaitu pikiran universal yang
mengatur dan membuat alam semesta menjadi suatu keteraturan yang rasionaldan
bisa dimengerti. Sedang menurut Aris Toteles, pikiran kekal yang bersifat
Ilahiyah tempat segala bentuk mengaktualisasikan diri sehingga bisa ditemukan
dan dimengerti atau pikiran manusia manusia yang meliputi pemahaman intelektual
dan intuitif atas ide-ide yang bersifat fundamental. (Save M. Dagun, 1997, hal.
728).
[24][44] Surajiyo,
2005, hal. 121.
No comments:
Post a Comment