
![]() |
Dosen Pemandu:
Prof. Dr. H. Muhammad Ramli., M.Si
Dr. Sulaiman Saat, M.Pd
Oleh:
ASRUL RAHMAN
NIM: 80200216064
PROGRAM PASCASARJANA
UIN ALAUDDIN MAKASSAR
2017

Nama : Asrul Rahman
NIM :
80200216064
Kelompok : 7 (Tujuh)
Judul : Substansi Ilmu
Pengetahuan “Ontologi”
Dosen Pemandu : 1. Prof. Dr. H. Muhammad Ramli, M.Si
2.
Dr. Sulaiman Saat, M.Pd
|
I.
PENDAHULUAN
Manusia merupakan makhluk sempurna yang dibekali akal sebagai
pembeda dengan makhluk lainnya yang diciptakan seperti hewan dan tumbuhan.
Kesempurnaan penciptaan manusia menjadi satu hal yang melebihkan manusia dari
makhluk lainnya yang tidak bekali akal sebagai media untuk mengembangkan
potensi yang dimilikinya.

Melalui pengalaman yang dilihat dan dilaluinya, manusia kemudian
memiliki pengetahuan. Pengetahuan yang dimiliki oleh manusia tersebut
melahirkan ide, kumpulan ide yang dimiliki oleh manusia kemudian melahirkan
pikiran yang bermuara pada sebuah konsep. Konsep yang lahir dari kumpulan
pikiran manusia melahirkan proposisi yang bercabang menjadi dua bidang kajian
yaitu postula (sosial) dan axioma (eksact). Postula sebagai
bidang kajian dari proposisi membentuk cara pandang yang berujung pada lahirnya
sebuah paradigma berfikir. Hasil dari paradigma berfikir ini melahirkan sebuah
teori yang telah dianalisis melahirkan satu bidang ilmu yang sifat kebenarannya
semu sehingga memberikan peluang untuk dikritik (disempurnakan).[2]
Menurut Bambang Q-Aness dan Radea Juli A. Hambali mengatakan bahwa
berfilsafat adalah mengajukan pertanyaan, dan pertanyaan menjadi dasar dari
keempat unsur filsafat yang meliputi metafisika, logika, ontologi dan
ilmu.[3]
Sedangkan Jalaluddin berpendapat bahwa lapangan akal pikiran dalam filsafat
mencakup tiga hal penting, yaitu ontologi, epistemologi, dan aksiologi.[4]
Apa yang diungkapkan oleh Jalaluddin ini kemudian dikenal sebagai filsafat ilmu
pengetahuan yang meliputi sub pokok kajiannya yaitu ontologi, epistemologi
dan aksiologi.
Sehubungan dengan luasnya kajian filsafat khususnya filsafat ilmu
pengetahuan, maka dalam penulisan karya ilmiah ini penulis lebih khusus
membahas tentang substansi ilmu pengetahuan dalam sudut pandang ontologi.
II.
SUBSTANSI ILMU PENGETAHUAN “ONTOLOGI”
A.
Pengertian Ontologi
Ontologi berasal dari
bahasa Yunani on (ada), dan ontos berarti keberadaan, sedangkan logos
berarti pemikiran. Jadi ontologi adalah pemikiran mengenai yang ada dan
keberadaannya.[5]
Sedangkan Amsal Bakhtiar berpendapat bahwa pembahasan tentang ontologi
sebagai dasar ilmu berusaha untuk menjawab “apa” yang menurut Aristoteles
merupakan The First Philosophy dan merupakan ilmu mengenai esensi benda.
Kata ontologi berasal dari bahasa Yunani, yaitu On=being,
dan Logos=logic. Jadi, ontologi adalah The Theory of
Being Qua Being (teori tentang keberadaan sebagai keberadaan).[6] Jujun S.
Suriasumantri mengatakan bahwa ontologi membahas apa yang ingin kita
ketahui, seberapa jauh kita ingin tahu, atau dengan perkataan lain suatu
pengkajian mengenai yang “ada”.[7]
Lebih jauh Prasetya berpandangan bahwa ontologi merupakan bentuk
perhatian yang penuh dan tertinggi dalam teori pendidikan yang mengandung
permasalahan filosofis utama.[8] Menurut Sidi Gazalba, ontologi mempersoalkan sifat dan
keadaan terakhir dari kenyataan. Karena itu, disebut ilmu hakikat yang
bergantung pada pengetahuan, jika dikaitkan dalam agama maka ontologi
mempersoalkan tentang Tuhan.[9]
Pendapat ini diperjelas oleh Ahmad Tafsir bahwa objek kajian ontologi
mencakup tentang objek-objek dipikirkan secara mendalam sampai kepada
hakikatnya.[10]
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa ontologi
adalah salah satu objek kajian filsafat ilmu pengetahuan yang membahas tentang
hakikat yang ada dan keberadaannya dengan pembatasam .
B.
Aliran-Aliran Ontologi
1. Monoisme
Monisme (monism) berasal dari
kata Yunani yaitu monos (sendiri,
tunggal) secara istilah monisme adalah suatu paham yang berpendapat bahwa unsur
pokok dari segala sesuatu adalah unsur yang bersifat tunggal/ Esa. Unsur
dasariah ini bisa berupa materi, pikiran, Allah, energi dll. Bagi kaum
materialis unsur itu adalah materi, sedang bagi kaum idealis unsur itu roh atau
ide.[11]
Orang yang mula-mula menggunakan terminologi monisme adalah Christian Wolff (1679-1754), yang mana
dalam aliran ini tidak dibedakan antara pikiran dan zat. Mereka hanya berbeda
dalam gejala disebabkan proses yang berlainan namun mempunyai subtansi yang
sama. Ibarat zat dan energi dalam teori relativitas Enstein, energi hanya
merupakan bentuk lain dari zat.[12] Atau
dengan kata lain bahwa aliran monisme menyatakan bahwa hanya ada satu kenyataan
yang fundamental.[13]
Adapun para filsuf yang menjadi tokoh dalam aliran ini antara lain: Thales
(625-545 SM), yang menyatakan bahwa kenyataan yang terdalam adalah satu
subtansi yaitu air.[14]
Pendapat ini yang disimpulkan oleh Aristoteles (384-322 SM) yang mengatakan
bahwa semuanya itu air. Air yang cair itu merupakan pangkal, pokok dan dasar (principle) segala-galanya. Semua barang
terjadi dari air dan semuanya kembali kepada air pula. [15] Bahkan
bumi yang menjadi tempat tinggal manusia di dunia, sebagaian besar terdiri dari
air yang terbentang luas di lautan dan di sungai-sungai. Bahkan dalam diri
manusiapun unsur penyusunnya sebagian besar berasal dari air. Tidak heran jika
Thales, berkonklusi bahwa segala sesuatu adalah air, karena memang semua mahluk
hidup membutuhkan air dan jika tidak ada air maka tidak ada kehidupan.
Sementara itu Anaximandros (610-547 SM) menyatakan bahwa prinsip dasar alam
haruslah dari jenis yang tak terhitung dan tak terbatas yang disebutnya sebagai
apeiron yaitu suatu zat yang tak
terhingga dan tak terbatas dan tidak dapat dirupakan dan tidak ada persamaannya
dengan suatu apapun. Berbeda dengan gurunya Thales, Anaximandros, menyatakan
bahwa dasar alam memang satu akan tetapi prinsip dasar tersebut bukanlah dari
jenis benda alam seperti air. Karena menurutnya segala yang tampak (benda)
terasa dibatasi oleh lawannya seperti panas dibatasi oleh yang dingin. [16]
Aperion yang dimaksud Anaximandros, oleh orang Islam disebutnya sebagai Allah. Jadi
bisa dikatakan bahwa pendapat Anaximandros yang mengatakan bahwa terbentuknya
alam dari jenis yang tak terbatas dan tak terhitung, dibentuk oleh Tuhan Yang
Maha Esa. Hal ini pula yang dikatakan Ahmad Syadali dan Mudzakir (1997) bahwa
yang dimaksud aperion adalah Tuhan.[17]
Anaximenes (585-494 SM), menyatakan bahwa barang yang asal itu mestilah
satu yang ada dan tampak (yang dapat diindera). Barang yang asal itu yaitu
udara. Udara itu adalah yang satu dan tidak terhingga. Karena udara menjadi
sebab segala yang hidup. Jika tidak ada udara maka tidak ada yang hidup.
Pikiran kearah itu barang kali dipengaruhi oleh gurunya Anaximandros, yang
pernah menyatakan bahwa jiwa itu serupa dengan udara. Sebagai kesimpulan
ajaranya dikatakan bahwa sebagaimana jiwa kita yang tidak lain dari udara,
menyatukan tubuh kita. Demikian udara mengikat dunia ini menjadi satu.[18]
Sedang filsuf moderen yang menganut aliran ini adalah B. Spinoza yang berpendapat bahwa hanya ada satu substansi yaitu
Tuhan, dalam hal ini Tuhan diidentikan dengan alam (naturans naturata).[19]
Dalam perkembangannya, aliran ini terbagi menjadi dua, yaitu :
a. Materialisme
Aliran materialisme ini menganggap bahwa sumber yang asal itu adalah
materi, bukan rohani. Aliran pemikiran ini dipelopori oleh Bapak Filsafat yaitu
Thales (624-546 SM). Dia berpendapat
bahwa sumber asal adalah air karena pentingnya bagi kehidupan. Aliran ini
sering juga disebut naturalisme.
Menurutnya bahwa zat mati merupakan kenyataan dan satu-satunya fakta. Yang
ada hanyalah materi/alam, sedangkan jiwa / ruh tidak berdiri sendiri.
Anaximander (585-525 SM). Dia berpendapat bahwa unsur asal itu adalah
udara dengan alasan bahwa udara merupakan sumber dari segala kehidupan.[20]
Dari segi dimensinya paham ini sering dikaitkan dengan teori Atomisme.
Menurutnya semua materi tersusun dari sejumlah bahan yang disebut unsur.
Unsur-unsur itu bersifat tetap tak dapat dirusakkan. Bagian-bagian yang
terkecil dari itulah yang dinamakan atom-atom. Demokritos (460-370 SM). Ia berpendapat bahwa hakikat alam ini merupakan
atom-atom yang banyak jumlahnya, tak dapat di hitung dan amat halus. Atom-atom
inilah yang merupkan asal kejadian alam.[21]
b. Idealisme
Idealisme diambil dari
kata “idea” yaitu sesuatu yang hadir dalam jiwa.[22] Aliran
ini menganggap bahwa dibalik realitas fisik pasti ada sesuatu yang tidak
tampak. Bagi aliran ini, sejatinya sesuatu justru terletak dibalik yang fisik.
Ia berada dalam ide-ide, yang fisik bagi aliran ini dianggap hanya merupakan
bayang-bayang, sifatnya sementara, dan selalu menipu. Eksistensi benda fisik
akan rusak dan tidak akan pernah membawa orang pada kebenaran sejati.[23]
Dalam perkembangannya,
aliran ini ditemui dalam ajaran Plato (428-348 SM) dengan teori idenya.
Menurutnya, tiap-tiap yang ada di dalam mesti ada idenya yaitu konsep universal
dari tiap sesuatu. Alam nyata yang menempati ruangan ini hanyalah berupa
bayangan saja dari alam ide itu. Jadi, idelah yang menjadi hakikat sesuatu,
menjadi dasar wujud sesuatu.[24]
Pendapat ini juga seperti yang dipahami oleh beberapa orang filosuf seperti Aristoteles,
George Barkeley, Immanuel Kant, Fichte, Hegel dan Schelling.
2. Dualisme
Dualisme (dualism) berasal dari kata Latin yaitu duo (dua). Dualisme adalah ajaran yang
menyatakan realitas itu terdiri dari dua substansi yang berlainan dan bertolak
belakang. Masing-masing substansi bersifat unik dan tidak dapat direduksi,
misalnya substansi adi kodrati dengan kodrati, Tuhan dengan alam semesta, roh
dengan materi, jiwa dengan badan dll.[25] Ada
pula yang mengatakan bahwa dualisme adalah ajaran yang menggabungkan antara
idealisme dan materialisme, dengan mengatakan bahwa alam wujud ini terdiri dari
dua hakikat sebagai sumber yaitu hakikat materi dan ruhani. [26]
Dapat dikatakan pula
bahwa dualisme adalah paham yang memiliki ajaran bahwa segala sesuatu yang ada,
bersumber dari dua hakikat atau substansi yang berdiri sendiri-sendiri. Orang
yang pertama kali menggunakan konsep dualisme adalah Thomas Hyde (1700), yang mengungkapkan bahwa antara zat dan
kesadaran (pikiran) yang berbeda secara subtantif.[27] Jadi
adanya segala sesuatu terdiri dari dua hal yaitu zat dan pikiran. Yang termasuk
dalam aliran ini adalah Plato (427-347 SM)[28], yang
mengatakan bahwa dunia lahir adalah dunia pengalaman yang selalu berubah-ubah
dan berwarna-warni. Semua itu adalah bayangan dari dunia idea.
Sebagai bayangan,
hakikatnya hanya tiruan dari yang asli yaitu idea. Karenanya maka dunia ini
berubah-ubah dan bermacam-macam sebab hanyalah merupakan tiruan yang tidak
sempurna dari idea yang sifatnya bagi dunia pengalaman. Barang-barang yang ada
di dunia ini semua ada contohnya yang ideal di dunia idea sana (dunia idea).[29] Lebih
lanjut Plato mengakui adanya dua substansi yang masing-masing mandiri dan tidak
saling bergantung yakni dunia yang dapat diindera dan dunia yang dapat
dimengerti, dunia tipe kedua adalah dunia idea yang bersifat kekal dan hanya
ada satu. Sedang dunia tipe pertama adalah dunia nyata yang selalu berubah dan tak
sempurna.[30]
Apa yang dikatakan
Plato dapat dimengerti seperti yang dibahasakan oleh Surajiyo (2005), bahwa dia
membedakan antara dunia indera (dunia bayang-bayang) dan dunia ide (dunia yang
terbuka bagi rasio manusia). Rene Descartes (1596-1650 M) seorang filsuf
Prancis, mengatakan bahwa pembeda antara dua substansi yaitu substansi pikiran
dan substansi luasan (badan). Jiwa dan badan merupakan dua sebstansi terpisah
meskipun didalam diri manusia mereka berhubungan sangat erat.[31]
Dapat dimengerti bahwa
dia membedakan antara substansi pikiran dan substansi keluasan (badan). Maka
menurutnya yang bersifat nyata adalah pikiran. Sebab dengan berpikirlah maka
sesuatu lantas ada, cogito ergo sum! (saya
berpikir maka saya ada).[32] Leibniz
(1646-1716) yang membedakan antara dunia yang sesungguhnya dan dunia yang
mungkin. Immanuel Kant (1724-1804) yang membedakan antara dunia gejala
(fenomena) dan dunia hakiki (noumena).[33]
3. Pluralisme
Pluralisme (Pluralism) berasal
dari kata Pluralis (jamak). Aliran
ini menyatakan bahwa realitas tidak terdiri dari satu substansi atau dua
substansi tetapi banyak substansi yang bersifat independen satu sama lain.
Sebagai konsekuensinya alam semesta pada dasarnya tidak memiliki kesatuan,
kontinuitas, harmonis dan tatanan yang koheren, rasional, fundamental. Di
dalamnya hanya terdapat pelbagi jenis tingkatan dan dimensi yang tidak dapat
diredusir.
Pandangan demikian mencangkup puluhan teori, beberapa diantaranya teori
para filosuf yunani kuno yang menganggap kenyataan terdiri dari udara, tanah,
api dan air.[34]
Dari pemahaman diatas dapat dikemukakan bahwa aliran ini tidak mengakui adanya
satu substansi atau dua substansi melainkan banyak substansi[35], karena
menurutnya manusia tidak hanya terdiri dari jasmani dan rohani tetapi juga
tersusun dari api, tanah dan udara yang merupakan unsur substansial dari segala
wujud.[36]
Para filsuf yang termasuk dalam aliran ini antara lain: Empedakles (490-430
SM), yang menyatakan hakikat kenyataan terdiri dari empat unsur, yaitu api,
udara, air dan tanah. Anaxogoras (500-428 SM), yang menyatakan hakikat
kenyataan terdiri dari unsur-unsur yang tidak terhitung banyaknya, sebab jumlah
sifat benda dan semuanya dikuasai oleh suatu tenaga yang dinamakan nous[37]yaitu suatu zat yang paling halus
yang memiliki sifat pandai bergerak dan mengatur.[38]
Paham ini berpandangan bahwa segenap macam bentuk merupakan kenyataan.
Lebih jauh lagi paham ini menyatakan bahwa kenyataan alam ini tersusun dari
banyak unsur. Tokoh aliran ini pada masa
Yunani Kuno adalah Anaxagoras dan Empedocles yang menyatakan bahwa substansi
yang ada itu terbentuk dan terdiri dari 4 unsur, yaitu tanah, air, api, dan
udara.
Tokoh modern aliran ini adalah William James (1842-1910 M) yang terkenal
sebagai seorang psikolog dan filosof Amerika. James mengemukakan bahwa tiada
kebenaran yang mutlak, yang berlaku umum, yang bersifat tetap, yang berdiri
sendiri, lepas dari akal yang mengenal. Apa yang kita anggap benar sebelumnya
dapat dikoreksi/diubah oleh pengalaman berikutnya.[39]
4. Nihilisme
Nihilisme berasal dari bahasa Latin yang berarti nothing atau tidak
ada. Doktrin tentang nihilisme sudah ada semenjak zaman Yunani Kuno, tokohnya
yaitu Gorgias (483-360 SM) yang memberikan 3 proposisi tentang realitas yaitu: Pertama,
tidak ada sesuatupun yang eksis, Kedua,
bila sesuatu itu ada ia tidak dapat diketahui,
Ketiga, sekalipun realitas itu dapat kita ketahui, ia tidak akan dapat
kita beritahukan kepada orang lain. Tokoh
modern aliran ini di antaranya: Ivan Turgeniev (1862 M) dari Rusia dan
Friedrich Nietzsche (1844-1900 M), dengan pendapatnya bahwa dunia terbuka untuk
kebebasan dan kreativitas manusia. Ia dilahirkan di Rocken di Prusia dari
keluarga pendeta.[40]
5. Agnotisisme
Paham ini mengingkari
kesanggupan manusia untuk mengetahui hakikat benda. Baik hakikat materi maupun
ruhani. Kata Agnoticisme berasal dari bahasa Greek yaitu Agnostos
yang berarti unknown. A artinya not, Gno artinya know.[41]
Timbulnya aliran ini
dikarenakan belum dapatnya orang mengenal dan mampu menerangkan secara konkret
akan adanya kenyataan yang berdiri sendiri dan dapat kita kenal.
Aliran ini seperti Filsafat
Eksistensinya Soren Kierkegaar (1813-1855 M), yang terkenal dengan
julukan sebagai Bapak Filsafat Eksistensialisme yang menyatakan bahwa
manusia tidak pernah hidup sebagai suatu aku umum, tetapi sebagai aku
individual yang sama sekali unik dan tidak dapat dijabarkan ke dalam
sesuatu orang lain. Berbeda dengan pendapat Martin Heidegger (1889-1976 M),
yang mengatakan bahwa satu-satunya yang ada itu ialah manusia, karena hanya
manusialah yang dapat memahami dirinya sendiri.
Tokoh lainnya adalah,
Jean Paul Sartre (1905-1980 M), yang mengatakan bahwa manusia selalu
menyangkal. Hakikat beradanya manusia bukan entre (ada), melainkan a
entre (akan atau sedang). Jadi, agnostisisme adalah paham
pengingkaran / penyangkalan terhadap kemampuan manusia mengetahui hakikat
benda, baik materi maupun ruhani.[42]
C.
Aspek dan Manfaat Ontologi
1. Aspek Ontologi
Ontologi membahas tentang yang ada, yang tidak terikat
oleh satu perwujudan tertentu. Dalam kaitan dengan ilmu, aspek ontologis
mempertanyakan tentang objek yang ditelaah oleh ilmu.
Secara ontologis ilmu membatasi lingkup
penelaahan keilmuannya hanya pada daerah yang berada dalam jangkauan pengalaman
manusia dan terbatas pada hal yang sesuai dengan akal manusia.
Aspek ontologi
ilmu pengetahuan tertentu hendaknya diuraikan / ditelaah secara :
a. Metodis; Menggunakan cara ilmiah
b. Sistematis; Saling berkaitan satu sama lain secara teratur dalam suatu
keseluruhan
c. Koheren; Unsur-unsurnya harus bertautan,tidak boleh mengandung uraian yang
bertentangan
d. Rasional; Harus berdasar pada kaidah berfikir yang benar (logis)
e. Komprehensif; Melihat obyek tidak hanya dari satu sisi/sudut pandang,
melainkan secara multidimensional atau secara keseluruhan (holistik)
f. Radikal; Diuraikan sampai akar persoalannya, atau esensinya
g. Universal; Muatan kebenarannya sampai tingkat umum yang berlaku di mana
saja.[43]
2. Manfaat Ontologi
Ontologi yang merupakan salah satu kajian filsafat ilmu mempunyai beberapa manfaat,
di antaranya sebagai berikut:
a.
Membantu untuk mengembangkan
dan mengkritisi berbagai bangunan sistem pemikiran yang ada.
b. Membantu memecahkan masalah pola relasi antar berbagai eksisten dan
eksistensi.[44]
Bisa mengeksplorasi
secara mendalam dan jauh pada berbagai ranah keilmuan maupun masalah, baik itu
sains hingga etika.
III.
PENUTUP
Dari penjelasan
tersebut, penyusun dapat menyimpulkan bahwa ontologi merupakan salah satu
diantara lapangan penyelidikan kefilsafatan yang paling kuno. Ontologi berasal
dari bahasa Yunani yang berarti teori tentang keberadaan sebagai keberadaan.
Pada dasarnya, ontologi membicarakan tentang hakikat tentang segala sesuatu.
Hakikat disini berarti kenyataan yang sebenarnya (bukan kenyataan yang fatamorgana).
Dalam ontologi
ditemukan pandangan-pandangan pokok pemikiran, yaitu monoisme, dualisme,
pluralisme, nihilisme, dan agnostisisme.
Monoisme adalah paham
yang menganggap bahwa hakikat asalnya sesuatu itu hanyalah satu. Asal sesuatu
itu bisa berupa materi (air, udara) maupun ruhani (spirit, ruh).
Dualisme adalah aliran
yang berpendapat bahwa asal benda terdiri dari dua hakikat (hakikat materi dan
ruhani, hakikat benda dan ruh, hakikat jasad dan spirit).
Pluralisme adalah paham
yang mengatakan bahwa segala hal merupakan kenyataan. Nihilisme adalah paham
yang tidak mengakui validitas alternatif yang positif. Dan agnostisisme adalah
paham yang mengingkari terhadap kemampuan manusia dalam mengetahui hakikat
benda.
Jadi, dapat
disimpulakan bahwa ontologi meliputi hakikat kebenaran dan kenyataan yang
sesuai dengan pengetahuan ilmiah, yang tidak terlepas dari perspektif filsafat
tentang apa dan bagaimana yang “ada” itu.
Adapun monoisme,
dualisme, pluralisme, nihilisme, dan agnostisisme dengan berbagai nuansanya,
merupakan paham ontologi yang pada akhirnya menentukan pendapat dan kenyakinan
kita masing-masing tentang apa dan bagaimana yang “ada” itu atau ( what’s being
).

Bakhtiar,
Amsal. 2007. Filsafat Ilmu. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada
Dagun,
Save M. 1997. Kamus Besar Ilmu
Pengetahuan. Jakarta: Lembaga Pengkajian Kebudayaan Nusantara (LPKN)
Gazalba, Sidi.
1973 Sistimatika Filsafat
Pengantar kepada Teori Pengetahuan. Cet. I; Jakarta: Bulan Bintang
Jalaluddin.
2014. Filsafat Ilmu Pengetahuan : Filsafat, Ilmu Pengetahuan, dan Peradaban.
Cet. II; Depok : PT. Rajagrafindo Persada
Nasution,
Harun. 1982. Filsafat Agama. Jakarta: Bulan Bintang
Prasetya.
2002. Filsafat Pendidikan. Cet. III; Bandung : CV. Pustaka Setia
Q-Aness,
Bambang dan Radea Juli A. Hambali. 2003. Filsafat Untuk Umum. Jakarta:
Kencana
Rahman,
Sofyan. 2013. Ontologi : Filsafat Ilmu. Cirebon : Makalah
Sumarna,
Cecep. 2010. Filsafat Ilmu. Cet. IV; Bandung: CV. Mulia Press

___________________.
1988. Filsafat Ilmu; Sebuah Pengantar
Populer. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan
Surajiyo.
2005. Filsafat Ilmu Suatu Pengantar.
Jakarta: PT Bumi Aksara
Syadali,
Ahmad dan Mudzakir. 1997. Filsafat Umum.
Bandung: PT Pustaka Setia
Tafsir,
Ahmad. 2015 Filsafat Umum : Akal dan Hati Sejak Thales Sampai Capra. Cet.
XXI; Bandung : PT. Remaja Rosdakarya
Talib,
H. Abd. Abdullah. 2017. Filsafat Ilmu. Gowa: CV. Gunadarma Ilmu
Zainuddin,
M. 2003. Filsafat Ilmu Perspektif
Pemikiran Islam. Malang: Bayu Media
Zuhairini,
et.all. 2004. Filsafat Pendidikan Islam. Cet. III; Jakarta : Bumi Aksara
[1] Jalaluddin, Filsafat
Ilmu Pengetahuan : Filsafat, Ilmu Pengetahuan, dan Peradaban (Cet. II;
Depok : PT. Rajagrafindo Persada, 2014), h. 14
[2] Disampaikan
Oleh Muhammad Ramli dalam Pengantar Perkuliahan Program Pascasarjana UIN
Alauddin Makassar Kelompok 7 Jum’at, 13 Oktober 2017
[3] Bambang
Q-Aness dan Radea Juli A. Hambali, Filsafat Untuk Umum (Jakarta:
Kencana, 2003), h. 10
[6] Amsal Bakhtiar,
Filsafat Ilmu (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2007), h. 132
[7] Jujun R.
Suriasumantri, Ilmu dalam Perspektif : Sebuah Kumpulan Karangan tentang
Hakekat Ilmu (Jakarta: Gramedia, 1984), h. 61
[8] Prasetya, Filsafat
Pendidikan (Cet. III; Bandung : CV. Pustaka Setia, 2002), h. 87
[9] Sidi Gazalba. Sistimatika Filsafat Pengantar kepada
Teori Pengetahuan (Cet. I; Jakarta: Bulan Bintang, 1973), h. 106
[10] Ahmad Tafsir, Filsafat
Umum : Akal dan Hati Sejak Thales Sampai Capra (Cet. XXI; Bandung : PT.
Remaja Rosdakarya, 2015), h. 28
[11] Save M. Dagun,
Kamus Besar Ilmu Pengetahuan (Jakarta:
Lembaga Pengkajian Kebudayaan Nusantara (LPKN), 1997), h. 681
[12] Jujun S
Suriasumantri, Filsafat Ilmu; Sebuah
Pengantar Populer (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1988), h. 66
[13] Surajiyo, Filsafat Ilmu Suatu Pengantar (Jakarta:
PT Bumi Aksara, 2005), h. 118
[14] Surajiyo, Filsafat Ilmu Suatu Pengantar, h. 118
[15] Ahmad Syadali
dan Mudzakir, Filsafat Umum (Bandung:
PT Pustaka Setia, 1997), h. 40
[16] Ahmad Syadali
dan Mudzakir, Filsafat Umum, h. 40
[17] Ahmad Syadali
dan Mudzakir, Filsafat Umum, h. 44
[18] Ahmad Syadali
dan Mudzakir, Filsafat Umum, h. 45
[19] Surajiyo, Filsafat Ilmu Suatu Pengantar, h. 119
[20] Jujun R.
Suriasumantri, Ilmu dalam Perspektif : Sebuah Kumpulan Karangan tentang
Hakekat Ilmu, h. 64
[21]
Jujun R.
Suriasumantri, Ilmu dalam Perspektif : Sebuah Kumpulan Karangan tentang
Hakekat Ilmu, h. 64
[22] Amsal Bakhtiar,
Filsafat Ilmu, h. 138
[23] Cecep Sumarna,
Filsafat Ilmu (Cet. IV; Bandung: CV. Mulia Press, 2010), h. 48
[24] Harun
Nasution, Filsafat Agama ( Jakarta: Bulan Bintang, 1982), h. 53
[25] Save M. Dagun,
Kamus Besar Ilmu Pengetahuan, h. 189
[26] M. Zainuddin, Filsafat Ilmu Perspektif Pemikiran Islam
(Malang: Bayu Media, 2003), h. 31
[27] Jujun R.
Suriasumantri, Ilmu dalam Perspektif : Sebuah Kumpulan Karangan tentang
Hakekat Ilmu, h. 66
[28] Surajiyo, Filsafat Ilmu Suatu Pengantar, h. 121
[29] Ahmad Syadali
dan Mudzakir, Filsafat Umum, h. 70
[30] Save M. Dagun,
Kamus Besar Ilmu Pengetahuan, h. 189
[31] Save M. Dagun,
Kamus Besar Ilmu Pengetahuan, h. 190
[32] Jujun R.
Suriasumantri, Ilmu dalam Perspektif : Sebuah Kumpulan Karangan tentang
Hakekat Ilmu, h. 38
[33] Surajiyo, Filsafat Ilmu Suatu Pengantar, h. 39
[34]
Jujun R.
Suriasumantri, Ilmu dalam Perspektif : Sebuah Kumpulan Karangan tentang
Hakekat Ilmu, h. 38
[35]
Jujun R.
Suriasumantri, Ilmu dalam Perspektif : Sebuah Kumpulan Karangan tentang
Hakekat Ilmu, h. 41
[36]
M. Zainuddin, Filsafat Ilmu Perspektif Pemikiran Islam,
h. 42
[37]
Save M. Dagun, Kamus Besar Ilmu Pengetahuan, h. 728
[38]
Surajiyo, Filsafat Ilmu Suatu Pengantar, h. 121
[39] Sofyan Rahman,
Ontologi : Filsafat Ilmu (Cirebon : Makalah, 2013), h. 8
[40] Sofyan Rahman,
Ontologi : Filsafat Ilmu (Cirebon : Makalah, 2013), h. 13
[41] Sofyan Rahman,
Ontologi : Filsafat Ilmu (Cirebon : Makalah, 2013), h. 16
[42] Amsal
Bakhtiar, Filsafat Ilmu, h. 148
[43] Sofyan Rahman,
Ontologi : Filsafat Ilmu (Cirebon : Makalah, 2013), h. 20
[44] Sofyan Rahman,
Ontologi : Filsafat Ilmu (Cirebon : Makalah, 2013), h. 22
No comments:
Post a Comment