BAB I
PENDAHULIAN
A.
Latar
Belakang Masalah
Timbulnya aliran-aliran dalam Islam berpangkal
pada pertikaian politik yang merembes ke masalah-masalah keagamaan.
Secara garis besarnya aliran itu terbagi kepada paham dalam hukum Islam, paham
dalam tashawwuf dan paham dalam akidah atau teologi Islam. Masing-masing paham
dibedakan dengan adanya aliran dan mazhab yang dipelopori oleh seorang mujtahid,
atau pendiri suatu aliran atau mazhab yang mempunyai sejarah perkembangan ,
dasar-dasar pemikiran dan ulama serta pendukung-pendukungnya.[1]
Salah satu konsep pemikiran yang banyak
diminati oleh organisasi kemasyarakatan Islam, begitu juga di
institusi-institusi pendidikan tinggi Islam Indonesia adalah konsep pemikiran
al-Asy’ariyah.[2]
Konsep pemikiran ini telah tersebar dan memiliki penganut terbesar di dunia Islam. Konsep pemikiran ini dibangun oleh seorang
ulama terbesar di zamannya, yaitu Abu Hasan Al-Asy‘ari. Beliau telah terbukti
banyak melakukan terobosan-terobosan untuk melakukan pembelaan terhadap Islam,
berkenaan dengan munculnya berbagai kontroversi pemikiran bagi umat Islam.
Aliran al-Asy’ariyah lahir pada awal
abad ke-4 Hijriyah. Kemunculannya bertepatan dengan sebuah momentum di mana
umat Islam membutuhkan suatu konsep pemikiran yang mampu menghadapi berbagai
tantangan dari berbagai aliran pemikiran yang semakin ramai. Khawa>rij
masa itu dikenal sebagai sebuah aliran yang banyak menyebar fitnah sekaligus
sebagai pelopor dari berbagai revolusi berdarah. Bahkan label “kafir” pun
diidentikkan kepada orang-orang Islam yang berbuat dosa besar. Aliran yang lain
adalah aliran Mu’tazilah dan filusuf yang sangat liberal dalam mengekspresikan
akal terhadap berbagai problematika teologis yang muncul, terutama menyangkut
masalah ketuhanan.
Aliran al-Asy’ariyah berkembang pada masa
kekuasaan bani Saljuk dan menyebar ke
seluruh pelosok dunia Islam, sebab selain menjadi mazhab resmi pemerintahan,
aliran ini juga merupakan arus utama pendidikan pada masa itu. Ia diajarakan di sekolah-sekolah Islam, dan
disebarkan oleh tokoh-tokohnya ke berbagai belahan dunia. Pada makalah ini
penulis akan menguraikan lebih mendalam tentang aliran al-Asy’ariyah ini, baik
sejarah, pokok-pokok ajaranya, dan perkembanganya.
B.
Rumusan
Masalah
Mengacu pada uraian di atas, maka
penulis memberikan beberapa permasalahan yang menjadi ruang lingkup pembahasan
dalam makalah ini, yaitu :
1.
Bagaimana sejarah aliran al-Asy’ariyah?
2.
Apa pokok- pokok ajaran aliran
Al-Asy’ariyah?
3.
Bagaimana pemikiran Al-Asy’ariyah
dan Ahlu al-Sunnah wa al-Jama>’ah serta pengaruhnya di Dunia Islam?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Sejarah Aliran
Al-Asy’ariyah
1. Latarbelakang Timbulnya Aliran Al-Asyariyah.
Al-Asy’ariyah adalah aliran teologi Islam yang
lahir pada dasawarsa kedua abad ke 10 M atau awal abad ke-4 H.[3]
Gerakan ini diprakarsai oleh Abu Hasan Al-Asy’ari yang keluar dari aliran Mu’tazilah,
yang sebelumnya merupakan pengikut setia aliran ini. Eksistensi aliran ini
mempunyai pengaruh besar tatkala terjadinya kemunduran pada aliran Mu’tazilah.
Adapun yang
melatarbelakangi keluarnya Al-Asy’ari adalah terjadinya perdebatan sengit
antara Al-Asy’ari dengan gurunya Al-Jubba’i tentang dasar-dasar paham
aliran Mu’tazilah yakni pada
masalah kedudukan Mu’min, kafir dan anak kecil di akhirat, yang berakhir
dengan terlihatnya kelemahan paham Mu’tazilah, yang mana pada akhir perdebatan itu, sang
guru tidak dapat menjawab tantangan muridnya Al-Asy’ari.[4]
Adapaun perdebatan itu adalah sebagai berikut:
Al-Asy’ari: Bagaimana
kedudukan ketiga orang berikut: Mukmin, kafir, dan anak kecil di akhirat?
Al-Jubba’i: Yang
mukmin mendapat tingkat baik dalam surga, yang kafir masuk neraka, dan yang
kecil terlepas dari bahaya.
Al-Asy’ari: Kalau
yang kecil ingin memperoleh tempat yang lebih tinggi di surga, mungkinkah itu?
Al-Jubba’i: Tidak,
yang mungkin mendapat tempat yang baik itu, karena kepatuhannya kepada Tuhan.
Yang kecil belum mempunyai kepatuhan yang serupa.
Al-Asy’ari: Kalau
anak itu mengatakan kepada Tuhan, itu bukan salahku. Jika sekiranya Engkau
bolehkan aku terus hidup aku akan mengerjakan perbuatan-perbuatan baik seperti
yang dilakuakan orang mukmin itu.
Al-Jubba’i: Allah
akan menjawab: “Aku tahu bahwa jika engkau terus hidup engkau akan berbuat dosa dan oleh karena itu
akan kena hukuman. Maka untuk kepentinganmu aku cabut nyawamu sebelum engkau
sampai kepada umur tanggung jawab”.
Al-Asy’ari: Sekiranya
yang kafir mengatakan: “Engkau ketahui masa depanku sebgaimana engkau
mengetahui masa depannya. Apa sebabnya engkau tidak menjaga kepentinganku?”.
Di sini Al-Jubba’I terpaksa terdiam.
Al-Syubki dan Ibn ‘Asakir, menjelaskan bahwa yang
menyebabkan Al-Asy’ari meninggalkan paham Mu’tazilah adalah pengakuannya
telah bermimpi bertemu dengan Rasulullah Muhammad saw.. Dalam mimpinya Nabi mangatakan
bahwa mazhab ahli hadislah yang benar dan mazhab Mu’tazilah salah.
Kemudian Nabi memerintahkannya untuk meninggalkan paham Mu’tazilah dan
membela paham ahli hadis (ahli sunnah).[5]
Riwayat lain mengatakan bahwa penyebab munculnya
aliran ini adalah katidakpuasan dan keragu-raguan Al-Asy’ari dengan aliran Mu’tazilah
yang dianutnya selama ini, yang berujung pada pengasingan dirinya di rumah
selama lima belas hari (ada yang mengatakan empat puluh hari), untuk memikirkan
ajaran-ajan Mu’tazilah dengan melakukan perenungan dan istikha>rah.
Sesudah itu ia keluar rumah, pergi ke masjid dan naik ke mimbar, kemudian
mengatakan bahwa ia telah mengasingkan diri untuk berfikir mendalam tentang
berbagai macam paham teologi dengan dalil dan metodologi masing-masing.
Akhirnya ia berkata: “Keyakinan-keyakinanku yang lama saya lemparkan,
sebagaimana saya melemparkan baju ini.” Sambil melepaskan jubahnya dan
melemparkanya.[6]
Sebab lain adalah terjadinya tragedi mihnah (ujian
keyakinan) yang dilakukan oleh para pejabat pemerintah atas dukungan elite Mu’tazilah,
terutama pada masa khalifah Al-Ma’mu>n, Al-Mu’tasim, dan Al-wastiq yang
melakukan pemaksaan paham Mu’tazilah kepada umat Islam terutama
tokoh-tokoh dan ulama berpengaruh. Banyak tokoh dan ulama yang menjadi panutan
umat menjadi korban gerakan mihnah, mulai dari penyiksaan fisk, pemenjaraan
sampai hukuman mati.[7]
Salah satu
korbanya adalah Imam Ibnu Hambal, karena menolak mengatakan kemahlukan Al-Qur’an.
Sikap para penguasa Abbasiyah itu dipandang oleh mayoritas umat Islam sebagai
cacat politis, cacat teologis dan cacat moral. Sehingga menurunkan simpati
masyarakat dan kepercayaanya kepada pemerintah dan Mu’tazilah.
Pendapat lain mengatakan bahwa Al-Asy’ari
meninggalkan paham Mu’tazilah karena melihat Mu’tazilah berada dalam
fase kemunduran dan kelemahan, setelah Al-Mutawakkil membatalkan putusan Al-Ma’mu>n,
tentang penerimaan aliran Mu’tazilah sebagai mazhab Negara dan menurunya
simpati umat Islam terhadap Mu’tazilah akibat prilaku pemaksaan aliran
tersebut. Suasana inilah yang medorong Al-Asy’ari untuk mengunakan kesempatan
keluar dari golongan Mu’tazilah dan membentuk teologi baru yang sesuai
dengan pemikiran umat Islam umumnya yang bersifat sederhana.[8]
Dari uraian di atas, saya berpendapat bahwa Al-Asy’ari
bukan menggunakan kesempatan terhadap momen kemunduran aliran Mu’tazilah
untuk membuat aliran teologi baru, namun hal itu dilakukannya karena ia sungguh
merasa berada dalam keragu-raguan dengan aliran yang diikutinya, dan perubahan
pemahaman itu dilakukannya dengan melaksanakan perenungan yang mendalam, sehingga sampailah ia pada kesimpulan untuk
meninggalkan paham teologi lamanya, dan beralih kepada paham baru yang sekarang
dikenal dengan aliran al-Asy’ariyah.
2. Riwayat Singkat Imam Al-Asy’ari
Imam
Al-Asy’ari adalah
orang yang pertama mendirikan aliran al-Asy’ariyah. Nama lengkap beliau adalah
Abu Al-Hasan Ali bin Ismail bin Ishak bin Salim bin Ismail bin Abdullah bin
Musa bin Bilal bin Abi Burdah bin Abu Musa al-Asy’ari.[9]
Dan Abu Musa al-Asy’ari r.a. adalah salah satu sahabat Rasulullah saw., yang
banyak meriwayatkan hadis beliau.[10]
Imam Abu Al-Hasan Al-Asy’ari lahir di Bashrah
(Irak) pada tahun 260 H (873 M) dan wafat di Baghdad pada tahun 324 H (935 M).[11]
Pada mulanya ia adalah pengikut Mu’tazilah dan merupakan murid cerdas Al-Jubba’i
salah seorang tokoh Mu’tazilah. Al-Asy’ari kemudian menjadi salah seorang
terkemuka dalam golongan Mu’tazilah. Ia sering dipercayakan menggantikan
Al-Jubba’i dalam perdebatan menetang
lawan lawan Mu’tazilah dan banyak
menulisi buku-buku yang membela alirannya.[12]
Namun setelah 40 tahun menganut faham tersebut, Ia akhirnya menyatakan keluar
dan meninggalkan faham Mu’tazilah, dan mendirikan aliran pemikiran baru
yang dikenal dengan namanya sendiri al-Asy’ariyah.
Setelah ia belajar berbagai ilmu di kota Bashrah,
ia pergi ke kota Baghdad, ibu kota khila>fah Isla>miyyah saat itu,
dan meneruskan belajar di sana. Adapun mengenai karya-karya Imam Al-Asy’ari
kurang lebih puluhan karya yang dihasilkan, namun ada tiga karyanya yang sangat
terkenal yaitu kitab “ Maqa>lah al-Isla>miyyin” (pendapat-pendapat
golongan Islam). Kitab yang lain adalah al-Iba>nah ‘an Us}u>l al-Diya>nah
(keterangan tentang dasar-dasar agama), berisi tentang kepercayaaan Ahlu Sunnah,
dengan dimulai oleh
Imam Ahmad bin Hambal. Dan kitabnya yang
ketiga adalah al-Luma>’ fi al-Rad ‘ala> Ahlu al-Zia>gh wa al-Bida>’,
yang berisi sorotan atau bantahan terhadap lawan-lawan pendapatnya tentang
berbagai masalah ilmu kalam.[13]
3. Tokoh-tokoh aliran al-Asy’ariyah.
Dalam
perkembangannya Al-Asy’ariyah memiliki banyak tokoh-tokoh dan pemuka aliran
ini, namun yang paling menonjol adalah beberapa tokoh berikut:
a.
Al-Baqillani
Al-Qa>di Abu> Bakr Muhammad Ibn al-Tayyib
Ibn Muhammad Ibn al-Qa>sim Abu Bakr al-Baqillani adalah nama lengkap dari
al-Baqallani, yang oleh Fazlur Rahman disebut sebagai perinci utama doktin al-Asy’ariyah.
Para ahli tidak bersepakat bahwa ia dilahirkan di Bashrah, Namun pada umumnya
meraka menyatakan bahwa ia wafat di Baghdad tahun 403 H (1013 M).[14]
Al-Baqillani megenal ajaran Al-asy’ariyah melalui
dua murid Al-Asy’ari Yakni Ibnu Mujahid dan Abu al-Hasan al-Bahili>. Dari
keduanya pila ia belajar mengenai ilmu selain ilmu kalam, seperti metode
berpikir dan ilmu ushul. Karenanya, dapat dimengerti bila pikiran-pikirannya
memiliki kekhasan tersendiri yang membedakannya dengan pemuka-pemuka al-Asy’ariyah
yang lain. Bahkan dengan Al-Asy’ari sendiri, ia berbeda pendapat tidak hanya
dalam beberapa masalah teologi, tapi juga dalam mazhab fiqhi, ia penganut mazhab
maliki, sedangkan Al-Asy’ari penganut mazhab sya>fi’i.[15]
b.
Al-Juwaini
Nama lengkapnya adalah Abdul Malik bin Yusuf bin Muhammad Al-Juwaini Al-Naisaburi. Nama
al-Juwaini dinisbahkan pada kota tempat kelahirannya, Juwaini termasuk wilayah
Naisabur, Khurasan. Ia dilahirkan di juwain tahun 419 H (1028 M). [16]
Ia dikenal diberi gelar Imam al-Haramain artinya Imam dari dua tanah
suci, yaitu Makkah dan Madinah, Karena ia pernah menetap di Makkah dan Madinah
selama empat tahun untuk memberikan pelajaran dan fatwa. Ia pengikut mazhab Sya>f’i
dalam fiqhi dan ajaran Al-Asy’ari dalam aqidah.[17]
Al-Juwaini mula-mula belajar agama dari ayahnya,
Syekh Abu Bakr Muhammad. Ayahnya adalah
seorang ahli dalam bidang fiqh dan us}u>l al-fiqh, nahwu dan sastra.
Pada usia sekitar usia 32 tahun, Ia ke Baghdad dan belajar dari para ahli
disana. Setelah itu iya menetap di Makkah dan Madinah, kemudian atas permintaan
perdana mentri Nizam al-Muluk, Penguasa dan pendiri sekolah al-Nizamiyah
di Nisabur. Ia pun pulang ke negrinya untuk menjadi tenaga pengajar di sekolah
tersebut, di situlah ia mengajarkan dan mengembangkan faham al-Asy’ariyah sampai
akhir khayatnya (478 H/1085 M).[18]
Karya tulisnya yang banyak mendapat perhatian antara lain al-Irsyad, al-Syamil,
dan Al-Burhan fi Us}ul al-Fiqh.[19]
c.
Al-Ghaza>li
Al-Ghaza>li lahir di Gazalah, sebuah kota kecil
yang terletak didekat Tus (wilayah Kurasan) pada tahun 450 H / 1058 M dan wafat
pada tahun 505 H/1111 M, di kota yang sama. Nama lengkapnya Muhammad bin
Muhammad al-Tawus Abu Hamid Imam al-Ghaza>li. Ia diberi gelar “Hujjat al-Islam” yang
berarti (bukti agama Islam), karena selain sebagai representasi kaum sunni,
juga karena kecermatan dan kecemerlangan tiap argumentasi yang mendasari
pemikirannya. Dengan kekayaaan pengalaman dan keluasan ilmunya, ia dipandang
sebagai seorang pendekar teolog yang mahir memainkan pedang filsafat yang
akhirnya menjadi seorang sufi yang sangat alim.[20]
Dalam masalah aqidah, terutama pada masalah
perbedaan pendapat antara al-Baqillani dan al-juwaini dengan Al-Asy’ari, al-Ghaza>li
memiliki banyak kesamaan pokok-pokok pendapat dengan dengan imam Al-Asy’ari, ia
dengan cerdas membela ajaran Al-Asy’ari yang dinilainya moderat dalam
menempatkan dalil-dalil aqliyah berdampingan dengan dalil-dalil naqliyah secara
proporsional.[21]
Jasa al-Ghaza>li yang sangat besar adalah
keberhasilannya menemukan tiga dimensi kajian Islam yang selama beberapa abad
saling berbenturan, yakni fiqhi, kalam dan tas}awwuf dan mendamaikan para tokoh
dan ahlinya (Fuqaha>’, Mutakallimu>n, dan Mutas}awwifu>n).
Sikap al-Ghaza>li dalam menyikapi pembahasan dan pemahaman ilmu-ilmu
tersebut selalu dalam posisi moderat dan kritis, di samping ia sendiri adalah
ahli fiqhi yang berpandangan luas, seorang ahli kalam yang handal dan cerdas,
dan juga seorang ahli tasawwuf yang disegani dan dikagumi. Secara teoritis visi al-Ghaza>li diabadikan
dalam karya agungnya “ihya>’ ‘ulu>m al-Di>n”, dan secara
praktis figur al-Ghaza>li merupakan teladan dan panutan.[22]
B.
Pokok-Pokok
Ajaran Al-Asy’ariyah.
Pada dasarnya kaum al-Asy’ariyah adalah aliran
sinkretis yang berusaha mengambil sikap tengah-tengah antara dua kutub aqal
dan naql, antara kaum salaf dan Mu’tazilah. Al-Asy’ariyah
bercorak perpaduan antara pendekatan tekstual dan kontekstual sehingga al-Ghaza>li
menyebutnya sebagai aliran Mutawassith atau pertengahan.[23]
Dan adapun pokok-pokok ajaran al-Asy’ariyah adalah sebagai berikut:
1.
Sifat Allah
Tentang sifat Allah swt tentang hal ini Al-Asy’ari berbeda pendapat
dengan Muk’tazilah yang berpendapat tentang sifat tuhan dengan pendekatan
logika[24].
Baginya Allah swt mempunyai sifat (sifat dua puluh) seperti al-‘ilm (mengetahui), al-qudrah (kuasa), al-hayyah (hidup). Sifat-sifat tersebut berada di luar zat Tuhan dan bukan zat Tuhan itu sendiri. Oleh karena itu, Tuhan mengetahui bukan dengan zat-nya seperti pendapat Mu’tazilah, melainkan mengetahui
dengan pengetahuan-Nya. Demikian pula dengan sifat-sifat lainnya.[25]
2.
Kedudukan
Al-Qur’an
Tentang kedudukan Al-Qur’an adalah kalam Allah (firman Allah swt.) dan bukan makhluk dalam arti diciptakan. Karena Al-Qur’an adalah firman Allah swt. maka pastilah Al-Qur’an bersifat Qadi>m. bahwasanya Al-Qur’an itu sepenuhnya bukan
makhluk termasuk suara dan hurufnya, hanya perwujudan dalam bentuk suara dan
huruf adalah makhluk, dan yang bersifat Qadi>m hanya esensi Al-Qur’an
itu sendiri.[26]
3.
Melihat Allah
Tentang melihat Allah swt. Diakhirat, Allah swt. akan dapat dilihat di akhirat dengan mata kepala karena Allah swt
mempunyai wujud.[27] Pandangan Asy’ari tentang melihat
Tuhan: ia berpendapat bahwa setiap yang ada dapat dilihat,
Allah juga ada maka dengan demikian dia dapat dilihat, ini
dapat diketahui dari wahyunya bahwa kaum mukmin akan melihatnya
dihari akhir nanti, sebagaimana Allah katakan di hari itu wajah mereka
(yang beriman) akan berseri-seri melihat Tuhan mereka Q.S. al-Qiyamah/75:
22:
Ùˆُجُوهٌ ÙŠَÙˆْÙ…َئِذٍ Ù†َاضِرَØ©ٌ) Ù¢Û² ( Ø¥ِÙ„َÙ‰ رَبِّÙ‡َا Ù†َاظِرَØ©ٌ (Û²Û³)
Terjemahnya:
“Wajah-wajah (orang-orang
mukmin) pada hari itu berseri-seri. Kepada tuhannyalah mereka melihat”.[28]
Akan tetapi penglihatan kita terhadap Tuhan tidak
memerlukan ruang, tempat, arah atau bentuk dan saling tatap muka (seperti
kita), sebab itu mustahil.
4.
Perbuatan
Manusia
Perbuatan-perbuatan
manusia diciptakan oleh Allah swt walaupun Al-Asya’ri mengakui adanya daya alami
diri manusia, daya itu tidak efektif. Paham ini dikenal dengan istilah al-kasb.[29]
Al-Asy’ari
membedakan antara kha>liq dan kasb. Menurutnya, Allah adalah
pencipta (kha>liq) perbuatan manusia, sedangkan manusia sendiri yang
mengupayakannya (muktasib). Hanya Allah yang mampu menciptakan segala
sesuatu termasuk keinginan manusia.
5.
Antropomorfisme
Tentang antropomorfisme dalam arti bahwa Allah swt. mempunyai mata, muka, tangan dan sebagainya seperti disebut didalam ayat-ayat Al-Qur’an, Al-Asy’ari tidak sependapat. Ia tidak
menerima aggapan bahwa tuhan memiliki sifat-sifat jasmani seperti sifat-sifat jasmani manusia. Begitu
pula hal ini tidak boleh diberi interpretasi lain, seperti halnya mengartikan
Tuhan mempunyai dua tangan dengan rahmat atau kekuasaannya. Menuru Al-asy’ari Allah memiliki mata, muka, tangan dan sebagainya itu
betul adanya akan tetapi, tidak dapat diketahui bagaimana bentuknya (bila
kaifa).[30]
6.
Dosa Besar
Pandangan Al-Asy’ari tentang dosa besar, bahwa orang mukmin yang berdosa besar tetap
dianggap mukmin selama ia masih beriman kepada Allah swt dan RasulNya. Ia hanya digolongkan sebagai orang a>s{i (durhaka). Tentang dosa
besarnya diserahkan kepada Allah swt, apakah akan diampuni atau tidak.[31] Ia berpendapat bahwa mukmin
yang berdosa besar adalah mukmin yang fa>sik, karena iman tidak
mungkin hilang karena dosa selain kufur.[32]
7.
Keadilan Tuhan
Tentang keadilan Allah swt.,
Al-Asy’ari tidak sependapat dengan Mu’tazilah yang mengharuskan Allah
berbuat adil sehingga Dia harus menyiksa orang-orang yang salah dan memberi
pahala kepada orang-orang yang berbuat baik.[33] Allah swt. adalah pencipta seluruh alam. Dia memiliki kehendak mutlak terhadap
ciptaan-Nya.
Karena itu, ia dapat berbuat sekehendakNya. Ia dapat
saja memasukkan seluruh manusia ke dalam syurga, sebaliknya dapat pula
memasukkan seluruh manusia ke dalam neraka.
8.
Kemampuan Akal dan Wahyu
Menurut
Al-Asy’ari, akal tidak memiliki kedudukan seperti yang dikatakan oleh Mu’tazilah
bahwa akal dapat membedakan antara yang baik dan yang buruk, antara
kebaikan dan kejelekan tanpa memerlukan wahyu. Wahyu menurut Al-asy’ari
merupaka satu-satunya perangkat untuk mengetahui Allah dan syariatnya.[34]
Betul akal dapat mengetahui tuhan, tetapi wahyulah yang mewajibkan orang
mengetahui Tuhan dan berterima kasih kepadanya.[35]
Jadi pada dasarnya Asy’ari memberikan porsi besar pada wahyu dibanding dari
pada akal.
C. Al-Asy’ariyah dan Ahlu Sunnah wal Jama>’ah
serta Pengaruhnya di Dunia Islam
1. Al-Asy’ariyah dan Ahlu Sunnah
wal Jama>’ah
Term “Ahlu Sunnah” sebenarnya bukanlah
suatu hal yang baru dalam Islam, bukan juga suatu term yang muncul seiring
dengan kemunculan Abu Hasan al-Asy’ari di awal abad ke-4 H. Term ini telah menjadi istilah populer di
masa sahabat dan masa-masa berikutnya.[36]
Pada masa itu, term ini berkembang di kalangan ulama salaf yang diidentikkan berlawanan dengan ahlu
bid’ah.
Secara etimologi “al-Sunnah” berarti cara atau jalan, sama halnya cara
atau jalan itu benar atau salah , terpuji atau tercela.[37]
Terminologi sunnah mempunyai beberapa pengertian sesuai dengan disiplin ilmu
yang melihatnya. Ulama hadis mengartikan sunnah sebagai segala tindak-tanduk
Rasulullah baik berupa perkataan, perbuatan ataupun takrir baliau, demikian
pula sifat-sfat kejadian (bentuk tubuhnya), akhlak maupun sejarahnya, baik
sebelum kenabian ataupun sesudahnya. Semantara ulama fiqh mendefinisikan
sebagai suatau perbuatan yang apabila
dikerjakan mendapat pahala dan ditinggalkan tidak mendapat dosa. Sunnah juga
diidentikkan dengan segala sesuatu yang ditunjukkan oleh dalil-dalil syar’i
baik Al-Qur’an, hadis, maupun ijdtihad para sahabat, seperti pengumpulan mushaf
dan pembukuan hadis.[38]
Ahlu al-Sunnah wa al-Jama>’ah adalah mereka
yang mengikuti dengan konsisten semua jejak langkah yang berasal dari Nabi
Muhammad saw. dan membelanya.[39]
Ahlu al-Sunnah wa al-Jama>’ah tidak hanya terdiri dari satu kelompok aliran,
karenanya Jalal Muhammad Musa mengatakan, bahwa istilah Ahlu al-Sunnah wa al-Jama>’ah
menjadi rebutan banyak kelompok yang masing- masing mengklaim bahwa dialah
Ahlu al-Sunnah wa al-Jama>’ah. Namun secara khusus, Ahlu al-Sunnah wa al-Jama>’ah
dinisbatkan pada pengikut Al-Asy’ari dalam kelompok-kelompok ilmu kalam .[40]
Nurlaelah Abbas menyimpulkan bahwa Ahlu al-Sunnah
wa al-Jama>’ah adalah faham suatu golongan yang berpegang teguh pada
norma-norma dalam sunnah Rasul dan Khulafa’ al-Rasyidi>n, dan juga
pada kaedah-kaedah Al-Qur’an baik dalam bidang aqidah maupun syariah.[41]
Pendapat lain mengatakan bahwa yang di maksud
dengan Ahlu al-Sunnah wa al-Jama>’ah Mereka yang berpegang teguh kepada
Al-Qur’an dan sunnah, serta menolak pendapat ahli falsafah. Mereka ini ialah
pengikut dua imam yaitu Abu Mansur bin Muhammad Al-Maturidi> Al-Hanafi>,
Abu al-Hasan Al-Asy’ari> al-Syafi’i> dan golongan salaf.[42]
Sementara itu Harun Nasution mengatakn bahwa
istilah sunnah dan jama>’ah telah lama ada sebelum lahirnya
aliran al-Asy’ariyah yang di jumpai dalam tulisan tulisan arab, Namun yang di
maksud dengan Ahlu al-Sunnah wa al-Jama>’ah dalam lapangan teologi adalah
kaum Asy’ariyah dan kaum maturidiyah.[43]
Nahdatul Ulama sebagai golongan ahlu sunnah juga telah bersepakat dan
menetapkan bahwa dalam masalah aqidah mereka mengikuti Imam Abu al-Hasan
Al-Asy’ari> atau Iman Abu Mansur Al-Maturidi>.[44]
Dari beberapa pendapat di atas, maka dapat
disimpulkan bahwa pengertian Ahlu al-Sunnah wa al-Jama>’ah sebagai ajaran
dari pada suatu golongan kaum muslimin yang di dalam menjalankan ajaran syariat
agamanya senantiasa berpegang kepada Al-Qur’an, sunnah Rasulullah, Sunnah Khulafa’
al-Rasyidin, dan sunnah sahabat Nabi pada umunnya. Dan dalam masalah aqidah
mengikuti mazhab Imam Al-Asy’ari atau Al-Maturidi. Bahkan Al-Asy’ari disebutkan sebagai pencetus
aliran kalam Ahlu al-Sunnah wa al-Jama>’ah, Karena pada saat ia keluar dari
paham lamanya Mu’tazilah, ia menyatakan beralaih ke paham barunya yakni
menjadi ahlu hadis (ahlu sunnah) dan membela ajaran-ajaranya.
2. Pengaruh al-Asy’ariyah dan Ahlu al-Sunnah wa al-Jama>’ah
terhadap dunia Islam.
Aliran al-Asy’ariyah mulai berkembang pesat pada
saat diangkatnya Nizam al-Mulk yang
merupakan pengikut aliran al-Asy’ariyah oleh Alp Arselan sebagai perdana mentri
menggantikan al-Kunduri. Atas usahanya aliran ini cepat berkembang, ia menyusun
kebijakan jangka panjang untuk mempertahankan kekuasaan golongan sunni secara
intelektual dan teologis.
Ajaran-ajaran al-Asy’ariyah disebarkan melaui
khutbah-khutbah juma’at yang disampaikan. Ia juga mendirikan sekolah-sekolah
yang diberi nama An-Nizamiyah, yang di dalamnya hanya diajarkan teologi al-Asy’ariyah,
sehingga “Mazhab al-Asy’ariyah menjadi arus utama pendidikan kaum muslimin”.[45]
Pembesar-pembesar Negara juga menganut aliran al-Asy’ariyah. Dengan demikian
paham al-Asy’ariyahpun mulai tersebar luas bukan di daerah kekuasaan saljuk
saja, tetapi juga di dunia Islam lainnya.
Di Mesir dan Syiriah, aliran al-Asy’ariyah
dikembangkan oleh Salahudin al-Ayubi dari Dinasti Ayubiyah, dengan mengganti
aliran syi’ah yang dibawa oleh Dinasti Fatimiyah. Di Maroko dan
Andalusia, aliran ini dipelopori oleh Muhammad Ibnu Tumart, murid dari Al-Ghaza>li
yang kemudian mendirikan kerajaan Muwahhidin di Afrika Utara dan Spanyol.
Sedangkan di dunia Islam bagian timur, ajran ini disiarkan oleh Mahmud
al-Ghanzawi (seorang kelahiran Turki), sampai ke India. Ia juga menguasai Iran
dan mengusir kekuasaan syiah di negri itu.
Kerajaan yang di bentuk dinasti Ghanzawi ini memiliki wilayah kekuasaan
sampai ke Afganistan, Punjab dan irak.[46]
Aliran al-Asy’ariyah memperoleh pengikut terbanyak
di lingkungan umat Islam antara lain karena diikuti oleh para pengikut dua
mazhab tebesar dalam fiqhi, yakni mazhab Syafi’i> dan Maliki>.[47]
Yang juga merupakan faktor penting bagi tersebar luasnya aliran al-Asy’ariyah
adalah kebiasaan rakyat megikuti mazhab Dinasti yang berkuasa. Dan dengan
lenyapnya aliran-aliran lain, terutama Mu’tazilah, maka aliran al-Asy’ariyah
tidak memiliki saingan untuk mempengaruhi umat Islam sejak waktu itu hingga
sekarang.[48]
BAB
III
PENUTUP
Berdasarkan
uraian yang telah dikemukakan dalam pembahasan di atas, maka dapat diambil
kesimpulan sebagai berikut:
1. Al-Asy’ariyah adalah aliran teologi Islam yang
lahir pada dasawarsa kedua abad ke 10 M atau awal abad ke-4 H. Gerakan ini
diprakarsai oleh Abu Hasan Al-Asy’ari yang keluar dari aliran Mu’tazilah,
yang sebelumnya merupakan pengikut setia aliran ini. Eksistensi aliran ini
mempunyai pengaruh besar pada saat terjadinya kemunduran bagi Mu’tazilah.
Adapun tokoh-tokohnya yang terkenal adalah al-Baqillani, al-Juwaini dan al-Ghaza>li.
2.
Pada dasarnya kaum al-Asy’ariyah adalah aliran sinkretis yang berusaha
mengambil sikap tengah-tengah antara dua kutub aqal dan naql,
antara kaum salaf dan Mu’tazilah. Al-Asy’ariyah bercorak perpaduan
antara pendekatan tekstual dan kontekstual sehingga al-Ghaza>li menyebutnya
sebagai aliran Mutawassith atau pertengahan.
3.
Aliran
al-Asy’ariyah yang merupakan mazhab aqidah Ahlu al-Sunnah wa al-Jama>’ah memiliki
pengaruh yang sangat besar melalui gagasan Perdana mentri Nizam al-Mulk, yang
membangun sekolah-sekolah yang di dalamnya diajarkan paham aliran
al-Asy’ariyah, sehingga menjadi arus
utama pendidikan umat Islam. Dengan
lenyapnya aliran-aliran lain, terutama Mu’tazilah, maka aliran al-Asy’ariyah
tidak memiliki saingan untuk mempengaruhi umat Islam sejak waktu itu hingga
sekarang.
DAFTAR PUSTAKA
Abbas,
Nurlaelah. Gerakan paham Ahlu Sunnah wal Jama’ah di Sulawesi selatan: Studi
Tentang Peran Sosial Keagamaan Darud Dakwah wal Irsyad (DDI), ed. Syamsul
Bahri. Jakarta: Pustaka Mapan 2006.
Aceh, Abubakar.
Salaf: Islam dalam Masa Murni. Solo: Ramadhani 1868.
Amin, Husayn
Ahmad. Al-Miah al-A’zham fi al-Ta>ri>kh
al-Isla>m, terj. Baharudin Fanani, Seratus
Tokoh Dalam Sejarah Islam. Cet. III;
Bandung: Remaja Rosdakarya, 1999.
Departemen
Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya.
Bandung: CV Penerbit Diponegoro, 2008.
Ensiklopedi Islam
Indonesia, Jakarta: Djambatan, 1992.
Esposito,Jhon
l. Islam: The straight path, terj. Arif Maftuhin, Islam Warna-Warni,
Ragam Ekspresi Menuju “Jalan Lurus”. Cet. I: Jakarta: Paramadina, 2004.
Fahruddin, Fuad
Moh. Alam Pemikiran Islam, Peranan
Ummat Islam Dalam Pengembangan Ilmu Pengetahuan. Bandung: CV Diponegoro
1979.
Hasan, Muhammad
Tholhah. Ahlussunnah wa al-Jama’ah
Dalam presepsi dan Tradisi NU. Cet. III: Jakarta: Lantabora Press, 2005.
Hasyim, Umar. Apakah Anda Termasuk Golongan Ahlus Sunnah
Wal Jama’ah. Surabaya: PT. Bina Ilmu, 1986.
Ilhamuddin, Pemikiran
Kalam al-Baqillani. Yogyakarta: Tiara Wacana, 1997.
Manzur, Ibn. Lisa>n al-Arab,
Vol. VIII. H. 225. Dikutip dalam Hamzah Harun Al-Rasyid, Al-Asy’ariyah:
Sejarah, Metodologi, dan Kontribusinya Terhadap Peningkatan Produktifitas Kerja
. Makassar: Alaudin University Press 2012.
Musa, Jalal
Muhammad. Nasy’at al-Asy’ariyah wa
Tathawwuriha>. Cet. I;
Beirut: Dar Al-Kitab Al-Libnani, 1395 H/1970 M.
Nasution,
Harun. Teologi Islam: Aliran-aliran, sejarah, analisa dan perbandingan.
Cet. V; Jakarta: Universitas Indonesia Press, 2009.
Nurdin, M. Amin
et. al., Sejarah Pemikiran Islam. Jakarta: Amzah, 2011.
Patuhena, M.
Saleh Susmihara, dan Rahmat. Sejarah Islam Klasik. Makassar: Alauddin
Press, 2009.
al-Rasyid,
Hamzah Harun. Al-Asy’ariyah: Sejarah, Metodologi, dan Kontribusinya Terhadap
Peningkatan Produktifitas Kerja. Makassar: Alaudin University Press 2012.
Rozak, Abdul
dan Rosihon Anwar. Ilmu Kalam. ed. Maman Abd. Djaliel. Bandung: Pustaka
Setia, 2001.
Tahir, Luklman
S. Kritik Islam Rasional Harun Nasution: dari nalar Tradisi, Modernitas,
hingga Nalar Kritis. Makassar: Pustaka Refleksi, 2012.
Yasid,
Abu. Nalar dan wahyu: Interrelasi
dalam Pembentukan Syari’at. Jakarta: Penerbit Erlangga, 2001.
Zahro, Ahmad, Tradisi
Intelektual NU. Cet I; Yogyakarta: Pelangi Aksara 2004.
[1]M.
Saleh Patuhena, Susmihara, dan Rahmat, Sejarah Islam Klasik (Makassar:
Alauddin Press, 2009), h. 202.
[2]Salah satu
organisasi kemasyarakatan Islam yang secara tegas mengatakan dukungannya
terhadap pemikiran al-Asy’ariyah adalah Jam’ayyah Nahdah al-‘Ulama’. Lihat Ahmad
Zahro, Tradisi Intelektual NU (Cet I; Yogyakarta: Pelangi Aksara 2004),
h. 27-28.
[3]Ensiklopedi
Islam Indonesia (Jakarta: Djambatan, 1992), h. 231.
[4]Harun
Nasution, Teologi Islam: Aliran-aliran, sejarah, analisa dan perbandingan
(Cet. V; Jakarta: Universitas Indonesia Press, 2009), h. 66-67.
[5]Ibid.
[6]Muhammad
Tholhah Hasan, Ahlussunnah wa al-Jama’ah Dalam presepsi dan Tradisi NU
(Cet. III: Jakarta: Lantabora Press, 2005), h. 17.
[8]Harun
Nasution, op. cit., h. 69.
[9]Jalal
Muhammad Musa, Nasy’at
al-Asy’ariyah wa Tathawwuriha>,
(Cet. I; Beirut: Dar Al-Kitab Al-Libnani, 1395 H/1970 M), h. 165.
[10]Muhammad
Tholhah Hasan, op. cit., h. 16.
[11]Ensilopedi
Islam Indonesia, op. cit., h. 131.
[12]Abdul
Rozak, dan Rosihon Anwar, Ilmu Kalam, ed. Maman Abd. Djaliel (Bandung:
Pustaka Setia, 2001), h. 120.
[13]Umar Hasyim, Apakah
Anda Termasuk Golongan Ahlus Sunnah Wal Jama’ah (Surabaya: PT. Bina Ilmu,
1986), h. 67.
[14]M.
Amin Nurdin et. al., Sejarah Pemikiran Islam (Jakarta: Amzah, 2011). H.
113.
[17]Muhammad
Tholhah Hasan, op. cit., h. 19.
[18]M.
Amin Nurdin et. al., loc. cit.
[19]Muhammad
Tholhah Hasan, loc. cit.
[20]M.
Amin Nurdin et. Al., op. cit., h. 120-121.
[21]Muhammad
Tholhah Hasan, op. cit., h. 20.
[23]Abu
Yasid, Nalar dan wahyu: Interrelasi dalam Pembentukan Syari’at (Jakarta:
Penerbit Erlangga, 2001), h. 53.
[24]Luklman S. Tahir, Kritik Islam Rasional Harun Nasution: dari
nalar Tradisi, Modernitas, hingga Nalar Kritis. (Makassar:Pustaka Refleksi,
2012), h. 55.
[25]Abdul
Rozak, dan Rosihon Anwar, op. cit., h. 121.
[26]Ilhamuddin, Pemikiran Kalam al-Baqillani (Yogyakarta: Tiara Wacana,
1997), h. 15.
[27]Fuad
Moh. Fahruddin. Alam Pemikiran Islam, Peranan Ummat Islam Dalam
Pengembangan Ilmu Pengetahuan (Bandung: CV Diponegoro 1979), h. 286.
[28]Departemen
Agama RI. Al-Qur’an dan Terjemahnya (Bandung: CV Penerbit Diponegoro,
2008), h. 578.
[29]Abdul
Rozak, dan Rosihon Anwar, op. cit., h. 67.
[30]Harun
Nasution, op. cit., h. 137-138.
[31]Abubakar
Aceh, Salaf: Islam dalam Masa Murni (Solo: Ramadhani1868), h.30.
[32]Abdul
Rozak, dan Rosihon Anwar, op. cit., h. 124.
[34]Husayn
Ahmad Amin, Al-Miah
al-A’zham fi al-Ta>ri>kh al-Isla>m, terj.
Baharudin Fanani Seratus Tokoh Dalam Sejarah Islam (Cet. III; Bandung: Remaja Rosdakarya, 1999), h.127.
[35]Harun
Nasution, op. cit., h. 84
[36]Hamzah
Harun Al-Rasyid, Al-Asy’ariyah: Sejarah, Metodologi, dan Kontribusinya
Terhadap Peningkatan Produktifitas Kerja (Makassar: Alaudin University
Press 2012), h. 29.
[37]Ibn Manzur, Lisa>n
al-Arab, Vol. VIII. H. 225; dikutip dalam Hamzah Harun Al-Rasyid, Al-Asy’ariyah:
Sejarah, Metodologi, dan Kontribusinya Terhadap Peningkatan Produktifitas Kerja
(Makassar: Alaudin University Press 2012), h. 31.
[39]Muhammad
Tholhah Hasan, op. cit., h. 3.
[40]Jalal
Muhammad Musa, op. cit., h. 15.
[41]Nurlaelah
Abbas, Gerakan paham Ahlu Sunnah wal Jama’ah di Sulawesi selatan: Studi
Tentang Peran Sosial Keagamaan Darud Dakwah wal Irsyad (DDI), ed. Syamsul
Bahri (Jakarta: Pustaka Mapan 2006), h. 27.
[42] Ibid.
[43]
Harun Nasution, op. cit., h. 65.
[44]Muhammad
Tholhah Hasan, op. cit., h. 13.
[45]Jhon
l. Esposito, Islam: The straight path, terj. Arif Maftuhin, Islam
Warna-Warni, Ragam Ekspresi Menuju “Jalan Lurus” (Cet. I: Jakarta: Paramadina, 2004). h. 92.
[46]M.
Amin Nurdin et. Al., op. cit., h. 133.
[47]Muhammad
Tholhah Hasan, op. cit., h. 23.
[48]Harun
Nasution, op. cit., h. 76.
No comments:
Post a Comment