SEJARAH USHUL FIQHI
|
Bab
5
|
Standar
Kompetensi :
5.
Mengenal Sejarah ushul fiqhi
Kompetensi
Dasar :
5.1
Menceritakan tahapan-tahapan perkembangan ushul
fiqhi
5.2
Menjelaskan peranan ushul fiqhi dalam pengembangan
fiqhi Islam
5.3
Menjelaskan aliran-aliran ushul fiqhi
|
Di
zaman Rasulullah SAW sumber hukum Islam hanya dua, yaitu Al Qur’an dan
Assunnah. Apabila suatu kasus terjadi, Nabi SAW menunggu turunnya wahyu yang
menjelaskan hukum kasus tersebut. Apabila wahyu tidak turun, maka Rauslullah
SAW menetapkan hukum kasus tersebut melalui sabdanya, yang kemudian dikenal
dengan hadits atau sunnah. Hal ini antara lain dapat diketahui dari sabda
Rasulullah SAW sebagai berikut: “Sesungguhnya
saya memberikan keputusan kepada kamu melalui pendapatku dalam hal-hal yang
tidak diturunkan wahyu kepadaku.” (HR. Abu Daud dari Ummu Salamah)
Hasil
ijtihad Rasulullah ini secara otomatis menjadi sunnah bagi Umat Islam. Hadits
tentang pengutusan Mu’az Ibn Jabal ke Yaman sebagai qadi, menunjukkan
perijinan yang luas untuk melakukan ijtihad hukum pada masa Nabi. Dalam
pengutusan ini Nabi bersabda yang artinya : “Bagaimana engkau (mu’az) mengambil suatu keputusan hukum terhadap
permasalahan hukum yang diajukan kepadamu? Jawab mu’az; saya akan mengambil
suatu keputusan hukum berdasarkan kitab Allah (Al Qur’an). Kalau kamu tidak
menemukan dalam kitab Allah? Jawab Mu’az, saya akan mengambil keputusan
berdasarkan keputusan berdasarkan sunnah Raulullah. Tanya Nabi, jika engkau
tidak ketemukan dalam sunnah? Jawab Mu’az, saya akan berijtihad, dan saya tidak
akan menyimpang. Lalu Rasulullah menepuk dada Mu’az seraya mengatakan segala
puji bagi Allah yang telah memberi taufik utusan Rasulnya pada sesuatu yang
diridhai oleh Allah dan rasulnya.”
Hadits
ini secara tersurat tidak menunjukkan adanya upaya Nabi untuk mengembangkan
Ilmu Ushul Fiqh, tapi secara tersirat jelas Nabi telah memberikan keluasan
dalam mengembangkan akal untuk menetapkan hukum yang belum tersurat dalam Al
Qur’an dan Sunnah.
Artinya
dengan keluwesannya Nabi dalam melakukan pemecahan masalah-masalah
ijtihadiyah telah memberikan legalitas yang kuat terhadap para sahabat. Dalam
sebuah haditsnya yang mengandung kebolehan bagi manusia untuk mencari solusi
terhadap urusan-urusan keduniaan Rasulullah bersabda : “Kamu lebih mengetahui tentang urusan duniamu.”
Dorongan
untuk melakukan ijtihad itu tersirat juga dalam hadits Nabi yang menjelaskan
tentang pahala yang diperoleh seseorang yang melakukan ijtihad sebagai upaya
yang sungguh-sungguh dalam mencurahkan pemikiran baik hasil usahanya benar
atau salah.
Selain
dalam bentuk anjuran dan pembolehan ijtihad oleh Nabi di atas, Nabi sendiri
pada dasarnya telah memberikan isyarat terhadap kebolehan melakukan ijtihad
setidak-tidaknya dalam bentuk qiyas sebagaimana dapat kita temukan dalam
hadits sebagai berikut : “Seorang
wanita namanya Khusaimiah datang kepada Nabi dan bertanya, Ya Rasulullah ayah
saya seharusnya telah menunaikan haji, dia tidak kuat duduk dalam kendaraan
karena sakit, Apakah saya harus melakukan haji untuknya? Jawab Rasulullah
dengan bertanya bagaimana pendapatmu bila Ayahmu mempunyai utang? Apakah
engkau harus membayar? Perempuan itu menjawab , Ya, Nabi berkata utang kepada
Allah lebih utama untuk dibayar.
Hadits
ini menggambarkan upaya qiyas yang dilakukan oleh Nabi, yaitu ketika seorang
sahabat datang kepada Nabi yang menanyakan tentang keharusan penunaian
kewajiban ibadah haji bapaknya yang mengidap sakit, Nabi menegaskan keharusan
penunaiannya dengan melakukan pengqiyasan terhadap pembayaran utang antara
sesama manusia.
Ada
satu hal yang perlu dicatat, kehadiran Nabi sebagai pemegang otoritas tunggal
dalam permasalahan-permasalahan hukum membuat Nabi sangat berhati-hati disatu
pihak, dan terbuka dipihak lain. Sikap hati-hati yang ditempuh oleh Nabi
dalam rangka penerapan hukum Islam bidang ibadah. Penjelasan Nabi yang
berkaitan dengan ini cukup rinci. Wahyu memegang peranan sangat penting.
Sikap terbuka yang ditempuh oleh Nabi dalam upaya pengembangan hukum Islam
bidang muamalah.
Berbeda
dengan ibadah, dalam muamalah penjelasan Nabi lebih banyak bersifat garis
besar, sedangkan perincian dan penjelasan pelaksanaannya diserahkan kepada
manusia. Manusia dengan akal yang dianugerahkan kepadanya diberi peranan
lebih banyak. Artinya, ini pulalah salah satu faktor yang ikut mendukung
terhadap pertumbuhan ilmu ushul fiqh selanjutnya.
Dalam
beberapa kasus, Rasulullah SAW juga menggunakan qiyas ketika menjawab
pertanyaan para sahabat. Misalnya ketika menjawab pertanyaan Umar Ibn Khatab
tentang batal atau tidaknya puasa seseorang yang mencium istrinya. Rasulullah
SAW bersabda : “Apabila kamu
berkumur-kumur dalam keadaan puasa, apakah puasamu batal?” Umar
menjawab:”Tidak apa-apa” (tidak batal). Rasulullah kemudian bersabda “maka
teruskan puasamu.”(HR Bukhari, Muslim, dan Abu Dawud).
Hadits
ini mengidentifikasikan kepada kita bahwa Rasulullah SAW jelas telah
menggunakan qiyas dalam menetapkan hukumnya, yaitu dengan mengqiyaskan tidak
batalnya seseorang yang sedang berpuasa karena mencium istrinya sebagaimana
tidak batalnya puasa karena berkumur-kumur.
1. Pada Masa Sahabat
Memang,
semenjak masa sahabat telah timbul persoalan-persoalan baru yang menuntut
ketetapan hukumnya. Untuk itu para sahabat berijtihad, mencari ketetapan
hukumnya. Setelah wafat Rasulullah SAW sudah barang tentu berlakunya hasil
ijtihad para sahabat pada masa ini, tidak lagi disahkan oleh Rasulullah SAW,
sehingga dengan demikian semenjak masa sahabat ijtihad sudah merupakan sumber
hukum.
Sebagai
contoh hasil ijtihad para sahabat, yaitu : Umar bin Khattab RA tidak
menjatuhkan hukuman potong tangan kepada seseorang yang mencuri karena
kelaparan (darurat/terpaksa). Dan Ali bin Abi Thalib berpendapat bahwa wanita
yang suaminya meninggal dunia dan belum dicampuri serta belum ditentukan maharnya,
hanya berhak mendapatkan mut’ah. Ali menyamakan kedudukan wanita tersebut
dengan wanita yang telah dicerai oleh suaminya dan belum dicampuri serta
belum ditentukan maharnya, yang oleh syara’ ditetapkan hak mut’ah baginya,
sebagaimana disebutkan dalam firman Allah yang artinya :
“Tidak ada
sesuatupun (mahar) atas kamu, jika kamu menceraikan isteri-isterimu sebelum
kamu bercampur dengan mereka dan sebelum kamu menentukan maharnya. Dan
hendaklah kamu memberikan mut’ah (pemberian) kepada mereka. Orang yang mampu
menurut kemampuannya dan orang yang miskin menurut kemampuannya (pula), yaitu
pemberian menurut yang patut. Yang demikian itu merupakan ketentuan bagi
orang-orang yang berbuat kebajikan.”
(Al-Baqarah : 236).
Dari
contoh-contoh ijtihad yang dilakukan oleh Rasulullah SAW, demikian pula oleh
para sahabatnya baik di kala Rasulullah SAW masih hidup atau setelah beliau
wafat, tampak adanya cara-cara yang digunakannya, sekalipun tidak dikemukakan
dan tidak disusun kaidah-kaidah (aturan-aturan)nya ; sebagaimana yang kita
kenal dalam Ilmu Ushul Fiqh, karena
pada masa Rasulullah SAW, demikian pula pada masa sahabatnya, tidak
dibutuhkan adanya kaidah-kaidah dalam berijtihad dengan kata lain pada masa
Rasulullah SAW dan pada masa sahabat telah terjadi praktek berijtihad, hanya
saja pada waktu-waktu itu tidak disusun sebagai suatu ilmu yang kelak disebut
dengan Ilmu Ushul Fiqh karena pada waktu-waktu itu tidak dibutuhkan adanya.
Yang demikian itu, karena Rasulullah SAW mengetahui cara-cara nash dalam
menunjukkan hukum baik secara langsung atau tidak langsung, sehingga beliau
tidak membutuhkan adanya kaidah-kaidah dalam berijtihad, karena mereka
mengetahui sebab-sebab turun (asbabun nuzul)
ayat-ayat Al-Qur’an, sebab-sebab datang (asbabul wurud)
Hadits, mempunyai ketazaman dalam memahami rahasia-rahasia, tujuan dan
dasar-dasar syara’ dalam menetapkan hukum yang mereka peroleh karena mereka
mempunyai pengetahuan yang luas dan mendalam terhadap bahasa mereka sendiri
(Arab) yang juga bahasa Al Qur’an dan As-Sunnah. Dengan pengetahuan yang
mereka miliki itu, mereka mampu berijtihad tanpa membutuhkan adanya
kaidah-kaidah.
2. Pada Masa Tabi’in
Pada
masa tabi’in, tabi’it-tabi’in dan para imam mujtahid, di sekitar abad II dan
III Hijriyah wilayah kekuasaan Islam telah menjadi semakin luas, sampai ke
daerah-daerah yang dihuni oleh orang-orang yang bukan bangsa Arab atau tidak
berbahasa Arab dan beragam pula situasi dan kondisinya serta adat
istiadatnya. Banyak diantara para ulama yang bertebaran di daerah-daerah
tersebut dan tidak sedikit penduduk daerah-daerah itu yang memeluk agama
Islam. Dengan semakin tersebarnya agama Islam di kalangan penduduk dari
berbagai daerah tersebut, menjadikan semakin banyak persoalan-persoalan hukum
yang timbul. Yang tidak didapati ketetapan hukumnya dalam Al Qur’an dan As
Sunnah. Untuk itu para ulama yang tinggal di berbagai daerah itu berijtihad
mencari ketetapan hukumnya.
Karena
banyaknya persoalan-persoalan hukum yang timbul dan karena pengaruh kemajuan
ilmu pengetahuan dalam berbagai bidang yang berkembang dengan pesat yang
terjadi pada masa ini, kegiatan ijtihad juga mencapai kemajuan yang besar dan
lebih bersemarak.
Dalam
pada itu, pada masa ini juga semakin banyak terjadi perbedaan dan perdebatan
antara para ulama mengenai hasil ijtihad, dalil dan jalan-jalan yang
ditempuhnya. Perbedaan dan perdebatan tersebut, bukan saja antara ulama satu
daerah dengan daerah yang lain, tetapi juga antara para ulama yang sama-sama
tinggal dalam satu daerah.Kenyataan-kenyataan di atas mendorong para ulama
untuk menyusun kaidah-kaidah syari’ah yakni kaidah-kaidah yang bertalian
dengan tujuan dan dasar-dasar syara’ dalam menetapkan hukum dalam berijtihad.
Demikian
pula dengan semakin luasnya daerah kekuasan Islam dan banyaknya penduduk yang
bukan bangsa Arab memeluk agama Islam. Maka terjadilah pergaulan antara
orang-orang Arab dengan mereka. Dari pergaulan antara orang-orang Arab dengan
mereka itu membawa akibat terjadinya penyusupan bahasa-bahasa mereka ke dalam
bahasa Arab, baik berupa ejaan, kata-kata maupun dalam susunan kalimat, baik
dalam ucapan maupun dalam tulisan. Keadaan yang demikian itu, tidak sedikit
menimbulkan keraguan dan kemungkinan-kemungkinan dalam memahami nash-nash
syara’. Hal ini mendorong para ulama untuk menyusun kaidah-kaidah lughawiyah
(bahasa), agar dapat memahami nash-nash syara’ sebagaimana dipahami oleh
orang-orang Arab sewaktu turun atau datangnya nash-nash tersebut.
Dengan
disusunnya kaidah-kaidah syar’iyah dan kaidah-kaidah lughawiyah dalam
berijtihad pada abad II Hijriyah, maka telah terwujudlah Ilmu Ushul Fiqh.
Dikatakan oleh Ibnu Nadim bahwa ulama yang pertama kali menyusun kitab Ilmu
Ushul Fiqh ialah Imam Abu Yusuf (murid Imam Abu Hanifah) akan tetapi kitab
tersebut tidak sampai kepada kita.
Diterangkan
oleh Abdul Wahhab Khallaf, bahwa ulama yang pertama kali membukukan
kaidah-kaidah Ilmu Ushul Fiqh dengan disertai alasan-alasannya adalah
Muhammad bin Idris asy Syafi’iy (150-204 H) dalam sebuah kitab yang diberi
nama Ar Risalah. Dan kitab tersebut
adalah kitab dalam bidang Ilmu Ushul Fiqh yang pertama sampai kepada kita.
Oleh karena itu terkenal di kalangan para ulama, bahwa beliau adalah orang
pertama yang mengembangkan Ilmu Ushul Fiqh.
Salah
satu yang mendorong diperlukannya pembukuan ushul fiqih adalah perkembangan
wilayah Islam yang semakin luas, sehingga tidak jarang menyebabkan timbulnya
berbagai persoalan yang belum diketahui kedudukan hukumnya. Untuk itu, para
ulama Islam sangat membutuhkan kaidah-kaidah hukum yang sudah dibukukan untuk
dijadikan rujukan dalam menggali dan menetapkan hukum.
Sebenarnya,
jauh sebelum dibukukannya ushul fiqih, ulama-ulama terdahulu telah membuat teori-teori
ushul yang dipegang oleh para pengikutnya masing-masing. tak heran jika
pengikut para ulama tersebut mengklaim bahwa gurunyalah yang pertama menyusun
kaidah-kaidah ushul fiqih.
Golongan
Hanafiyah misalnya mengklaim bahwa yang pertama menyusun ilmu Ushul Fiqih
ialah Abu Hanifah, Abu Yusuf dan Ibnu Ali Al Hasan. Alasan mereka bahwa Abu
Hanifah merupakan orang yang pertama menjelaskan metode istinbath dalam kitabnyanya Ar
Ra’yu. Dan Abu Yusuf Abu Yusuf adalah orang yang pertama menyusun ushul
fiqh dalam madzhab Hanafi, demikian pula Muhammad Ibnu Al Hasan telah
menyusun ushul fiqh sebelum Imam
Syafi’ie, bahkan Imam Syafi’i berguru kepadanya.
Golongan
As Syafi’iyah juga mengklaim bahwa Imam As Syafi’i lah orang yang pertama
yang menyusun kitab ushul fiqh. Hal ini di ungkapkan oleh Jamaluddin Abd Ar
Rohman Ibnu Hasan Al Asnawi. Menurutnya, “tidak diperselisihkan lagi “Imam
Syafi’i adalah tokoh besar yang pertama-tama menyusun kitab dalam ilmu ini,
yaitu kitab yang tidak asing lagi dan yang sampai kepada kita sekarang, yakni
kitab Ar Risalah.
Kalau
dikembalikan pada sejarah, yang pertama berbicara tentang ushul fiqih sebelum
dibukukannya adalah para sahabat dan tabi’in. Hal ini tidak diperselisihkan
lagi. Namun yang diperselisihkan adalah orang yang mula-mula mengarang kitab
ushul fiqih sebagai suatu disiplin ilmu tersendiri yang bersifat umum dan
mencakup segala aspeknya. Untuk itu kita perlu mengetahui terlebih dahulu
teori-teori penulisan dalam ilmu ushul fiqih. Secara garis besar ada dua
teori penulisan yang dikenal yakni.
1.
Merumuskan
kaidah-kaidah fiqiyah bagi setiap bab dalam bab fiqih dan menganalisisnya
serta mengaplikasikan masalah furu’ atas kaidah-kaidah tersebut. Teori inilah
yang ditempuh oleh golongan Hanafi dan merekalah yang merintisnya.
1.
Merumuskan
kaidah-kaidah yang dapat menolong seorang mujtahit dan meng-istinbat hukum
dari sumber hukum syar’i, tanpa terikat oleh pendapat seorang faqih atau
suatu pemahaman yang sejalan dengannya maupun yang bertentangan. Cara inilah
yang ditempuh Imam Syafi’i dalam kitabnya Ar
Risalah, suatu kitab yang tersusun secara sempurna dalam bidang ilmu
ushul dan independen. Kitab seperti ini belum ada sebelumya, menurut ijma’
ulama dan catatan sejarah.
1. Tahap
awal (abad 3 H)
Pada
abad 3 H di bawah pemerintahan Abassiyah wilayah Islam semakin meluas
kebagian timur, khalifah-khalifah yang berkuasa dalam abad ini adalah : Al
Ma’mun (w. 218 H), Al Mu’tashim (w. 227 H), Al Wasiq (w. 232 H), dan Al
Mutawakil (w. 247 H) pada masa mereka inilah terjadi suatu kebangkitan ilmiah
dikalangan Islam yang dimulai dari kekhalifahan Ar Rasyid. Salah satu hasil
dari kebangkitan berfikir dan semangat keilmuan Islam ketika itu adalah
berkembangnya bidang fiqh yang pada giliranya mendorong untuk disusunya
metode berfikir fiqih yang disebut ushul fiqh.
Seperti
telah dikemukakan, kitab ushul fiqh yang pertama-tama tersusun seara utuh dan
terpisah dari kitab-kitab fiqh ialah Ar
Risalah karangan As Syafi’i. Kitab ini dinilai oleh para ulama sebagai kitab
yang bertnilai tinggi. Ar Razi berkata “kedudukan As Syafi’i dalam ushul fiqh
setingkat dengan kedudukan Aristoteles dalam ilmu Manthiq dan kedudukan Al
Khalil Ibnu Ahmad dalam ilmu Ar ro’yi”.
Ulama
sebelum As Syafi’i berbicara tentang masalah-masalah ushul fiqh dan
menjadikanya pegangan, tetapi mereka belum memperoleh kaidah-kaidah umum yang
menjadi rujukan dalam mengetahui dalil-dalil syari’at dan cara memegangi dan
cara mentarjih kanya: maka datanglah Asy Syafi’i menyusun ilmu ushul fiqih
yang merupakan kaidah-kaidah umum yang dijadikan rujukan-rujukan untuk
mengetahui tingkatan-tingkatan dalil syar’i, kalaupun ada orang yang menyusun
kitab ilmu ushul fiqh sesudah Asy Syafi’i, mereka tetap bergantung pada Asy
Syafi’i karena Asy Syafi’ilah yang membuka jalan untuk pertama kalinya.
Selain
kitab Ar Risalah pada abad 3 H
telah tersusun pula sejumlah kitab ushu fiqh lainya. Isa Ibnu Iban (w. 221
H\835 M) menulis kitab Itsbat Al Qiyas.
Khabar Al Wahid, ijtihad ar ra’yu. Ibrahim Ibnu Syiar Al Nazham (w. 221 H\
835 M) menulis kitab An Naql dan
sebagainya.
Namun
perlu diketahui pada umumnya kitab ushul fiqh yang ada pada abad 3 H ini
tidak mencerminkan pemikiran-pemikiran ushul fiqh yang utuh dan mencakup
segala aspeknya kecuali kitab Ar
Risalah itu sendiri. Kitab Ar
Risalah lah yang mencakup permasalahan-permasalahan ushuliyah yang
menjadi pusat perhatian para Fuqoha pada zaman itu.
Disamping
itu, pemikiran ushuliyah yang telah ada, kebanyakan termuat dalam kitab-kitab
fiqh, dan inilah salah satu penyebab pengikut ulama-ulama tertentu mengklaim
bahwa Imam Madzhabnya sebagai perintis pertama ilmu ushul fiqh tersebut.
Golongan Malikiyah misalnya mengklaim imam madzhabnya sebagai perintis
pertama ushul fiqh dikarenakan Imam Malik telah menyinggung sebagian kaidah-kaidah
ushuliyyah dalam kitabnya Al Muwatha.
Ketika ia ditanya tentang kemungkinan adanya dua hadits shoheh yang
berlawanan yang datang dari Rasulluloh pada saat yang sama, Malik menolaknya
dengan tegas, karena ia berperinsip bahwa kebenaran itu hanya terdapat dalam
satu hadits saja.
2. Tahap perkembangan (abad 4 H)
Pada
masa ini abad (4 H) merupakan abad permulaan kelemahan dinasti Abbasiyah
dalam bidang politik. Dinasty Abasiyah terpecah menjadi daulah-daulah kecil
yang masing-masing dipimpin oleh seorang sultan. Namun demikian tidak
berpengaruh terhadap perkembangan semangat keilmuan dikalangan para ulama
ketika itu karena masing-masing penguasa daulah itu berusaha memajukan
negrinya dengan memperbanyak kaum intelektual.
Khusus
dibidang pemikiran fiqh Islam pada masa ini mempunyai karakteristik
tersendiri dalam kerangka sejarah tasyri’ Islam. Pemikiran liberal Islam
berdasarkan ijtihad muthlaq berhenti pada abad ini. mereka mengangagap para
ulama terdahulu mereka suci dari kesalahan sehingga seorang faqih tidak mau
lagi mengeluarkan pemikiran yang khas, terkecuali dalam hal-hal kecil saja,
akibatnya aliran-aliran fiqh semakin mantap exsitensinya, apa lagi disertai
fanatisme dikalangan penganutnya. Hal ini ditandai dengan adanya kewajiban
menganut madzhab tertentu dan larangan melakukan berpindahan madzhab
sewaktu-waktu.
Namun
demikian, keterkaitan pada imam-imam terdahulu tidak dikatakan taqlid, karena
masing-masing pengikut madzhab yang ada tetap mengadakan kegiatan ilmiah guna
menyempurnakan apa yang dirintis oleh para pendahulunya dengan melakukan
usaha antara lain:
a.
Memperjelas
ilat-ilat hukum yang di istinbathkan oleh para imam mereka mereka disebut
ulama takhrij.
b.
Mentarjihkan
pendapat-pendapat yang berbeda dalam madzhab baik dalam segi riwayat dan
dirayah.
c.
Setiap
golongan mentarjihkanya dalam berbagai masalah khilafiyah. Mereka menyusun
kitab al khilaf.
Akan
tetapi tidak bisa di ingkari bahwa pintu ijtihad pada periode ini telah
tertutup, akibatnya dalam perkembangan fiqh Islam adalah sebagai berikut:
a.
Kegiatan
para ulama terbatas terbatas dalam menyampaikan apa yang telah ada, mereka
cenderung hanya mensyarahkan kitab-kitab terdahulu atau memahami dan
meringkasnya.
b.
Menghimpun
masalah-masalah furu yang sekian banyaknya dalam uaraian yang sungkat
c.
Memperbanyak
pengandaian-pengandaian dalam beberapa masalah permasalahan.
Keadaan
tersebut sangat, jauh berbeda di bidang ushul fiqh. Terhentinya ijtihad dalam
fiqh dan adanya usaha-usaha untuk meneliti pendapat-pendapat para ulama
terdahulu dan mentarjihkanya. Justru memainkan peranan yang sangat besar
dalam bidang ushul fiqh.
Sebagai
tanda berembangnya ilmu ushul fiqh dalam abad 4 H ini ditandai dengan
munculnya kitab-kitab ushul fiqh yang merupakan hasil karaya ulama-ulama fiqh
diantara kitab yan terekenal adalah:
a.
Kitab
Ushul Al-Kharkhi, ditulis oleh Abu
Al-Hasan Ubaidillah Ibnu Al-Husain Ibnu Dilal Dalaham Al-Kharkhi,(w. 340 H.)
b.
Kitab
Al Fushul Fi Fushul Fi Ushul,
ditulis oleh Ahmad Ibnu Ali Abu Baker Ar Razim yang juga terkenal dengan Al
Jasshah (305H.)
c.
Kitab
Bayan Kasf Al Ahfazh, ditulis oleh
abu Muhammad Badaruddin Mahmud Ibnu Ziyad Al Lamisy Al Hanafi.
Ada
beberapa hal yang menjadi ciri khas dalam perkembangan ushul fiqh pada abad
4h yaitu munculnya kitab-kitab ushul fiqh yang membahas ushul fiqh secara
utuh dan tidak sebagian-sebagian seperti yang terjadi pada masa-masa
sebelumnya. Kalaupun ada yang membahas hanya kitab-kitab tertentu, hal itu
semata-mata untuk menolak atau memperkuat pandangan tertentu dalam masalah
itu.
Selain
itu Materi berpikir dan penulisan dalam kitab-kitab yang ada sebelumnya dan
menunjukan bentuk yang lebih sempurna, sebagaimana dalam kitab fushul-fi
al-ushul karya abu baker ar-razi hal ini merupakan corak tersendiri corak
tersendiri dalam perkembangan ilmu ushul fiqh pada awal abad 4 H, juga tampak
pula pada abad ini pengaruh pemikiranyang bercorak filsafat, khususnya metode
berfikir menurut ilmu manthiq dalam ilmu ushul fiqih.
3. Tahap
penyempurnaan ( 5-6 H )
Kelemahan
politik di Baghdad, yang ditandai dengan lahirnya beberapa daulah kecil,
membawa arti bagi perkembanangan peradaban dunia Islam. Peradaban Islam tak
lagi berpusat di Baghdad, tetapi juga di kota-kota seperti Cairo, Bukhara,
Ghaznah, dan Markusy. Hal itu disebabkan adanya perhatian besar dari para
sultan, raja-raja penguasa daulah-daulah kecil itu terhadap perkembangan ilmu
dan peradaban.
Hingga
berdampak pada kemajuan dibidang ilmu ushul fiqih yang menyebabkan sebagian
ulama memberikan perhatian khusus untuk mndalaminya, antara lain Al-Baqilani,
Abdul Wahab Al Baghdadi, Abu Zayd Ad Dabusy, Abu Husain Al Bashri, Imam Al
Haramain, Abdul Malik Al Juwani, Abu Humaid Al Ghazali dan lain-lain. Mereka
adalah pelopor keilmuan Islam di zaman itu. Para pengkaji ilmu keislaman di
kemudian hari mengikuti metode dan jejak mereka, untuk mewujudkan aktivitas
ilmu ushul fiqih yang tidak ada bandinganya dalam penulisan dan pengkajian
keislaman , itulah sebabnya pada zaman itu, generasi Islam pada kemudian hri
senantiasa menunjukan minatnya pada produk-produk ushul fiqih dan
menjadikanya sebagi sumber pemikiran.
Dalam
sejarah pekembangan ilmu ushul fiqih pada abad 5 H dan 6 H ini merupakan
periode penulisan ushul fiqih terpesat yang diantaranya terdapat kitab-kitab
yang mnjadi kitab standar dalam pengkajian ilmu ushul fiqih slanjutnya.
Kitab-kitab ushul fiqih yang ditulis pada zaman ini, disamping mencerminkan
adanya kitab ushul fiqih bagi masing-masing madzhabnya, juga menunjukan
adanya alioran ushul fiqih, yakni aliran hanafiah yang dikenal dengan alira
fuqoha, dan aliran Mutakalimin.
1.
Aliran
Mutakallimin
Para
ulama dalam aliran ini dalam pembahasannya dengan menggunakan cara-cara yang
digunakan dalam ilmu kalam yakni menetapkan kaidah ditopang dengan
alasan-alasan yang kuat baik naqliy (dengan nash) maupun 'aqliy
(dengan akal fikiran) tanpa terikat dengan hukum furu' yang telah ada
dari madzhab manapun, sesuai atau tidak sesuai kaidah dengan hukum-hukum
furu' tersebut tidak menjadi persoalan. Aliran ini diikuti oleh para ulama
dari golongan Mu'tazilah, Malikiyah, dan Syafi'iyah.
Di
antara kitab-kitab Ilmu Ushul Fiqh dalam aliran ini, yaitu :
a.
Kitab
Al-Mu'tamad disusun oleh Abdul Husain Muhammad bin Aliy al-Bashriy
al-Mu'taziliy asy-Syafi'iy (w. 463 H).
b.
Kitab
Al-Burhan disusun oleh Abdul Ma'aliy Abdul Malik bin Abdullah
al-Jawainiy an-Naisaburiy asy-Syafi'iy atau Imam Al-Huramain (w. 487 H).
c.
Kitab
Al Mushtashfa disusun oleh Abu
Hamid Muhammad bin Muhammad Al Ghazaliy Asy Syafi ' iy ( w. 505 H).
Dari
tiga kitab tersebut yang dapat ditemui hanyalah kitab Al Musht.shfa,
sedangkan dua kitab lainnya hanya dapat dijumpai nukilan-nukilannya dalam
kitab yang disusun oleh para ulama berikut, seperti nukilan kitab dari Al
Burhan oleh A1 Asnawiy dalam kitab Syahrul Minhaj .
Kitab-kitab
yang datang berikutnya yakni kitab Al
Mahshul disusun oleh Fakhruddin Muhammad bin Umar Ar Raziy Asy Syafi'iy
(w. 606 H). Kitab ini merupakan ringkasan dari tiga kitab yang disebutkan di
atas.
Kemudian
kitab Al Mahshul ini diringkas lagi
oleh dua orang yaitu :
a.
Tajjuddin
Muhammad bin Hasan Al Armawiy (w. 656 H) dalam kitabnya yang diberi nama Al Hashil.
b.
Mahmud
bin Abu Bakar Al Armawiy (w. 672 H) dalam kitabnya yang berjudul At Tahshil.
Kemudian
Al Qadliy Abdullah bin Umar Al Badlawiy (w. 675 H) menyusun kitab Minhajul Wushul ila 'Ilmil Ushul yang
isinya disarikan dari kitab At Tahshil.
Akan tetapi karena terlalu ringkasnya isi kitab tersebut, maka sulit untuk
dapat dipahami. Hal inj mendorong para ulama berikutnya untuk menjelaskannya.
Diantara mereka yaitu Abdur Rahim bin Hasan Al Asnawiy Asy Syafi'iy (w. 772
H) dengan menyusun sebuah kitab yang menjelaskan isi kitab MinhajuI WushuI ila 'Ilmil Ushul
tersebut.
Selain
kitab Al Mashul yang merupakan
ringkasan dari kitab-kitab Al Mu’tamad,
Al Burhan dan Al Mushtashfa, masih ada kitab yang juga merupakan ringkasan dari
tiga kitab tersebut, yaitu kitab Al
Ihkam fi Ushulil Ahkam, disusun oleh AbduI Hasan Aliy yang terkenal
dengan nama Saifuddin Al Amidiy Asy Syafi'iy (w. 631 H). Kitab Al Ihkam fi Ushulil Ahkam ini kemudian
diringkas oleh Abu Amr Utsman bin Umar yang terkenal dengan nama Ibnul Hajib
AI Malikiy (w. 646 H) dalam kitabnya yang diberi nama Muntahal Su'li wal Amal fi Ilmil Ushul wal Jidal. Kemudian kitab
itu beliau ringkas lagi dalam sebuah kitab, dengan nama Mukhtasharul Muntaha.
Kitab
ini mirip dengan kitab Minhajul Wulshul
li Ilmil Ushul, sulit difahami karena ringkasnya. Hal ini mengundang
minat para ulama berikutnya untuk menjelaskannya. Di antara mereka ialah
'Abdur Rahman bin Ahmad Al Ajjiy (w. 756 H) dengan menyusun sebuah kitab yang
menjelaskan kitab Mukhtasharul Muntaha
tersebut.
2.
Aliran
Hanafiyah.
Para
ulama dalam aliran ini, dalam pembahasannya, berangkat dari hukum-hukum furu'
yang diterima dari imam-imam (madzhab) mereka; yakni dalam menetapkan kaidah
selalu berdasarkan kepada hukum-hukum furu ' yang diterima dari imam-imam
mereka. Jika terdapat kaidah yang bertentangan dengan hukum-hukum furu' yang
diterima dari imam-imam mereka, maka kaidah itu diubah sedemikian rupa dan
disesuaikan dengan hukum-hukum furu' tersebut. Jadi para ulama dalam aliran
ini selalu menjaga persesuaian antara kaidah dengan hukum furu' yang diterima
dari imam-imam mereka.
Di
antara kitab-kitab Ilmu Ushul Fiqh dalam aliran ini, yaitu : kitab yang
disusun oleh Abu Bakar Ahmad bin' Aliy yang terkenal dengan sebutan Al
Jashshash (w. 380 H), kitab yang disusun oleh Abu Zaid ' Ubaidillah bin 'Umar
Al Qadliy Ad Dabusiy (w. 430 H), kitab yang disusun oleh Syamsul Aimmah
Muhammad bin Ahmad As Sarkhasiy (w. 483 H). Kitab yang disebut terakhir ini
diberi penjelasan oleh Alauddin Abdul 'Aziz bin Ahmad Al Bukhariy (w. 730 H)
dalam kitabnya yang diberi nama Kasyful
Asrar. Dan juga kitab Ilmu Ushul Fiqh dalam aliran ini ialah kitab yang
disusun oleh Hafidhuddin 'Abdullah bin Ahmad An Nasafiy (w. 790 H) yang
berjudul Al Manar, dan syarahnya
yang terbaik yaitu Misykatul Anwar.
Dalam
abad itu muncul para ulama yang dalam pembahasannya memadukan antara dua
aliran tersebut di atas, yakni dalam menetapkan kaidah, memperhatikan
alasan-alasannya yang kuat dan memperhatikan pula persesuaiannya dengan
hukum-hukum furu'. Diantara mereka itu ialah : Mudhafaruddin Ahmad bin 'Aliy
As Sya'atiy Al Baghdadiy (w. 694 H) dengan menulis kitab Badi'un Nidham yang merupakan paduan kitab yang disusun oleh Al
Bazdawiy dengan kitab Al Ihkam fi
Ushulil Ahkam yang ditulis oleh Al Amidiy; dan Syadrusiy Syari'ah
'Ubaidillah bin Mas'ud Al Bukhariy Al Hanafiy (w. 747 H) menyusun kitab Tanqihul Ushul yang kemudian diberikan
penjelasan-penjelasan dalam kitabnya yang berjudul At Taudlih. Kitab tersebut merupakan ringkasan kitab yang disusun
oleh A1 Bazdawiy, kitab Al Mahshul
oleh Ar Raziy dan kitab Mukhtasharul Muntaha oleh Ibnul Hajib.
Demikian
pula termasuk ulama yang memadukan dua aliran tersebut di atas, yaitu
Tajuddin 'Abdul Wahhab bin' Aliy As Subkiy Asy Syafi'iy (w. 771 H) dengan
menyusun kitab Jam'ul Jawami' dan
Kamaluddin Muhammad 'Abdul Wahid yang terkenal dengan Ibnul Humam (w. 861
Hijriyah) dengan menyusun kitab yang diberi nama At Tahrir.
Dalam
kaitan dengan pembahasan Ilmu Ushul Fiqh ini, perlu dikemukakan bahwa Imam
Abu Ishaq Ibrahim bin Musa Asy Syatibiy (w. 760 H) telah menyusun sebuah
kitab Ilmu Ushul Fiqh, yang diberi nama Al
Muwafaqat. Dalam kitab tersebut selain dibahas kaidah-kaidah juga dibahas
tujuan syara' dalam menetapkan hukum.
Kemudian
perlu pula diketahui kitab-kitab Ilmu Ushul Fiqh yang disusun oleh para ulama
pada masa belakangan ini, antara lain: kitab Irsyadul Fuhulil al Tahqiqil Haq min Ilmil Ushul oleh Imam
Muhammad bin' A1iy Asy Syaukaniy (w. 1255 H), kitab Tashilul Wushul il al 'Ilmil Ushul oleh Syaikh Muhammad 'Abdur
Rahman Al Mihlawiy (w. 1920 H); kitab Ushulul
Fiqh oleh Syaikh Muhammad Al Khudlariy Beik (w. 1345 H/ 1927 M) dan
kitab-kitab Ilmu Ushul Fiqh yang lain.
SOAL
PILIHAN GANDA
1.
Pada
masa Rasulullah sumber hukum Islam hanya dua, yaitu ….
a.
Al-qur’an dan hadits
b.
Al-qur’an dan ijtihad
c.
Hadits dan ijtihad
d.
Al-qur’an dan qiyas
e.
Hadits dan qiyas
2.
Dalam persoalan muamalah, penjelasan Nabi bersifat garis besar sedangkan
penjelasan dan perincian pelaksanaannya diserahkan kepada ….
a.
Allah SWT
b.
Ijma Sahabat
c.
Manusia
d.
Akal
e.
Allah dan Ijma
3.
Setelah wafatnya Rasulullah SAW, maka
… sudah menjadi sumber hukum.
a.
Ijma d. Istihsan
b.
Qiyas e. Istishaab
c.
Ijtihad
4.
Tidak dijatuhkan hukuman potong
tangan kepada orang yang mencuri karena kelaparan, merupakan contoh hasil
ijtihad sahabat yang dilakukan oleh ....
a.
Abu Bakar ash-Shiddiq
b.
Umar bin Khattab
c.
Utsman bin Affan
d.
Ali bin Abi Thalib
e.
Abdurrahman bin ‘Auf
5.
Penyusunan kaidah-kaidah syar’iyah dan kaidah-kaidah lughawiyah dalam
berijtihad menjadi cikal bakal lahirnya ilmu ushul fiqih yang terjadi pada
abad ke ….
a. I H
b. II H
c. III H
d. IV H
e. V H
6.
Ulama yang pertama kali menyusun ilmu ushul fiqih menurut pandangan Abdul
Wahhab Khallaf adalah ….
a.
Imam Ahmad bin Hanbal
b.
Imam Abu Yusuf
c.
Imam Abu Hanifah
d.
Imam Syafi’i
e.
Imam
Maliki
7.
Kitab yang pertama kali memuat pembahasan tentang ushul fiqhi adalah
kitab ….
a.
Al-‘Umm
b.
Al-Fiqh wa Adillatuhu
c.
Fiqhu as-Sunnah
d.
Ar-Risalah
e.
Tanqihul Ushul
8.
Pada masa pemerintahan Abbasiyah
yang terjadi pada abad ke 3 Hijriyah, ushul fiqhi berada pada tahap ….
a.
Awal
b.
Perkembangan
c.
Penyempurnaan
d.
Penulisan
e.
Penghimpunan
9.
Kitab Minhajul Wushul ila ‘Ilmil Ushul merupakan kitab yang ditulis oleh
….
a.
Abdul Husain Muhammad bin Aliy al-Bashri al-Mu’taziliy asy-Syafi’i
b.
Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al-Ghazaliy asy-Syafi’i
c.Tajuddin Muhammad bin Hasan al-Armawiy
d.
Mahmud bin Abu Bakar al-Armawiy
e.
Abdullah bin Umar al-Badlawiy
10.
Yang bukan penyusun kitab dari aliran Hanafiyah, yaitu
….
a.
Abu Bakar Ahmad bin ‘Aliy
b.
Abu Zaid ‘Ubaidillah bin Umar ad-Dabusiy
c.
Syamsul ‘Aimmah as-Sakhasiy
d.
Hafidhuddin an-Nasafiy
e.
Abdul Ma’aliy an-Naisaburiy
SOAL ESSAY.
1.
Bagaimanakah perkembangan ilmu ushul fiqih pada masa Nabi Muhammad SAW?
Jelaskan!
2.
Tuliskan salah satu bentuk ijtihad yang dilakukan oleh para sahabat!
3.
Kapankah ushul fiqih pertama kali dibukukan dan siapakah yang pertama
kali menyusun kitab tersebut?
4.
Bagaimanakah upaya yang dilakukan oleh ulama dalam menyempurnakan apa
yang telah dirintis oleh pendahulunya terhadap perkembangan ushul fiqih?
Jelaskan!
5.
Tuliskan aliran-aliran ushul fiqhi?
|
No comments:
Post a Comment