Monday, November 20, 2017

Pola Pemikiran Aliran Al-Asy'ariyah



BAB I
PENDAHULIAN
A.       Latar Belakang Masalah
Timbulnya aliran-aliran dalam Islam berpangkal pada pertikaian politik yang merembes ke masalah-masalah keagamaan. Secara garis besarnya aliran itu terbagi kepada paham dalam hukum Islam, paham dalam tashawwuf dan paham dalam akidah atau teologi Islam. Masing-masing paham dibedakan dengan adanya aliran dan mazhab yang dipelopori oleh seorang mujtahid, atau pendiri suatu aliran atau mazhab yang mempunyai sejarah perkembangan , dasar-dasar pemikiran dan ulama serta pendukung-pendukungnya.[1]
Salah satu konsep pemikiran yang banyak diminati oleh organisasi kemasyarakatan Islam, begitu juga di institusi-institusi pendidikan tinggi Islam Indonesia adalah konsep pemikiran al-Asy’ariyah.[2] Konsep pemikiran ini telah tersebar dan memiliki penganut terbesar di dunia Islam.  Konsep pemikiran ini dibangun oleh seorang ulama terbesar di zamannya, yaitu Abu Hasan Al-Asy‘ari. Beliau telah terbukti banyak melakukan terobosan-terobosan untuk melakukan pembelaan terhadap Islam, berkenaan dengan munculnya berbagai kontroversi pemikiran bagi umat Islam.
Aliran al-Asy’ariyah lahir pada awal abad ke-4 Hijriyah. Kemunculannya bertepatan dengan sebuah momentum di mana umat Islam membutuhkan suatu konsep pemikiran yang mampu menghadapi berbagai tantangan dari berbagai aliran pemikiran yang semakin ramai. Khawa>rij masa itu dikenal sebagai sebuah aliran yang banyak menyebar fitnah sekaligus sebagai pelopor dari berbagai revolusi berdarah. Bahkan label “kafir” pun diidentikkan kepada orang-orang Islam yang berbuat dosa besar. Aliran yang lain adalah aliran Mu’tazilah dan filusuf yang sangat liberal dalam mengekspresikan akal terhadap berbagai problematika teologis yang muncul, terutama menyangkut masalah ketuhanan.
 Aliran al-Asy’ariyah berkembang pada masa kekuasaan bani Saljuk dan  menyebar ke seluruh pelosok dunia Islam, sebab selain menjadi mazhab resmi pemerintahan, aliran ini juga merupakan arus utama pendidikan pada masa itu.  Ia diajarakan di sekolah-sekolah Islam, dan disebarkan oleh tokoh-tokohnya ke berbagai belahan dunia. Pada makalah ini penulis akan menguraikan lebih mendalam tentang aliran al-Asy’ariyah ini, baik sejarah, pokok-pokok ajaranya, dan perkembanganya. 
B.       Rumusan Masalah
Mengacu pada uraian di atas, maka penulis memberikan beberapa permasalahan yang menjadi ruang lingkup pembahasan dalam makalah ini, yaitu :
1.      Bagaimana sejarah aliran al-Asy’ariyah?
2.      Apa pokok- pokok ajaran aliran Al-Asy’ariyah?
3.      Bagaimana pemikiran Al-Asy’ariyah dan Ahlu al-Sunnah wa al-Jama>’ah serta pengaruhnya di Dunia Islam?






BAB II
PEMBAHASAN
A. Sejarah Aliran Al-Asy’ariyah
1.  Latarbelakang Timbulnya Aliran Al-Asyariyah.
Al-Asy’ariyah adalah aliran teologi Islam yang lahir pada dasawarsa kedua abad ke 10 M atau awal abad ke-4 H.[3] Gerakan ini diprakarsai oleh Abu Hasan Al-Asy’ari yang keluar dari aliran Mu’tazilah, yang sebelumnya merupakan pengikut setia aliran ini. Eksistensi aliran ini mempunyai pengaruh besar tatkala terjadinya kemunduran pada aliran Mu’tazilah.
Adapun yang melatarbelakangi keluarnya Al-Asy’ari adalah terjadinya perdebatan sengit antara Al-Asy’ari dengan gurunya Al-Jubba’i tentang dasar-dasar paham  aliran  Mu’tazilah yakni pada masalah kedudukan Mu’min, kafir dan anak kecil di akhirat, yang berakhir  dengan terlihatnya  kelemahan paham Mu’tazilah,  yang mana pada akhir perdebatan itu, sang guru tidak dapat menjawab tantangan muridnya Al-Asy’ari.[4] Adapaun perdebatan itu adalah sebagai berikut:

Al-Asy’ari:                         Bagaimana kedudukan ketiga orang berikut: Mukmin, kafir, dan anak kecil di akhirat?
Al-Jubba’i:                          Yang mukmin mendapat tingkat baik dalam surga, yang kafir masuk neraka, dan yang kecil terlepas dari bahaya.
Al-Asy’ari:                         Kalau yang kecil ingin memperoleh tempat yang lebih tinggi di surga, mungkinkah itu?
Al-Jubba’i:                          Tidak, yang mungkin mendapat tempat yang baik itu, karena kepatuhannya kepada Tuhan. Yang kecil belum mempunyai kepatuhan yang serupa.
Al-Asy’ari:                         Kalau anak itu mengatakan kepada Tuhan, itu bukan salahku. Jika sekiranya Engkau bolehkan aku terus hidup aku akan mengerjakan perbuatan-perbuatan baik seperti yang dilakuakan orang mukmin itu.
Al-Jubba’i:                          Allah akan menjawab: “Aku tahu bahwa jika engkau terus hidup  engkau akan berbuat dosa dan oleh karena itu akan kena hukuman. Maka untuk kepentinganmu aku cabut nyawamu sebelum engkau sampai kepada umur tanggung jawab”.
Al-Asy’ari:                         Sekiranya yang kafir mengatakan: “Engkau ketahui masa depanku sebgaimana engkau mengetahui masa depannya. Apa sebabnya engkau tidak menjaga kepentinganku?”.
Di sini Al-Jubba’I terpaksa terdiam.
Al-Syubki dan Ibn ‘Asakir, menjelaskan bahwa yang menyebabkan Al-Asy’ari meninggalkan paham Mu’tazilah adalah pengakuannya telah bermimpi bertemu dengan Rasulullah Muhammad saw.. Dalam mimpinya Nabi mangatakan bahwa mazhab ahli hadislah yang benar dan mazhab Mu’tazilah salah. Kemudian Nabi memerintahkannya untuk meninggalkan paham Mu’tazilah dan membela paham ahli hadis (ahli sunnah).[5]
Riwayat lain mengatakan bahwa penyebab munculnya aliran ini adalah katidakpuasan dan keragu-raguan Al-Asy’ari dengan aliran Mu’tazilah yang dianutnya selama ini, yang berujung pada pengasingan dirinya di rumah selama lima belas hari (ada yang mengatakan empat puluh hari), untuk memikirkan ajaran-ajan Mu’tazilah dengan melakukan perenungan dan istikha>rah. Sesudah itu ia keluar rumah, pergi ke masjid dan naik ke mimbar, kemudian mengatakan bahwa ia telah mengasingkan diri untuk berfikir mendalam tentang berbagai macam paham teologi dengan dalil dan metodologi masing-masing. Akhirnya ia berkata: “Keyakinan-keyakinanku yang lama saya lemparkan, sebagaimana saya melemparkan baju ini.” Sambil melepaskan jubahnya dan melemparkanya.[6]
Sebab lain adalah terjadinya tragedi mihnah (ujian keyakinan) yang dilakukan oleh para pejabat pemerintah atas dukungan elite Mu’tazilah, terutama pada masa khalifah Al-Ma’mu>n, Al-Mu’tasim, dan Al-wastiq yang melakukan pemaksaan paham Mu’tazilah kepada umat Islam terutama tokoh-tokoh dan ulama berpengaruh. Banyak tokoh dan ulama yang menjadi panutan umat menjadi korban gerakan mihnah, mulai dari penyiksaan fisk, pemenjaraan sampai hukuman mati.[7]
 Salah satu korbanya adalah Imam Ibnu Hambal, karena menolak mengatakan kemahlukan Al-Qur’an. Sikap para penguasa Abbasiyah itu dipandang oleh mayoritas umat Islam sebagai cacat politis, cacat teologis dan cacat moral. Sehingga menurunkan simpati masyarakat dan kepercayaanya kepada pemerintah dan Mu’tazilah.
Pendapat lain mengatakan bahwa Al-Asy’ari meninggalkan paham Mu’tazilah karena melihat Mu’tazilah berada dalam fase kemunduran dan kelemahan, setelah Al-Mutawakkil membatalkan putusan Al-Ma’mu>n, tentang penerimaan aliran Mu’tazilah sebagai mazhab Negara dan menurunya simpati umat Islam terhadap Mu’tazilah akibat prilaku pemaksaan aliran tersebut. Suasana inilah yang medorong Al-Asy’ari untuk mengunakan kesempatan keluar dari golongan Mu’tazilah dan membentuk teologi baru yang sesuai dengan pemikiran umat Islam umumnya yang bersifat sederhana.[8]
Dari uraian di atas, saya berpendapat bahwa Al-Asy’ari bukan menggunakan kesempatan terhadap momen kemunduran aliran Mu’tazilah untuk membuat aliran teologi baru, namun hal itu dilakukannya karena ia sungguh merasa berada dalam keragu-raguan dengan aliran yang diikutinya, dan perubahan pemahaman itu dilakukannya dengan melaksanakan perenungan yang mendalam,  sehingga sampailah ia pada kesimpulan untuk meninggalkan paham teologi lamanya, dan beralih kepada paham baru yang sekarang dikenal dengan aliran al-Asy’ariyah.
2.  Riwayat Singkat Imam Al-Asy’ari
Imam Al-Asy’ari adalah orang yang pertama mendirikan aliran al-Asy’ariyah. Nama lengkap beliau adalah Abu Al-Hasan Ali bin Ismail bin Ishak bin Salim bin Ismail bin Abdullah bin Musa bin Bilal bin Abi Burdah bin Abu Musa al-Asy’ari.[9] Dan Abu Musa al-Asy’ari r.a. adalah salah satu sahabat Rasulullah saw., yang banyak meriwayatkan hadis beliau.[10]
Imam Abu Al-Hasan Al-Asy’ari lahir di Bashrah (Irak) pada tahun 260 H (873 M) dan wafat di Baghdad pada tahun 324 H (935 M).[11] Pada mulanya ia adalah pengikut Mu’tazilah dan merupakan murid cerdas Al-Jubba’i salah seorang tokoh Mu’tazilah. Al-Asy’ari kemudian menjadi salah seorang terkemuka dalam golongan Mu’tazilah. Ia sering dipercayakan menggantikan Al-Jubba’i  dalam perdebatan menetang lawan lawan Mu’tazilah  dan banyak menulisi buku-buku yang membela alirannya.[12] Namun setelah 40 tahun menganut faham tersebut, Ia akhirnya menyatakan keluar dan meninggalkan faham Mu’tazilah, dan mendirikan aliran pemikiran baru yang dikenal dengan namanya sendiri al-Asy’ariyah. 
Setelah ia belajar berbagai ilmu di kota Bashrah, ia pergi ke kota Baghdad, ibu kota khila>fah Isla>miyyah saat itu, dan meneruskan belajar di sana. Adapun mengenai karya-karya Imam Al-Asy’ari kurang lebih puluhan karya yang dihasilkan, namun ada tiga karyanya yang sangat terkenal yaitu kitab “ Maqa>lah al-Isla>miyyin” (pendapat-pendapat golongan Islam). Kitab yang lain adalah al-Iba>nah ‘an Us}u>l al-Diya>nah (keterangan tentang dasar-dasar agama), berisi tentang kepercayaaan Ahlu Sunnah, dengan dimulai oleh Imam Ahmad bin Hambal.  Dan kitabnya yang ketiga adalah al-Luma>’ fi al-Rad ‘ala> Ahlu al-Zia>gh wa al-Bida>’, yang berisi sorotan atau bantahan terhadap lawan-lawan pendapatnya tentang berbagai masalah ilmu kalam.[13]
3.  Tokoh-tokoh aliran al-Asy’ariyah.
Dalam perkembangannya Al-Asy’ariyah memiliki banyak tokoh-tokoh dan pemuka aliran ini, namun yang paling menonjol adalah beberapa tokoh berikut:
a.       Al-Baqillani
Al-Qa>di Abu> Bakr Muhammad Ibn al-Tayyib Ibn Muhammad Ibn al-Qa>sim Abu Bakr al-Baqillani adalah nama lengkap dari al-Baqallani, yang oleh Fazlur Rahman disebut sebagai perinci utama doktin al-Asy’ariyah. Para ahli tidak bersepakat bahwa ia dilahirkan di Bashrah, Namun pada umumnya meraka menyatakan bahwa ia wafat di Baghdad tahun 403 H (1013 M).[14]
Al-Baqillani megenal ajaran Al-asy’ariyah melalui dua murid Al-Asy’ari Yakni Ibnu Mujahid dan Abu al-Hasan al-Bahili>. Dari keduanya pila ia belajar mengenai ilmu selain ilmu kalam, seperti metode berpikir dan ilmu ushul. Karenanya, dapat dimengerti bila pikiran-pikirannya memiliki kekhasan tersendiri yang membedakannya dengan pemuka-pemuka al-Asy’ariyah yang lain. Bahkan dengan Al-Asy’ari sendiri, ia berbeda pendapat tidak hanya dalam beberapa masalah teologi, tapi juga dalam mazhab fiqhi, ia penganut mazhab maliki, sedangkan Al-Asy’ari penganut mazhab sya>fi’i.[15]
b.      Al-Juwaini
Nama lengkapnya adalah Abdul Malik bin Yusuf  bin Muhammad Al-Juwaini Al-Naisaburi. Nama al-Juwaini dinisbahkan pada kota tempat kelahirannya, Juwaini termasuk wilayah Naisabur, Khurasan. Ia dilahirkan di juwain tahun 419 H (1028 M). [16] Ia dikenal diberi gelar Imam al-Haramain artinya Imam dari dua tanah suci, yaitu Makkah dan Madinah, Karena ia pernah menetap di Makkah dan Madinah selama empat tahun untuk memberikan pelajaran dan fatwa. Ia pengikut mazhab Sya>f’i dalam fiqhi dan ajaran Al-Asy’ari dalam aqidah.[17]
Al-Juwaini mula-mula belajar agama dari ayahnya, Syekh Abu Bakr Muhammad.  Ayahnya adalah seorang ahli dalam bidang fiqh dan us}u>l al-fiqh, nahwu dan sastra. Pada usia sekitar usia 32 tahun, Ia ke Baghdad dan belajar dari para ahli disana. Setelah itu iya menetap di Makkah dan Madinah, kemudian atas permintaan perdana mentri Nizam al-Muluk, Penguasa dan pendiri sekolah al-Nizamiyah di Nisabur. Ia pun pulang ke negrinya untuk menjadi tenaga pengajar di sekolah tersebut, di situlah ia mengajarkan dan mengembangkan faham al-Asy’ariyah sampai akhir khayatnya (478 H/1085 M).[18] Karya tulisnya yang banyak mendapat perhatian antara lain al-Irsyad, al-Syamil, dan Al-Burhan fi Us}ul al-Fiqh.[19]
c.       Al-Ghaza>li
Al-Ghaza>li lahir di Gazalah, sebuah kota kecil yang terletak didekat Tus (wilayah Kurasan) pada tahun 450 H / 1058 M dan wafat pada tahun 505 H/1111 M, di kota yang sama.  Nama lengkapnya Muhammad bin Muhammad al-Tawus Abu Hamid Imam al-Ghaza>li.  Ia diberi gelar “Hujjat al-Islam” yang berarti (bukti agama Islam), karena selain sebagai representasi kaum sunni, juga karena kecermatan dan kecemerlangan tiap argumentasi yang mendasari pemikirannya. Dengan kekayaaan pengalaman dan keluasan ilmunya, ia dipandang sebagai seorang pendekar teolog yang mahir memainkan pedang filsafat yang akhirnya menjadi seorang sufi yang sangat alim.[20]
Dalam masalah aqidah, terutama pada masalah perbedaan pendapat antara al-Baqillani dan al-juwaini dengan Al-Asy’ari, al-Ghaza>li memiliki banyak kesamaan pokok-pokok pendapat dengan dengan imam Al-Asy’ari, ia dengan cerdas membela ajaran Al-Asy’ari yang dinilainya moderat dalam menempatkan dalil-dalil aqliyah berdampingan dengan dalil-dalil naqliyah secara proporsional.[21]
Jasa al-Ghaza>li yang sangat besar adalah keberhasilannya menemukan tiga dimensi kajian Islam yang selama beberapa abad saling berbenturan, yakni fiqhi, kalam dan tas}awwuf dan mendamaikan para tokoh dan ahlinya (Fuqaha>’, Mutakallimu>n, dan Mutas}awwifu>n). Sikap al-Ghaza>li dalam menyikapi pembahasan dan pemahaman ilmu-ilmu tersebut selalu dalam posisi moderat dan kritis, di samping ia sendiri adalah ahli fiqhi yang berpandangan luas, seorang ahli kalam yang handal dan cerdas, dan juga seorang ahli tasawwuf yang disegani dan dikagumi.  Secara teoritis visi al-Ghaza>li diabadikan dalam karya agungnya “ihya>’ ‘ulu>m al-Di>n”, dan secara praktis figur al-Ghaza>li merupakan teladan dan panutan.[22]
B.  Pokok-Pokok Ajaran Al-Asy’ariyah.
Pada dasarnya kaum al-Asy’ariyah adalah aliran sinkretis yang berusaha mengambil sikap tengah-tengah antara dua kutub aqal dan naql, antara kaum salaf dan Mu’tazilah. Al-Asy’ariyah bercorak perpaduan antara pendekatan tekstual dan kontekstual sehingga al-Ghaza>li menyebutnya sebagai aliran Mutawassith atau pertengahan.[23] Dan adapun pokok-pokok ajaran al-Asy’ariyah adalah sebagai berikut:
1.      Sifat Allah
Tentang sifat Allah swt tentang hal ini Al-Asy’ari berbeda pendapat dengan Muk’tazilah yang berpendapat tentang sifat tuhan dengan pendekatan logika[24]. Baginya Allah swt mempunyai sifat (sifat dua puluh) seperti al-ilm (mengetahui), al-qudrah (kuasa), al-hayyah (hidup). Sifat-sifat tersebut berada di luar zat Tuhan dan  bukan zat Tuhan itu sendiri. Oleh karena itu, Tuhan mengetahui bukan dengan zat-nya seperti pendapat Mu’tazilah, melainkan mengetahui dengan pengetahuan-Nya. Demikian pula dengan sifat-sifat lainnya.[25]
2.      Kedudukan Al-Qur’an
Tentang kedudukan Al-Qur’an  adalah kalam Allah (firman Allah swt.) dan bukan makhluk dalam arti diciptakan. Karena Al-Qur’an adalah firman Allah swt. maka pastilah Al-Qur’an bersifat Qadi>m.  bahwasanya Al-Qur’an itu sepenuhnya bukan makhluk termasuk suara dan hurufnya, hanya perwujudan dalam bentuk suara dan huruf adalah makhluk, dan yang bersifat Qadi>m hanya esensi Al-Qur’an itu sendiri.[26]
3.      Melihat Allah
Tentang melihat Allah swt. Diakhirat, Allah swt. akan dapat dilihat di akhirat dengan mata kepala karena Allah swt mempunyai wujud.[27]  Pandangan Asy’ari tentang melihat Tuhan: ia berpendapat bahwa setiap yang ada dapat dilihat, Allah juga ada maka dengan demikian dia dapat dilihat, ini dapat diketahui dari wahyunya bahwa kaum mukmin akan melihatnya dihari akhir nanti, sebagaimana Allah katakan di hari itu wajah mereka (yang beriman) akan berseri-seri melihat Tuhan mereka Q.S. al-Qiyamah/75: 22:
Ùˆُجُوهٌ ÙŠَÙˆْÙ…َئِذٍ Ù†َاضِرَØ©ٌ) Ù¢Û² ( Ø¥ِÙ„َÙ‰ رَبِّÙ‡َا Ù†َاظِرَØ©ٌ (Û²Û³)
Terjemahnya:
“Wajah-wajah (orang-orang mukmin) pada hari itu berseri-seri. Kepada tuhannyalah mereka melihat”.[28]
Akan tetapi penglihatan kita terhadap Tuhan tidak memerlukan ruang, tempat, arah atau bentuk dan saling tatap muka (seperti kita), sebab itu mustahil.
4.      Perbuatan Manusia
Perbuatan-perbuatan manusia diciptakan oleh Allah swt walaupun Al-Asya’ri mengakui adanya daya alami diri manusia, daya itu tidak efektif. Paham ini dikenal  dengan istilah al-kasb.[29] Al-Asy’ari membedakan antara kha>liq dan kasb. Menurutnya, Allah adalah pencipta (kha>liq) perbuatan manusia, sedangkan manusia sendiri yang mengupayakannya (muktasib). Hanya Allah yang mampu menciptakan segala sesuatu termasuk keinginan manusia.
5.      Antropomorfisme
Tentang antropomorfisme dalam arti bahwa Allah swt.  mempunyai mata, muka, tangan dan sebagainya seperti disebut didalam ayat-ayat Al-Qur’an, Al-Asy’ari  tidak sependapat. Ia tidak menerima aggapan bahwa tuhan memiliki sifat-sifat jasmani  seperti sifat-sifat jasmani manusia. Begitu pula hal ini tidak boleh diberi interpretasi lain, seperti halnya mengartikan Tuhan mempunyai dua tangan dengan rahmat atau kekuasaannya. Menuru Al-asy’ari Allah memiliki mata, muka, tangan dan sebagainya itu betul adanya akan tetapi, tidak dapat diketahui bagaimana bentuknya (bila kaifa).[30]
6.      Dosa Besar
Pandangan Al-Asy’ari tentang dosa besar, bahwa orang mukmin yang berdosa besar tetap dianggap mukmin selama ia masih beriman kepada Allah swt dan RasulNya. Ia hanya digolongkan sebagai orang a>s{i (durhaka). Tentang dosa besarnya diserahkan kepada Allah swt, apakah akan diampuni atau tidak.[31] Ia berpendapat bahwa mukmin yang berdosa besar adalah mukmin yang fa>sik, karena iman tidak mungkin hilang karena dosa selain kufur.[32]
7.      Keadilan Tuhan
Tentang keadilan Allah swt., Al-Asy’ari tidak sependapat dengan Mu’tazilah yang mengharuskan Allah berbuat adil sehingga Dia harus menyiksa orang-orang yang salah dan memberi pahala kepada orang-orang yang berbuat baik.[33]  Allah swt. adalah pencipta seluruh alam. Dia memiliki kehendak mutlak terhadap ciptaan-Nya. Karena itu, ia dapat berbuat sekehendakNya. Ia dapat saja memasukkan seluruh manusia ke dalam syurga, sebaliknya dapat pula memasukkan seluruh manusia ke dalam neraka.
8.      Kemampuan Akal dan Wahyu
Menurut Al-Asy’ari, akal tidak memiliki kedudukan seperti yang dikatakan oleh Mu’tazilah bahwa akal dapat membedakan antara yang baik dan yang buruk, antara kebaikan dan kejelekan tanpa memerlukan wahyu. Wahyu menurut Al-asy’ari merupaka satu-satunya perangkat untuk mengetahui Allah dan syariatnya.[34] Betul akal dapat mengetahui tuhan, tetapi wahyulah yang mewajibkan orang mengetahui Tuhan dan berterima kasih kepadanya.[35] Jadi pada dasarnya Asy’ari memberikan porsi besar pada wahyu dibanding dari pada akal.
C.  Al-Asy’ariyah dan Ahlu Sunnah wal Jama>’ah serta Pengaruhnya di Dunia Islam
1. Al-Asy’ariyah dan Ahlu Sunnah wal Jama>’ah
Term “Ahlu Sunnah” sebenarnya bukanlah suatu hal yang baru dalam Islam, bukan juga suatu term yang muncul seiring dengan kemunculan Abu Hasan al-Asy’ari di awal abad ke-4 H.  Term ini telah menjadi istilah populer di masa sahabat dan masa-masa berikutnya.[36] Pada masa itu, term ini berkembang di kalangan ulama salaf  yang diidentikkan berlawanan dengan ahlu bid’ah. 
Secara etimologi “al-Sunnah”  berarti cara atau jalan, sama halnya cara atau jalan itu benar atau salah , terpuji atau tercela.[37] Terminologi sunnah mempunyai beberapa pengertian sesuai dengan disiplin ilmu yang melihatnya. Ulama hadis mengartikan sunnah sebagai segala tindak-tanduk Rasulullah baik berupa perkataan, perbuatan ataupun takrir baliau, demikian pula sifat-sfat kejadian (bentuk tubuhnya), akhlak maupun sejarahnya, baik sebelum kenabian ataupun sesudahnya. Semantara ulama fiqh mendefinisikan sebagai  suatau perbuatan yang apabila dikerjakan mendapat pahala dan ditinggalkan tidak mendapat dosa. Sunnah juga diidentikkan dengan segala sesuatu yang ditunjukkan oleh dalil-dalil syar’i baik Al-Qur’an, hadis, maupun ijdtihad para sahabat, seperti pengumpulan mushaf dan pembukuan hadis.[38]  
Ahlu al-Sunnah wa al-Jama>’ah adalah mereka yang mengikuti dengan konsisten semua jejak langkah yang berasal dari Nabi Muhammad saw. dan membelanya.[39] Ahlu al-Sunnah wa al-Jama>’ah tidak hanya terdiri dari satu kelompok aliran, karenanya Jalal Muhammad Musa mengatakan, bahwa istilah Ahlu al-Sunnah wa al-Jama>’ah menjadi rebutan banyak kelompok yang masing- masing mengklaim bahwa dialah Ahlu al-Sunnah wa al-Jama>’ah. Namun secara khusus, Ahlu al-Sunnah wa al-Jama>’ah dinisbatkan pada pengikut Al-Asy’ari dalam kelompok-kelompok ilmu kalam .[40]
Nurlaelah Abbas menyimpulkan bahwa Ahlu al-Sunnah wa al-Jama>’ah adalah faham suatu golongan yang berpegang teguh pada norma-norma dalam sunnah Rasul dan Khulafa’ al-Rasyidi>n, dan juga pada kaedah-kaedah Al-Qur’an baik dalam bidang aqidah maupun syariah.[41]
Pendapat lain mengatakan bahwa yang di maksud dengan Ahlu al-Sunnah wa al-Jama>’ah Mereka yang berpegang teguh kepada Al-Qur’an dan sunnah, serta menolak pendapat ahli falsafah. Mereka ini ialah pengikut dua imam yaitu Abu Mansur bin Muhammad Al-Maturidi> Al-Hanafi>, Abu al-Hasan Al-Asy’ari> al-Syafi’i> dan golongan salaf.[42]
Sementara itu Harun Nasution mengatakn bahwa istilah sunnah dan jama>’ah telah lama ada sebelum lahirnya aliran al-Asy’ariyah yang di jumpai dalam tulisan tulisan arab, Namun yang di maksud dengan Ahlu al-Sunnah wa al-Jama>’ah dalam lapangan teologi adalah kaum Asy’ariyah dan kaum maturidiyah.[43] Nahdatul Ulama sebagai golongan ahlu sunnah juga telah bersepakat dan menetapkan bahwa dalam masalah aqidah mereka mengikuti Imam Abu al-Hasan Al-Asy’ari> atau Iman Abu Mansur Al-Maturidi>.[44]
Dari beberapa pendapat di atas, maka dapat disimpulkan bahwa pengertian Ahlu al-Sunnah wa al-Jama>’ah sebagai ajaran dari pada suatu golongan kaum muslimin yang di dalam menjalankan ajaran syariat agamanya senantiasa berpegang kepada Al-Qur’an, sunnah Rasulullah, Sunnah Khulafa’ al-Rasyidin, dan sunnah sahabat Nabi pada umunnya. Dan dalam masalah aqidah mengikuti mazhab Imam Al-Asy’ari atau Al-Maturidi.  Bahkan Al-Asy’ari disebutkan sebagai pencetus aliran kalam Ahlu al-Sunnah wa al-Jama>’ah, Karena pada saat ia keluar dari paham lamanya Mu’tazilah, ia menyatakan beralaih ke paham barunya yakni menjadi ahlu hadis (ahlu sunnah) dan membela ajaran-ajaranya.
2. Pengaruh al-Asy’ariyah dan Ahlu al-Sunnah wa al-Jama>’ah terhadap dunia Islam.
Aliran al-Asy’ariyah mulai berkembang pesat pada saat diangkatnya Nizam al-Mulk  yang merupakan pengikut aliran al-Asy’ariyah oleh Alp Arselan sebagai perdana mentri menggantikan al-Kunduri. Atas usahanya aliran ini cepat berkembang, ia menyusun kebijakan jangka panjang untuk mempertahankan kekuasaan golongan sunni secara intelektual dan teologis.
Ajaran-ajaran al-Asy’ariyah disebarkan melaui khutbah-khutbah juma’at yang disampaikan. Ia juga mendirikan sekolah-sekolah yang diberi nama An-Nizamiyah, yang di dalamnya hanya diajarkan teologi al-Asy’ariyah, sehingga “Mazhab al-Asy’ariyah menjadi arus utama pendidikan kaum muslimin”.[45] Pembesar-pembesar Negara juga menganut aliran al-Asy’ariyah. Dengan demikian paham al-Asy’ariyahpun mulai tersebar luas bukan di daerah kekuasaan saljuk saja, tetapi juga di dunia Islam lainnya.
Di Mesir dan Syiriah, aliran al-Asy’ariyah dikembangkan oleh Salahudin al-Ayubi dari Dinasti Ayubiyah, dengan mengganti aliran syi’ah yang dibawa oleh Dinasti Fatimiyah. Di Maroko dan Andalusia, aliran ini dipelopori oleh Muhammad Ibnu Tumart, murid dari Al-Ghaza>li yang kemudian mendirikan kerajaan Muwahhidin di Afrika Utara dan Spanyol. Sedangkan di dunia Islam bagian timur, ajran ini disiarkan oleh Mahmud al-Ghanzawi (seorang kelahiran Turki), sampai ke India. Ia juga menguasai Iran dan mengusir kekuasaan syiah di negri itu.  Kerajaan yang di bentuk dinasti Ghanzawi ini memiliki wilayah kekuasaan sampai ke Afganistan, Punjab dan irak.[46]   
Aliran al-Asy’ariyah memperoleh pengikut terbanyak di lingkungan umat Islam antara lain karena diikuti oleh para pengikut dua mazhab tebesar dalam fiqhi, yakni mazhab Syafi’i> dan Maliki>.[47] Yang juga merupakan faktor penting bagi tersebar luasnya aliran al-Asy’ariyah adalah kebiasaan rakyat megikuti mazhab Dinasti yang berkuasa. Dan dengan lenyapnya aliran-aliran lain, terutama Mu’tazilah, maka aliran al-Asy’ariyah tidak memiliki saingan untuk mempengaruhi umat Islam sejak waktu itu hingga sekarang.[48]




BAB III
PENUTUP
Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan dalam pembahasan di atas, maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:
1.      Al-Asy’ariyah adalah aliran teologi Islam yang lahir pada dasawarsa kedua abad ke 10 M atau awal abad ke-4 H. Gerakan ini diprakarsai oleh Abu Hasan Al-Asy’ari yang keluar dari aliran Mu’tazilah, yang sebelumnya merupakan pengikut setia aliran ini. Eksistensi aliran ini mempunyai pengaruh besar pada saat terjadinya kemunduran bagi Mu’tazilah. Adapun tokoh-tokohnya yang terkenal adalah al-Baqillani, al-Juwaini dan al-Ghaza>li.
2.      Pada dasarnya kaum al-Asy’ariyah adalah aliran sinkretis yang berusaha mengambil sikap tengah-tengah antara dua kutub aqal dan naql, antara kaum salaf dan Mu’tazilah. Al-Asy’ariyah bercorak perpaduan antara pendekatan tekstual dan kontekstual sehingga al-Ghaza>li menyebutnya sebagai aliran Mutawassith atau pertengahan.
3.      Aliran al-Asy’ariyah yang merupakan mazhab aqidah Ahlu al-Sunnah wa al-Jama>’ah memiliki pengaruh yang sangat besar melalui gagasan Perdana mentri Nizam al-Mulk, yang membangun sekolah-sekolah yang di dalamnya diajarkan paham aliran al-Asy’ariyah,  sehingga menjadi arus utama pendidikan umat Islam. Dengan lenyapnya aliran-aliran lain, terutama Mu’tazilah, maka aliran al-Asy’ariyah tidak memiliki saingan untuk mempengaruhi umat Islam sejak waktu itu hingga sekarang.




DAFTAR PUSTAKA
Abbas, Nurlaelah. Gerakan paham Ahlu Sunnah wal Jama’ah di Sulawesi selatan: Studi Tentang Peran Sosial Keagamaan Darud Dakwah wal Irsyad (DDI), ed. Syamsul Bahri. Jakarta: Pustaka Mapan 2006.
Aceh, Abubakar. Salaf: Islam dalam Masa Murni. Solo: Ramadhani 1868.
Amin, Husayn Ahmad.  Al-Miah al-A’zham fi al-Ta>ri>kh al-Isla>m, terj. Baharudin Fanani, Seratus Tokoh Dalam Sejarah Islam. Cet. III; Bandung: Remaja Rosdakarya, 1999.
Departemen Agama RI,  Al-Qur’an dan Terjemahnya. Bandung: CV Penerbit Diponegoro, 2008.
Ensiklopedi Islam Indonesia, Jakarta: Djambatan, 1992.
Esposito,Jhon l. Islam: The straight path, terj. Arif Maftuhin, Islam Warna-Warni, Ragam Ekspresi Menuju “Jalan Lurus”. Cet. I: Jakarta: Paramadina, 2004.
Fahruddin, Fuad Moh.  Alam Pemikiran Islam, Peranan Ummat Islam Dalam Pengembangan Ilmu Pengetahuan. Bandung: CV Diponegoro 1979.
Hasan, Muhammad Tholhah.  Ahlussunnah wa al-Jama’ah Dalam presepsi dan Tradisi NU. Cet. III: Jakarta: Lantabora Press, 2005.
Hasyim, Umar.  Apakah Anda Termasuk Golongan Ahlus Sunnah Wal Jama’ah. Surabaya: PT. Bina Ilmu, 1986.
Ilhamuddin, Pemikiran Kalam al-Baqillani. Yogyakarta: Tiara Wacana, 1997.
Manzur, Ibn. Lisa>n al-Arab, Vol. VIII. H. 225. Dikutip dalam Hamzah Harun Al-Rasyid, Al-Asy’ariyah: Sejarah, Metodologi, dan Kontribusinya Terhadap Peningkatan Produktifitas Kerja . Makassar: Alaudin University Press 2012.
Musa, Jalal Muhammad.  Nasy’at al-Asy’ariyah wa Tathawwuriha>. Cet. I; Beirut: Dar Al-Kitab Al-Libnani, 1395 H/1970 M.
Nasution, Harun. Teologi Islam: Aliran-aliran, sejarah, analisa dan perbandingan. Cet. V; Jakarta: Universitas Indonesia Press, 2009.
Nurdin, M. Amin et. al., Sejarah Pemikiran Islam. Jakarta: Amzah, 2011.
Patuhena, M. Saleh Susmihara, dan Rahmat. Sejarah Islam Klasik. Makassar: Alauddin Press, 2009.
al-Rasyid, Hamzah Harun. Al-Asy’ariyah: Sejarah, Metodologi, dan Kontribusinya Terhadap Peningkatan Produktifitas Kerja. Makassar: Alaudin University Press 2012.
Rozak, Abdul dan Rosihon Anwar. Ilmu Kalam. ed. Maman Abd. Djaliel. Bandung: Pustaka Setia, 2001.
Tahir, Luklman S. Kritik Islam Rasional Harun Nasution: dari nalar Tradisi, Modernitas, hingga Nalar Kritis. Makassar: Pustaka Refleksi, 2012.
Yasid, Abu.  Nalar dan wahyu: Interrelasi dalam Pembentukan Syari’at. Jakarta: Penerbit Erlangga, 2001.
Zahro, Ahmad, Tradisi Intelektual NU. Cet I; Yogyakarta: Pelangi Aksara 2004.




[1]M. Saleh Patuhena, Susmihara, dan Rahmat, Sejarah Islam Klasik (Makassar: Alauddin Press, 2009), h. 202.
[2]Salah satu organisasi kemasyarakatan Islam yang secara tegas mengatakan dukungannya terhadap pemikiran al-Asy’ariyah adalah Jam’ayyah Nahdah al-‘Ulama’. Lihat Ahmad Zahro, Tradisi Intelektual NU (Cet I; Yogyakarta: Pelangi Aksara 2004), h. 27-28.
[3]Ensiklopedi Islam Indonesia (Jakarta: Djambatan, 1992), h. 231.
[4]Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-aliran, sejarah, analisa dan perbandingan (Cet. V; Jakarta: Universitas Indonesia Press, 2009), h. 66-67.
[5]Ibid.
[6]Muhammad Tholhah Hasan, Ahlussunnah wa al-Jama’ah Dalam presepsi dan Tradisi NU (Cet. III: Jakarta: Lantabora Press, 2005), h. 17.
[7]Ibid, h. 16.
[8]Harun Nasution, op. cit., h. 69.
[9]Jalal Muhammad Musa, Nasy’at al-Asy’ariyah wa Tathawwuriha>, (Cet. I; Beirut: Dar Al-Kitab Al-Libnani, 1395 H/1970 M), h. 165.
[10]Muhammad Tholhah Hasan, op. cit., h. 16.
[11]Ensilopedi Islam Indonesia, op. cit., h. 131.
[12]Abdul Rozak, dan Rosihon Anwar, Ilmu Kalam, ed. Maman Abd. Djaliel (Bandung: Pustaka Setia, 2001), h. 120.
[13]Umar Hasyim, Apakah Anda Termasuk Golongan Ahlus Sunnah Wal Jama’ah (Surabaya: PT. Bina Ilmu, 1986), h. 67.
[14]M. Amin Nurdin et. al., Sejarah Pemikiran Islam (Jakarta: Amzah, 2011). H. 113.
[15]Ibid.
[16]Ibid., h. 117.
[17]Muhammad Tholhah Hasan, op. cit., h. 19.
[18]M. Amin Nurdin et. al., loc. cit.
[19]Muhammad Tholhah Hasan, loc. cit.
[20]M. Amin Nurdin et. Al., op. cit., h. 120-121.
[21]Muhammad Tholhah Hasan, op. cit., h. 20.
[22]Ibid. h. 21.
[23]Abu Yasid, Nalar dan wahyu: Interrelasi dalam Pembentukan Syari’at (Jakarta: Penerbit Erlangga, 2001), h. 53.
[24]Luklman S. Tahir, Kritik Islam Rasional Harun Nasution: dari nalar Tradisi, Modernitas, hingga Nalar Kritis. (Makassar:Pustaka Refleksi, 2012), h. 55.
[25]Abdul Rozak, dan Rosihon Anwar, op. cit., h. 121.
[26]Ilhamuddin, Pemikiran Kalam al-Baqillani (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1997), h. 15.
[27]Fuad Moh. Fahruddin. Alam Pemikiran Islam, Peranan Ummat Islam Dalam Pengembangan Ilmu Pengetahuan (Bandung: CV Diponegoro 1979), h. 286.
[28]Departemen Agama RI. Al-Qur’an dan Terjemahnya (Bandung: CV Penerbit Diponegoro, 2008), h. 578.
[29]Abdul Rozak, dan Rosihon Anwar, op. cit., h. 67.
[30]Harun Nasution, op. cit., h. 137-138.
[31]Abubakar Aceh, Salaf: Islam dalam Masa Murni (Solo: Ramadhani1868), h.30.
[32]Abdul Rozak, dan Rosihon Anwar, op. cit., h. 124.
[33]Ibid., h. 123.
[34]Husayn Ahmad Amin, Al-Miah al-A’zham fi al-Ta>ri>kh al-Isla>m, terj. Baharudin Fanani Seratus Tokoh Dalam Sejarah Islam (Cet. III; Bandung: Remaja Rosdakarya, 1999), h.127.
[35]Harun Nasution, op. cit., h. 84
[36]Hamzah Harun Al-Rasyid, Al-Asy’ariyah: Sejarah, Metodologi, dan Kontribusinya Terhadap Peningkatan Produktifitas Kerja (Makassar: Alaudin University Press 2012), h. 29.
[37]Ibn Manzur, Lisa>n al-Arab, Vol. VIII. H. 225; dikutip dalam Hamzah Harun Al-Rasyid, Al-Asy’ariyah: Sejarah, Metodologi, dan Kontribusinya Terhadap Peningkatan Produktifitas Kerja (Makassar: Alaudin University Press 2012), h. 31.
[38]Hamzah Harun Al-Rasyid, op. cit., h. 31-32.
[39]Muhammad Tholhah Hasan, op. cit., h. 3.
[40]Jalal Muhammad Musa, op. cit., h. 15.
[41]Nurlaelah Abbas, Gerakan paham Ahlu Sunnah wal Jama’ah di Sulawesi selatan: Studi Tentang Peran Sosial Keagamaan Darud Dakwah wal Irsyad (DDI), ed. Syamsul Bahri (Jakarta: Pustaka Mapan 2006), h. 27.
[42] Ibid.
[43] Harun Nasution, op. cit., h. 65.
[44]Muhammad Tholhah Hasan, op. cit., h. 13.
[45]Jhon l. Esposito, Islam: The straight path, terj. Arif Maftuhin, Islam Warna-Warni, Ragam Ekspresi Menuju “Jalan Lurus”  (Cet. I: Jakarta: Paramadina, 2004). h. 92.
[46]M. Amin Nurdin et. Al., op. cit., h. 133.
[47]Muhammad Tholhah Hasan, op. cit., h. 23.
[48]Harun Nasution, op. cit., h. 76.

No comments:

Makalah: Mahabbah, Makrifah

BAB I PENDAHULUAN   A.      Latar Belakang Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi membawa manusia larut dan terbuai dalam din...