BAB I
PENDAHULUAN
Al-quran yang menyatakan dirinya sebagai Hudan linnas otomatis sarat dengan berbagai macam ajaran. Di antara ajaran-ajarannya tertuang dalam kisah-kisah agar manusia mengabil pelajaran, baik yang tersurat maupun yang tersirat dalam ungkapan Al-quran.
Pengungkapan al-Quran lebih bersifat global. Artinya, dalam mengungkapkan suatu peristiwa tertentu Al-Quran tidak merinci tempat kejadian, saat kejadian dan nama-nama tokoh yang terlibat serta jalannya pristiwa seperti kitab-kitab terdahulu, yakni Taurat dan Injil juga memuat kisah-kisah seperti Al-Quran namun terdapat perbedaan, baik dari segi pengungkapannya maupun gaya bahasany
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Israiliyat
Kata
Israiliyat, secara etimologis merupakan bentuk jamak dari kata Israiliyyah;
nama yang dinisbahkan kepada kata Israil (Bahasa Ibrani) yang berarti
‘Abdullah (Hamba Allah).[1] Dalam pengertian lain israiliyat
dinisbatkan kepada Nabi Ya’kub bin Ishaq bin Ibrahim. Terkadang Israiliyat
identik dengan yahudi kendati sebenarnya tidak demikian. Bani Israil merujuk
kepada garis keturunan bangsa, sedangkan Yahudi merujuk kepada pola pikir
termasuk di dalamnya agama dan dogma.
Secara
terminologis, kata israiliyyat, kendati pada mulanya hanya menunjukkan riwayat
yang bersumber dari kaum Yahudi, namun pada akhirnya, para ulama tafsir dan
hadis menggunakan istilah tersebut dalam pengertian yang lebih luas lagi. Oleh
karena itu, ada ulama yang mendefinisikan israiliyyat yaitu sesuatu yang
menunjukkan pada setiap hal yang berhubungan dengan tafsir maupun hadis berupa
cerita atau dongeng-dongeng kuno yang dinisbahkan pada asal riwayatnya dari
sumber Yahudi, Nasrani atau lainnya. Di katakan juga bahwa israiliyyat termasuk
dongeng yang sengaja diselundupkan oleh musuh-musuh Islam ke dalam tafsir dan
hadis yang sama sekali tidak ada dasarnya dalam sumber lama. Kisah atau dongeng
tersebut sengaja diselundupkan dengan tujuan merusak akidah
kaum Muslimin.[2]
Menurut
Ahmad Khalil Arsyad, israiliyyat adalah kisah-kisah yang diriwayatkan dari Ahl
al-Kitab, baik yang ada hubungannya dengan agama mereka ataupun tidak. Dalam
pendapat lain dikatakan bahwa agama merupakan pembauran kisah-kisah dari agama
dan kepercayaan non-Islam yang masuk ke Jazirah Arab Islam yang dibawa oleh
orang-orang Yahudi yang semenjak lama berkelana ke arah timur menuju Babilonia
dan sekitarnya, sedangkan Barat menuju Mesir. Setelah berita (akhbar)
keagamaan yang mereka jumpai dari negera-negara yang mereka singgahi. Di antara
cerita-cerita yang termasuk israiliyyat itu kisah Gharaniqah, kisah Zainab bint
Jahsy, cerita kapal Nabi Nuh, warna anjing Ashab al-Kahf, makanan yang
diberikan kepada Maryam. Dajjal dan lain-lain.
B. Latar Belakang Historis Timbulnya Israiliyat
Sebelum
Islam datang, ada satu golongan yang disebut dengan kaum Yahudi, yaitu
sekelompok kaum yang dikenal mempunyai peradaban yang tinggi dibanding dengan
bangsa Arab pada waktu itu. Mereka telah membawa pengetahuan keagamaan berupa
cerita-cerita keagamaan dari kitab suci mereka.[3]
Pada
waktu itu mereka hidup dalam keadaan tertindas. Banyak di antara mereka yang
lari dan pindah ke Jazirah Arab. Ini terjadi kurang lebih pada tahun 70 M. Pada
masa inilah diperkirakan terjadinya perkembangan besar-besaran kisah-kisah
israiliyya, kemudian mengalami kemajuan pada taraf tertentu. Disadari atau
tidak, terjadilah proses percampuran antara tradisi bangsa Arab dengan khazanah
tradisi Yahudi tersebut. Dengan kata lain, adanya kisah Israiliyyat merupakan
konsekuensi logis dari proses akulturasi budaya dan ilmu pengetahuan antara
bangsa Arab jahiliyah dan kaum Yahudi serta Nasrani.[4]
Pendapat
lain menyatakan bahwa timbulnya israiliyyat adalah, pertama, karena
semakin banyaknya orang-orang Yahudi yang masuk Islam. Sebelumnya mereka adalah
kaum yang berperadaban tinggi. Tatkala masuk Islam mereka tidak melepaskan
seluruh ajaran-ajaran yang mereka anut terlebih dahulu, sehingga dalam
pemahamannya sering kali tercampur antara ajaran yang mereka anut terdahulu
dengan ajaran Islam.
Kedua, adanya keinginan dari kaum Muslim pada waktu itu untuk
mengetahui sepenuhnya tentang seluk-beluk bangsa Yahudi yang berperadaban
tinggi, di muka Al-Quran hanya mengungkapkan secara sepintas saja. Dengan ini
maka muncullah kelompok mufasir yang berusaha meraih kesempatan itu dengan
memasukkan kisah-kisah yang bersumber dari orang-orang Yahudi dan Nasrani
tersebut. Akibatnya tafsir itu penuh dengan kesimpangsiuran, bahkan terkadang
mendekati khurafat dan takhayul.
Ketiga, adanya ulama Yahudi yang masuk Islam seperti Abdullah bin
Salam, Ka’ab bin Akhbar, Wahab bin Manabbih. Mereka dipandang mempunyai andil
besar terhadap tersebarnya kisah Israiliyyat pada kalangan Muslim. Hal ini
dipandang sebagai indikasi bahwa kisah Israilliyat masuk ke dalam Islam sejak
masa sahabat dan membawa pengaruh besar terhadap kegiatan penafsiran Al-Quran
pada masa-masa sesudahnya.
C. Kategori Israiliyyat
Dari
segi kandungannya, secara garis besar kisah Israiliyat terbagi menjadi tiga
kategori. Pertama, kisah Israiliyat yang benar isinya, sesuainya dengan
Al-Quran dan hadis dan tidak bertentangan dengan keduanya. Kedua, kisah
israiliyat yang bertetangan dengan Al-Quran dan hadis. Ini harus dijauhi dan
tidak boleh diriwayatkan kecuali disertai dengan penjelasan mengenai
kedustaannya. Ketiga, kisah israiliyat yang tidak diketahui benar
tidaknya. Yang demikian ini tidak perlu diyakini atau didustakan keberadaannya,
sesuai dengan hadis Nabi dari Abu Hurairah.
D. Dampak Israiliyat Terhadap Kesucian Ajaran Islam
Menurut
Adz Dzahabi, jika Israiliyat itu masuk dalam khazanah tafsir al-Quran, ia dapat
menimbulkan dampak negatif sebagai berikut. Pertam, Israiliyat akan
merusak aqidah kaum Muslimin, karena ia antara lain mengandung unsur
penyerupaan pada Allah, peniadaan ishmah para Nabi dan Rasul dari dosa
karena mengandung tuduhan perbuatan buruk yang tidak pantas bagi orang adil,
apalagi sebagai Nabi. Kedua merusak citra agama Islam karena ia
mengandung gambaran seolah-olah Islam agama penuh dengan khurafat dan
kebohongan yang tidak ada sumbernya. Ketiga, ia menghilangkan
kepercayaan pada ulama salaf, baik dari kalangan sahabat maupun tabi’in. keempat,
ia dapat memalingkan manusia dari maksud dan tujuan yang terkandung dalam
ayat-ayat al-Quran.
E. Pendapat Ulama Tentang Israiliyat
Menurut
Ibnu Taimiyah dalam kitabnya Muqaddimah fi Ushulut-Tafsir Israiliyyat
itu terbagi menjadi tiga macam. Pertama, cerita israiliyat yang shahih,
itu boleh diterima. Kedua, Israiliyyat yang dusta yang kita ketahui
kedustaannya karena bertentangan dengan syari’at, itu harus ditolak. Ketiga,
Israiliyat yang tidak diketahui kebenaran dan kepalsuannya itu didiamkan:
tidak didustakan dan tidak juga dibenarkan. Jangan mengimaninya dan jangan pula
membohongkannya.
Pada
Jumhur ulama tentang Israiliyat, Pertama mereka dapat menerima Israilyat
selama tidak bertentangan dengan Al-Quran dan hadis. Kedua, mereka tidak
menerima selagi kisah Israiliyat tersebut bertentangan dengan Al-Quran dan
hadis. Ketiga, tawaqquf atau mendiamkan. Mereka tidak menolak dan tidak
membenarkannya, berdasarkan hadis yangdiriwayatkan oleh Abu Hurairah tersebut.[5]
F. Penyusunan Israiliyat ke Dalam Tafsir
Jauh
sebelum Islam datang, israiliyat sudah mulai memasuki ke budayaan Arab (pada
masa jahiliyyah), karena di tengah-tengah mereka orang-orang Ahl al-Kitab
Yahudi telah lama hidup berdampingan. Adanya kisah israiliyyat ini merupakan
konsekuensi logis dari akuluturasi budaya dan ilmu pengetahuan antara bangsa
Arab jahiliyah dan kaum Yahudi serta Nasrani.
Di
samping itu harus diakui bahwa masyaraka Madinah dan sekitarnya – tempat Islam
berkembang – termasuk masyarakat yang heterogen, dengan Yahudi dan Arab sebagai
etnis yang paling dominan. Mereka yang masuk Islam dari kaum Yahdi (suku Bani
Qainuqa, suku Quraizah, suku al-Nazir, suku Khaibar, suku Taima dan suku Fadak)
dan Nasrani serta Majusi masih tetap membawa kesan-kesan kepercayaan agama
mereka dahulu, sehingga dalam memahami Islam tidak jarang mereka menggunakan
kacamata pemahaman mereka dahulu. Di samping itu, bangsa Arab sendiri tidak
banyak mengetahui perihal kitab-kitab terdahulu, sehingga ketika mereka ingin
mengetahui tentang penciptaan alam, kejadian-kejadian penting dan sebagainya,
mereka harus bertanya Ahl al-Kitab dari kalangan Yahudi Nasrani. Momen inilah
yang merupakan pangkal merembesnya paham-paham isirailiyyat ke dalam Islam.
Ilmu-ilmu
seperti dialektika dan kalam (teologi) banyak dipengaruhi juga oleh
israiliyyat. Ibn Atsir dalam Tarikh-nya mengabadikan bahwa faham khalq
Alquran yang dicemaskan kaum Mu’tazilah berasal dari Bisyr al-Marisiy. Ia
mengambil faham itu dari Jahm ibn Shafwan, Jahm mengadopsinya dari Ja’d ibn
Dirham, Ja’d menermimanya dari Abab ibn Sam’an.
Jadi
penyusunan israiliyyat ke dalam tafsir dapat dikatakan melalui periode
periwayatan dan pengkodifikasinnya. Pada masa periwayatan dari pada para
sahabat dan taib’in tidak terdapat kejanggalan kaerna sahabat mendapatkan
tafsir langsung dari Nabi. Bila timbul persoalan, maka Rasul sendiri yang akan
memberikan jawaban dan solusinya, baik melalui turun wahyu maupun melalui
sabda-sabda yang disampaikannya.
Adapun
di masa tabi’in, untuk memercahkan masalah yang dihadapi dalam bidang keagamaan
mendapatkan informasi dari para sahabat melalui periwayatan dan menjadi
murid-murid para sahabat dalam didikan yang diperolehnya. Namun perseoalannya,
tidak semua yang diriwayatkan tabi’in ini berasal sari Rasul Allah, melainkan
ada yang mauquf di sahabat dan tabi’in. Di zaman tabi’in inilah mulai muncul
pemalsuan dan kebohongan terhadap hadis dan tafsir.
Penyusupan
Israiliyat ini pada awalnya dikarenakan darurat, betapa pun pada masa sahabat.
Mereka membaca Alquran yang berisi kisah-kisah, karena isinya hanya
rinkas-ringkas saja sehingga diperlukan penjelasan terperinci dan tidak didapatkannya
dari Rasululah.
Zaman
berikutnya muncul periode kodifikasi tafsir dan hadis, maka secara tidak
disadari Israiliyyat masuk ke dalamnya sampai tercampur aduk dan tidak
diketahui lagi otentitas riwayat, mana yang datang dari Nabi dan mana yang
datang dari Ahl al-Kitab. Untuk mengatasi persoalan itu, para tabi’in
menetapkan musnad, dhabaith dan sistem adalah para perawi,
sebagai dijelaskan al-Imam Muslim dalam Mukadimahnya.
لم يكونوا يسالون عن السناء فلما وقعت الفتنة قالزا سموا لنا
رجالكم
Artinya:
“Mereka
dahulu belum mempertanyakan tentang isnad, namun setelah terjadinya peristiwa
fitnah, mereka berpendapat: “Namailah untuk kepentingan kita para tokoh kalian”[6]
G. Hukum Periwayatan Israiliyyat
Dan
segi kandungannya, secara garis, israiliyyat terbagi menjadi tiga bagian, Pertama,
kisah israiliyyat yang benar isinya, sesuai dengan Alquran dan hadis. Kedua,
kisah israiliyyat yang bertentangan dengan Alquran dan hadis. Ketiga, kisah
israiliyyat yang tidak diketahui benar tidaknya.
Dan
ketiga kategori kisah-kisah israillyat itu, Ibnu Taimiyyah berpendapat bahwa
cerita israiliyyat yang shahih boleh diterima; cerita yang dusta harus ditolak;
dan yang tidak diketahui kebenaran dan kedusataannya didiamkan; tidak
didustakan dan tidak juga dibenarkan; jangan mengimaninya dan jangan pula
membohonginya.
Al-Biqa’I
berpendapat bahwa hukum mengutip riwayat dari Bani Israil yang tidak dibenarkan
dan tidak didustakan oleh kitab Alquran dibolehkan, demikian pula dari pemeluk
agama lain, karena tujuannya di bolehkan, demikian pula dari pemeluk agama
lain, karena tujuannya hanyalah ingin mengetahui semata, bukan untuk dijadikan
pegangan. Sedangkan menurut Jumhur, israiliyyat, sepanjang tidak bertentangan
dengan Alquran dan hadis dapat diterima dan menolak israiliyyat yang bertentangan
dengan keduanya. Adapun israiliyyat yang tidak diketahui benar tidaknya,
bersifat tawaqquf. Hal ini didasarkan kepada Hadis yang diriwayatkan dari Abu
Hurairah.
لاتصدقوا اهل الكتاب ولا تكذبواهم
وقولوا امنا بالله وماانزل الينا وما انزل اليكم
Artinya:
“Janganlah
kamu sekalian membenarkan Ahl al-Ktab dan jangan pula mendustakannya:
ucapkanlah: “Kami beriman kepada Allah dan kepada kitab yang di turunkan
kepadamu”.
H. Dampak Israiliyyat Terhadap Kesucian Ajaran Islam
Menurut
al-Dzhabi, jika israiliyyat itu masuk dalam khazanah tafsir Alquran, ia dapat
menimbulkan banyak dampak negatif, di antaranya:
1. Dalam
israiliyyat terdapat unsur penyerupaan pada Allah, peniadaan ishmah pada
Nabi dan Rasul dari dosa, karena mengadung tuduhan perbuatan buruk yang tidak
pantas bagi orang adil, terlebih sebagai Nabi. Hal ini, kalau tidak segera
diantisipasi, kalau tidak segera diantisipasi berdasarkan pengajaran akidah
yang kuat akan merusak akidah kaum Muslimin.
2.
Israiliyyat memberi kesan bahwa Islam seolah mengandung khurafat dan penuh
dengan kebohongan yang tidak ada sumbernya. Ini jelas bahwa Israiliyyat
memojokkan dan merusak citra Islam.
3.
Israillyat menghilangkan kepercayaan pada ulama salaf. Baik dari kalangan
sahabat maupun tabi’in.
4.
Israiliyyat dapat memalingkan manusia dari maksud dan tujuan yang terkandung
dalam ayat-ayat Alquran.
I. Israliyyat Dalam Kitab-kitab Tafsir
Ada
beberapa kitab tafsir Alquran yang diduga keras banyak mengambil cerita-cerita
Israiliyyat.
1. Jami’
al-bayan fi tafsir Alquran
Tafsir
ini disusun oleh Ibn Jarir al-Thabariy (224-310 H), seorang yang terkenal dalam
bidang fiqh dan hadis, di samping ahli tafsir. Kitab tafsir ini termasuk di
antara sekian banyak tafsir yang terpopuler dan menjadi referensi dalam tafsir
bi al-ma’tsur terdiri dari 30 Juz yang masing-masing berjilid tebal. Menurut
al-Dzhabi, tafsir karya al-Thabari ini merupakan tafsir pertama di antara
tafsir-tafssir awal yang pertama pada masa dan ilmunya.
2. Tafsir
muqatil
Tafsir ini
di susun oleh Muqatil bin Sulaiman (w. 150 H), seorang yang ahli dalam bidang
tafsir. Ia juga banyak mengambil hadis dari tabi’in terkenal, seperti Mujahid
ibn Jabbar, Atha Indonesia Rabbah, Dhahak ibn Mazhahiru dan “Athiyah ibn Sa’id
al-Awfi. Namun, menurut sebagian pendapat, ia tidak mengambil hadis dari
ad-Dhahak, karena Dhahak meninggal 4 tahun sebelum Muqatil meninggal.
3. Tafsir
al-Kasyaf wa al-Bayan
Penulis
tafsir ini Ahmad ibn Ibrahim al-Tsa’labi al-Naisaburiy. Panggilannya Abu Ishaq
yang wafat tahun 427 H Ia menafsirkan Alquran berdasarkan hadis yang bersumber
dari ulama Salaf. Sayangnya, dalam menukil sanad-sanad hadis, ia tidak
mencantumkannya secara lengkap. Tafsir ini sedikit membahas nawhu dan fiqh;
karena ia seorang pemberi nasehat, maka ia senang terhadap kisah-kisah. Oleh
karena itu. Dalam kitab tafsirnya ini banyak cerita-cerita israiliyyat yang
janggal dan cenderung menyimpang dari kebenaran.
4. Tafsir
ma’alim al-Tanzil
Tasfir ini
ditulis oleh Syaikh Abu Muhammad al-Husain bin Mas’ud bin Muhammad al-Baghawiy,
seorang ahli tafsir dan hadis serta berfaham Syafi’i. tafsirnya lebih ringkas
kendati banyak berisi cerita israiliyyat. Namun, secara umum, tafsir ini lebih
baik dan lebih murni ketimbang kebanyakan tafsir-tafsir bi al-ma’tsur.
5. Tafsir
lubab al-ta’wil fi ma’aniy al-tanzil
Ala’
al din al hasan, Ali ibn Muhammad ibn Ibrahim ibn Amr ibn Khalil al-Syaibaiy
(678-741 H) dikenal penulis dari tafsir al-Lubab ini. Sebagai seorang
sufi yang senang memberi nasehat, maka tidak heran jika senang bercerita. Ia
juga dikenal sebagai khzim (penjaga kitab-kitab Samisatiyah) di Damaskus,
sehingga bacaannya akan kitab-kitab tersebut mempengaruhi tulisan tafsirnya.
6. Tafsir
Alquran al-Azhim
Tasfir ini
popular dengan sebutan tasir Ibn Katsir, nama tafsir yang dinisbatkan kepada
pengarangnya, yaitu Ibn Katsir; nama lengkapnya Hafizh Imad al-Din Abu al-Fida
Isma’il Ibn Katsur Ibn Dhaw ibn Zar ‘a al-Bishri al-Dimasyqiy. Ia seorang
tekenal ahli fiqh, ahli hadis dan ahli tafsir penganut mazhab al-Safi’i.[7]
J. Sebab-sebab Penggunaan Israiliyyat
Sebenarnya
cara merembesnya cerita-cerita Israiliyyat ke dalam tafsir dan hadis didahului
oleh masuknya kebudayaan Arab zaman jahiliyyah. Pada waktu itu hidup di
tengah-tengah orang Arab segolongan Ahli Kitab, yaitu kaum Yahudi yang pindah
ke Jazirah Arab sejak dahulu. Perpindahan itu terjadi secara besar-besaran pada
tahun 70 M. Mereka lari dari ancaman dan siksaan yang datang dari Titus (Lihat
Kitab Al-Yahudi fi Biladil Arab, oleh Israil Alfansi, hal. 9; dan Al-Arab
Qablal Islam oleh Jawat Ali, Jilid 6 hal. 24; serta Banu Israil min
Asfarihim oleh Muhammad Izzat Darwazah.
Tafsir
dan hadis, keduanya sangat terpengaruh oleh kebudayaan Ahli Kitab yang
berisikan cerita-cerita palsu dan bohong. Israiliyat juga mempunyai pengaruh
yang buruk ia diterima oleh masyarakat umum dengan kecintaanyang jelas. Ia
dituliskan pula oleh sebagian cendikiawan dengan mudah, sehingga kadangkala ia
sampai pada keadaan diterima walaupun jelas lemah dan terang bohongnya. Padahal
itu semua merupakan hal yang akan merusak akidah sebagian besar kaum Muslimin,
serta menjadikan Islam dalam pandangan musuh-musuhnya sebagai agama yang penuh
khurafat dan hal-hal yang tidak masuk akal.
Merembesnya
cerita Israiliyyat ke dalam tafsir dan hadis secara meluas itu karena telah
diketahui oleh para ulama, bahwa tafsir dan hadis itu memilki dua periode yang
berbeda. Pertama, periode periwayatan, dan kedua, periode pembukuan.
1. Periode
periwayatan tafsir
Rasulullah
bergaul dengan para sahabatnya dan memberi penjelasan kepada mereka tentang
urusan agama dan dunia dianggap penting oleh mereka atau dianggap penting oleh
Nabi. Penjelasan Nabi itu mencakup juga tafsir-tafsir ayat Quran yang dianggap
masih samar oleh para sahabatnya.
Para
sahabat, memperhatikan dan menghafal penjelasan Nabi tersebut, kemudian mereka
menyampaikannya kepada saudara-saudaranya yang tidak hadir dalam majelis Nabi
dan juga kepada murid-muridnya sampai kepada tabi’in. para tabi’in meriwayatkan
apa yang mereka terima dari pada sahabat kepada tabi’in lainnya, dan juga
mereka menyampaikan kepada para muridnya sampai generasi tabi’it-tabi’in.
Pada
periode tabi’in banyak hadis-hadis palsu, kedustaan dan kebohongan yang
disandarkan kepada Rasulullah tersebar, (dianggap dari Rasul, padahal bukan,
pent). Dan karena itu mereka tidak menerima suatu hadis, kecuali apaila hadis
itu hadis musnad dan yakin akan keadilan perawinya dan kekuatan hafalannya.
2. Periode
pembukuan tafsir
Periode
ini dimulai pada akhir abad pertama dan awal abad kedua Hijriyah. Awal dari
pembukaan tafsir dan hadis adalah satu, ketika Umar bin Abdul Aziz,
memerintahkan semua ulama di seluruh dunia untuk mengumpulkan hadis-hadis rasul
yang menurut anggapan mereka sama. Para ulama tersebut bekerja dengan
sungguh-sungguh. Di antara mereka ada yang berkeliling ke negara-negara yang
berbeda untuk mengumpulkan hadis Rasulullah. Termasuk ke dalam tugas lingkup
ini, segala yang berpangaruh terhadap tafsir dan segala keterangan dari para
sahabat dan tabi’in. apa yang mereka kumpulkan tersebut kemudian dibukukan
menjadi bermacam-macam bab yang bervariasi, dan tafsir merupakan salah satu bab
dari bab-bab tersebut.
Jadi,
jelaslah dari apa yang telah dikemukakan di atas dapat disimpulkan beberapa hal
sebagai berikut:
1. Tafsir
dah hadis melekat pada keduanya, dua periode yang sangat jelas, yaitu periode
periwayatan dan periode pembukuan. Hanya saja tafsir bil-Mansur tidak bisa
dilepaskan keadaanya dari hadis.
2. Semua
faktor yang melemahkan pada kedua periode itu yang menimpa tafsir pada
hakikatnya menimpa hadis pula.
3. Segala
cerita-cerita yang bohong dan batil yang tercampur dengan tafsir, juga terjadi
pada hadis, orang-orang yang mempunyai maksud buruk dan jahat membuat
hadis-hadis yang dinisbahkan kepada Rasulullah. Banyak di antara hadis tersebut
yang dinisbahkan keapda tafsir, dijadikan landasan dan pegangan oleh
orang-orang yang tersesat dan tertipu.
Sesungguhnya
bahaya cerita-cerita Israiliyyat, sebagaimana telah kita kemukakan di atas,
telah merembes ke dalam tafsir dan hadis secara berangsung-angsur melalui
periwayatan dan pembukuan.
3. Periode
periwayatan hadis
Pada
periode ini cerita israiliyat merembes ke dalam tafsir dan hadis atau dalam
waktu yang sama secara berbarengan. Hal ini terjadi karena pada mulanya tafsir
dan hadis merupakan satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan. Masalah ini
terjadi pada zaman sahabat. Mereka membaca Quran yang di dalamnya terdapat
kisah-kisah dan berita-berita. Mereka melihat, bahwa Quran menceritakan kisah
tersebut hanyalah dalam batas nasihat dan ibarah. Apa yang terperinci mereka
satukan, dan apa yang global mereka uraikan sesuai dengan pengetahuan mereka.
Hal ini terjadi, dalam kondisi mereka berdekatan dengan para ahli kitab, dan
juga masuk ke dalam Islam sekelompok orang dari mereka.
4. Periode
pembukaan hadis
Pada
periode ini, sebagaimana telah kita ketahui, hadis dibukukan dengan bantuan
ilmu lain yang bermacam-macam, dan tafsir pun termasuk salah satu bagian
daripadanya. Pada mulanya riwyat Mansur itu dikemukakan dengan terang
sanad-sanadnya. Secara umum tafsir pada masa ini bersih dari cerita-cerita
Israiliyyat, kecuali sedikit saja, itu pun tidak bertentangan dengan nas
syar’i. sbagian dari cerita tersebut ada yang diriwayatkan dari Rasulullah
melalui riwayat yang shahih, seperti hadis-hadis tentang Bani Israil yang
terdapat dalam Shahih Bukhari mau pun kitab-kitab hadis senada lainnya.
K. Macam-macam Israiliyyat
Cerita-cerita
Israiliyat terbagi menjadi tiga bagian, tetapi ada juga yang berbeda pandangan.
Jika
dilihat dari sudut sahih dan tidaknya, cerita Israiliyat terbagi pada cerita
yang sahih dan cerita yang daif (termasuk daif yang maudu). Contoh dari cerita
Israiliyyat yang sahih, adalah apa yang dikemukakan oleh Ibnu Kasir di dalam tafsirnya
dari Ibnu Jarir, seperti dikatakan: “Menceritakan kepada kami Mustani dai Usman
bin Umar dari Fulailah dari Hilala bin Ali dari Ata bin Yasir, ia berkata Aku
telah bertemu dengan Abdullah bin Amr dan berkata kepadanya: Ceritakanlah
olehmu kepadaku tentang sifat Rasulullah yang diterangkan di dalam Kitab
Taurat! Ia berkata: Ya, demi Allah, sesungguhnya sifat Rasulullah di dalam
Taurat sama seperti yang diterangkan di dalam Quran: “Wahai Nabi, sesungguhnya
kami mengutusmu sebagai saksi, pemberi kabar gembira, pemberi peringantan”, dan
pemelihara orang-orang ummi. Engkau adalah hamba-Ku dan rasul-Ku, namamu
dikagumi, engkau tidak kasar dan tidak pula keras. Allah tidak akan mencabut
nyawanya sebelum agama Islam tegak dan lurus, yaitu dengan ucapan: Tiada Tuhan
yang patut disembah dengan sebenar-benarnya kecuali Allah. Dengannya pula Allah
akan membuka hati yang tertutup, membuka telinga yang tuli, membuka mata yang
buta. Atau berkata: Kemudian aku bertemu dengan Ka’b, lalu kau bertanya
kepadanya tentang masalah tersebut. Maka tidak ada perbedaan kata apa pun juga,
kecuali Ka’b berkata, telah sampai kepadanya: Qulubun Gaulifiyyah (hati yang
tertutup), telinga yang tuli dan mata yang buta”.
Contoh
cerita Israiliyat yang daif, adalah asar yang diriwayatkan oleh Abu Muhammad
bin Abdurrahman dari Abu Hatim Ar-Razi, kemudian dinukil oleh Ibnu Kasri di
dalam Tafsirnya, dalam rangka menguraikan ayat pada surat Qaf ia berkata:
“Sesungguhnya asar tersebut adalah asar yang garib yang tidak sahih, dan ia
menganggapnya sebagai cerita khurafat Bani Israil”, lengkapnya asar tersebut,
sebagai berikit:
“Ibnu
Abu Hatim berkata, telah berkata ayahku, ia berkata: Aku mendapat cerita dari
Muhammad bin Ismail Al-Makhzumi, telah menceritakan kepadaku Lais bin Abu
Sulaim, dari Mujahid, dari Ibnu Abbas, ia berkata: Allah telah menciptakan di
bawah ini laut yang melingkupnya, di dasar laut. Ia menciptakan sebuah gunung
disebut gunung Qaf. Langit dunia ditegakkan di atasnya. Di bawah gunung
tersebut Allah mencipatakan bumi seperti bumi ini, yang jumlahnya tujuh lapis.
Kemudian di bawahnya ia mencipatakan laut yang melingkupnya. Di bawahnya lagi
ia menciptakan laut yang melingkupnya. Di bawahnya lagi ia mencipatakan sebuah
gunung lagi, yang juga bernama gunung Qaf Langit jenis kedua diciptakan di
atasnya. Sehingga jumlah semuanya: tujuh lapis bumi, tujuh lautan, tujuh gunung
dan tujuh lapis langit. Kemudian ia berkata: Uraian itu merupakan maksud dari
firman Allah:
........والبحر
يمده من بعده سبعة ابحر......
Artinya:
“….dan
laut (menjadi tintan), ditambahkan kepadanya tujuh laut (lagi) sesudah
(kering)nya…..”. (QS. Luqman: 27).
Terhadap
asar ini Ibnu Kasir mengaitkannya dengan menyatakan sanad dari asar ini
terputus. Jika dilihat dari segi ini, cerita Israiliyyat terbagi menjadi tiga
bagian: Pertama, yang sesuai dengan syariat kit. Kedua, yang bertentangan
dengan syariat dan ketiga yang didiamkan (maksud anhu), yakni tidak terdapat di
dalam yang menyatakan tidak ada manfaatnya.
Contoh
kriteria yang pertama, yakni yang sesuai dengan syariat kita, adalah apa yang
diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim dengan redaksi dari Imam Bukhari ia
berkata: “Telah menceritakan kepada kami Yahya bin Bukhari ia berkata: “Telah
menceritakan kepada kami Yahya bin Bukhari, dari Lais, dari Khalid, dari Sa’id
bin Abu Hilal, dari Zaid bin Aslam, dari Ata’ bin Yasir, dari Abu Sa’id
Al-Khudri, ia berkata, bahwa Rasulullah telah bersabda:
تكون الارض يوم القيامة خبزة واحدة
يتكفؤها الجبار بيده كما يكفأ احدكم خبزته ف السفر نزلالاهل الجنة فاتي رجل من
اليهود، فقال: بارك الرحمان عليك يأبا القاسم، الا اخبرك بنزل الجنة يوم القيامة؟
قال بلي، قال: تكون الارض خبزة واحيدة كما قال النبي صلي الله عليه و سلم : فنظر
النبي صلي الله عليه و سلم الينا، ثم ضحك حلي بدت نواجذه...
Artinya:
“Adalah
bumi itu pada hari kiamat nanti seperti segenggan roti. Allah memegangnya
dengan kekuasan-Nya, sebagaimana seseorang menggenggam sebuah roti di
perjalanan. Ia merupaka tempat bagi ahli sruga. Kemudian datanglah seorang
laki-laki dari Yahudi, dan berkata: Semoga Allah menganggungkan engkau wahai
Abal Qasim, tidaklah aku ingin menceritakan kepadamu tempat ahli surga pada
hari kiamat nanti? Rasul menjawab ya tentu. Kemudian laki-laki tadi menyatakan
bahwasanya bumi ini seperti segenggam roti sebagaimana dinyatakan Nabi,
kemudian Rasul melihat kepada kami semua, lalu tertawa sampai terlihat geraham
giginya”.
Contoh
cerita Israiliyat kriteria kedua, yakni yang bertentangan dengan syariat kita,
keterangan yang telah kita ketahui terdahulu dalam Kitab Safarul-Khuruj bahwasanya
harun as. Adalah Nabi yang membuat anak sapi untuk Bani Israil, lalu ia
mengajak mereka untuk menyebahknya. Demikian pula riwayat yang telah kita
dapati dari Kitab Safarut-Takwim, bahwasanya Allah menyelesaikan seluruh
pekerjaan-Nya pada hari yang ketujuh, lalu bersitirahatlah pada hari yang
ketujuh tersebut. Demikian pula yang diriwayatkan oleh Ibnu Jarir di dalam
Tafsirnya, ketika menerangkan firman Allah dalam Quran surat Shad ayat 34:
ولقد فتنا سليمان والقينا علي كرسيه جسدا ثم اناب
Artinya:
“Dan
sesungguhnya kami telah menguji Sulaiman dan kami jadikan (dia) tergeletak di
atas krusinya sebagai tubuh yang lemah (karena sakti), kemduian ia bertobat”.
(QS. Shad: 34).
Contoh
cerita Israiliyyat ketiga, yakni yang didiamkan oleh syariat kita, dalam arti
tidak ada yang memperkuat ataupun menolaknya, seperti yang diriwayatkan oleh
Ibnu Kasir dari Su’udi di dalam tafsirnya ketika menerangkan ayat-ayat tetnang
sapi betina, sebagaimana dinyatakan di dalam Quran surat Al-Baqarah ayat 67-74.
Keterangannya adalah: “Seorang laki-laki dari Bani Israil, memiliki harta yang
banyak dan memiliki seorang anak wanita. Ia mempunyai pula seorang anak
laki-laki dari saudara laki-lakinya yang miskin. Kemudian anak laki-laki
tersebut melamar anak perempuan itu. Akan tetapi saudara laki-laki tersebut
enggan mengawinkannya, dan akibatnya, pemuda tadi menjadi marah, dan ia
berkata: Demi Allah akan kubunuh pamannya, bertepatan dengan datangnya sebagian
pedagang Bani Israil. Ia berkata kepada pamannya: Wahai pamanku, berjalanlah
bersamaku, aku akan minta pertolongan kepada para pedagang Bani Israil,
mudah-mudahan aku berhasil, dan jika mereka melihat engkau bersamaku pasti akan
memberinya. Kemudian keluarlah pemuda itu beserta pamannya pada suatu malam,
dan ketika mereka sampai disuatu gang, maka si pemuda tadi membunuh pamannya
kemudian ia kembali kepada keluarganya. Ketika datang waktu pagi, seolah-olah
ia tidak mengetahui di mana pamannya itu berada, dan berkata: Kalian membunuh
pamanku, bayarlah diyatnya. Kemudian ia menangis sambil melempar-lempar tanah
ke atas kepalanya dan berteriak: Wahai paman! Lalu ia melaporkan persoalannya
kepada Nabi Musa dan Nabi Musa menetapkan diyat bagi pedagang tersebut. Mereka
berkata kepada Musa: Wahai Rasulullah, berdoalah engkau kepada Tuhan,
mudah-mudahan Tuhan memberi petunjuk kepada kita, siapa yang melakukan hal ini,
nanti keputusan diberikan kepada pelaku. Demi Allah, sesungguhnya membayar
diyat itu bagig kami adalh sangat mudah, akan tetapi kami sangat malu dengan
perbuatan tersebut”.[8]
Peristiwa
tersebut dinyatakan Allah dalam Quran surat Al-Baqarah ayat 72:
Artinya:
“Dan
(ingatlah), ketika kamu membunuh seorang manusia lalu kamu saling tuduh menuduh
tentang itu. dan Allah hendak menyingkapkan apa yang selama Ini kamu
sembunyikan.” (QS. Al-baqarah: 72).
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Dari
uraian terdahulu dapat di tarik kesimpulan pertama, kisah Israiliyyat adalah
kisah-kisah yang sebagian besar bersumber dari orang-orang Yahudi baik disadari
atau tidak, yang telah menyusup kedalam khazanah Tafsir Al-Quran dan hadis
kedua latar belakan timbulnya israiliyyat adalah semakin banyaknya orang-orang
Yahudi atau ahli kitab yang masuk Islam, adanya keinginan sebagian dari kaum
muslimin untuk mengetahui ihwal orang-orang yahudi yang mempunyai peradaban
tinggi di banding kaum muslimin di jazirah arab pada watku itu. Ketiga
israiliyyat mempunyai dampak negatif terhadap penafsiran alquran ia dapat
merusak cintra agama islam, merusak aqidah muslim dan memalingkan kaum muslimin
dari ajaran alquran dan sunnah.
DAFTAR PUSTAKA
Abu
Abd Allah Muhammad al-Anshari al-Qurthhubiy, al-Jami li Ahkam Al-quran, jilid
I Kairo, Dar al-Kutub al-Mishriyyah, t.t.
Ahmad
Khalil Arsyad, Dirash fi Alquran, Mesir, Dar al-Ma’arif, 1972.
Ahmad,
Syadali, Ahmad Rafi’i, Ulumul Quran I, Bandung, CV. Pustaka Setia, 1997.
Al-Imam
Muslim, Shahih Muslim, Jilid I Delhi, Al-Amriyyah, t.t.
Amin
Al-Khuli, Manhajut Tajaad fit Tafsir, Kairo, Darul Ma’arif, 1961.
Ignaz
Goldziher, Madzahib at-Tafsir Al-Islami, Kairo, As Sunnah
Al-Muhammadiyah, 1995.
M.
Quraish Shihab, Membumikan Al-Quran, Bandung, MIzan, 1995.
Manna
‘Khalil Al-Qaththan, Studi Ilmu-ilmu Al-Quran, Jakarta, Litera Antar
Nusa, 1996.
Muhammad
Abu Syubbah, al-Israiliyyat wa al-Mawdhu at fii Kutub al-Tafsir, Kairo,
Maktabah al-Sunnah, 1408.
Muhammad
Chirzin, Al-Quran dan Ulumul Quran, Yogyakarta, PT Dana Bhakti
Primayasa, 1998.
Muhammad
Husein al-Khalaf, al-Yahudiyyah bayna al-Masihiyyah wa al-Islam, Mesir,
al-Muassasah al-Mishriyyah, 1962.
Supiana
dan M. Karman,, Ulum Quran, Bandung, Pustaka Islamika, 2002.
[1] . Muhammad Husein al-Khalaf, al-Yahudiyyah
bayna al-Masihiyyah wa al-Islam, (Mesir: al-Muassasah al-Mishriyyah, 1962),
hlm. 14. Abu Abd Allah Muhammad al-Anshari al-Qurthhubiy, al-Jami li Ahkam
Al-quran, jilid I (Kairo: Dar al-Kutub al-Mishriyyah, tp), hlm. 331.
[3] . Manna ‘Khalil
Al-Qaththan, Studi Ilmu-ilmu Al-Quran, terjemah Mudzakir AS (Jakarta:
Litera Antar Nusa, 1996), h. 42.
[4] M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Quran, (Bandung: MIzan,
1995), h. 46.
[5] . Drs. Muhammad
Chirzin, Al-Quran dan Ulumul Quran, (Yogyakarta, PT Dana Bhakti Primayasa,
1998), h. 77-82.
[1] . Muhammad Husein al-Khalaf, al-Yahudiyyah
bayna al-Masihiyyah wa al-Islam, (Mesir: al-Muassasah al-Mishriyyah, 1962),
hlm. 14. Abu Abd Allah Muhammad al-Anshari al-Qurthhubiy, al-Jami li Ahkam
Al-quran, jilid I (Kairo: Dar al-Kutub al-Mishriyyah, tp), hlm. 331.
[3] . Manna ‘Khalil
Al-Qaththan, Studi Ilmu-ilmu Al-Quran, terjemah Mudzakir AS (Jakarta:
Litera Antar Nusa, 1996), h. 42.
[4] M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Quran, (Bandung: MIzan,
1995), h. 46.
[5] . Drs. Muhammad
Chirzin, Al-Quran dan Ulumul Quran, (Yogyakarta, PT Dana Bhakti Primayasa,
1998), h. 77-82.
No comments:
Post a Comment