DEFINISI TASAWUF/SUFI
Kata “Shufi” berasal dari bahasa
Yunani “Shufiya” yang artinya: hikmah. Ada pendapat lain yang mengatakan
bahwa kata ini merupakan penisbatan kepada pakaian dari kain “Shuf”
(kain wol) dan pendapat ini lebih sesuai karena pakaian wol di zaman dulu
selalu diidentikkan dengan sifat zuhud, Ada juga yang mengatakan bahwa memakai
pakaian wol dimaksudkan untuk bertasyabbuh (menyerupai) Nabi ‘Isa Al Masih ‘alaihi
sallam (Lihat kitab kecil “Haqiqat Ash Shufiyyah Fii Dhau’il Kitab was
Sunnah” (hal.13), tulisan Syaikh DR. Muhammad bin Rabi’ Al Madkhali).
Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah:
“Ada perbedaan pendapat dalam penisbatan kata “Shufi”, karena kata ini
termasuk nama yang menunjukkan penisbatan, seperti kata “Al Qurasyi”
(yang artinya: penisbatan kepada suku Quraisy), dan kata “Al Madani”
(artinya: penisbatan kepada kota Madinah) dan yang semisalnya.
Ada yang mengatakan: “Shufi”
adalah nisbat kepada Ahlush Shuffah (Ash Shuffah adalah semacam
teras yang bersambung dengan mesjid Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
yang dulu dijadikan tempat tinggal sementara oleh beberapa orang sahabat
Muhajirin radhiallahu ‘anhum yang miskin, karena mereka tidak memiliki
harta, tempat tinggal dan keluarga di Madinah, maka Rasullah shallallahu
‘alaihi wa sallam mengizinkan mereka tinggal sementara di teras tersebut
sampai mereka memiliki tempat tinggal tetap dan penghidupan yang cukup. Lihat
kitab Taqdis Al Asykhash tulisan Syaikh Muhammad Ahmad Lauh 1/34, -pen),
tapi pendapat ini (jelas) salah, karena kalau benar demikian maka mestinya
pengucapannya adalah: “Shuffi” (dengan huruf fa’ yang didobel).
Ada juga yang mengatakan nisbat kepada “Ash
Shaff” (barisan) yang terdepan di hadapan Allah ‘Azza wa Jalla ,
pendapat ini pun salah, karena kalau benar demikian maka mestinya pengucapannya
adalah “Shaffi” (dengan harakat fathah pada huruf “shad”
dan huruf “fa’” yang didobel. Ada juga yang mengatakan nisbat kepada “Ash
Shafwah” (orang-orang terpilih) dari semua makhluk Allah ‘Azza wa Jalla ,
dan pendapat ini pun salah karena kalau benar demikian maka mestinya
pengucapannya adalah: “Shafawi”.
Ada juga yang mengatakan nisbat kepada
(seorang yang bernama) Shufah bin Bisyr bin Udd bin Bisyr bin Thabikhah, satu
suku dari bangsa Arab yang di zaman dulu (zaman jahiliah) pernah bertempat
tinggal di dekat Ka’bah di Mekkah, yang kemudian orang-orang yang ahli nusuk
(ibadah) setelah mereka dinisbatkan kepada mereka, pendapat ini juga lemah
meskipun lafadznya sesuai jika ditinjau dari segi penisbatan, karena suku ini
tidak populer dan tidak dikenal oleh kebanyakan orang-orang ahli ibadah, dan
kalau seandainya orang-orang ahli ibadah dinisbatkan kepada
mereka maka mestinya penisbatan ini
lebih utama di zaman para sahabat, para tabi’in dan tabi’it tabi’in, dan juga
karena mayoritas orang-orang yang berbicara atas nama shufi tidak mengenal
qabilah (suku) ini dan tidak ridha dirinya dinisbatkan kepada suatu suku yang
ada di zaman jahiliyah yang tidak ada eksistensinya dalam islam. Ada juga yang
mengatakan –dan pendapat inilah yang lebih dikenal- nisbat kepada “Ash Shuf”
(kain wol).” (Majmu’ul Fatawa 11/5-6).
LAHIRNYA AJARAN TASAWUF
Tasawuf adalah istilah yang sama sekali
tidak dikenal di zaman para sahabat radhiallahu ‘anhum bahkan tidak
dikenal di zaman tiga generasi yang utama (generasi sahabat, tabi’in dan
tabi’it tabi’in). Ajaran ini baru muncul sesudah zaman tiga generasi ini. (Lihat
Haqiqat Ash Shufiyyah hal. 14).
Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah,
“Adapun lafazh “Shufiyyah”, lafazh ini tidak dikenal di kalangan tiga
generasi yang utama. Lafazh ini baru dikenal dan dibicarakan setelah tiga
generasi tersebut, dan telah dinukil dari beberapa orang imam dan syaikh yang
membicarakan lafazh ini, seperti Imam Ahmad bin Hambal, Abu Sulaiman Ad Darani
dan yang lainnya, dan juga diriwayatkan dari Sufyan Ats Tsauri bahwasanya
beliau membicarakan lafazh ini, dan ada juga yang meriwayatkan dari Hasan Al
Bashri.” (Majmu’ Al Fatawa 11/5).
Kemudian Ibnu Taimiyyah menjelaskan
bahwasanya ajaran ini pertama kali muncul di kota Bashrah, Iraq, yang dimulai
dengan timbulnya sikap berlebih-lebihan dalam zuhud dan ibadah yang tidak
terdapat di kota-kota (islam) lainnya. (Majmu’ Al Fatawa 11/6).
Berkata Imam Ibnu Al Jauzi: “Tasawuf
adalah suatu aliran yang lahirnya diawali dengan sifat zuhud secara
keseluruhan, kemudian orang-orang yang menisbatkan diri kepada aliran ini mulai
mencari kelonggaran dengan mendengarkan nyanyian dan melakukan tari-tarian,
sehingga orang-orang awam yang cenderung kepada akhirat tertarik kepada mereka
karena mereka menampakkan sifat zuhud, dan orang-orang yang cinta dunia pun
tertarik kepada mereka karena melihat gaya hidup yang suka bersenang-senang dan
bermain pada diri mereka.” (Talbis Iblis hal 161).
Dan berkata DR. Shabir Tha’imah dalam
kitabnya Ash Shufiyyah Mu’taqadan Wa Maslakan (hal. 17): “Dan jelas
sekali besarnya pengaruh gaya hidup kependetaan Nasrani -yang mereka selalu
memakai pakaian wol ketika mereka berada di dalam biara-biara- pada orang-orang
yang memusatkan diri pada kegiatan ajaran tasawuf ini di seluruh penjuru dunia,
padahal Islam telah membebaskan dunia ini dengan tauhid, yang mana gaya hidup
ini dan lainnya memberikan suatu pengaruh yang sangat jelas pada tingkah laku
para pendahulu ahli tasawuf.” (Dinukil oleh Syaikh Shalih Al Fauzan dalam
kitabnya “Haqiqat At Tashawuf” hal. 13).
Dan berkata Syaikh Ihsan Ilahi Zhahir
dalam kitab beliau At Tashawuf, Al Mansya’ wa Al Mashdar hal. 28:
“Ketika kita mengamati lebih dalam ajaran-ajaran tasawuf yang dulu maupun yang
sekarang dan ucapan-ucapan mereka, yang dinukil dan diriwayatkan dalam
kitab-kitab tasawuf yang dulu maupun sekarang, kita akan melihat suatu
perbedaan yang sangat jelas antara ajaran tersebut dengan ajaran Al Quran dan
As Sunnah.
Dan sama sekali tidak pernah kita
dapati bibit dan cikal bakal ajaran tasawuf ini dalam perjalanan sejarah Nabi
Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat beliau
radhiallahu ‘anhum yang mulia, orang-orang yang terbaik dan pilihan dari
hamba-hamba Allah ‘Azza wa Jalla , bahkan justru sebaliknya kita dapati
ajaran tasawuf ini diambil dan dipungut dari kependetaan model Nasrani, dari
kebrahmanaan model agama Hindu, peribadatan model Yahudi dan kezuhudan model
agama Budha.” (Dinukil oleh Syaikh Shalih Al Fauzan dalam kitabnya “Haqiqat
At Tashawuf” hal. 14).
Dari keterangan yang kami nukilkan di
atas, jelaslah bahwa tasawuf adalah ajaran yang menyusup ke dalam Islam, hal
ini terlihat jelas pada amalan-amalan yang dilakukan oleh orang-orang ahli
tasawuf, amalan-amalan asing dan jauh dari petunjuk islam. Dan yang kami
maksudkan di sini adalah orang-orang ahli tasawuf zaman sekarang, yang banyak
melakukan kesesatan dan kebohongan dalam agama, adapun ahli tasawuf yang
terdahulu keadaan mereka masih lumayan, seperti Fudhail bin ‘Iyadh, Al Junaid,
Ibrahim bin Adham dan lain-lain. (Lihat kitab Haqiqat At Tashawwuf
tulisan Syaikh Shalih Al Fauzan hal. 15).
PRINSIP-PRINSIP DASAR AJARAN
TASAWUF YANG MENYIMPANG DARI PETUNJUK AL QURAN DAN AS SUNNAH
Orang-orang ahli
tasawuf –khususnya yang ada di zaman sekarang- mempunyai prinsip dasar dan
metode khusus dalam memahami dan menjalankan agama ini, yang sangat
bertentangan dengan prinsip dan metode Ahlusunnah wal Jamaah, dan menyimpang
sangat jauh dari Al Quran dan As Sunnah. Mereka membangun keyakinan dan tata
cara peribadatan mereka di atas simbol-simbol dan istilah-istilah yang mereka
ciptakan sendiri, yang dapat kita simpulkan sebagai berikut:
Pertama, mereka membatasi
ibadah hanya pada aspek Mahabbah
(kecintaan) saja dan mengenyampingkan aspek-aspek yang lainnya, seperti aspek Khauf (rasa takut)
dan Raja’
(harapan), sebagaimana yang terlihat dalam ucapan beberapa orang ahli tasawuf, “Aku beribadah kepada Allah
‘Azza wa Jalla bukan karena aku mengharapkan masuk surga dan juga bukan
karena takut masuk neraka!?” Memang benar bahwa aspek Mahabbah
adalah landasan berdirinya ibadah, akan tetapi ibadah itu tidak hanya terbatas
pada aspek Mahabbah saja –sebagaimana yang disangka oleh orang-orang ahli
tasawuf–, karena ibadah itu memiliki banyak jenis dan aspek yang melandasinya
selain aspek Mahabbah, seperti aspek khauf, raja’, dzull (penghinaan diri),
khudhu’ (ketundukkan), doa dan aspek-aspek lain.
Salah seorang ulama
Salaf berkata: “Barang
siapa yang beribadah kepada Allah ‘Azza wa Jalla dengan kecintaan semata
maka dia adalah seorang zindiq, dan barang siapa yang beribadah kepada Allah
dengan pengharapan semata maka dia adalah seorang Murji’ah, dan barang siapa
yang beribadah kepada Allah ‘Azza wa Jalla dengan ketakutan semata maka
dia adalah seorang Haruriyyah (Khawarij), dan barang siapa yang beribadah
kepada Allah ‘Azza wa Jalla dengan kecintaan, ketakutan dan pengharapan
maka dialah seorang mukmin sejati dan muwahhid (orang yang bertauhid dengan benar).”
Oleh karena itu Allah ‘Azza wa Jalla memuji sifat para Nabi dan
Rasul-Nya, yang mereka senantiasa berdoa kepada-Nya dengan perasaan takut dan
berharap, dan mereka adalah orang-orang yang selalu mengharapkan rahmat-Nya dan
takut akan siksaan-Nya.
Berkata
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah: “Kebanyakan orang-orang yang menyimpang (dari
jalan Allah), orang-orang yang mengikuti ajaran-ajaran bid’ah berupa sikap
zuhud dan ibadah-ibadah yang tidak dilandasi ilmu dan tidak sesuai dengan
petunjuk dari Al Quran dan As Sunnah, mereka terjerumus ke dalam kesesatan seperti yang
terjadi pada orang-orang Nasrani yang mengaku-ngaku mencintai Allah, yang
bersamaan dengan itu mereka menyimpang dari syariat-Nya dan enggan untuk
bermujahadah (bersungguh-sungguh) dalam menjalankan agama-Nya, dan
penyimpangan-penyimpangan lainnya.” (Kitab Al
‘Ubudiyyah, tulisan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah [hal. 90], cet.
Darul Ifta’, Riyadh).
Dari uraian di atas
jelaslah bahwa membatasi ibadah hanya pada aspek Mahabbah saja tidaklah disebut
ibadah, bahkan ajaran ini bisa menjerumuskan penganutnya ke jurang kesesatan
bahkan menyebabkan dia keluar dari agama islam.
Kedua, orang-orang ahli
tasawuf umumnya dalam menjalankan agama dan melaksanakan ibadah tidak
berpedoman kepada Al Quran dan As Sunnah, tapi yang mereka jadikan pedoman
adalah bisikan jiwa dan perasaan mereka dan ajaran yang digariskan oleh
pimpinan-pimpinan mereka, berupa thariqat-thariqat bid’ah, berbagai macam zikir
dan wirid yang mereka ciptakan sendiri, dan tidak jarang mereka mengambil
pedoman dari cerita-cerita (yang tidak jelas kebenarannya), mimpi-mimpi, bahkan
hadits-hadits yang palsu untuk membenarkan ajaran dan keyakinan mereka. Inilah
landasan ibadah dan keyakinan ajaran Tasawuf.
Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyyah berkata, “Orang-orang ahli Tasawuf dalam beragama dan mendekatkan
diri kepada Allah ‘Azza wa Jalla berpegang teguh pada suatu
pedoman seperti pedoman yang dipegang oleh orang-orang Nasrani, yaitu
ucapan-ucapan yang tidak jelas maknanya, dan cerita-cerita yang bersumber dari
orang yang tidak dikenal kejujurannya, kalaupun ternyata orang tersebut jujur,
tetap saja dia bukan seorang (Nabi/Rasul) yang terjaga dari kesalahan, maka
(demikian pula yang dilakukan orang-orang ahli Tasawuf) mereka menjadikan para
pemimpin dan guru mereka sebagai penentu/pembuat syariat agama bagi mereka,
sebagaimana orang-orang Nasrani menjadikan para pendeta dan rahib mereka
sebagai penentu/pembuat syariat agama bagi mereka.”
Ketiga, termasuk doktrin
ajaran Tasawuf adalah keharusan berpegang teguh dan menetapi zikir-zikir dan
wirid-wirid yang ditentukan dan diciptakan oleh guru-guru thariqat mereka, yang
kemudian mereka menetapi dan mencukupkan diri dengan zikir-zikir tersebut,
beribadah dan mendekatkan diri kepada Allah ‘Azza wa Jalla dengan
selalu membacanya, bahkan tidak jarang mereka mengklaim bahwa membaca
zikir-zikir tersebut lebih utama daripada membaca Al Quran, dan mereka
menamakannya dengan
“zikirnya orang-orang khusus.”
Adapun zikir-zikir
yang tercantum dalam Al Quran dan As Sunnah mereka namakan dengan “zikirnya orang-orang umum”,
maka kalimat (Laa
Ilaha Illallah) menurut mereka adalah “zikirnya orang-orang umum”, adapun “zikirnya orang-orang khusus”
adalah kata tunggal “Allah”
dan “zikirnya
orang-orang khusus yang lebih khusus” adalah kata (Huwa/Dia).
Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyyah berkata: “Barang siapa yang menyangka bahwa kalimat (Laa Ilaha Illallah)
adalah zikirnya orang-orang umum, dan zikirnya orang-orang khusus adalah kata
tunggal “Allah”,
serta zikirnya orang-orang khusus yang lebih khusus adalah kata ganti (Huwa/Dia), maka dia
adalah orang yang sesat dan menyesatkan. Di antara mereka ada yang
berdalil untuk membenarkan hal ini, dengan firman Allah ‘Azza wa Jalla :
$tBur (#râys% ©!$# ¨,ym ÿ¾ÍnÍôs% øÎ) (#qä9$s% !$tB tAtRr& ª!$# 4n?tã 9|³o0 `ÏiB &äóÓx« 3 ö@è% ô`tB tAtRr& |=»tGÅ3ø9$# Ï%©!$# uä!%y` ¾ÏmÎ/ 4ÓyqãB #YqçR Yèdur Ĩ$¨Y=Ïj9 ( ¼çmtRqè=yèøgrB }§ÏÛ#ts% $pktXrßö6è? tbqàÿøéBur #ZÏWx. ( OçFôJÏk=ãæur $¨B óOs9 (#þqçHs>÷ès? óOçFRr& Iwur öNä.ät!$t/#uä ( È@è% ª!$# ( ¢OèO öNèdös Îû öNÍkÅÎöqyz tbqç7yèù=t ÇÒÊÈ
“
Dan mereka tidak menghormati Allah dengan penghormatan yang semestinya, di kala
mereka berkata: "Allah tidak menurunkan sesuatupun kepada manusia."
Katakanlah: "Siapakah yang menurunkan kitab (Taurat) yang dibawa oleh Musa
sebagai cahaya dan petunjuk bagi manusia, kamu jadikan kitab itu
lembaran-lembaran kertas yang bercerai-berai, kamu perlihatkan (sebahagiannya)
dan kamu sembunyikan sebahagian besarnya, padahal telah diajarkan kepadamu apa
yang kamu dan bapak-bapak kamu tidak mengetahui(nya) ?" Katakan: Allah (yang
menurunkannya), kemudian (sesudah kamu menyampaikan Al Quran kepada mereka),
biarkanlah mereka bermain-main dalam kesesatannya.” (QS. Al An’aam: 91)
(Berdalil dengan
cara seperti ini) adalah kesalahan yang paling nyata yang dilakukan oleh
orang-orang ahli Tasawuf, bahkan ini termasuk menyelewengkan ayat Al Quran dari
maknanya yang sebenarnya, karena sesungguhnya kata “Allah” dalam ayat ini disebutkan
dalam kalimat perintah untuk menjawab pertanyaan sebelumnya, yaitu yang Allah ‘Azza
wa Jalla dalam firman-Nya:
$tBur (#râys% ©!$# ¨,ym ÿ¾ÍnÍôs% øÎ) (#qä9$s% !$tB tAtRr& ª!$# 4n?tã 9|³o0 `ÏiB &äóÓx« 3 ö@è% ô`tB tAtRr& |=»tGÅ3ø9$# Ï%©!$# uä!%y` ¾ÏmÎ/ 4ÓyqãB #YqçR Yèdur Ĩ$¨Y=Ïj9 ( ¼çmtRqè=yèøgrB }§ÏÛ#ts% $pktXrßö6è? tbqàÿøéBur #ZÏWx. ( OçFôJÏk=ãæur $¨B óOs9 (#þqçHs>÷ès? óOçFRr& Iwur öNä.ät!$t/#uä ( È@è% ª!$# ( ¢OèO öNèdös Îû öNÍkÅÎöqyz tbqç7yèù=t ÇÒÊÈ
“
Dan mereka tidak menghormati Allah dengan penghormatan yang semestinya, di kala
mereka berkata: "Allah tidak menurunkan sesuatupun kepada manusia." Katakanlah: Siapakah
yang menurunkan kitab (Taurat) yang dibawa oleh Musa sebagai cahaya dan
petunjuk bagi manusia, kamu jadikan kitab itu lembaran-lembaran kertas yang
terpisah-pisah, kamu perlihatkan (sebagiannya) dan kamu sembunyikan sebagian
besarnya, padahal telah diajarkan kepadamu apa yang kamu dan bapak-bapakmu
tidak mengetahuinya? Katakanlah: Allah (yang menurunkannya), kemudian
(sesudah kamu menyampaikan Al Quran kepada mereka), biarkanlah mereka
bermain-main dalam kesesatannya.” (QS. Al An’aam: 91)
Jadi maknanya yang
benar adalah: “Katakanlah:
Allah, Dialah yang menurunkan kitab (Taurat) yang dibawa oleh Nabi Musa
shallallahu ‘alaihi wa sallam.” (Kitab Al ‘Ubudiyyah hal.
117).
Keempat, sikap Ghuluw
(berlebih-lebihan/ekstrem) orang-orang ahli Tasawuf terhadap orang-orang yang
mereka anggap wali dan guru-guru thariqat mereka, yang bertentangan dengan
aqidah Ahlusunnah wal Jamaah, karena di antara prinsip aqidah Ahlusunnah wal
Jamaah adalah berwala (mencintai/berloyalitas) kepada orang-orang yang dicintai
Allah ‘Azza wa Jalla dan membenci musuh-musuh Allah ‘Azza wa
Jalla . Allah ‘Azza wa Jalla berfirman:
$uK¯RÎ) ãNä3Ï9ur ª!$# ¼ã&è!qßuur tûïÏ%©!$#ur (#qãZtB#uä tûïÏ%©!$# tbqßJÉ)ã no4qn=¢Á9$# tbqè?÷sãur no4qx.¨9$# öNèdur tbqãèÏ.ºu ÇÎÎÈ
“Sesungguhnya wali
(kekasih/penolongmu) hanyalah Allah, Rasul-Nya dan orang-orang yang beriman,
yang mendirikan shalat dan menunaikan zakat, seraya mereka tunduk (kepada
Allah).”
(QS. Al Maaidah: 55)
Dan
Allah ‘Azza wa Jalla berfirman:
$pkr'¯»t tûïÏ%©!$# (#qãZtB#uä w (#räÏGs? Íirßtã öNä.¨rßtãur uä!$uÏ9÷rr& cqà)ù=è? NÍkös9Î) Ío¨uqyJø9$$Î/ ôs%ur (#rãxÿx. $yJÎ/ Nä.uä!%y` z`ÏiB Èd,ysø9$# tbqã_Ìøä tAqß§9$# öNä.$Î)ur br& (#qãZÏB÷sè? «!$$Î/ öNä3În/u bÎ) ÷LäêYä. óOçFô_tyz #Y»ygÅ_ Îû Í?Î6y uä!$tóÏGö/$#ur ÎA$|ÊósD 4 tbrÅ¡è@ NÍkös9Î) Ío¨uqyJø9$$Î/ O$tRr&ur ÞOn=÷ær& !$yJÎ/ ÷Läêøxÿ÷zr& !$tBur ÷LäêYn=÷ær& 4 `tBur ã&ù#yèøÿt öNä3ZÏB ôs)sù ¨@|Ê uä!#uqy È@Î6¡¡9$# ÇÊÈ
“Hai orang-orang
yang beriman, janganlah kamu mengambil musuh-Ku dan musuhmu menjadi teman-teman
setia yang
kamu sampaikan kepada mereka (berita-berita Muhammad), karena rasa kasih
sayang; padahal sesungguhnya mereka telah ingkar kepada kebenaran yang datang
kepadamu, mereka mengusir Rasul dan (mengusir) kamu karena kamu beriman kepada
Allah, Tuhanmu. Jika kamu benar-benar keluar untuk berjihad di jalan-Ku dan
mencari keridhaan-Ku (janganlah kamu berbuat demikian). Kamu memberitahukan
secara rahasia (berita-berita Muhammad) kepada mereka, karena rasa kasih
sayang. Aku lebih mengetahui apa yang kamu sembunyikan dan apa yang kamu
nyatakan. Dan barangsiapa di antara kamu yang melakukannya, maka sesungguhnya
dia telah tersesat dari jalan yang lurus. ” (QS. Al
Mumtahanah: 1)
Wali (kekasih) Allah
‘Azza wa Jalla adalah orang-orang yang beriman dan bertakwa, yang
mendirikan shalat dan menunaikan zakat, seraya mereka tunduk (kepada Allah ‘Azza
wa Jalla ). Dan merupakan kewajiban kita untuk mencintai, menghormati
dan meneladani mereka. Dan perlu ditegaskan di sini bahwa derajat kewalian itu
tidak hanya dikhususkan pada orang-orang tertentu, bahkan setiap orang yang
beriman dan bertakwa dia adalah wali (kekasih) Allah ‘Azza wa Jalla ,
akan tetapi kedudukan sebagai wali Allah ‘Azza wa Jalla tidaklah
menjadikan seseorang terjaga dari kesalahan dan kekhilafan. Inilah makna wali
dan kewalian, dan kewajiban kita terhadap mereka, menurut pemahaman Ahlusunnah
wal Jamaah.
Adapun
makna wali menurut orang-orang ahli Tasawuf sangat berbeda dengan pemahaman
Ahlusunnah wal Jama’ah, karena orang-orang ahli Tasawuf memiliki beberapa
kriteria dan pertimbangan tertentu (yang bertentangan dengan petunjuk Al Quran
dan As Sunnah) dalam masalah ini, sehingga mereka menobatkan derajat kewalian
hanya kepada orang-orang tertentu tanpa dilandasi dalil dari syariat yang
menunjukkan kewalian orang-orang tersebut. Bahkan tidak jarang mereka
menobatkan derajat kewalian kepada orang yang tidak dikenal keimanan dan
ketakwaannya, bahkan kepada orang yang dikenal punya penyimpangan dalam
keimanannya, seperti orang yang melakukan praktek perdukunan, sihir dan
menghalalkan apa yang diharamkan oleh Allah ‘Azza wa Jalla . Dan
terkadang mereka menganggap bahwa kedudukan orang-orang yang mereka anggap sebagai
“wali” melebihi kedudukan para Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam, sebagaimana ucapan salah seorang dari mereka:
Kedudukan para Nabi di alam Barzakh
Sedikit di atas kedudukan Rasul, dan di bawah kedudukan wali
Sedikit di atas kedudukan Rasul, dan di bawah kedudukan wali
Orang-orang
ahli Tasawuf juga berkata, “Sesungguhnya
para wali mengambil (agama mereka langsung) dari sumber tempat Malaikat Jibril
shallallahu ‘alaihi wa sallam mengambil wahyu yang disampaikan kepada
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ?!” Dan mereka juga
menganggap bahwa wali-wali mereka itu terjaga dari kesalahan?!
Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyyah berkata, “…Kamu akan dapati mayoritas orang-orang ahli
Tasawuf menobatkan seseorang sebagai “wali” hanya dikarenakan orang tersebut
mampu menyingkap tabir dalam suatu masalah, atau orang tersebut melakukan
sesuatu yang di luar kemampuan manusia, seperti menunjuk kepada seseorang
kemudian orang itu mati, terbang di udara menuju ke Mekkah atau tempat-tempat
lainnya, terkadang berjalan di atas air, mengisi teko dari udara dengan air
sampai penuh, ketika ada orang yang meminta pertolongan kepadanya dari tempat
yang jauh atau setelah dia mati, maka orang itu melihatnya datang dan
menunaikan kebutuhannya, memberitahu tempat barang-barang yang dicuri,
memberitakan hal-hal yang gaib (tidak nampak), atau orang yang sakit dan yang
semisalnya.
Padahal
kemampuan melakukan hal-hal ini sama sekali tidaklah menunjukkan bahwa
pelakunya adalah wali Allah ‘Azza wa Jalla . Bahkan orang-orang yang
beriman dan bertakwa sepakat dan sependapat mengatakan bahwa jika ada orang
yang mampu terbang di udara atau berjalan di atas air, maka kita tidak boleh
terperdaya dengan penampilan tersebut sampai kita melihat apakah perbuatannya
sesuai dengan Sunnah Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam? apakah orang tersebut selalu menaati perintah
beliau shallallahu
‘alaihi wa sallam dan menjauhi larangannya? (Oleh karena itulah
kita tidak pernah mendengar ada seorang muslim pun yang menganggap bahwa
Superman dan Gatotkaca adalah wali-wali Allah, padahal mereka ini (katanya)
bisa terbang di udara?! –pen) …karena hal-hal yang di luar kemampuan manusia
ini bisa dilakukan oleh banyak orang kafir, musyrik, ahli kitab dan orang
munafik, dan bisa dilakukan oleh para pelaku bid’ah dengan bantuan setan/jin,
maka sama sekali tidak boleh dianggap bahwa setiap orang yang mampu melakukan
hal-hal di atas adalah wali Allah.” (Majmu’
Al Fatawa 11/215).
Kemudian
ternyata kesesatan orang-orang ahli tasawuf tidak sampai di sini saja, karena
sikap mereka yang berlebih-lebihan dan melampaui batas dalam mengagungkan
orang-orang yang mereka anggap sebagai “wali”, sampai-sampai mereka menganggap
“para wali” tersebut memiliki sifat-sifat ketuhanan, seperti menentukan
kejadian-kejadian di alam semesta ini, mengetahui hal-hal yang gaib, memenuhi
kebutuhan orang-orang yang meminta pertolongan kepada mereka dalam
perkara-perkara yang tidak mampu dilakukan kecuali oleh Allah ‘Azza wa Jalla
dan sifat-sifat ketuhanan lainnya. Kemudian sikap berlebih-lebihan
ini menjerumuskan mereka ke dalam perbuatan syirik dengan menjadikan “para
wali” tersebut sebagai sesembahan selain Allah ‘Azza wa Jalla , dengan
membangun kuburan “para wali” tersebut, meyakini adanya keberkahan pada tanah
kuburan tersebut, melakukan berbagai macam kegiatan ibadah padanya, seperti
thawaf dengan mengelilingi kuburan tersebut, bernazar dengan maksud mendekatkan
diri kepada penghuni kubur dan perbuatan-perbuatan syirik lainnya.
Kelima,
termasuk doktrin ajaran Tasawuf yang sesat adalah mendekatkan diri (?) kepada
Allah ‘Azza wa Jalla dengan nyanyian, tarian, tabuhan rebana dan
bertepuk tangan, yang semua ini mereka anggap sebagai amalan ibadah kepada Allah
‘Azza wa Jalla . DR. Shabir Tha’imah berkata dalam kitabnya Ash
Shufiyyah, Mu’taqadan wa Masakan, “Saat ini tarian sufi modern telah
dipraktekkan pada mayoritas thariqat-thariqat sufiyyah dalam pesta-pesta
perayaan ulang tahun beberapa tokoh mereka, dimana para pengikut thariqat
berkumpul untuk mendengarkan nada-nada musik yang terkadang didendangkan oleh
lebih dari dua ratus pemain musik pria dan wanita, sedangkan para murid senior
dalam pesta ini duduk sambil mengisap berbagai jenis rokok, dan para tokoh
senior beserta para pengikutnya membacakan beberapa kisah khurafat (bohong)
yang terjadi pada sang tokoh yang telah meninggal dunia…”
Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyyah berkata, “…Ketahuilah bahwa perbuatan orang-orang ahli
tasawuf ini sama sekali tidak pernah dilakukan di awal tiga generasi yang utama
di semua negeri islam: Hijaz, Syam, Yaman, Mesir, Magrib, Irak, dan Khurasan.
Orang-orang yang shalih, taat beragama dan rajin beribadah pada masa itu tidak
pernah berkumpul untuk mendengarkan siulan (yang berisi lantunan musik),
tepukan tangan, tabuhan rebana dan ketukan tongkat (seperti yang dilakukan oleh
orang-orang ahli tasawuf), perbuatan ini adalah perkara yang diada-adakan
(bid’ah) yang muncul di penghujung abad kedua, dan ketika para Imam Ahlusunnah
melihat perbuatan ini mereka langsung mengingkarinya, (sampai-sampai) Imam Asy
Syafi’i rahimahullah
berkata: “Aku
tinggalkan Baghdad, dan di sana ada suatu perbuatan yang diada-adakan oleh
orang-orang zindiq (munafik tulen) yang mereka namakan At Taghbir[2], yang mereka jadikan senjata untuk menjauhkan kaum
muslimin dari Al Quran.” Dan Imam Yazid bin Harun berkata: “Orang yang mendendangkan At
Taghbir tidak lain adalah orang fasik, kapan munculnya perbuatan ini?”
Imam
Ahmad ketika ditanya (tentang perbuatan ini), beliau menjawab, “Aku tidak menyukainya (karena)
perbuatan ini adalah bid’ah”, maka beliau ditanya lagi: “Apakah anda mau duduk bersama
orang-orang yang melakukan perbuatan ini?” Beliau menjawab, “Tidak.” Demikian
pula Imam-Imam besar lainnya mereka semua tidak menyukai perbuatan ini. Dan
para Syaikh (ulama) yang Shalih tidak ada yang mau menghadiri (menyaksikan)
perbuatan ini, seperti: Ibrahim bin Adham, Fudhail bin ‘Iyadh, Ma’ruf Al
Karkhi, Abu Sulaiman Ad Darani, Ahmad bin Abil Hawari, As Sariy As Saqti dan
syaikh-syaikh lainnya.” (Majmu’
Al Fatawa 11/569).
Maka
orang-orang ahli Tasawuf yang mendekatkan diri (?) kepada Allah ‘Azza wa
Jalla dengan cara-cara seperti ini, adalah tepat jika dikatakan bahwa
mereka itu seperti orang-orang (penghuni Neraka) yang dicela oleh Allah ‘Azza
wa Jalla dalam firman-Nya:
úïÏ%©!$# (#räsªB$# öNßguZÏ #Yqôgs9 $Y7Ïès9ur ãNßgø?§xîur äo4quysø9$# $u÷R9$# 4 tPöquø9$$sù óOßg8|¡^tR $yJ2 (#qÝ¡nS uä!$s)Ï9 óOÎgÏBöqt #x»yd $tBur (#qçR$2 $uZÏG»t$t«Î/ crßysøgs ÇÎÊÈ
“(yaitu) orang-orang
yang menjadikan agama mereka sebagai main-main dan senda gurau, dan kehidupan
dunia telah menipu mereka. Maka pada hari (kiamat) ini, Kami melupakan mereka
sebagaimana mereka melupakan pertemuan mereka dengan hari ini, dan
(sebagaimana) mereka selalu mengingkari ayat-ayat Kami.” (QS. Al A’raaf: 51)
Keenam, juga termasuk
doktrin ajaran tasawuf yang sesat adalah apa yang mereka namakan sebagai suatu
keadaan/tingkatan yang jika seseorang telah mencapainya maka dia akan terlepas
dari kewajiban melaksanakan syariat Islam. Keyakinan ini muncul sebagai hasil
dari perkembangan ajaran tasawuf, karena asal mula ajaran tasawuf –sebagaimana
yang diterangkan oleh Ibnul Jauzi- adalah melatih jiwa dan menundukkan watak
dengan berupaya memalingankannya dari akhlak-akhlak yang jelek dan membawanya
pada akhlak-akhlak yang baik, seperti sifat zuhud, tenang, sabar, ikhlas dan
jujur.
Kemudian Ibnul Jauzi
mengatakan: “Inilah asal mula ajaran tasawuf yang dipraktekkan oleh
pendahulu-pendahulu mereka, kemudian Iblis mulai memalingkan dan menyesatkan
mereka dari generasi ke generasi berikutnya dengan berbagai macam syubhat
(kerancuan) dan talbis (pencampuradukan), kemudian penyimpangan ini terus
bertambah sehingga Iblis berhasil dengan baik menguasai generasi belakangan
dari orang-orang ahli tasawuf. Pada mulanya, dasar upaya penyesatan yang
diterapkan oleh Iblis kepada mereka adalah memalingkan mereka dari
(mempelajari) ilmu agama dan mengesankan kepada mereka bahwa tujuan utama
adalah (semata-semata) beramal (tanpa perlu ilmu), dan ketika Iblis telah
berhasil memadamkan cahaya ilmu dalam diri mereka, mulailah mereka berjalan
tanpa petunjuk dalam kegelapan/kesesatan, maka di antara mereka ada yang
dikesankan padanya bahwa tujuan utama (ibadah) adalah meninggalkan urusan dunia
secara keseluruhan, sampai-sampai mereka meninggalkan apa-apa yang dibutuhkan
oleh tubuh mereka, bahkan mereka menyerupakan harta dengan kalajengking, dan
mereka lupa bahwa Allah ‘Azza wa Jalla menjadikan harta bagi manusia
untuk kemaslahatan mereka, kemudian mereka bersikap berlebih-lebihan dalam
menyiksa diri-diri mereka, sampai-sampai ada di antara mereka yang tidak pernah
tidur (sama sekali).
Meskipun niat mereka
baik (sewaktu melakukan perbuatan ini), akan tetapi (perbuatan yang mereka
lakukan) menyimpang dari jalan yang benar. Di antara mereka juga ada yang
beramal berdasarkan hadits-hadits yang palsu tanpa disadarinya karena
dangkalnya ilmu agama. Kemudian datanglah generasi-generasi setelah mereka yang
mulai membicarakan (keutamaan) lapar, miskin dan bisikan-bisikan jiwa, bahkan
mereka menulis kitab-kitab (khusus) tentang masalah ini, seperti (tokoh sufi
yang bernama) Al Harits Al Muhasibi.
Lalu datang generasi
selanjutnya yang mulai merangkum dan menghimpun mazhab/ajaran tasawuf dan
mengkhususkannya dengan sifat-sifat khusus, seperti Ma’rifah (mengenal Allah
dengan sebenarnya)(??!), Sama’ (mendengarkan nyanyian dan lantunan musik), Wajd
(bisikan jiwa), Raqsh (tari-tarian) dan Tashfiq (tepukan tangan), kemudian ajaran
tasawuf terus berkembang dan para guru thariqat mulai membuat aturan-aturan
khusus bagi mereka dan membicarakan (membangga-banggakan) kedudukan mereka
(orang-orang ahli tasawuf), sehingga (semakin lama mereka semakin jauh dari
petunjuk) para ulama Ahlusunnah, dan mereka mulai memandang tinggi ajaran dan
ilmu mereka (ilmu tasawuf), sampai-sampai mereka namakan ilmu tersebut dengan
ilmu batin dan mereka menganggap ilmu syari’at sebagai ilmu lahir??!
Dan di antara mereka
karena rasa lapar yang sangat hingga membawa mereka kepada khayalan-khayalan
yang rusak dan mengaku-ngaku jatuh cinta dan kasmaran kepada Al Haq (Allah ‘Azza
wa Jalla ), (padahal yang) mereka lihat dalam khayalan mereka adalah
seseorang yang rupanya menawan yang kemudian membuat mereka jatuh cinta berat
(lalu mereka mengaku-ngaku bahwa yang mereka cintai itu adalah Allah ‘Azza
wa Jalla ). Maka mereka ini (terombang-ambing) di antara kekufuran dan
bid’ah, kemudian semakin banyak jalan-jalan sesat yang mereka ikuti sehingga
menyebabkan rusaknya akidah mereka, maka di antara mereka ada yang menganut
keyakinan Al Hulul, juga ada yang menganut keyakinan Wihdatul Wujud, dan
terus-menerus Iblis menyesatkan mereka dengan berbagai bentuk bid’ah
(penyimpangan) sehingga mereka menjadikan untuk diri-diri mereka sendiri tata
cara beribadah yang khusus (yang berbeda dengan tata cara beribadah yang Allah ‘Azza
wa Jalla syari’atkan dalam agama islam).” (Kitab Talbis Iblis,
tulisan Ibnul Jauzi hal. 157-158).
Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyyah ketika beliau ditanya tentang sekelompok orang yang
mengatakan bahwa diri mereka telah mencapai tingkatan bebas dari kewajiban
melaksanakan syariat, maka beliau menjawab: “Tidak diragukan lagi –menurut
pandangan orang-orang yang berilmu dan orang-orang yang beriman– bahwa ucapan
ini adalah termasuk kekufuran yang paling besar, bahkan ucapan ini lebih buruk
daripada ucapan orang-orang Yahudi dan Nasrani, karena orang-orang Yahudi dan
Nasrani mereka mengimani sebagian (isi) kitab suci mereka dan mengingkari sebagian
lainnya, dan mereka itulah orang-orang kafir yang sebenarnya, dan mereka juga
membenarkan perintah dan larangan Allah ‘Azza wa Jalla , meyakini janji
dan ancaman-Nya…
Kesimpulannya: Bahwa Orang-orang
Yahudi dan Nasrani yang berpegang pada ajaran agama mereka yang telah dihapus
(dengan datangnya agama islam) dan telah mengalami perubahan dan rekayasa,
mereka ini lebih baik (keadaannya) dibandingkan orang-orang yang menyangka
bahwa mereka telah bebas dari kewajiban melaksanakan perintah Allah ‘Azza wa
Jalla secara keseluruhan, karena dengan keyakinan tersebut berarti
mereka telah keluar dari ajaran semua kitab suci, semua syariat dan semua
agama, mereka sama sekali tidak berpegang kepada perintah dan larangan Allah ‘Azza
wa Jalla , bahkan mereka lebih buruk dari orang-orang musyrik yang masih
berpegang kepada sebagian dari ajaran agama yang terdahulu, seperti orang-orang
musyrik bangsa Arab yang masih berpegang pada sebagian dari ajaran agama nabi
Ibrahim ‘alaihi salam…
Dan di antara mereka ada yang berargumentasi (untuk membenarkan keyakinan
tersebut) dengan firman Allah ‘Azza wa Jalla :
ôç6ôã$#ur y7/u 4Ó®Lym y7uÏ?ù't ÚúüÉ)uø9$# ÇÒÒÈ
“Sembahlah Rabbmu
sampai datang kepadamu sesuatu yang diyakini (kematian)” (QS. Al Hijr: 99)
Mereka berkata makna
ayat di atas adalah, “Sembahlah
Rabbmu sampai kamu (mencapai tingkatan) ilmu dan ma’rifat, dan jika kamu telah
mencapainya maka gugurlah (kewajiban melaksanakan) ibadah atas dirimu…”
(pada hakikatnya) ayat ini justru menyanggah (keyakinan) mereka dan tidak
membenarkannya. Hasan Al Bashri berkata: “Sesungguhnya Allah tidak menjadikan
bagi amalan orang-orang yang beriman batas akhir kecuali kematian, kemudian
Hasan Al Bashri membaca ayat tersebut di atas. Dan makna “Al Yaqin” dalam ayat
tersebut adalah “Al Maut” (kematian) dan peristwa-peristiwa sesudahnya, (dan
makna ini) berdasarkan kesepakatan semua ulama Islam, seperti yang juga Allah ‘Azza
wa Jalla sebutkan dalam Firman-Nya:
$tB óOä3x6n=y Îû ts)y ÇÍËÈ (#qä9$s% óOs9 à7tR ÆÏB tû,Íj#|ÁßJø9$# ÇÍÌÈ óOs9ur à7tR ãNÏèôÜçR tûüÅ3ó¡ÏJø9$# ÇÍÍÈ $¨Zà2ur ÞÚqèwU yìtB tûüÅÒͬ!$sø:$# ÇÍÎÈ $¨Zä.ur Ü>Éjs3çR ÏQöquÎ/ ÈûïÏd9$# ÇÍÏÈ #Ó¨Lym $oY9s?r& ßûüÉ)uø9$# ÇÍÐÈ
“Apa yang
menyebabkan kamu (wahai orang-orang kafir) masuk ke dalam Saqar (neraka)?,
mereka menjawab: Kami dahulu (di dunia) tidak termasuk orang-orang yang
mengerjakan shalat, dan kami tidak (pula) memberi makan orang miskin, dan kami
ikut membicarakan yang bathil bersama orang-orang yang membicarakannya, dan
kami mendustakan hari pembalasan, hingga datanglah pada kami sesuatu yang
diyakini (kematian).”
(QS. Al Muddatstsir: 42-47)
Maka (dalam ayat
ini) mereka (orang-orang kafir) menyebutkan (bahwa telah sampai kepada mereka
Al Yaqin/kematian) padahal mereka termasuk penghuni neraka, dan mereka
ceritakan perbuatan-perbuatan mereka (yang menyebabkan mereka masuk ke dalam
neraka): meninggalkan shalat dan zakat, mendustakan hari kemudian, membicarakan
yang batil bersama orang-orang yang membicarakannya, sampai datang pada mereka
Al Yaqin (kematian)…yang maksudnya adalah: datang kepada mereka sesuatu yang
telah dijanjikan, yaitu Al Yaqin (kematian).” (Majmu’ Al Fatawa 401-402 dan 417-418).
Maka ayat tersebut
di atas jelas sekali menunjukkan kewajiban setiap orang untuk selalu beribadah
sejak dia mencapai usia dewasa dan berakal sampai ketika kematian datang
menjemputnya, dan tidak ada sama sekali dalam ajaran islam apa yang dinamakan
tingkatan/keadaan yang jika seseorang telah mencapainya maka gugurlah kewajiban
beribadah atasnya, sebagaimana yang disangka oleh orang-orang ahli tasawuf.
Kita dapat membagi ajaran tasawuf yang ekstrem ke dalam tiga sekte:
Pertama, sekte Al Isyraqi, sekte ini didominasi oleh ajaran
filsafat bersama sifat zuhud. Yang dimaksud dengan Al Isyraqi (penyinaran)
adalah penyinaran jiwa yang memancarkan cahaya dalam hati, sebagai hasil dari
pembinaan jiwa dan penggemblengan ruh disertai dengan penyiksaan badan untuk
membersihkan dan menyucikan ruh, yang ajaran ini sebenarnya ada pada semua
sekte-sekte tasawuf, akan tetapi ajaran sekte ini cuma sebatas pada
penyimpangan ini dan tidak sampai membawa mereka kepada ajaran Al Hulul
(menitisnya Allah ‘Azza wa Jalla ke dalam diri makhluk-Nya) dan Wihdatul
Wujud (bersatunya wujud Allah ‘Azza wa Jalla dengan wujud makhluk
/Manunggaling Gusti ing Kawulo – Maha Suci Allah dari apa yang mereka
sifatkan), meskipun demikian ajaran sekte ini bertentangan dengan ajaran islam,
karena ajaran ini diambil dari ajaran agama-agama lain yang menyimpang, seperti
agama Budha dan Hindu.
Kedua, sekte Al Hulul, yang berkeyakinan bahwa Allah ‘Azza
wa Jalla bisa bertempat/menitis dalam diri manusia –Maha Suci Allah ‘Azza
wa Jalla dari sifat ini-. Keyakinan ini diserukan oleh beberapa
tokoh-tokoh ekstrem ahli Tasawuf, seperti Hasan bin Manshur Al Hallaj, yang
karenanya para Ulama memfatwakan kafirnya orang ini dan dia harus dihukum mati,
yang kemudian dia dibunuh dan disalib –Alhamdulillah ‘Azza wa Jalla -
pada tahun 309 H. Dan di dalam Sya’ir yang dinisbatkan kepadanya dia berkata (kitab
At Thawasiin, tulisan Al Hallaj hal.130):
Maha suci (Allah ‘Azza wa Jalla ) yang Nasut (unsur/sifat
kemanusiaan)-Nya telah menampakkan rahasia cahaya Lahut (unsur/sifat
ketuhanan)-Nya yang menembus
Lalu Tampaklah Dia dengan jelas pada (diri) makhluk-Nya
dalam bentuk seorang yang sedang makan dan sedang minum
Hingga (sangat jelas) Dia terlihat oleh makhluk-Nya
seperti (jelasnya) pandangan alis mata dengan alis mata
dalam bentuk seorang yang sedang makan dan sedang minum
Hingga (sangat jelas) Dia terlihat oleh makhluk-Nya
seperti (jelasnya) pandangan alis mata dengan alis mata
Dalam sya’ir lain
(kitab Al Washaaya, tulisan Ibnu ‘Arabi (hal.27), -Maha Suci Allah ‘Azza
wa Jalla dari sifat-sifat kotor yang mereka sebutkan-) dia berkata:
Aku adalah yang mencintai dan yang mencintai adalah aku
kami adalah dua ruh yang bertempat di dalam satu jasad
Maka jika kamu melihatku (berarti) kamu melihat Dia
Dan jika kamu melihat Dia (berarti) kamu melihat kami
kami adalah dua ruh yang bertempat di dalam satu jasad
Maka jika kamu melihatku (berarti) kamu melihat Dia
Dan jika kamu melihat Dia (berarti) kamu melihat kami
Memang Al Hallaj
-seorang tokoh besar dan populer di kalangan orang-orang ahli tasawuf ini-
adalah penganut sekte Al Hulul, dia meyakini dualisme hakikat ketuhanan dan
beranggapan bahwa Al Ilah (Allah ‘Azza wa Jalla ) memiliki dua
tabiat yaitu: Al Lahut (unsur/sifat ketuhanan) dan An Nasut
(unsur/sifat kemanusiaan/kemakhlukan), yang kemudian Al Lahut menitis ke
dalam An Nasut, maka ruh manusia –menurut Al Hallaj- adalah Al Lahut
ketuhanan yang sebenarnya dan badan manusia itu adalah An Nasut.
Kemudian meskipun
bandit besar ini telah dihukum mati karena kezindiqannya –sehingga sebagian
orang-orang ahli tasawuf menyatakan berlepas diri darinya -, tetap saja ada
orang-orang ahli tasawuf yang menganggapnya sebagai tokoh besar ahli tasawuf,
bahkan mereka membenarkan keyakinan sesat dan perbuatannya, dan mengumpulkan
serta membukukan ucapan-ucapan kotornya, mereka itu di antaranya adalah Abul
‘Abbas bin ‘Atha’ Al Baghdadi, Muhammad bin Khafif Asy Syirazi dan Ibrahim An
Nashrabadzi, sebagaimana hal tersebut dinukil oleh Al Khathib Al Baghdadi dalam
kitab beliau Tarikh Al Baghdad (8/112).
Ketiga, sekte Wihdatul Wujud, yaitu keyakinan bahwa semua yang
ada pada hakikatnya adalah satu dan segala sesuatu yang kita lihat di alam
semesta ini tidak lain merupakan perwujudan/penampakan Zat Ilahi (Allah ‘Azza
wa Jalla ) – maha suci Allah ‘Azza wa Jalla dari segala
keyakinan kotor mereka-. Dedengkot sekte ini adalah Ibnu ‘Arabi Al Hatimi Ath
Thai (Nama lengkapnya adalah Abu Bakr Muhammad bin ‘Ali bin Muhammad bin Ahmad
Ath Thai Al Hatimi Al Mursi Ibnu ‘Arabi, yang binasa pada tahun 638 H dan
dikuburkan di Damaskus. (Lihat Siar Al A’lam An Nubala’ tulisan Imam Adz Dzahabi 16/354)
Dalam kitabnya
Al Futuhat Al Makkiyah (seperti yang dinukilkan oleh DR. Taqiyuddin Al Hilali
dalam kitabnya Al Hadiyyatul Haadiyah hal. 43) dia menyatakan keyakinan
kufur ini dengan ucapannya:
Hamba adalah
tuhan dan tuhan adalah hamba
duhai gerangan, siapakah yang diberi tugas (melaksanakan syariat)? Jika kau katakan: hamba, maka dia adalah tuhan
Atau kau katakan: tuhan, maka mana mungkin tuhan diberi tugas?!
duhai gerangan, siapakah yang diberi tugas (melaksanakan syariat)? Jika kau katakan: hamba, maka dia adalah tuhan
Atau kau katakan: tuhan, maka mana mungkin tuhan diberi tugas?!
Dan dalam kitabnya yang lain Fushushul Hikam
(hal.192) dia ngelindur: “Sesungguhnya orang-orang yang menyembah anak sapi,
tidak lain yang mereka sembah kecuali Allah.”
Meskipun demikian,
orang-orang ahli Tasawuf malah memberikan gelar-gelar kehormatan yang tinggi
kepada Ibnu ‘Arabi, seperti gelar Al ‘Arif Billah (orang yang mengenal
Allah ‘Azza wa Jalla dengan sebenarnya), Al Quthb Al Akbar
(pemimpin para wali yang paling agung), Al Misk Al Adzfar (minyak
kesturi yang paling harum), dan Al Kibrit Al Ahmar (Permata yang merah
berkilau), padahal orang ini terang-terangan memproklamirkan keyakinan Wihdatul
Wujud dan keyakinan-keyakinan kufur dan rusak lainnya, seperti pujian dia
terhadap Firaun dan keyakinannya bahwa Firaun mati di atas keimanan, celaan dia
terhadap Nabi Harun ‘alaihi salam yang mengingkari kaumnya yang
menyembah anak sapi - yang semua ini jelas-jelas bertentangan dengan nash Al
Quran-, dan keyakinan dia bahwa kafirnya orang-orang Nasrani adalah karena
mereka hanya mengkhususkan Nabi ‘Isa ‘alaihi salam sebagai Tuhan, yang
kalau seandainya mereka tidak mengkhususkannya maka mereka tidak dikafirkan.
BEBERAPA CONTOH PENYIMPANGAN DAN
KESESATAN AJARAN TASAWUF
Berikut kami akan
nukilkan beberapa ucapan dan keyakinan sesat dan kufur dari tokoh-tokoh yang
sangat diagungkan oleh orang-orang ahli tasawuf, yang menunjukkan besarnya
penyimpangan ajaran ini dan sangat jauhnya ajaran ini dari petunjuk Al Quran
dan As Sunnah.
Pertama, Ibnu Al Faridh yang binasa pada tahun 632 H, tokoh besar
sufi yang menganut paham Wihdatul Wujud dan meyakini bahwa seorang hamba
bisa menjadi Tuhan, bahkan -yang lebih kotor lagi- dia menggambarkan
sifat-sifat Tuhannya seperti sifat-sifat wanita, sampai-sampai dia menganggap
bahwa Tuhannya telah menampakkan diri di hadapan Nabi Adam ‘alaihi salam
dalam bentuk Hawwa (istri Nabi Adam ‘alaihi salam)?! Untuk lebih jelas
silakan merujuk pada kitab Hadzihi Hiya Ash Shufiyyah (hal. 24-33),
tulisan Syaikh Abdurrahman al Wakil yang menukil ucapan-ucapan kufur Ibnu Al
Faridh ini.
Kedua, Ibnu ‘Arabi dalam kitabnya Fushushul Hikam yang
berisi segudang kesesatan dan kekufuran. Dalam kitabnya ini dia mengatakan
bahwa Rasullah shallallahu ‘alaihi wa sallam lah yang memberikan padanya
kitab ini, dan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepadanya: “Bawalah
dan sebarkanlah kitab ini pada manusia agar mereka mengambil manfaat darinya”,
kemudian Ibnu ‘Arabi berkata: “Maka aku pun (segera) mewujudkan keinginan
(Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam) itu seperti yang beliau shallallahu
‘alaihi wa sallam tentukan padaku tidak lebih dan tidak kurang.” Kemudian
Ibnu ‘Arabi berkata:
(Kitab ini) dari Allah, maka dengarkanlah! dan kepada
Allah kembalilah!
(Fushushul Hikam, dengan perantaraan kitab Hadzihi
Hiya Ash Shufiyyah hal. 19).
Ketiga, At Tilmisani, seorang tokoh besar tasawuf, ketika
dikatakan padanya bahwa kitab rujukan mereka Fushushul Hikam
bertentangan dengan Al Quran, dia malah menjawab, “Seluruh isi Al Quran
adalah kesyirikan, dan sesungguhnya Tauhid hanya ada pada ucapan kami.” Maka
dikatakan lagi kepadanya, “Kalau kalian mengatakan bahwa seluruh yang ada
(di alam semesta) adalah satu (esa), mengapa seorang istri halal untuk
disetubuhi, sedangkan saudara wanita haram (disetubuhi)?” Maka dia
menjawab, “Menurut kami semuanya (istri dan saudara wanita) halal (untuk
disetubuhi), akan tetapi orang-orang yang terhalang dari penyaksian keesaan
seluruh alam mengatakan bahwa saudara wanita haram (disetubuhi), maka kami pun
ikut-ikut mengatakan haram.” (Dinukil oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah,
lihat Majmu’ul Fatawa 13/186).
Keempat, Abu Yazid Al Busthami, yang pernah berkata: “Aku
heran terhadap orang yang telah mengenal Allah, mengapa dia tetap beribadah
kepada-Nya?!” (Dinukil oleh Abu Nu’aim Al Ashbahani dalam kitabnya Hilyatul
Auliya’ 10/37). Dia juga berkata, “Sungguh aku telah menghimpun amalan
ibadah seluruh penghuni tujuh langit dan tujuh bumi, kemudian aku masukkan ke
dalam bantal dan aku letakkan di bawah pipiku.” (Hilyatul Auliya’
10/35-36).
Kelima, Abu Hamid Al Ghazali, seorang yang termasuk tokoh-tokoh
ahli tasawuf yang paling besar dan tenar, di dalam kitabnya Ihya ‘Ulumud Din
ketika dia membicarakan tingkatan-tingkatan dalam tauhid, dia mengatakan, “Dalam
Tauhid ada empat tingkatan: …Tingkatan yang kedua: Dengan membenarkan makna
lafadz di dalam hati sebagaimana yang dilakukan oleh umumnya kaum muslimin, dan
ini adalah keyakinannya orang-orang awam?! Tingkatan yang ketiga:
Mempersaksikan makna tersebut dengan jalan Al Kasyf (penyingkapan tabir)
melalui perantaraan cahaya Al Haq (Allah ‘Azza wa Jalla ) dan ini adalah
tingkatan Al Muqarrabin, yaitu dengan seseorang melihat banyaknya makhluk (di
alam semesta), akan tetapi dia melihat semuanya bersumber dari Zat Yang Maha
Tunggal lagi Maha Perkasa, dan tingkatan yang keempat: Dengan tidak menyaksikan
di alam semesta ini kecuali satu zat yang esa, dan ini merupakan penyaksian
para Shiddiqin, dan diistilahkan oleh orang ahli tasawuf dengan sebutan: Al
Fana’ Fit Tauhid (telah melebur dalam tauhid/pengesaan) karena dia tidak
melihat kecuali satu, bahkan dia tidak melihat dirinya sendiri… Dan inilah
puncak tertinggi dalam tauhid. Jika anda bertanya bagaimana mungkin seseorang
tidak melihat kecuali hanya satu saja, padahal dia melihat langit, bumi dan
semua benda-benda yang benar-benar nyata, dan itu banyak sekali? dan bagaimana
sesuatu yang banyak menjadi hanya satu? Ketahuilah bahwa ini adalah puncak ilmu
Mukasyafat (tersingkapnya tabir) (maksudnya adalah cerita bohong orang-orang
ahli Tasawuf yang bersumber dari bisikan jiwa dan perasaan mereka, yang sama
sekali tidak berdasarkan Al Quran dan As Sunnah, -pen), dan rahasia-rahasia
ilmu ini tidak boleh ditulis dalam sebuah kitab, karena orang-orang yang telah
mencapai tingkatan Ma’rifah berkata bahwa membocorkan rahasia ketuhanan adalah
kekafiran. Sebagaimana seorang manusia dikatakan banyak bila anda melihat
rohnya, jasad, sendi-sendi, urat-urat, tulang belulang dan isi perutnya,
padahal dari sudut pandang lain dikatakan dia adalah satu manusia.” (Lihat
kitab Ihya ‘Ulumud Din 4/241-242).
Al Ghazali juga
berkata, “Pandangan terhadap tauhid jenis pertama, yaitu pandangan tauhid yang
murni, dengan pandangan ini, Anda pasti akan dikenalkan bahwa Dialah yang
bersyukur dan disyukuri, dan Dialah yang mencintai dan dicintai, ini adalah
pandangan orang yang meyakini bahwa tidaklah ada di alam semesta ini melainkan
Dia (Allah ‘Azza wa Jalla ).” (Ibid 4/83).
Keenam, Asy Sya’rani, seorang tokoh besar tasawuf yang telah
menulis sebuah kitab yang berjudul Ath Thabaqat Al Kubra, yang memuat
biografi tokoh-tokoh ahli tasawuf dan kisah-kisah (kotor) yang dianggap oleh
orang-orang ahli tasawuf sebagai tanda kewalian. Di antaranya kisah seorang
wali(?) yang bernama Ibrahim Al ‘Uryan, orang ini bila naik mimbar dan
berceramah selalu dalam keadaan telanjang bulat!? (Lihat At Thabaqat Al
Kubra 2/124).
Kisah lainnya
tentang seorang (wali Setan) yang bernama Syaikh Al Wuhaisyi yang bertempat
tinggal di rumah pelacuran, yang mana setiap ada orang yang selesai berbuat
zina, dan hendak meninggalkan tempat tersebut, dia berkata kepadanya: “Tunggulah
sebentar hingga aku selesai memberikan syafaat untukmu sebelum engkau
meninggalkan tempat ini!?” Dan diantara kisah tentang orang ini: bahwa
setiap kali ada seorang pemuka agama setempat sedang menunggang keledai, dia
memerintahkannya untuk segera turun, lalu berkata kepadanya: “Peganglah
kepala keledaimu, agar aku dapat melampiaskan birahiku padanya!?” (Lihat At
Thabaqat Al Kubra 2/129-130).
PENUTUP
Setelah pembahasan di atas, maka jelaslah bagi kita semua bahwa ajaran
tasawuf adalah ajaran sesat yang menyimpang sangat jauh dari petunjuk Al Quran
dan As Sunnah, yang dengan mengamalkan ajaran ini –na’udzu billah min dzalik–
seseorang bukannya makin dekat kepada Allah ‘Azza wa Jalla , tapi malah
semakin jauh dari-Nya, dan hatinya bukannya makin bersih, akan tetapi malah
semakin kotor dan penuh noda. Kemudian jika timbul pertanyaan, “Kalau begitu
usaha apa yang harus kita lakukan dalam upaya untuk menyucikan jiwa dan hati
kita?” Maka jawabannya adalah sederhana sekali, yaitu, Pelajari dan amalkan
syariat islam ini lahir dan batin, maka dengan itulah jiwa dan hati kita akan
bersih (untuk lebih jelasnya silakan pembaca menelaah kitab Manhajul Anbiya’
fii Tazkiyatin Nufus tulisan Syaikh Salim Al Hilali, yang ditulis khusus
untuk menjelaskan masalah penting ini), karena di antara tugas utama yang
dibawa para Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah menyucikan jiwa
dan hati manusia dengan mengajarkan kepada mereka syariat Allah ‘Azza wa
Jalla , sebagaimana firman Allah:
ôs)s9 £`tB ª!$# n?tã tûüÏZÏB÷sßJø9$# øÎ) y]yèt/ öNÍkÏù Zwqßu ô`ÏiB ôMÎgÅ¡àÿRr& (#qè=÷Gt öNÍkön=tæ ¾ÏmÏG»t#uä öNÍkÅe2tãur ãNßgßJÏk=yèãur |=»tGÅ3ø9$# spyJò6Ïtø:$#ur bÎ)ur (#qçR%x. `ÏB ã@ö6s% Å"s9 9@»n=|Ê AûüÎ7B ÇÊÏÍÈ
“Sungguh
Allah telah memberi karunia kepada orang-orang yang beriman ketika Allah
mengutus di antara mereka seorang rasul dari golongan mereka sendiri, yang
membacakan kepada mereka ayat-ayat Allah, membersihkan (jiwa) mereka, dan
mengajarkan kepada mereka Al kitab dan Al Hikmah (As Sunnah). Dan sesungguhnya
sebelum (kedatangan Nabi) itu, mereka adalah benar-benar dalam kesesatan yang
nyata.”
(QS. Ali ‘Imran: 164)
Maka orang yang paling banyak memahami dan mengamalkan
petunjuk Al Quran dan As Sunnah dengan baik dan benar, maka dialah orang yang
paling bersih dan suci hati dan jiwanya dan dialah orang yang paling bertakwa
kepada Allah ‘Azza wa Jalla , karena semua orang berilmu sepakat
mengatakan bahwa: “Penghalang utama yang menghalangi seorang manusia untuk
dekat kepada Allah ‘Azza wa Jalla adalah (kekotoran) jiwanya.”
(Sebagaimana yang dikatakan oleh Imam Ibnul Qayyim dalam kitabnya Igatsatul
Lahafan dan Al Fawa’id). Oleh karena inilah Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam mempermisalkan petunjuk dan ilmu yang Allah turunkan
kepada beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan air hujan yang Allah
turunkan dari langit, karena sebagaimana fungsi air hujan adalah untuk
menghidupkan, membersihkan dan menumbuhkan kembali tanah yang tandus dan
gersang, maka demikian pula petunjuk dan ilmu yang dibawa oleh Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam adalah untuk menghidupkan, menyucikan dan menumbuhkan
hati manusia, dalam hadits Abi Musa Al ‘Asy’ari radhiallahu ‘anhu,
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِنَّ مَثَلَ مَا بَعَثَنِيَ اللهُ
بِهِ مِنَ الْهُدَى وَالْعِلْمِ كَمَثَلِ غَيْثٍ أَصَابَ أَرْضاً… الحديث
“Sesungguhnya
permisalan dari petunjuk dan ilmu yang aku bawa dari Allah adalah seperti hujan
(yang baik) yang Allah turunkan ke bumi…” (HSR Imam Al Bukhari
1/175 – Fathul Bari dan Muslim no. 2282)
Semoga
tulisan ini Allah ‘Azza wa Jalla jadikan bermanfaat bagi penulis
khususnya dan bagi semua orang yang membacanya.
وصلى الله وسلم وبارك على نبينا محمد
وآله وصحبه أجمعين، وآخر دعوانا الحمد لله رب العالمين.
No comments:
Post a Comment