Tuesday, November 21, 2017

PENGARUH FILSAFAT YUNANI TERHADAP PEMIKIRAN ISLAM



BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pembicaraan masalah filsafat, baik filsafat pendidikan, filsafat Islam maupun lainnya, berarti juga harus berbicara tentang filsafat Yunani. Hal ini karena tidak dapat diingkari bahwa filsafat pendidikan, filsafat Islam dan filsafat lainnya, terpengaruh pada filsafat Yunani. Karena itu K. Bertens mengatakan bahwa mempelajari filsafat Yunani berarti menyaksikan kelahiran filsafat. Dari sebab itu sebenarnya tidak ada pengantar filsafat yang lebih ideal dari pada studi mengenai pertumbuhan pemikiran filsafat di negeri Yunani.
Sebelum Islam yang diajarkan oleh Nabi Muhammad saw. bersentuhan dengan kebudayaan luar Islam, sesungguhnya kehidupan bangsa-bangsa di berbagai belahan dunia berada dalam pengaruh peradabannya masing-masing. Kehidupan sosial dan beragama yang mereka jalankan adalah buah keyakinan terhadap ajaran ketauhidan (Monotheis) yang disampaikan oleh rasul-rasul sebelum Nabi Muhammad saw. Perkembangan selanjutnya, ajaran ketuhanan yang monotheis itu mengalami bias menuju politheis karena rentang waktu yang cukup panjang antara kehadiran satu rasul dengan rasul berikutnya.. Seperti jarak kehadiran Nabi Isa as yang cukup panjang dengan jarak diutusnya Rasul terakhir, Nabi Muhammad saw. yang berakibat memudarnya konsep tauhid bergeser ke dalam paradigma ketuhanan Trinitas. Di sisi lain, pergeseran paradigma ketuhanan dalam alam pikiran dan keyakinan manusia disebabkan oleh kecerdasan berpikir manusia yang progressif demi menjawab tantangan kebutuhan zamannya. Apalagi, kecerdasan berpikir yang ditandai dengan kebebasan akal tidak mempunyai referensi di luar dirinya, sehingga akal bergerak bebas tanpa kendali yang menggiring keyakinan manusia ke wilayah kebenaran subyektif dan apriori.
Dalam tinjauan sejarah peradaban manusia, peradaban Yunani menjadi pelopor dalam eksplorasi kemampuan akal manusia untuk mencapai kebenaran. Peradaban Yunani dikenal melalui ajaran para filosofnya seperti paham Idealisme yang dikemukakan Plato, paham realisme yang diajarkan Aristoteles dan seterusnya. Pendekatan yang mereka gunakan pun mengalami fluaktuasi seiring dengan dinamika berpikirnya dari paradigma filsafat alam (naturalis) menuju materialis, kemudian kembali lagi ke naturalis, atau dari serba ruh menuju serba materi dan kembali lagi ke serba ruh. Pendayagunaan akal dengan pendekatan berbagai paradigma ajaran filsafat yang berkembang di zaman itu, mendorong masyarakat Yunani untuk mengetahui lebih jauh tentang manusia dan alam di sekitarnya sehingga bermunculanlah berbagai teori-teori hukum alam seperti teori geosentris, heliosentris, ilmu perbintangan, dan ilmu ukur atau geometri. Karena itu, tidaklah heran apabila situs sejarah Yunani ditandai dengan peninggalan bangunan gedung atau rumah yang berarsitektur tinggi, dan mekanisme kehidupan masyarakat yang berjalan sistematis di atas aturan-aturan yang berlaku di zamannya.
B. Rumusan Masalah
Dari uraian tersebut di atas, maka untuk lebih jelasnya penulis akan mengemukakan batasan permasalahan sebagai berikut :
1.  Bagaimana kontak kaum muslimin dengan filsafat Yunani?
2.  Apakah penyebab filsafat Yunani diterima dalam pemikiran Islam?
3. Bagaimana pengaruh filsafat Yunani terhadap ilmu kalam?


C. Tujuan Penulisan
1.Untuk mengetahui kontak kaum muslimin dengan filsafat Yunani.
2. Untuk mengetahui penyebab filsafat Yunani diterima dalam pemikiran Islam.
3. Untuk mengetahui pengaruh filsafat Yunani terhadap ilmu kalam?













BAB II
PEMBAHASAN
A. Kontak Kaum Muslimin Dengan Filsafat Yunani
Kalau dilihat dari sejarahnya, jelas bahwa filsafat jauh lebih dahulu timbulnya daripada agama Islam. Islam muncul di Gurun Pasir Arabiyah yaitu di Mekah pada abad ke 6 M sedang filsafat terbit di Yunani sekitar abad ke 5 SM atau jauh sebelumnya. Pertemuan Islam (kaum Muslimin) dengan filsafat ini terjadi pada abad ke 8 M atau abad ke 2 Hijriyah, di saat umat Islam mengembangkan sayapnya dan menjangkau daerah-daerah baru. Filsafat adalah salah satu dari kebudayaan asing yang ditemui Islam dalam perjalanan sejarahnya.[1] Oleh karena itu filsafat diambil alih oleh kaum muslimin dengan melalui penerjemahan buku-buku filsafat Yunani ke dalam bahasa Arab sehingga pada saat itu minat dan gairah mempelajari filsafat dan ilmu pengetahuan begitu tinggi karena pemerintah yang menjadi pelopor serta pioner utamanya.
Kegiatan penterjemahan buku filsafat Yunani ke dalam bahasa Arab pada mulanya dilakukan pada zaman Khalifah Amawiyah di Mamascus, sedang buku-buku yang diterjemahkan itu adalah buku-buku yang ada kaitan langsung dengan kehidupan praktis, seperti buku-buku kimia dan kedokteran. Olehnya itu setelah pusat kekuasaan berpindah ke tangan khalifah Abasiyah aktivitas penerjemahan menjadi semakin berkembang dengan pesat.
Sejak kegiatan penerjemahan buku-buku filsafat Yunani je dalam Bahasa Arab semakin populerlah sebutan “Falsafah” di kalangan intelektual muslim, dan semenjak itulah mulai kegiatan penganalisaan filsafat di kalangan kaum muslimin. Kegiatan penerjemahan buku-buku ini berjalan melalui tiga periode, yaitu :
Periode pertama, yang terjadi pada masa khalifah al-Mansur sampai penghujung masa khalifah Harun al-Rasyid (sekitar abad ke 8 M). Dalam priode ini termasyhur nama-nama penerjemah Ibnu al-Muqaffa, Jarjis bin Jabril, Yuhanna bin Masweh dan lain-lain. Ibnu al-Muqaffa penerjemah Kalilah Wa Dimna itu dikatakan orang bahwa dialah orang pertama yang menyalin logika Aristoteles ke dalam bahasa Arab
Periode kedua, yang terjadi pada masa khalifah al-Makhmun bin Harun al-Rasyid (abad ke8 M), dalam priode ini al-Makmun mendirikan sebuah Institut untuk para penerjemah, yang diberi nama “Baitul Hikmah” (The House of Wisdom) di Bagdad yang berusaha untuk menerjemahkan buku-buku Galen (Jalinus Ath-Thabib) ke dalam bahasa Arab baik dalam lapangan filsafat maupun kedokteran
Periode ketiga, yang merupakan priode terakhir zaman terjemahan besar-besaran dalan dunia Islam terjadi sekitar abad ke 10 M. Dalam priode ini muncul penerjemah Abu Bisher Muttu bin Yunus al-Qannai (940 M), Yahya bin Adi al-Mantiq (974 M), Izhak bin Zura (1008 M), al-Hasan bin al-Khammar (942 M), murid Yahya bin Adi mereka ini melanjutkan usaha-usaha di periode ke dua dengan menyalin dan memberi komentar tentang buku-buku logika dan matematika Aristoteles.[2]
Pada masa berikutnya, yaitu masa al-Makmun yang merupakan kejayaan Islam / keemasan bagi kegiatan penerjemahan. Al-Makmun dalam sejarah Islam dikenal sebagai Khalifah Bani Abbas yang besar perhatiannya pada ilmu pengetahuan dan filsafat, dan ia mendirikan Bait al-Hikmah pada tahun 830 M, sedangkan buku-buku filsafat, metafisika, etika dan psikologi, sebab adanya penerjemahan buku-buku ini berkisar pada pribadi al-Makmun dengan kegairahannya kepada ilmu pengetahuan.[3]
Jadi kalau pada masa al-Makmun dikenal dengan masa kejayaan Islam/ keemasan maka tidak dapat dimungkiri bahwa penerjemahan tidak hanya berkisar pada filsafat saja, melainkan buku-buku filsafat lainnya, seperti : psikologi, etika, ketuhanan dan lain-lain sebagainya, dibanding pada masa al-Mansur, buku-buku filsafat yang diterjemahkan hanya buku, logika.
Betapa penting dan pengaruh logika Yunani ke dalam dunia Islam dapat dilihat pada pertumbuhan teologi Islam sampai sekarang. Dalam catatan sejarah orang yang pertama menerjemahkan buku-buku logika karangan Aristoteles adalah Ibnu Muqaffa, beliau menerjemahkan atas perintah al-Mansur, sedang buku ini terdiri tiga buah yakni : Categoriae, De Interpretation, danAnalityca Priora.
Setelah masa al-Makmun berlaku sebagai masa kegemilangan penerjemahan, maka penerjemahan tidak banyak lagi dilakukan, terutama buku-buku filsafat. Karena penggantinya (Khalifah al-Mutawakkil) menekan kebebasan berpikir dan menindas orang-orang bekerja di lapangan filsafat. Dengan penekanan dan penindasan Khalifah al-Mutawakkil sehingga timbul atau muncul orang-orang yang bekerja dalam lapangan filsafat secara diam-diam. Orang-orang tersebut dikenal dengan nama Ikhwan ash-Shafaa’. Mereka adalah suatu perkumpulan rahasia yang bergerak dalam lapangan ilmu pengetahuan walaupun kadang-kadang seakan-akan organisasi ini bertendensi politik, sehingga ada orang yang beranggapan bahwa ia merupakan salah satu dari ormas kaum Syiah.[4]
Walaupun Ikhwan ash Shafa’ pada umumnya sependapat dengan kaum Mu’tazilah dalam soal agama tapi mereka berbeda pendapat dalam berbagai hal yang penting, yaitu : Mu’tazilah tidak percaya bahwa manusia dapat melihat Allah, akan tetapi Ikhwanush-Shafa’ dengan tegas percaya bahwa dihari kiamat Allah akan menampakkan diri.[5]
B. Sebab-sebab Filsafat Yunani Diterima dalam Pemikiran Islam
Pertemuan Islam dan peradaban Yunani telah melahirkan pemikiran rasional di kalangan ulama Islam zaman klasik. Tapi dijumpai perbedaan yang mendasar antara pemikiran rasional Yunani dan pemikiran rasional Islam zaman klasik. Di Yunani tidak di kenal agama Samawi, maka pemikiran bebas, tanpa terikat pada ajaran-ajaran agama, tumbuh dan berkembang. Sementara pada Islam zaman klasik pemikiran rasional ulama terikat pada ajaran-ajaran agama Islam sebagaimana yang terdapat dalam Alquran dan hadis.[6]
Doktrinal ajaran Islam yang mengikat atau membatasi pemikiran rasional ulama Islam zaman klasik menimbulkan pertanyaan terhadap proses kontak antara Islam dan ilmu pengetahuan serta filsafat Yunani, yang dapat diterima oleh ulama Islam pada saat itu selama kurang lebih satu abad lamanya.[7] Padahal ajaran filsafat Yunani, tumbuh dan berkembang dalam situasi keagamaan nonsamawi, yaitu kehidupan beragama yang berjalan berdasarkan keyakinan dari buah pemikiran semata. Mereka mengenal sejumlah nama dewa yang menjadi Tuhan, tetapi pendewaan terhadap sesuatu diinspirasi dari hirarki maupun pembagian fungsi kekuasaan yang berlaku di kerajaan-kerajaan Yunani. Karena itu, keyakinan mereka tidak membatasi pemikiran rasionalnya.
Ahmad Hanafi menyebutkan faktor-faktor obyektif mengapa sebagian besar ulama seperti yang dipelopori filosof-filosof Islam dan ulama-ulama Mu’tazilah dapat menerima filsafat Yunani, yaitu :
1.  Ketelitian yang dimiliki oleh logika Aristoteles dan ilmu-ilmu matematika yang cukup mengagumkan dunia pikir Islam, sehingga mereka mempercayai kebenaran logika itu dan kejelasan seluruh hasil pemikiran Yunani termasuk di dalam lapangan ketuhanan (metafisika). Kekaguman itu dapat dijumpai dalam buku Al-Munqizu min al-Dalal karya al-Ghazali.
2.  Corak keagamaan pada filsafat Yunani ketika menggambarkan Tuhan dan kebahagiaan manusia. Mereka yang menerima ajaran filsafat Yunani memahami bahwa corak keagamaan yang ditawarkan sejalan dengan corak keagamaan Islam yang bersendikan Ketuhanan Yang Maha Esa dan zuhud serta tasawuf dan peleburan diri pada Tuhan, sebagai jalan pendekatan manusia kepada-Nya. Meskipun corak keagamaan itu sebenarnya datang dari pikiran-pikiran lain bukan Yunani, yaitu pikiran-pikiran Romawi di Roma, pikiran Mesir di Iskandaria, pikiran Poenisia dan timur serta Semit di timur dekat.
3.  Para penerjemah menyangka bahwa corak keagamaan yang diinformasikan merupakan ajaran filsafat Yunani, padahal bahan terjemahan itu merupakan karya pemikir non Yunani seperti pemikir di kalangan Yahudi dan Masehi yang menggunakan sistematika berpikir filsafat dalam menjelaskan paham keagamaannya.[8]
Dari ketiga faktor tersebut, nampak pengaruh filsafat Yunani yang begitu kuat dalam pemikiran rasional ulama Islam zaman klasik disebabkan oleh kebenaran logika filsafat dan persamaan corak keagamaan yang turut memantapkan perasaan dalam mempertahankan kepercayaan-kepercayaan agama. Meskipun pada pertengahan kedua abad kelima Hijriah, terjadi penolakan terhadap ajaran filsafat, namun penolakan itu sendiri menggunakan logika argumentasi filosofis.
Penolakan itu sendiri tidak bisa dihindarkan karena adanya perbedaan mendasar antara pemikiran rasional Yunani dan pemikiran rasional Ulama Islam Zaman Klasik. Terhadap penolakan ini, filosof-filosof Islam mengusahakan pemaduan, dengan dua jalan yaitu :
1.  Memberikan ulasan terhadap pikiran-pikiran filsafat Yunani, menghilangkan kejanggalan-kejanggalannya dan mempertemukan pikiran filsafat yang berlawanan. Buku al-Farabi yang berjudul al-Jam’u Baina al-Hakimain (Pemaduan antara dua filosof: Plato dan Aristotels) mencerminkan cara tersebut.
2.  Menakwilkan kebenaran-kebenaran (ketentuan-ketentuan) agama dengan takwilan yang sesuai dengan pikiran-pikiran filsafat atau dengan perkataan lain, penundukan ketentuan agama kepada pikiran-pikiran filsafat.[9]
Terhadap manisfestasi penerimaan filsafat Yunani seperti yang terungkap dalam dua jalan tersebut, menimbulkan persoalan tentang kebenaran penundukkan ketentuan agama kepada pikiran-pikiran filsafat yang berarti memposisikan wahyu di bawah akal atau wahyu harus tunduk dengan kemauan akal. Harun Nasution dalam ulasannya tentang ‘Akal dan Akhlak’, mengungkapkan bahwa konsep hukum alam ciptaan Tuhan (sunnatullah) yang terkandung dalam Alquran membawa pada keyakinan tidak adanya pertentangan antara agama dan ilmu pengetahuan. Sumber agama adalah wahyu dan sumber ilmu pengetahuan adalah hukum alam, sedang keduanya berasal dari sumber yang satu, yaitu Tuhan. Maka antara keduanya tidak bisa ada pertentangan.[10]
Penulis memahami penjelasan tersebut sebagai akhlak dalam berakal, yaitu menyadari akan keterbatasan akal dalam memahami wahyu karena Alquran disusun atas redaksi ayat-ayat dengan konstruksi pemahaman ayat sebagai pohon pikiran yang mesti dicari buah pikirannya dalam upaya membumikan wahyu sehingga menimbulkan dampak yang riil dalam kehidupan manusia.
C. Pengaruh filsafat Yunani terhadap ilmu kalam
Menurut Noorcholish Madjid, ada dua corak filsafat Yunani yang diadopsi oleh dunia Islam, Neoplatonisme dan Aristotelianisme. Neoplatonisme pembahasannya cenderung mystis, sementara Aristotelianisme cenderung rasional. Neoplatonisme melahirkan sufisme (yang juga dipengaruhi oleh peradaban Persia dan India) sementara pengaruh Aristotelianisme cukup kuat dalam perkembangan ilmu kalam, seperti diwakili oleh Mu’tazilah, Syi’ah, Asy’ariyah dan Maturidiyah.
Corak utama pengaruh filsafat Yunani dalam kaitannya dengan pertumbuhan dan perkembangan ilmu kalam adalah penggunaan logika (mantiq) sebagai dalil kedua setelah nash di dalam memaknai aqidah dengan segala rangkaiannya. Padangan para teolog muslim dalam dalil aqli banyak terinspirasi oleh buku karangan Plato yang berjudul “Timaeus.” Tentu saja para teolog tersebut tidak mengambil secara utuh apa yang ada dalam ‘Turats Yunani.’ Mereka hanya mengambil unsur-unsur inti yang mencerminkan ruh pemikiran Yunani kemudian mencampurnya dengan unsur-unsur ketimuran. Al-Qadli Abd. Jabbar, misalnya. Dalam salah satu uraiannya tentang al-Ushul al-Khomsah dia berkata: “…jika sudah jelas bahwa al-ajsam (hal-hal yang menempati ruang dan waktu) adalah hadits (baru, lawa qodim), maka harus ada yang menciptakannya. Pencipta itu tidak lain adalah Allah…”.
Al-Qadli Abd. Jabbar dalam frase di atas telah menggunakan bahasa (baca, cara) Plato dalam berargumen dengan bukti bahwa argumen semacam itu juga telah dipakai oleh Plato dalam buku ‘Timaeus’. Demikian pula yang terjadi pada al’Asy’ari ketika ia menjelaskan: “…Dia (Allah) mencipta tanpa mencontoh yang terdahulu.…” Argumen-argumen semacam ini banyak digunakan dalam Turats Yunani.
Dalam al-Quran juga disebutkan betapa penggunaan akal merupakan suatu keharusan dalam menjalani kehidupan ini, baik kehidupan lahir maupun batin (baca, keyakinan). Allah berfirman: Katakan! (hai Muhammad) renungkanlah apa yang ada di langit dan di bumi. (QS Yunus, ayat 101). Berdasarkan Fakta di atas maka adalah suatu yang wajar jika teologi ini harus menggunakan dalil-dalil aqli.
Titik tolak dalil aqli merupakan kebalikan dari titik tolak dalil naqli. Jika dalil naqli bertolak dari sikap pasrah dan menerima secara mutlak terhadap nash yang dipergunakan sebagai dalil, maka dalil aqli diawali oleh akal yang berpegang pada argumen dan fakta. Akal akan mampu mencapai pemahaman pada Nash sebagaimana ia mampu mengatasi problem penafsiran leksikal atau materialistis. Akal adalah ‘pewaris wahyu.’ Ketika wahyu sudah sempurna, maka akal adalah ‘evolusi’ atas wahyu tersebut. Ketika Nash menjadi argumen aqli yang berdiri sendiri hingga kekuatan Nash tersebut tercermin dalam argumen aqli yang mengungkapkannya, maka argumen aqli itu akan dapat menyentuh nurani dan akan menuju pada ke ruh keharmonisan logis. Dalam hal penggunaan dalil aqli secara lebih mendalam sebagian madzhab cukup siap dan sebagian yang lain tidak. Al-Maturidiyyah lebih siap dan berani memulai pengunaan dalil aqli dari pada al-Asy’ariah. Hanya Mu’tazilah yang selalu siap sedia bahkan kadang terkesan kebablasan walaupun sebenarnya tidak seberapa.
Dari sinilah kemudian lahir berbagai tokoh teolog dan filosof Islam yang saling berlomba mengemukakan berbagai konsepsinya tentang ilmu kalam dengan berbagai argumentasinya. Berbag            ai diskursus bergulir dari satu tema ke tema yang lainnya, mulai dari wujud Tuhan (qadim-hadits, transenden-imanen), sifat-sifatNya (wajib, mustahil, mungkin), af’alNya (sabda, keadilan, dst), kekuatan akal dan wahyu, posisi dan fungsi manusia, sampai kepada persoalan eskatologis (surga, neraka, dst)
Sebagai contoh, kita akan mengangkat bagaimana Ibn Sina berusaha membuktikan bahwa Tuhan benar-benar ada. Dalam al-Isyarat, ia menjelaskan hal ini dengan sangat sistematis. Pertama-tama ia menjelaskan bagaimana pemikiran kaum positivis yang menafikan wujud Tuhan serta argumen-argumennya. Setelah itu, ia membantah argumen kaum positivis dengan argumen yang biasa mereka gunakan. Seperti kita ketahui, kaum positivis tidak mau menerima adanya realitas di luar yang dapat kita persepsi melalui indra. Dengan argumentasi ini, Ibn Sina mulai membuktikan bahwa terdapat wujud di luar materi. Setelah itu, Ibn Sina melanjutkan dengan menjelaskan bahwa wujud di luar materi tersebut yang paling utama adalah Sang penyebab pertama yang darinya berangkai berbagai sebab. Di sinilah ia membuktikan bagaimana Tuhan menjadi penyebab utama (al-Ilah al-Ula).
Para filosof yang membuktikan adanya ketuhanan melalui jalur al-Imkan wa al-Wujub, mereka menggunakan beberapa argumen: alam adalah sesuatu yang adanya adalah mungkin, karena ia mungkin ada dan mungkin tidak ada. Ketika ia menjadi ada, maka ia membutuhkan faktor lain yang menyebabkannya harus meng”ada”, karena sesuatu yang mungkin, tidak dapat merubah dirinya dari sutu keadaan kepada keadaan yang lain. Oleh sebab itu, terdapat Sesuatu yang lain dan di luar dirinya yang telah merubah sesuatu yang mungkin tersebut. Agen perubahan tersebut adalah wajib al-Wujud, karena bagi mereka, pada realitas yang disebut wujud hanya terbagi dua: wajib al-wujud dan mumkin al-wujud. Argumen ini sedikit berbeda dengan yang digunakan oleh para teolog. Para mutakallimin menggunakan dalil al-Huduts untuk sampai pada penjelasan adanya Tuhan. Salah satunya yang djelaskan oleh Aduddin al-Iji dalam Syarh al-Mawaqif. Menurutnya, para mutakallimin telah menetapkan bahwa argumen kebaharuan (huduts) adalah merupakan argumen utama untuk menjelaskan keberadaan Tuhan (itsbat al-Shani). Dalam persoalan ini, ia menjelaskan bahwa alam adalah baharu (muhdats) dan setiap yang baharu maka ia membutuhkan yang mengadakannya (muhdits).




BAB III
PENUTUP
A.     Kesimpulan
Dari uraian dalam pembahasan di atas, maka penulis akan mengambil beberapa kesimpulan sebagai berikut :
1.  Kaum muslimin mulai mengadakan kontak dengan filsafat Yunani ketika mereka mulai menyebarkan Islam ke luar jazirah Arab, kemudian dimulainya penerjemahan kitab-kitab filsafat Yunani ke dalam bahasa Arab.
2. Filsafat Yunani dapat diterima oleh sebagian besar ulama Islam Zaman Klasik disebabkan oleh spirit Alquran yang mendorong optimalisasi penggunaan akal, sedangkan doktrin penggunaan akal adalah bagian dari ajaran filsafat Yunani yang sangat menghargai kemerdekaan pemikiran.
3.  Pada dasarnya Islam tidak mencegah orang mempelajari atau mendalami filsafat, bahkan menganjurkan orang berfilsafat, berpikir menurut logika untuk memperkuat kebenaran yang dibawa oleh Alquran dengan dalil akal dan pembahasan rasional. Dengan demikian Islam sangat menghargai penggunaan akal dan menjamin kemerdekaan berpikir, sehingga banyak ulama yang menganggap sangat penting adanya filsafat, karena dapat membantu dalam menjelaskan isi kandungan Alquran.
B. Saran
            Penulis mengharapkan agar semua pihak memperdalam ilmu pengetahuan yang nantinya akan mengantarkan dirinya kepada kebaikan. Pemakalah juga mengharapkan masukan agar kiranya sebagai manusia kita bisa saling menghargai dan melengkapi satu sama lain.
DAFTAR PUSTAKA
Ala, Maryam Ambo. Diktat Filsafat Islam. Ujungpandang: Unismuh, 1993.  
Ali, Yunasril. Perkembangan Pemikiran Falsafi Dalam Islam. Cet. I; Jakarta: Bumi Aksara, 1991.  
Alisyahbana, Sutan Takdir. Pembimbing ke Filsafat, Jilid I. t.tp. : PT. Pustaka Rakjat, t.th.
Bertens, K. Sejarah Filsafat Yunani. Cet. IV; Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 1984.
Dasoki, Thawil Akhyar. Sebuah Kompilasi Filsafat Islam. Cet. I; Semarang: Dina Utama, 1993.  
Hanafi, Ahmad. Pengantar Filsafat Islam. Cet. V; Jakarta: Bulan Bintang, 1991.  
Nasution, Harun. Filsafat Mistisisme Dalam Islam. Cet. VIII; Jakarta: Bulan Bintang, 1992.  
Nasution, Harun. Islam Rasional. Gagasan dan Pemikiran). Bandung: Mizan, 2001.  
Platen, A. V. Sedjarah Filsafat Barat,. Bandung: Balai Pendidikan Guru, t.th.
Poerwantana dan A. Ahmad, Seluk Beluk Filsafat Islam. Cet. III; Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 1993.  
Qadir, C. A. Filsafat dan Ilmu Pengetahuan Dalam Islam. Edisi II, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1991.  
Rasyidi, H.M. dan Harifuddin Cawidu, Islam Untuk Disiplin Ilmu Filsafat. Cet. I; Jakarta: PT Bulan Bintang, 1988.  





[1]. H.M. Rasyidi dan Harifuddin Cawidu, Islam Untuk Disiplin Ilmu Filsafat (Cet.I; Jakarta: PT Bulan Bintang, 1988), h. 87.

[2] Yunasril Ali, Perkembangan Pemikiran Falsafi Dalam Islam (Cet. I; Jakarta: Bumi Aksara, 1991), h. 9-10.

[3] Ahmad Hanafi, Pengantar Filsafat Islam (Cet. V; Jakarta: Bulan Bintang, 1991), h. 43.
[4] Yunazril Ali, Perkembangan Pemikiran Falsafi Dalam Islam, h. 19-20.
[5] C. A. Qadir, Filsafat dan Ilmu Pengetahuan Dalam Islam (Edisi II, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1991), h. 59.
[6] Harun Nasution, Islam Rasional (Gagasan dan Pemikiran) (Bandung: Mizan, 2001), h. 7

[7] Ahmad Hanafi, Pengantar Filsafat Islam, h. 83.

[8] Ahmad Hanafi, Pengantar Filsafat Islam, h. 53.

[9] Ahmad Hanafi, Pengantar Filsafat Islam, h. 55.
[10] Harun Nasution, Islam Rasional (Gagasan dan Pemikiran), h. 56.

No comments:

Makalah: Mahabbah, Makrifah

BAB I PENDAHULUAN   A.      Latar Belakang Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi membawa manusia larut dan terbuai dalam din...