Sunday, November 12, 2017

Substansi Ilmu "Ontologi"



SUBSTANSI ILMU “ONTOLOGI”



 







Dosen Pemandu:
Prof. Dr. H. Muhammad Ramli., M.Si
Dr. Sulaiman Saat, M.Pd

Oleh:

ASRUL RAHMAN
NIM: 80200216064




PROGRAM PASCASARJANA
UIN ALAUDDIN MAKASSAR
2017


LITERATURE REVIEW

Nama                : Asrul Rahman
NIM                   :           80200216064
Kelompok         :           7 (Tujuh)
Judul                 : Substansi Ilmu Pengetahuan “Ontologi
Dosen Pemandu           :        1. Prof. Dr. H. Muhammad Ramli, M.Si
                             2. Dr. Sulaiman Saat, M.Pd

I.        PENDAHULUAN
Manusia merupakan makhluk sempurna yang dibekali akal sebagai pembeda dengan makhluk lainnya yang diciptakan seperti hewan dan tumbuhan. Kesempurnaan penciptaan manusia menjadi satu hal yang melebihkan manusia dari makhluk lainnya yang tidak bekali akal sebagai media untuk mengembangkan potensi yang dimilikinya.
Text Box: 1

Potensi yang dimiliki oleh manusia membuat manusia untuk terus menyesuaikan dirinya dengan lingkungan. Upaya penyesuaian diri manusia ini melalui rentang proses yang panjang dan berkesinambungan. Berawal dari dorongan rasa ingin tahu, lalu dengan pengalaman yang bersifat trial and error hingga melalui pembuktian ilmiah yang kebenarannya dapat teruji secara empiris, dapat diterima secara inderawi serta dibenarkan oleh rasio.[1]
Melalui pengalaman yang dilihat dan dilaluinya, manusia kemudian memiliki pengetahuan. Pengetahuan yang dimiliki oleh manusia tersebut melahirkan ide, kumpulan ide yang dimiliki oleh manusia kemudian melahirkan pikiran yang bermuara pada sebuah konsep. Konsep yang lahir dari kumpulan pikiran manusia melahirkan proposisi yang bercabang menjadi dua bidang kajian yaitu postula (sosial) dan axioma (eksact). Postula sebagai bidang kajian dari proposisi membentuk cara pandang yang berujung pada lahirnya sebuah paradigma berfikir. Hasil dari paradigma berfikir ini melahirkan sebuah teori yang telah dianalisis melahirkan satu bidang ilmu yang sifat kebenarannya semu sehingga memberikan peluang untuk dikritik (disempurnakan).[2]
Menurut Bambang Q-Aness dan Radea Juli A. Hambali mengatakan bahwa berfilsafat adalah mengajukan pertanyaan, dan pertanyaan menjadi dasar dari keempat unsur filsafat yang meliputi metafisika, logika, ontologi dan ilmu.[3] Sedangkan Jalaluddin berpendapat bahwa lapangan akal pikiran dalam filsafat mencakup tiga hal penting, yaitu ontologi, epistemologi, dan aksiologi.[4] Apa yang diungkapkan oleh Jalaluddin ini kemudian dikenal sebagai filsafat ilmu pengetahuan yang meliputi sub pokok kajiannya yaitu ontologi, epistemologi dan aksiologi.
Sehubungan dengan luasnya kajian filsafat khususnya filsafat ilmu pengetahuan, maka dalam penulisan karya ilmiah ini penulis lebih khusus membahas tentang substansi ilmu pengetahuan dalam sudut pandang ontologi.
II.     SUBSTANSI ILMU PENGETAHUAN “ONTOLOGI
A.     Pengertian Ontologi
Ontologi berasal dari bahasa Yunani on (ada), dan ontos berarti keberadaan, sedangkan logos berarti pemikiran. Jadi ontologi adalah pemikiran mengenai yang ada dan keberadaannya.[5] Sedangkan Amsal Bakhtiar berpendapat bahwa pembahasan tentang ontologi sebagai dasar ilmu berusaha untuk menjawab “apa” yang menurut Aristoteles merupakan The First Philosophy dan merupakan ilmu mengenai esensi benda.
Kata ontologi berasal dari bahasa Yunani, yaitu On=being, dan Logos=logic. Jadi, ontologi adalah The Theory of Being Qua Being (teori tentang keberadaan sebagai keberadaan).[6] Jujun S. Suriasumantri mengatakan bahwa ontologi membahas apa yang ingin kita ketahui, seberapa jauh kita ingin tahu, atau dengan perkataan lain suatu pengkajian mengenai yang “ada”.[7]
Lebih jauh Prasetya berpandangan bahwa ontologi merupakan bentuk perhatian yang penuh dan tertinggi dalam teori pendidikan yang mengandung permasalahan filosofis utama.[8] Menurut Sidi Gazalba, ontologi mempersoalkan sifat dan keadaan terakhir dari kenyataan. Karena itu, disebut ilmu hakikat yang bergantung pada pengetahuan, jika dikaitkan dalam agama maka ontologi mempersoalkan tentang Tuhan.[9] Pendapat ini diperjelas oleh Ahmad Tafsir bahwa objek kajian ontologi mencakup tentang objek-objek dipikirkan secara mendalam sampai kepada hakikatnya.[10]
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa ontologi adalah salah satu objek kajian filsafat ilmu pengetahuan yang membahas tentang hakikat yang ada dan keberadaannya dengan pembatasam .
B.     Aliran-Aliran Ontologi
1.  Monoisme
Monisme (monism) berasal dari kata Yunani yaitu monos (sendiri, tunggal) secara istilah monisme adalah suatu paham yang berpendapat bahwa unsur pokok dari segala sesuatu adalah unsur yang bersifat tunggal/ Esa. Unsur dasariah ini bisa berupa materi, pikiran, Allah, energi dll. Bagi kaum materialis unsur itu adalah materi, sedang bagi kaum idealis unsur itu roh atau ide.[11]
Orang yang mula-mula menggunakan terminologi monisme adalah Christian Wolff (1679-1754), yang mana dalam aliran ini tidak dibedakan antara pikiran dan zat. Mereka hanya berbeda dalam gejala disebabkan proses yang berlainan namun mempunyai subtansi yang sama. Ibarat zat dan energi dalam teori relativitas Enstein, energi hanya merupakan bentuk lain dari zat.[12] Atau dengan kata lain bahwa aliran monisme menyatakan bahwa hanya ada satu kenyataan yang fundamental.[13]
Adapun para filsuf yang menjadi tokoh dalam aliran ini antara lain: Thales (625-545 SM), yang menyatakan bahwa kenyataan yang terdalam adalah satu subtansi yaitu air.[14] Pendapat ini yang disimpulkan oleh Aristoteles (384-322 SM) yang mengatakan bahwa semuanya itu air. Air yang cair itu merupakan pangkal, pokok dan dasar (principle) segala-galanya. Semua barang terjadi dari air dan semuanya kembali kepada air pula. [15] Bahkan bumi yang menjadi tempat tinggal manusia di dunia, sebagaian besar terdiri dari air yang terbentang luas di lautan dan di sungai-sungai. Bahkan dalam diri manusiapun unsur penyusunnya sebagian besar berasal dari air. Tidak heran jika Thales, berkonklusi bahwa segala sesuatu adalah air, karena memang semua mahluk hidup membutuhkan air dan jika tidak ada air maka tidak ada kehidupan.
Sementara itu Anaximandros (610-547 SM) menyatakan bahwa prinsip dasar alam haruslah dari jenis yang tak terhitung dan tak terbatas yang disebutnya sebagai apeiron yaitu suatu zat yang tak terhingga dan tak terbatas dan tidak dapat dirupakan dan tidak ada persamaannya dengan suatu apapun. Berbeda dengan gurunya Thales, Anaximandros, menyatakan bahwa dasar alam memang satu akan tetapi prinsip dasar tersebut bukanlah dari jenis benda alam seperti air. Karena menurutnya segala yang tampak (benda) terasa dibatasi oleh lawannya seperti panas dibatasi oleh yang dingin. [16]
Aperion yang dimaksud Anaximandros, oleh orang Islam disebutnya sebagai Allah. Jadi bisa dikatakan bahwa pendapat Anaximandros yang mengatakan bahwa terbentuknya alam dari jenis yang tak terbatas dan tak terhitung, dibentuk oleh Tuhan Yang Maha Esa. Hal ini pula yang dikatakan Ahmad Syadali dan Mudzakir (1997) bahwa yang dimaksud aperion adalah Tuhan.[17]
Anaximenes (585-494 SM), menyatakan bahwa barang yang asal itu mestilah satu yang ada dan tampak (yang dapat diindera). Barang yang asal itu yaitu udara. Udara itu adalah yang satu dan tidak terhingga. Karena udara menjadi sebab segala yang hidup. Jika tidak ada udara maka tidak ada yang hidup. Pikiran kearah itu barang kali dipengaruhi oleh gurunya Anaximandros, yang pernah menyatakan bahwa jiwa itu serupa dengan udara. Sebagai kesimpulan ajaranya dikatakan bahwa sebagaimana jiwa kita yang tidak lain dari udara, menyatukan tubuh kita. Demikian udara mengikat dunia ini menjadi satu.[18]
Sedang filsuf moderen yang menganut aliran ini adalah B. Spinoza yang berpendapat bahwa hanya ada satu substansi yaitu Tuhan, dalam hal ini Tuhan diidentikan dengan alam (naturans naturata).[19]
Dalam perkembangannya, aliran ini terbagi menjadi dua, yaitu :
a.  Materialisme
Aliran materialisme ini menganggap bahwa sumber yang asal itu adalah materi, bukan rohani. Aliran pemikiran ini dipelopori oleh Bapak Filsafat yaitu Thales (624-546 SM). Dia berpendapat bahwa sumber asal adalah air karena pentingnya bagi kehidupan. Aliran ini sering juga disebut naturalisme.
Menurutnya bahwa zat mati merupakan kenyataan dan satu-satunya fakta. Yang ada hanyalah materi/alam, sedangkan jiwa / ruh tidak berdiri sendiri. Anaximander (585-525 SM).  Dia berpendapat bahwa unsur asal itu adalah udara dengan alasan bahwa udara merupakan sumber dari segala kehidupan.[20]
Dari segi dimensinya paham ini sering dikaitkan dengan teori Atomisme. Menurutnya semua materi tersusun dari sejumlah bahan yang disebut unsur. Unsur-unsur itu bersifat tetap tak dapat dirusakkan. Bagian-bagian yang terkecil dari itulah yang dinamakan atom-atom. Demokritos (460-370 SM). Ia berpendapat bahwa hakikat alam ini merupakan atom-atom yang banyak jumlahnya, tak dapat di hitung dan amat halus. Atom-atom inilah yang merupkan asal kejadian alam.[21]
b.    Idealisme
Idealisme diambil dari kata “idea” yaitu sesuatu yang hadir dalam jiwa.[22] Aliran ini menganggap bahwa dibalik realitas fisik pasti ada sesuatu yang tidak tampak. Bagi aliran ini, sejatinya sesuatu justru terletak dibalik yang fisik. Ia berada dalam ide-ide, yang fisik bagi aliran ini dianggap hanya merupakan bayang-bayang, sifatnya sementara, dan selalu menipu. Eksistensi benda fisik akan rusak dan tidak akan pernah membawa orang pada kebenaran sejati.[23]
Dalam perkembangannya, aliran ini ditemui dalam ajaran Plato (428-348 SM) dengan teori idenya. Menurutnya, tiap-tiap yang ada di dalam mesti ada idenya yaitu konsep universal dari tiap sesuatu. Alam nyata yang menempati ruangan ini hanyalah berupa bayangan saja dari alam ide itu. Jadi, idelah yang menjadi hakikat sesuatu, menjadi dasar wujud sesuatu.[24] Pendapat ini juga seperti yang dipahami oleh beberapa orang filosuf seperti Aristoteles, George Barkeley, Immanuel Kant, Fichte, Hegel dan Schelling.
2.  Dualisme
Dualisme (dualism) berasal dari kata Latin yaitu duo (dua). Dualisme adalah ajaran yang menyatakan realitas itu terdiri dari dua substansi yang berlainan dan bertolak belakang. Masing-masing substansi bersifat unik dan tidak dapat direduksi, misalnya substansi adi kodrati dengan kodrati, Tuhan dengan alam semesta, roh dengan materi, jiwa dengan badan dll.[25] Ada pula yang mengatakan bahwa dualisme adalah ajaran yang menggabungkan antara idealisme dan materialisme, dengan mengatakan bahwa alam wujud ini terdiri dari dua hakikat sebagai sumber yaitu hakikat materi dan ruhani. [26]
Dapat dikatakan pula bahwa dualisme adalah paham yang memiliki ajaran bahwa segala sesuatu yang ada, bersumber dari dua hakikat atau substansi yang berdiri sendiri-sendiri. Orang yang pertama kali menggunakan konsep dualisme adalah Thomas Hyde (1700), yang mengungkapkan bahwa antara zat dan kesadaran (pikiran) yang berbeda secara subtantif.[27] Jadi adanya segala sesuatu terdiri dari dua hal yaitu zat dan pikiran. Yang termasuk dalam aliran ini adalah Plato (427-347 SM)[28], yang mengatakan bahwa dunia lahir adalah dunia pengalaman yang selalu berubah-ubah dan berwarna-warni. Semua itu adalah bayangan dari dunia idea.
Sebagai bayangan, hakikatnya hanya tiruan dari yang asli yaitu idea. Karenanya maka dunia ini berubah-ubah dan bermacam-macam sebab hanyalah merupakan tiruan yang tidak sempurna dari idea yang sifatnya bagi dunia pengalaman. Barang-barang yang ada di dunia ini semua ada contohnya yang ideal di dunia idea sana (dunia idea).[29] Lebih lanjut Plato mengakui adanya dua substansi yang masing-masing mandiri dan tidak saling bergantung yakni dunia yang dapat diindera dan dunia yang dapat dimengerti, dunia tipe kedua adalah dunia idea yang bersifat kekal dan hanya ada satu. Sedang dunia tipe pertama adalah dunia nyata yang selalu berubah dan tak sempurna.[30]
Apa yang dikatakan Plato dapat dimengerti seperti yang dibahasakan oleh Surajiyo (2005), bahwa dia membedakan antara dunia indera (dunia bayang-bayang) dan dunia ide (dunia yang terbuka bagi rasio manusia). Rene Descartes (1596-1650 M) seorang filsuf Prancis, mengatakan bahwa pembeda antara dua substansi yaitu substansi pikiran dan substansi luasan (badan). Jiwa dan badan merupakan dua sebstansi terpisah meskipun didalam diri manusia mereka berhubungan sangat erat.[31]
Dapat dimengerti bahwa dia membedakan antara substansi pikiran dan substansi keluasan (badan). Maka menurutnya yang bersifat nyata adalah pikiran. Sebab dengan berpikirlah maka sesuatu lantas ada, cogito ergo sum! (saya berpikir maka saya ada).[32] Leibniz (1646-1716) yang membedakan antara dunia yang sesungguhnya dan dunia yang mungkin. Immanuel Kant (1724-1804) yang membedakan antara dunia gejala (fenomena) dan dunia hakiki (noumena).[33]
3.  Pluralisme
Pluralisme (Pluralism) berasal dari kata Pluralis (jamak). Aliran ini menyatakan bahwa realitas tidak terdiri dari satu substansi atau dua substansi tetapi banyak substansi yang bersifat independen satu sama lain. Sebagai konsekuensinya alam semesta pada dasarnya tidak memiliki kesatuan, kontinuitas, harmonis dan tatanan yang koheren, rasional, fundamental. Di dalamnya hanya terdapat pelbagi jenis tingkatan dan dimensi yang tidak dapat diredusir.
Pandangan demikian mencangkup puluhan teori, beberapa diantaranya teori para filosuf yunani kuno yang menganggap kenyataan terdiri dari udara, tanah, api dan air.[34] Dari pemahaman diatas dapat dikemukakan bahwa aliran ini tidak mengakui adanya satu substansi atau dua substansi melainkan banyak substansi[35], karena menurutnya manusia tidak hanya terdiri dari jasmani dan rohani tetapi juga tersusun dari api, tanah dan udara yang merupakan unsur substansial dari segala wujud.[36]
Para filsuf yang termasuk dalam aliran ini antara lain: Empedakles (490-430 SM), yang menyatakan hakikat kenyataan terdiri dari empat unsur, yaitu api, udara, air dan tanah. Anaxogoras (500-428 SM), yang menyatakan hakikat kenyataan terdiri dari unsur-unsur yang tidak terhitung banyaknya, sebab jumlah sifat benda dan semuanya dikuasai oleh suatu tenaga yang dinamakan nous[37]yaitu suatu zat yang paling halus yang memiliki sifat pandai bergerak dan mengatur.[38]
Paham ini berpandangan bahwa segenap macam bentuk merupakan kenyataan. Lebih jauh lagi paham ini menyatakan bahwa kenyataan alam ini tersusun dari banyak unsur.  Tokoh aliran ini pada masa Yunani Kuno adalah Anaxagoras dan Empedocles yang menyatakan bahwa substansi yang ada itu terbentuk dan terdiri dari 4 unsur, yaitu tanah, air, api, dan udara.
Tokoh modern aliran ini adalah William James (1842-1910 M) yang terkenal sebagai seorang psikolog dan filosof Amerika. James mengemukakan bahwa tiada kebenaran yang mutlak, yang berlaku umum, yang bersifat tetap, yang berdiri sendiri, lepas dari akal yang mengenal. Apa yang kita anggap benar sebelumnya dapat dikoreksi/diubah oleh pengalaman berikutnya.[39]
4.  Nihilisme
Nihilisme berasal dari bahasa Latin yang berarti nothing atau tidak ada. Doktrin tentang nihilisme sudah ada semenjak zaman Yunani Kuno, tokohnya yaitu Gorgias (483-360 SM) yang memberikan 3 proposisi tentang realitas yaitu: Pertama, tidak ada sesuatupun yang eksis,  Kedua, bila sesuatu itu ada ia tidak dapat diketahui,  Ketiga, sekalipun realitas itu dapat kita ketahui, ia tidak akan dapat kita beritahukan kepada orang lain. Tokoh  modern aliran ini di antaranya: Ivan Turgeniev (1862 M) dari Rusia dan Friedrich Nietzsche (1844-1900 M), dengan pendapatnya bahwa dunia terbuka untuk kebebasan dan kreativitas manusia. Ia dilahirkan di Rocken di Prusia dari keluarga pendeta.[40]
5.  Agnotisisme
Paham ini mengingkari kesanggupan manusia untuk mengetahui hakikat benda. Baik hakikat materi maupun ruhani. Kata Agnoticisme berasal dari bahasa Greek yaitu Agnostos yang berarti unknown. A artinya not, Gno artinya know.[41]
Timbulnya aliran ini dikarenakan belum dapatnya orang mengenal dan mampu menerangkan secara konkret akan adanya kenyataan yang berdiri sendiri dan dapat kita kenal.
Aliran ini seperti Filsafat Eksistensinya Soren Kierkegaar (1813-1855 M), yang terkenal dengan julukan sebagai Bapak Filsafat Eksistensialisme yang menyatakan bahwa manusia tidak pernah hidup sebagai suatu aku umum, tetapi sebagai aku individual yang sama sekali unik dan tidak dapat dijabarkan ke dalam sesuatu orang lain. Berbeda dengan pendapat Martin Heidegger (1889-1976 M), yang mengatakan bahwa satu-satunya yang ada itu ialah manusia, karena hanya manusialah yang dapat memahami dirinya sendiri.
Tokoh lainnya adalah, Jean Paul Sartre (1905-1980 M), yang mengatakan bahwa manusia selalu menyangkal. Hakikat beradanya manusia bukan entre (ada), melainkan a entre (akan atau sedang). Jadi, agnostisisme adalah paham pengingkaran / penyangkalan terhadap kemampuan manusia mengetahui hakikat benda, baik materi maupun ruhani.[42]

C.     Aspek dan Manfaat Ontologi
1.       Aspek Ontologi
Ontologi membahas tentang yang ada, yang tidak terikat oleh satu perwujudan tertentu. Dalam kaitan dengan ilmu, aspek ontologis mempertanyakan tentang objek yang ditelaah oleh ilmu.
Secara ontologis ilmu membatasi lingkup penelaahan keilmuannya hanya pada daerah yang berada dalam jangkauan pengalaman manusia dan terbatas pada hal yang sesuai dengan akal manusia.
Aspek ontologi ilmu pengetahuan tertentu hendaknya diuraikan / ditelaah secara :
a.   Metodis; Menggunakan cara ilmiah
b.  Sistematis; Saling berkaitan satu sama lain secara teratur dalam suatu keseluruhan
c.   Koheren; Unsur-unsurnya harus bertautan,tidak boleh mengandung uraian yang bertentangan
d.  Rasional; Harus berdasar pada kaidah berfikir yang benar (logis)
e.   Komprehensif; Melihat obyek tidak hanya dari satu sisi/sudut pandang, melainkan secara multidimensional atau secara keseluruhan (holistik)
f.    Radikal; Diuraikan sampai akar persoalannya, atau esensinya
g.   Universal; Muatan kebenarannya sampai tingkat umum yang berlaku di mana saja.[43]
2.  Manfaat Ontologi
Ontologi yang merupakan salah satu kajian filsafat ilmu mempunyai beberapa manfaat, di antaranya sebagai berikut:
a.   Membantu untuk mengembangkan dan mengkritisi berbagai bangunan sistem pemikiran yang ada.
b.  Membantu memecahkan masalah pola relasi antar berbagai eksisten dan eksistensi.[44]
Bisa mengeksplorasi secara mendalam dan jauh pada berbagai ranah keilmuan maupun masalah, baik itu sains hingga etika.
III. PENUTUP
Dari penjelasan tersebut, penyusun dapat menyimpulkan bahwa ontologi merupakan salah satu diantara lapangan penyelidikan kefilsafatan yang paling kuno. Ontologi berasal dari bahasa Yunani yang berarti teori tentang keberadaan sebagai keberadaan. Pada dasarnya, ontologi membicarakan tentang hakikat tentang segala sesuatu. Hakikat disini berarti kenyataan yang sebenarnya (bukan kenyataan yang fatamorgana).
Dalam ontologi ditemukan pandangan-pandangan pokok pemikiran, yaitu monoisme, dualisme, pluralisme, nihilisme, dan agnostisisme.
Monoisme adalah paham yang menganggap bahwa hakikat asalnya sesuatu itu hanyalah satu. Asal sesuatu itu bisa berupa materi (air, udara) maupun ruhani (spirit, ruh).
Dualisme adalah aliran yang berpendapat bahwa asal benda terdiri dari dua hakikat (hakikat materi dan ruhani, hakikat benda dan ruh, hakikat jasad dan spirit).
Pluralisme adalah paham yang mengatakan bahwa segala hal merupakan kenyataan. Nihilisme adalah paham yang tidak mengakui validitas alternatif yang positif. Dan agnostisisme adalah paham yang mengingkari terhadap kemampuan manusia dalam mengetahui hakikat benda.
Jadi, dapat disimpulakan bahwa ontologi meliputi hakikat kebenaran dan kenyataan yang sesuai dengan pengetahuan ilmiah, yang tidak terlepas dari perspektif filsafat tentang apa dan bagaimana yang “ada” itu.
Adapun monoisme, dualisme, pluralisme, nihilisme, dan agnostisisme dengan berbagai nuansanya, merupakan paham ontologi yang pada akhirnya menentukan pendapat dan kenyakinan kita masing-masing tentang apa dan bagaimana yang “ada” itu atau ( what’s being ).


DAFTAR PUSTAKA
Bakhtiar, Amsal. 2007. Filsafat Ilmu. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada
Dagun, Save M. 1997. Kamus Besar Ilmu Pengetahuan. Jakarta: Lembaga Pengkajian Kebudayaan Nusantara (LPKN)
Gazalba, Sidi. 1973 Sistimatika Filsafat Pengantar kepada Teori Pengetahuan. Cet. I; Jakarta: Bulan Bintang
Jalaluddin. 2014. Filsafat Ilmu Pengetahuan : Filsafat, Ilmu Pengetahuan, dan Peradaban. Cet. II; Depok : PT. Rajagrafindo Persada
Nasution, Harun. 1982. Filsafat Agama. Jakarta: Bulan Bintang
Prasetya. 2002. Filsafat Pendidikan. Cet. III; Bandung : CV. Pustaka Setia
Q-Aness, Bambang dan Radea Juli A. Hambali. 2003. Filsafat Untuk Umum. Jakarta: Kencana
Rahman, Sofyan. 2013. Ontologi : Filsafat Ilmu. Cirebon : Makalah
Sumarna, Cecep. 2010. Filsafat Ilmu. Cet. IV; Bandung: CV. Mulia Press
Text Box: 21

Suriasumantri, Jujun R. 1984. Ilmu dalam Perspektif : Sebuah Kumpulan Karangan tentang Hakekat Ilmu. Jakarta: Gramedia
___________________. 1988. Filsafat Ilmu; Sebuah Pengantar Populer. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan
Surajiyo. 2005. Filsafat Ilmu Suatu Pengantar. Jakarta: PT Bumi Aksara
Syadali, Ahmad dan Mudzakir. 1997. Filsafat Umum. Bandung: PT Pustaka Setia
Tafsir, Ahmad. 2015 Filsafat Umum : Akal dan Hati Sejak Thales Sampai Capra. Cet. XXI; Bandung : PT. Remaja Rosdakarya
Talib, H. Abd. Abdullah. 2017. Filsafat Ilmu. Gowa: CV. Gunadarma Ilmu
Zainuddin, M. 2003. Filsafat Ilmu Perspektif Pemikiran Islam. Malang: Bayu Media
Zuhairini, et.all. 2004. Filsafat Pendidikan Islam. Cet. III; Jakarta : Bumi Aksara




[1] Jalaluddin, Filsafat Ilmu Pengetahuan : Filsafat, Ilmu Pengetahuan, dan Peradaban (Cet. II; Depok : PT. Rajagrafindo Persada, 2014), h. 14
[2] Disampaikan Oleh Muhammad Ramli dalam Pengantar Perkuliahan Program Pascasarjana UIN Alauddin Makassar Kelompok 7 Jum’at, 13 Oktober 2017
[3] Bambang Q-Aness dan Radea Juli A. Hambali, Filsafat Untuk Umum (Jakarta: Kencana, 2003), h. 10
[4] Jalaluddin, Filsafat Ilmu Pengetahuan : Filsafat, Ilmu Pengetahuan, dan Peradaban, h. 162
[5] Jalaluddin, Filsafat Ilmu Pengetahuan : Filsafat, Ilmu Pengetahuan, dan Peradaban, h. 163
[6] Amsal Bakhtiar, Filsafat Ilmu (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2007), h. 132
[7] Jujun R. Suriasumantri, Ilmu dalam Perspektif : Sebuah Kumpulan Karangan tentang Hakekat Ilmu (Jakarta: Gramedia, 1984), h. 61
[8] Prasetya, Filsafat Pendidikan (Cet. III; Bandung : CV. Pustaka Setia, 2002), h. 87
[9] Sidi Gazalba. Sistimatika Filsafat Pengantar kepada Teori Pengetahuan (Cet. I; Jakarta: Bulan Bintang, 1973), h. 106
[10] Ahmad Tafsir, Filsafat Umum : Akal dan Hati Sejak Thales Sampai Capra (Cet. XXI; Bandung : PT. Remaja Rosdakarya, 2015), h. 28
[11] Save M. Dagun, Kamus Besar Ilmu Pengetahuan (Jakarta: Lembaga Pengkajian Kebudayaan Nusantara (LPKN), 1997), h. 681
[12] Jujun S Suriasumantri, Filsafat Ilmu; Sebuah Pengantar Populer (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1988), h. 66
[13] Surajiyo, Filsafat Ilmu Suatu Pengantar (Jakarta: PT Bumi Aksara, 2005), h. 118
[14] Surajiyo, Filsafat Ilmu Suatu Pengantar, h. 118
[15] Ahmad Syadali dan Mudzakir, Filsafat Umum (Bandung: PT Pustaka Setia, 1997), h. 40
[16] Ahmad Syadali dan Mudzakir, Filsafat Umum, h. 40
[17] Ahmad Syadali dan Mudzakir, Filsafat Umum, h. 44
[18] Ahmad Syadali dan Mudzakir, Filsafat Umum, h. 45
[19] Surajiyo, Filsafat Ilmu Suatu Pengantar, h. 119
[20] Jujun R. Suriasumantri, Ilmu dalam Perspektif : Sebuah Kumpulan Karangan tentang Hakekat Ilmu, h. 64
[21] Jujun R. Suriasumantri, Ilmu dalam Perspektif : Sebuah Kumpulan Karangan tentang Hakekat Ilmu, h. 64
[22] Amsal Bakhtiar, Filsafat Ilmu, h. 138
[23] Cecep Sumarna, Filsafat Ilmu (Cet. IV; Bandung: CV. Mulia Press, 2010), h. 48
[24] Harun Nasution, Filsafat Agama ( Jakarta: Bulan Bintang, 1982), h. 53
[25] Save M. Dagun, Kamus Besar Ilmu Pengetahuan, h. 189
[26] M. Zainuddin, Filsafat Ilmu Perspektif Pemikiran Islam (Malang: Bayu Media, 2003), h. 31
[27] Jujun R. Suriasumantri, Ilmu dalam Perspektif : Sebuah Kumpulan Karangan tentang Hakekat Ilmu, h. 66
[28] Surajiyo, Filsafat Ilmu Suatu Pengantar, h. 121
[29] Ahmad Syadali dan Mudzakir, Filsafat Umum, h. 70
[30] Save M. Dagun, Kamus Besar Ilmu Pengetahuan, h. 189
[31] Save M. Dagun, Kamus Besar Ilmu Pengetahuan, h. 190
[32] Jujun R. Suriasumantri, Ilmu dalam Perspektif : Sebuah Kumpulan Karangan tentang Hakekat Ilmu, h. 38
[33] Surajiyo, Filsafat Ilmu Suatu Pengantar, h. 39
[34] Jujun R. Suriasumantri, Ilmu dalam Perspektif : Sebuah Kumpulan Karangan tentang Hakekat Ilmu, h. 38
[35] Jujun R. Suriasumantri, Ilmu dalam Perspektif : Sebuah Kumpulan Karangan tentang Hakekat Ilmu, h. 41
[36] M. Zainuddin, Filsafat Ilmu Perspektif Pemikiran Islam, h. 42
[37] Save M. Dagun, Kamus Besar Ilmu Pengetahuan, h. 728
[38] Surajiyo, Filsafat Ilmu Suatu Pengantar, h. 121
[39] Sofyan Rahman, Ontologi : Filsafat Ilmu (Cirebon : Makalah, 2013), h. 8
[40] Sofyan Rahman, Ontologi : Filsafat Ilmu (Cirebon : Makalah, 2013), h. 13
[41] Sofyan Rahman, Ontologi : Filsafat Ilmu (Cirebon : Makalah, 2013), h. 16
[42] Amsal Bakhtiar, Filsafat Ilmu, h. 148
[43] Sofyan Rahman, Ontologi : Filsafat Ilmu (Cirebon : Makalah, 2013), h. 20
[44] Sofyan Rahman, Ontologi : Filsafat Ilmu (Cirebon : Makalah, 2013), h. 22

No comments:

Makalah: Mahabbah, Makrifah

BAB I PENDAHULUAN   A.      Latar Belakang Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi membawa manusia larut dan terbuai dalam din...