BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pembicaraan masalah filsafat, baik
filsafat pendidikan, filsafat Islam maupun lainnya, berarti juga harus
berbicara tentang filsafat Yunani. Hal ini karena tidak dapat diingkari bahwa
filsafat pendidikan, filsafat Islam dan filsafat lainnya, terpengaruh pada
filsafat Yunani. Karena itu K. Bertens mengatakan bahwa mempelajari filsafat
Yunani berarti menyaksikan kelahiran filsafat. Dari sebab itu sebenarnya tidak
ada pengantar filsafat yang lebih ideal dari pada studi mengenai pertumbuhan
pemikiran filsafat di negeri Yunani.
Sebelum Islam yang diajarkan oleh
Nabi Muhammad saw. bersentuhan dengan kebudayaan luar Islam, sesungguhnya
kehidupan bangsa-bangsa di berbagai belahan dunia berada dalam pengaruh
peradabannya masing-masing. Kehidupan sosial dan beragama yang mereka jalankan
adalah buah keyakinan terhadap ajaran ketauhidan (Monotheis) yang disampaikan
oleh rasul-rasul sebelum Nabi Muhammad saw. Perkembangan selanjutnya, ajaran
ketuhanan yang monotheis itu mengalami bias menuju politheis karena rentang
waktu yang cukup panjang antara kehadiran satu rasul dengan rasul berikutnya..
Seperti jarak kehadiran Nabi Isa as yang cukup panjang dengan jarak diutusnya
Rasul terakhir, Nabi Muhammad saw. yang berakibat memudarnya konsep tauhid
bergeser ke dalam paradigma ketuhanan Trinitas. Di sisi lain, pergeseran
paradigma ketuhanan dalam alam pikiran dan keyakinan manusia disebabkan oleh
kecerdasan berpikir manusia yang progressif demi menjawab tantangan kebutuhan
zamannya. Apalagi, kecerdasan berpikir yang ditandai dengan kebebasan akal
tidak mempunyai referensi di luar dirinya, sehingga akal bergerak bebas tanpa
kendali yang menggiring keyakinan manusia ke wilayah kebenaran subyektif dan
apriori.
Dalam tinjauan
sejarah peradaban manusia, peradaban Yunani menjadi pelopor dalam eksplorasi
kemampuan akal manusia untuk mencapai kebenaran. Peradaban Yunani dikenal
melalui ajaran para filosofnya seperti paham Idealisme yang dikemukakan Plato,
paham realisme yang diajarkan Aristoteles dan seterusnya. Pendekatan yang
mereka gunakan pun mengalami fluaktuasi seiring dengan dinamika berpikirnya
dari paradigma filsafat alam (naturalis) menuju materialis, kemudian kembali
lagi ke naturalis, atau dari serba ruh menuju serba materi dan kembali lagi ke
serba ruh. Pendayagunaan akal
dengan pendekatan berbagai paradigma ajaran filsafat yang berkembang di zaman
itu, mendorong masyarakat Yunani untuk mengetahui lebih jauh tentang manusia
dan alam di sekitarnya sehingga bermunculanlah berbagai teori-teori hukum alam
seperti teori geosentris, heliosentris, ilmu perbintangan, dan ilmu ukur atau
geometri. Karena itu, tidaklah heran apabila situs sejarah Yunani ditandai
dengan peninggalan bangunan gedung atau rumah yang berarsitektur tinggi, dan
mekanisme kehidupan masyarakat yang berjalan sistematis di atas aturan-aturan
yang berlaku di zamannya.
B. Rumusan Masalah
Dari uraian tersebut di atas, maka untuk
lebih jelasnya penulis akan mengemukakan batasan permasalahan sebagai berikut :
1. Bagaimana kontak kaum muslimin dengan filsafat Yunani?
2. Apakah penyebab filsafat Yunani
diterima dalam pemikiran Islam?
3. Bagaimana pengaruh
filsafat Yunani terhadap ilmu kalam?
C. Tujuan Penulisan
1.Untuk mengetahui kontak kaum
muslimin dengan filsafat Yunani.
2. Untuk
mengetahui penyebab
filsafat Yunani diterima dalam pemikiran Islam.
3. Untuk mengetahui pengaruh
filsafat Yunani terhadap ilmu kalam?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Kontak Kaum Muslimin Dengan Filsafat Yunani
Kalau dilihat dari sejarahnya, jelas
bahwa filsafat jauh lebih dahulu timbulnya daripada agama Islam. Islam muncul
di Gurun Pasir Arabiyah yaitu di Mekah pada abad ke 6 M sedang
filsafat terbit di Yunani sekitar abad ke 5 SM atau jauh sebelumnya. Pertemuan
Islam (kaum Muslimin) dengan filsafat ini terjadi pada abad ke 8 M atau
abad ke 2 Hijriyah, di saat umat Islam mengembangkan sayapnya dan menjangkau
daerah-daerah baru. Filsafat adalah salah satu dari kebudayaan asing yang
ditemui Islam dalam perjalanan sejarahnya.[1] Oleh karena itu filsafat diambil alih
oleh kaum muslimin dengan melalui penerjemahan buku-buku filsafat Yunani ke
dalam bahasa Arab sehingga pada saat itu minat dan gairah mempelajari filsafat
dan ilmu pengetahuan begitu tinggi karena pemerintah yang menjadi pelopor serta
pioner utamanya.
Kegiatan penterjemahan buku filsafat
Yunani ke dalam bahasa Arab pada mulanya dilakukan pada zaman Khalifah Amawiyah
di Mamascus, sedang buku-buku yang diterjemahkan itu adalah buku-buku yang ada
kaitan langsung dengan kehidupan praktis, seperti buku-buku kimia dan
kedokteran. Olehnya itu setelah pusat kekuasaan berpindah ke tangan khalifah
Abasiyah aktivitas penerjemahan menjadi semakin berkembang dengan pesat.
Sejak kegiatan penerjemahan buku-buku
filsafat Yunani je dalam Bahasa Arab semakin populerlah sebutan “Falsafah” di
kalangan intelektual muslim, dan semenjak itulah mulai kegiatan penganalisaan
filsafat di kalangan kaum muslimin. Kegiatan penerjemahan buku-buku ini
berjalan melalui tiga periode, yaitu :
Periode
pertama, yang terjadi pada masa khalifah al-Mansur sampai penghujung masa
khalifah Harun al-Rasyid (sekitar abad ke 8
M). Dalam priode ini termasyhur nama-nama penerjemah Ibnu al-Muqaffa, Jarjis
bin Jabril, Yuhanna bin Masweh dan lain-lain. Ibnu al-Muqaffa penerjemah
Kalilah Wa Dimna itu dikatakan orang bahwa dialah orang pertama yang menyalin
logika Aristoteles ke dalam bahasa Arab
Periode
kedua, yang terjadi pada masa khalifah al-Makhmun bin Harun al-Rasyid (abad ke8
M), dalam priode ini al-Makmun mendirikan sebuah Institut untuk para
penerjemah, yang diberi nama “Baitul Hikmah” (The House of Wisdom) di Bagdad
yang berusaha untuk menerjemahkan buku-buku Galen (Jalinus Ath-Thabib) ke dalam
bahasa Arab baik dalam lapangan filsafat maupun kedokteran
Periode
ketiga, yang merupakan priode terakhir zaman terjemahan besar-besaran dalan
dunia Islam terjadi sekitar abad ke 10
M. Dalam priode ini muncul penerjemah Abu Bisher Muttu bin Yunus al-Qannai (940
M), Yahya bin Adi al-Mantiq (974 M), Izhak bin Zura (1008 M), al-Hasan bin
al-Khammar (942 M), murid Yahya bin Adi mereka ini melanjutkan usaha-usaha di
periode ke dua dengan menyalin dan memberi komentar tentang buku-buku logika
dan matematika Aristoteles.[2]
Pada masa berikutnya, yaitu masa
al-Makmun yang merupakan kejayaan Islam / keemasan bagi kegiatan penerjemahan.
Al-Makmun dalam sejarah Islam dikenal sebagai Khalifah Bani Abbas yang besar
perhatiannya pada ilmu pengetahuan dan filsafat, dan ia mendirikan Bait al-Hikmah pada tahun 830 M, sedangkan buku-buku filsafat,
metafisika, etika dan psikologi, sebab adanya penerjemahan buku-buku ini
berkisar pada pribadi al-Makmun dengan kegairahannya kepada ilmu pengetahuan.[3]
Jadi kalau
pada masa al-Makmun dikenal dengan masa kejayaan Islam/ keemasan maka tidak
dapat dimungkiri bahwa penerjemahan tidak hanya berkisar pada filsafat saja,
melainkan buku-buku filsafat lainnya, seperti : psikologi, etika, ketuhanan dan lain-lain sebagainya,
dibanding pada masa al-Mansur, buku-buku filsafat yang diterjemahkan hanya
buku, logika.
Betapa
penting dan pengaruh logika Yunani ke dalam dunia Islam dapat dilihat pada
pertumbuhan teologi Islam sampai sekarang. Dalam catatan sejarah orang yang
pertama menerjemahkan buku-buku logika karangan Aristoteles adalah Ibnu
Muqaffa, beliau menerjemahkan atas perintah al-Mansur, sedang buku ini terdiri
tiga buah yakni : Categoriae, De
Interpretation, danAnalityca
Priora.
Setelah masa al-Makmun berlaku
sebagai masa kegemilangan penerjemahan, maka penerjemahan tidak banyak lagi
dilakukan, terutama buku-buku filsafat. Karena penggantinya (Khalifah
al-Mutawakkil) menekan kebebasan berpikir dan menindas orang-orang bekerja di
lapangan filsafat. Dengan penekanan dan penindasan Khalifah al-Mutawakkil
sehingga timbul atau muncul orang-orang yang bekerja dalam lapangan filsafat
secara diam-diam. Orang-orang tersebut dikenal dengan nama Ikhwan ash-Shafaa’.
Mereka adalah suatu perkumpulan rahasia yang bergerak dalam lapangan ilmu
pengetahuan walaupun kadang-kadang seakan-akan organisasi ini bertendensi
politik, sehingga ada orang yang beranggapan bahwa ia merupakan salah satu dari
ormas kaum Syiah.[4]
Walaupun
Ikhwan ash Shafa’ pada umumnya sependapat dengan kaum Mu’tazilah dalam soal
agama tapi mereka berbeda pendapat dalam berbagai hal yang penting, yaitu : Mu’tazilah tidak percaya bahwa manusia
dapat melihat Allah, akan tetapi Ikhwanush-Shafa’ dengan tegas percaya bahwa
dihari kiamat Allah akan menampakkan diri.[5]
B. Sebab-sebab Filsafat Yunani Diterima dalam Pemikiran Islam
Pertemuan Islam dan peradaban Yunani
telah melahirkan pemikiran rasional di kalangan ulama Islam zaman klasik. Tapi
dijumpai perbedaan yang mendasar antara pemikiran rasional Yunani dan pemikiran
rasional Islam zaman klasik. Di Yunani tidak di kenal agama Samawi, maka
pemikiran bebas, tanpa terikat pada ajaran-ajaran agama, tumbuh dan berkembang.
Sementara pada Islam zaman klasik pemikiran rasional ulama terikat pada
ajaran-ajaran agama Islam sebagaimana yang terdapat dalam Alquran dan hadis.[6]
Doktrinal ajaran Islam yang mengikat
atau membatasi pemikiran rasional ulama Islam zaman klasik menimbulkan
pertanyaan terhadap proses kontak antara Islam dan ilmu pengetahuan serta
filsafat Yunani, yang dapat diterima oleh ulama Islam pada saat itu selama
kurang lebih satu abad lamanya.[7] Padahal ajaran filsafat Yunani, tumbuh
dan berkembang dalam situasi keagamaan nonsamawi, yaitu kehidupan beragama yang
berjalan berdasarkan keyakinan dari buah pemikiran semata. Mereka mengenal
sejumlah nama dewa yang menjadi Tuhan, tetapi pendewaan terhadap sesuatu
diinspirasi dari hirarki maupun pembagian fungsi kekuasaan yang berlaku di
kerajaan-kerajaan Yunani. Karena itu, keyakinan mereka tidak membatasi
pemikiran rasionalnya.
Ahmad Hanafi menyebutkan
faktor-faktor obyektif mengapa sebagian besar ulama seperti yang dipelopori
filosof-filosof Islam dan ulama-ulama Mu’tazilah dapat menerima filsafat
Yunani, yaitu :
1. Ketelitian
yang dimiliki oleh logika Aristoteles dan ilmu-ilmu matematika yang cukup
mengagumkan dunia pikir Islam, sehingga mereka mempercayai kebenaran logika itu
dan kejelasan seluruh hasil pemikiran Yunani termasuk di dalam lapangan
ketuhanan (metafisika). Kekaguman itu dapat dijumpai dalam buku Al-Munqizu min al-Dalal karya al-Ghazali.
2. Corak
keagamaan pada filsafat Yunani ketika menggambarkan Tuhan dan kebahagiaan
manusia. Mereka yang menerima ajaran filsafat Yunani memahami bahwa corak
keagamaan yang ditawarkan sejalan dengan corak keagamaan Islam yang bersendikan
Ketuhanan Yang Maha Esa dan zuhud serta tasawuf dan peleburan diri pada Tuhan,
sebagai jalan pendekatan manusia kepada-Nya. Meskipun corak keagamaan itu
sebenarnya datang dari pikiran-pikiran lain bukan Yunani, yaitu pikiran-pikiran
Romawi di Roma, pikiran Mesir di Iskandaria, pikiran Poenisia dan timur serta
Semit di timur dekat.
3. Para penerjemah menyangka bahwa corak keagamaan
yang diinformasikan merupakan ajaran filsafat Yunani, padahal bahan terjemahan
itu merupakan karya pemikir non Yunani seperti pemikir di kalangan Yahudi dan
Masehi yang menggunakan sistematika berpikir filsafat dalam menjelaskan paham
keagamaannya.[8]
Dari ketiga faktor tersebut, nampak
pengaruh filsafat Yunani yang begitu kuat dalam pemikiran rasional ulama Islam
zaman klasik disebabkan oleh kebenaran logika filsafat dan persamaan corak
keagamaan yang turut memantapkan perasaan dalam mempertahankan
kepercayaan-kepercayaan agama. Meskipun pada pertengahan kedua abad kelima
Hijriah, terjadi penolakan terhadap ajaran filsafat, namun penolakan itu
sendiri menggunakan logika argumentasi filosofis.
Penolakan itu sendiri tidak bisa
dihindarkan karena adanya perbedaan mendasar antara pemikiran rasional Yunani
dan pemikiran rasional Ulama Islam Zaman Klasik. Terhadap penolakan ini,
filosof-filosof Islam mengusahakan pemaduan, dengan dua jalan yaitu :
1. Memberikan
ulasan terhadap pikiran-pikiran filsafat Yunani, menghilangkan
kejanggalan-kejanggalannya dan mempertemukan pikiran filsafat yang berlawanan.
Buku al-Farabi yang berjudul al-Jam’u
Baina al-Hakimain (Pemaduan
antara dua filosof: Plato dan Aristotels) mencerminkan cara tersebut.
2. Menakwilkan
kebenaran-kebenaran (ketentuan-ketentuan) agama dengan takwilan yang sesuai
dengan pikiran-pikiran filsafat atau dengan perkataan lain, penundukan
ketentuan agama kepada pikiran-pikiran filsafat.[9]
Terhadap manisfestasi penerimaan
filsafat Yunani seperti yang terungkap dalam dua jalan tersebut, menimbulkan
persoalan tentang kebenaran penundukkan ketentuan agama kepada pikiran-pikiran
filsafat yang berarti memposisikan wahyu di bawah akal atau wahyu harus tunduk
dengan kemauan akal. Harun Nasution dalam ulasannya tentang ‘Akal dan Akhlak’,
mengungkapkan bahwa konsep hukum alam ciptaan Tuhan (sunnatullah) yang
terkandung dalam Alquran membawa pada keyakinan tidak adanya pertentangan
antara agama dan ilmu pengetahuan. Sumber agama adalah wahyu dan sumber ilmu
pengetahuan adalah hukum alam, sedang keduanya berasal dari sumber yang satu,
yaitu Tuhan. Maka antara keduanya tidak bisa ada pertentangan.[10]
Penulis memahami penjelasan tersebut
sebagai akhlak dalam berakal, yaitu menyadari akan keterbatasan akal dalam
memahami wahyu karena Alquran disusun atas redaksi ayat-ayat dengan konstruksi
pemahaman ayat sebagai pohon pikiran yang mesti dicari buah pikirannya dalam
upaya membumikan wahyu sehingga menimbulkan dampak yang riil dalam kehidupan
manusia.
C. Pengaruh filsafat Yunani terhadap ilmu
kalam
Menurut Noorcholish Madjid, ada dua
corak filsafat Yunani yang diadopsi oleh dunia Islam, Neoplatonisme dan
Aristotelianisme. Neoplatonisme pembahasannya cenderung mystis, sementara
Aristotelianisme cenderung rasional. Neoplatonisme melahirkan sufisme
(yang juga dipengaruhi oleh peradaban Persia dan India) sementara pengaruh
Aristotelianisme cukup kuat dalam perkembangan ilmu kalam, seperti diwakili
oleh Mu’tazilah, Syi’ah, Asy’ariyah dan Maturidiyah.
Corak utama pengaruh filsafat Yunani
dalam kaitannya dengan pertumbuhan dan perkembangan ilmu kalam adalah
penggunaan logika (mantiq) sebagai dalil kedua setelah nash di dalam memaknai
aqidah dengan segala rangkaiannya. Padangan para teolog muslim dalam dalil aqli banyak terinspirasi oleh buku karangan
Plato yang berjudul “Timaeus.” Tentu saja para teolog tersebut tidak mengambil
secara utuh apa yang ada dalam ‘Turats Yunani.’ Mereka hanya mengambil
unsur-unsur inti yang mencerminkan ruh pemikiran Yunani kemudian mencampurnya
dengan unsur-unsur ketimuran. Al-Qadli Abd. Jabbar, misalnya. Dalam salah satu
uraiannya tentang al-Ushul
al-Khomsah dia
berkata: “…jika sudah jelas bahwa al-ajsam (hal-hal yang menempati ruang dan
waktu) adalah hadits (baru, lawa qodim), maka harus ada yang menciptakannya.
Pencipta itu tidak lain adalah Allah…”.
Al-Qadli Abd. Jabbar dalam frase di
atas telah menggunakan bahasa (baca, cara) Plato dalam berargumen dengan bukti
bahwa argumen semacam itu juga telah dipakai oleh Plato dalam buku ‘Timaeus’.
Demikian pula yang terjadi pada al’Asy’ari ketika ia menjelaskan: “…Dia (Allah)
mencipta tanpa mencontoh yang terdahulu.…” Argumen-argumen semacam ini
banyak digunakan dalam Turats Yunani.
Dalam al-Quran juga disebutkan betapa penggunaan akal merupakan
suatu keharusan dalam menjalani kehidupan ini, baik kehidupan lahir maupun
batin (baca, keyakinan). Allah berfirman: Katakan! (hai Muhammad) renungkanlah
apa yang ada di langit dan di bumi. (QS Yunus, ayat 101). Berdasarkan Fakta di
atas maka adalah suatu yang wajar jika teologi ini harus menggunakan
dalil-dalil aqli.
Titik tolak dalil aqli merupakan
kebalikan dari titik tolak dalil naqli. Jika dalil naqli bertolak dari sikap
pasrah dan menerima secara mutlak terhadap nash yang dipergunakan sebagai
dalil, maka dalil aqli diawali oleh akal yang berpegang pada argumen dan fakta.
Akal akan mampu mencapai pemahaman pada Nash sebagaimana ia mampu mengatasi
problem penafsiran leksikal atau materialistis. Akal adalah ‘pewaris wahyu.’
Ketika wahyu sudah sempurna, maka akal adalah ‘evolusi’ atas wahyu tersebut.
Ketika Nash menjadi argumen aqli yang berdiri sendiri hingga kekuatan
Nash tersebut tercermin dalam argumen aqli yang
mengungkapkannya, maka argumen aqli itu akan dapat menyentuh nurani dan
akan menuju pada ke ruh keharmonisan logis. Dalam hal penggunaan dalil aqli secara lebih mendalam sebagian madzhab
cukup siap dan sebagian yang lain tidak. Al-Maturidiyyah lebih siap dan berani
memulai pengunaan dalil
aqli dari pada
al-Asy’ariah. Hanya Mu’tazilah yang selalu siap sedia bahkan kadang terkesan kebablasan walaupun sebenarnya tidak seberapa.
Dari sinilah kemudian lahir berbagai
tokoh teolog dan filosof Islam yang saling berlomba mengemukakan berbagai
konsepsinya tentang ilmu kalam dengan berbagai argumentasinya. Berbag ai diskursus bergulir dari satu tema
ke tema yang lainnya, mulai dari wujud Tuhan (qadim-hadits, transenden-imanen),
sifat-sifatNya (wajib, mustahil, mungkin), af’alNya (sabda, keadilan, dst),
kekuatan akal dan wahyu, posisi dan fungsi manusia, sampai kepada persoalan
eskatologis (surga, neraka, dst)
Sebagai contoh, kita akan mengangkat
bagaimana Ibn Sina berusaha membuktikan bahwa Tuhan benar-benar ada. Dalam
al-Isyarat, ia menjelaskan hal ini dengan sangat sistematis. Pertama-tama ia
menjelaskan bagaimana pemikiran kaum positivis yang menafikan wujud Tuhan serta
argumen-argumennya. Setelah itu, ia membantah argumen kaum positivis dengan
argumen yang biasa mereka gunakan. Seperti kita ketahui, kaum positivis tidak
mau menerima adanya realitas di luar yang dapat kita persepsi melalui indra.
Dengan argumentasi ini, Ibn Sina mulai membuktikan bahwa terdapat wujud di luar
materi. Setelah itu, Ibn Sina melanjutkan dengan menjelaskan bahwa wujud di
luar materi tersebut yang paling utama adalah Sang penyebab pertama yang
darinya berangkai berbagai sebab. Di sinilah ia membuktikan bagaimana Tuhan
menjadi penyebab utama (al-Ilah al-Ula).
Para filosof yang membuktikan adanya
ketuhanan melalui jalur al-Imkan
wa al-Wujub, mereka menggunakan beberapa argumen: alam adalah sesuatu
yang adanya adalah mungkin, karena ia mungkin ada dan mungkin tidak ada. Ketika
ia menjadi ada, maka ia membutuhkan faktor lain yang menyebabkannya harus
meng”ada”, karena sesuatu yang mungkin, tidak dapat merubah dirinya dari sutu
keadaan kepada keadaan yang lain. Oleh sebab itu, terdapat Sesuatu yang lain
dan di luar dirinya yang telah merubah sesuatu yang mungkin tersebut. Agen
perubahan tersebut adalah wajib al-Wujud, karena bagi mereka, pada realitas
yang disebut wujud hanya terbagi dua: wajib al-wujud dan mumkin al-wujud.
Argumen ini sedikit berbeda dengan yang digunakan oleh para teolog. Para
mutakallimin menggunakan dalil al-Huduts untuk sampai pada penjelasan adanya
Tuhan. Salah satunya yang djelaskan oleh Aduddin al-Iji dalam Syarh al-Mawaqif.
Menurutnya, para mutakallimin telah menetapkan bahwa argumen kebaharuan (huduts)
adalah merupakan argumen utama untuk menjelaskan keberadaan Tuhan (itsbat
al-Shani). Dalam persoalan ini, ia menjelaskan bahwa alam adalah
baharu (muhdats)
dan setiap yang baharu maka ia membutuhkan yang mengadakannya (muhdits).
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari uraian dalam pembahasan di atas, maka
penulis akan mengambil beberapa kesimpulan sebagai berikut :
1. Kaum
muslimin mulai mengadakan kontak dengan filsafat Yunani ketika mereka mulai
menyebarkan Islam ke luar jazirah Arab, kemudian dimulainya penerjemahan
kitab-kitab filsafat Yunani ke dalam bahasa Arab.
2. Filsafat Yunani
dapat diterima oleh sebagian besar ulama Islam Zaman Klasik disebabkan oleh
spirit Alquran yang mendorong optimalisasi penggunaan akal, sedangkan doktrin
penggunaan akal adalah bagian dari ajaran filsafat Yunani yang sangat
menghargai kemerdekaan pemikiran.
3. Pada
dasarnya Islam tidak mencegah orang mempelajari atau mendalami filsafat, bahkan
menganjurkan orang berfilsafat, berpikir menurut logika untuk memperkuat
kebenaran yang dibawa oleh Alquran dengan dalil akal dan pembahasan rasional.
Dengan demikian Islam sangat menghargai penggunaan akal dan menjamin
kemerdekaan berpikir, sehingga banyak ulama yang menganggap sangat penting
adanya filsafat, karena dapat membantu dalam menjelaskan isi kandungan Alquran.
B. Saran
Penulis mengharapkan agar semua pihak memperdalam ilmu
pengetahuan yang nantinya akan mengantarkan dirinya kepada kebaikan. Pemakalah juga mengharapkan masukan agar kiranya sebagai
manusia kita bisa saling menghargai dan melengkapi satu sama lain.
DAFTAR PUSTAKA
Ala, Maryam Ambo. Diktat
Filsafat Islam. Ujungpandang: Unismuh, 1993.
Ali, Yunasril. Perkembangan
Pemikiran Falsafi Dalam Islam. Cet. I; Jakarta:
Bumi Aksara, 1991.
Alisyahbana, Sutan Takdir. Pembimbing
ke Filsafat, Jilid I. t.tp.
: PT. Pustaka Rakjat, t.th.
Bertens, K. Sejarah
Filsafat Yunani. Cet. IV; Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 1984.
Dasoki, Thawil Akhyar. Sebuah
Kompilasi Filsafat Islam. Cet. I; Semarang:
Dina Utama, 1993.
Hanafi, Ahmad. Pengantar
Filsafat Islam. Cet. V; Jakarta:
Bulan Bintang, 1991.
Nasution, Harun. Filsafat Mistisisme Dalam Islam. Cet.
VIII; Jakarta: Bulan Bintang,
1992.
Nasution, Harun. Islam
Rasional. Gagasan dan Pemikiran). Bandung:
Mizan, 2001.
Platen, A. V. Sedjarah
Filsafat Barat,. Bandung:
Balai Pendidikan Guru, t.th.
Poerwantana dan A. Ahmad, Seluk
Beluk Filsafat Islam. Cet. III; Bandung:
PT. Remaja Rosdakarya, 1993.
Qadir, C. A. Filsafat dan Ilmu Pengetahuan Dalam
Islam. Edisi II, Jakarta: Yayasan
Obor Indonesia, 1991.
Rasyidi, H.M. dan Harifuddin Cawidu, Islam Untuk Disiplin Ilmu Filsafat.
Cet. I; Jakarta: PT Bulan
Bintang, 1988.
[1]. H.M. Rasyidi dan Harifuddin Cawidu, Islam Untuk Disiplin Ilmu Filsafat (Cet.I; Jakarta: PT Bulan Bintang,
1988), h. 87.
[2] Yunasril Ali, Perkembangan
Pemikiran Falsafi Dalam Islam (Cet.
I; Jakarta: Bumi Aksara, 1991), h. 9-10.
[3]
Ahmad Hanafi, Pengantar
Filsafat Islam (Cet. V;
Jakarta: Bulan Bintang, 1991), h. 43.
[4]
Yunazril Ali, Perkembangan
Pemikiran Falsafi Dalam Islam, h.
19-20.
[5] C. A. Qadir, Filsafat
dan Ilmu Pengetahuan Dalam Islam (Edisi
II, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1991), h. 59.
[6] Harun Nasution, Islam
Rasional (Gagasan dan Pemikiran) (Bandung:
Mizan, 2001), h. 7
[7] Ahmad Hanafi, Pengantar
Filsafat Islam, h. 83.
[8] Ahmad Hanafi, Pengantar
Filsafat Islam, h. 53.
[9] Ahmad Hanafi, Pengantar
Filsafat Islam, h. 55.
[10]
Harun Nasution, Islam Rasional
(Gagasan dan Pemikiran), h.
56.
No comments:
Post a Comment